Jumat, 03 Juli 2020

Pengalaman (Cerita) Mistis IV: “Penampakan Makhluk Gaib Gunung Argopuro”


Pengalaman (Cerita) Mistis IV:
“Penampakan Makhluk Gaib Gunung Argopuro”
Oleh: Heri Jimanto

Salam jumpa sobat petualang. Bertemu kembali dalam sebuah kisah.
            Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam pendakian Gunung Argopuro. Samar ingatku kembali pada masa lalu. Mencoba membolak-balik kenangan bersama cerita hidup. Adanya peristiwa “aneh” dalam petualangan merupakan bumbu yang menguatkan rasa. Pengalaman ini terjadi di penghujung Juli 2008. Aku tidak ingin menekankan tentang detail jalur karena tentu ada banyak perbedaan dengan situasi yang sekarang. Namun, yang paling pokok untuk aku kisahkan adalah adanya peristiwa-peristiwa “aneh” selama pendakian.
Argopuro merupakan salah satu gunung yang terdapat di daerah  Jawa Timur yang masuk di dalam deretan pegunungan Hyang membentang antara kabupaten Probolinggo-Situbondo. Gunung ini memiliki ketinggian 3.088 mdpl. Terdapat 2 puncak yang terkenal, yaitu puncak Rengganis dan yang tertinggi adalah puncak Argopura. Gunung ini juga terkenal dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. 
Samar ingatanku pada tanggal 22 Juli 2008 sekitar pukul 22.00, aku dan temanku (hanya berdua) meninggalkan Terminal Giwangan Yogjakarta untuk menuju Surabaya. Lelah akibat aktifitas sepanjang hari menghantarku lelap di bangku belakang Bus Sumber Rahayu. Kembali, pada kebiasaan bila bepergian dengan bus, aku hanya mengandalkan teman. Ia membangunkan aku dan setengah menyeret karena masih lengket mataku untuk pindah Bus AKAS jurusan Banyuwangi. Setengah sadar aku mendarat di jok belakang. Tas aku letakkan untuk mengganjal kaki, lalu kembali aku terlelap.

23 Juli 2008: “Susahnya menemukan danau Taman Hidup”
Pagi menjelang, sinar mata hari masih malu-malu, kami telah tiba di terminal besar Probolinggo. Setelah turun, kami mencari informasi untuk menuju Bremi. Di sini, kami baru tahu bahwa kami salah turun, harusnya turun di terminal kecil. Kalau tidak salah namanya Krakasan, dari sana nanti baru menuju Krucil. Lalu, kami pun diarahkan untuk ikut angkot sampai ke Krakasan. Setibanya di terminal. Terlihat suasana masih sangat sepi, karena memang terminalnya kecil. Lalu, kami pun mencari informasi tentang bus yang akan menuju ke Krucil. Kami pun mendapat info kalau bus paling pagi akan berangkat jam 7, tetapi tergantung penumpang, kalau penumpang terlalu sedikit bisa saja akan molor.
Lalu, kami putuskan untuk mencari sarapan di seberang jalan. Kiranya menu nasi rawon akan terasa amat sangat nikmat. Mantap.
Usai sarapan, bus yang kami tunggu belum ada tanda-tanda muncul dan suasana terminal masih tetap sama, sepi. Satu jam berlalu, belum ada tanda. Rasa was-was mulai menyusup, ada kekawatiran jangan-jangan bus nya tidak jalan dsb. Lalu sekitar pukul 07.30, bus pun tiba. Tidak menunda waktu, kami pun bergegas menanyakan kepastian jurusan dari bus tersebut, memang akan menuju ke Krucil. “Mo nanjak ya?” Tanya kondektur. Biasanya ada temannya, tapi kelihatannya ini, hanya masnya berdua. Lama menunggu, kami masing-masing menikmati rasa kantuk dan penat perjalanan. Lalu sekitar pukul 08.30 bus pun jalan. Medan pegunungan yang naik-turun dan ada kelokan-kelokan membuat mata tak betah nyaman dalam lelap.
Sekitar pukul 11.30, kami pun tiba di Krucil. Turun dari bus Bermaksud meminta perijinan ke polsek, tetapi tutup. Polseknya kosong, mungkin sedang shalat. Lalu kami pun bertanya ke penduduk, ternyata polsek memang kosong tidak ada petugasnya. Lalu kami diarahkan menuju beskem, yang tidak jauh dari polsek. Setibanya di beskem, ternyata juga kosong. Pintu beskem tertutup rapat. Padahal, kami berencana untuk istirahat, tidur-tidur nyenyak di beskem, baru keesokannya nanjak.

beskem tutup
Untuk mengatasi kepanikan dan keraguan, kami pun mencari informasi ke penduduk yang terdekat dengan beskem. Lalu, kami pun menjadi tahu bahwa beskem memang sepi, jalur Bremi masih jarang ada yang nanjak, kalaupun ada itu saat pulang. Kebanyakan pendaki nanjak lewat Baderan-Besuki dan turun lewat Bremi. Sangat langka ada pendaki yang memulainya dari Bremi, maka beskem sering ditinggalkan. Terlihat pendaki terakhir yang turun sekitar 2 minggu yang lalu. Oleh penduduk yang kami tanyai, kami disarankan untuk jalan saja, tidak usah ijin. Bila beruntung akan bertemu dengan penduduk yang pergi atu pulang mancing di Taman Hidup.
trimakasih atas kemurahannya

Dari penggalan informasi yang samar itu, aku berpikir, bahwa perjalanan ini akan ramai. Karena banyak warga desa yang pergi memancing di Taman Hidup. Lalu, kami putuskan untuk menyusuri setapak perkebunan. Setibanya di persimpangan, kami agak ragu. Lalu kami putuskan untuk memasak dulu, karena sekitar beskem tidak ada warung. Agar ada tenaga untuk melanjutkan pendakian. Sambil menunggu penduduk yang lewat demi mendapat arah yang jelas, kami pun memasak untuk makan siang. Makan telah usai, peking ulang dan yang ditunggu tak juga terlihat. Rasa kantuk mulai menghampiri, tiba-tiba ada penduduk yang lewat. Lalu kami pun memperoleh arah yang jelas.
masak di gubug, tengah ladang

Selepas ladang, kami pun memasuki hutan damar. Setapak terlihat jelas, karena memang banyak aktifitas warga. Lalu, kami memasuki hutan yang lebat. Setapak masih sangat jelas, tetapi kami tidak bertemu siapapun. Harapan ketemu warga yang mancing ternyata tidak terpenuhi. Kami terus jalan, kendati raga lelah karena memang belum istirahat selepas perjalanan jauh. Pelan dan pasti kami terus merambati setapak terjal yang menanjak. Hingga kami pun tiba di puncak bukit. Malam telah menyelimuti hutan. Gelap. Untungnya setapak masih jelas terlihat. Lalu kami pun menuruni bukit, menandakan sebentar lagi kami akan tiba di danau Taman Hidup. Kami akan bermalam di sana.

kawasan hutan damar

Satu jam meninggalkan puncak bukit, yang menurut informasi dari situ taman tidak lagi jauh. Kami masih berlanjut jalan saja. Namun, pertanda taman tidak juga terlihat. Kami pun mulai menyadari kalau ada yang kami lewatkan. Lalu, kami putuskan untuk balik arah. Satu jam berlalu, belum juga ada tanda-tanda taman ketemu. Balik lagi dan lagi tidak ketemu. Sekitar tiga jam kami hanya bolak-balik untuk menemukan setapak menuju taman. Akhirnya, kami hanya memusatkan perhatian pada kedalaman jiwa dan hati untuk kontak dengan Yang Ilahi, lalu tiba-tiba persimpangan setapak terlihat, kami pun memilih ke jalur yang belum kami tapaki dan hanya sekitar 200 m kami pun tiba di Taman Hidup. Bongkar tas, mendirikan tenda, bikin minuman hangat, makan kue dan kami pun lelap dalam kelelahan.
tenda ternaungi kabut

24 Juli 2008: “Keris menyala putih di atas danau Taman Hidup”
Belum juga fajar menyingsing untuk bergilir jaga pada hari yang ranum, lama makin mendekat suara makin jelas ada binatang yang mengendus. Mata masih lengket dan badan seolah tak bertulang, lemas belum ada tenaga, namun karena suara dari mahkluk asing terus berputar di sekeliling tenda, maka naluri waspada mengalahkan segalanya. Ketika kami berjaga, suara-suara itu pun menjauh. Ketika sejenak lelap, suara-suara itu muncul. Aku hanya menyimpulkan kalau suara-suara itu berasal dari babi atau tikus hutan.

Suara yang dating dan pergi itu bagiku membuat tak nyaman istirahatku. Maka, dinginnya cuaca dini hari di Taman Hidup aku abaikan. Kubuka pintu tenda, sorot senter aku tebar keseluruh sudut area. Tak terlihat binatang sebagai sumber suara. Tak jauh dari tenda kulihat tumpukan kayu bekas api unggun. Naluri survival pun muncul. Maka, aku pun bergegas ke luar tenda dan membuat api. Tak berapa lama, api pun jadi, udara menjadi hangat dan pekat malam pun pudar. Lalu, aku kembali dalam tenda dan nyenyak dalam dekapan damai Taman Hidup.


Saat pagi menjelma, kami pun bangun dengan malu-malu. Ada lelah yang masih menguasai raga, kami pun bangun dengan ragu. Kupaksa berjaga dan membuat sarapan, menu spesial dengan bumbu rahasia menjelma menjadi aneka masakan. Segera makan dengan suasana ternikmat. Perut telah kenyang, tenaga telah memulih, saatnya untuk bongkar tenda, lalu peking.


makanan berlimpah
Sebelum tas kerir kami angkat di pundak, tiba-tiba temanku bilang, “Rasane kok malas banget ya. Gimana kalau tambah satu malam di sini. Sayangkan, suasana dan keindahan alam sebaik ini bila langsung ditinggalkan. Lagian, kita memang belum istirahat. Harusnya hari ini kita baru jalan dari beskem”. “Setuju”, sahutkan antusias. Sambil tertawa-tawa dengan candaan kami bongkar lagi kerir dan mendirikan ulang tenda di tempat yang sama. Dan kami pun melanjutkan kegiatan dengan mimpi.

Siang yang telah terlewati bersama tidur nyenyak menjadikan raga penuh tenaga. Temanku masih nyaman dengan tidurnya. Ia memilih nyenyak di bawah naungan lebat pepohonan pinggir danau sisi barat, tak jauh dari tenda. Raga yang bugar menuntunku untuk beraktifitas. Kupilih untuk jalan keliling danau. Baru sepertiga perjalanan mataku terbelalak, saat di balik rimbun semak terlihat segerombolan celeng menatapku ganas, mereka memamerkan taringnya yang tajam dan panjang siap merobek musuh. Aku berpikir, “jangan-jangan diriku dikategorikan mangsa”, maka dengan segera aku pun mundur alon-alon. Mau teriak memanggil teman, jelas tidak mungkin karena jarak yang cukup jauh.
wedi ro celeng
Segera aku bergegas mencari teman dan membangunkannya. Lalu aku ceritakan kalau habis melihat segerombolan celeng sedang minum di bibir danau. Di luar dugaanku, ia malah antusias untuk memburu celeng-celeng tersebut. “Wah, cocok itu, bisa buat lauk dan bekal hari-hari berikutnya, ayo kita kejar”. Lalu, kami berdua pun menuju ke arah celeng yang sedang minum. Setibanya di tempat celeng-celeng minum, mereka sudah tidak ada. Lalu kami lanjutkan jalan-jalan sore untuk mengelilingi danau sampai tuntas, sampai kami kembali ke titik awal yaitu  tenda tercinta.
bawa parang tebas
Terlihat samar cahaya siang mulai meredup, pertanda sinar mentari telah lelah dan akan berganti bintang untuk berjaga. Sebelum gelap menyergap, aku pun mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya, berharap api bisa menyala sepanjang malam karena ada banyak binatang buas yang mengintai, salah satunya adalah celeng. Api unggun telah siap, sambil berdiang di depan tenda kami pun menyiapkan makan malam dan menyantapnya. Malam begitu pelan merambat, tak juga kantuk menyergap. Maka kami isi dengan obrolan ringan.

selter buat pemancing lokal
Malam terus berjaga bersama tarian dan riuh harmoni nyanyian semesta. Seolah angin menjadi konduktor atas seluruh serangga dan binatang malam untuk berdendang menyanyikan lagu-lagu alam. Temanku pamit untuk lelap dalam dekap damai taman. Aku masih berjaga, karena kantuk tak juga hinggap. Mendadak perhatianku ditarik pada satu keanehan, tiba-tiba seluruh serangga dan biantang yang berdendang berhenti. Tidak ada suara satu pun darinya, hanya desahan angin yang sepoi-sepoi.
syahdu
Di tengah curigaku, aku tingkatkan waspadaku. Maka aku tumpuk kayu di perapian agar nyalanya makin besar. Tiba-tiba seberkas cahaya putih terang-benderang muncul di depan mataku. Jelas ini peristiwa aneh. Aku terkesima, tetapi tetap waspada. Lalu aku perhatikan berkas sinar itu yang bergerak horizon dan ternyata yang mengeluarkan sumber cahaya itu adalah sebilah keris terbang. Sangat indah. Lalu aku pun berucap dalam batinku, “Aku ke sini tidak ingin mencari apa-apa, aku datang ke Argopuro hanya untuk menikmati panorama alam”.
Setelah nembung dalam batin, keris itu pun hilang bersama dengan sinar terangnya. Suasana danau pun kembali ke semula, hening tetapi syahdu karena penuh dengan alunan symponi alam. Kantuk pun menghampiriku dengan mesra, maka bergegas aku masuk tenda dan rebah dengan tenang.

25 Juli 2008: “Gadis Ayu di Cisentor”
Sebelum mentari merekah, kami bangun dengan tenaga dan semangat baru. Segera kami pun membuat sarapan serta memakannya, bongkar tenda dan peking. Setelah semuanya siap, mendadak ada teriakan orang. Artinya ada pendaki lain. Hari ketiga baru akan bertemu sesame manusia. Rasane seneng bianget. Benarlah dugaan kami, tak berapa lama ada 2 orang pendaki yang turun dari arah puncak. Mereka lintas dari Baderan-Bremi, kebalikan dengan kami. Dari mereka berdualah kami mendapat banyak informasi termasuk ada beberapa titik yang harus diwaspadai, misalnya jarak tempuh yang masih cukup jauh, lebatnya belukar sampai tidak terlihat, juga ada rumpun-rumpun diancukan yang akan membakar kulit. Setelah cukup bertegur sapa kami pun memulai langkah demi menuntaskan petualangan.
hr ke 3 ketemu sesama

Menurut dua pendaki tadi, jarak tempuh untuk sampai Cisentor  sekitar 8 jam, tapi semuanya tergantung tenaga dan mental setiap individu. Kami berencana untuk mendirikan tenda di sana, kemudian saat fajar baru mengejar puncak. Sekitar pukul 09.00 kami meninggalkan danau. Kegembiraan serta harapan menjadi kekuatan yang luar biasa, menjadikan kami gagah melesat meninggalkan danau.
Sebenarnya, kami sedikit tahu dengan setapak yang meninggalkan danau untuk menuju Cisentor, karena hari pertama kami pernah bolak-balik, tidak tahu arah. Awal kami melewati hutan yang rimbun tetapi tidak ada semaknya, kemudian masuk hutan dengan pohon besar-besar dan banyak perdu serta semak. Kami terus menyusuri setapak hutan yang kadang terlihat jelas, kadang hilang tertutup belukar. Bila ada segerombolan lutung atau kera hitam, kera merah, kera ekor panjang yang melintas bagai pemain sirkus melompat di antara tingginya pepohonan,kami pun menghentikan langkah dan takjub olehnya. Sungguh merupakan hiburan yang luar biasa. Terkadang, kami juga bertemu dengan aneka burung yang unik.


Sesekali aku kaget bila mendengar suara merak yang sangat keras atau suara-suara dari binatang lain dan belum aku tahu namanya. Tak jarang kami harus berjalan di atas pohon yang tumbang dan melintasi sungai. Kami juga melewati hutan lebat dengan lumut-lumut hijau yang eksotis. Ada beberapa area yang hutannya masih sangat lebat, selalu berkabut dengan pohon-pohon yang besar hingga sinar matahari pun kesulitan menembus lebatnya hutan dan menjadikan perjalanan ini cukup indah tetapi sedikit mencekam.

Setelah menembus lebat hutan lumut, jalur akan mulai samar karena ditutupi ilalang setinggi paha orang dewasa. Jalur akan terus menanjak dan membuat kami terengah-engah, tetapi kami selalu bikin asik. Kami kadang melambat tetapi kadang juga cepat, melambat sangat pelan bila kami menjumpai tanaman penyengat atau biasa disebut tumbuhan jancukan (Jancuk). Secara umum, bila orang terkena daunnya akan terasa seperti disengat lebah dan dengan spontan akan mengumpat  (orang sana biasa mengumpat dengan kata Jancuk). Kami mempercepat langkah bila ketemu medan datar dan jelas.

semak yg mantap
Sore merambat, mengisyaratkan sebentar lagi gelap. Tetapi tanda-tanda pos bertuliskan Cisentor belum juga terlihat. Saat gelap menemani petualangan, kami telah sampai pada area yang dominan datar dan samar-samar banyak perdu, semak dan pohon edelweiss. Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.00, kami telah sampai di Cisentor, ada pondokan/ selter dan di dekatnya ada area sedikit terbuka untuk mendirikan tenda. Kami pun bergegas membongkar tas, mendirikan tenda. Tepat di depan tenda ada sungai dengan aliran air yang sangat-sangat jernih. Ketika aku  akan mengambil air, mataku tertuju pada rimbun dan lebatnya  selada air. Saatnya masak sayur segar. Bikin pecel dengan ikan asin bakar. Mantap.

hutannya mantap
Malam merayu untuk segera lelap, karena sepanjang hari terus berjalan menyusuri setapak hutan. Kami ingin segera tidur karena esok pagi kami juga berencana untuk menuju puncak. Malam membuai mimpi lelap kami. Tengah malam aku terjaga karena kebelet mau pipis. Temanku masik asik dengan dengkurnya. Aku pun keluar tenda. Udara dingin dengan tiupan manja anginnya menyiutkan nyali. Dingin aku abaikan demi mencari tempat untuk menyiram bumi.
masak-masak
Saat akan kembali ke tenda, kulihat sesosok wanita yang sangat-sangat cantik. Dandanan gadis itu mirip dengan lukisan Roro Kidul yang pernah aku lihat. Sepanjang hidupku, mataku baru melihat ada sesosok wanita tercantik. Sangat dan sangat cantik. Cantik yang melampuai definisi kesempurnaan fisk. Tak ada kata yang mampu menggambarkannya. Ia menatapku, lalu tersenyum dan tangannya melambai seolah mengundangku untuk mendekat. Namun, aku tetap bertahan dalam logika. Pikirku jelas tidak mungkin ada wanita secantik ini, berada di tengah hutan, serta tidak mungkin orang mampu bertahan dalam cuaca gunung yang sangat dingin hanya berpakaian seperti itu.
Aku pun mengabaikannya, dan kembali ke dalam tenda. Tetapi aku tidak bisa tidur lagi. Sepanjang malam aku terbayang-bayang dengan seluruh pesona gadis itu. Hingga waktu menunjuk pukul 04.00, aku belum juga bisa lelap. Wekerku menjalankan tugasnya dengan mantap. Tetapi temanku hanya berujar, “ke puncaknya menunggu saat pagi ya. Ayo tidur lagi”. Temanku pun kembali nyaman dalam dekap SB dan aku pun mencoba mengikutinya.

26 Juli 2008: “Suara Kereta Kencana di Cikasur”
            Malam berlalu meninggalkan kesegaran raga dan hati. Tepat di depan tenda ada banyak sekali selada air, spontan ada lintasan imajinasi untuk mengolahnya. Kini saatnya berkreasi. Aku dan temanku menyempatkan diri untuk mandi, sarapan, peking dan siap lanjutkan misi.

kem d cisentor
            Dengan yakinya, tanpa melihat penanda yang lain, kami langsung menyeberangi sungai. Target kami hari ini adalah puncak Argo dan Rengganis, turun dan nenda di Cikasur. Selepas sungai, kami menyusuri setapak di tengah hutan. Awalnya kami tak curiga tetapi malah dibikin girang. Setapak yang kami susuri menurun pelan, tidak ada tanjakan. Setelah satu jam perjalanan kami pun meningkatkan kewaspadaan, kami mencari area terbuka yang ada kemungkinan di pakai nenda, juga ada sumber airnya, artinya bila kami telah tiba di area itu, kami telah tiba di Rawa Embik.
            Menurut info yang kami dapat dari pendaki yang kami jumpa di danau taman Hidup, jarak Cisentor-Rawa Embik sekitar 1 jam. Kami mulai curiga, karena lorong hutan lebat tak juga usai. Kami mengamati penanda semacam pal bertuliskan jarak. Ternyata angka jarak yang kami lewati semakin kecil, artinya kami semakin jauh dari puncak. Kami pun memutuskan untuk putar arah, kambali ke titik dimana semalam telah bermalam dan mendirikan tenda. Segera kami pun menyembunyikan tas kerir. Lalu membawa tas selempang dengan bekal secukupnya.
            Bergegas kami melaju ke arah awal. Kami tidak memaki tetapi menertawai peristiwa ini. Hingga akhirnya, kami tiba di tanah datar bekas tenda, dan ternyata persimpangan antara Cisentor-Puncak-Cikasur berada di belakang selter yang juga berada di belakang tenda kami. Kami pun masing-masing memaki diri dan kemudian menertawainya. 3 jam pulang balik yang menempatkan kami di titik awal petualangan hari ini. Segera tak menunda waktu, kami bergegas mengarahkan langkah ke puncak.
Medan yang dominan datar, di antara pohon-pohon besar, ada yang berdiri tetapi banyak juga yang rebah, ada pula perdu-perdu edelweiss yang mengharumkan udara segar. Tak berapa lama kami pun tiba di Rawa Embik. Di sini terdapat sungai berair jernih. Sebuah padang rumput yang cukup luas. Konon katanya dulu banyak terdapat kambing gunung yang mencari air, makanya sekarang kawasan ini dinamakan Rawa Embik.
Kami hanya singgah untuk sementara. Lanjut lagi. Menyusuri hutan yang lebih lebat di tengah lembah antara dua bukit di kiri dan kanan. Hutan berakhir di padang rumput yang luas, ada pertigaan setapak, di sisi kiri ke puncak Rengganis dan ke kanan adalah Puncak Argo. Kami putuskan untuk ke puncak Argo dulu. Tak berapa lama kami pun tiba. Kami istirahat, menikmati perbekalan makan siang yang sudah kami siapkan. Puncak Argo berupa hutan cemara yang tidak nyaman untuk menikmati panorama area bawah. Hal ini karena tertutup rimbunnya vegetasi.


puncak argo pd wkt itu

Lalu, kami turun lagi dan menuju ke puncak Rengganis. Dari puncak Argopuro ke puncak Rengganis membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari puncak Rengganis pemandangan bawah lumayan terlihat dengan jelas. Di kawasan puncak ini menyimpan cerita legenda dari Majapahit tentang Dewi Rengganis, Konon juga terdapat arca Rengganis tetapi tidak terlihat. Tak jauh dari puncak terdapat reruntuhan seperti bangunan permanen atau mungkin ini bekas peninggalan Dewi Rengganis itu.





puncak Rengganis
Setelah kami puas dengan keindahan puncak Rengganis, kami berencana untuk meneruskan langkah. Kulirik jam tanganku jarumnya sedang menunjuk angka 4. Bergegas kami pun melaju. Sesampainya di Rawa Embik, terdengar suara ribut manusia. Ternyata, ada satu rombongan dari Jakarta berjumlah 10 orang dengan guide dan porter. Lalu, kami banyak bercerita dan lupa bahwa cahaya matahari telah tiba saat untuk istirahat. Sebelum gelap menutup pandang yang akan menambah kesulitan dalam mendeteksi kayu-kayu yang rebah di sepanjang setapak. Kami bergegas melaju dan berharap sampai Cisentor sebelum malam.
Harapan hanya harapan, rapatnya dedaunan hutan menjadikan pandang terhalang karena gelap lebih awal datang. Padahal senter ada di kerir. Akhirnya dan terpaksa menggunakan senter HP (zaman masih pakai Nokia). Cisentor terlewati. Setapak yang diselimuti pekat gelap malam menjadikan kami tertatih. Untungnya, pagi tadi kami telah melewati setapak menuju Cikasur sudah 2 x, jadi agak sedikit hafal dengan lekuk-liku setapak yang harus diwaspadai.
Tak tahu lagi waktu, tak sempat melihat jam. Kami bergegas untuk segera menemukan tempat pesembunyian kerir. Lega hati, karena tas masih aman di tempat. Segera kami, gunakan head lamp dan tanpa menunda waktu kami tancap gas menuju Cisentor.
Samar dalam bimbingan sinar langit yang berpadu dengan terang cahaya senter, aku melihat luasnya sabana. Angin bertiup syahdu dengan rayunya untuk menyiutkan panas tubuh. Dingin malam dan lelah kami abaikan. Terus berjalan tanpa istirahat. Untungnya setapak di medan datar, hingga akhirnya kami menemukan bekas bangunan, yang artinya kami telah tiba di Cisentor. Segera kami buka tenda, mengambil air, memasak, dan bermalam.


nenda-masak, mantap
Malam kian larut. Temanku telah nyaman dalam tidurnya. Hatiku mendadak gelisah. Aku hanya berpikir, mungkin ini karena malam terakhir didekap damai kawasan Argopuro. Lalu kubuka sedikit pintu tenda untuk memandang langit dengan berjuta bintang. Sabana Cikasur sungguh mantap dalam menyuguh pesona malam. Sekitar satu jam aku menikkmati kesendirian dari balik tenda fokus memandang langit.
Ngantuk tiba dengan manja, saat akan menutup mata terdengar seperti obrolan para pendaki yang datang. Aku tunggu, samar terdengar obrolan yang diiringi ritmis bunyi genta (=lonceng pendaki). Lama makin dekat, obrolan mereka jelas adalah obrolan manusia. Setelah melewati tendaku, bunyi ritme genta dan obrolan itu makin menjauh. Aku berpikir, jelas itu tidak mungkin pendaki. Kalau pendaki pasti sasarannya adalah Cikasur untuk bermalam. Karena penasaran akupun kembali membuka pintu tenda untuk sengaja melihat. Tidak ada apa-apa. Sabana Cikasur tidak mungkin menyembunyikan kerlip lampu senter. Tetapi tidak ada siapa-siapa.
Kutepis pikiran burukku, “ah, mungkin aku hanya berhalusinasi”. Kembali aku ingin baringkan diri dalam lelap. Sebelum hilang sadarku, kembali kudengar suara, kali ini pergerakkannya lebih cepat mendekat, kupastikan ini adalah suara kereta kuda. Ada bunyi derit roda dan ringkikan kuda serta obrolan dari suaranya adalah perempuan. Kali ini, aku tidak berani membuka pintu tenda. Aku tegarkan hati, dan kupanjatkan doa untuk memohon lindungan Sang Pencipta. Hingga malam membuaiku dalam lelap istirahat.
tenda d cikasus
27 Juli 2008: “Paduan Keindahan dengan Lelah Raga”
            Damainya malam dalam dekap Cikasur tak juga sempurna mengurai penatku. Pagi ini agak malas bangun. Kaget aku mendengar suara keras sekali. Ternyata, itu berasal dari merak laki, kemudian kupaksa diriku keluar dari tenda. Untuk sementara aku pun takjub dengan keindahan tiada terkira. Sabana yang maha luas dan banyak dihiasi dengan burung merak yang sedang bermain-main. Hanya ada satu tenda, yaitu tenda kami. Temanku masih nyenyak dalam tidurnya. Sejenak aku pun berjalan-jalan hanya sekedar ingin menyapa embun di rerumputan dan menikmati sensasi tulangku diciutkan oleh dinginnya udara.
            Setelah puas bermain-main dengan imajinasi karena  berada di keindahan yang luar biasa, kembali aku ke tenda. Memasak bekal yang masih tersisa. Makananpun siap. Kubangunkan temanku. Ada malas di hati kami berdua untuk meneruskan kisah. Tetapi akhir dari petualangan harus diselesaikan. Kami tak lagi mampu menawar. Dengan berat hati kami pun bergegas untuk sarapan, ngopi, bongkar tenda, peking, sedikit foto-foto dan mulai melangkah.


Kami berdua melangkah sambil menikmati keindahan alam. Ada banyak hal yang bisa kami nikmati. Termasuk derita dari 9 bukit menangis. Hingga lelah kaki yang terus dipaksa melangkah. Pada hal seolah tanpa ada tanda setapak berujung. Pernah kuhitung langkah kaki ku hingga sampai pada angka 5.898, namun ujung setapak tak juga terlihat. Hingga akhirnya, tibalah kami di batas perkebunan. Gembira hati. Semangatpun kembali menyeruak. Tetapi jarak ternyata masih jauh. Kami terus melangkah dengan terseok. Derita itu akhirnya selesai, sekitar pukul 17.00, kami tiba di beskem Baderan-Besuki. Kami disambut hangat oleh pengelola.
lelah
sabana

Istirahat sejenak. Bersih diri. Mencari makan. Ojek sudah siap menghantar sampai ke jalan raya untuk berjumpa dengan AKAS. Malam yang larut dengan lelah raga membuai dalam lelap istirahat, digoyang bus. Tak terasa telah tiba di Surabaya. Segera pindah bus jurusan Yogjakarta.
habis sudah tenaga

28 Juli 2008: “Hilang Lelah dengan Penuh Cerita”
            Pagi pun menyambutku di kota tempat naungku, Jogja. Sambil menikmati makanan di pinggir jalan, kukenang dan kumaknai setiap langkah yang tersirami ribuan tetes keringat.  5 hari 4 malam dalam dekap damai Argopuro menghantar aku untuk terus bertumbuh dalam keterbukaan hidup. Tak ada derita yang abadi, tak ada cemas yang tak berarti. Hidup menjadi lebih asik bila pernah mengami hal-hal di luar rencana. Kegembiraan, senang, suka cita, dan tawa akan menemukan arti bila pernah mengalami tragedi, kecemasan, ketakutan, dan kekawatiran.
            Terimakasih Argopuro atas bijakmu, bila ada waktu dan kesempatan kiranya engkau bisa membuyarkan rindu yang tiada berujung ini.