Selasa, 10 September 2013

catatan perjalanan: Gunung Merapi via Selo



MEMBAYAR HUTANG SETAPAKMU, MERAPI
Oleh: Heri

“Pak, kapan-kapan kalau ndaki? Ikut ya”, sapa murid-murid tiap kali bertemu atau berjumpa denganku. Pertanyaan yang jauh dari harapanku. Karena kurasa itu bukan materi ajar yang menjadi bidangku. Sampai saat ini, aku terus berpikir mencari jawabnya, kenapa setiap kali bertemu dengan anak didiku bukan bertanya tentang pelajaran tetapi selalu mengenai gunung atau seputar pendakian. Bisa jadi, pengalaman lebih dirindu dari pada teorinya.
***
Kuat raga ini tak juga mampu bertahan menopang kekacauan nurani. Ada kegelisahan yang tersamar karena siklus kemapanan dan kenyamanan terpaksa dikoyak oleh perubahan.
            Aku sendiri tahu kalau perubahan itu tidak dapat dihindari. Selama bumi masih berputar dan matahari masih setia menemani maka perubahan akan selalu menyertai. Ada perubahan karena waktu, ada pula perubahan karena keteraturan alam. Namun ada pula perubahan karena keadaan yang tidak terhindarkan sehingga  menyisakan banyak bayang-banyang yang remang. Muncul kegelisahan. Lahir pula kecemasan. Dan yang selalu ada dari perubahan adalah perubahan itu sendiri.
            Kujalani hidup dengan ritme yang jelas bahkan bisa dikatakan pasti. Aku adalah seorang pendidik. Banyak orang memanggilku guru. Walau aku sendiri belum nyaman dengan kata itu. Aku selalu memposisikan diri hanya sekedar sebagai pendamping. Tepatnya pembimbing. Kusadari bidang ajarku adalah  agama. Sesuatu yang abstrak. Tentang Tuhan bisakah dijelaskan secara gamblang? Aku yakin, jawabnya adalah tidak mungkin. Karena Tuhan selalu meta-empiris.
moment sun rise yg menawan

            Hari-hari ini, aku dan juga rekan-rekan guru yang lainnya sedang disibukkan dengan urusan administrasi dunia pendidikan. Kami harus menyelesaikan perangkat pembelajaran. Sebuah rencana pembelajaran selama satu tahun yang menyangkut, materi ajar, metode beserta bahan evaluasinya. Ada tuntutan target yang mesti dikejar. Apalagi instruksi dari kepala sekolah yang menegaskan bahwa minggu-minggu ini akan ada supervisi dari dinas pendidikan. Maka, perangkat harus selesai.
            Aku pun berburu dengan waktu, mengubah ritme yang ajeg. Segenap kemampuan aku kerahkan tentu dengan satu minat, perangkat usai. Malam tidak lagi menemani aku lelap dan nyaman di pembaringan. Tetapi malam seolah bersorak girang, saat aku menatap tak jemu layar komputerku. Lima hari aku targetkan.
Hari ini menunjukkan kalau Rabu telah usang. Berarti saat ini telah menggiring waktu menembus Kamis pagi. Masih 24 jam untuk menyelesaikannya, aku pikir demikian. Kutargetkan Sabtu pagi dapat kuserahkan. Hilang beban. Ganti acara.
             Jumat malam aku pun berjumbu dengan target. Larut aku dalam buaian dekap hangatnya. Aku seolah kehilangan rasa. Karena yang ada hanya satu hal. Aku tidak berdaya dan tidak juga bisa berontak. Kucoba hilangkan segenap rasa juga inginku, kecuali bahwa perangkat pembelajaran malam ini mesti jadi.
Saat ayam berlomba berkokok untuk menyambut pagi, dan saat ibu-ibu sedang repot mengganti popok anak-anaknya, aku berada pada titik kelegaan yang teramat dalam. Tiga jilid perangkat dengan tebal masing-masing lebih dari 150 halaman berhasil kurampungkan.
moment yg merindu

Pagi ini semangat membara menghiasi wajahku. Kuayunkan langkah dengan gagah menuju sekolah. Kendati demikian aku juga tidak bisa menyembunyikan kalau diri ini lelah. Jiwa ini penat. Kesibukan yang menguras tenaga menjadikanku hidup dalam ritme yang tidak seimbang.
“Pak, ada acara ndaki gak?”, sapa muridku di koridor sekolah.
“Ada”, jawabku tanpa berpikir dan tanpa pertimbangan.
“Beneran Pak?”
“Iya”
“Kapan?”
“Nanti malam”
“Kok mendadak to pak. Mana kami siap”
“Kalau mau gabung siapkan diri. Entar pulang sekolah, aku dikabari lagi ya. Ok”.
Belum beranjak kakiku menapak, aku tersadarkan, mendaki kok tanpa persiapan jangka panjang. Mendadak. Tetapi aku kan setiap bulannya memang memiliki kigiatan rutin mendaki gunung. Soal waktu, itu tergantung dari situasi. Aku ingin maka aku pun jalan. Lalu bagaimana dengan kondisi mereka yang gabung denganku, apakah mereka memiliki stamina juga motivasi sebesar dan sekuat aku? Pengalaman adalah jawabannya.
sisi barat merapi
Sabtu buatku adalah hari yang tidak mudah. Di penghujung minggu, aku memiliki tanggungan delapan jam tatap muka dengan murid-muridku. Dari pagi hingga siang aku full mengajar. Hari Sabtu sering dimakani sebagai hari yang sulit karena secara umum yang menjalaninya telah kehabisan tenaga dan yang paling akurat adalah kehilangan motivasi. Hari Sabtu menjadi hari yang semu, menjadi hari yang tidak menginjak tanah. Banyak orang yang sudah menikmati hari Minggu kendati sebenarnya masih di hari Sabtu. Hari Sabtu adalah hari untuk melambungkan khayal.
Aku sungguh berjuang untuk menjadikan mapel agama bisa menjadi menarik, khususnya di hari Sabtu. Saat kulihat tatapan kosong dari murid-muridku. Tubuh mereka berada di kelas tetapi aku tahu bahwa pikiran mereka tidak berada di sana. Pelajaran agama yang abstrak makin tidak mudah diserap juga dicerna. Dan tentunya tidak mungkin untuk dihidupi. Didengarkan saja tidak, apa lagi dihayati. Jelas ini sesuatu yang imposibel.
puncaknya d sana, merapi
Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri buatku.
Salah satu cara untuk mentransfer keyakinan akan adanya Tuhan atau yang transenden, kubiasakan untuk bisa menjadi sahabat bagi anak-anakku. Sementara ini, aku yakin bahwa menjadi sahabat adalah cara termudah untuk mengajari banyak hal. Mulai dari hal praktis hingga yang abstrak. Sahabat memungkinkan untuk mengurai sekat dan jarak. Walau masih berlaku unsur sopan dan etika. Menjadi sahabat lebih memungkinkan untuk sering bersama. Dan kebersamaan merupakan jalan untuk melihat, mengamati dan menyimpulkan.  Itulah cara belajar.
***
Bel istirahat pertama berbunyi. Anak-anak berhamburan memburu kepentingannya. Aku pun dengan segera menuju ruang guru untuk sejenak mengumpulkan semangat bersama canda-tawa rekan kerja. “Pak. Pak”, teriak muridku dari belakang. Aku pun menoleh. “Willly, ada apa?”
“Beneran  entar sore mo nanjak Pak?”
“Iya. Merapi”
“Ikut ya Pak”.
“Boleh. Kalau ada teman lain yang mau ikutan, boleh kok. Tapi dikoordinir ya”.
“Siap Pak”.
Masih empat jam lagi aku menemani muri-muridku untuk menimba ilmu. Masih cukup lama. Dan itu cukup memberiku ruang untuk belajar menjadi semakin sabar, peka serta bijak.
Tidak terasa, waktu terus berlalu. Ia meninggalkan banyak goresan kisah. Hingga akhirnya akupun digiring pada kelegaan.
Saatnya pulang.
Istirahat sebentar.
Persiapan ala kadarnya dan siap menuju base camp Selo, Boyolali. Untuk selanjutnya tinggal bulatkan tekat, bercengkerama dengan Merapi. Kupercepat langkah kakiku menuju parkiran motor guru. Anak-anak masih berjubel di lorong-lorong sekolah dan ada pula yang nampak gelisah, menunggu jemputan. “Pak. Beneran entar sore ke Merapi?” Tanya muridku, seorang cewek yang nampak kecewa. “Iya. Emang kenapa?”
“Kok mendadak sih. Pinginnya ikut. Tapi kalau mendadak aku tidak bakalan dapat ijin dari ortu Pak”.
“Lain kali kan masih ada banyak kesempatan. Selama gunungnya tidak pindah kan masih bisa didaki hehe”. Kucoba mengurai kekecewaan itu dengan canda. Walau aku rasa juga terasa kering. Wagu. Pada hal aku tahu bahwa aku tidak akan bisa membuat agenda pendakian jauh-jauh hari. Kegiatan sekolah sering kali menuntut gerak cepat. Agenda pribadi kadang harus mengalah demi kepentingan serkolah. Beberapa kali aku sempat malu dengan teman-teman di komunitas pendaki. Agenda yang sudah lama dibuat untuk bisa nanjak bareng terpaksa aku batalkan karena surat tugas dari kepala sekolah. Dan itu tidak bisa aku tolak. Masalah nasib. Pekerjaan dan terutama masalah sumber rejeki.
 Belum sempat kustarter motorku, nampak Willy tergopoh menghampiriku. “Pak, tunggu”.
“Gimana, ada yang lain?”
“Ada Pak. Jadinya empat orang. Saya, Jovan, Josua dan Zafnat”.
“Sip. Semakin sedikit yang gabung, maka semakin mudah koordinasinya. Jam lima aku tunggu di rumah ya. Gak pake molor yo”.
“Siap Pak”.
Waktu tempuh antara sekolah dengan rumah tidaklah lama, hanya 10 menit. Sesampainya di surga sederhanaku, isteriku telah menunggu untuk makan siang bersama. Satu tradisi yang aku rasa cukup baik. Aku bersama isteriku minimal seminggu sekali harus bisa makan siang bersama. Hal ini akan menjembatani banyak hal. Makan tidak hanya sekedar makan. Karena dengan makan bersama, aku dan isteriku mendapat mediasi untuk bisa berbagi pengalaman juga keluhan. Adanya makan bersama ini menjadi meja untuk menyantap hidangan jiwa, saling berbagi, mau mendengarkan dan tentunya juga mau menerima.
bersama isteriku yg sering jalan bareng dg anak2
Saat waktu menunjuk angka 14.00 kurebahkan rga ini di atas pembaringan untuk mendulang tenaga. Begitu pula dengan isteriku.
Siang ini, angin berhembus dengan kencangnya manjadikan kami terlelap, hanyut dalam mimpi. Tentunya aku juga membangun imajinasi bahwa nanti malam udara Merapi akan sangat-sangat menusuk tulang. Dalam samarku membangun imajinasi, wekerku pun berbunyi dan itu tepat pukul empat sore. Saatnya bangun. Mandi dan menunggu anak-anak tiba di rumah.
Mengharap datang sesuai kesepakatan seolah menjadi barang langka. Sulit kutemui orang-orang yang memiliki kemampuan tepat waktu. Sikap toleran untuk mencoba memahami situasi orang lain mungkin menjadi penyebab utamanya. Apapun alasannya, entah bisa dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar pemanis bibir. Selalu bisa diterima ketika bertemu dengan orang yang mundur dari waktu yang disepakati. Walau sebenarnya ini jauh dari polaku.
Jauh di relung waktu yang lampau. Dalam kurun waktu yang tidak singkat aku pernah mengalami cara hidup yang selalu tepat waktu. Proses pendidikan yang pernah kutekuni menggunakan sistem disiplin dengan rincian kegiatan yang cukup padat. Itulah seminari. Maka dengan sendirinya sikap tepat waktu telah mendarah daging denganku. Namun dunia ini tidak diisi oleh orang-orang yang sama. Dunia ini begitu variatif. Mereka bukan aku dan tentunya aku juga bukan mereka.
Untuk kesekian kalinya, anak-anak yang ingin mendaki gunung bersamaku kembali menawar waktu untuk tidak mengikatnya. Sehingga rencana jam lima berangkat praktis mundur. Seperempat jam telah melewati rencana. Karena terbiasa mundur aku tidak lagi gelisah karenanya. Kutunggu mereka, tentunya dengan memaksa diriku untuk menjadi lebih sabar.
sabar, trus bergerak untuk mencapai tujuan

“Ki anak-anakmu mana to? Selalu molor. Gak bisa tepat waktu. Mau jadi apa?”, Isteriku menggerutu. Ngomel. Tanda ia kecewa. Juga gelisah.
Aku hanya diam. Kurenungkan bahwa mentransfer pola hidup yang baik itu bukan perkara mudah. Ada kesulitan. Wajar, karena dunia tidak lagi menempatakan disiplin sebagai keutamaan. Bukan lagi hal yang sangat membanggakan. Dunia saat ini, memang menawarkan berbagai pilihan dan sikap hidup. Melemahnya anak-anak muda untuk memilih sikap berkarakter menjadi keprihatinan. Apakah aku akan diam saja?
Deru motor yang berhenti di depan pagar rumah memecah bekunya waktu juga lamunanku. “Pak Heri. Permisi”.
Willy dan Jovan tiba. Sempat kulirik penunjuk waktu di pergelangan tanganku yang menunjuk angka 17.30.
“Zafnat dan Josua mana?”
“Nyusul Pak. Mereka akan berangkat belakangan. Katanya kita diharap menunggu di pasar Selo”.
“Kalau begitu, mari berangkat. Kita tunggu di sana”.
Bergegas kami pun segera menarik gas motor. Aku bersama isteriku dan Willy bersama Jovan. Dalam benakku di tengah memudarnya kegundahan terbesit rasa senang. Aku yakin pendakian kali ini akan lebih lancar dan koordinasinya pun akan lebih mudah. Semakin sedikit yang diatur maka semakin sedikit pula perbedaan yang perlu didamaikan. Hari ini ya hari ini, saat sejarah mencatat dalam abadinya bahwa Sabtu ini, tanggal 24 Agustus 2013 aku akan membayar hutang untuk kembali menari di atas setapa Merapi.
Meliuk motor kami mengikuti irama tikungan jalan. Angin berhembus kencang. Udara menurun sehingga lebih terasa menusuk tulang. Dingin. Selepas Boyolali, jalan semakin menanjak dan tentunya udara pegunungan kian terasa. Kami menuju Cepogo dan tentunya akan berakhir di Selo. Sebuah kecamatan yang berada di lembah gunung. Tepat diapit oleh Merapi dan Merbabu. Maka tidak mengherankan kalau udara sejuk dan sanggup membekukan darah.
Setengah tujuh malam kami tiba di Cepogo. Di kecematan ini, kami berbelanja kebutuhan pokok selama pendakian. Tidak banyak yang kami beli. Karena kami akan ngebut. Mendaki dengan pola patas, cepat dan efesien. Oleh karena itu perbekalan pun dipertimbangkan seringan dan seakurat mungkin. Kami belanja sekotak minuman saset, beberapa bungkus mi instan, roti padat dan 6 botol 1,5 liter air mineral. Bekal ini kami rasa sangat cukup untuk menopang kebutuhan enam orang yang hanya sekitar 6-7 jam turun-naik menikmati panorama Merapi.

Setok kebutuhan pokok telah di dapat maka kami pun melanjutkan langkah. Kembali lincah kami mengendarai motor di medan pegunungan, turun, naik, tikungan dan sesekali samar mata kami nenatap jalan yang diselimuti kabut tebal. Aku pribadi merasa seolah tanganku mati rasa karena udara yang terlalu dingin. Hal itu juga dipertegas dengan kecepatan laju kendaraan. Perut makin keroncongan ketika raga telah turun suhu.
Hatiku bersorak girang saat mata menatap tulisan polsek Selo. Tempat perhentian. Dan yang jelas bahwa di tempat ini ada warung, ada makanan, ada sumber tenaga, ada sumber kehangatan. Di sini kami juga akan membangun sikap komit, menunggu dua rekan yang mengejar dari belakang. Masih ada beberapa warung yang buka. Kami sengaja memilih warung di ujung paling timur. Agar kami bisa mengamati jalanan dengan harapan Zafnat dan Josua tidak kesulitan menemukan kami nantinya.
Setengah delapan malam kami menimba asupan nutrisi. Sumber tenaga ini akan menggerakan raga kami untuk bercumbu dengan Merapi. Aku, isteriku, Willy dan Jovan sungguh menikmati saat ini dengan kegembiraan. Canda tawa mengalir mewarnai peristiwa makan malam sederhana. Segelas kopi, sepiring nasi rames yang ditemani sebungkus kerupuk rambak, terasa begitu nikmat. Jam delapan Zafnat dan Josua belum ada tanda-tanda muncul. Aku tidak khawatir karena rencana nanjak akan dimulai selepas tengah malam.
Willy dan Jovan sibuk mengkontak mereka. Sedangkan aku dan isteriku lebih cenderung memilih diam dan menikmati keindahan alam. Gugusan bintang yang nampak jernih dipadu dengan cahaya rembulan buatku ini sungguh menawan. Udara yang berhembus lembut dengan rasa yang mampu menidurkan ketegangan saraf membuatku rileks. Sebuah cara untuk bisa rekreasi yang sebenarnya walau dengan metode yang sangat-sangat sederhana.
Malam kian merangkak dengan membawa sejuk embunnya. Udara pegunungan sangat terasa dingin. Hingga aku merasa bahwa malam ini adalah malam terdingin dalam pendakianku. Semilir angin yang menyejukkan merambat pelan mengubah tegar raga menunduk, menjadi menggigil karenanya. Rasa was-was pelan dan pasti meracuni keyakinanku. Dalam cemasku mendadak suasana berganti hangat. Yang ditunggu telah tiba. Tepat pukul 20.30, Zafnat dan Josua menghentikan motornya. Jabat tangan dan sapa penuh keakraban mengalir menghapus gelisah penantian.
“Makan dulu”, kudengar sapa Willy.
“Kami sudah makan di bawah. Lanjut saja. Masih jauhkah base camp nya?”
“Kata Pak Heri. Paling lama sepuluh menit kita nyampe”.
“Oke. Lets go
“Siap”
“Pak. Hayo lanjut”, teriak Jovan memanggil karena aku dan isteriku memang berada di seberang jalan.
Sungguh malam ini, udara memang seolah akan membuat dunia menjadi es. Suara gemeretuk gigiku terdengar lebih keras dari deru motorku. Namun semangat anak-anak untuk bisa menikmati indah panorama Merapi menjadi penghangat dan penyemangat yang luar biasa dahsyat. Selepas pasar Selo, sekitar 100 meter di pertigaan kami belok kiri untuk meliuk nanjak menuju base camp. Dugaanku tidak meleset, pendakian kai ini pasti ramai. Terbukti dengan banyaknya kendaraan yang parkir. Hingga kendaran kami terpaksa berada di luar rumah.
puncak merapi
Di base camp kami pun tidak mendapat tempat untuk sejenak beristiraha. Maka, kami menghabirkan waktu di luar rumah. Yang berarti kami harus menikmati dinginnya malam. Kegembiraan dan persahabatan  lahir dengan sendirinya. Perjumpaan dan pertemuan dengan sesama pendaki melahirkan rasa senasib sepenanggunga. Maka dengan sendirinya semangat persaudaraan terlahirkan. Suasana akrab itu mampu mengusir dingin udara. Bertahap, pelan dan pasti rombongan demi rombongan telah melangkah untuk bercumbu dengan Merapi. Ada rombongan yang jumlahan puluhan namun banyak juga yang kumpulan dari pendaki-pendaki perseorangan hingga membentuk kelompok baru.
Sekitar pukul 22.00 base camp mulai longgar. Rombonganku segera masuk, menemukan tempat dan dengan segera anak-anak rebah untuk beristirahat. Kami berencana mulai bergerak sekitar jam 00.30 masih cukup waktu untuk mendulang tenaga. Tidak menunggu lama, anak-anak telah mendengkur. Demikian pula dengan isteriku. Berbeda dengan diriku. Pendakian bagiku adalah saat membangun persahabatan dan persaudaraan. Malam ini aku bertemu dengan sahabat lama. Maka kami pun menghabiskan malam untuk bertukar remah-remah hidup.
Sebelum berangkat kusempatkan diri untuk sejenak lelap. Riuh gembira dan canda tawa dari para pendaki seolah hilang dari pendengaranku. Diam dan hening. Sebentar namun sangat berharga. Jam 00.00 anak-anak mulai bangun dan kemudian mereka menyiapkan diri untuk melangkah mengukir sejarah hidup bersama anggun dan indah Merapi.
salah 1 sudut puncak merapi
Sesuai rencana kami meninggalkan base camp tepat pukul 00.30 untuk segera menuju warung di New Selo. Di sana aku memiliki langganan. Tujuh kali pendakian selalu  mampir dan mendulang energi di warungnya. Sepuluh menit berjalan kami tiba di warung, “Pak Guru. Monggo. Badhe muncak?”
Inggih bu. Kangen. Sampun radi dangu kulo mboten minggah[1]
Segelas susu jahe dan beberapa potong gorengan menemani kegembiraan dan canda tawa kami. Persaudaraan yang mengalir dalam kejujuran. Hingga tidak terasa waktu telah melangkah dan tiba pada titik 01.30. Kami segera pamitan dan siap melaju untuk berlomba dengan janji keindahan sunrise di pos pasar bubrah.
Kemarau belum lama menikmati musimnya tetapi panas matahari telah mampu mengeringkan tanah dan debu pun riang menari. Sehingga jalan setapak jalur pendakian terlihat putih berkilauan. Lampu senter yang bertengger di kepala tidak membantu banyak. Karena cahaya rembulan dan cerahnya cuaca menjadikan malam tidak terasa sebagai malam. Tidak ada kegelapan yang ada adalah suasana terang. Maka tidak mengherankan kalau  setapak terlihat jelas. Sehingga kami sangat terbantu untuk melihat jalan, pemandangan pegunungan. Bila menghadap ke belakang terlihat panorama kota Solo, Boyolali, Selo dan lekuk indah Merbabu.
d sana, ada puncak tusuk gigi
Setengah jam meninggalkan New Selo tibalah kami di gerbang pendakian gunung Merapi[2]. Kami istirahat hanya sebentar. Kami tidak ingin didahului oleh pendaki lain yang sayup terdengar suaranya di belakang. Namun kami juga tidak ingin mendahului rombongan yang berada di depan. Hal ini sengaja kami pilih agar paru-paru tidak terlalu banyak menikmati debu tanah.
Di area ini angin bertiup kencang, menjadikan darah seolah membeku. Perut pun mengembung karena metabolisme pencernaan yang tidak sempurna. Segera kami pun mengayunkan langkah untuk mempertahankan tubuh yang sudah hangat. Agar penyakit keram tidak menyerang. Seperempat jam berlalu emlewati gerbang pendakian. Hati merasa lega. Kami telah memasuki hutan yang melebat sehingga kekuatan angin terpecah.
Kegembiraan ini tidak bertahan lama. Tiba-tiba, “Pak, berhenti dulu”, teriak Willy.
“Ada apa?”
“Ada yang nyari tempat”.
“Maksudnya?”
“Harus ada yang dikeluarkan Pak”
Aku tahu artinya. Pencernaan dari salah satu muridku berontak minta untuk di keluarkan. ”Yang lain nunggunya nyari tempat yang terlindung dari hajaran angin. Pertahankan untuk tetap bersama agar tubuh tetap terjaga kehangatannya”. Aku dan isteriku yang agak jauh di depan menunggu anak-anak dengan rasa gelisah. Lima menit belum menyusul. Sepuluh menit belum ada tanda-tanda. “Hanyo cepat. Keburu dingin badan kita. Itu tidak baik”, kupertegas strategi pendakian gaya pembalap. Agar anak-anak tidak ngedrop nantinya. Hal ini aku lakukan juga karena aku merasa ada tanda-tanda kalau kakiku akan kram.
“Mana to ini anak-anak”, gerutu isteriku. Aku tidak berkomentar.
“Batas toleransi 15 menit. Kalau tidak muncul kita tinggal. Biar mereka nyusul”, interiku telah mengambil keputusan. “Ya”, jawabku ringan.
“Hanyo cepat. Keburu dingin. Entar kram lho. Aku jalan dulu ya”, teriakku untuk menegaskan keputusan yang sekaligus pamitan.
“Tunggu Pak”, teriak mereka. Isteriku telah melangkah. Berat aku harus mengikutinya.
“Aku pelan-pelan. Entar kalian nyusul ya”
“Siap Pak”.
Aku sengaja tidak bercerita kepada siapapun kalau kakiku telah kram. Aku tidak merintih. Juga tidak mengeluh. Seolah tidak terjadi apa-apa. “Pak Tunggu”, terdengar suara anak-anak yang menandakan mereka agak panik. Mungkin takut kalau aku tinggal.
“Kami tunggu. Ayo dipercepat langkahnya”, seruku untuk menenangkan.
“Tunggu Pak. Jalannya jangan cepat-cepat”. Mereka mulai merengek. Aku tidak berkomentar. “Pak, kok rasane lemas ya. Serasa tidak punya tenaga”.
“Tu karena terlalu lama istirahate. Tubuh udah terlanjur dingin. Kita mulai dari awal lagi. Pelan-pelan untuk memanasi tubuh. Kalu dikebut, jadinya ya seperti itu. Masih untung tidak kram”, saut isteriku untuk melepas gusarnya.
“Udah kumpul semua?” tanyaku untuk mengurai suasana.
“Komplit Pak”
“Mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak usah buru-buru. Yang penting ikuti ritme masing-masing. Karena setiap orang tu beda kecepatannya. Tidak usah maksa. Kalau merasa terlalu jauh tertinggal silahkan teriak dan beri tahu teman di depannya. Mengerti?”
“Mengerti Pak”, jawab mereka serempak.

Aku dan isteriku masih mengmbil posisi di depan. Kali ini anak-anak terus mencoba mengikutiku. Mereka Nampak kompak sekali dan semangatrnya memang tidak akan pernah padam. Setapak yang terjal, berdebu dan menanjak tajam tidak memudarkan gairah anak-anak untuk bisa menggapai pucak Merapi. Aku tidak tahu penyebabnya. Tumben anak-anak ini memilik semangat yang melampaui punyaku. Aku berharap mereka tidak kalah oleh keinginan karena salah cara dan strategi pendakian. Aku harus terus mendampingi dan mengajari mereka. Karena merekalah yang nantinya akan melanjutkan kisah dan membagikan kekaguman akan alam pada rekan-rekan lain.
Saat waktu menunjuk angka 02.45 kami tiba di Pos I. kami sengaja mengambil posisi istirahat di bawah Pos Watu Belah. Dari pengalaman yang pernah kulakukan istirahat tepat di pos akan segera dihajar oleh angin. Sehingga tidak sampai lima menit tubuh akan menggigil kedinginan. Pernah aku mengalami hal itu dan sangat fatal akibatnya. Dari pos sati menuju pos dua kulewati dengan kaki kram pada empat titik. Akhirnya untuk bisa mencapai tujuan langkah survival pun akau lakukan yaitu merangkak. Kaki tidak dapat digerakkan karena kram maka tangan akan menjadi tumpuan.
Di pos ini kami menikmati bekal ala kadarnya. Kami menikmati roti agar asupan tenaga tetap terjaga. Di pos ini pula kami meninggalkan satu botol air mineral. Strategi pendakian yang jalurnya tanpa sumber air.
Tenaga telah pulih. Perut telah terisi. Yang lebih penting adalah kestabilan emosi. Dengan istirahat menjadikan perasaan-perasaan negatif mereda. Sehingga sikap untuk konsisten pada rencana lebih bisa dipertahankan. Kalaupun ada persoalan-persoalan sikap bijak akan menjadi pilihan. Padaa titik 03.00 kami segera melanjutkan kisah. Anak-anak yang memang masih muda dengan staminanya pelan-pelan melaju meninggalkan aku dan isteriku. Aku hanya tersenyum. Semoga semangatnya terus berkobar dan raga mereka tidak kalah.
remang-remang menunggu sun rise
Jalan terjal berbatu, tanjakan curam mereka libas dengan cepat. Aku sempat kepayahan untuk mengejar mereka. Aku lihat isteriku yang tidak membawa apa-apa terlihat sangat antusias mengejar anak-anak. Ini juga berbeda dengan biasanya. Selama ini, isteriku agak kewalahan di jalur ini, tetapi tidak dengan hari ini. Ia begitu prima. Akhirnya aku menjadi paling belakang dari rombongan. Jauh di depanku anak-anak berteriak, “Pak, Pos Dua”. Kulihat jam tanganku. Baru pukul 03.30. rekor baru. Biasanya pos satu menuju pos dua oleh pendaki professional ditempuh selama 45 menit sampai satu jam. Hari ini, anak-anakku telah mematahkan waktu tempuh itu.
Aku khawatir kalau anak-anak akan terus melaju mengejar puncak. Mereka belum tahu kalau selepas pos dua angin akan langsung menghajar mereka. Pada hal malam ini angin bertiup sangat-sangat kencang. Kalau mereka memaksa terus melangkah, aku kawatir ada hal-hal negatif yang bisa terjadi. Segenap kemampuan pendakianku kukerahkan untuk melesat mengejar mereka. Di pertemuan jalur dengan yang lewat Lumutan, mereka berhasil aku susul.
Saat itu tepat pukul 03.45. “Kita berhenti di sini. Sekitar pukul lima kita akan bergerak lagi mengejar sunrise di pos prasasti”, pintaku pada mereka.
“Tanggung Pak. Kita bisa mendapatkan sunrise di puncak Merapi”
“Kamu yakin dengan tenagamu? Masih sekitar 1,5 jam dari sini. Kalau kamu yakin silahkan jalan. Tetapi kalau tidak yakin, istirahat saja dulu”
“Ngikut Pak Heri sajalah”
Aku tahu anak-anak agak kecewa. Namun yang kupertimbangkan bukan soal puncak tetapi pada kemungkian-kemungkinan negatif. Mereka belum pernah menggapai puncak Merapi. Mereka tidak tahu medan tempuh dan situasi angin. Yang kadang sangat-sangat kencang dan aku pernah dibuat beku olehnya.
Kubuatkan api unggun. Kusiapkan peralatan masak. Dan kuminta mereka merebus air guna menyeimbangkan sumber panas, ada yang dari luar tetapi ada pula yang dari dalam. Dugaanku ternyata benar, tidak sampai lima menit anak-anak ini telah mengorok. Mereka tertidur. Mereka pasti kelelahan. Berarti sebenarnya mereka telah memforsir tenaganya. Saat ini mereka telah kehabisan tenaga. Untung aku kukuh dengan pendirianku untuk tidak melanjutkan perjalanan. Isteriku juga tertidur. Aku kawatir mereka nantinya akan kedinginan. Setelah semuanya siap segera kubangunkan mereka.
“Mienya sudah siap Pak”, seru Zafnat sang juru masak.
“Minumnya?”
“Siap Pak”
“Bangun-bangun. Ayo makan dan segera minum. Jam lima kita akan bergerak lagi. Jaga panas tubuh kalian. Jangan sampai kedinginan. Merapat dengan api unggun. Terlihat isteriku dan beberapa anak-anak masih malas-malasan. Aku pun memaksanya. Hingga akhirnya satu gelas kopiku tumbah terinjak kaki, karena yang punya kaki masih setengah terjaga.
“Waduh yang minum kopiku ternyata kaki to”
“Ah, Pak Heri. Yo sorry Pak. Gak sengaja”
Kami pun tertawa terbahak-bahak. Dan hidangan ala kadarnya di fajar ini menjadi sangat istimewa. Sederhana tetapi mampu menghadirkan kegembiraan, persahabatan dan persaudaraan.
bendera ekskul kebanggaan
 Menjelang pagi angin makin kencang bertiup. Hingga aku melihat semak-perdu mulai merebah. Saat waktu bertengger di titik 05.00, semua telah beres. Kekuatan telah pulih dan kami yakin tenaga yang ada cukup untuk melesatkan kami menuju puncak Merapi. Segera kami berlalu untuk menyambut mentari terbit. Baru beberapa meter meninggalkan tempat istirahat, raga menjadi ciut nyali. Tiupan angin itu menjadikan udara yang sudah dingin semakin terasa dingin.
 “Pak. Dinginnya Pak”
“Gak usah ngeluh. Kita harus terus bergerak. Atur strategi. Awali dengan pelan lalu kebutlah”.
menangkap berkat semesta
Aku berharap anak-anak mau mendengarkan nasehatku. Tetapi itulah anak muda semakin dinasehati maka akan semakin keras menolaknya. Tidak mengherankan kalau mereka ngebut pada awalnya. Mereka ingin mengatasi dingin dengan aktifitas fisik yang membakar kalori. Tidak berapa lama, setelah melewati Pos Watu Gajah mereka telah kehabisan tenaga. Aku dan isteriku yang pada mulanya jauh tertinggal di belakang, secara perlahan telah mendahului dan akhirnya meninggalkan mereka. Kali ini aku tidak akan memacu langkahku. Aku terus menengok kebelakang untuk memantau mereka. Jangan sampai tertinggal terlalu jauh.
Semburat merah mulai menjadi pemenang mengalahkan remang cahaya rembulan. Indah. Keren. Bagus. Luar biasa. Bias cahaya kuning keemasan berpadu denga biru langit. Sedangkan di sisi barat masih terlihat remang dan dihiasi kerlipan sisa bintang-bintang. Sebuah lukisan alam yang tidak mudah digambarkan, ada perpaduan yang sungguh alami antara gelap malam dengan cahaya bintangnya yang berpelukan dengan lebut cahaya kuning keemasan dari mentari dini.
Kuhentikan langkah saat kaki menginjak pos prasasti. Di sini sudah ada beberapa pendaki yang asik becengkerama dengan panorama alam. Kunikmati indah alam ini. Keindahan yang tidak bisa dibeli. Juga tidak bisa diciptakan oleh manusia. Ini adalah karunia. Manusia tinggal meluangkan waktu untuk menggapai dan menikmati sensasinya.
Perlahan dan dengan semangat menggebu untuk mengalahkan kelemahan raga, Willy, Jovan, Josua dan Zafnat tiba juga. Mereka terlihat sangat bahagia. Kemudian mereka mengabadikan cinta alam dengan berbagai foto narsisnya. Aku dan isteriku hanya tersenyum ikut bangga melihat luapan hati anak-anak itu.
Hangat sinar matahari dengan lembutnya menganti suasana dingin semesta. Waktu menunjuk angka 05.50 kuingin melanjutkan kisah menggapai puncak. Perjalanan masih sekitar satu jam lagi, tetapi aku tidak tega membuyarkan kebahagiaan anak-anakku. Kuberi toleransi. Isteriku juga mau mengerti. Hingga akhirnya tepat pukul 06.00 kami bergegas menuju Pos Pasar Bubrah untuk kemudian tinggal mengayunkan langkah menuju titik akhir perjalanan.
“Semua siap?”
“Siap Pak”, jawab anak-anak kompak dan penuh dengan semangat.
“Medan kita nanti beda dengan sebelumnya. Di sini kita akan melewati medan pasir. Kita berjalan tiga langkah namun yang kita dapat hanya satu langkah. Jalan masih sangat labil. Mudah longsor. Maka kalau ada teriakan batu. Hentikan langkah. Pandang arah suara. Perhatikan. Kalau ada batu yang mengarah ke kita maka hindari. Tetapi jangan panik. Santai tetapi tetap waspada. Paham?”
“Paham”, jawaban serentak. Isteriku juga ikut menjawab karena ia belum pernah sampai puncak di pendakian-pendakian sebelumnya.
“Saya akan memimpin. Kalian ikuti. Perhatikan langkahku dan ikuti saja. Kalau ragu-ragu jangan segan-segan bertanya. Kalau merasa terlalu jauh segera berteriak agar rombongan selalu bersama. Mengerti?”
“Mengerti”
“Mari kita lanjutkan petualangan ini. Bulatkan tekat bahwa kita bisa”
“Siap Pak”
Mengawali langkah dengan ayunan mantap. Seolah tapak kaki bagaikan motor baru. Tancap gas maka melesat dengan cepat. Tapi tenaga manusia bukanlah mesin. Ada batasan dan ada daya maksimal. Maka secara perlahan ketika kaki-kaki kami yang tidak biasa menapak di medan jalan berpasir menyurutkan nyali.

“Kapan nyampenya Pak?
“Selama kakimu masih mau melangkah maka kita akan sampai puncak. Soal waktu jangan tanyakan”
“Waduh Pak. Berat ki. Kelihatannya aku cukup sampai di sini saja ya Pak”, Josua mulai mengeluh.
“Aku juga Pak”, Zafnat ikut-ikutan.
“Kalian tu masih muda. Usia kalian jauh di bawahku. Bahkan usiaku dua kali usia kalian. Soal tenaga kalian jauh di atasku. Saat ini, wajah kalian belum pucat. Berarti kalian masih berlipat tenaga. Hanya kalian kehilangan motivasi. Tatap itu puncak. Ia melambai-lambai. Ia mengundang kita untuk menikmati keindahan alam yang ada di sana. Ayo kalian bisa”
“Itu kan Bapak. Jam terbang menentukan Pak”
“Kalian tu lihatnya hanya hasil akhir aja. Aku jadi seperti ini juga melewati tahapan. Tidak langsung jadi. Ada proses. Dan prosesku tidak selancar kalian. Aku mengawali dunia pendakian dari tidak punya apa-apa kemudian secara bertahap mengumpulkan perlengkapan pendakian itu. Kalian mendaki aja baru yang kedua atau baru yang ketiga tetapi perlengkapannya sudah sejajar dengan pendaki kawakan. Kalau propertinya sudah lengkap tunjukkan bahwa mental kalian juga selengkap yang kalian bawa. Ayo terus melangkah. Ikutin aja aku”.
“Tapi Pak”
“Gak usah komentar. Coba dulu. Pokoknya ikutin aja”
Kulambatkan langkahku untuk mendidik anak-anak agar memiliki mental baja. Aku berharap mereka memilii mental yang lebih keras dari baja agar tidak mudah kropos oleh gempuran waktu. “Udah dapt 10 meter. Tidak terasa to. Lanjut terus. Kalian pasti bisa”, teriakku untuk mendongkrak semangat anak-anak.
Anak-anak ini memiliki kemampuan belajar yang cukup cepat. Secara perlahan mereka mengerti dan tahu ritme langkah kaki di atas pasir. Tidak berapa lama mereka telah mendahului aku juga isteriku. Aku hanya geleng-geleng kepala saat melihat mereka kini jauh di depan meninggalkan aku.
sampai puncak
Aku tidak berupaya untuk mengejar mereka karena tenagaku tidak mungkin lagi disejajarkan dengan yang masih muda. 10 menit menjelang puncak, kulihat langkah anak-anak mulai melambat. Aku berpikiran positif mereka pasti menunggu aku agar sampai di puncak secara bersama-sama.
“Pak. Aku tidak kuat Pak. Beneran Pak”, ternyata mereka telah kehabisan tenaga. Bukan karena ingin menunggu.
“Tinggal 10 menit lagi. Masak gak bisa. Untuk kali ini aku berharap kalian mau memaksa dirimu”, aku katakana itu karena aku lihat mereka sebenarnya belum sampai di titik nadir. Masih ada daya. Tapi itu harus dipaksa.
“Sudahlah Pak. Kami cukup sampai di sini”
“Tahukah kalian bahwa ribuan kilau yang ditempuh oleh para pendaki itu selalu diawali dengan satu langkah. Kalian telah mengumpulkan ribuan bahkan berjuta langkah untuk sampai di titik ini. Kini tinggal 50 langkah lagi. Apakah kalian akan menyerah? Yakin lah bahwa kalian bisa. Ayo hitung langkahmu maka secara tidak sadar kalian akan sampai puncak”
 Kulihat wajah-wajah mendung dari anak-anak. Kemudian kutinggal mereka. Namun aku tetap mengawasi. Ketengok kebelakang dan keberseru, “Sudah dapat 10 langkah tinggal 40 lagi. Ayo kalian bisa”.

Aku dan isteriku tiba duluan di puncak Merapi. Segera kurapatkan inderaku untuk memusatkan hati pada Tuhan sang Pencipta. Seuntai doa syukur mengalir bersama desah nafasku. Bersama kelegaan dan kebahagiaan yang tiada terperi kusisipkan harapan dan doaku untuk jiwa-jiwa petualang yang telah berpulang, meninggal karena pendakiannya ke Merapi. Kubuka mataku dan kulihat isteriku nampak takjub dengan keindahan alam dari puncak Merapi ini. Ia begitu menikmati. 
ma isteri menikmati keindahan dr punck merapi
Nampak di bawah anak-anak perlahan-lahan mulai merapat. Kunikmati indahnya lukisan Tuhan dengan makan jeruk. Hal itu sengaja aku lakukan agar anak-anak bertambah semangatnya, “Sapa duluan nyampai aku beri satu buah jeruk. Nomor dua dapat dua per tiga dan yang paling belakang hanya dapat seperempat saja”.
panen jeruk d puncak merapi
Iming-iming itu mujarab untuk mendongkrak semangat. Mereka kemudian melesat memaksa ambang batas raga untuk bergairah. Empat anak itu hampir bersamaan tiba. Mereka berebut. “Jeruknya Pak”
“Tenang ae. Pasti tak kasih. Sekarang pejamkan mata, heningkan hati. Syukuri keberhasilan ini. Dan berdoalah”


menikmati hasil pencapaian dr proses yg tdk mudah
Suasana puncak Merapi menjadi hening. Semilir angin mengendus menerpa hati untuk membawa doa sampai pada Tuhan yang agung. Mereka membuka mata. Anak-anak terlihat sangat bahagia. Ada kelegaan dan kebanggaan yang mengalir. Mereka lupa jeruk. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan berteriak-teriak kegirangan. Lalu merka mengabadikan kemenangan untuk mengalahkan kelemahan diri dengan membingkai serpihan kisa dengan foto-foto sepuasnya.
bersama pasti bisa
Merapi dalam sangar ceritamu, dari bebatuan dan labil pasirmu, dari semak hijaumu serta dari rimbun pohonmu, engkau telah menuntun kami untuk bisa bersikap bijak. Engkau memiliki cara untuk membimbing kami bisa bersehati, bisa bersepikir. Hingga kami rela memberi. Hingga kami rela mengalah. Hingga kami berani mati agar sahabat kami bisa hidup. Terimakasih Merapi atas caramu menuntun kami menjadi semakin manusia. Kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menimba kearifan hidup agar hidup semakin menuju indahmu.





[1] Iya bu. Kangen. Saya sudah lama tidak mendaki.
[2] Gerbang ini pada mulanya berada tepat di batas perkebunan penduduk. Sekarang karena reboisasi yang berhasil maka perkebunan lebih turun ke bawah. Dengan demikian, gerbang ini menjadi berada di tengah hutan dan tidak lagi menandai batas hutan dan perkebunan.