Pengalaman
Mistis:
“Jeritan
Wanita Gunung Merbabu Via Wekas”
Oleh:
Heri Jimanto
Salam
jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
Sobat petualang, dalam situasi dunia yang baru dikunci
Corona maka cerita-cerita terbaru dari petualangan jelas tidak ada. Kecuali
mereka yang “Ora Manut”, mereka yang
tidak ikut anjuran Pemerintah jelas akan mencari celah untuk bisa menjelajah.
Memang dalam situasi seperti ini, hati cenderung mencari obat jenuh. Aktifitas
manusia berubah total, bagi yang masih terikat dengan pola lama maka dengan
sendirinya akan berusaha mengurai penat hati.
Aku pun juga begitu, pengalaman masa lalu yang sering
naik gunung menjadikan kaki terasa kaku, ingin dibuat gempor dan kelelahan
lagi. Namun, apa daya aku hanyalah insan biasa yang mencoba menjadi anggota
masyarakat taat agar situasi ini lekas terkendali dan bisa beraktifitas
layaknya seperti hari-hari yang lalu.
Demi mengurai rindu, album foto dalam komputer masih
menjadi obat yang paling mujarab. Di balik foto yang tak bergerak ada kenangan
yang menari lincah mengajak hadir kembali dalam peristiwa. Dari kilasan berjuta
kisah, kali ini aku akan bercerita tetanng pengalaman mistis. Memang sudah
banyak pendaki yang berkisah. Aku
awalnya mencoba menyimpan peristiwa-peristiwa unik itu tetap menjadi sebuah rahasia.
Namun, dalam situasi seperti ini, kisah-kisah tentang yang “aneh” bisa saja menjadi
pembelajaran bersama. Maka, dengan hati ihklas aku bagikan.
Pernah kudengar nasehat dari pendaki kawakan (=kalau
tidak mau disebut senior), “Dalam setiap pendakian, bila mendengar, melihat,
atau merasakan sesuatu yang aneh atau tidak wajar jangan sekali-kali
diceritakan. Kisahkan lah itu setelah usai mendaki. Berilah jeda beberapa
hari”. Sampai hari ini bila sesekali aku mengalami hal-hal yang “aneh” aku akan
menjaganya agar tetap rahasia.
Lama tidak menjelajah dan tidak berpetualang akan menjadikan
blog pribadi yang kukelola nantinya berkarat. Biasanya bila tidak ada kisah
baru yang dibagikan, maka tidak ada pengunjung atau jarang dikunjungi. Dari
kenyataan ini, maka kuputuskan demi menjaga silahturahmi, demi terjalinnya
relasi sesama petualang dalam dunia kata, aku rela membongkar kenangan-kenangan
pengalaman “aneh” yang tidak biasa untuk kubagikan.
Mungkin aku akan berbagai beberapa pengalaman. Aku tidak
bermaksud mengganti tema blog yang awalnya hanya berisi catatan perjalanan
menjadi blog yang bertema horror. Bila situasi telah pulih dan terkendali,
kupastikan akan ada kisah-kisah petualangan yang mengasikkan untuk kulukis
ulang dengan deretan kata.
***
Kisah “aneh” pertama yang ingin kuceritakan adalah
pengalaman pertama mendaki Gunung Merbabu via Wekas.
Putaran waktu merajut kisah demi kisah. Peristiwa ini
terjadi di akhir Januari 2005. Kendati lebih dari 15 tahun, namun masih gampang
muncul di permukaan ingatan. Pada waktu itu aku berstatus mahasiswa. Anak
kos-kosan. Bukan anggota mapala. Hanya sekedar berkegiatan untuk memiliki
cerita di hari esok. Pendakian ini baru ketiga kali aku jalani dan pendakian
ini juga baru pertama kali untuk ketinggian di atas 3.000 mdpl.
Sekitar pukul 13.00 kami meninggalkan terminal Jombor,
Yogjakarta mengarah ke utara. Melaju kadang pelan, kadang juga cepat dan
sampailah di terminal Magelang. Saatnya berpindah armada jurusan Salatiga yang
melewati Kopeng. Bus tanggung bergerak membawa kami berdelapan, cowok semua dan
doyan-doyannya makan. Sesekali kami membongkar tas untuk mengais logistik
perbekalan. Bukannya dimakan saat di jalur tetapi malah di bus. Sesampainya di
pertigaan ke arah base camp Wekas, kami pun turun.
Saat itu, belum ada angkutan menuju ke atas. Masih
mengandalkan kebaikan orang, yaitu para sopir pembawa sayur. Satu jam kami
menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda mobil yang lewat. Kami putuskan untuk
berjalan sambil berharap tersusul mobil sayur yang bisa ditumpangi. Namun yang
diharap tak juga memberi sinyal.
Hari
menjelang gelap, kami masih tertatih di jalan tak beraspal, hanya batu yang
tertata rapi, khas jalan-jalan area pegunungan. Belum sempat kami melihat rumah
beskem apalagi menginjakkan kaki guna istirahat sejenak, mendadak mendung
menggulung membuncah menjadi tarian air. Kami bergegas menuju salah satu rumah
penduduk, merayu tuan rumah yang punya anak perawan nan cantik molek, “kembang
desa” untuk memberi kami kesempatan berteduh di dalam rumah.
Satu
jam menunggu hujan tak ada niat untuk berhenti. Akhirnya kami melobi tuan rumah
untuk memasakkan bekal yang kami bawa, karena kami memang harus makan. Berdiang
di depan tungku perapian sambil bercerita dengan tuan rumah, kami sesekali
saling curi pandang untuk melirik anak tuan rumah, “Ayu tenan”, komentarku. Kulirik arloji, waktu menunjuk angka
delapan dan hujan pun mulai merenggang, kami nekat berpamitan untuk melanjutkan
langkah menuju beskem. Sekitar 20 menit kami berjalan, sampailah kami di
beskem.
Di
tahun-tahun ini, bahwa mendaki bisa berjumpa dengan rombongan lain adalah
sebuah kemujuran. Apalagi pendakian yang tidak dieksekusi di hari malam libur
nasional. Beskem lengang, tak ada yang berjaga, mungkin sudah tidur. Kami pun
mengetuk, dibukakan dan dipersilahkan. Dari informasi yang kami kumpulkan
diperoleh kepastian bahwa tidak ada yang menanjak, hanya rombongan kami. Juga
tidak ada yang besoknya akan menanjak. Jelaslah hanya kami yang akan
bercengkerama dengan keindahan Merbabu via Wekas ini.
Oh
ya, hari ini adalah Kamis malam Jumat. Malam yang dikeramatkan untuk
orang-orang tertentu. Tetapi kami hanya sekedar ingin berkunjung dan
bercengkerama dengan keindahan alam Merbabu. Tidak lebih dari itu. Sekitar
pukul 22.00 kami mulai bergerak, yang sebelumnya tentu telah kami awali dengan
doa. Berjalan pelan menyusuri lorong jalan desa, ladang dan sampailah kami di
perbatasan hutan. Kami berhenti sejenak untuk menyiapkan mental sebelum masuk
ke area hutan. Tekad lebih terbajakan agar semuanya lancar. Dasar kami,
anak-anak yang masih muda dan cowok semua kami lebih banyak berceloteh tidak
jelas.
Gerbang
hutan terlewati, namun belum 10 menit salah satu teman kami berteriak memohon
untuk berhenti. Ada nada kepanikan, aku pun menjadi was-was. “Ada apa?” Tanya
ketua rombongan. Temanku menjawab, “Kebelet”.
Wajah tegangnya membuyarkan dongkol hati. Lalu ia pun mencari singgasana untuk menuntaskan misi isi
perutnya.
Kami
pun melanjutkan kisah, kembali melangkah. Sungai kecil telah kami lewati,
setapak terjal menyambut kami. Gagah langkah awal kami, mendadak ciut nyali
dihajar curamnya tanjakan. Namun semangat menguatkan niat, hingga kami pun
terus mampu melaju, menjejakkan tanah lapang bertuliskan pos satu.
Istirahat
sejenak guna menata sisa tenaga. Sekitar pukl 00.00 kami kembali bergerak
meninggalkan pos satu. Usai istirahat dua temanku yang terlihat paling gagah mendadak
melemah dan sempoyongan. Langkahnya gontai. Aku mulai heran dan bertanya-tanya,
“Harusnya setelah beristirahat tenaga akan berlimpah dan jalan akan lebih
gagah. Namun, ini tidak demikian. Aku yang jadi sweeper pun menghampiri temanku dan menanyakan keadaanya. “Aku
heran kok aku habis tenaga ya”, jawabnya. Segera kulihat tasnya yang hanya ada
sebotol air, jaket dan mantol. Tidak lebih. Teman satu juga menyampaikan hal
yang sama. Aku juga segera melihat dalam tasnya, beban bawaannya juga hampir
sama. Harusnya tidak menjadi masalah.
Ada
apakah ini, satu teman telah digerus pencernaannya, kini ada 2 teman yang
kehilangan daya. Dari belakang aku berteriak untuk menghentikan langkah teman
yang paling depan. Mereka pun berjalan pelan sambil mencari tempat lapang guna
nyaman untuk rehat sejenak. Sekitar 10 menit kami berjalan dan semua telah
genap berkumpul di bawah pohon. Belum juga aku menyampaikan rasa heranku,
tiba-tiba angin bertiup kencang. Kabut pun datang, pandangan menjadi tak jelas,
sorot senter tak begitu jauh menembusnya. Lalu, dengan segera hujan rintik pun
datang.
Tak
menunggu lama, kami segerga bergegas mengeluarkan mantol kelelawar (pada
tahun-tahun ini, mantol kelelawar adalah alat serba bisa, untuk matras,
selimut, tenda/ selter juga yang pasti adalah sebagai jas hujan). Kami tahu
bersama, dalam situasi seperti ini, bila berhenti tanpa tenda maka akan membeku
kedinginan. Kami putuskan pelan-pelan terus berjalan, supaya raga tetap hangat.
Hujan rintik pelan membasahi bumi, setapak menjadi licin, kami tidak ciut
nyali. Terus bergerak menembus asa.
Karena
prinsip, “alon-alon asal melangkang”,
kami pun tiba di pos 2 sekitar pukul 02.00. Tanah lapang yang cukup longgar
ditambah ada sumber air, menjadikan kami beristirahat agak lama. Kami pun membongkar tas, merebus
air guna membuat minuman hangat. Kami duduk saling berdekatan, mengelilingi
kompor sambil menikmati perbekalan.
Di
lereng bukit sebelah kiri, tiba-tiba aku mendengar teriakan histeris. Karena suasana
gunung yang lengang dan tengah malam, dengan sendirinya suara itu nyaring
terdengar jelas. Aku melihat reaksi teman-temanku. Tak ada sesuatu pun. Hanya
aku kah yang mendengar suara itu. Tak berani aku bertanya, karena ini adalah
prinsip. Aku tunggu, kalau-kalau ada pengulangan teriakan. Satu menit menunggu,
tidak ada apa-apa. Dua menit menyusul sampai sepuluh menit. Teman-temanku
terlihat tidak ada perubahan sikap. Berarti hanya aku yang mendengar.
Aku
pun diam tak bercerita.
Sebelum
kami melanjutkan perjalan, teriakan itu muncul lagi. Aku memutar mata, melihat
satu persatu reaksi teman-temanku, tidak ada tanda-tanda kalau mereka mendengar
suara itu.
Ya
sudahlah. Kami pun bergegas melanjutkan kisah. Aku tetap sebagai sweeper. Belum
10 menit meninggalkan pos 2, teriakan ketiga kembali terdengar dan reaksi
teman-temanku tetap sama. Tak bisa dibohongi aku pun medadak ciut nyali, bulu
kudukku pun berdiri. Ada kecemasan yang merasuk ke hati. Namun, dengan
keteguhan nalar kucoba tepis itu semua. Kembali kaki melangkah, hingga
sampailah kami dipertigaan yang mana kami harus belok ke kiri menuju puncak
lembah (persimpangan jalur dengan Kopeng).
Dalam
lelahku, sembari mengatur nafas. Kunikmati cerah cuaca. Hening suasana fajar terpecahkan kerasnya
teriakan hesteris yang menyayat hati. Terdengar sangat pilu. Ya, suara wanita
itu muncul lagi. Kulihat reaksi ketujuh temanku tetap sama. Seolah-olah tidak
ada apa-apa. Hati bergetar merambat kecelah sendi hingga lutut kokohku mendadak
goyah, hampir ambyar.
Kutegarkan
hati dan tekad bahwa ini hanya “Krungon-krongonen”,
seolah-olah mendengar suara pada hal aslinya tidak ada apa-apa. Kembali kaki
melangkah mengikuti teman-teman yang berjalan pelan menuju puncak lembah.
Sesampainya di persimpangan jalur Wekas-Kopeng, ke 4 temanku menyerah. Mereka
mengatakan, “Selesailah sudah, cukup kami sampai di sini”. Aku mencoba
menyemangati. Namun mereka bersikeras untuk berhenti dan cukup sampai di sini.
Kulihat jam tanganku, waktu menunjuk pukul 04.30. Tinggal satu jam lagi
matahari akan terbit. Semburat merah remang-remang sudah terlihat.
Kami
pun membuat kesepakatan, 4 orang tinggal beristirahat dan menunggu sampai kami
tiba. Lalu aku dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk lanjut ke puncak. Kami
berjanji maksimal pukul 07.00 sudah tiba dan berkumpul kembali. Setapak yang
mulai terlihat karena pekat malam telah berlalu memudahkan kami melangkah.
Sesampainya di puncak “Geger (punuk) Sapi”, satu temanku menyerah dan tidak mau
melangkah. Pada hal tinggal 50 meter tiba di persimpangan antara puncak Sharif
dan Kenteng Songo. Di persimpangan itu sudah cukup kalau hanya untuk menikmati
keindahan matahari terbit.
Kami
pun berembuk, akhirnya diputuskan aku menemani teman yang tepar, sedangkan 2
teman lainnya lanjut. Aku dan satu teman memutuskan untuk mencari celah batu,
berlindung dari hembusan angin, berselimutkan mantol dan lelaplah kami. Tidak
sampai 30 menit, tiba-tiba ada suara, “Ayo bangun. Ayo lanjut”. Dua temanku yang
mau menuju puncak memutuskan untuk cukup di pertigaan, mengabadikan moment sun ruse sambil sejenak istirahat. Lalu,
turun lagi.
Berempat
kami bergergas turun, temanku yang mengeluh lemas tak berdaya sudah pulih segar
bugar. Lalu kami lepas bagai anak panah untuk segera menjumpa ke 4 teman yang
ada di bawah. 40 meter aroma mie instan rebus telah membuai seluruh gunung.
Naga dalam perutpun bangkit memberontak. Kaki makin ganas melesat. Sambutan ke
4 teman dengan senyum bahagia. Terlihat bugar dan sehat-sehat, sarapan telah
siap. Kami pun sambil bersendau gurau menikmati hidangan pagi di hadapan
semesta gunung dengan hembusan angin sepoi dan melihat barisan awan di
kejahuan. Sungguh nikmat yang luar biasa.
Saat
angka waktu bertengger di titik 08.00, kami pun memulai perjalanan turun.
Sangat lancar. Kami gembira. Penuh semangat. Pos 2 terlewati tanpa kesusahan.
Tidak beristirahat. Lanjut. Pos 1 juga terlewati dengan gampang. Kami masih
bugar. Lanjut lagi. Usai menyeberangi sungai kecil, suasana mendadak agak beda.
Mungkin hanya aku yang merasa. Kulihat teman-temanku masih ceria sambil
bercanda.
Akhirnya,
kami keluar dari hutan. Mendadak mataku terbelalak karena fokus akan satu hal
bahwa tempat kami bernaung untuk menyiapkan mental sebelum memasuki hutan adalah
pemakaman. Aku tersadarkan dan seolah-olah memperoleh jawab atas
peristiwa-peristiwa “aneh” yang kualami. Dalam batin, segera aku pun “Nembung”, menyampaikan permohonan maaf
bila ada tingkah-laku yang tidak berkenan dalam pendakian ini. Aku pun
sampaikan doa bagi kedamaian arwah mereka yang dikuburkan di pemakaman
tersebut.
Tak
berapa lama kami pun tiba di beskem. Membeli makan, menikmatinya sambil
beristirahat. Tak menunda waktu kami pun lanjut pulang. Dalam bus aku masih
terngiang-ngiang dengan suara wanita yang pilu menyayat hati. 4 kali aku
mendengarnya. Beberapa teman mengalami kelelahan yang tidak wajar. Ah, biarlah
itu menjadi rahasia dalam kisahku. Hingga, akhirnya aku menuliskannya pada
pertengahan Juni 2020. Semoga pengalaman ini menjadi inspirasi bersama.
Terimakasih Merbabu untuk bijakmu, biarlah menjadi lentera dalam kegitanku yang lainnya. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar