Rabu, 27 Oktober 2021

CATATAN PERJALANAN: SOLO HIKING GUNUNG SUMBING VIA SEMAN

 

CATATAN PERJALANAN: SOLO HIKING GUNUNG SUMBING VIA SEMAN

Oleh: Heri Jimanto



Sobat petualang, kembali berjumpa dalam sebuah kisah.

Pada mulanya,

Aku begitu malas untuk membagikan kisah atau tepatnya catatan perjalanan dalam bentuk tulisan. Zaman menggiring ke arah perubahan, dari dunia huruf berganti dengan gambar bergerak. Dari deretan kata berganti dengan video. Document video memang lebih menarik, kendati tidak bisa memaparkan peristiwa lebih terperinci dan detail.

Pernah kumenulis tentang salah satu keprihatian tentang semakin sulitnya menemukan bahan bacaan, terutama tentang catatan perjalanan dalam dunia petualangan. Paling-paling hanya sekelumit kisah yang dibagikan di group-group FB, khususnya group pendaki. Sebenarnya ada keinginan untuk selalu menulis dan membagikan cerita hidup. Tetapi ketika melihat data, bahwa tiap postingan petualanganku, hanya sedikit atau tidak banyak yang membacanya, terus aku pun bertanya, “Buat apa? Kalau repot-repot dituliskan tetapi tidak ada yang mau membaca. Kan niat hati mau berbagi, kalau tidak ada yang mau, artinya aku hanya mengerjakan sesuatu yang sia-sia.”

Keinginan menulis itu mendadak menggeliat lagi ketika ada DM dari follower yang intinya menyampaikan rindu pengin membaca catatan perjalananku. Karena masih aktif mendaki tetapi kok catatan perjalanannya tidak muncul-muncul. Ternyata, ada juga follower IG yang juga aktif memantau dan termasuk yang paling suka dan pasti membaca tulisan-tulisanku. Sepercik sapa dalam DM itu mampu memantik sumbu yang telah memudar.

 Kali ini, aku akan berbagi catatan perjalanan tentang pendakian seorang diri ke Gunung Sumbing via Seman (Makukuhan). Bila ada waktu silahkan membandingkan antara membaca catatan perjalan dengan melihat document video yang aku post di chane you tube,

Dokument video

 https://www.youtube.com/watch?v=VL0taiBPaso&t=1078s

Dokument dalam rangkaian kata:

Pada hari Sabtu-Minggu, 28-29 Agustus 2021, aku sendirian berangkat dari kota Solo mencari dan berusaha menemukan BC. Memang jalur ini tergolong baru diresmikan sebagai jalur pendakian, walau sebenarnya ini jalur lama sebagai jalur ziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan yang berada di kawah Gunung Sumbing. Alamat BC di dukuh Seman, Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung.

Untuk menemukan BC paling mudah baik dari arah Temanggung maupun dari Wonosobo adalah kantor kecamatan Bulu. Di samping kantor kecamatan ini ada pertigaan yang akan menuntun ke BC. Kalau dari arah Temanggung mesti belok kiri, sedangkan kalau dari arah Wonosobo-Parakan harus belok kanan. Kendati demikian, aku dalam pencariannya juga tidak sesederhana informasi yang kuterima. Untuk jalanan Temanggung-Wonosobo, memang aku sudah beberapa kali melewatinya. Istilahnya “tidak asing lah”. Tetapi kecamatan Bulu rasanya baru pertama kali mendengar dan kini harus mencarinya. Tanya punya tanya toh akhirnya tetap kelewatan juga hingga aku pun sampai di Parakan, artinya harus muter balik dan menyususri jalan yang sudah kulewati. Ternyata kecamatan Bulu berada antara Temanggung-Parakan, artinya udah sering dilewati tetapi tidak pernah teramati dan terabaikan tidak masuk dalam endapan memori di kepala.

Base Camp

Tepat pukul 09.00 aku meninggalkan rumah dan tepat pula aku pada pukul 11.30 tiba di BC. Menarik, karena BC nya jadi satu dengan Balai Desa. Maka, bisa dikatakan kalau BC pendakiannya amat sangat megah, bersih dan didukung dengan sambutan ramah pihak pengelola. Fasilitas yang disediakan pun sangat memuaskan, salah satunya adalah suguhan teh panas, boleh minum sepuasnya. Ada WC-kamar mandi, tempat tidur untuk yang mau menginap, lahan parkir yang luas, serta pemandangan yang udah luar biasa keren. Di sini juga tersedia kopi asli setempat yang siap dibeli untuk menemani pendakian atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Kurang lebih 30 menit aku ngobrol asik dengan pihak pengelola BC sambil minum teh panas. Sekaligus registrasi. Rp 25.000 untuk pendakian, Rp 10. 000 untuk parkir sepeda motor, dan Rp 25.000 untuk biaya ojeg sekali jalan. Total biaya yang aku keluarkan adalah Rp 60.000. Tidak berlama-lama, sekitar pukul 12.10, aku memulai petualangan ini.

BC-Pos Gerbang pendakian: 10 menit naik ojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).

Setelah re-packing dan menambah perbekalan dengan air, karena musim kemarau maka di jalur ini ikutan kering. Maka harus membawa air dari BC. Padahal menurut info yang menggunakan aplikasi, jarak BC-Puncak sejauh 11 KM. Lumayankan, hehe. Driver Jek-Nung (=Ojeg Gunung) adalah seorang bapak, yang fasih berbahasa Jawa. Maka sepanjang perjalanan aku banyak ngobrol dengan beliau. Setelah lepas dari BC, akan melewati ladang dengan jalan batu yang ditata, khas jalur-jalur gunung lereng Sumbing. Tetapi medan jalur ini tidak melewati tanjakan-tanjakan terjal. Tidak terlalu memompa adrenalin. Lumayan jauh. Tetapi tetap hanya butuh waktu 10 menit dan sampailah. Saat ini, sepanjang jalur sedang dipenuhi dengan tanaman tembakau. Asyik aja sih melihat yang hijau-hijau, hehe. Mata jadi seger.

Pos Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.

Gerbang pendakian berada di ujung perkebunan, bersebelahan dengan pos ojeg. Sudah ada selternya. Bisa dipakai untuk istirahat sambil menikmati keindahan view bawah. Yakin kalau pemandangan dari batas ladang ini sudah amat sangat keren. Apa lagi pada saat ini, cuaca begitu cerah. Kurang lebih pukul 12.20 aku memulai jalan kaki dari gerbang pendakian. Diawalai dengan setapak yang amat sangat jelas, juga masih dilewati sepeda motor oleh aktifitas warga di sekitaran hutan pinggiran.

Setelah gerbang pendakian langsung disambut lebatnya hutan belantara. Sekitar 30 meter lalu bertemu percabangan dan wajib memilih belok kanan, menyusuri punggungan bukit yang datar rata, hingga sampai di Pos 1. Jadi perjalanan dari gerbang pendakian sampai pos 1 hanya butuh waktu 5 menit. Hal ini karena pos 1 dulunya pernah dipakai untuk bumi perkemahan. Masih terlihat bekas-bekasnya. Kelihatan terbengkelai. Bisa jadi karena minim atau malah tidak ada orang yang mau camping ceria di area ini. Maka dengan sendirinya, di sekitar pos ada banyak sekali area yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.

Pos 1-2: 55 menit.

40 meter meninggalkan selter pos 1 akan bertemu dengan pertigaan, pilih saja yang belok kanan. Kendati sampai di area ini ada beberapa persimpangan tetap tenang, karena ada banyak papan penunjuk arah. Keadaaan hutan masih lebat dan mengasikkan, apa lagi antara pos 1-2 masih ada banyak tanaman kopi yang terawat dan subur.

30 menit setelah pos 1 sampailah di rest area Secindai. Di sini disediakan para-para di beberapa tempat sehingga sangat nyaman untuk menikmati suasana hutan. Misalkan pada saat nanjak kopi baru musim berbunga, pasti sangat asik. Aku bertemu dengan satu rombongan yang berasal dari Semarang. Dari BC, rombongan ini adalah sesama pendaki yang kujumpa untuk pertama kalinya.

Setelah bertegur sapa dan mengobrol tentang seputaran pendakian dan jalur-jalur Sumbing, aku pun mohon pamit untuk meneruskan langkah. Sebenarnya, rombongan ini menawari agar aku bareng bersama-sama dengan mereka saja. Tetapi memang sudah aku niatkan untuk mendaki seorang diri. Maka aku pun kembali melenggang seorang diri menyusuri setapak yang terlihat jelas. Tetap teduh di bawah kanopi hutan yang masih sangat lebat dan asri.

Kurang lebih sekitar 55 menit meninggalkan pos 1, sampailah aku di pos 2.

Pos 2-3: 1 jam 10 menit. 

Area pos dua tidak bisa untuk mendirikan tenda. Karena posisi selter tepat berada di pinggir jurang mengarah ke sungai. Di depan selter ada para-para yang sangat nyaman untuk menikmati view bawah. Bila aliran sungai mengalirkan air, tempat ini sangat cocok untuk perhentian. Tetapi pada saat aku lewat, sungainya kering. Memang ada beberapa genangan yang masih ada airnya tetapi berwarna hijau. Di pos 2 ini aku bertegur sapa dengan rombongan anak-anak mapala dari Semarang. Mereka mendaki dalam rangka pengukuhan dan penerimaan anggota baru. Setelah isitirahat sejenak dan berbagi cerita, aku pun melanjutkan perjalanan. Masih sendirian melenggang menikmati pesona hutan.

Usai menyeberangi sungai dan menyusuri lebat hutan, maka akan bertemu selter sederhana untuk perhentian sementara bagi yang akan berbelok arah untuk menikmati air terjun. Perlu diingat, air terjun ada hanya ketika musim penghujan atau selama sungai masih ada aliran airnya. Aku pun tidak menyempatkan diri untuk melihat keberadaan air terjun musiman tersebut. Aku terus melangkah, hingga kudengar sayub-sayub di depan ada obrolan pendaki. Bisa saja ada rombongan lain yang ada di depanku. Menurut info dari BC, hari ini hanya ada 3 rombogan yang nanjak. Artinya, rombongan yang di depanku adalah rombongan terakhir yang akan kujumpai.

Sejauh ini medan cenderung landai, belum kujumpai tanjakan yang menyeramkan dan menguji nyali. Aku yang biasa tektok atau kebut gunung dan kali ini hanya menggunakan metode semi-UL atau mix antara metode konven dengan Ultralight. Sehingga langkah kaki bisa kupercepat tanpa harus megap-megap atau ngos-ngosan. Tak berapa lama aku berhasil menyusul rombongan yang di depanku. Ternyata mereka hanya berdua, seorang laki-laki dan perempuan. Awalnya aku menduga mereka sepasang kekasih atau suami-isteri. Semakin dekat ternyata dugaanku harus aku gugurkan, karena terlihat mereka beda usia.

Akupun menyapa mereka dan menyempatkan diri untuk mengobrol. Ternyata mereka hanya berteman. Obrolan demi obrolan meluncur menemani langkah kami, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bersama-sama dengan mereka. Hal ini aku lakukan, karena kami sama-sama baru pertama kali menanjak  di jalur ini dan di depan tidak ada rombongan lain. Sering dalam pendakianku kerap berjumpa dengan pendaki lain, ngobrol asik bahkan sampai akrba, tetapi diriku jarang bertanya nama. Beda dengan dua orang ini, mereka juga menggunakan metode yang sama dengan diriku, yaitu semi-UL. Tetapi mereka juga terbiasa dengan metode UL. Sehingga ritme langkah kami hampir bersamaan. Tak begitu sulit untuk saling menyesuaikan hingga terbentuklah pace yang ritmis.

Yang cowok bernama Dede, sedangkan yang perempuan bernama Nia. Keduanya dari Jakarta dan telah memiliki jam terbang pendakian yang tidak bisa diremehkan. Kami dengan cepat pun menjadi akrab, bahkan panggilan “Pakdhe” mereka sematkan untuk diriku. Ya memang aku tidak lagi muda. Tetapi aku cukup bangga dengan usiaku yang masih memiliki kebugaran fisik yang masih prima. Hal ini aku yakini karena banyak yang berpendapat demikian. Termasuk Dede dan Nia, mereka pun mengakui dan memuji kemampuan fisikku. Hingga akhirnya aku titipkan satu pesan sebagai bekal hidup, “kalau memang benar-benar mendaki gunung adalah hobi yang mendatangkan kebahagiaan, maka milikilah pola hidup sehat, tetap jaga kebugaran fisik dengan usahakan olah raga rutin 1 minggu 1 x. misalnya jogging ringan sejauh 3 km. Anggap aja saat olah raga bahwa minggu depan akan nanjak gunung. Kendati kenyataannya tidak mendaki, biar semangat aja, hehe.”

Hingga akhirnya selter pos 3 terlihat. Kami pun menyempatkan diri untuk istirahat.

Pos 3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.

Sedikit gambaran pos 3, berupa sebidang tanah datar dengan selter yang kecil. Pos 3 merupakan pos dengan selter untuk yang terakhir. Setelah post 3 tidak ada selter lagi. Di sekitaran selter ada para-para yang bisa dipakai buat duduk-duduk, juga ada tandon air berupa genangan. Namun, pada saat ini airnya berwarna hijau. Di sini juga tersedia beberapa tempat yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Sekitar 6 tenda di tempat terpisah.

Setelah melegakan pundak untuk beberapa saat, kami pun melanjutkan perjalanan. Selepas pos 3 setapak makin melandai dan hutannya mulai terbuka. Di sepanjang area ini, terlihat sebagai hutan muda, artinya hutan yang baru memulihkan diri. Ada bekas-bekas kebakaran seperti batang-batang kayu kering yang berwarna hitam. Hutan mandingan yang baru ini tentu saja masih kecil-kecil sehingga area menjadi terbuka dan panas. Beruntungnya kami, saat melewati area ini, kabut mulai berarak melindungi dari garang terik matahari. Pohon-pohon mandingan ini bergulat dengan rerumputan yang meninggi. Setidaknya sudah mencicipi keindahan sabana Sumbing.

Sesekali kami masih menyempatkan diri ngobrol asik sambil menikmati keindahan jalur. Hingga akhirnya, tepat pukul 16.30, kami sampai di pos camp area “Anggrek”. Kalau dihitung dari gerbang pendakian, kurang lebih untuk sampai camp area membutuhkan waktu sekitar 4 jam, santai.

Sekelumit peristiwa di Camp Area “Anggrek”

            Sedikit gambaran pos camp area ini bahwa di area ini memang dipersiapkan oleh pengelola sebagai tempat perkemahan. Maka, area ini sudah ditata. Bidang-bidang tanah diratakan sehingga sangat nyaman untuk mendirikan tenda. Kalau musim penghujan juga dekat dengan sumber air. Tetapi saat ini baru kering. Area ini juga masih terlindung dari angin. Beda cerita dengan camp area di pos 4 yang viewnya lebih keren dari camp area anggrek tetapi rawan badai. Sebap tempatnya terbuka dan sudah tidak ada lagi pepohonan. Kalau di camp area anggrek masih ada banyak pepohonan, kendati juga tergolong hutan baru. Tetapi ada satu pohon yang terlihat besar dan tua. Pohon ini juga sebagai penanda kalau sedang di atas karena di bawah persimpangan dengan jalur Cepit, pohon ini sudah terlihat jelas.

            Karena kami bertiga adalah orang pertama yang tiba di sini, maka kami pun dengan leluasa memilih tempat. Kami petakan area yang sekiranya aman dari serangan badai atau angin kencang. Hal ini dengan gampang kami temukan karena ada semak perdu, maka tinggal menandai arah angin dari pucuk-pucuk semak yang condong ke mana. Itu lah pananda arah angin. Maka kami pun mencari semak-semak yang berdiri lurus, artinya di area itu aman dari terpaan angin kencang.

            Setelah istirahat barang sejenak, kamipun bergegas untuk mendirikan tenda. Sesuai dengan rencana awal, aku memang tidak  gabung dengan mereka. Maka tidak juga akan menyusahkan mereka. Mereka udah menawarkan untuk joint tenda aja. Karena mereka membawa tenda kapasitas 3-4 orang jadi pasti longgar. Tetapi aku bersikukuh untuk mencoba menikmati selter dari fly sheet ukuran 3x3. Sekalian mempraktikan keterampilan membikin indian-bivak berupa prisma segi enam dari selembar kain.

            Aku sempatkan untuk membantu mereka mendirikan tenda sambil merebus air. Bermaksut agar saat tenda jadi, kopi panas juga sudah siap untuk disruput. Kulihat mereka berdua tanpa bingung sekaligus ada kecemasan yang terbesit. Maka, segera kutanya ada apakah? Ternyata mereka lupa membawa outer tenda doble layer-nya. Dengan sigap mereka pun menyampaikan ide kreatif memecah masalah dengan solusi alternatif, yaitu menggabungkan fly sheet punyaku dengan tenda mereka sehingga akan memiliki outer. Karena dalam kondisi darurat, maka rencana awal dan idialismekupun kuretakkan demi keselamatan dan kenyamanan bersama.

            Malam mulai merangkak, gemintang di angkasa mulai menghiasi langit dan lampu-lampu bawah memendarkan cahaya memecah gelap malam. Suasana ini masih diramu dengan secangkir kopi hitam berpadu asik dengan aliran kristal-kristal hidup terutama dari dunia pendakian. Dua rekanku telah membingkai raga mereka dengan jaket tebal sedangkan diriku masih asik menikmati dingin malam dengan hanya berbalut kaos oblong. “Pakdhe, gak kedinginan kah?” “Memang niatknya ke gunung kan mau menikmati suasana yang seperti ini”, jawab singkatku seolah mengisi jiwa dan benak dua rekan baruku ini.

            Sepoi angin gunung menggiring udara makin sejuk menusuk tulang. Hingga kedua rekanku pun memilih untuk rebah, nyaman dalam tenda dalam balutan sleeping bag. Sebentar kemudian dengkur mereka meramaikan suasana semesta. Sedangkan aku masih asik membikin minuman hangat dan tetap menikmati malam. Hingga akhirnya sekitar pukul 22.00, salah satu dari rekanku ini bangun dan menyapaku, “Pakdhe, belum tidur, gak capek ya?” “Kalau capek-capek naik gunung hanya pindah tidur, lalu apa yang dicari dan apa pula yang mau dinikmati? hehe”, kembali pernyataanku seolah menyengat dan memberi inspirasi baru.

            Kamipun berlanjut dalam tuturan kisah hidup dari remah-remah seputar pendakian merambat ke pergulatan hidup dalam menghadapi konsekwensi dari tiap pilihan. Hingga malam terus merangkak dan menggiring kami untuk lelap dalam pembaringan. Berharap esok bisa bangun dengan tenaga yang lebih prima sehingga bisa meneruskan kisah.

Pos Angggrek-4: 20 menit.

Jam 03.00 kami terjaga dan rombongan mapala sudah bersiap untuk ke puncak. Kami bergegas membereskan perlengkapan tidur, memasak air dan membikin sarapan. Tepat pukul 04.15, kami mulai melangkah. Diawali dengan medan yang mirip-mirip sebelumnya, sabana dengan dihiasi mandingan yang masih kecil-kecil. Menjelang pos 4 total medan hanya berupa rerumputan, sabana. 20 menit meninggalkan camp area sampailah kami di pos 4.

Pos 4-5: 2 jam.

Kami tidak beristirahat, langsung meneruskan langkah. Semburat mentari pagi mulai menghiasi horisan. Batas cakrawala pelan-pelan terlihat jelas dan memamerkan pesona matahari terbit yang maha indah. Setapak kian menanjak. Garis zig-zag mengular menguji nyali. Penanda pipa dengan stiker spotlight satu demi satu telah terlewati. Tertatih kami melangkah merambati setapak untuk menemukan penanda pos 5. Namun yang diburu tak juga memberi sinyal. Nyali kian tertantang, namun tenaga kian koyak. Langkah mulai melambat dan nafas mulai ngos-ngosan. Sebelum bertemu pos 5, kami malah bertemu percabangan dengan jalur Cepit. Setelah percabangan akan  berjumpa dengan penanda arah menuju puncak Seman. Tetapi kami tidak tergoda untuk menyambanginya. Terus melangkah hingga pos 5 kami temukan. Di sini ada beberapa tenda, ternyata mereka semua dari jalur Cepit.

Pos 5-Segoro Wedi: 40 menit.

Meninggalkan pos 5, kami pun melewati lembah dengan view yang bikin geleng-geleng kepala. Keren. Medan mulai melandai dan akhirnya kami bertemu dengan segara wedi, padang pasir yang lumayan luas. Tempatnya datar dan asik. Selepas segara wedi, kami berpisah. Kukatakan bahwa saya agak buru-buru, maka saya pun berpamitan untuk sampai puncak Rajawali duluan.



Segoro Wedi-Puncak Rajawali: 30 menit.

Kutinggalkan dua rekan baruku itu, kubergegas melebarkan langkah dan dalam sekejab sampailah aku di Puncak Rajawali. Sekitar 10 menit aku menikmati keindahannya. Lalu turun. Dan bertemu kembali dengan dua rekanku ini tepat dipersimpangan antara jalur Banaran-Cepit-Seman dan jalur Garung-Batursari-Bowongso. Kutitipkan pesan, aku akan menunggu sampai jam 11 di camp area. Lalu akan pulang duluan, karena aku harus tiba di Solo sebelum gelap.

Saatnya turun.

            Kugeber langkah kakiku dan tepat pukul 10.00 tibalah aku di camp area, segera kubikin masakan untuk makan pagi sekaligus siang. Usai makan kusempatkan diri untuk menikmati pesona Sumbing sambil ngopi dan rebahan. Lalu kukemasi barang-barangku. Kutunggu sampai jam 11.00, namun kedua rekanku tak kunjung muncul. Kucoba sabar menunggu. Hingga rombongan mapala telah turun, kutanyakan keberadaan kedua rekanku yang ternyata baru sampai di pertengahan pos 4-5. Padahal ini sudah pukul 12.00, akhirnya dengan berat hati kutinggalkan mereka. Aku titipkan tenda tanpa outer ke rekan-rekan mapala dari Semarng ini. Terimakasih ya.

            Kuterus melangkah hingga tepat pukul 13.30 aku tiba di gerbang pendakian. Kutekatkan untuk tidak menggunakan jasa ojeg. Lalu kuteruskan langkah dan tepat pukul 14.00, tibalah aku di BC. Sambutan hangat pun kembali kuterima dan tetap disuguh teh panas sepuasnya.

Akhirnya.

            Demikian sekelumit gambaran dari solo-hiking ke gunung Sumbing via Seman. Ada banyak makna yang kudapat. Perjumpaan dengan orang-orang baru yang selalu memberikan inspirasi dan pembelajaran hidup. Meramu dan merajut persaudaraan dan persahabatan dengan sesama, alam dan semesta. Menyisihkan waktu untuk memuaskan dahagia jiwa. Memberi ruang untuk hati menemukan isi dan mengisi kehidupan liyan. Sebuah perjalanan yang tidak hanya sekedar menyisakan rasa letih tetapi perjalanan yang memanen berkah alam raya. Semoga kisah sederhana ini, menginspirasi untuk selalu hidup sehat, tetap bergerak-trengginas, dan bahagia.

Estimasi waktu pendakian:

1.      BC-Pos Gerbang pendakian: 10 menit ngojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).

2.      Pos Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.

3.      Pos 1-2: 55 menit.

4.      Pos 2-3: 1 jam 10 menit. 

5.      Pos 3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.

6.      Total waktu dari gerbang pendakian-pos anggrek: 4 jam

7.      Pos Angggrek-4: 20 menit

8.      Pos 4-5: 2 jam.

9.      Pos 5-Segoro wedi: 40 menit.

10.  Segoro Wedi-Puncak Rajawali: 45 menit.

11.  Total waktu pendakian kurang lebih 8 jam. Waktu tempuh turun: hanya 3,5 jam.

Informasi tambahan: Pada saat ini tidak ada sumber air sepanjang jalur (2 bulan tidak ada hujan). Kalau musim hujan, sumber air melimpah. Ada di beberapa titik, menyeberangi sungai bahkan melewati air terjun mungil. Sumber air terakhir ada di Pos Camp Area Anggrek. Dalam situasi darurat, dekat kawah juga ada mata air, tetapi berbau belerang dan kemungkinan besar juga mengandung belerang.

Link IG:

https://www.instagram.com/bumi_makukuhan_wonosari/

 

Senin, 07 Juni 2021

CATATAN PERJALANAN: GUNUNG JOBOLARANGAN VIA WONOREJO, JATIOSO, KARANGANYAR

 CATATAN PERJALANAN: GUNUNG JOBOLARANGAN VIA WONOREJO

Oleh: Heri Jimanto


Puncak Jokoloarangan 2.300 mdpl

 

Salam jumpa sobat petualang. Kembali bertemu dalam sebuah cerita. Kali ini aku akan berbagi pengalaman mendaki Gunung Jobolarangan dengan ketinggian 2.300 mdpl. Memang bukan gunung tinggi dan juga bukan gunung terkenal. Tetapi soal keindahannya boleh diadu. Terutama bagi yang suka dengan petualangan “junggle trekking”.

 Sekilas pandang tentang Gunung Jobolarangan

            Bagi kebayakan dari sobat petualang bisa saja Gunung Jobolarangan masih asing. Atau mungkin malah belum pernah mendengarnya. Sedikit informasi, dan informasi ini murni atas kesimpulan pribadi, belum ada literasi yang memaparkan tentang gunung ini secara rinci dan akurat. Gunung Jobolarangan merupakan puncak tertinggi dari gugusan bukit-bukit yang berada di selatannya gunung Lawu. Jadi kalau teman-teman sobat petualang pernah mendaki gunung Lawu via Cemoro Kandang atau Sewu, di sebelah atau diseberang jalan terlihat gagah gunung yang tidak terlalu tinggi ya itulah letaknya. Dari temen2 penggiat alam yang biasa lintas hutan-gunung, Jobolarangan berdekatan dengan 4 kabupaten (bisa dikatakan sebagai titik temu dari 4 perbatasan kabupaten) yaitu Karanganyar, Magetan, Ponorogo, dan Wonogiri.

            Gunung Jobolarangan diyakini sebagai gunung Lawu purba. Artinya yang disebut gunung Lawu pada awal mula adalah Gunung Jobolarangan. Tetapi sekarang malah disebut sebagai anaknya Lawu. Di area puncak terdapat 2 punden berundak yang masih terawat. Punden berundak merupakan salah satu simbol keagamaan di nusantara. Terlihat masih ada aktivitas kegiatan spiritual yang ditandai dengan adanya bekas bakaran dupa. Juga ada tempat bertuliskan “Pertapaan”. Tempat ini berupa lubang tanah dengan ukuran 1x2 m. Bisa saja ini dipakai untuk meditasi karena pasti lebih hangat dan terlindung dari angin.

            Tak jauh dari puncak Jobolarangan ada yang disebut dengan puncak Jokolangan/Jokolarangan. Gunung ini memiliki tiga jalur atau tepatnya dapat ditempuh melalu 3 titik. Sampai hari ini belum ada jalur resmi untuk pendakian Gunung Jobolarangan. Ketiga jalur itu dua lewat Karanganyar, yaitu via Mongkrang dan via Wonorejo. Sedangkan yang satunya via Wonomulyo, Magetan.

            Saya pribadi baru melewati 2 jalur yaitu lewat Mongkrang dan Wonorejo.      

Transportasi Menuju Basecamp Wonorejo

            Gunung Jobolarangan  via Wonorejo beralamat di desa Wonorejo, Jatioyo, Karanganyar. Untuk menuju kelokasi BC bisa melacak melalui GPS, dengan mengetik  “Wisata Rumah Pohon Wonorejo”. Bila sobat petualang berminat kesana bisa menghubungi pengelola Mas Bim-Bim (wa 0821-3632-7901), atau menghubungai IG  @jokolangan.

                   

Simaksi Pendakian

            Berhubung jalur belum resmi, maka biaya simaksi masih seiklasnya (suka rela).

           

Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo (dalam bentuk dokumen vidio)

 


Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo (dalam bentuk tulisan)

            Hari ini, Minggu, 30 Mei 2021, satu hari sebelum bulan ini berakhir, aku bersama isteriku mencoba mengexplorasi sudut-sudut wilayah satu Kabupaten. Istilah kerennya, “daerahe dewe kudu ngerti”, daerah lain disambangi tetapi daerah sendiri kok tidak mengerti. Tu kan kebangeten, wkwk. Kendati aku bukan asli kelahiran Karanganyar, tetapi sekarang aku berdomisili dan tinggal di Kabupaten ini. Maka, ada baiknya kalau aku mulai mengenal seluk beluk wilayahnya. Hampir 10 tahun aku menjadi warga Karanganyar, tetapi belum pernah menyambangi kecamatan Jatioso. Kecamatan di ujung selatan-timur, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonogiri.

Tepat pukul 05.30 aku meninggalkan Colomadu (kecamatan paling barat) menuju ke timur. Dengan yakin, target pertama langsung menuju Kecamatan Matesih. Tanpa bertanya dengan keyakinan penuh, geber motor sampai di Karang Lo, lalu ketika bertanya, ternyata untuk menuju Wonorejo, Jatioso, harusnya lewat Matesih lurus menuju Beruk. Lalu kami diarahkan untuk melintasi desa-desa kecil. Ketidak tahuan ini, menghantar kami secara tidak langsung untuk explorasi Jatioso. Lebih dari 4 x kami harus bertanya untuk sampai pada tujuan.

Sesampainya di desa Beruk, Jatioso, kami menikmati keindahan yang disuguhkan. Desa Wonorejo berada di seberang bersebelahan dengan desa ini. Segera kami pun meluncur. Target kami adalah Wisata Rumah Pohon. Sesampainya di lokasi, ternyata tidak ada BC pendakian, lalu tanya-tanya warga sekitar yang asik berladang, ternyata BC ada di bawah. Lalu, kami pun di arahkan untuk langsung melakukan pendakian.

 

Ø  Rumah Pohon (BC) - Pos 1 Aruh

Pada mulanya wisata “Rumah Pohon” Wonorejo sempat viral dan rame pengunjung. Tetapi semenjak pendemi, pelan-pelan wisata ini mulai ditinggalkan dan kini sangat sepi bahkan terkesan tidak terurus.




Terlihat dari bekas kios-kios penjaja makanan yg tidak terawat. Lokasi berada di punggungan bukit yang datar. Dari pertigaan atau perempatan rumah pohon dengan jalur pendakian, pilih atau belok ke tikungan kanan. Pendakian ini kami mulai tepat pukul 08.15. diawali dengan jalanan datar seluas kurang lebih 1 meter.

Jalan yang sekaligus jalan warga dari hutan untuk membawa rumput. Di sisi kiri terdapat punggungan bukit yang terjal, sedangkan sisi kanan terdapat lereng turunan curam. Di sebelah kanan dan kiri terdapat hutan  pinus yang masih padat. Jadi udara dan hawanya sangat sejuk dan enak.






Sekitar 25 menit menikmati jalan yang cenderung datar di bawah kanopi hutan pinus, sampailah kami di pertigaan. Tenang ada penunjuk jalan. Kami belok kiri, dan jalanan pun mulai menanjak dengan hutan yang tidak lagi homogen. 50 menit meninggalkan titik pendakian sampailah di bak sumber air dengan air yang meluber-melimpah, sejenak istirahat dan kami pun terus melakukan perjalanan menyusuri  jalanan yang cukup lebar di bawah hutan heterogen. Hingga kami tiba di bulak padang rumput dan ternyata merupakan Pos 1 Aruh. Tepat 1 jam perjalanan, kami kini bernaung di selter yang cukup memadai di pos.



 Ø  Pos 1 Aruh - Pos 2 Surupan

Pos 1 Aruh (Aruh-Aruh), menurut keterangan pada postingan akun IG resmi @jokolangan bahwa berdasarkan cerita para tetua desa, dulu di sekitar pos sering dijumpai para penduduk yang berpapasan. Mereka sering keluar-masuk hutan dan saat berjumpa itulah mereka saling menyapa (dalam bahasa Jawa istilahnya adalah “Aruh-Aruh” atau “Ngaruhke”). Pos 1 Aruh merupakan sebidang tanah datar yang cukup luas. Bahkan bisa untuk mendirikan tenda lebih dari 20. Dari sini bisa melihat panorama bawah, terutama views lampu-lampu kota. Di pos ini juga ada selter yang sangat memadai, besar dan luas, seperti pendopo. Kami di pos ini tidak berhenti, hanya mengambil dokumentasi dan langsung meneruskan perjalanan.  Selepas Pos 1, setapak menyempit dan mulai menanjak ringan. Sekitar 10 menit, kami bertemu dengan pertigaan, tenang saja karena sudah ada papan penunjuk arah untuk memilih yang kanan. Lalu setapak dominan landai, dengan tetap berpayung lebatnya dedaunan dari pohon-pohon yang beraneka.






Jalur antara Pos 1 – 2 dominan datar, hanya ada tanjakan ringan di awal-awal, melewati aneka perdu, ada bunga-bunga hutan, dan ilalang. Tanda habisnya jalur adalah vegetasi yang kian rapat. Dari hutan buatan yang tidak lagi rapat menuju ke kawasan hutan tropis yang masih sangat padat, sehingga matahari pun susah masuk. Perjalanan dari Pos 1-2 hanya butuh waktu 40 menit dengan jalan santai.



.

Ø  Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi

Pos 2 Surupan merupakan daerah yang cukup datar, tenang, dinaungi pepohonan yang beraneka ragam, cukup teduh dan sejuk. Sudah ada selter tetapi belum ada atapnya. Di sini juga terdapat sumber air tepat di samping selter. Jadi, para pendaki yang akan bermalam di area sini sangat dinyamankan dengan adanya sumber air yang berlimpah. Kata surupan merupakan istilah yang diambil dari kata “Surup”, yaitu kata Jawa yang berarti matahari tenggelam. Dengan demikian surupan menunjuk peristiwa alam, pergantian suasana dari terang ke gelap.





Sekitar 5 menit aku dan isteriku berisitirahat di Pos 2. Setelah pos ini jalur mulai naik tingkat, artinya tanjakannya mulai terasa, masih cukup landai tetapi naik terus. Merambati setapak dari pos ini tidak terasa berat karena hutannya begitu lebat. Beruntungnya kami, sepanjang perjalanan juga disuguhi kabut yang begitu tebal tiada berkesudahan. Sebuah keberuntungan bagi kami sehingga bisa membangun ruang imajinasi masuk ke dalam zaman kuno.



Sekitar 35 menit, kami merambati setapak antara Pos 2-3, dan kini kami telah berada di sebidang tanah datar. Artinya kami telah tiba di Pos 3 Batur Bayi.



 

Ø  Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan

Pos 3 Batur Bayi merupakan selter yang sudah ada kanopinya. Cukup nyaman buat istirahat, namun pos ini tidak cocok untuk nenda/ bermalam karena area yang miring. Yang datar hanya pas di bawah selter. Pos ini juga telah tersedia sumber air, tinggal putar kran maka air akan bersih dan jernih mengalir. Dengan demikian pendakian di jalur ini bisa terkurangi bebannya, karena sampai di pos 3 sumber air melimpah.





Tak berapa lama kami istirahat di pos ini, sekitar pukul 10.50 kami langsung jalan lagi. Sampai di sini kami belum berjumpa dengan pendaki lainnya. Selepas pos 3 hutan belantaranya sungguh luar biasa, begitu padat dengan berbagai jenis vegatasi yang tumbuh. Mulai dari pos 3 ini juga tanjakan makin mengganas, tiada henti dan tiada berkesudahan. Sungguh suasana yang langka, di Jawa masih ditemukan hutan hujan tropis yang masih jarang dijamah manusia. Semua pohon berlumut, menunjukkkan kalau di area sini masih sering hujan dan lembab.







Istriku mulai sering berhenti pertanda bahwa ia telah terkuras tenaga dan mentalnya. Kami pun putuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati bekal ala kadarnya.  Kembali kami tertatih untuk merambati tanjakan yang tiada ampun. Selepas pos 2 sudah tidak ada lagi penunjuk jalur, tetapi memang hanya ada satu setapak, tidak ada lagi persimpangan, jadi sudah pasti aman. Setelah pos 3 ada penanda tali rafiah berwarna kuning.  Setelah kurang lebih 60 menit tibalah kami pada setapak yang mendatar, dan ternyata ini adalah pos bayangan.

 

Ø  Pos 4 (Bayangan) Pundaan – Puncak Jobolangan (Jokolarangan)

Kami tiba di Pos 4 (Bayangan) Pundaan tepat satu jam selepas pos 3. Di sini tidak ada selter juga tidak ada keterangan pos. Tetapi ada plakat yang tertempel pada batang pohon gede dengan tulisan “Pundaan”. Maka saya menyebutnya pos 4 atau pos bayangan. Di pos ini medan cukup datar, dan lapang. Belum ada tanda-tanda orang yang pernah bermalam di sini. Tetapi medannya cukup baik untuk mendirikan tenda. Di pos ini bisa menampung puluhan tenda, tetapi harus membersihkan beberapa perdu.



Isteriku kian terseok-seok. Namun selepas pos 4 ini medan datar semacam bonus sekitar 100 meteran. Melewati medan datar ini imajinasi langsung liar menuju pesona-pesona hutan belantara. Bahkan di beberapa titik mengundang imajinasi seperti berada di hutan trembesi Benculuk Banyuwangi.

Bonus datar usai, langsung kami dihadapkan pada tanjakan super gianas. Seolah memaksa lutut kami harus beradu dengan dahi. Nafas harus diatur agar tenaga tidak cepat koyak. Isteriku kian terseok-seok. Hingga pada akhirnya ia pun menyerah mengatakan, “Cukup sampai di sini saja“. Lalu aku hentikan langkah. Tidak banyak kata, hanya berucap, “Istirahat dulu aja. Gak usah maksa. Setelah istirahat nanti langsung turun. Gak usah maksa sampai atas”. Lalu aku istirahat, minum dan menikmati buah kurma. Apa yang aku nikmati aku tawarkan ke isteriku, namun ia menolaknya. Aku tidak memaksa hanya mencoba menikmati senikmati mungkin, tanpa kata, tanpa komentar. Lalu aku coba tawari lagi, dan isteriku pun menerimanya, menikmatinya. Sekitar 10 menit istirahat tanpa kata dan omongan. Hanya menikmati bekal dan menikmati lelah. Mencoba berdamai antara asa, lelah raga, dan keindahan hutan.



Isteriku pun bangkit, bukan berjalan ke arah bawah tetapi malah melanjutkan petualangan. Aku ikuti saja dari belakang. Selangkah demi selangkah kami jalani dan mata tidak hanya fokus melihat tanjakan dan setapak tetapi lebih menikmati pesona hutan yang bagiku sangat epik, bahkan terlalu epik. Hingga tanjakan pun habis berganti medan yang melandai dan tibalah kami pada pohon besar dengan keterangan, “Jokolarangan 2.300 mdpl” dan di bawahnya ada papan yang bisa dibawa kemana-mana bertuliskan, “Jokolangan 2.300”. Dari pos 4 hanya butuh waktu 45 menit. Total perjalanan dari BC sekitar 4 jam. Isteriku pun langsung tersungkur di tanah. Duduk santai bahkan sangat santai.



Ø  Puncak Jobolangan (Jokolarangan) – Puncak Jobolarangan 2.300 mdpl

Lalu aku mengeksplorasi area sekitar. Dimana puncak ini sangat asik buat nenda. Tanahnya datar sudah disiapkan oleh pengelola. Malah ada selter alaminya. Sayangnya kami tiba pada saat kabut tebal, sehingga tidak bisa memandang views bawah. Ada beberapa tempat duduk yang sudah disiapkan. Sangat asik. Udaranya sejuk, tidak dingin, hanya sejuk. Pokoknya asik aja.

Aku hanya berpikir, kok puncak ini beda dengan yang pernah kudatangi, “yang namanya puncak “Jobolarangan” bukan ini?”. Lalu aku melihat ada papan penunjuk arah yang bertuliskan “puncak”. Berarti dugaanku benar. Setelah diskusi dengan isteriku, ia tidak ingin melanjutkan petualangan. Lalu aku pun mengikuti setapak dan bertemulah dengan jalur yang pernah kulewati dari arah Mongkrang. Lalu saat aku merivews jalur, isteriku pun medengar dan ia menyusul.



Lalu kami berdua meneruskan kisah, melewati lembah dan memasuki hutan lumut yang tidak seberapa luas, sekitar 7 menit dari puncak “Jokolangan” tibalah kami berdua di puncak ‘Jobolarangan 2.300 mdpl”. Di puncak ini kami bertemu 1 keluarga, suami-isteri dan 1 anaknya sekitar 5 tahun, mereka dari jalur Wonomulyo, Magetan.



Mereka adalah satu-satunya rombongan yang kami temui sepanjang perjalanan dari awal hingga akhir pendakian. Usai ngobrol sebentar kami kembali ke puncak “Jokolangan”. Di sini kami menghabiskan bekal makanan. Tentu sambil istirahat, menikmati suasana sambil ngobrol santai.

 

Ø  Saatnya Turun

Isteriku pun telah pulih dari lelahnya. Kembali ceria dan sangat menikmati tiap langkah untuk menapak. Sekitar pukul 13.40, kami memulai perjalanan turun. Awal perjalanan turun sampai pos 3 tantangan yang kami hadapi adalah turunan yang licin. Kendati sudah siang namun setapak masih basah. Hal ini bisa dipahami karena matahari seolah tak berdaya untuk menyentuh tanah. Kanopi vegetasinya memang sangat rapat dan padat.



Selepas pos 3 perjalanan sangat santai dan nikmat, 18 meit ketemu pos 2 lanjut dan ketemu pos 1 lanjut lagi hingga sampai juga di parkiran tepat pada pukul 16.00 dengan selamat, aman dan penuh kesan.

 

Ø  Akhirnya

Pendakian Jobolarangan via Wonorejo  ini menjadi salah satu caraku untuk menziarahi diri, dan merenunginya. Melalui peristiwa ini, aku semakin mengenal diriku dengan kurang dan lebihku, serta menemukan tekad untuk memperbaikinya. Terimakasih untuk isteriku sebagai teman dalam peziarahan ini serta semua orang yang mendukung petualangan ini. Terimakasih setapak Jobolarangan, terimakasih atas lebat vegetasimu dan biarkan sunyi-bijakmu menjadi lentera hidup. Terimakasih Tuhan untuk segala yang Engkau beri terutama untuk peristiwa ini. Bila masih ada sehat dan celah waktu aku pasti akan kembali. Melalui setapak kembali berziarah untuk menemukan makna agar semakin dewasa dalam merasa, berpikir, berkata, dan bertindak.

 

Ø  Tips Mendaki gunung Jobolarangan via Wonorejo

1.      Persiapkan fisik, mental dan peralatan.

2.      Sebelum mendaki dan setelah mendaki harap melaporkan diri ke BC (tujuannya untuk data dan demi keamanan).

3.      Jalur Jobolarangan via Wonorejo relatif sepi.

4.      Jalur Jobolarangan via Wonorejo, ini memiliki pemandangan yang keren.

5.      Bagi yang suka nenda, nendalah di Puncak Jokolangan, aman dan pastinya keren.

6.      Sumber air: ada 3 (sebelum Pos 1, Pos 2 dan Pos 3).

 

Ø  Estimasi Waktu Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo

1.      Basecamp (Rumah Pohon) - Pos 1 Aruh : 1 jam

2.      Pos 1 Aruh - Pos 2 Surupan: 40 menit

3.      Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi: 35 menit

4.      Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan: 1 jam

5.      Pos 4 Pundaan – Puncak Jokolangan: 45 menit 

6.      Puncak Jokolangan – Puncak Jobolarangan 2.300 mdpl: 7 menit