Jumat, 12 Februari 2016

CATATAN PERJALANAN: PUNCAK ARGOPURO LASEM

CATATAN PERJALANAN: PUNCAK ARGOPURO LASEM
Oleh: Heri
 
sunrise puncak argo
             Berawal dari informasi yang hanya sepenggal saat berselencar di dumay. Naluri menjelajah mungkin telah mendarah-daging dalam jiwaku. Setiap saat ada rasa rindu untuk berpetualang dan memasuki daerah yang selama ini asing bagiku. Oleh karena itu, jika memiliki waktu longgar, aku sering berselancar, main internet hanya sekedar mencari artikel tentang tempat wisata yang baru. Bagiku keindahan bukan “menurut definisi” atau “menurut kata orang”. Banyak orang berargumentasi tetang sebuah keindahan tempat, namun saat dikunjungi ternyata tidak sebagaimana yang dimaksudkan. Berbekal dari pengalaman, akhirnya aku berani mengambil kesimpulan bahwa tempat yang bagus/ indah sangat tergantung pada subyek yang menikmatinya. Sedangkan subyek tersebut sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya. Di teras rumah pun, jika hati sedang dalam keadaan senang maka akan merasa di tempat yang terindah. Intinya, hati yang senang adalah kunci untuk menemukan tempat yang terindah di bumi ini.
Hasil bongkar-bongkar dumay, membawaku pada satu informasi bahwa di daerah pantura ada gunung yang keren. Tidak hanya gunung Muria Kudus yang terkenal dengan julukan “Puncak 29 atau Puncak Sapto Renggo” nya. Pada suatu waktu, gunung ini juga pernah mengundangku untuk bercumbu dengannya. Hingga akupun rindu untuk kembali memeluknya. Namun, untuk saat ini rasa penasaranku tertambat pada informasi tentang gunung di kabupaten Rembang yaitu gunung Lasem yang terkenal dengan sebutan “Puncak Argopuro Lasem”.
Gunung Lasem, dengan puncak Argopuronya, merupakan sebuah gunung kecil yang terletak di sebelah timur kota Lasem kabupaten Rembang. Membujur di antara Pegunungan Kapur di sebelah selatan hingga ke pesisir laut Jawa di sebelah utara. Gunung  ini mempunyai ketinggian sekitar 806 meter dpl. Tidak terlalu tinggi, aku membayangkan. Namun pengalaman saat mendaki Gunung Cermai via Linggarjati yang dimulai dari titik 700 mdpl, membuatku tidak boleh meremehkannya. Aku juga belum tahu start pendakian gunung Lasem ini dari ketinggian berapa? Misalnya dari titik 0 mdpl, bisa dibayangkan dahsyatnya kan?
Meskipun tidak terlalu tinggi, puncak ini cukup ramai dikunjungi oleh para pecinta alam yang umumnya berasal dari Rembang, Pati, Blora dan Tuban. Bahkan menurut informasi bahwa gunung ini akan penuh dengan pengunjung pada saat-saat tertentu, misalnya pada malam pergantian tahun dan liburan sekolah. Melihat beberapa foto dan juga vidio-vidio yang beredar di internet,kukira gunung ini cukup menarik untuk dikunjungi. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk membuka lembaran baru tahun 2016 dengan menyelami gunung ini.
Saatnya berpetualang.
Petualangan ini sebenarnya adalah bagian dari rangkaian touring awal tahun di daerah pantura Jateng. Bagiku, gunung ini rasanya spesial dan sayang kalau diceritakan bersamaan dengan tempat-tempat yang kami kunjungi. Maka, sengaja aku penggal dan bagikan secara terpisah.
Aku adalah Heri Jimanto dan tentunya dengan teman setiaku, yaitu isteri tercinta, Regina Nunuk kembali mencoba mewarnai hidup. Jumat, 1 Februari 2016 kami menetapkan langkah untuk berkeliling daerah pantura dengan sepeda motor. Salah satu tujuan kami adalah mendaki gunung Lasem. Rembang-Solo, tentunya bukan jarak yang pendek untuk ditempuh dengan motor dan berboncengan, belum lagi full muatan siap tempur. Saat pagi menjelang, kami pun meninggalkan rumah dan secara perlahan mengarah ke tujuan.

Rute yang kami pilih adalah Solo-Purwodadi-Blora-Rembang. Dua kabupaten terakhir, yaitu Blora dan Rembang buatku merupakan tempat yang asing. Sering mendengar ceritanya, tetapi belum pernah melewatinya. Kami bukanlah petulangan modern yang biasa mengandalkan GPS. Bagi kami, bertanya bila tersesat atau ragu-ragu merupakan keharusan. Setelah mengais informasi dengan rajin bertanya, akhirnya kami telah tiba dipertigaan Nyode, kecamatan Pancur, sekitar 6 km dari kecamatan Pamotan dan sekitar 5-6 km dari kecamatan Lasem. Dari pertigaan ini, belok ke kanan atau ke arah  deretan perbukitan di sebelah timur.
Dari sini perjalanan mulai menantang. Sebenarnya jalanan telah diaspal, namun keadaan jalanan yang sempit, berkelok dan kadang menanjak dan menurun. Sekitar 8 km dari pertigaan Nyode kami menuju pos pendakian yaitu desa Ngroto, kecamatan Pancur kabupaten Rembang. Untuk sampai di desa ini, sebenarnya ada panduan alami, yaitu barisan tower-tower pemancar. Dari kejauhan selalu terlihat, kadang tenggelam di balik perbukitan, saat kebingungan kembali melihat deretan tower tersebut dan yakinlah bahwa itu arah yang benar. Menjelang sampai di taman tower tersebut, kami berbelok ke kiri, keluar dari jalanan beraspal untuk meniti jalan makadam atau jalan cor. Menempuh jalan makadam sekitar 1-1,5 km, tibalah kami di ujung desa Ngroto dengan penanda sebuah masjid besar. Di samping masjid ini lah, salah satu rumah penduduk sebagai tempat base camp dan warung yang sekaligus sebagai tempat penitipan sepeda motor.
ini sedikit gambaran tetang hutan puncak argo
Sekitar jam 14.00, kami tiba di base camp. Kami pun beristirahat dan sejenak ngobrol dengan beberapa penduduk asli yang sedang berada di warung. Dari obrolan tersebut, aku menjadi tahu bahwa Lasem memiliki hasil durian yang terbaik. Durian Lasem tidak pernah bisa keluar daerah, karena selalu habis diburu pembeli dan dimakan di tempat. Jadi kepengin, hehe. Cukup lama, aku dan isteriku menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol santai, karena rencananya jam 16.00, kami baru akan memulai pendakian. Buatku, bisa ngobrol dan berbagi pengetahuan serta pengalaman hidup dengan penduduk asli adalah hal yang luar biasa. Perjumpaan yang memberi kesempatan menimba ilmu hidup, informasi dan pengetahuan.
megap-megap mas bro
Kami dipersilahkan untuk mengisi buku tamu. Setelah itu, kami pun melakukan cecking peralatan dan perbekalan. Rencana kami akan mendirikan tenda dan nge-camp di puncak, sambil menikmati panorama alam kala malam. Tentu akan memberi warna yang lain dalam hidup. Setelah semua kami rasa beres, saatnya untuk memulai pendakian.
isteriku jg menggos-menggos. tp masih bisa tersenyum
Ini merupakan perjalanan pertamaku tentang pendakian gunung dengan ketinggian di bawah 1.000 mdpl (meter dari permukaan laut). Berbekal segala informasi mengenai jalanan, tikungan dan tentu beberapa tempat yang dihormati, serta disakralkan oleh penduduk menjadi modal awal untuk memulai ekspedisi sederhana ini. Pada mulanya kami menapaki jalan makadam sekitar 100 m. kemudian kami melewati jalanan perkebunan, yaitu jalan tanah liat, batu gunung yang licin dan kadang dihiasi kotoran sapi yang teronggok indah. Setelah sekitar 500 meter, area perkebunan pun berakhir. Ada persimpangan, kami harus memilih ke arah kiri, yang mengarah pada jalan punggungan bukit. Karena inilah rute yang benar.
sing sabar mas bro
Terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi, buatku ini merupakan tantangan besar. Baru berjalan sekitar 20 menit namun rasanya badan bagai terbakar. Begitu panas. Mandi keringat. Terasa sangat menguras tenaga. Lemas.
Padahal kalau mendaki gunung-gunung yang tinggi dengan awalan cuaca dingin, buatku pribadi perjalanan kalau masih di bawah tiga jam, itu belum terasa apa-apa. Tapi ini, perjalanan yang baru 20 menit namun terasa telah mendaki gunung selama 6 jam. Belum lagi ketika mencoba istirahat sejenak untuk menghela nafas, nyamuknya langsung berbondong-bondong menyerang. Seketika badan menjadi bentol-bentol. Segera kukeluarkan perlengkapan P3K untuk mengambil obat nyamuk lotion. Karena badan terus mengucurkan keringat, maka lotion pun tidak bertahan lama. Serangan kembali. Semprot lagi.
Pendakian ini, buatku adalah hal yang sangat-sangat baru. Berdasarkan pengalaman mendaki dan menjelajah berbagai gunung tinggi, dalam situasi seperti ini aku harus memposisikan diri sebagai pemula. Berhadapan dengan gunung rendah yang notabene aku belum punya pengalaman. Maka, segala pengalaman gunung tinggi sejenak aku tanggalkan. Bermodal prinsip survival sederhana bahwa selama kaki masih mau melangkah sejauh apapun tujuan pasti akan tercapai. Alon-alon waton klakon ae lah.  Setapak demi setapak kaki aku langkahkan. Berharap semoga ragaku cepat menyesuaikan dengan keadaan. Karena adaptasi dengan suhu setempat adalah modal yang sangat menentukan dalam suksesnya sebuah pendakian.
capek yo istirahatlah,,
Prinsip umum dalam dunia pendakian tentang “Jangan anggap remeh”, selalu aku dengungkan dalam kepalaku, supaya aku tidak lepas kendali dan menjadi sombong di hadapan alam semesta. Maka, kerendahan hati menjadi kunci di setiap tempat dengan harapan mampu menghormati  segala yang ada.
Kendati terik mentari tidak menyilaukan bumi, awan cukup tebal untuk menyembunyikannya, namun rasanya tetap panas. Dengan demikian, track gunung ini cukup membuat aku ngos-ngosan. Sebenarnya, perjalanan standar pendakian dari jalur Ds.Ngroto Kec. Pancur sekitar 2,5jam santai. Namun, rasanya sangat-sangat lama.
hutannya dpt buat obat lelah
Selepas batas perkebunan dan hutan, jalur menanjak cukup terjal. Untungnya, kanan-kiri jalur terlindung hutan yang cukup lebat. Kebanyakan tanaman keras adalah buah-buahan, seperti durian, nangka, petai dan mlinjo. Menurut penduduk, bila pendaki menemukan buah yang sudah masak, pendaki dipersilahkan untuk menikmatinya. Dengan catatan tidak boleh dibawa pulang. Buatku ini adalah sebuah kearifan lokal yang sudah sulit dicari.
Sekitar 45 menit, sampailah kami di pos I. di sini hanya sebidang tanah datar, yang tidak ada papan penunjuknya. Tempat ini menandai tanjakan yang telah mereda. Dan berganti dengan track datar, hanya berkelak-kelok mengelilingi punggungan-punggungan bukit. Sekitar 45 menit perjalanan akan melewati jalur landai namun menantang, karena banyak jurang di sana-sini ditambah pepohonan yang rimbun sepanjang jalan terutama rotan yang berbahaya karena duri-duri yang bisa membuat luka. Berakhirnya medan datar, biasa disebut dengan Pos II. Di sini juga tidak ada keterangan apa-apa. Hanya sebidang tanah datar yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.
hutannya lebat coy
Kembali jalur menanjak. Antara Pos II ke Puncak sekitar 30 menit. Sepanjang jalur, kami melihat adanya vegetasi yang didominasi oleh semak belukar dan pohon berukuran sedang dengan diameter rata-rata 40-60 cm, hanya sedikit pohon bediameter besar. Jenis rotan, kopi, dan tumbuhan akasia banyak terdapat di sini. Menurut penduduk setempat, jika beruntung masih akan ketemu dengan beberapa satwa, misalnya kucing hutan, babi hutan dan lutung. Saat kami turun, aku masih melihat burung elang (jenis bido) melintas di langit kawasan pegunungan.
Menjelang sampai Puncak Argo, jalur sudah sedikit terbuka. Sehingga bisa melihat gugusan perbukitan dengan keindahan panorama yang ditawarkannya. Aku merasa tubuhku telah sempurna beradaptasi, maka dengan tenang aku melenggang. Hingga tepat dua jam kami telah sampai di Puncak Argo.

di sana tu laut Jawa ya mas bro

laut Jawa dr puncak argo
barisan guugsan bukit-bukit dari puncak argo
Kami pun bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang telah mendahului kami. Karena sebelumnya, sepanjang perjalanan, kami hanya bertemu dengan satu orang yang tercecer dari rombongannya, ia berasal dari Tuban. Jalur pendakian gunung ini, tidak sebagaimana gunung-gunung di sekitar Yokyakarta, yang ramai, sehingga setiap saat bisa bertemu dengan pendaki lainnya.
Segera kami pun mencari lokasi tenda. Dengan harapan dapat memandang keindahan alam yang tersaji luar biasa. Sejenak berdecak kagum. Lalu tanpa menunda waktu, segera mendirikan tenda. Sedikit informasi bahwa untuk area camping, di puncak Argo terdapat bidang tanah yang sempit kira-kira hanya mampu menampung 100 pendaki. Selain itu ada beberapa titik yang agak berjauhan, namun bisa dijadikan tempat nge-camp.
tenda kami yg berasa hotel  berbintang
Puncak Argo menawarkan view yang beragam, diantaranya adalah sunrise dan sunset lengkap dengan atmosfer khas pegunungan berupa kabut dingin dan pemandangan kota-kota di bawah dengan kerlap-kerlip lampunya. Dari sini kita bisa melihat laut jawa dengan jelas. Suasana malam di tempat ini juga mengesankan dengan hamparan langit luas dan jutaan bintang terbebas dari polusi cahaya dan hingar bingar lampu kota. Di pagi harinya kita akan disambut oleh riuh segerombolan lutung yang mulai beraktifitas mencari makan.
Malam mulai merangkak, terang berganti gelap udara sejuk khas pegunungan dekat laut pun terasa. Angin terus berhembus dengan sesekali membawa awan dari lautan dan tidak menunggu lama, hujan pelanpun turun dengan anggunnya. Di sini, sering terjadi hujan laut. Karena dari sisi utara langsung menghadap laut Jawa. Sehingga akan mudah sekali terjadi hujan. Kabut tipis pun tidak henti-hentinya datang dan pergi.
Saat badan mulai menggigil, kiranya kenyamanan tenda menjadi jawaban. Masuk tenda, memasak dan menikmati makan malam ala anak gunung. Lelah raga setelah melakukan perjalanan jauh dari Solo-Rembang, dilanjutkan hiking dengan jarak tempuh yang lumayan ditambah perut yang kenyang, menjadikan mata langsung merapat. Isteriku pun dengan segera bersiap-siap untuk lelap. Sedangkan aku sendiri, menyempatkan diri untuk sejenak bercengkerama dengan keindahan alam kala malam. Dan sesekali berbagi kisah dan pengalamaan dengan pendaki lainnya.
Setelah merasa cukup bercengkerama dengan keindahan alam puncak Argo gunung Lasem, aku pun merebahkan diri untuk mendulang energy. Agar besok bisa melanjutkan kisah. Pagi pun menjelang,  badan telah segar, namun keindahan mentari terbit tidak menyambut kami. Tidak apalah, mungkin ini jadi PR kami yang akan mengundang kami untuk kembali datang ke sini.
puncak argo
Kami pun dengan segera membuat menu pagi. Sarapan. Bongkar tenda. Saatnya turun. Kembali menikmati dan menjalani rutinitas hidup.
selamat tinggal puncak argo, dan kami selalu rindu untuk kembali
Trimakasih Argopuro Lasem, damaimu telah mengisi hati kami. Hingga kami pun bisa belajar untuk saling mengisi hidup dengan satu prinsip kerendahan hati. Semangat rendah hati adalah cara terbaik untuk membawa diri dalam segala situasi. Rendah hati adalah cara terbaik untuk mengubah hidup menjadi semakin baik. Dengan demikian, semangat rendah hati lah yang akan menghantar hidup kami dipenuhi dengan kedamaian, sukacita dan bahagia.






Selasa, 09 Februari 2016

COUPLE-RIDER: SOLO-PANTAI PELANG, RUTE YG DAMAI

COUPLE-RIDER:
SOLO-PANTAI PELANG, RUTE YG DAMAI
Oleh: Heri

           

            Manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah mengenal istilah “cukup”. Selalu berulang untuk memiliki dan bahkan membangun asa untuk selalu “lebih”. Ada upaya yang selalu dikejar. Manusia memang sungguh-sungguh pribadi berdimensi jamak. Ada berbagai pertentangan yang berkecamuk dalam diri. Hingga menuntun manusia untuk terus bergerak. Tidak cukup untuk berdiam diri. Ada yang selalu dicari dan harus ditemukan. Ruang dalam kalbu manusia begitu luas, sehingga segala “kepemilikan” tidak akan pernah mampu untuk mengisinya. Ruang kalbu manusia terbagi dalam beberapa tahapan. Dari tataran yang rendah, yaitu hanya sekedar kepemilikan benda-benda duniawi, hingga ke tataran yang sangat dalam, yaitu pengalaman batiniah, pengalaman karena tindakan kasih.
            Oleh karena itu, manusia akan terus bergerak-berjuang untuk mengisi dirinya tersebut. Namun, tidak semua manusia menyadari dan tahu tentang gerak alami ini. Banyak manusia yang digerakan oleh sinyal-sinyal spontanitas. Sehingga, tidak jarang manusia jatuh dalam situasi “banyak aksi namun semakin miskin”. Dinamika manusia yang tanpa kesadaran justeru akan “memiskinkan”. Sepintas terlihat banyak aktifitas, banyak berkarya, banyak kegiatan namun semakin merasa “kurang”.
Oleh karena itu, penyadaran terhadap setiap aktifitas menjadi mutlak perlu. Menginginkan serta merencanakan sebuah kegiatan hingga akhirnya menjadi sebuah tindakan dengan tujuan yang jelas merupakan langkah sederhana menuju ke “penyadaran aktifitas”. Sebenarnya, dalam kehidupan manusia tidak ada yang instan. Maka, untuk sampai pada tataran “kesadaran dalam setiap tindakan” perlulah setiap hari hal ini dilatih secara tekun dan setia.
            Secara pribadi, saya (Heri Jimanto) dan isteri (Regina Nunuk) pada hari Minggu-Senin, 7-8 Februari 2016 melakukan perjalanan sederhana. Hanya menyusuri jalanan dari Solo-Wonogiri-Pacitan-Trenggalek. Namun, sebenarnya rencananya telah matang jauh-jauh hari. Awalnya kami merencanakan untuk melakukan perjalanan selama tiga hari. Akan tetapi musim penghujan yang datang terlambat menjadikan kami urung niat. Hari Sabtu, 6 Februari 2016 rencana awal kami akan memulai perjalanan. Selepas pulang kerja, persiapan dan berangkat. Namun apa daya, ternyata alam kurang berpihak. Kami belum mendapat restu. Yang ada, hari Sabtu justeru hujan teramat lebat. Sampai malam pun kami masih mangu untuk meneruskan rencana. Hingga tengah malam, kami sepakat, jika pagi cuaca mendukung maka kami akan lanjut.
            Alam pun berpihak. Sesuai dengan yang dirindukan hati. Minggu, 7 Februari setelah kami berdoa, sekitar jam 08.00, kami pun meninggalkan Solo. Lengkap dengan bekal siap tempur. Wajarlah, karena armada yang kami miliki hanyalah sepeda motor yang sedikit kami modifikasi, agar lebih nyaman untuk membawa perlengkapan. Maklum, kami terbiasa solo-touring. Maka, segala perlengkapan mesti siap sedia demi anti-sipasi segala kemungkinan. Sebenarnya, kami bukanlah anak-touring. Kami hanya sekedar terbiasa bercengkerama dengan alam. Demi memudahkan perjalanan, maka touring menjadi andalan. Mungkin, kami lebih tepat disebut sebagai couple-rider, sepasang kekasih yang senang berkendara jauh demi menyatukan hati dengan alam.

             Merangkak pelan kuda besi memanjakan sang tuan. Perlahan, kami melaju di jalanan. Hingga sekitar pukul 10.00, kami tiba di Pracimantoro. Di sini aku sengaja mengajak isteriku untuk mengenal dan tahu tentang Geo-Park. Sebuah museum tempat pembelajaran tentang pegunungan karst. Mengenal, memahami sejarah serta karakter dari sebagian tanah Jawa bagian selatan kiranya cukup memperkaya wawasan. Isteriku seolah terkesima dengan yang dikoleksi, menyangkut banyak ilmu dan juga miniatur berbagai lukisan alam yang memahat-ukirannya pada gunung-gunung gamping. Keren

            Sekitar pukul 11.30, kembali motor melaju pelan meninggalkan Pracimantoro menuju Pacitan. Pemandangan banyak didominasi oleh pegunungan, perbukitan dan hutan. Di beberapa lembah terdapat berbagai tanaman pangan. Seolah mata kami dimanja oleh hijaunya alam. Sungguh pemandangan yang maha-keren. Bagi yang suka keindahan alam di sinilah surganya.
            Sebelum memasuki perbatasan Pacitan-Wonogiri, kami disambut hujan. Cukup lebat. Ada tiga prinsip yang kami pegang dalam upaya menikmati perjalanan. Pertama, jika bingung, bertanyalah. Kedua, jika lelah, istirahatlah. Ketiga, jika lapar, makanlah. Dalam situasi darurat, kami menambahkan satu hal lagi yaitu: jika hujan, mantolan-lah. Hujan tidak menyurutkan tekat hati yang telah membaja. Bagi kami, inilah petualangan. Jalanan masih penuh dengan tanjakan, tikungan dan turunan. Jalan yang basah ditambah guyuran hujan yang tidak juga reda membimbing hati untuk lebih waspada dan hati-hati.

            Menjelang sampai pantai Teleng Ria, Pacitan, hujan mulai mereda dan perutpun memberi tanda untuk mendulang energi. Sambil beristirahat kami pun memesan makanan. Sembari menunggu hujan benar-benar reda. Sambil menunggu makanan siap, tiba-tiba ada mobil yang menghampiri kami. Dalam hati aku berpikir, “salah apakah aku ini?” Setelah jendela dibuka dan mendengar sapaan yang cukup akrab, hati pun merasa lega. Ternyata datang dari tetangga rumah yang juga sedang berliburan. Setelah sedikit bertegur sapa, kami pun berpisah. Kembali melukis kisah hanya bersama isteri tercinta.
            Udara berbisik semilir menyingkap kelam awan yang menghitam, berganti cerah sang surya. Badan terasa segar, tenaga telah memulih dan semangat kembali bergelora untuk melanjutkan cerita hidup. Menyusuri jalanan kota Pacitan yang baru pertama aku telusuri, ada keraguan dan ketakutan. Maka, kewaspadaan menjadi kunci. Meningkatkan konsentrasi, mengamati segala tanda dan arah. Agar tujuan ke Trenggalek tidak luput. Setiap perjalanan dengan segala ketidaktahuan, buatku selalu menghadirkan sensasi tersendiri. Ada kepuasan batin yang tidak terbahasakan dan sulit untuk diceritakan. Yang hanya bisa dialami. Bukan dikisahkan.

            Berkelok motor meninggalkan Pacitan, penunjuk arah telah memandu kami untuk menikmati panorama alam sepanjang perjalanan. Lukisan Pencipta telah memanjakan mata dan menyegarkan dahaga jiwa. Bukan tujuan yang menjadi penghiburan, tetapi cara menikmati perjalanan itulah yang menjadi ukiran kisah indah. Tiap saat mata terpesona dan terkagum. Jiwa yang terbuka akan mudah menangkap hal-hal yang remeh dan biasa menjadi sentuhan kalbu menembus ke sukma terdalam. Yang ada hanya soal damai.

            Kecamatan Kebon Agung telah berlalu, kini kami memasuki kecamatan Telukan. Panorama alam masih sama. Di sepanjang jalur ini, pemandangan mulai diwarnai dengan keindahan lautan. Saat motor bertengger di puncak bukit atau di punggungan ketinggian, maka mata akan terkesima dengan keindahan gugusan bukit yang berpadu harmoni dengan biru lautan. Riak-riak ombak yang menghantar bibir pantai, menandai gradasi warna yang menggores natural. Sejenak motorpun kuhentikan untuk bercengkerama dengan kedasyatan karya Sang Pencipta. Hingga kami pun memutuskan untuk berhenti di salah satu pantai yang masih jarang pengunjung. Saatnya menikmati pantai Pidakan.
            Pantai Pidakan sedikit berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya. Di sini didominasi oleh batuan blondos, batuan sungai. Biasanya pantai dihiasi dengan serpihan karang dan pasir. Namun di Pidakan hal itu tidak terlalu terlihat. Mata akan fokus untuk menikmati panorama gugusan batuan bulat yang seolah ditata manusia. Pada hal itu adalah karya alam. Pantai ini cukup luas untuk memanjakan raga. Ada barisan hutan kelapa yang sangat rindang. Bahkan sinar matahari pun berjuang keras untuk bisa menembusnya. Hati sebenarnya belum terpuaskan oleh indah pantai Pidakan. Tetapi perjalanan mesti dilanjutkan.

Kembali si kuda besi yang kami tungganig menghantar-setia untuk berjumpa dengan keindahan-keindahan lainnya. Dan tidak berapa lama, tibalah kami di pantai Soge. Pantia ini merupakan salah satu ikon Pacitan. Keren. Pantai ini juga menjadi surga bagi para pe-touring. Ada berbagi komunitas yang sedang menikmati. Yang salah satunya adalah berfoto-ria disekitaran jembatan biru. Mungkin tidak afdol bila berkunjung ke Soge tanpa mengabadikan kisah di jembatan ini. Namun kami berdua, hanya sekedar duduk manis untuk membiarkan hati berpetualang dalam imaji tentang tanah surgawi.

Hari mulai sore, kami pun meneruskan kisah. Jalanan masih dengan panorama yang sama. Tanjakan, tikungan, turunan yang menghiasi barisan perbukitan dan hutan, serta lembah-lembah dengan aneka tanaman pangan. Hingga tidak terasa, kami pun tiba di PLTU, sebuah proyek kebanggan kota Pacitan. Dari ketinggian bukit di atas PLTU, kami bisa sepuasnya untuk menikmati lukisan alam. Keren.

Lelah raga pun berlalu setelah tersiram oleh kekaguman demi kekaguman. Hati terus berdecak. Terus melambungkan syukur atas kesempatan untuk sejenak keluar dari rutinitas dan menyirami dahaga batin. Memasuki kawasan hutan Trenggalek, pepohonan menjadi lebih bervariatif. Perbukitan yang tidak seberapa tinggi, namun telah berselimutkan kabut dan awan. Pesona alam yang unik. Tidak perlu mendaki gunung jika hanya sekedar untuk menikmati negeri di atas awan. Berkunjunglah ke JLS (Jalan Lintas Selatan) antara Pacitan-Trenggalek. Terkadang harus bermain mata, jika ingin mengintip goresan alam ditepian samudera. Perjumpaan gelombang lautan dengan bentangan barisan hutan menghias pesona bumi.
Hatiku tetap tenang kendati jarang bertemu dengan pengendara lain. Apa lagi motor? Teramat sangat jarang. Kalau pun ada hanya beberapa penduduk setempat yang membawa rumput. Berbicara keahlian penduduk setempat dalam mengendarai kuda besi, mereka teramat jago. Bahkan aku melihat seorang ibu-ibu yang mungkin begitu hafal dengan tikungan dan tanjakan serta turunan, ia melanggang dengan sangat tenang bahkan cenderung ngebut. Hebat.
Tidak terasa setelah sekian waktu melenggak-lenggok di atas jalanan aspal yang diselimuti hutan, aku telah tiba di kecamatan Panggul, Trenggalek. Berarti tujuan hampir tercapai yaitu pantai Pelang. Hati begitu bergirang setelah melihat baleho yang bertuliskan “Selamat Datang Di Pantai Pelang Trenggalek”. Dari jalan Pacitan-trenggalek masih sekitar 3 km. bunyi gemuruh ombak menguatkan yakin bahwa bibir pantai akan segera menyambut. Benarlah, kami tiba tepat pukul 16.00. masih cukup terang untuk mencari lokasi nge-camp, sambil mencari informasi mengenai situasi keamanan di sekitar pantai.

Ternyata, lokasi parkir dengan camp area cukup jauh dan terhalang oleh bukit kapur. Hati makin ragu saat tahu bahwa tidak ada penjaga parkir. Sedangkan kalau malam, semua pedagang akan pulang. Aku pun was-was, kawatir kalau terjadi apa-apa dengan motor tersayang. Sambil mengumpulkan nyali kamipun sempatkan diri untuk menikmati air terjun di bibir pantai sebagai andalan tempat ini. Di sisi seberang gelora ombak dahsyat dengan gemuruh suaranya yang sangat keras. Dari pengalaman mengunjungi pantai-pantai pulau Jawa, bagiku tempat ini memiliki gelegar suara yang terdahsyat. Ada sensasi tersendiri saat mendengarnya.

Satu jam kami berkeliling menikmati segala yang ada. Aku sebenarnya ingin melanjutkan kisah dengan menyusuri jalanan Trenggalek untuk menemukan pantai lainnya, yang mungkin bisa untuk mendirikan tenda dengan jaminan keamanan yang lebih baik. Namun, terlihat isteriku sudah sangat letih dan tidak ada gairah untuk kembali meliuk di atas motor. Untuk mengatasi keadaan ini, kuberanikan diri untuk meminta ijin kepada penjaga warung, “bolehkah kami membawa motor ke lokasi camp. Karena waktu telah senja, pengunjung telah mereda. Maka, penjaga warung itu pun memberi ijin. Lega rasanya. Segera gas aku puntir lagi membawa kami untuk segera menemukan tempat mendirikan tenda. Tidak menunda waktu, kami pun mendirikan hotel terindah. Sebuah tenda yang berdiri gagah dengan latar hutan dan rerumputan yang menghijau. Di sebelah terdengar harmoni nyanyian gemuruh ombak. Sedangkan disisi lainnya merdu mengalun gemericik air terjun. Menjadikan tenda kali ini, sebagai tempat peristirahatan yang paling nyaman. Bagaikan berada di hotel papan atas.

Malam pun merangkak mengundang lelah raga untuk segera mendulang tenaga. Memasak ala petualang, menu sederhana dengan kandungan nutrisi yang memenuhi syarat. Di luar tenda taburan bintang menghiasi malam. Tanda-tanda akan cerah sepanjang malam. Usai menikmati hidangan malam, isteriku tidak menunggu untuk segera menyiapkan diri rebah nyaman-beristirahat. Bagiku teramat sayang, bila suguhan alam yang begitu mempesona hanya ditinggal tidur. Kendati raga lelah, masih kusempatkan diri untuk bercengkerama dengan pesona malam di pantai Pelang.
Saat fajar, niat hati mau bangun pagi-pagi, mandi di bawah air terjun. Namun, niat kami tidak direstui, hujan turun dengan lebatnya. Terpaksa menunda rencana. Tidur lagi. Jam 06.00, tanda-tanda hujan reda tidak juga memberi isyarat. Kami pun memutuskan untuk nekat hujan-hujannan sambil mandi di bawah air terjun. Seolah-olah menjadi taman pribadi. Hanya kami berdua yang mandi di bawah guyuran sejuk air terjun. Disyukuri saja.

Sekitar pukul 07.00 usai kami mandi, namun pertanda hujan mereda juga tidak akan terjadi. Menunggu sambil menikmati minuman hangat, itulah yang kami lakukan. Namun, apa daya perut belum terisi, maka suasana kurang begitu ternikmati. Jam delapan pertanda hujan tidak juga reda. Malah makin lebat. Kuputuskan untuk nekat bongkar tenda. Target jam 09.00 harus sarapan dan meneruskan perjalanan. Karena ada harapan jangan sampai malam kami tiba di rumah tercinta.
Di bawah guyuran hujan, aku pun nekat bongkar tenda, segera packing. Segala perlengkapan telah siap diajak melanjutkan kisah. Meninggalkan pantai Pelang dengan penuh kenangan. Syukur di area parkir telah banyak warung yang buka, kami pun merapat sambil menunggu hujan reda. Memesan makanan. Lalu sarapan. Tetapi, yang ditunggu-tunggu juga tidak memberi pertanda, masih hujan. Nekat adalah keputusan yang tidak dapat ditawar. Sebenarnya kami berencana untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata Trenggalek. Tetapi karena cuaca yang kurang mendukung, kami memutuskan untuk pulang ke Solo. Tepat pukul 09.30, kami meninggalkan pantai untuk melukis kisah hidup berikutnya.

Kembali berkelok motor dengan kehati-hatian yang meningkat 200%, karena jalanan yang super licin. Di sana-sini masih banyak aliran air bahkan di beberapa tempat jalan menjadi aliran sungai. Tanjakan, turunan dan tikungan dengan cuaca hujan menjadi tantangan tersendiri. Ini lah petualangan yang sesungguhnya. Asik aja. Dinikmati. Hingga tidak terasa, kami pun telah tiba di pertigaan Ngadirojo, Pacitan. Kami memutuskan untuk melewati jalur beda, agar memberi sedikit warna-rasa perjalanan. Kami tidak melewati jalur JLS tetapi melewati Ngadirojo-Telukan-Pacitan. Medan masih sama, yaitu tanjakan, tikungan dan turunan. Hujan masih setia menemani perjalanan. Hati-hati menjadi keharusan. Di penghujung gunung yang kami lalui, mata membelalak karena alam menyuguhkan keindahan kota Pacitan yang dipeluk oleh teluk Teleng Ria. Hijau perbukitan dan pegunungan yang dihiasi dengan tarian awan-awan, menjadikan perjalanan ini sungguh eksotis. Perjalanan sederhana namun menemukan berjuta makna dan kisah. Kami pun berhenti sejenak untuk menikmati sungguhan alam.

Kembali motor meliuk membawa kami menuju ke lokasi berikutnya. Pantai Teleng Ria adalah target kami. Karena di sana terdapat kuliner seafood yang cukup murah. Pesan makanan, menikmatinya, belanja oleh-oleh sambil sejenak mengurai lelah dengan tiupan sepoi angin pantai. Segar raga, tenaga pun berlipat, semangat kembali berkobar dan yang sangat penting adalah hujan telah reda. Saatnya melanjutkan perjalanan.

Menari kami di atas kuda besi tercinta, hingga tidak terasa telah sampailah kami di Wonogiri. Penat raga tidak dapat kami sembunyikan. Istirahat sejenak. Energi yang terkuras menjadikan konsentrasi dan nyali kian ciut. Maka, kecepatan pun  kian kami lambatkan agar keamanan lebih bisa ditingkatkan. Hingga tepat pukul 16.00, kami telah tiba di rumah tercinta dengan selamat dan membawa berjuta arti hidup.
Syukur kepada Tuhan Sang Teman Sejati yang telah menaungi perjalanan dan kisah ini. Sehingga kami beroleh keselamatan dan kisah yang mematri dalam hati. Dari perjalanan sederhana ini, aku hanya mau menegaskan: hati yang terbuka akan memudahkan untuk bisa menangkap segala peristiwa sederhana menjadi penyejuk dahaga hati, dahaga sukma dan dahaga jiwa. Semoga kisah sederhana kami ini, bisa menjadi inspirasi untuk yang lainnya, bahwa untuk menemukan kedamaian hati tidak selalu melalui peristiwa-peristiwa hebat. Hanya sebuah panorama sepanjang perjalanan yang dinikmati dengan hati menjadi penghiburan yang luar biasa, membawa hati untuk sejenak merasakan sukacita, kedamaian dan kebahagiaan.