Jumat, 12 Februari 2016

CATATAN PERJALANAN: PUNCAK ARGOPURO LASEM

CATATAN PERJALANAN: PUNCAK ARGOPURO LASEM
Oleh: Heri
 
sunrise puncak argo
             Berawal dari informasi yang hanya sepenggal saat berselencar di dumay. Naluri menjelajah mungkin telah mendarah-daging dalam jiwaku. Setiap saat ada rasa rindu untuk berpetualang dan memasuki daerah yang selama ini asing bagiku. Oleh karena itu, jika memiliki waktu longgar, aku sering berselancar, main internet hanya sekedar mencari artikel tentang tempat wisata yang baru. Bagiku keindahan bukan “menurut definisi” atau “menurut kata orang”. Banyak orang berargumentasi tetang sebuah keindahan tempat, namun saat dikunjungi ternyata tidak sebagaimana yang dimaksudkan. Berbekal dari pengalaman, akhirnya aku berani mengambil kesimpulan bahwa tempat yang bagus/ indah sangat tergantung pada subyek yang menikmatinya. Sedangkan subyek tersebut sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya. Di teras rumah pun, jika hati sedang dalam keadaan senang maka akan merasa di tempat yang terindah. Intinya, hati yang senang adalah kunci untuk menemukan tempat yang terindah di bumi ini.
Hasil bongkar-bongkar dumay, membawaku pada satu informasi bahwa di daerah pantura ada gunung yang keren. Tidak hanya gunung Muria Kudus yang terkenal dengan julukan “Puncak 29 atau Puncak Sapto Renggo” nya. Pada suatu waktu, gunung ini juga pernah mengundangku untuk bercumbu dengannya. Hingga akupun rindu untuk kembali memeluknya. Namun, untuk saat ini rasa penasaranku tertambat pada informasi tentang gunung di kabupaten Rembang yaitu gunung Lasem yang terkenal dengan sebutan “Puncak Argopuro Lasem”.
Gunung Lasem, dengan puncak Argopuronya, merupakan sebuah gunung kecil yang terletak di sebelah timur kota Lasem kabupaten Rembang. Membujur di antara Pegunungan Kapur di sebelah selatan hingga ke pesisir laut Jawa di sebelah utara. Gunung  ini mempunyai ketinggian sekitar 806 meter dpl. Tidak terlalu tinggi, aku membayangkan. Namun pengalaman saat mendaki Gunung Cermai via Linggarjati yang dimulai dari titik 700 mdpl, membuatku tidak boleh meremehkannya. Aku juga belum tahu start pendakian gunung Lasem ini dari ketinggian berapa? Misalnya dari titik 0 mdpl, bisa dibayangkan dahsyatnya kan?
Meskipun tidak terlalu tinggi, puncak ini cukup ramai dikunjungi oleh para pecinta alam yang umumnya berasal dari Rembang, Pati, Blora dan Tuban. Bahkan menurut informasi bahwa gunung ini akan penuh dengan pengunjung pada saat-saat tertentu, misalnya pada malam pergantian tahun dan liburan sekolah. Melihat beberapa foto dan juga vidio-vidio yang beredar di internet,kukira gunung ini cukup menarik untuk dikunjungi. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk membuka lembaran baru tahun 2016 dengan menyelami gunung ini.
Saatnya berpetualang.
Petualangan ini sebenarnya adalah bagian dari rangkaian touring awal tahun di daerah pantura Jateng. Bagiku, gunung ini rasanya spesial dan sayang kalau diceritakan bersamaan dengan tempat-tempat yang kami kunjungi. Maka, sengaja aku penggal dan bagikan secara terpisah.
Aku adalah Heri Jimanto dan tentunya dengan teman setiaku, yaitu isteri tercinta, Regina Nunuk kembali mencoba mewarnai hidup. Jumat, 1 Februari 2016 kami menetapkan langkah untuk berkeliling daerah pantura dengan sepeda motor. Salah satu tujuan kami adalah mendaki gunung Lasem. Rembang-Solo, tentunya bukan jarak yang pendek untuk ditempuh dengan motor dan berboncengan, belum lagi full muatan siap tempur. Saat pagi menjelang, kami pun meninggalkan rumah dan secara perlahan mengarah ke tujuan.

Rute yang kami pilih adalah Solo-Purwodadi-Blora-Rembang. Dua kabupaten terakhir, yaitu Blora dan Rembang buatku merupakan tempat yang asing. Sering mendengar ceritanya, tetapi belum pernah melewatinya. Kami bukanlah petulangan modern yang biasa mengandalkan GPS. Bagi kami, bertanya bila tersesat atau ragu-ragu merupakan keharusan. Setelah mengais informasi dengan rajin bertanya, akhirnya kami telah tiba dipertigaan Nyode, kecamatan Pancur, sekitar 6 km dari kecamatan Pamotan dan sekitar 5-6 km dari kecamatan Lasem. Dari pertigaan ini, belok ke kanan atau ke arah  deretan perbukitan di sebelah timur.
Dari sini perjalanan mulai menantang. Sebenarnya jalanan telah diaspal, namun keadaan jalanan yang sempit, berkelok dan kadang menanjak dan menurun. Sekitar 8 km dari pertigaan Nyode kami menuju pos pendakian yaitu desa Ngroto, kecamatan Pancur kabupaten Rembang. Untuk sampai di desa ini, sebenarnya ada panduan alami, yaitu barisan tower-tower pemancar. Dari kejauhan selalu terlihat, kadang tenggelam di balik perbukitan, saat kebingungan kembali melihat deretan tower tersebut dan yakinlah bahwa itu arah yang benar. Menjelang sampai di taman tower tersebut, kami berbelok ke kiri, keluar dari jalanan beraspal untuk meniti jalan makadam atau jalan cor. Menempuh jalan makadam sekitar 1-1,5 km, tibalah kami di ujung desa Ngroto dengan penanda sebuah masjid besar. Di samping masjid ini lah, salah satu rumah penduduk sebagai tempat base camp dan warung yang sekaligus sebagai tempat penitipan sepeda motor.
ini sedikit gambaran tetang hutan puncak argo
Sekitar jam 14.00, kami tiba di base camp. Kami pun beristirahat dan sejenak ngobrol dengan beberapa penduduk asli yang sedang berada di warung. Dari obrolan tersebut, aku menjadi tahu bahwa Lasem memiliki hasil durian yang terbaik. Durian Lasem tidak pernah bisa keluar daerah, karena selalu habis diburu pembeli dan dimakan di tempat. Jadi kepengin, hehe. Cukup lama, aku dan isteriku menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol santai, karena rencananya jam 16.00, kami baru akan memulai pendakian. Buatku, bisa ngobrol dan berbagi pengetahuan serta pengalaman hidup dengan penduduk asli adalah hal yang luar biasa. Perjumpaan yang memberi kesempatan menimba ilmu hidup, informasi dan pengetahuan.
megap-megap mas bro
Kami dipersilahkan untuk mengisi buku tamu. Setelah itu, kami pun melakukan cecking peralatan dan perbekalan. Rencana kami akan mendirikan tenda dan nge-camp di puncak, sambil menikmati panorama alam kala malam. Tentu akan memberi warna yang lain dalam hidup. Setelah semua kami rasa beres, saatnya untuk memulai pendakian.
isteriku jg menggos-menggos. tp masih bisa tersenyum
Ini merupakan perjalanan pertamaku tentang pendakian gunung dengan ketinggian di bawah 1.000 mdpl (meter dari permukaan laut). Berbekal segala informasi mengenai jalanan, tikungan dan tentu beberapa tempat yang dihormati, serta disakralkan oleh penduduk menjadi modal awal untuk memulai ekspedisi sederhana ini. Pada mulanya kami menapaki jalan makadam sekitar 100 m. kemudian kami melewati jalanan perkebunan, yaitu jalan tanah liat, batu gunung yang licin dan kadang dihiasi kotoran sapi yang teronggok indah. Setelah sekitar 500 meter, area perkebunan pun berakhir. Ada persimpangan, kami harus memilih ke arah kiri, yang mengarah pada jalan punggungan bukit. Karena inilah rute yang benar.
sing sabar mas bro
Terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi, buatku ini merupakan tantangan besar. Baru berjalan sekitar 20 menit namun rasanya badan bagai terbakar. Begitu panas. Mandi keringat. Terasa sangat menguras tenaga. Lemas.
Padahal kalau mendaki gunung-gunung yang tinggi dengan awalan cuaca dingin, buatku pribadi perjalanan kalau masih di bawah tiga jam, itu belum terasa apa-apa. Tapi ini, perjalanan yang baru 20 menit namun terasa telah mendaki gunung selama 6 jam. Belum lagi ketika mencoba istirahat sejenak untuk menghela nafas, nyamuknya langsung berbondong-bondong menyerang. Seketika badan menjadi bentol-bentol. Segera kukeluarkan perlengkapan P3K untuk mengambil obat nyamuk lotion. Karena badan terus mengucurkan keringat, maka lotion pun tidak bertahan lama. Serangan kembali. Semprot lagi.
Pendakian ini, buatku adalah hal yang sangat-sangat baru. Berdasarkan pengalaman mendaki dan menjelajah berbagai gunung tinggi, dalam situasi seperti ini aku harus memposisikan diri sebagai pemula. Berhadapan dengan gunung rendah yang notabene aku belum punya pengalaman. Maka, segala pengalaman gunung tinggi sejenak aku tanggalkan. Bermodal prinsip survival sederhana bahwa selama kaki masih mau melangkah sejauh apapun tujuan pasti akan tercapai. Alon-alon waton klakon ae lah.  Setapak demi setapak kaki aku langkahkan. Berharap semoga ragaku cepat menyesuaikan dengan keadaan. Karena adaptasi dengan suhu setempat adalah modal yang sangat menentukan dalam suksesnya sebuah pendakian.
capek yo istirahatlah,,
Prinsip umum dalam dunia pendakian tentang “Jangan anggap remeh”, selalu aku dengungkan dalam kepalaku, supaya aku tidak lepas kendali dan menjadi sombong di hadapan alam semesta. Maka, kerendahan hati menjadi kunci di setiap tempat dengan harapan mampu menghormati  segala yang ada.
Kendati terik mentari tidak menyilaukan bumi, awan cukup tebal untuk menyembunyikannya, namun rasanya tetap panas. Dengan demikian, track gunung ini cukup membuat aku ngos-ngosan. Sebenarnya, perjalanan standar pendakian dari jalur Ds.Ngroto Kec. Pancur sekitar 2,5jam santai. Namun, rasanya sangat-sangat lama.
hutannya dpt buat obat lelah
Selepas batas perkebunan dan hutan, jalur menanjak cukup terjal. Untungnya, kanan-kiri jalur terlindung hutan yang cukup lebat. Kebanyakan tanaman keras adalah buah-buahan, seperti durian, nangka, petai dan mlinjo. Menurut penduduk, bila pendaki menemukan buah yang sudah masak, pendaki dipersilahkan untuk menikmatinya. Dengan catatan tidak boleh dibawa pulang. Buatku ini adalah sebuah kearifan lokal yang sudah sulit dicari.
Sekitar 45 menit, sampailah kami di pos I. di sini hanya sebidang tanah datar, yang tidak ada papan penunjuknya. Tempat ini menandai tanjakan yang telah mereda. Dan berganti dengan track datar, hanya berkelak-kelok mengelilingi punggungan-punggungan bukit. Sekitar 45 menit perjalanan akan melewati jalur landai namun menantang, karena banyak jurang di sana-sini ditambah pepohonan yang rimbun sepanjang jalan terutama rotan yang berbahaya karena duri-duri yang bisa membuat luka. Berakhirnya medan datar, biasa disebut dengan Pos II. Di sini juga tidak ada keterangan apa-apa. Hanya sebidang tanah datar yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.
hutannya lebat coy
Kembali jalur menanjak. Antara Pos II ke Puncak sekitar 30 menit. Sepanjang jalur, kami melihat adanya vegetasi yang didominasi oleh semak belukar dan pohon berukuran sedang dengan diameter rata-rata 40-60 cm, hanya sedikit pohon bediameter besar. Jenis rotan, kopi, dan tumbuhan akasia banyak terdapat di sini. Menurut penduduk setempat, jika beruntung masih akan ketemu dengan beberapa satwa, misalnya kucing hutan, babi hutan dan lutung. Saat kami turun, aku masih melihat burung elang (jenis bido) melintas di langit kawasan pegunungan.
Menjelang sampai Puncak Argo, jalur sudah sedikit terbuka. Sehingga bisa melihat gugusan perbukitan dengan keindahan panorama yang ditawarkannya. Aku merasa tubuhku telah sempurna beradaptasi, maka dengan tenang aku melenggang. Hingga tepat dua jam kami telah sampai di Puncak Argo.

di sana tu laut Jawa ya mas bro

laut Jawa dr puncak argo
barisan guugsan bukit-bukit dari puncak argo
Kami pun bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang telah mendahului kami. Karena sebelumnya, sepanjang perjalanan, kami hanya bertemu dengan satu orang yang tercecer dari rombongannya, ia berasal dari Tuban. Jalur pendakian gunung ini, tidak sebagaimana gunung-gunung di sekitar Yokyakarta, yang ramai, sehingga setiap saat bisa bertemu dengan pendaki lainnya.
Segera kami pun mencari lokasi tenda. Dengan harapan dapat memandang keindahan alam yang tersaji luar biasa. Sejenak berdecak kagum. Lalu tanpa menunda waktu, segera mendirikan tenda. Sedikit informasi bahwa untuk area camping, di puncak Argo terdapat bidang tanah yang sempit kira-kira hanya mampu menampung 100 pendaki. Selain itu ada beberapa titik yang agak berjauhan, namun bisa dijadikan tempat nge-camp.
tenda kami yg berasa hotel  berbintang
Puncak Argo menawarkan view yang beragam, diantaranya adalah sunrise dan sunset lengkap dengan atmosfer khas pegunungan berupa kabut dingin dan pemandangan kota-kota di bawah dengan kerlap-kerlip lampunya. Dari sini kita bisa melihat laut jawa dengan jelas. Suasana malam di tempat ini juga mengesankan dengan hamparan langit luas dan jutaan bintang terbebas dari polusi cahaya dan hingar bingar lampu kota. Di pagi harinya kita akan disambut oleh riuh segerombolan lutung yang mulai beraktifitas mencari makan.
Malam mulai merangkak, terang berganti gelap udara sejuk khas pegunungan dekat laut pun terasa. Angin terus berhembus dengan sesekali membawa awan dari lautan dan tidak menunggu lama, hujan pelanpun turun dengan anggunnya. Di sini, sering terjadi hujan laut. Karena dari sisi utara langsung menghadap laut Jawa. Sehingga akan mudah sekali terjadi hujan. Kabut tipis pun tidak henti-hentinya datang dan pergi.
Saat badan mulai menggigil, kiranya kenyamanan tenda menjadi jawaban. Masuk tenda, memasak dan menikmati makan malam ala anak gunung. Lelah raga setelah melakukan perjalanan jauh dari Solo-Rembang, dilanjutkan hiking dengan jarak tempuh yang lumayan ditambah perut yang kenyang, menjadikan mata langsung merapat. Isteriku pun dengan segera bersiap-siap untuk lelap. Sedangkan aku sendiri, menyempatkan diri untuk sejenak bercengkerama dengan keindahan alam kala malam. Dan sesekali berbagi kisah dan pengalamaan dengan pendaki lainnya.
Setelah merasa cukup bercengkerama dengan keindahan alam puncak Argo gunung Lasem, aku pun merebahkan diri untuk mendulang energy. Agar besok bisa melanjutkan kisah. Pagi pun menjelang,  badan telah segar, namun keindahan mentari terbit tidak menyambut kami. Tidak apalah, mungkin ini jadi PR kami yang akan mengundang kami untuk kembali datang ke sini.
puncak argo
Kami pun dengan segera membuat menu pagi. Sarapan. Bongkar tenda. Saatnya turun. Kembali menikmati dan menjalani rutinitas hidup.
selamat tinggal puncak argo, dan kami selalu rindu untuk kembali
Trimakasih Argopuro Lasem, damaimu telah mengisi hati kami. Hingga kami pun bisa belajar untuk saling mengisi hidup dengan satu prinsip kerendahan hati. Semangat rendah hati adalah cara terbaik untuk membawa diri dalam segala situasi. Rendah hati adalah cara terbaik untuk mengubah hidup menjadi semakin baik. Dengan demikian, semangat rendah hati lah yang akan menghantar hidup kami dipenuhi dengan kedamaian, sukacita dan bahagia.






18 komentar:

  1. Insya Allah habis lebaran tahun ini mau mudik, sekalian muncak Argopuro, saya ssudah dua kali muncak lewat jalur Kajar dan Ngroto, terakhir tahun 1995, karena membaca tulisan Mas Heri jadi kangen juga... ke Argopuro.

    BalasHapus
  2. bernostalgia dg alam, unt meneukan serpihan kisah yg telah abadi dlm jiwa. monggo2

    BalasHapus
  3. pengen muncak meneh reeek.... 😃

    BalasHapus
  4. Ada mitos2 atau cerita misteri ga di argopuro ?

    BalasHapus
  5. Sabtu mau otw ni kesana
    hehe maaf, saya asal komen ya
    pertamakali muncak ni, dan kelengkapan g semua ada

    BalasHapus
  6. alhamdulillah langkah kaki sudah pernah nyampai disana.. Dan view dari atas keren abis.. Langsung pemandangan laut ��

    BalasHapus
  7. Pernah sekali ke argo dan hari ini tgl 23 desember kali kedua aku muncak ke argo, moga masih inget jln kesana. 😂

    BalasHapus
  8. Keren Pak, oh iya Solo nyah mana Pak? Siapa tau kalau pas main ke Solo bisa shareing.. hehe 😅

    BalasHapus
  9. Saranku jangan tidur di jam 11.00- 02.00, bakal ketinggalan kerlip indah lampu jalur pantura, kalo gak berkabut siihh, hehehe

    BalasHapus
  10. Saranku jangan tidur di jam 11.00- 02.00, bakal ketinggalan kerlip indah lampu jalur pantura, kalo gak berkabut siihh, hehehe

    BalasHapus