Kamis, 17 Desember 2015

MERBABU VIA SWANTING: BERDUA KITA BISA

MERBABU VIA SWANTING: BERDUA KITA BISA
Oleh: Heri
 
samudera awan dari pos iii, dampo awang
Dua hari berturut-turut kalender berwarna merah, sering dipahami sebagai long week end. Hari libur panjang. Biasanya, hari-hari seperti ini digunakan untuk rekreasi dan liburan. Bagiku long week end adalah istilah yang digunakan oleh mereka yang telah mapan. Mapan dalam pekerjaan atau pun mapan dalam kehidupannya. Mereka yang tidak lagi disibukkan dengan urusan “mencari rejeki”. Kelas mapan selalu memiliki agenda yang hampir tetap, sehingga mereka bisa leluasa untuk mengatur hari liburnya, mengatur dirinya untuk sejenak berpaling dari rutinitas dan kesibukannya.
Tetapi, untuk mereka yang tidak bekerja secara rutin dan teratur, long week end merupakan saat untuk mencari rejeki. Hari-hari seperti ini adalah peluang besar untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Libur panjang adalah kesempatan dan peluang untuk menambah pendapatan.
Hari yang sama tetapi dimaknai oleh dua kelompok secara berbeda. Buatku, hal inilah yang menarik untuk dilihat, diamati dan direnungkan. Buatku long week end selalu memberi pembelajaran hidup yang beragam. Tidak selalu sama. Tetapi juga tidak selalu berbeda. Buatku, yang terpenting adalah bahwa setiap perjumpaan akan memberi warna baru bagi kehidupanku.
Sabtu-Minggu, 16-17 Mei 2015 merupakan long week end. Maka, aku beserta isteriku juga menyiapkan diri untuk mengisinya dengan kegiatan yang tidak seperti biasanya. Aku berencana untuk mengisinya dengan rekreasi alam. Mendaki gunung mungkin pilihan yang baik.
Dua minggu menjelang hari H, aku informasikan ke beberapa teman, siapa tahu ada yang mau gabung. Banyak yang merespon. Banyak pula yang berminat. Kami pun menetapkan untuk menapaki setapak Lawu dari jalur Candi Cetho. Aku berpikir, ini sekaligus bernostalgia pada petualangan dua tahun yang silam. Pada hari-hari libur panjang, jalujr popular untuk setiap pendakian pasti akan sangat ramaia. Maka, kami sengaja memilih jalur Candi Cetho, jalur yang belum popular sekaligus jalur dengan trek yang cukup panjang. Banyak yang bergetar ketika mendengar jalur ini.
Satu minggu menjelang hari H, masih banyak yang berminat. Jumlah anggotga yang kan gabung masih bertahan di angka 9 orang. Rombongan yang banyak dan pasti akan meriah. Tiga hari menjelang hari H, yang masih bertahan tinggal 5 orang. Masih cukuplah.
Tetapi saat H-1, tinggal aku dan isteriku. Memang sudah menjadi prinsipku, “apapun keadaannya, yang telah terencana sudah semestinya dilaksanakan”. Walau hanya berdua, mendaki tetap jalan. Namun, mendadak lengan isteriku kembali tidak bisa digerakkan. Penyakit lama kambuh. Apa boleh buat. Rencana harus ditunda.
Malam menjelang isteriku masih bertanya, “Gimana mas, besok tetap mau mendaki?”
“Liat keadaan, kalau lengannya udah bisa digerakkan ya jalan. Tapi kalau belum bisa, kan masih ada hari lain”.
Sebelum istirahat, kusempatkan diri untuk mengurut lengan isteriku. Berharap besok menjadi lebih baik. Hingga bisa melaksanakan apa yang telah terencana. Aku tidak berani berharap banyak. Hingga akhirnya, aku hanya menghabiskan waktu dengan nonton televisi. Malam melaju. Hingga larut. Mata tidak lagi bertahan. Aku pun rebah. Saat mentari telah tinggi, aku pun berjaga. Isteriku juga. “Gimana keadaannya, udah membaik?”
“Sudah mendingan. Bisa untuk beraktifitas. Tetapi belum berani untuk menggedong tas”
“Tapi masih berani ndaki nggak?”
“Ya masih tetapi gak berani bawa barang”
“Kalau semua perlengkapan dan barang bawaan, aku yang bawa gimana?”
“Entar kasian mamasku lah”
“Gak pa-pa, siap saja. Pokoke digawe nyante ae. Tapi kalau jadi berangkat. Sebaiknya kita gak ke Lawu. Kita mesti ganti haluan. Tetap ke gunung tetapi nyari jalur yang belum popular. Aku ada usul gimana kalau ke Merbabu lewat Swanting”.
Di luar dugaan, isteriku pun langsung mengiyakannya. Segera berkemas. Terbiasa mendaki, maka dalam sekejap pun semua perlengkapan pokok telah masuk dalam satu tas kerir. Tinggal belanja beberapa logistik tambahan, untuk menegaskan bahwa pendakian ini adalah pendakian rekreatif. Biasanya, aku akan membawa buah jeruk, ikan nila, kentang dan minyak goreng. Memang logistik yang aku bawa bukan logistik yang direkomendasi untuk pendakian. Logistik yang aku bawa memang cenderung berat, cara memasaknya pun lama. Ribet, tidak praktis. Tapi buatku, itulah cara terbaik untuk menikmati pendakian. Membuat menu special dengan bumbu rahasia hehe.
Sekitar pukul 09.00 aku dan hanya dengan isteriku mulai meninggalkan Solo untuk menuju base camp pendakian Merbabu di dukuh Suwanting, desa Banyuroto, Sawangan, Magelang. Perjalanan cukup lancar. Cuaca sangat baik. Motor terus meliuk di jalanan yang naik-turun, berkelok-mengular. Hingga saat waktu berada pada titik 11.00, tibalah kami pada tempat yang dituju. Base Camp Merbabu Via Suwanting”.

            Pengalaman pendakian yang lalu di jalur ini bahwa saat kaki berpijak pada bumi, ramah penduduk setempat langsung menyambut kami. Sapaan yang tulus dan penuh makna, yaitu “nyedulur”, terbuka pada persahabatan juga persaudaraan.
Para pemuda yang tergabung dalam paguyuban “Karang Taruna” menerima, menyambut dan mempersilahkan kami dengan sangat-sangat sopan, ramah dan penuh dengan rasa kekeluargaan. Kami pun dipersilahkan untuk sejenak istirahat dan ngobrol dengan pak kadus dan anaknya (Mas Eko). Karena mereka masih ingat dengan diriku, maka percakapanmu seolah-olah kami bagaikan sahabat karib. Sejenak kamipiun berbagi kisah. Terutama akan perkembangan jalur pendakian Suwanting ini. Memang terlihat, bahwa sudah banyak pendaki yang mencoba jalur ini. Mereka juga mengucapkan terimakasih atas informasi yang aku sebarkan via blog.
Rasa penasaran ketika mas Eko berucap, “Sekarang udah banyak perubahan di trek-trek pendakian. Liat saja dan buktikan”. Ingin segera aku menapakinya.
Aku pun segera packing ulang. Melihat barang bawaan yang begitu banyak dan aku hanya membawa kerrir 60 liter, menjadikan tuan rumah beserta beberapa pendaki terheran-heran. “Bagaimana ngaturnya? Apakah semua bawaan itu bisa masuk?”
Aku hanya tersenyum, “Liat aja, bagaimana aku packing. Sekalian belajar untuk dapat ilmu baru”.
Sekitar pukul 12.20, kami pun mulai melangkah. Membuka diri pada pengalaman baru. Inilah petualangan.  Cara rekreasi yang beda.
Masih segar dalam ingatan bahwa jalur Swanting pada awalnya merupakan jalur penduduk untuk melakukan ritual di puncak Merbabu. Maka jalur ini medannya cukup terjal. Untuk penduduk setempat hanya membutuhkan waktu 3-4 jam. Jalur ini belum memiliki ijin resmi dari pihak Taman Nasional Gunung Merbabu (masih dalam proses). Makanya, retribusi untuk setiap pendaki hanya Rp. 5.000 (brarti udah naik Rp. 2.000, hehe) ditambah biaya parkir motor Rp. 5.000. Karena jalur ini belum resmi maka tidak ada karcis, tidak juga ada asuransi. Tetapi tanggungjawab dari pengelola sangat luar biasa[1].
Satu hal yang sangat berkesan di base camp ini adalah penerimaan mereka. Walau baru pertama bertemu namun seolah-olah kita telah lama kenal. Hingga keakraban yang terjalin pun begitu dekatnya.
            Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga base camp, tepat pukul 13.00 kami memulai pendakian. Mengawali kisah ini, kami sangat santai. Kami disambut dengan sapaan penduduk yang luar biasa akrabnya. Setiap kami menyapa penduduk, mereka menyambut dengan ramah. Mereka selalu mengundang kami untuk berkenan singgah di rumahnya. Sungguh dinamika seperti ini lah yang menjadikan jalur Swanting berbeda dengan jalur pendakian lainnya. Saya yakin keramahan penduduk Swanting kiranya akan menjadi daya tarik utama jalur ini. Dan saya berharap semoga keramahan ini tidak luntur bersama berjalannya waktu. Amin.
Sekitar 8 menit meninggalkan base camp, menyusuri jalan kampung, aku dan isteriku dihadapkan pada persimpangan. Sekarang telah ada papan penunjuk arah. Kami pun mengambil arah kiri. Sekitar 10 menit kami menyusuri jalur ladang penduduk. Lalu kami ketemu dengan batas hutan yang masih sangat lebat. Hutan pinus dan cemara dengan pepohonan yang rapat. Sekitar 5 menit kami menyusuri setapak hutan ini, sampailah kami di Pos I, yaitu Lemba Lempong[2].
Di pos ini memiliki area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Pemandangan yang disajikan pun sudah cukup menarik. Ada keindahan perkampungan yang kalau malam hari pasti menyajikan panorama gerlap lampu neon. Tempat yang datar dengan kanopi-rimbun pepohonan. Juga hamparan padang rumput luas yang nyaman untuk tiduran. Untuk sampai di pos ini, juga tidak terlalu jauh. Dari base camp hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 25 menit.
Di pos ini, ada satu keluarga yang sedang happy-camp. Kami sempat bertegur sapa. Lalu kami meneruskan langkah. Setapak terlihat jelas. Namun medan kian menanjak. Waktu tempuh dari Pos I ke Pos II sekitar 60 menitan. Sepanjang jalur ini, kami melewati 3 selter, yaitu secara berurutan Lemba Gosong, Lemba Cemoro dan Lemba Ngrijan. Masing-masing selter memiliki area yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda antar 1-3. Sepanjang jalur masih didominasi dengan pemandangna hutan yang lebat.
Sekitar pukul 14.30, kami tiba di Pos II, yaitu Pos Lemba Mitoh. Pos ini menyuguhkan panorama yang lebih ajib dari pada Pos I. Panorama lembah terlihat, sedangkan punggungan bukit dan hutan yang menghijau asri terlihat di sisi kanan dan kiri. Di pos ini juga memiliki area untuk mendirikan tenda sekitar 6-7. Area yang cukup luas. Sampai di pos ini, kami tidak bertemu dengan pendaki yang lain. Untuk sejenak, kami pun beristirahat sambil menikmati perbekalan.
Sekitar pukul 15.00, kami melanjutkan perjalanan. Petualangan ini mesti kami tuntaskan. Beban dipundak makin berat terasa. Namun, demi isteriku, saya mencoba bertahan. Isteriku masih bersemangat meneruskan kisah. Kendati lengannya juga belum membaik. Sepanjang perjalanan kami banyak bercerita, melucu dan mengais kenangan-kenangan masa silam  yang membanggakan. Pendakian yang romantis hehe.
Tanjakan kian dahsyat, tanjakan tanpa bonus. Terus naik dengan kemiringan antara 25-40 derajat. Sungguh medan yang tidak mudah untuk pendaki yang seusiaku. Setiap usai melangkah sekitar 10 meter kami berhenti untuk mengatur nafas. Perjuangan yang luar biasa.
Tidak berapa lama, sekitar 20 menit, kami tiba di puncak bendera[3]. Pada saat jalur ini dirintis, pos ini belum ada. Di sini kami bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang menikmati keindahan semesta. Sejenak bertegur sapa, kami pun melanjutkan langkah. Usai pos ini, medan tidak terlalu terjal. Cenderung landai. Hingga sampai di selter Lemba Manding. Perjalanan dari Pos II hingga di selter ini, sekitar 45 menit[4].
Selepas Lemba Manding, medan makin menantang, tanjakan curam dengan kemiringan 40-55 derajat. Belum lagi diperparah dengan setapak yang licin. Wajarlah karena jalur ini tertutup rapat, sehingga sinar matahari sulit menembusnya. Harus ekstra hati-hati. Sepanjang jalur kami bertemu dengan beberapa pendaki. Rata-rata masih muda. Setiap kami mendahului, terpancar dari sorot mata mereka yang “kurang terima”. Lalu mereka mencoba membalap. Kami biarkan. Namanya juga anak muda, mana mau kalah, hehe.
Namun ada beberapa pendaki yang akhirnya menyerah. Mereka tertinggal jauh di belakang. Aku hanya bisa tersenyum, dalam hati berkata, “jangan pandang raga kami yang telah renta. Karena mendaki membutuhkan pengalaman. Tidak hanya tekat baja dan tenaga”. Benarlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Managamen tenaga, waktu juga semangat sangat ditentukan oleh jam terbang. Hal ini tidak dapat diteorikan, karena setiap pribadi memiliki ritme yang berbeda. Dengan demikian tiap individu akan memiliki cara yang tidak sama dalam mengarungi setapak gunung.
Menjelang senja, saat mentari menuju peraduan, kami telah keluar dari batas hutan. Kami dihadapkan pada tanjakan sabana. Hati pun bergirang-senang. Sebentar lagi Pos III, yaitu Pos Dampo Awang. Di depan mata sudah terlihat penunjuk adanya mata air. Tepat pukul 17.30, kami pun tiba di Pos III. Di pos ini, alam menyambut kami dengan menyuguhkan panorama indahnya, harmoni sun-set. Angin sepoi nan sejuk menyusup mengurai lelah raga menjadi kebanggaan dan kebahagiaan yang tidak terbahasakan. Pengalaman yang luar biasa.

pemandangna dari puncak swantin
Tidak berapa lama, temaram senja telah mengundang malam untuk menyelimuti kehidupan. Kami pun segera mencari tempat untuk mendirikan tenda yang paling nyaman. Menurut informasi, bahwa malam ini bersamaan dengan adanya pen-mas. Dengan demikian pos ini akan menjadi sangat ramai. Maka, kami putuskan untuk mencari tempat tenda agak di pinggiran. Kemudian, tanpa menunda-menunda, segera kudirikan tenda.  

moment sun set pos iii, dampo awang
Berdua dalam tenda.
Segera kukeluarkan segala perbekalan. Malam ini, saya akan menciptakan menu yang paling spesial, yaitu nilai goreng, kentang rebus dengan hidangan penutup nata-decoco, tidak lupa buah pencuci mulutnya adalah jeruk. Pesta sederhana ala sepasang-pendaki. Mantap kan?
Aroma nila goreng membuat geger area pos tiga. Banyak yang komentar, banyak juga yang bertandang ke tenda. Setelah mereka tahu, bahwa yang memasak adalah sepasang pendaki yang tidak lagi muda, mereka hanya geleng-geleng dengan kata yang terucap, “salut”. Kujawab dengan canda, “moga bikin ngiri. Entar tirulah cara kami menikmati bahtera perkawinan, haha”.
Setelah semuanya siap. Saatnya pesta. Mari kita santap. Mak-nyus.
            Raga yang lelah dan perut yang kenyang menjadikan mata segera mau terpejam. Isteriku tanpa menunda lama, segera lelap, nyaman dalam istirahat. Tapi buatku keindahan mala mini, teramat sayang kalau dibiarkan berlalu. Sayapun membuat secangkir kopi. Sejenak keluar tenda. Membuka hati untuk menyambut dan menikmati malam. Angin manja, bukit dengan deretan sabana yang maha luas dan tarian pepohonan hutan. Serta di kejahuan terlihat kerlipan lampu-lampu kehidupan penduduk lintas daerah. Sungguh panorama yang ajib. Keren. Di sekitar tenda juga ramai oleh para pendaki. Mereka juga sedang menikmati malam. Tegur sapa dan sejenak berbagi kisah. Keakraban pun tercipta. Jalan sederhana menemukan saudara.
            Pukul 23.00, sapun kembali masuk tenda untuk istirahat. Berharap esok pagi bisa bangun dengan tenaga yang baru. Sehingga dapat bercengkerama dengan alam merbabu dalam suasana fajar dengan keindahan matahari terbitnya.
Malam masih berjaga. Tapat pukul 03.00, aku terjaga dan segera menyiapkan minuman hangat (sereal dan susu coklat). Rencana pagi ini, kami akan attact summit sekitar pukul 03.30. Raga yang masih malas-malasan terpaksa menawar target. Akhirnya kami berangkat tepat pukul 04.00.
Banyak pendaki yang memburu sambutan sang fajar di ketinggian Merbabu. Cuaca pagi ini diwarnai dengan angin yang lembut. Panorama fajar yang sangat cerah hanya bisa kukagumi dengan syukur. Barisan awan dengan warna emas karena mentari akan terbit, mengundang untuk tidak henti-hentinya memuji tuhan sang pencipta. Isteriku pun begitu. Ia terlihat sangat bahagia. Senyumnya terus mengembang, menebarkan kecantikannya yang luar biasa.

di bawah puncak triangulasi
Medan jalur dari Pos III menuju puncak didominasi oleh sabana dengan tetap menyusuri punggungan bukit. Bulan ini merupakan bulan terindah dalam menikmati hijaunya sabana Merbabu. Seolah-olah berada di hamparan permadanai warna hijau. Sejauh mata memandang hanya dimanjakan oleh tarian rerumputan yang berpadu harmoni dengan gugusan pegunungan di kejauhan. Ada gunung Merapi, Sumbing, Sindoro, perbukitan Prau juga Slamet. Sedangkan disisi timur, gunung Lawu dengan cantik tersenyum mengundang untuk ke sana. Isterikupun mengekspresikan kebahagiaanya seperti penari India, yang dengan santai rebahan di hamparan permadani alam. Sungguh ajib. Keren habis.
menatap bayang puncak merbabu, dari kenteng 8
Hingga akhirnya, target untuk menikmati sun-rise di puncak pun, kami batalkan. Isteriku dengan santainya berkata, “sun-rise ki udah biasa. Tapi indahnya sabana ini lho. Eman-eman kalau dibiarkan”. Saya hanya bisa nyengir. Semoga keceriaannya bisa menyembuhkan lengannya. Dan benarlah. Kebagiaan adalah obat paling mujarab untuk mengatasi segala penyakit. Ia sembuh.

romantis kan? hehe
Belum juga hati merasa terpuaskan, namun perjalanan juga perlu dituntaskan. Kuputuskan untuk meninggalkan sejenak keindahan sabana Merbabu jalur swanting ini. “Ayo, lanjut dulu. Entar dari puncak kita nyantai-nyantai lagi di sini”, pintaku. Insteriku dengan berat mengiyakan. Kami pun melanjutkan kembali pendakian. Hingga tepat pukul 05.45 kami tiba di  puncak Triangulasi. Lima menit kemudian, kami tiba di puncak Kenteng Songo (3.142 Mdpl). Syukur Tuhan atas penyertaan-Mu. Di sini kami bertemu dengan banyak pendaki yang sedang menikmati euphoria, kegembiraan karena mencapai puncak.

berdua kita bisa nyampai puncak merbabu
Pelan dan pasti, matahari bersinar dengan indahnya. Seolah-olah membuka rahasia pesona Merbabu. Mentari pagi ini, seolah mengajak kami untuk lebih lama berada di sini. Tetapi jelas hal ini tidak mungkin. Hingga kami pun memutuskan untuk kembali mengayunkan langkah turun.
Sepanjang perjalanan melewati deretan sabana Merbabu via Swanting ini, hati hanya bergetar, terkagum-kagum, terpana dan terkesima. Hamparan sabana yang begitu luas membawa aku secara pribadi berimajinasi ke alam yang tidak terbahasakan. Kami banyak berjumpa dengan pendaki lain yang menuju puncak. Ada beberapa yang saya kenal. Namun ada pula yang beru bertemu. Ada pula yang mengajak berfoto, “Moga besok kami bisa seperti bapake, muncak bareng karo bojone[5]. Amin.
ketemu anak-anak AGMM Magelang. saudara baru
Sekitar 45 menit kami turun dan sampailah di tenda tercinta (Pos III). Segera kami pun membuat sarapan untuk memulihkan energi agar perjalanan turun kembali bertenaga.
Bernaung di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar tenda dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah pulang. Tepat pukul 09.00 kami meninggalkan Pos III. Melangkahkan kaki dengan gembira karena pengalaman yang mempesona. Namun perjalanan belum lah berakhir. Masih ada tantangan berikutnya. Menyusuri setapak yang menurun-sempit, licin dan rapuh-mudah longsor, kami harus ekstra hati-hati.
Satu per satu selter telah terlewati. Hingga tepat satu jam, kami telah sampai di Pos II. Sekitar 30 menit kami beristirahat, sambil menikmati perbekalan yang masih buanyak. Perut yang terisi menjadikan tenaga pulih. Kembali kami pun melangkah. Sekitar 40 menit, kami telah tiba di Pos I. Kembali kami mencoba menghabiskan perbekalan. Namun apa daya, perut punya daya tampung maksimal. Hingga akhirnya kami putuskan untuk segera turun ke base camp. Beristirahat di sana lalu pulang ke rumah.
Jadi waktu tempuh yang dibutuhkan untuk perjalanan turun dari Pos III sampai base camp sekitar 2 jam 40 menit. Cukup singkat. Tetapi itu semua tergantung pada kemampuan fisik para pendakinya.
Sesampainya di base camp, kami disambut oleh pengelola. Ada penerimaan yang sangat bersahabat. Kami pun banyak berbagi pengalaman. Mereka juga meminta masukan. Tujuannnya agar pengelolaan jalur ini semakin professional. Sekitar 60 menit kami ngobrol. Lalu kami pun berpamitan untuk meneruskan perjalanan. Meliuk kembali motorku di jalan beraspal dan tepat pukul 16.00, kami telah kembali tiba di rumah tercinta. Saatnya beristirahat untuk memulihkan tenaga. Agar besok bisa kembali menekuni rutinitas dengan segar.
Terimakasih Merbabu via Swanting, setapakmu telah mengajari banyak hal tentang arti hidup dan cara mengisinya. Bersama indah parasmu, kami mampu mengambil makna untuk mewarnai hari-hari perkawinan. Bersama teduh dan rindang pepohonanmu, kami bisa meneguhkan tekat untuk saling member perlindungan, dekapan dan saling mengayomi. Untuk mencapai sesuatu indah dibutuhkan pengorbanan, perjuangan, persiapan dan strategi. Biarlah petualangan ini menuntun kami untuk memadukan segala perbedaan kami berdua, hingga bisa menciptakan harmoni, seperti indahmu, Merbabu. Semoga, kami dapat kembali untuk belajar pada setapak yang sama, pada medan yang sama. Karena setiap petualangan akan  member pelajaran yang sama. Setapak dan jalur boleh sama, tetapi pengalaman akan selalu berbeda. Itulah yang akan membimbing untuk menjadi pribadi yang semakin berani berkorban, berani untuk selalu mengalah dan berani untuk selalu memberi. Semoga.

NB: untuk lebih detail tentang rute Merbabu via Swanting dari base camp dan mengenai keterangan nama-nama tempat,  info lebih lanjut dapat menghubungi Mas Dwi Indriyanto: cp 087839230300 WA 085727189769 pin BB 584DOC80 atau Mas Nugroho (Ambon): cp 087834306869 pin BB 5AD2D4CB (anggota Kapalla)




[1] Waktu aku turun ada satu pendaki yang jatuh ke jurang dan mengalami patah tulang. Pihak pengelola pun segera mengevakuasi secara professional. Sungguh bukti akan tanggungjawab yang luar biasa.
[2] Kendati ini adalah pendakianku yang kedua, namun saya lupa tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan “Lemba”. Apakah itu maksudnya Lembah (karena salah penulisan) ataukah istilah khas dari dukuh ini.
[3] Pos baru, pos yang berada di puncak bukit. Di pos ini, terdapat area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Di pos ini menyajikan panorama yang luar biasa keren. Kota Magelang terlihat samar. Mungkin kalau malam hari, pemandangan lampu-lampu kota akan sangat memukau.
[4] Di selter ini dapat digunakan untuk mendirikan tenda sekitar 3-4. Cukup terlindung dari sinar matahari dan angin kencang. Namun disarankan untuk tidak mendirikan tenda di selter ini. Menurut penduduk setempat, Lemba Manding merupakan gerbang dunia gaib. Maka, disarankan untuk menghormati kepercayaan lokal (local wisdom).
[5] Untuk saat ini, mendaki bersama kekasih atau pujaan hati menjadi sebuah impian idial banyak pendaki. Dari  beberapa pendakian yang aku lakukan bersama isteri, mengundang banyak komentar, yang rata-rata pengin mengalami hal serupa.

solo hikking, gunung merapi

SOLO HIKING: MENAPAKI MERAPI MENJELAJAHI DIRI
Oleh: Heri
jempol sik ae, jos tenan

Dalam hidup ini, manusia memiliki banyak pilihan. Termasuk pilihan untuk mengurai kepenatan batin, pikiran dan raga. Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar manusia bisa kembali menjadi fresh, kembali menjadi segar, sehat dan bergairah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan rekreasi alam. Beragam kegiatan alam akan membawa bisa mengambil jarak dengan rutinitasnya. Tujuannya agar dirinya kembali memperoleh kesegaran hidup. Di antara sekian banyak kegiatan alam, salah satunya adalah mendaki gunung.
Sebenarnya, gunung merupakan salah satu lingkungan yang tidak lazim ditapaki oleh manusia. Kendati demikian, untuk sebagian orang sering memilih gunung sebagai tempat utama dari kegiatannya. Sebenarnya, kondisi alam di gunung sangatlah sulit ditebak. Kadang cuaca cerah tapi dengan hitungan menit sudah menjadi hujan disertai angin kencang. Selain itu, udara di gunung juga lebih dingin. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung merupakan kegiatan olah raga ektrim yang memiliki resiko besar sekaligus kegiatan yang penuh dengan tantangan.
Oleh karena itu persiapan dalam banyak bidang merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Minimal ada tiga hal, yang harus dipersiapan secara matang, yaitu: (a) Kondisi tubuh yang sehat. (b) Kondisi mental yang stabil. (c) Tujuan melakukan kegiatan di gunung harus jelas. Mendaki gunung membutuhkan kemampuan fisik yang terlatih. Karena sebenarnya mendaki gunung merupakan kumpulan dari banyak jenis olah raga. Ada jogging, lari, merangkak, mengangkat beban, dll. Selain kemampuan fisik yang prima, ketahanan mental juga sangat penting. Gunung memiliki keadaan alam yang sangat sulit diprediksi. Keadaan alam yang jauh dari kata nyaman. Maka, berhadapan dengan segala kemungkinan itu lah, ketangguhan mental menjadi sangat penting. Ketangguhan mental ini, sangat dipengaruhi oleh adanya tujuan yang jelas. Adanya tujuan dari naik gunung, akan menjadi pegangan ketika menghadapi situasi-situasi yang di luar kehendak dan rencana[1].
Selain ketiga hal di atas, mendaki gunung juga perlu peralatan yang memadai dan bisa mendukung. Di antaranya adalah baju lapangan, peralatan untuk beristirahat, peralatan untuk masak, ransel atau tas punggung (tas carrier), pisau rimba dan ponco. Dengan perlengkapan minimal ini, orang bisa bertahan dalam menghadapi bverbagai kemungkinan. Kalau perbekalan, minimal ada tiga hal, yaitu: logistik dan minuman secukupnya juga membawa obat-obatan dasar, sepeti: parasetamol, obat gosok, koyok, minyak angin dan obat diare.
Dari sekian kali mendaki gunung, berikut saya akan membagikan satu pengalaman saat solo-hiking di gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jateng. Gunung Merapi (2.968 m.dpl) terletak di dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jogjakarta. Gunung Merapi terletak berdampingan dengan Gunung Merbabu. Gunung Merapi adalah salah satu gunung api yang mempunyai daya rusak yang tinggi dan paling aktif diantara sekian banyak gunung api yang terletak di Indonesia serta merupakan salah satu gunung terganas di dunia. Nama puncaknya adalah puncak Garuda, tapi puncak garuda itu telah hilang karena letusan merapi pada tahun (2010) yang merupakan bongkahan batu besar dengan bentuk mirip burung garuda[2].
Menapaki terjalnya Merapi bukanlah pengalaman pertama buatku. Sudah beberapa kali saya mengunjunginya. Kendati demikian, tidak serta merta diriku bosan untuk mendakinya. Justeru semakin kuat mengikat batin ini untuk selalu kembali mendakinya. Namun, mendaki sendirian (solo-hikking), ini merupakan pendakian yang pertama. Mendaki gunung Merapi seorang diri, saya rasa ini adalah tantangan baru. Untuk membawa barang bawaan buatku bukan sesuatu yang baru. Karena sebelum-sebelumnya, teman-temanku sering menjuluki saya sebagai porter. Hal itu wajar karna setiap kali mendaki, saya terkenal sebagai orang yang suka menggendong bawaan yang berlimpah, terutama logistik. Di beberapa pendakian, saya pernah membawa jeruk 2 kg, pernah juga membawa kakap 1 kg. Namun yang paling sangar adalah saat saya membawa semangka dan melon. Banyak yang komentar, “ini mau mendaki atau mau jualan”. Buatku mendaki adalah rekreasi, “Kalau  bisa berlimpah kenapa dibuat ngirit, hehe”[3].

Tantangan terbesar dalam mendaki seorang diri adalah soal mental, menghadapi keraguan, ketakutan, kekawatiran dan kecemasan.
Selasa, 8 Desember 2015, saat waktu membelah hari semua perlengkapan telah siap saya packing. Tas kerier telah saya ikat di motor, tinggal berangkat. Namun, kegelisahan tiba-tiba menyerang. Padahal, sebelumnya telah saya persiapkan diri ini untuk mendaki solo. Saya sudah jogging dengan jarak tempuh lebih dari biasanya. Fisik dan mental sudah oke. Bahkan sampai malam tadi pun, diri ini masih yakin. Tidak ada keraguan yang menyerang. Tetapi ketika mau mandi untuk persiapan akhir, tiba-tiba rasa gundah datang. Saya menjadi ciut nyali. Hingga akhirnya, saya harus menawar diri ini. Bernegosiasi dengan diri. Menyelami segala kemampuan diri untuk kembali menemukan keberanian dan keyakinan diri. Dua jam bergulat. Tepat pukul 14.00, saya putuskan untuk melanjutkan petualangan. Motorku pun meliuk meninggalkan Solo menuju Selo, Boyolali.
Tidak berapa lama setelah meninggalkan rumah, mendadak cuaca berubah. Yang awalnya cerah kini mendung bergulung, menghitam seolah akan mengurung bumi. Hujan lembut pun turun. Saya masih menikmati perjalan dengan tidak menggunakan mantol. Namun, saat memasuki Cepogo dari arah berlawanan, semua penunggang motor telah menggunakan mantol. Berarti dari di depan telah turun hujan lebat. Kuhentikan motor, sambil menunggu situasi. Kusiapkan jas hujan. Dan tidak berapa lama, hujanpun turun dengan sangat-sangat lebat. Tanda-tanda hujan mereda tidak ada, kuputuskan untuk lanjut.
Meliuk motorku di jalanan dengan guyuran hujan lebat, seolah sendirian. Karena tidak ada pengendara yang lainnya. Hingga tepat pukul 16.00, saya pun tiba di base camp. Suasana sepi. Tanda-tanda tidak ada pendaki yang lainnya, padahal besoknya adalah libur nasional (pilkada sertentak). Kuparkir motor. Kulonuwun. Dan sayapun ikut berdiang di belakang. Saya memang sudah mengenal Pak Min (sesepuh base camp Merapi). Karena telah akrab, maka sayapun langsung mengobrol dengan bebasnya. Suasana di luar rumah, masih hujan cukup lebat. Menurut informasi, hanya ada dua rombongan kecil yang sudah naik dan ada satu rombongan besar yang hari ini akan turun.
Sekitar pukul 17.00, serombongan anak-anak SMA N 1 SKA telah turun. Mereka semua basah kuyup dan mengigil. Saya pun menawarkan untuk bergabung api-api. Hujan masih terus mengguyur. Seolah-olah tidak mau berhenti. Waktu kini bertengger di titik 19.00, saya belum makan tetapi warung base camp tidak jualan. Menurut anak-anak yang turun tadi, warung-warung di New Selo juga pada tutup. Alamat kelaparan.
Sekitar pukul 19.30, anak-anak itu akan nekat melanjutkan perjalanan. Hati ku makin kalut, karena tidak ada juga tanda-tanda hujan berhenti dan pendaki yang lainnya datang. Dalam hati terlintas untuk mengurungkan niat. Tidur aja di base camp. Entar malam kalau ada temannya baru attack summit, seperti yang sudah-sudah. Biasanya saya kalau mendaki Merapi juga tik-tok, kebut semalam. Berangkat jam 02.00, pagi nyampai puncak dan sekitar pukul 10.00 sudah kembali di base camp. Tapi ini sudah saya niatin untuk solo-hikking. Masak yo nggak jadi.
Keraguan ini makin memuncak, ketika anak-anak itu selalu bartanya, “Beneran nih pak mau ndaki sendirian?” Saya hanya tersenyum. Namun, pertanyaan anak-anak yang diulang-ulang itu, justeru menembalkan tekat dan keberanianku untuk terus lanjut. Hingga saat waktu berada pada angka 20.00, hujan mulai mereda, cuaca terlihat akan cerah. Sayapun memantapkan hati untuk melangkah. Semoga alam bersahabat. Berdoa dulu. Biarlah Tuhan yang akan meraja dan berkarya.
Melangkahkan kaki setahap demi setahap, karena ribuan kilometer hanya bisa dicapai dengan langkah demi langkah. Hal ini lah yang menopangku untuk pelan-pelan terus mengayunkan kaki. Asal mau berjalan, maka sejauh apapun tujuan pada akhirnya akan tercapai juga. Meninggalkan base camp, suasana begitu sepi. Sampai di pos New Selo, tidak bertemu seorangpun. Suasana yang sepi. Untungnya tidak mencekam. Hatiku masih tenang. Melaju menyusuri perkebunan. Hatiku masih biasa-biasa saja. Saat nafas mulai tersengal, kucoba tengok kebelakang untuk menatap Merbabu yang tersenyum manja. Lampu-lampu penduduk terlihat indah. Cuaca bersahabat. Semoga bertahan. Angin pun seolah-olah berhenti bertiup. Suasana sepi dan sangat-sangat sepi. Saya juga tidak termasuk pendaki yang suka membawa MP3 player untuk mengusir rasa sepi itu. Saya selalu berharap untuk bisa mendengarkan nyanyian harmoni alam dengan nyaman.
Menapaki setapak sendirian tanpa teman dan tidak ada tanda-tanda pendaki lain yang akan muncul, juga tidak bertemu dengan pendaki lain merupakan sesuatu banget. Rasa yang tidak mudah dibahasakan itu muncul ketika memasuki batas ladang dan hutan, saya melihat seberkas cahaya seperti rokok. Besar harapanku untuk bertemu dengan pendaki lain. Dengan mantap kuayunkan langkah menuju cahaya itu. Namun, tiba-tiba menghilang. Ah, saya telah berhalusinasi. Kusadari diriku sudah tidak berada pada jalur yang normal. Maka segera kukembali untuk menemukan jalur yang resmi. Saya terus mencoba untuk tetap tenang, mencoba mengais kenangan akan jalur pendakian ini dengan segala penanda yang ada. Kembali kuayunkan langkah untuk segera menemukan selter gerbang pendakian. Tidak saya pikirkan yang lain-lainnya, saya terus fokus untuk segera sampai.
Dalam tatapan mata yang samar karena gelap malam, mendadak kabut muncul. Makin susah melihat. Makin ciut juga nyali. Di tengah situasi yang cemas dan was-was, seberkas sinar terlihat terang. Saya yakin itu adalah pantulan kilat yang terkena atap dari selter. Dan benarlah. Lega hatiku. Untuk beberapa saat saya pun beristirahat di selter ini, berharap ada pendaki lain dari bawah yang menyusul. 10 menit berlalu dengan segala imajinasi tentang yang menyenangkan maupun yang menakutkan. Berkecamuk diantara imajinasi yang bertentangan itu, kuputuskan untuk melanjutkan langkah.
Memasuki hutan dengan setapak yang telah memulih. Karena jalur pendakian baru dibuka 1 minggu yang lalu. Jadi wajarlah kalau setapak banyak yang sudah ditumbuhi rumput dan ada beberapa yang samar. Suara-suara alam yang beraneka membangun imajinasi yang kian mengerikan. Bukan imajinasi yang menyenangkan. Segala pengetahuan tentang mahkluk-mahkluk astral menjelma dalam benak, yang kian menciutkan nyali. Untuk mengatasi hal-hal itu, sesekali saya membalikan badan untuk melihat lampu-lampu kota juga gagahnya Merbabu. Bukan masalah jalur dan segala kemungkinan tentang tantangan medan gunung yang menjadikan diri ini takut, tetapi dunia gaib lah yang paling kuasa memenjarakan jiwa ini.
Dalam situasi yang demikian, tidak juga saya berteriak. Namun, saya makin jauh menyelami diri ini yang renta dan rapuh. Terlihat gagah dan kuat-kokoh, tetapi jiwa, hati dan rohku tak bernyali. Untuk mengatasi hal ini, akhirnya kuingat dan kusebut Tuhan sang penguasa alam semesta untuk melindungiku. Setiap nafas yang kuhirup berharap mendapat kekuatan dari sang pencipta sendiri. Hingga hatiku kembali menjadi kokoh. Saya pun bisa menikmati petualangan mendaki sendirian ini. Saya seolah-olah dibimbing oleh alam itu sendiri untuk dapat menyatu dengannya. Pengalaman yang aneh dan tentu sangat sulit untuk dijelaskan.
Dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan ini, saya pun melaju. Sehingga tepat pukul 21.30, saya telah tiba di pos I, Watu Belah. Angin berhembus dengan kencang. Saya berencana untuk istirahat sejenak. Hati semakin tenang saat mata melihat seberkas cahaya dari senter. Pasti ini ada pendaki. Cahaya itu muncul dari tenda. Suara penghuninya pelan. Mungkin sudah pada tidur. Saat melintas di samping tenda secara spontan, saya pun berkata, “Permisi mas atau mbak-mbak”. Tiba-tiba ada sahutan dari dalam, “Sik-sik, kliatane aku kenal dengan suara ini”. Tenda pun dibuka. “Lha, rak tenan. Aku kenal to. Pak guru”. Ternyata anak-anak Rempala, komunitas pecinta alam dari Pantaran, Ampel, Boyolali. “Weala, bolo dewe to”, sahutku.
“Dengan siapa pak?”
“Sendiri”
Wedan. Kendel tenan po nekat ki?”
“Udah diniati kok. Santai ae”
Obrolan pun mengalir dengan deras. Karena rencana awal saya hanya ingin istirahat sejenak, maka kubulatkan tekat untuk kembali melangkah. Tetapi anak-anak ini berencana untuk bergabung. Lalu, saya pun membantu untuk bongkar tenda dan packing. Sekitar pukul 22.00, kami yang kini berenam kembali melangkah. Sekarang rombongan kami terdiri dari dua cewek dan empat cowok. Suasana pendakian pun berubah. Berganti suasana. Suasana yang khas anak-anak muda, dipenuhi dengan canda-tawa, gojekan dan saling mengerjain. Kini, tidak lagi mendaki sendiri dan suasana tidak lagi sepi. Tetapi ramai. Niat hati untuk mendaki sendiri terpaksa berhenti. Tak berapa lama, sekitar satu jam kami telah sampai di Pos II. Segera mendirikan tenda. Namun, tenda yang saya bawa tidak kudirikan. Kami telah mendirikan dua tenda masing-masing kapasitas 5 orang. Diisi 6 orang, saya kira lebih dari pada cukup. Kini, saatnya memasak untuk mendulang energi dan membuat minuman hangat sambil berbagi pengalaman. Inilah warna yang khas pendakian dalam hangatnya tenda.
Saya menawarkan, pagi hari apakah mau ikut ke puncak sambil menikmati momen sun-rise? Sesungguhnya jalur pendakian hanya memperbolehkan sampai di Pasar Bubrah. Namun, Pak Min yang mengenal saya telah mengijinkan. “Patokane adalah guide. Kalau mereka yang membawa turis berani ke puncak. Berarti pendaki yang lainnya juga boleh. Dengan catatan tetap hati-hati dan waspada”.
merbabu terlihat cantik saat pagi, dr pasar bubrah
“Sayangnnya sampai detik ini, belum ada tanda-tanda turis manca yang nanjak. Istirahat dulu. Minimal sampai di Pasar Bubrah. Gimana, tertarik?” Dari 6 di antara kami, ternyata ada 3 orang yang baru pertama kali mendaki. Semua sepakat untuk ikut. Lalu saya pun pamit duluan untuk istirahat.
Pagi menjelang. Pukul 04.30, pertanda bahwa golden sun-rise akan muncul, membulatkan semangat kami untuk bercengkerama dengannya. Segera kubuat minuman sereal-susu untuk menghangatkan raga. Setelah dirasa persiapan cukup, kami pun keluar tenda. Jam 05.00, kami melangkah. Remang-remang semburat merah menerangi jalan. Sengaja, saya berjalan sendiri di depan. Karena rencananya saya memang mau mendaki sendiri. Setelah agak jauh, saya menunggu. Setelah tersusul, kembali saya meninggalkan mereka. Dengan tetap memantau dan menunggu. Tersusul kemudian ngebut. Berharap dapat sun-rise di pasar bubrah, namun hanya di-PHP. Sekitar pukul 05.30, tiba-tiba kabut tipis merangkak naik, menutupi semburat merah mentari fajar. Ini lah, alam selalu sulit untuk diprediksi.
pada mulanya terlihat cerah. hingga akhirnya seperti inilah
Kembali kutawarkan, “Apakah masih berminat ke puncak?” “Masihlah”. Lalu saya pun memberi pentunjuk praktis tentang teknik berjalan di medan pasir dengan kemiringan yang lumayan. Menegaskan beberapa hal yang perlu diwaspadai. Dan terutama jalur mana yang harus dilewati, baik saat naik maupun turun. Setelah semuanya paham, kami pun melangkah. Saya tetap menggunakan metode untuk melaju duluan, menunggu, tersusul dan saya pun berlalu meninggalkan mereka. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.20, saya telah tiba di puncak Merapi. 30 menit berikutnya, rombongan yang bergabung denganku baru tiba. Karena saya telah 30 menit di puncak, maka, saya putuskan untuk turun. Saya akan menunggu di Pasar Bubrah.
kawah merapi
Satu jam saya menunggu di Pasar Bubrah. Mereka dari kejahuan terlihat masih asik berfoto ria dengan gaya khas anak muda. Foto dengan membawa berbagai tulisan dan dengan berbagai ekspresi. Capek menunggu, akhirnya saya berpesan kepada pendaki yang baru datang dari bawah, untuk menyampaikan kabar bahwa saya menunggu di tenda dan bila sampai jam 09.00, mereka belum sampai di tenda, saya akan turun duluan.
belakangku tu merbabu lho
Setelah nyakin bahwa pesan akan tersampaikan, maka saya pun turun untuk membuat sarapan, berkemas-kemas dan turun pulang. Niat hati untuk solo-hiking, pagi ini bisa tercapai, dari Pos II-Puncak dan kembali ke Pos II. Semua perlengkapanku telah masuk ke dalam kerir. Saya sudah siap untuk melangkah pulang. Sesuai dengan pesan yang saya kirimkan, kembali saya menunggu rombongan Rempala tiba di tenda. Tepat pukul 09.00, satu diantara kelima anak itu tiba.
“Kok sendiri. Yang lain mana?”, tanyaku.
“Masih asik foto-foto pak. Biasalah pendakian pertama. Tu baru senang-senangnya”.
“Yoi. Aku ngerti itu. Oke, aku pamit dulu ya. Soale balung tuo, udah tidak lagi muda. Tahu diri. Aku kalau nanjak bisa bersaing dengan yang muda. Tetapi kalau turun, aku harus ekstra pelan-pelan dan hati-hati. Lututnya sudah tidak selentur dulu, hehe”.
“Monggo Pak. Hati-hati ya”.
“Siap. Trims ya, bisa ndaki bareng. Moga lain waktu kita bisa ndaki bareng lagi”.
“Siap pak”. Jabat tangan khas pendaki mengiring langkah kaki ini.
Dengan hati yang dipenuhi suka cita dan kebahagiaan, saya pun kembali melangkahkan kaki untuk menuruni terjalnya medan. Melangkah pelan untuk mengawali perjalanan turun.sengaja kugunakan tongkat untuk menopang lutut ini yang sudah mengeras. 20 menit tibalah saya di pos satu. Istirahat sebentar. Lalu ditemani seorang pendaki senior dari Wonosobo, dengan santainya ia menarkan kopi dan rokok. Sekitar 15 menit kami berbagi pengalaman. Sungguh akrab. Rasa persaudaraan yang tulus.
keren kan, tu da sumbing, sindoro n prau
Kembali aki menapak di terjalnya medan. Tidak juga bertemu dengan pendaki lain. Belum musimnya. Selepas pos satu mendekati selter, saya baru bertemu dengan beberapa rombongan yang akan mendaki. Rata-rata hanya tik-tok, entar sore udah pada turun. Tidak ada yang berencana nenda. Sesampainya di selter, ada satu rombongan yang tengah berisitirahat, katanya dari Simo, Boyolali. Bertegur sapa. Saya pun berlalu. Hingga akhirnya, tepat pukul 10.30, saya telah masuk ke base camp. Istirahat sebentar. Tepat pukul 11.00, saya meneruskan perjalanan. Motor meliuk menuju Solo. Tepat pukul 12.15, sampailah saya di rumah tercinta dan bertemu dengan isteri tercinta pula. Trimakasih atas ijinnya, sehingga saya bisa berpetualang.
Lewat setapak Merapi seorang diri, sebenarnya saya menapaki lika-liku semak diri ini. Dengan berpetualang secara sendirian, solo-hikking akan lebih mudah menghantar untuk memasuki relung dan misteri diri. Saya semakin mengenal diri ini, dengan segala kelebihan juga kekurangan. Saya semakin mengerti batas kemampuan juga kelemahan. Dengan semakin mengenal diri, maka akan lebih mudah untuk menempatkan diri, mengarahkan hidup untuk menggapai hidup yang penuh warna. Hidup dengan suka-cita dan damai. Hidup yang dipenuhi dengan kebahagiaan sejati. Amin.
saat di puncak merapi, dari sisi paling timur
Terimakasih Merapi. Terimakasih untuk teman-teman seperjalanan (anak-anak Rempala) dan terimakasih untuk isteriku yang mau mengerti dan mau memahami diriku, sehingga memberi kepercayaan kepadaku untuk melakukan peziarahan ini, solo-hikking yang amazing. Berhartap bisa terulang kembali. Semoga.







[1] http://www.pendakigunung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:survival-di-gunung&catid=1:latest-news
[3] Sebenarnya ini mengingkari idialisme dalam dunia pendakian, karena logistik untuk mendaki gunung kan sebisa mungkin yang ringan, banyak kalorinya, praktis memasaknya dan tidak makan tempat.