MEMBAYAR
HUTANG SETAPAKMU, MERAPI
“Pak,
kapan-kapan kalau ndaki? Ikut ya”, sapa murid-murid tiap kali bertemu atau
berjumpa denganku. Pertanyaan yang jauh dari harapanku. Karena kurasa itu bukan
materi ajar yang menjadi bidangku. Sampai saat ini, aku terus berpikir mencari
jawabnya, kenapa setiap kali bertemu dengan anak didiku bukan bertanya tentang
pelajaran tetapi selalu mengenai gunung atau seputar pendakian. Bisa jadi, pengalaman lebih dirindu dari pada teorinya.
***
Kuat
raga ini tak juga mampu bertahan menopang kekacauan nurani. Ada kegelisahan
yang tersamar karena siklus kemapanan dan kenyamanan terpaksa dikoyak oleh
perubahan.
Aku sendiri tahu kalau perubahan itu tidak dapat
dihindari. Selama bumi masih berputar dan matahari masih setia menemani maka
perubahan akan selalu menyertai. Ada perubahan karena waktu, ada pula perubahan
karena keteraturan alam. Namun ada pula perubahan karena keadaan yang tidak
terhindarkan sehingga menyisakan banyak
bayang-banyang yang remang. Muncul kegelisahan. Lahir pula kecemasan. Dan yang
selalu ada dari perubahan adalah perubahan itu sendiri.
Kujalani hidup dengan ritme yang jelas bahkan bisa
dikatakan pasti. Aku adalah seorang pendidik. Banyak orang memanggilku guru.
Walau aku sendiri belum nyaman dengan kata itu. Aku selalu memposisikan diri
hanya sekedar sebagai pendamping. Tepatnya pembimbing. Kusadari bidang ajarku
adalah agama. Sesuatu yang abstrak.
Tentang Tuhan bisakah dijelaskan secara gamblang? Aku yakin, jawabnya adalah tidak
mungkin. Karena Tuhan selalu meta-empiris.
moment sun rise yg menawan
Hari-hari ini, aku dan juga rekan-rekan guru yang lainnya
sedang disibukkan dengan urusan administrasi dunia pendidikan. Kami harus
menyelesaikan perangkat pembelajaran. Sebuah rencana pembelajaran selama satu
tahun yang menyangkut, materi ajar, metode beserta bahan evaluasinya. Ada
tuntutan target yang mesti dikejar. Apalagi instruksi dari kepala sekolah yang
menegaskan bahwa minggu-minggu ini akan ada supervisi dari dinas pendidikan.
Maka, perangkat harus selesai.
Aku pun berburu dengan waktu, mengubah ritme yang ajeg.
Segenap kemampuan aku kerahkan tentu dengan satu minat, perangkat usai. Malam
tidak lagi menemani aku lelap dan nyaman di pembaringan. Tetapi malam seolah
bersorak girang, saat aku menatap tak jemu layar komputerku. Lima hari aku
targetkan.
Hari
ini menunjukkan kalau Rabu telah usang. Berarti saat ini telah menggiring waktu
menembus Kamis pagi. Masih 24 jam untuk menyelesaikannya, aku pikir demikian. Kutargetkan
Sabtu pagi dapat kuserahkan. Hilang beban. Ganti acara.
Jumat malam aku pun
berjumbu dengan target. Larut aku dalam buaian dekap hangatnya. Aku seolah
kehilangan rasa. Karena yang ada hanya satu hal. Aku tidak berdaya dan tidak
juga bisa berontak. Kucoba hilangkan segenap rasa juga inginku, kecuali bahwa
perangkat pembelajaran malam ini mesti jadi.
Saat
ayam berlomba berkokok untuk menyambut pagi, dan saat ibu-ibu sedang repot
mengganti popok anak-anaknya, aku berada pada titik kelegaan yang teramat dalam.
Tiga jilid perangkat dengan tebal masing-masing lebih dari 150 halaman berhasil
kurampungkan.
moment yg merindu
Pagi
ini semangat membara menghiasi wajahku. Kuayunkan langkah dengan gagah menuju
sekolah. Kendati demikian aku juga tidak bisa menyembunyikan kalau diri ini
lelah. Jiwa ini penat. Kesibukan yang menguras tenaga menjadikanku hidup dalam
ritme yang tidak seimbang.
“Pak,
ada acara ndaki gak?”, sapa muridku di koridor sekolah.
“Ada”,
jawabku tanpa berpikir dan tanpa pertimbangan.
“Beneran
Pak?”
“Iya”
“Kapan?”
“Nanti
malam”
“Kok
mendadak to pak. Mana kami siap”
“Kalau
mau gabung siapkan diri. Entar pulang sekolah, aku dikabari lagi ya. Ok”.
Belum
beranjak kakiku menapak, aku tersadarkan, mendaki kok tanpa persiapan jangka
panjang. Mendadak. Tetapi aku kan setiap bulannya memang memiliki kigiatan
rutin mendaki gunung. Soal waktu, itu tergantung dari situasi. Aku ingin maka
aku pun jalan. Lalu bagaimana dengan kondisi mereka yang gabung denganku, apakah
mereka memiliki stamina juga motivasi sebesar dan sekuat aku? Pengalaman adalah
jawabannya.
sisi barat merapi
Sabtu
buatku adalah hari yang tidak mudah. Di penghujung minggu, aku memiliki
tanggungan delapan jam tatap muka dengan murid-muridku. Dari pagi hingga siang
aku full mengajar. Hari Sabtu sering dimakani sebagai hari yang sulit karena
secara umum yang menjalaninya telah kehabisan tenaga dan yang paling akurat
adalah kehilangan motivasi. Hari Sabtu menjadi hari yang semu, menjadi hari
yang tidak menginjak tanah. Banyak orang yang sudah menikmati hari Minggu
kendati sebenarnya masih di hari Sabtu. Hari Sabtu adalah hari untuk
melambungkan khayal.
Aku
sungguh berjuang untuk menjadikan mapel agama bisa menjadi menarik, khususnya
di hari Sabtu. Saat kulihat tatapan kosong dari murid-muridku. Tubuh mereka
berada di kelas tetapi aku tahu bahwa pikiran mereka tidak berada di sana.
Pelajaran agama yang abstrak makin tidak mudah diserap juga dicerna. Dan
tentunya tidak mungkin untuk dihidupi. Didengarkan saja tidak, apa lagi
dihayati. Jelas ini sesuatu yang imposibel.
puncaknya d sana, merapi
Kenyataan
ini menjadi tantangan tersendiri buatku.
Salah
satu cara untuk mentransfer keyakinan akan adanya Tuhan atau yang transenden,
kubiasakan untuk bisa menjadi sahabat bagi anak-anakku. Sementara ini, aku
yakin bahwa menjadi sahabat adalah cara termudah untuk mengajari banyak hal.
Mulai dari hal praktis hingga yang abstrak. Sahabat memungkinkan untuk mengurai
sekat dan jarak. Walau masih berlaku unsur sopan dan etika. Menjadi sahabat
lebih memungkinkan untuk sering bersama. Dan kebersamaan merupakan jalan untuk
melihat, mengamati dan menyimpulkan.
Itulah cara belajar.
***
***
Bel
istirahat pertama berbunyi. Anak-anak berhamburan memburu kepentingannya. Aku
pun dengan segera menuju ruang guru untuk sejenak mengumpulkan semangat bersama
canda-tawa rekan kerja. “Pak. Pak”, teriak muridku dari belakang. Aku pun
menoleh. “Willly, ada apa?”
“Beneran
entar sore mo nanjak Pak?”
“Iya.
Merapi”
“Ikut
ya Pak”.
“Boleh.
Kalau ada teman lain yang mau ikutan, boleh kok. Tapi dikoordinir ya”.
“Siap
Pak”.
Masih
empat jam lagi aku menemani muri-muridku untuk menimba ilmu. Masih cukup lama.
Dan itu cukup memberiku ruang untuk belajar menjadi semakin sabar, peka serta
bijak.
Tidak
terasa, waktu terus berlalu. Ia meninggalkan banyak goresan kisah. Hingga
akhirnya akupun digiring pada kelegaan.
Saatnya
pulang.
Istirahat
sebentar.
Persiapan
ala kadarnya dan siap menuju base camp
Selo, Boyolali. Untuk selanjutnya tinggal bulatkan tekat, bercengkerama dengan
Merapi. Kupercepat langkah kakiku menuju parkiran motor guru. Anak-anak masih
berjubel di lorong-lorong sekolah dan ada pula yang nampak gelisah, menunggu
jemputan. “Pak. Beneran entar sore ke Merapi?” Tanya muridku, seorang cewek
yang nampak kecewa. “Iya. Emang kenapa?”
“Kok
mendadak sih. Pinginnya ikut. Tapi kalau mendadak aku tidak bakalan dapat ijin
dari ortu Pak”.
“Lain
kali kan masih ada banyak kesempatan. Selama gunungnya tidak pindah kan masih
bisa didaki hehe”. Kucoba mengurai kekecewaan itu dengan canda. Walau aku rasa
juga terasa kering. Wagu. Pada hal
aku tahu bahwa aku tidak akan bisa membuat agenda pendakian jauh-jauh hari.
Kegiatan sekolah sering kali menuntut gerak cepat. Agenda pribadi kadang harus
mengalah demi kepentingan serkolah. Beberapa kali aku sempat malu dengan
teman-teman di komunitas pendaki. Agenda yang sudah lama dibuat untuk bisa
nanjak bareng terpaksa aku batalkan karena surat tugas dari kepala sekolah. Dan
itu tidak bisa aku tolak. Masalah nasib. Pekerjaan dan terutama masalah sumber
rejeki.
Belum sempat kustarter motorku, nampak Willy
tergopoh menghampiriku. “Pak, tunggu”.
“Gimana,
ada yang lain?”
“Ada
Pak. Jadinya empat orang. Saya, Jovan, Josua dan Zafnat”.
“Sip.
Semakin sedikit yang gabung, maka semakin mudah koordinasinya. Jam lima aku
tunggu di rumah ya. Gak pake molor yo”.
“Siap
Pak”.
Waktu
tempuh antara sekolah dengan rumah tidaklah lama, hanya 10 menit. Sesampainya
di surga sederhanaku, isteriku telah menunggu untuk makan siang bersama. Satu
tradisi yang aku rasa cukup baik. Aku bersama isteriku minimal seminggu sekali
harus bisa makan siang bersama. Hal ini akan menjembatani banyak hal. Makan
tidak hanya sekedar makan. Karena dengan makan bersama, aku dan isteriku
mendapat mediasi untuk bisa berbagi pengalaman juga keluhan. Adanya makan
bersama ini menjadi meja untuk menyantap hidangan jiwa, saling berbagi, mau
mendengarkan dan tentunya juga mau menerima.
bersama isteriku yg sering jalan bareng dg anak2
Saat
waktu menunjuk angka 14.00 kurebahkan rga ini di atas pembaringan untuk
mendulang tenaga. Begitu pula dengan isteriku.
Siang
ini, angin berhembus dengan kencangnya manjadikan kami terlelap, hanyut dalam
mimpi. Tentunya aku juga membangun imajinasi bahwa nanti malam udara Merapi
akan sangat-sangat menusuk tulang. Dalam samarku membangun imajinasi, wekerku
pun berbunyi dan itu tepat pukul empat sore. Saatnya bangun. Mandi dan menunggu
anak-anak tiba di rumah.
Mengharap
datang sesuai kesepakatan seolah menjadi barang langka. Sulit kutemui
orang-orang yang memiliki kemampuan tepat waktu. Sikap toleran untuk mencoba
memahami situasi orang lain mungkin menjadi penyebab utamanya. Apapun
alasannya, entah bisa dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar pemanis bibir. Selalu
bisa diterima ketika bertemu dengan orang yang mundur dari waktu yang
disepakati. Walau sebenarnya ini jauh dari polaku.
Jauh
di relung waktu yang lampau. Dalam kurun waktu yang tidak singkat aku pernah
mengalami cara hidup yang selalu tepat waktu. Proses pendidikan yang pernah
kutekuni menggunakan sistem disiplin dengan rincian kegiatan yang cukup padat. Itulah
seminari. Maka dengan sendirinya sikap tepat waktu telah mendarah daging denganku.
Namun dunia ini tidak diisi oleh orang-orang yang sama. Dunia ini begitu variatif.
Mereka bukan aku dan tentunya aku juga bukan mereka.
Untuk
kesekian kalinya, anak-anak yang ingin mendaki gunung bersamaku kembali menawar
waktu untuk tidak mengikatnya. Sehingga rencana jam lima berangkat praktis
mundur. Seperempat jam telah melewati rencana. Karena terbiasa mundur aku tidak
lagi gelisah karenanya. Kutunggu mereka, tentunya dengan memaksa diriku untuk menjadi
lebih sabar.
sabar, trus bergerak untuk mencapai tujuan
“Ki
anak-anakmu mana to? Selalu molor.
Gak bisa tepat waktu. Mau jadi apa?”, Isteriku menggerutu. Ngomel. Tanda ia
kecewa. Juga gelisah.
Aku
hanya diam. Kurenungkan bahwa mentransfer pola hidup yang baik itu bukan
perkara mudah. Ada kesulitan. Wajar, karena dunia tidak lagi menempatakan
disiplin sebagai keutamaan. Bukan lagi hal yang sangat membanggakan. Dunia saat
ini, memang menawarkan berbagai pilihan dan sikap hidup. Melemahnya anak-anak
muda untuk memilih sikap berkarakter menjadi keprihatinan. Apakah aku akan diam
saja?
Deru
motor yang berhenti di depan pagar rumah memecah bekunya waktu juga lamunanku.
“Pak Heri. Permisi”.
Willy
dan Jovan tiba. Sempat kulirik penunjuk waktu di pergelangan tanganku yang
menunjuk angka 17.30.
“Zafnat
dan Josua mana?”
“Nyusul
Pak. Mereka akan berangkat belakangan. Katanya kita diharap menunggu di pasar
Selo”.
“Kalau
begitu, mari berangkat. Kita tunggu di sana”.
Bergegas
kami pun segera menarik gas motor. Aku bersama isteriku dan Willy bersama
Jovan. Dalam benakku di tengah memudarnya kegundahan terbesit rasa senang. Aku
yakin pendakian kali ini akan lebih lancar dan koordinasinya pun akan lebih
mudah. Semakin sedikit yang diatur maka semakin sedikit pula perbedaan yang perlu
didamaikan. Hari ini ya hari ini, saat sejarah mencatat dalam abadinya bahwa Sabtu ini, tanggal 24 Agustus 2013 aku akan membayar hutang untuk kembali menari di atas setapa Merapi.
Meliuk
motor kami mengikuti irama tikungan jalan. Angin berhembus kencang. Udara
menurun sehingga lebih terasa menusuk tulang. Dingin. Selepas Boyolali, jalan
semakin menanjak dan tentunya udara pegunungan kian terasa. Kami menuju Cepogo
dan tentunya akan berakhir di Selo. Sebuah kecamatan yang berada di lembah
gunung. Tepat diapit oleh Merapi dan Merbabu. Maka tidak mengherankan kalau
udara sejuk dan sanggup membekukan darah.
Setengah
tujuh malam kami tiba di Cepogo. Di kecematan ini, kami berbelanja kebutuhan
pokok selama pendakian. Tidak banyak yang kami beli. Karena kami akan ngebut.
Mendaki dengan pola patas, cepat dan efesien. Oleh karena itu perbekalan pun dipertimbangkan
seringan dan seakurat mungkin. Kami belanja sekotak minuman saset, beberapa
bungkus mi instan, roti padat dan 6 botol 1,5 liter air mineral. Bekal ini kami
rasa sangat cukup untuk menopang kebutuhan enam orang yang hanya sekitar 6-7
jam turun-naik menikmati panorama Merapi.
Setok
kebutuhan pokok telah di dapat maka kami pun melanjutkan langkah. Kembali
lincah kami mengendarai motor di medan pegunungan, turun, naik, tikungan dan
sesekali samar mata kami nenatap jalan yang diselimuti kabut tebal. Aku pribadi
merasa seolah tanganku mati rasa karena udara yang terlalu dingin. Hal itu juga
dipertegas dengan kecepatan laju kendaraan. Perut makin keroncongan ketika raga
telah turun suhu.
Hatiku
bersorak girang saat mata menatap tulisan polsek Selo. Tempat perhentian. Dan
yang jelas bahwa di tempat ini ada warung, ada makanan, ada sumber tenaga, ada
sumber kehangatan. Di sini kami juga akan membangun sikap komit, menunggu dua
rekan yang mengejar dari belakang. Masih ada beberapa warung yang buka. Kami
sengaja memilih warung di ujung paling timur. Agar kami bisa mengamati jalanan
dengan harapan Zafnat dan Josua tidak kesulitan menemukan kami nantinya.
Setengah
delapan malam kami menimba asupan nutrisi. Sumber tenaga ini akan menggerakan
raga kami untuk bercumbu dengan Merapi. Aku, isteriku, Willy dan Jovan sungguh
menikmati saat ini dengan kegembiraan. Canda tawa mengalir mewarnai peristiwa
makan malam sederhana. Segelas kopi, sepiring nasi rames yang ditemani
sebungkus kerupuk rambak, terasa begitu nikmat. Jam delapan Zafnat dan Josua
belum ada tanda-tanda muncul. Aku tidak khawatir karena rencana nanjak akan
dimulai selepas tengah malam.
Willy
dan Jovan sibuk mengkontak mereka. Sedangkan aku dan isteriku lebih cenderung memilih
diam dan menikmati keindahan alam. Gugusan bintang yang nampak jernih dipadu
dengan cahaya rembulan buatku ini sungguh menawan. Udara yang berhembus lembut
dengan rasa yang mampu menidurkan ketegangan saraf membuatku rileks. Sebuah
cara untuk bisa rekreasi yang sebenarnya walau dengan metode yang sangat-sangat
sederhana.
Malam
kian merangkak dengan membawa sejuk embunnya. Udara pegunungan sangat terasa
dingin. Hingga aku merasa bahwa malam ini adalah malam terdingin dalam
pendakianku. Semilir angin yang menyejukkan merambat pelan mengubah tegar raga
menunduk, menjadi menggigil karenanya. Rasa was-was pelan dan pasti meracuni
keyakinanku. Dalam cemasku mendadak suasana berganti hangat. Yang ditunggu
telah tiba. Tepat pukul 20.30, Zafnat dan Josua menghentikan motornya. Jabat
tangan dan sapa penuh keakraban mengalir menghapus gelisah penantian.
“Makan
dulu”, kudengar sapa Willy.
“Kami
sudah makan di bawah. Lanjut saja. Masih jauhkah base camp nya?”
“Kata
Pak Heri. Paling lama sepuluh menit kita nyampe”.
“Oke.
Lets go”
“Siap”
“Pak.
Hayo lanjut”, teriak Jovan memanggil karena aku dan isteriku memang berada di
seberang jalan.
Sungguh
malam ini, udara memang seolah akan membuat dunia menjadi es. Suara gemeretuk
gigiku terdengar lebih keras dari deru motorku. Namun semangat anak-anak untuk
bisa menikmati indah panorama Merapi menjadi penghangat dan penyemangat yang
luar biasa dahsyat. Selepas pasar Selo, sekitar 100 meter di pertigaan kami
belok kiri untuk meliuk nanjak menuju base
camp. Dugaanku tidak meleset, pendakian kai ini pasti ramai. Terbukti
dengan banyaknya kendaraan yang parkir. Hingga kendaran kami terpaksa berada di
luar rumah.
puncak merapi
Di
base camp kami pun tidak mendapat tempat untuk sejenak beristiraha. Maka, kami
menghabirkan waktu di luar rumah. Yang berarti kami harus menikmati dinginnya
malam. Kegembiraan dan persahabatan
lahir dengan sendirinya. Perjumpaan dan pertemuan dengan sesama pendaki
melahirkan rasa senasib sepenanggunga. Maka dengan sendirinya semangat
persaudaraan terlahirkan. Suasana akrab itu mampu mengusir dingin udara.
Bertahap, pelan dan pasti rombongan demi rombongan telah melangkah untuk
bercumbu dengan Merapi. Ada rombongan yang jumlahan puluhan namun banyak juga
yang kumpulan dari pendaki-pendaki perseorangan hingga membentuk kelompok baru.
Sekitar
pukul 22.00 base camp mulai longgar.
Rombonganku segera masuk, menemukan tempat dan dengan segera anak-anak rebah
untuk beristirahat. Kami berencana mulai bergerak sekitar jam 00.30 masih cukup
waktu untuk mendulang tenaga. Tidak menunggu lama, anak-anak telah mendengkur.
Demikian pula dengan isteriku. Berbeda dengan diriku. Pendakian bagiku adalah
saat membangun persahabatan dan persaudaraan. Malam ini aku bertemu dengan
sahabat lama. Maka kami pun menghabiskan malam untuk bertukar remah-remah
hidup.
Sebelum
berangkat kusempatkan diri untuk sejenak lelap. Riuh gembira dan canda tawa
dari para pendaki seolah hilang dari pendengaranku. Diam dan hening. Sebentar
namun sangat berharga. Jam 00.00 anak-anak mulai bangun dan kemudian mereka
menyiapkan diri untuk melangkah mengukir sejarah hidup bersama anggun dan indah
Merapi.
salah 1 sudut puncak merapi
Sesuai
rencana kami meninggalkan base camp tepat pukul 00.30 untuk segera menuju
warung di New Selo. Di sana aku memiliki langganan. Tujuh kali pendakian selalu
mampir dan mendulang energi di
warungnya. Sepuluh menit berjalan kami tiba di warung, “Pak Guru. Monggo. Badhe muncak?”
“Inggih bu. Kangen. Sampun radi dangu kulo mboten minggah[1]”
Segelas
susu jahe dan beberapa potong gorengan menemani kegembiraan dan canda tawa
kami. Persaudaraan yang mengalir dalam kejujuran. Hingga tidak terasa waktu
telah melangkah dan tiba pada titik 01.30. Kami segera pamitan dan siap melaju
untuk berlomba dengan janji keindahan sunrise
di pos pasar bubrah.
Kemarau
belum lama menikmati musimnya tetapi panas matahari telah mampu mengeringkan
tanah dan debu pun riang menari. Sehingga jalan setapak jalur pendakian
terlihat putih berkilauan. Lampu senter yang bertengger di kepala tidak
membantu banyak. Karena cahaya rembulan dan cerahnya cuaca menjadikan malam
tidak terasa sebagai malam. Tidak ada kegelapan yang ada adalah suasana terang.
Maka tidak mengherankan kalau setapak
terlihat jelas. Sehingga kami sangat terbantu untuk melihat jalan, pemandangan
pegunungan. Bila menghadap ke belakang terlihat panorama kota Solo, Boyolali,
Selo dan lekuk indah Merbabu.
d sana, ada puncak tusuk gigi
Setengah
jam meninggalkan New Selo tibalah kami di gerbang pendakian gunung Merapi[2].
Kami istirahat hanya sebentar. Kami tidak ingin didahului oleh pendaki lain
yang sayup terdengar suaranya di belakang. Namun kami juga tidak ingin
mendahului rombongan yang berada di depan. Hal ini sengaja kami pilih agar paru-paru
tidak terlalu banyak menikmati debu tanah.
Di
area ini angin bertiup kencang, menjadikan darah seolah membeku. Perut pun
mengembung karena metabolisme pencernaan yang tidak sempurna. Segera kami pun
mengayunkan langkah untuk mempertahankan tubuh yang sudah hangat. Agar penyakit
keram tidak menyerang. Seperempat jam berlalu emlewati gerbang pendakian. Hati
merasa lega. Kami telah memasuki hutan yang melebat sehingga kekuatan angin
terpecah.
Kegembiraan
ini tidak bertahan lama. Tiba-tiba, “Pak, berhenti dulu”, teriak Willy.
“Ada
apa?”
“Ada
yang nyari tempat”.
“Maksudnya?”
“Harus
ada yang dikeluarkan Pak”
Aku
tahu artinya. Pencernaan dari salah satu muridku berontak minta untuk di
keluarkan. ”Yang lain nunggunya nyari tempat yang terlindung dari hajaran
angin. Pertahankan untuk tetap bersama agar tubuh tetap terjaga kehangatannya”.
Aku dan isteriku yang agak jauh di depan menunggu anak-anak dengan rasa
gelisah. Lima menit belum menyusul. Sepuluh menit belum ada tanda-tanda. “Hanyo
cepat. Keburu dingin badan kita. Itu tidak baik”, kupertegas strategi pendakian
gaya pembalap. Agar anak-anak tidak ngedrop
nantinya. Hal ini aku lakukan juga karena aku merasa ada tanda-tanda kalau
kakiku akan kram.
“Mana
to ini anak-anak”, gerutu isteriku. Aku tidak berkomentar.
“Batas
toleransi 15 menit. Kalau tidak muncul kita tinggal. Biar mereka nyusul”,
interiku telah mengambil keputusan. “Ya”, jawabku ringan.
“Hanyo
cepat. Keburu dingin. Entar kram lho. Aku jalan dulu ya”, teriakku untuk
menegaskan keputusan yang sekaligus pamitan.
“Tunggu
Pak”, teriak mereka. Isteriku telah melangkah. Berat aku harus mengikutinya.
“Aku
pelan-pelan. Entar kalian nyusul ya”
“Siap
Pak”.
Aku
sengaja tidak bercerita kepada siapapun kalau kakiku telah kram. Aku tidak
merintih. Juga tidak mengeluh. Seolah tidak terjadi apa-apa. “Pak Tunggu”,
terdengar suara anak-anak yang menandakan mereka agak panik. Mungkin takut
kalau aku tinggal.
“Kami
tunggu. Ayo dipercepat langkahnya”, seruku untuk menenangkan.
“Tunggu
Pak. Jalannya jangan cepat-cepat”. Mereka mulai merengek. Aku tidak
berkomentar. “Pak, kok rasane lemas ya. Serasa tidak punya tenaga”.
“Tu
karena terlalu lama istirahate. Tubuh udah terlanjur dingin. Kita mulai dari
awal lagi. Pelan-pelan untuk memanasi tubuh. Kalu dikebut, jadinya ya seperti itu.
Masih untung tidak kram”, saut isteriku untuk melepas gusarnya.
“Udah
kumpul semua?” tanyaku untuk mengurai suasana.
“Komplit
Pak”
“Mari
kita lanjutkan perjalanan. Tidak usah buru-buru. Yang penting ikuti ritme
masing-masing. Karena setiap orang tu beda kecepatannya. Tidak usah maksa.
Kalau merasa terlalu jauh tertinggal silahkan teriak dan beri tahu teman di
depannya. Mengerti?”
Aku
dan isteriku masih mengmbil posisi di depan. Kali ini anak-anak terus mencoba
mengikutiku. Mereka Nampak kompak sekali dan semangatrnya memang tidak akan
pernah padam. Setapak yang terjal, berdebu dan menanjak tajam tidak memudarkan
gairah anak-anak untuk bisa menggapai pucak Merapi. Aku tidak tahu penyebabnya.
Tumben anak-anak ini memilik semangat yang melampaui punyaku. Aku berharap
mereka tidak kalah oleh keinginan karena salah cara dan strategi pendakian. Aku
harus terus mendampingi dan mengajari mereka. Karena merekalah yang nantinya
akan melanjutkan kisah dan membagikan kekaguman akan alam pada rekan-rekan
lain.
Saat
waktu menunjuk angka 02.45 kami tiba di Pos I. kami sengaja mengambil posisi
istirahat di bawah Pos Watu Belah. Dari pengalaman yang pernah kulakukan
istirahat tepat di pos akan segera dihajar oleh angin. Sehingga tidak sampai
lima menit tubuh akan menggigil kedinginan. Pernah aku mengalami hal itu dan
sangat fatal akibatnya. Dari pos sati menuju pos dua kulewati dengan kaki kram
pada empat titik. Akhirnya untuk bisa mencapai tujuan langkah survival pun akau
lakukan yaitu merangkak. Kaki tidak dapat digerakkan karena kram maka tangan
akan menjadi tumpuan.
Di
pos ini kami menikmati bekal ala kadarnya. Kami menikmati roti agar asupan
tenaga tetap terjaga. Di pos ini pula kami meninggalkan satu botol air mineral.
Strategi pendakian yang jalurnya tanpa sumber air.
Tenaga
telah pulih. Perut telah terisi. Yang lebih penting adalah kestabilan emosi.
Dengan istirahat menjadikan perasaan-perasaan negatif mereda. Sehingga sikap
untuk konsisten pada rencana lebih bisa dipertahankan. Kalaupun ada
persoalan-persoalan sikap bijak akan menjadi pilihan. Padaa titik 03.00 kami
segera melanjutkan kisah. Anak-anak yang memang masih muda dengan staminanya
pelan-pelan melaju meninggalkan aku dan isteriku. Aku hanya tersenyum. Semoga semangatnya
terus berkobar dan raga mereka tidak kalah.
remang-remang menunggu sun rise
Jalan
terjal berbatu, tanjakan curam mereka libas dengan cepat. Aku sempat kepayahan
untuk mengejar mereka. Aku lihat isteriku yang tidak membawa apa-apa terlihat
sangat antusias mengejar anak-anak. Ini juga berbeda dengan biasanya. Selama
ini, isteriku agak kewalahan di jalur ini, tetapi tidak dengan hari ini. Ia
begitu prima. Akhirnya aku menjadi paling belakang dari rombongan. Jauh di
depanku anak-anak berteriak, “Pak, Pos Dua”. Kulihat jam tanganku. Baru pukul
03.30. rekor baru. Biasanya pos satu menuju pos dua oleh pendaki professional
ditempuh selama 45 menit sampai satu jam. Hari ini, anak-anakku telah
mematahkan waktu tempuh itu.
Aku
khawatir kalau anak-anak akan terus melaju mengejar puncak. Mereka belum tahu
kalau selepas pos dua angin akan langsung menghajar mereka. Pada hal malam ini
angin bertiup sangat-sangat kencang. Kalau mereka memaksa terus melangkah, aku
kawatir ada hal-hal negatif yang bisa terjadi. Segenap kemampuan pendakianku
kukerahkan untuk melesat mengejar mereka. Di pertemuan jalur dengan yang lewat
Lumutan, mereka berhasil aku susul.
Saat
itu tepat pukul 03.45. “Kita berhenti di sini. Sekitar pukul lima kita akan
bergerak lagi mengejar sunrise di pos
prasasti”, pintaku pada mereka.
“Tanggung
Pak. Kita bisa mendapatkan sunrise di puncak Merapi”
“Kamu
yakin dengan tenagamu? Masih sekitar 1,5 jam dari sini. Kalau kamu yakin
silahkan jalan. Tetapi kalau tidak yakin, istirahat saja dulu”
“Ngikut
Pak Heri sajalah”
Aku
tahu anak-anak agak kecewa. Namun yang kupertimbangkan bukan soal puncak tetapi
pada kemungkian-kemungkinan negatif. Mereka belum pernah menggapai puncak
Merapi. Mereka tidak tahu medan tempuh dan situasi angin. Yang kadang
sangat-sangat kencang dan aku pernah dibuat beku olehnya.
Kubuatkan
api unggun. Kusiapkan peralatan masak. Dan kuminta mereka merebus air guna
menyeimbangkan sumber panas, ada yang dari luar tetapi ada pula yang dari
dalam. Dugaanku ternyata benar, tidak sampai lima menit anak-anak ini telah
mengorok. Mereka tertidur. Mereka pasti kelelahan. Berarti sebenarnya mereka
telah memforsir tenaganya. Saat ini mereka telah kehabisan tenaga. Untung aku
kukuh dengan pendirianku untuk tidak melanjutkan perjalanan. Isteriku juga
tertidur. Aku kawatir mereka nantinya akan kedinginan. Setelah semuanya siap
segera kubangunkan mereka.
“Mienya
sudah siap Pak”, seru Zafnat sang juru masak.
“Minumnya?”
“Siap
Pak”
“Bangun-bangun.
Ayo makan dan segera minum. Jam lima kita akan bergerak lagi. Jaga panas tubuh
kalian. Jangan sampai kedinginan. Merapat dengan api unggun. Terlihat isteriku
dan beberapa anak-anak masih malas-malasan. Aku pun memaksanya. Hingga akhirnya
satu gelas kopiku tumbah terinjak kaki, karena yang punya kaki masih setengah
terjaga.
“Waduh
yang minum kopiku ternyata kaki to”
“Ah,
Pak Heri. Yo sorry Pak. Gak sengaja”
Kami
pun tertawa terbahak-bahak. Dan hidangan ala kadarnya di fajar ini menjadi
sangat istimewa. Sederhana tetapi mampu menghadirkan kegembiraan, persahabatan
dan persaudaraan.
bendera ekskul kebanggaan
Menjelang pagi angin makin kencang bertiup. Hingga
aku melihat semak-perdu mulai merebah. Saat waktu bertengger di titik 05.00,
semua telah beres. Kekuatan telah pulih dan kami yakin tenaga yang ada cukup
untuk melesatkan kami menuju puncak Merapi. Segera kami berlalu untuk menyambut
mentari terbit. Baru beberapa meter meninggalkan tempat istirahat, raga menjadi
ciut nyali. Tiupan angin itu menjadikan udara yang sudah dingin semakin terasa dingin.
“Pak. Dinginnya Pak”
“Gak
usah ngeluh. Kita harus terus bergerak. Atur strategi. Awali dengan pelan lalu
kebutlah”.
menangkap berkat semesta
Aku
berharap anak-anak mau mendengarkan nasehatku. Tetapi itulah anak muda semakin
dinasehati maka akan semakin keras menolaknya. Tidak mengherankan kalau mereka
ngebut pada awalnya. Mereka ingin mengatasi dingin dengan aktifitas fisik yang
membakar kalori. Tidak berapa lama, setelah melewati Pos Watu Gajah mereka
telah kehabisan tenaga. Aku dan isteriku yang pada mulanya jauh tertinggal di
belakang, secara perlahan telah mendahului dan akhirnya meninggalkan mereka. Kali
ini aku tidak akan memacu langkahku. Aku terus menengok kebelakang untuk
memantau mereka. Jangan sampai tertinggal terlalu jauh.
Semburat
merah mulai menjadi pemenang mengalahkan remang cahaya rembulan. Indah. Keren. Bagus.
Luar biasa. Bias cahaya kuning keemasan berpadu denga biru langit. Sedangkan di
sisi barat masih terlihat remang dan dihiasi kerlipan sisa bintang-bintang. Sebuah
lukisan alam yang tidak mudah digambarkan, ada perpaduan yang sungguh alami
antara gelap malam dengan cahaya bintangnya yang berpelukan dengan lebut cahaya
kuning keemasan dari mentari dini.
Kuhentikan
langkah saat kaki menginjak pos prasasti. Di sini sudah ada beberapa pendaki
yang asik becengkerama dengan panorama alam. Kunikmati indah alam ini. Keindahan
yang tidak bisa dibeli. Juga tidak bisa diciptakan oleh manusia. Ini adalah
karunia. Manusia tinggal meluangkan waktu untuk menggapai dan menikmati
sensasinya.
Perlahan
dan dengan semangat menggebu untuk mengalahkan kelemahan raga, Willy, Jovan,
Josua dan Zafnat tiba juga. Mereka terlihat sangat bahagia. Kemudian mereka
mengabadikan cinta alam dengan berbagai foto narsisnya. Aku dan isteriku hanya
tersenyum ikut bangga melihat luapan hati anak-anak itu.
Hangat
sinar matahari dengan lembutnya menganti suasana dingin semesta. Waktu menunjuk
angka 05.50 kuingin melanjutkan kisah menggapai puncak. Perjalanan masih
sekitar satu jam lagi, tetapi aku tidak tega membuyarkan kebahagiaan
anak-anakku. Kuberi toleransi. Isteriku juga mau mengerti. Hingga akhirnya
tepat pukul 06.00 kami bergegas menuju Pos Pasar Bubrah untuk kemudian tinggal
mengayunkan langkah menuju titik akhir perjalanan.
“Semua
siap?”
“Siap
Pak”, jawab anak-anak kompak dan penuh dengan semangat.
“Medan
kita nanti beda dengan sebelumnya. Di sini kita akan melewati medan pasir. Kita
berjalan tiga langkah namun yang kita dapat hanya satu langkah. Jalan masih
sangat labil. Mudah longsor. Maka kalau ada teriakan batu. Hentikan langkah. Pandang
arah suara. Perhatikan. Kalau ada batu yang mengarah ke kita maka hindari. Tetapi
jangan panik. Santai tetapi tetap waspada. Paham?”
“Paham”,
jawaban serentak. Isteriku juga ikut menjawab karena ia belum pernah sampai
puncak di pendakian-pendakian sebelumnya.
“Saya
akan memimpin. Kalian ikuti. Perhatikan langkahku dan ikuti saja. Kalau ragu-ragu
jangan segan-segan bertanya. Kalau merasa terlalu jauh segera berteriak agar
rombongan selalu bersama. Mengerti?”
“Mengerti”
“Mari
kita lanjutkan petualangan ini. Bulatkan tekat bahwa kita bisa”
“Siap
Pak”
Mengawali
langkah dengan ayunan mantap. Seolah tapak kaki bagaikan motor baru. Tancap gas
maka melesat dengan cepat. Tapi tenaga manusia bukanlah mesin. Ada batasan dan
ada daya maksimal. Maka secara perlahan ketika kaki-kaki kami yang tidak biasa
menapak di medan jalan berpasir menyurutkan nyali.
“Kapan
nyampenya Pak?
“Selama
kakimu masih mau melangkah maka kita akan sampai puncak. Soal waktu jangan
tanyakan”
“Waduh
Pak. Berat ki. Kelihatannya aku cukup sampai di sini saja ya Pak”, Josua mulai
mengeluh.
“Aku
juga Pak”, Zafnat ikut-ikutan.
“Kalian
tu masih muda. Usia kalian jauh di bawahku. Bahkan usiaku dua kali usia kalian.
Soal tenaga kalian jauh di atasku. Saat ini, wajah kalian belum pucat. Berarti kalian
masih berlipat tenaga. Hanya kalian kehilangan motivasi. Tatap itu puncak. Ia melambai-lambai.
Ia mengundang kita untuk menikmati keindahan alam yang ada di sana. Ayo kalian
bisa”
“Itu
kan Bapak. Jam terbang menentukan Pak”
“Kalian
tu lihatnya hanya hasil akhir aja. Aku jadi seperti ini juga melewati tahapan. Tidak
langsung jadi. Ada proses. Dan prosesku tidak selancar kalian. Aku mengawali
dunia pendakian dari tidak punya apa-apa kemudian secara bertahap mengumpulkan
perlengkapan pendakian itu. Kalian mendaki aja baru yang kedua atau baru yang
ketiga tetapi perlengkapannya sudah sejajar dengan pendaki kawakan. Kalau propertinya
sudah lengkap tunjukkan bahwa mental kalian juga selengkap yang kalian bawa. Ayo
terus melangkah. Ikutin aja aku”.
“Tapi
Pak”
“Gak
usah komentar. Coba dulu. Pokoknya ikutin aja”
Kulambatkan
langkahku untuk mendidik anak-anak agar memiliki mental baja. Aku berharap
mereka memilii mental yang lebih keras dari baja agar tidak mudah kropos oleh
gempuran waktu. “Udah dapt 10 meter. Tidak terasa to. Lanjut terus. Kalian pasti
bisa”, teriakku untuk mendongkrak semangat anak-anak.
Anak-anak
ini memiliki kemampuan belajar yang cukup cepat. Secara perlahan mereka
mengerti dan tahu ritme langkah kaki di atas pasir. Tidak berapa lama mereka
telah mendahului aku juga isteriku. Aku hanya geleng-geleng kepala saat melihat
mereka kini jauh di depan meninggalkan aku.
sampai puncak
Aku
tidak berupaya untuk mengejar mereka karena tenagaku tidak mungkin lagi
disejajarkan dengan yang masih muda. 10 menit menjelang puncak, kulihat langkah
anak-anak mulai melambat. Aku berpikiran positif mereka pasti menunggu aku agar
sampai di puncak secara bersama-sama.
“Pak.
Aku tidak kuat Pak. Beneran Pak”, ternyata mereka telah kehabisan tenaga. Bukan
karena ingin menunggu.
“Tinggal
10 menit lagi. Masak gak bisa. Untuk kali ini aku berharap kalian mau memaksa
dirimu”, aku katakana itu karena aku lihat mereka sebenarnya belum sampai di
titik nadir. Masih ada daya. Tapi itu harus dipaksa.
“Sudahlah
Pak. Kami cukup sampai di sini”
“Tahukah
kalian bahwa ribuan kilau yang ditempuh oleh para pendaki itu selalu diawali
dengan satu langkah. Kalian telah mengumpulkan ribuan bahkan berjuta langkah
untuk sampai di titik ini. Kini tinggal 50 langkah lagi. Apakah kalian akan
menyerah? Yakin lah bahwa kalian bisa. Ayo hitung langkahmu maka secara tidak
sadar kalian akan sampai puncak”
Kulihat wajah-wajah mendung dari anak-anak. Kemudian
kutinggal mereka. Namun aku tetap mengawasi. Ketengok kebelakang dan keberseru,
“Sudah dapat 10 langkah tinggal 40 lagi. Ayo kalian bisa”.
Aku
dan isteriku tiba duluan di puncak Merapi. Segera kurapatkan inderaku untuk
memusatkan hati pada Tuhan sang Pencipta. Seuntai doa syukur mengalir bersama
desah nafasku. Bersama kelegaan dan kebahagiaan yang tiada terperi kusisipkan
harapan dan doaku untuk jiwa-jiwa petualang yang telah berpulang, meninggal
karena pendakiannya ke Merapi. Kubuka mataku dan kulihat isteriku nampak takjub
dengan keindahan alam dari puncak Merapi ini. Ia begitu menikmati.
ma isteri menikmati keindahan dr punck merapi
Nampak
di bawah anak-anak perlahan-lahan mulai merapat. Kunikmati indahnya lukisan
Tuhan dengan makan jeruk. Hal itu sengaja aku lakukan agar anak-anak bertambah
semangatnya, “Sapa duluan nyampai aku beri satu buah jeruk. Nomor dua dapat dua
per tiga dan yang paling belakang hanya dapat seperempat saja”.
panen jeruk d puncak merapi
Iming-iming
itu mujarab untuk mendongkrak semangat. Mereka kemudian melesat memaksa ambang
batas raga untuk bergairah. Empat anak itu hampir bersamaan tiba. Mereka berebut.
“Jeruknya Pak”
“Tenang
ae. Pasti tak kasih. Sekarang pejamkan mata, heningkan hati. Syukuri keberhasilan
ini. Dan berdoalah”
menikmati hasil pencapaian dr proses yg tdk mudah
Suasana
puncak Merapi menjadi hening. Semilir angin mengendus menerpa hati untuk
membawa doa sampai pada Tuhan yang agung. Mereka membuka mata. Anak-anak
terlihat sangat bahagia. Ada kelegaan dan kebanggaan yang mengalir. Mereka lupa
jeruk. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan berteriak-teriak kegirangan. Lalu
merka mengabadikan kemenangan untuk mengalahkan kelemahan diri dengan
membingkai serpihan kisa dengan foto-foto sepuasnya.
bersama pasti bisa
Merapi
dalam sangar ceritamu, dari bebatuan dan labil pasirmu, dari semak hijaumu
serta dari rimbun pohonmu, engkau telah menuntun kami untuk bisa bersikap bijak.
Engkau memiliki cara untuk membimbing kami bisa bersehati, bisa bersepikir. Hingga
kami rela memberi. Hingga kami rela mengalah. Hingga kami berani mati agar
sahabat kami bisa hidup. Terimakasih Merapi atas caramu menuntun kami menjadi semakin
manusia. Kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menimba kearifan hidup
agar hidup semakin menuju indahmu.
[1]
Iya bu. Kangen. Saya sudah lama tidak mendaki.
[2]
Gerbang ini pada mulanya berada tepat di batas perkebunan penduduk. Sekarang
karena reboisasi yang berhasil maka perkebunan lebih turun ke bawah. Dengan
demikian, gerbang ini menjadi berada di tengah hutan dan tidak lagi menandai
batas hutan dan perkebunan.