Selasa, 09 Juni 2020

Pengalaman (cerita) Mistis I: “Jeritan Wanita Gunung Merbabu Via Wekas”


Pengalaman Mistis:
“Jeritan Wanita Gunung Merbabu Via Wekas”
Oleh: Heri Jimanto

Salam jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
            Sobat petualang, dalam situasi dunia yang baru dikunci Corona maka cerita-cerita terbaru dari petualangan jelas tidak ada. Kecuali mereka yang “Ora Manut”, mereka yang tidak ikut anjuran Pemerintah jelas akan mencari celah untuk bisa menjelajah. Memang dalam situasi seperti ini, hati cenderung mencari obat jenuh. Aktifitas manusia berubah total, bagi yang masih terikat dengan pola lama maka dengan sendirinya akan berusaha mengurai penat hati.
            Aku pun juga begitu, pengalaman masa lalu yang sering naik gunung menjadikan kaki terasa kaku, ingin dibuat gempor dan kelelahan lagi. Namun, apa daya aku hanyalah insan biasa yang mencoba menjadi anggota masyarakat taat agar situasi ini lekas terkendali dan bisa beraktifitas layaknya seperti hari-hari yang lalu.
            Demi mengurai rindu, album foto dalam komputer masih menjadi obat yang paling mujarab. Di balik foto yang tak bergerak ada kenangan yang menari lincah mengajak hadir kembali dalam peristiwa. Dari kilasan berjuta kisah, kali ini aku akan bercerita tetanng pengalaman mistis. Memang sudah banyak pendaki yang  berkisah. Aku awalnya mencoba menyimpan peristiwa-peristiwa unik itu tetap menjadi sebuah rahasia. Namun, dalam situasi seperti ini, kisah-kisah tentang yang “aneh” bisa saja menjadi pembelajaran bersama. Maka, dengan hati ihklas aku bagikan.
            Pernah kudengar nasehat dari pendaki kawakan (=kalau tidak mau disebut senior), “Dalam setiap pendakian, bila mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang aneh atau tidak wajar jangan sekali-kali diceritakan. Kisahkan lah itu setelah usai mendaki. Berilah jeda beberapa hari”. Sampai hari ini bila sesekali aku mengalami hal-hal yang “aneh” aku akan menjaganya agar tetap rahasia.
            Lama tidak menjelajah dan tidak berpetualang akan menjadikan blog pribadi yang kukelola nantinya berkarat. Biasanya bila tidak ada kisah baru yang dibagikan, maka tidak ada pengunjung atau jarang dikunjungi. Dari kenyataan ini, maka kuputuskan demi menjaga silahturahmi, demi terjalinnya relasi sesama petualang dalam dunia kata, aku rela membongkar kenangan-kenangan pengalaman “aneh” yang tidak biasa untuk kubagikan.
            Mungkin aku akan berbagai beberapa pengalaman. Aku tidak bermaksud mengganti tema blog yang awalnya hanya berisi catatan perjalanan menjadi blog yang bertema horror. Bila situasi telah pulih dan terkendali, kupastikan akan ada kisah-kisah petualangan yang mengasikkan untuk kulukis ulang dengan deretan kata.
***
            Kisah “aneh” pertama yang ingin kuceritakan adalah pengalaman pertama mendaki Gunung Merbabu via Wekas.
            Putaran waktu merajut kisah demi kisah. Peristiwa ini terjadi di akhir Januari 2005. Kendati lebih dari 15 tahun, namun masih gampang muncul di permukaan ingatan. Pada waktu itu aku berstatus mahasiswa. Anak kos-kosan. Bukan anggota mapala. Hanya sekedar berkegiatan untuk memiliki cerita di hari esok. Pendakian ini baru ketiga kali aku jalani dan pendakian ini juga baru pertama kali untuk ketinggian di atas 3.000 mdpl.
            Sekitar pukul 13.00 kami meninggalkan terminal Jombor, Yogjakarta mengarah ke utara. Melaju kadang pelan, kadang juga cepat dan sampailah di terminal Magelang. Saatnya berpindah armada jurusan Salatiga yang melewati Kopeng. Bus tanggung bergerak membawa kami berdelapan, cowok semua dan doyan-doyannya makan. Sesekali kami membongkar tas untuk mengais logistik perbekalan. Bukannya dimakan saat di jalur tetapi malah di bus. Sesampainya di pertigaan ke arah base camp Wekas, kami pun turun.
            Saat itu, belum ada angkutan menuju ke atas. Masih mengandalkan kebaikan orang, yaitu para sopir pembawa sayur. Satu jam kami menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda mobil yang lewat. Kami putuskan untuk berjalan sambil berharap tersusul mobil sayur yang bisa ditumpangi. Namun yang diharap tak juga memberi sinyal.
Hari menjelang gelap, kami masih tertatih di jalan tak beraspal, hanya batu yang tertata rapi, khas jalan-jalan area pegunungan. Belum sempat kami melihat rumah beskem apalagi menginjakkan kaki guna istirahat sejenak, mendadak mendung menggulung membuncah menjadi tarian air. Kami bergegas menuju salah satu rumah penduduk, merayu tuan rumah yang punya anak perawan nan cantik molek, “kembang desa” untuk memberi kami kesempatan berteduh di dalam rumah.
Satu jam menunggu hujan tak ada niat untuk berhenti. Akhirnya kami melobi tuan rumah untuk memasakkan bekal yang kami bawa, karena kami memang harus makan. Berdiang di depan tungku perapian sambil bercerita dengan tuan rumah, kami sesekali saling curi pandang untuk melirik anak tuan rumah, “Ayu tenan”, komentarku. Kulirik arloji, waktu menunjuk angka delapan dan hujan pun mulai merenggang, kami nekat berpamitan untuk melanjutkan langkah menuju beskem. Sekitar 20 menit kami berjalan, sampailah kami di beskem.
Di tahun-tahun ini, bahwa mendaki bisa berjumpa dengan rombongan lain adalah sebuah kemujuran. Apalagi pendakian yang tidak dieksekusi di hari malam libur nasional. Beskem lengang, tak ada yang berjaga, mungkin sudah tidur. Kami pun mengetuk, dibukakan dan dipersilahkan. Dari informasi yang kami kumpulkan diperoleh kepastian bahwa tidak ada yang menanjak, hanya rombongan kami. Juga tidak ada yang besoknya akan menanjak. Jelaslah hanya kami yang akan bercengkerama dengan keindahan Merbabu via Wekas ini.
Oh ya, hari ini adalah Kamis malam Jumat. Malam yang dikeramatkan untuk orang-orang tertentu. Tetapi kami hanya sekedar ingin berkunjung dan bercengkerama dengan keindahan alam Merbabu. Tidak lebih dari itu. Sekitar pukul 22.00 kami mulai bergerak, yang sebelumnya tentu telah kami awali dengan doa. Berjalan pelan menyusuri lorong jalan desa, ladang dan sampailah kami di perbatasan hutan. Kami berhenti sejenak untuk menyiapkan mental sebelum masuk ke area hutan. Tekad lebih terbajakan agar semuanya lancar. Dasar kami, anak-anak yang masih muda dan cowok semua kami lebih banyak berceloteh tidak jelas.
Gerbang hutan terlewati, namun belum 10 menit salah satu teman kami berteriak memohon untuk berhenti. Ada nada kepanikan, aku pun menjadi was-was. “Ada apa?” Tanya ketua rombongan. Temanku menjawab, “Kebelet”. Wajah tegangnya membuyarkan dongkol hati. Lalu ia pun  mencari singgasana untuk menuntaskan misi isi perutnya.
Kami pun melanjutkan kisah, kembali melangkah. Sungai kecil telah kami lewati, setapak terjal menyambut kami. Gagah langkah awal kami, mendadak ciut nyali dihajar curamnya tanjakan. Namun semangat menguatkan niat, hingga kami pun terus mampu melaju, menjejakkan tanah lapang bertuliskan pos satu.
Istirahat sejenak guna menata sisa tenaga. Sekitar pukl 00.00 kami kembali bergerak meninggalkan pos satu. Usai istirahat dua temanku yang terlihat paling gagah mendadak melemah dan sempoyongan. Langkahnya gontai. Aku mulai heran dan bertanya-tanya, “Harusnya setelah beristirahat tenaga akan berlimpah dan jalan akan lebih gagah. Namun, ini tidak demikian. Aku yang jadi sweeper pun menghampiri temanku dan menanyakan keadaanya. “Aku heran kok aku habis tenaga ya”, jawabnya. Segera kulihat tasnya yang hanya ada sebotol air, jaket dan mantol. Tidak lebih. Teman satu juga menyampaikan hal yang sama. Aku juga segera melihat dalam tasnya, beban bawaannya juga hampir sama. Harusnya tidak menjadi masalah.
Ada apakah ini, satu teman telah digerus pencernaannya, kini ada 2 teman yang kehilangan daya. Dari belakang aku berteriak untuk menghentikan langkah teman yang paling depan. Mereka pun berjalan pelan sambil mencari tempat lapang guna nyaman untuk rehat sejenak. Sekitar 10 menit kami berjalan dan semua telah genap berkumpul di bawah pohon. Belum juga aku menyampaikan rasa heranku, tiba-tiba angin bertiup kencang. Kabut pun datang, pandangan menjadi tak jelas, sorot senter tak begitu jauh menembusnya. Lalu, dengan segera hujan rintik pun datang.
Tak menunggu lama, kami segerga bergegas mengeluarkan mantol kelelawar (pada tahun-tahun ini, mantol kelelawar adalah alat serba bisa, untuk matras, selimut, tenda/ selter juga yang pasti adalah sebagai jas hujan). Kami tahu bersama, dalam situasi seperti ini, bila berhenti tanpa tenda maka akan membeku kedinginan. Kami putuskan pelan-pelan terus berjalan, supaya raga tetap hangat. Hujan rintik pelan membasahi bumi, setapak menjadi licin, kami tidak ciut nyali. Terus bergerak menembus asa.
Karena prinsip, “alon-alon asal melangkang”, kami pun tiba di pos 2 sekitar pukul 02.00. Tanah lapang yang cukup longgar ditambah ada sumber air, menjadikan kami beristirahat  agak lama. Kami pun membongkar tas, merebus air guna membuat minuman hangat. Kami duduk saling berdekatan, mengelilingi kompor sambil menikmati perbekalan.
Di lereng bukit sebelah kiri, tiba-tiba aku mendengar teriakan histeris. Karena suasana gunung yang lengang dan tengah malam, dengan sendirinya suara itu nyaring terdengar jelas. Aku melihat reaksi teman-temanku. Tak ada sesuatu pun. Hanya aku kah yang mendengar suara itu. Tak berani aku bertanya, karena ini adalah prinsip. Aku tunggu, kalau-kalau ada pengulangan teriakan. Satu menit menunggu, tidak ada apa-apa. Dua menit menyusul sampai sepuluh menit. Teman-temanku terlihat tidak ada perubahan sikap. Berarti hanya aku yang mendengar.
Aku pun diam tak bercerita.
Sebelum kami melanjutkan perjalan, teriakan itu muncul lagi. Aku memutar mata, melihat satu persatu reaksi teman-temanku, tidak ada tanda-tanda kalau mereka mendengar suara itu.
Ya sudahlah. Kami pun bergegas melanjutkan kisah. Aku tetap sebagai sweeper. Belum 10 menit meninggalkan pos 2, teriakan ketiga kembali terdengar dan reaksi teman-temanku tetap sama. Tak bisa dibohongi aku pun medadak ciut nyali, bulu kudukku pun berdiri. Ada kecemasan yang merasuk ke hati. Namun, dengan keteguhan nalar kucoba tepis itu semua. Kembali kaki melangkah, hingga sampailah kami dipertigaan yang mana kami harus belok ke kiri menuju puncak lembah (persimpangan jalur dengan Kopeng).
Dalam lelahku, sembari mengatur nafas. Kunikmati cerah cuaca.  Hening suasana fajar terpecahkan kerasnya teriakan hesteris yang menyayat hati. Terdengar sangat pilu. Ya, suara wanita itu muncul lagi. Kulihat reaksi ketujuh temanku tetap sama. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Hati bergetar merambat kecelah sendi hingga lutut kokohku mendadak goyah, hampir ambyar.
Kutegarkan hati dan tekad bahwa ini hanya “Krungon-krongonen”, seolah-olah mendengar suara pada hal aslinya tidak ada apa-apa. Kembali kaki melangkah mengikuti teman-teman yang berjalan pelan menuju puncak lembah. Sesampainya di persimpangan jalur Wekas-Kopeng, ke 4 temanku menyerah. Mereka mengatakan, “Selesailah sudah, cukup kami sampai di sini”. Aku mencoba menyemangati. Namun mereka bersikeras untuk berhenti dan cukup sampai di sini. Kulihat jam tanganku, waktu menunjuk pukul 04.30. Tinggal satu jam lagi matahari akan terbit. Semburat merah remang-remang sudah terlihat.
Kami pun membuat kesepakatan, 4 orang tinggal beristirahat dan menunggu sampai kami tiba. Lalu aku dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk lanjut ke puncak. Kami berjanji maksimal pukul 07.00 sudah tiba dan berkumpul kembali. Setapak yang mulai terlihat karena pekat malam telah berlalu memudahkan kami melangkah. Sesampainya di puncak “Geger (punuk) Sapi”, satu temanku menyerah dan tidak mau melangkah. Pada hal tinggal 50 meter tiba di persimpangan antara puncak Sharif dan Kenteng Songo. Di persimpangan itu sudah cukup kalau hanya untuk menikmati keindahan matahari terbit.
Kami pun berembuk, akhirnya diputuskan aku menemani teman yang tepar, sedangkan 2 teman lainnya lanjut. Aku dan satu teman memutuskan untuk mencari celah batu, berlindung dari hembusan angin, berselimutkan mantol dan lelaplah kami. Tidak sampai 30 menit, tiba-tiba ada suara, “Ayo bangun. Ayo lanjut”. Dua temanku yang mau menuju puncak memutuskan untuk cukup di pertigaan, mengabadikan moment sun ruse sambil sejenak istirahat. Lalu, turun lagi.
Berempat kami bergergas turun, temanku yang mengeluh lemas tak berdaya sudah pulih segar bugar. Lalu kami lepas bagai anak panah untuk segera menjumpa ke 4 teman yang ada di bawah. 40 meter aroma mie instan rebus telah membuai seluruh gunung. Naga dalam perutpun bangkit memberontak. Kaki makin ganas melesat. Sambutan ke 4 teman dengan senyum bahagia. Terlihat bugar dan sehat-sehat, sarapan telah siap. Kami pun sambil bersendau gurau menikmati hidangan pagi di hadapan semesta gunung dengan hembusan angin sepoi dan melihat barisan awan di kejahuan. Sungguh nikmat yang luar biasa.
Saat angka waktu bertengger di titik 08.00, kami pun memulai perjalanan turun. Sangat lancar. Kami gembira. Penuh semangat. Pos 2 terlewati tanpa kesusahan. Tidak beristirahat. Lanjut. Pos 1 juga terlewati dengan gampang. Kami masih bugar. Lanjut lagi. Usai menyeberangi sungai kecil, suasana mendadak agak beda. Mungkin hanya aku yang merasa. Kulihat teman-temanku masih ceria sambil bercanda.
Akhirnya, kami keluar dari hutan. Mendadak mataku terbelalak karena fokus akan satu hal bahwa tempat kami bernaung untuk menyiapkan mental sebelum memasuki hutan adalah pemakaman. Aku tersadarkan dan seolah-olah memperoleh jawab atas peristiwa-peristiwa “aneh” yang kualami. Dalam batin, segera aku pun “Nembung”, menyampaikan permohonan maaf bila ada tingkah-laku yang tidak berkenan dalam pendakian ini. Aku pun sampaikan doa bagi kedamaian arwah mereka yang dikuburkan di pemakaman tersebut.
Tak berapa lama kami pun tiba di beskem. Membeli makan, menikmatinya sambil beristirahat. Tak menunda waktu kami pun lanjut pulang. Dalam bus aku masih terngiang-ngiang dengan suara wanita yang pilu menyayat hati. 4 kali aku mendengarnya. Beberapa teman mengalami kelelahan yang tidak wajar. Ah, biarlah itu menjadi rahasia dalam kisahku. Hingga, akhirnya aku menuliskannya pada pertengahan Juni 2020. Semoga pengalaman ini menjadi inspirasi bersama. Terimakasih Merbabu untuk bijakmu, biarlah menjadi lentera dalam kegitanku  yang lainnya. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar