Oleh:
Heri
Berbekal
satu tekat untuk ambil bagian dalam suasana sakral saudara-saudaraku umat
Budha, kutetapkan hari untuk menyatukan hati dalam hening pegunungan Lawu[1].
Aku ingin berbagai proses menuju ke Yang Ilahi dalam khusuk hening hari raya
waisak. Rencana pendakian telah kususun rapi, rapat, padat dan tersistematis.
Dua minggu cukup untuk menyusun langkah, baik persiapan fisik, mental maupun
dana yang akan menopangnya.
Mulanya banyak yang berminat, kemudian menyusul kesepakatan
untuk mendaki bersama. Tiba hari yang ditentukan, jumlah aggota yang pasti
berangkat hanya empat orang. Mereka adalah aku pribadi (Heri yang sering dipanggil “pak”,
walau aku sendiri tidak nyaman dengan
panggilan itu. Namun mereka yang memanggil seperti itu telah merasa nyaman.
Maka aku tidak akan mengganggu kenyamanan para sahabat), lalu ada istriku
(Regina Nunuk), dua teman yang lain adalah Thomas Agung (yang kelihatan lebih bangga
dipanggil Timbul) dan Yudi (aktor penguat dalam pendanaan kegiatan ini).
Jam enam pagi, di hari Sabtu, 25 Mei 2013 ketika saudara
Budhis telah larut dalam doa merayakan Waisak, kulajukan sepeda motor menuju base camp (SMA Santo Yosef Surakarta
merupakan sekolah tempatku mengais rejeki). Tiba di sana, Timbul dan Yudi belum
terlihat. Maka, aku putuskan untuk mengisi perut. Aku makan dengan oseng pare
dan tempe goreng sedangkan istriku menikmati soto dengan tempe goreng juga. Usai
sarapan dan sambil menikmati segelas kopi, munculah Yudi kemudian tidak berapa
lama Timbul telah menyusul. Jam tujuh pagi, akhirnya kami berempat meninggakan
Solo menuju Karangpandan, guna melengkapi logistik perbekalan.
Satu jam perjalanan, sampailah kami di Karangpandan. Di sini
adalah tempat terakhir untuk belanja logistik dan di sini segala perlengkapan
dapat terpenuhi. Aku sempat kecewa karena bakso instan yang kurencanakan
sebagai menu istimewa sekaligus menu spesial tidak ada stoknya. Sebagai
pengobat rasa kecewa kubeli jeruk tiga kilo. Tidak ada niatan untuk jualan jeruk sepanjang pendakian
tetapi aku yakin bahwa jeruk selain serat tinggi untuk membantu alat pencernaan
agar tidak cepat kram dan gangguan pencernaan lainnya juga kaya vitamin C yang berguna untuk meperkuat daya
imun tubuh. Tiga kilo jeruk untuk empat orang, aku rasa cukup.
Setelah dirasa cukup dalam urusan belanja perbekalan,
perjalanan dilanjutkan lagi menuju candi Cetho, sekaligus beskem pendakian[2].
Hanya butuh watu 45 menit untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan, mata
dimanjakan dengan indahnya luas perkebunan teh. Ratusan hektar kebun teh, sangat-sangat indah karena tertata rapi, hijau dan permai. Jalan yang berliku, bekelok,
menanjak dengan tepian jalan yang masih perawan, belum banyak rumah-rumah
penduduk, menjadikan mata langsung menatap jurang, curam jalanan sehingga
nyalipun tiba-tiba menciut. Rasa lega dan bangga terbayar ketika kami disambut
ramah senyum penduduk penjaga pintu masuk pendakian. Beskem Cetho masih sangat
sepi. Bahkan retribusi pendakianpun belum ada. Sehingga kami dalam pendakian
ini, tanpa asuransi dan jaminan. Di beskem ini, sudah ada tikar untuk
pembaringan guna mengistirahatkan tubuh yang capek karena perjalanan. Kalau yang
menghendaki makan dengan menu istimewa pun sudah tersedia yaitu lontong dengan
lauk sate kelinci atau sate ayam.
Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga beskem, tepat jam 09.30
kami memulai pendakian. Mengawali misi ini, kami sangat santai karena
sesungguhnya kami sedang terpesona. Kami disajikan warisan budaya Majapahit[3],
sebuah candi yang masih terjaga keasriannya. Candi Cetho ini, sampai sekarang
masih dipergunakan untuk tempat sembahyang. Waktu itu, aku masih mencium harum
bau dupa-ratus dan kemenyan yang menghantar sanubari untuk sejenak hening
menyadari kekerdilan di hadapan Sang Pencipta.
Sekitar seperempat jam
meninggalkan candi Cetho kami dipertemukan dengan warisan budaya Majapahit yang
lainnya yaitu, candi Ketek. Di sini kamipun menyempatkan diri untuk
berfoto-foto, sebuah langkah sederhana untuk mensejarahkan kehidupan.
Menyisir
jalan setapak sebelah kiri candi Ketek, kami bertemu dengan pesimpangan menuju
ladang penduduk. Kami memilih jalur kanan. Jalanan setapak yang diselimuti
belukar telah menyambut kami. Jarangnya pendaki melewati jalur inilah yang
menyebabkan semak-belukar berhasil menutup lagi jalanan tersebut. Nafas mulai
tersengal, karena tenaga ganda yang harus kami keluarkan, menopang beban
perbekalan dan sekaligus mengayunkan langkah untuk menyibak belukar. Tepat satu
jam dari Cetho, kami tiba di pos satu. Pos satu ini, hayalah sebuah selter,
perhentian sementara. Di sini ada bedeng sederhana, dari bekas-bekas spanduk
yang mulai compang-camping. Di depan pos I lumayan untuk menikmati panorama
alam, dengan catatan: kalau tidak ada kabut. Kami istirahat sebentar dan menikmati
bekal seadanya.
Rencana
jam 11 untuk melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya terpaksa tertunda.
Setelah kami siap berjalan, hujanpun turun dengan santainya. Seolah mengejek
kami untuk tidak meneruskan laju. 15 menit menunggu dan hujanpun berhenti.
Dengan segera kami meninggalkan pos I. Baru lima menit berjalan, hujan turun
dengan lebat dan derasnya. Tanpa toleransi. Segera kami pun mengenakan seragam anti air. Tetapi tetap
basah juga. Sepatu water proof pun
menjadi tandon air, sehingga kaki bagaikan sengaja direndam, air masuk dan
tidak mau keluar lagi. Berjalan dalam situasi belukar yang lebat, hujan deras,
setapak berubah menjadi saluran air, memaksa kami untuk berloba mencium tanah dan
perdu. Kami bergiliran untuk terjatuh dan terjatuh.perlombaan itu aku yakin yang menang adalah Yudi, karena ia yang paing sering jatuh (gara-gara sepatu baru).
Beban
berat yag menindih pundakku kian terasa berat, aku yakin berat tas kerirku
berubah menjadi 25 kiloan, karena SB telah berubah menjadi resapan air. Langkah
tertatih, pelan dan sempoyongan. Kendati demikian kami tetap yakin bahwa ketika
kaki tetap mau melagkah maka perjalanan itu pun akan selesai, karena perjalanan
ribuan kilo mesti dilewati dengan langkah demi langkah. Akhirnya, jam 12.30
kami tiba di pos II[4].
Aku dengan istriku tiba lebih awal, sedangan Yudi harus menyeret kakinya,
karena telah kram. Perjalanan semakin melambat. Yudi ditemani oleh Timbul. Mereka berdua, terus berteriak
untuk memberi kode, aku dan istriku pun senantiasa menyambut teriakan mereka
dan kami pun meninggalkan jejak yang tidak mungkin keliru, yaitu kulit jeruk (sisa asupan nutrisi, gisi dan energi).
Nafas
kami memburu oksigen untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Maka kami putuskan untuk
istirahat beberapa menit, sambil menunggu hujan mereda. 20 menit kami menikmati
suasana pos II, senda gurau, canda tawa menjadi pelarian atas raga yang mulai
lelah. Tepat jam 13.00, kami melanjutkan petualangan. Ketidaktahuan menjadi
kekuatan kami untuk bersandar pada solidaritas dan persaudaraan. Medan
pendakian semakin menanjak. Untungnya hutan masih terjaga, sehingga terasa
bagai dalam naungan payung keagungan. Keindahan itu diperkuat dengan taburan
bunga hutan warna-warni. Separo medan tempur dari pos II menuju pos III
merupakan sisa kebakaran. Namun pepohonan yang meranggas kering dan hitam itu
telah membangunkan kehidupan baru. Perdu, semak dan tanaman hutan lainnya
tumbuh dengan suburnya. Saat ini, mereka baru berlomba memamerkan keindahan
kembangnya.
Sesekali
kami terkapar, berbaring di atas tanah basah karena raga tak lagi mampu
bekerjasama dengan niat. 1,5 jam cukup bagi kami untuk mengalami pergulatan
dengan keletihan, penat, keterbatasan tenaga dan situasi alam yang kurang
bersahabat. Jalanan yang samar karena kabut senatiasa menemani perjalanan dan
juga rapat perdu-belukar menutup setapak, licin, genangan-genangan air yang
terus memaksa kami untuk jatuh mencium bumi menjadikan kami kadang surut
nyali, hilang kekuatan dan gairah motivasi. Akhirnya, rasa lega memenuhi dada
kami ketika samar-samar atap bangunan pos III (cemoro dowo) mulai terlihat. Di
sini terdapat shelter sederhana yang beratapkan seng. Bagi mereka yang telah
terkuras tenaganya dan kehilangan daya untuk terus melangkah, mereka dapat beristirahat secara nyaman karena di sini cukup
untuk mendirikan 2 – 3 tenda.
Kami beristirahat cukup lama. Di pos III ini, kami membuka
perbekalan. Sejenak kami melupakan raga yang telah habis tenaga. Di sini kami
mulai memasak. Resep sederhana tetapi terasa bagai racikan koki kelas
internasional, mie rebus dan mie goreng dengan taburan bawang oseng juga sedikit
sawi sebagai garnisnya. Segelas kopi susu untuk Timbul, segelas susu jahe untuk
melegakkan dahaga Yudi, istriku menikmati air putih sedang aku tetap dengan
selera tradisi, kopi hitam dengan sedikit gula. Pahit lebih nikmat.
Satu jam berlalu dengan kegiatan masak-memasak juga waktu
untuk menikmatinya. Menjelang niat hati untuk melanjutkan langkah, hujan turun
dengan lebatnya. Kami mengurungkan niat dan dengan segera membuat perapian agar
badan terjaga kehangatannya. Menikmati suasana hutan yang dihiasai dengan lebat
tarian hujan ditambah selimut tebal kabut pegunungan. Suasana menjadi sangat
eksotis. Tidak terasa dua jam kami beristirahat di pos III ini, hujan reda dan
tepat pukul 16.30 kami pun melanjutkan langkah.
Tanjakkan mulai terasa makin berat dan curam. Keadaan hutan
masih sama, meranggas, kering dan hitam. Namun ada pula pohon-pohon cemara
maupun akasia hutan yang besar-besar masih bertahan dan kelihatan sangat gagah.
Nafas mulai tersengal kembali. Setiap nafas kami berburu oksigen, kami terhenti
sejenak untuk menikmati panorama jurang dan hutan di sisi kanan, nampak sangat
indah, agung dan mempesona. Pos III menuju pos IV tidak membutuhkan waktu lama,
hanya 45 menit. Kami tiba di pos IV (Pengik)[5]
tepat pukul 17.15. Kemudian kami beristirahat selama 15 menit. Suasana mulai
gelap, maka kami melanjutkan petualangan.
Baru beberapa langkah meninggalkan pos IV, hujan kembali mengguyur langkah kami.
Kali ini hujan begitu lebatnya. Kabut mulai meragkak naik, menutup jarak
padang. Kami pun merapat dan saling mendekat agar kami tidak tercecer. Di
bagian atas perbukitan nampak kilatan petir menyambar-nyambar yang semakin
menyiutkan nyali. 45 menit meninggalkan pos IV kami berjumpa dengan dua pohon
cemara kembar yang begitu besar. Di sini terkenal dengan sebutan gerbang alam gaib. Maka, kehatian-hatian dan sikap
rendah hati untuk mengandalkan kekuatan Ilahi menjadi sangat penting. Medan
makin menanjak curam. Namun kami bertekat tak kan kalah dengan kerapuhan keadaan.
30 menit meninggalkan cemoro kembar, kami menemukan medan
datar, savana. Sayang keindahan alam ini tak mampu kami nikmati secara sempurna. Suasana malam
dengan selimut kabut tebal diperparah dengan hujan yang terus tertumpah
menghalangi pandangan mata. 15 menit berlalu akhirnya kami menemukan pos V
(Bulak Peperangan). Di pos ini, aku sempatkan untuk melihat jam tanganku dan
waktu menunjuk pukul 19.00. Yudi dan Timbul jauh tertinggal di belakang. Aku
dan istriku cukup lama menunggunya. Dari pos ini, kami berempat bergantian
untuk menjadi personel yang paling lemah. Kami mengeluh, kami merengek. Tetapi
kami masih memiliki tekat untuk terus melangkah menuju pos Hargo Dalem.
Mulai pos ini, aku sudah tidak lagi menyempatkan diri untuk
melirik arloji. Yang ada dikepalaku hanyalah “segera tiba, mendirikan tenda,
memasak dan istirahat”. Savana dan savana. Hanya padang rumput yang terlihat. Sesekali
diselingi tanjakan kecil. Hati makin ciut ketika kilatan petir membantu kami
untuk melihat dan menyadari bahwa setapak tidak berujung. Nampak sangat-sangat
jauh. Beberapa kali, ketika aku melihat genangan air yang melimpah, aku menawarkan
untuk segera mendirikan tenda. Tak satupun yang menyambut tawaranku. Mereka
tetap kukuh dengan tekatnya, “meskipun, walaupun dan bagaimanapun kita harus
sampai puncak Hargo Dalem”.
Tekat itulah yang akhirnya behasil mengalahkan kelemahan
raga. Hingga akhirnya, kami sampai di pasar Dieng (setan). Tempat ini ditandai dengan
hutan cantigi dan serakan bebatuan. Di sini juga ada banyak tumpukan batu-batu
yang tersusun rapi, bagaikan tugu-tugu kecil yang menyerupai stupa. Di tempat
ini, sangat mistis. Kalau tidak hati-hati, pendaki dapat tersesat. Kamipun sempat
kebingungan untuk mencari rute yang menghantar ke jalur yang benar. Untungnya
terang bulan purnama yang muncul dengan malu-malu setelah hujan lebat bercampur petir reda, membantu
kami untuk menemukan titik tuju, yaitu puncak.
Indahnya
panorama pegunungan di tengah malam yang nampak remang-remang di bawah naungan
cahaya purnama menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan
terkalahkan dengan seketika. Kami berempat bergerak cepat meninggalkan
kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang ditandai dengan tali rafiah usang.
Tanda itu kami yakini sebagai medan yang benar. Hingga akhirnya, tepat pukul
21.30 kami tiba di puncak Hargo Dalem.
Rasa
senang, gembira dan bahagia menyelimuti hati dan jiwa kami. Namun rasa itu tidak
bertahan lama, karena kenyataannya raga kami telah diujung final. Istriku
menggigil kedinginan, ia hampir hipotermia, namun motivasi yang kuat menjadikan
ia mampu bertahan hingga tenda selesai aku dirikan. Timbul memutuskan untuk
beristirahat di warung makannya mbok Yem. Sedangkan Yudi dengan semangat
membuka tenda barunya, menempati serta menikmatinya seorang diri. Malam kian
larut, aku masak mie rebus dengan telur, membuat susu jahe, menikmati dengan
istriku. Sedangkan Yudi dan Timbul hanya makan satu porsi berdua. Malam menggiring raga untuk segera lelap dalam istirahat. Pukul 23.00 aku,
istriku, Yudi dan Timbul membaringkan
diri untuk memulihkan tenaga dalam dingin dekapan kabut malam ketinggian hargo
dalem.
Malam
telah berlalu meninggalkan kenangan karena istirahat yang menyegarkan. Pagi tepat
pukul 04.30 aku bangun untuk menyaksikan indah panorama sunrise. Namun, belum juga aku beranjak dari kantung tidurku,
kembali langit meneteskan air matanya. Hujan kembali menguyur puncak Lawu. Acara
untuk menikmati sunrise pun terpaksa
diurungkan. Bukan karena malas tetapi karena cuaca dan situasi yang tidak
mengijinkan.
Lelah
raga dengan balutan sejuk hawa pegunungan dan situasi hujan menjadikanku ingin
memperpanjang usia tidur. Namun, pemberontakan isi perut menjadikanku
berinisiatif untuk segera keluar dari tenda dan mencari tempat persembunyian agar
si pemberontak secepat mungkin dapat dijinakkan. Pagi ini, kami hanya masak air
untuk membuat minuman hangat. Sedangkan makan utamanya kami pesan dari warung
Mbok Yem, berupa nasi pecel, lauk telur dadar. Sungguh nikmat dan sangat
berkesan, “warung di puncak gunung”.
Pelan
dan pasti, matahari bersinar dengan cerahnya. Mentari pagi ini, berhasil
menghalau gumpalan awan hitam dan menyingkirkan kabut putih pegunungan. Aku dan
Yudi bertekat untuk mendaratkan kaki di ketinggian Hargo Dumilah sebagai puncak
tertinggi dari gugusan pegunungan Lawu (3.265 mdpl). Sedangkan istriku dan
Timbul lebih senang menunggu di puncak Hargo Dalem, sebagai puncak mistis,
karena di sinilah Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit diyaini mengalami moksa. Di puncak ini banyak sekali pejiarah dan pelaku agama kejawen
yang melakukan puasa serta ritual keagamaan.
Aku
dan Yudi tidak membutuhkan waktu lama, hanya 20 menit untuk meninggalkan Hargo
Dalem dan sampai di puncak Hargo Dumilah. Di sana kami berdua menikmati
keagungan ciptaan Tuhan. Lalu kami mengabadikan kenangan itu melalui rekaman kamera
digital.
Usai
menikmati keindahan panorama alam dari ketinggian Hargo Dumilah, aku dan Yudi
turun kembali ke Hargo Dalem. Walau masih ingin dan enggan meninggalkan suasana
itu. Tetapi bagaimanapun aku dan timku harus turun untuk terus berkarya, menyebarkan
tentang keagungan sang pencipta dalam melukiskan keindahan.
Bernaung
di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar
tenda dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah. Yudi dan Timbul tidak
lagi sanggup untuk menyusuri setapak yang akan menghantar ke candi Cetho. Mereka
mengusulkan untuk menempuh jalur turun lewat Cemorosewu. Sebenarnya aku
agak keberatan. Tetapi kami tidak berdebat. Saling memahami kekuatan dan
kelemahan teman seperjuangan adalah cara untuk membentuk kelompok yang
sungguh-sungguh solid.
Kami
sempatkan untuk meninggalkan satu kenangan di puncak ini, yaitu foto berempat.
Pukul
10.00 kami meninggalkan Hargo Dalem. Melangkahkan kaki dengan keyakinan penuh
bahwa sore ini kami akan segera bertemu dengan yang merindu dan yang senantiasa
mencintai kami. Menyusuri setapak yang lebar, bersih dan jelas sangat kontras
dengan jalur Cetho. Kami bertemu dan kemudian meninggalkan dua bangunan yang
penting di Lawu, yaitu pendopo Hargo Dumiling dan sendang Drajat. Sebagai pengganti
rasa rindu untuk menikmati hamparan savana jalur Cetho yang sangat luas, kami mengabadikan
sepetak savana di jalus Cemorosewu.
Kaki-kaki
kami yang mulai koyak terus melangkah meninggalkan puncak menuju lembah. Jalanan
terjal yang menyajikan panorama alam yang tidak mudah dilukiskan dengan kata,
menjadikan kami terus berdecak dan diselimuti suasana kekaguman. Bebatuan kasar
yang tertata menghantar kaki-kaki kami semakin jauh meninggalkan puncak. Usai beristirahat
di pos III, kembali kami diguyur hujan. Tidak tanggung-tanggung, hujan yang
sangat lebat. Aku merasa pundakku kian tidak berasa. Pundakku telah mati rasa
karena beban yang terlalu berat. Aku masih ingat dengan komentar pendaki lain, “mas,
bawa kulkas ya?” Aku hanya tersenyum mendengar komentar itu. Semangat yang
berkobar-kobar, mengalahkan dinginnya suasana dan berhasil membakar gairah
untuk segera sampai di beskem Cemorosewu. Tepat pukul 15.00 kami menginjakkan
kaki di tempat yag kami rindu. Sejenak istirahat, membersihkan badan dan segera
menyantap soto hangat dengan lauk tempe goreng khas Cemorosewu.
Perjalanan
tidak berakhir di sini. Kami masih punya tanggungan untuk mengambil sepeda motor
di beskem Cetho. Jalur kendaraan umum tidak ada yang menuju ke sana. Akhirnya, mencarter
mobil adalah solusinya. Proses tawar-menawar yang alotpun terjadi. Dan akhirnya, Timbul sebagai negosiator berhasil mengambil kesepakatan:
200 ribu rupiah harus kami keluarkan agar sampai di Cetho.
16.20
kami menuju Cetho dan tepat pukul 17.30 kami tiba di sana. Istirahat sejenak dan
berbagi pengalaman dengan pendaki lain yang berhasil menaiki serta menuruni
jalur Cetho menjadikan suasana dan pengalaman petualangan ini kian berkesan. Suasana
malam mulai menyelimuti perkampungan Cetho. Akhirnya, kami putuskan untuk
segera melanjutkan kisah dengan meninggalkan cerita keabadian. 18.00 selamat
tinggal Cetho dan kami rindu untuk kembali. Bila Tuhan menghendaki maka tunggulah
kami.
[1] Gunung ini ada di perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan ketinggian 3265 Mdpl, gunung ini sangat
menantang untuk dijelajahi. Pendakian Gunung Lawu dapat melewati beberapa
jalur, antara lain jalur Cemoro Kandang, Candi Cetho, Tambak ( Jawa Tengah )
serta Cemoro Sewu dan Jogorogo ( Jawa Timur ).
[2] Candi
Cetho terletak di ketinggian 1400 mdpl dan secara administratif berada di
Dukuh Cetho, Desa Gemeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah.
Desa Gemeng memiliki potensi wisata yang besar karena banyak terdapat candi dan
juga pesona kebun teh yang memiliki keunikan tersendiri.
[3] Sebagai tempat pemujaan Dewa
Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus yang menjadi symbol Siwa.
Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya dan susunan batu berbentuk
lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama berbentuk trapesium berada
di teras paling atas.
[4] Pos II ini
sering disebut sebagai pos Brak Seng. Pendakian dari pos I menuju pos II ini,
akan menyusuri punggungan yang makin lama makin menanjak, walaupun tidak
seberapa terjal. Dengan dihiasi tanaman arbei hutan di sepanjang perjalanan.
Hutan dijalur ini semakin rapat sehingga perjalanan tidak terlalu panas. Pos II
hayalah sebuah shelter yang mirip gubug yang terbuat dari bekas spanduk yang
mulai robek-robek. Pos II ini, di apit oleh dua buah pohon yang menjulang
tinggi, sehingga sangat rindang untuk beristirahat. Di sini, para pendaki dapat
mendirikan sekitar 2 -3 tenda.
[5] Di pos
ini, telah dibangun pondok sederhana dari terpal dan spanduk bekas. Terlihat
masih bagus dan dapat digunakan sebagai tempat bermalam jika pendaki tidak
membawa tenda. Di sekitar selter tersebut juga memungkinkan untuk didirikan 3-4
tenda.