Sabtu, 20 Juni 2020

Pengalaman (Cerita) Mistis III: “Penampakan Makhluk Gaib Gunung Arjuno-Welirang”


Pengalaman (Cerita) Mistis III:
“Penampakan Makhluk Gaib Gunung Arjuno-Welirang”
Oleh: Heri Jimanto
pos perijinan Tretes
 Salam jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
         Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam pendakian Gunung Welirang sekalian Arjuno dan melintasi Kembar 1 dan 2 (estafet 4 gunung). Titik start lewat jalur Tretes dengan target pertama adalah Gunung Welirang, lanjut melintasi kembar 1 dan 2, serta diakhri puncak Arjuno dan turun lewat Lawang. Pengalaman tentang hal “aneh” ini sudah terlalu lama nyaman dalam ingatan (hanya ada beberapa orang yang pernah mendengarnya). Saat pandemi C-19 masih berkuasa ini, lebih baik aku bagikan agar semakin banhyak orang yang bisa mengambil hikmah dari padanya.
            Samar ingatku kembali pada masa lalu. Ya iyalah, namanya juga mengenang, tentu itu terjadi di masa silam (menandakan kalau sudah tidak lagi muda, wkwkwk). Pengalaman ini terjadi di pertengahan Juli 2007. Sudah cukup lama. Ya, sekitar 14 tahun lah. Aku pikir waktu akan mengubur kenangan kisah “aneh” pada saat itu. Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Oleh karenanya aku bagikan siapa tahu bisa menghibur atau bisa jadi guru atau pengetahuan dalam hidup.
            Aku lupa harinya, tetapi tidak pada tanggalnya. 11 Juli 2007, usai merapikan skripsi karena telah selesai aku revisi begitu pula dengan temanku. Hati yang gembira karena pendadaran berjalan lancar, skripsi juga sudah terjilid dengan rapi, moment ini semestinya dirayakan. Beda orang beda cara mengungkapkan gembiranya. Aku dan juga temanku memang telah beberapa kali menghabiskan waktu di setapak-setapak gunung. Bolehlah peristiwa ini kami syukuri dengan cara medaki sebagai media peziarahan menuju batin yang lebih murni.
Kami hanya berdua (cowok semua tapi bukan gay), dari Yogjakarta (kota dimana aku mengais pendidikan). Samar terlintas dalam ingatanku, sekitar pukul 22.00, kami menaiki Bus Sumber Kencono (sebelum ganti nama semacam transformer) dari bawah jembatan layang Janti. Setelah membayar, langsung lelap, tidur dalam buaian mimpi (naik permadani terbang kayak Aladin). Bangun-bangun sudah di terminal Purabaya. Aku merasa masih berat meninggalkan alam mimpiku, sehingga aku juga tidak terlalu mengerti proses berikutnya. Setengah sadar tanganku ditarik temenku sambil berbisik, “Angkat kerrirmu, kita pindah bus ganti jurusan”. Aku hanya mengikut saja.
Remang-remang fajar (mungkin sekitar jam 5.00) bus telah sampai di terminal (kelihatannya terminal Pandaan). Kantukku masih kuat hinggap. Temanku kembali berbisik, “Ayo turun, sudah sampai”. Aku nurut saja. Gendong kerrir melipir mencari kamar mandi untuk cuci muka. Sedikit segar dan nyawaku pelan-pelan telah kembali. Lalu, kami didatangi sopir dan menanyakan tujuan kami, jelas langsung ditebak akan mendaki ke Welirang. Kami mengangguk. Kemudian bapak sopir itu memberi informasi kalau angkutannya yang mendapat giliran pertama jalan arah beskem Tretes. Kami dipersilahkan sarapan atau rebahan, entar kalau sudah mendapat penumpang lain, akan dikabari.
Kami pun langsung berburu makan. Saatnya sarapan, tidak lupa untuk tetap menikmati segelas kopi di pagi hari. Mantap. Sekitar pukul 06.00 kami masuk angkutan dan lanjut. Lancar, hanya 30 menit telah sampai di jalan menuju beskem. Turun, jalan kaki sebentar dan sampailah. Beskem sepi, hanya ada satu penjaga. Tidak ada pendaki yang menginap baik yang mau jalan atau pun yang sudah turun. Kami pun permisi dan langsung mendapat informasi bahwa jalur sudah tutup selama 2 hari. Hal ini dikarenakan ada pendaki yang hilang dan sedang dilakukan penyisiran. Bila hari ini, ada kabar baik maka jalur bisa dibuka.
Datang jauh-jauh, mendengar keterangan tersebut, langsung lemas.
Kami pun disarankan untuk istirahat sekalian menunggu kabar baik. Bergegas kami rebahan yang membawa kilaf, kami lelap dalam tidur yang sangat nyenyak. Jam 10.00, kami terjaga, beskem masih sepi. Tidak ada tim basarnas yang membantu pencarian, penyisiran masih ditangani pihak pengelola dan relawan (relasi dan teman-teman dari pendaki yang hilang). Untuk mengusir kekalutan, kami pun menikmati kegembiraan bersamaan dengan kawanan rusa yang di kandang dekat beskem.
kandang rusa dekat dengan pos perijinan
Lagi asik mengamati rusa yang bermain-main, tiba-tiba terdengar beskem jadi riuh. Aku dan temanku segera bergegas mencari tahu. Ternyata, 2 pendaki yang hilang telah ditemukan dalam keadaan sehat bugar. Mereka hanya tersesat, tetapi perlengkapan dan perbekalan masih cukup. Sejenak kami ikut merasakan euphoria suka cita dari suasana ini. Sempat juga kami ngobrol dan foto bersama dengan mereka.
Sekitar jam 12.00, kami diberitahu pengelola beskem bahwa pendakian dibuka kembali dan kami diijinkan untuk melakukan kegiatan. Lega rasanya. Suenenge puoll.
dg 2 pendaki yg tersesat

12 Juli 2007: Bayangan Makhluk Ghaib
Tanpa menunda waktu, kami bedua pun bergegas langsung jalan. Menyusuri jalan makadam yang disambung dengan jalan lebar dengan tatanan batu yang ada lobang di sana-sini. Target kami adalah Pos 2. Terus bergerak, hanya sesekali menghela nafas untuk kembali mengumpulkan tenaga yang koyak. Semangat masih bertahan untuk terus bergerak. Pos 1 Pet Bocor hanya kami singgahi sesaat saja. Lanjut lagi, terus bergerak, mengatur nafas dan jalan lagi. Hingga akhirnya, sekitar pukul 15.00, kami pun tiba di Pos 2 Kop-Kopan. Saatnya istirahat, sambil memasak dan menikmatinya. Kami sengaja memilih pos ini, karena ada sumber air, tanah lapang dengan pepohonan yang masih rindang. Nyaman.
Tak terasa waktu terus merangkak, hingga kami tersadarkan bahwa hampir setengah lima. Bergegas kami packing ulang dan siap-siap bergerak. Target kami adalah Pos 3 Pondokan. Kami akan mendirikan tenda di sana dan bermalam. Tepat pukul 16.30, kami meneruskan petualangan ini. Kami bertemu 1 rombongan, sejenak saling tegur sapa. Senang rasanya ketemu rombongan pendaki lainnya. Lanjut.
Tak sampai 100 meter kami bertemu dengan hartop pembawa belerang yang turun. Kami bersyukur, kendati nanti akan berjalan dalam gelap toh ada penanda jejak roda. Hati makin mantap untuk meneruskan petualangan. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar menjadikan cahaya senja tak kuasa mendarat di tanah. Gelap lebih awal. Baru juga pukul 17.30, tetapi udah gelap. Segera kami mengeluarkan headlamp. Baru juga melangkah kami mendengar ada suara-suara yang makin mendekat. Benarlah, ternyata ada satu rombongan yang turun. Mereka memberi informasi  bahwa, “Pondokan masih jauh dan di sana tidak ada penambang, semuanya turun. Tetapi tenang saja, di sana ada satu rombongan pramuka yang menginap. Mereka tidak ke puncak. Hanya kemping ceria”.
salam kenal dlm kenangan mas2nya

Ciutan rombongan pendaki yang kami jumpa pelan menuju senyap. Kini hilang berganti sunyi, dan sepi. Lagu dendang semesta gunungpun mengalun harmonis bersama derap langkah kaki lelahku. Remang caha senter tak menyurutkan para penyanyi alam untuk terus bersenandung. Bayang-bayang pohon besar berpadu dengan sepoi angin yang dingin menusuk tulang perlahan meminggirkan nyali.
Dalam remang sinar senter kumerasa ada sosok besar yang bergerak mengikuti. Seolah melompat dari pohon berpindah ke pohon lainnya. Bersembunyi dari balik belukar pindah ke rimbunnya dedaunan pohon. Ah, ini hanya perasaanku saja. Kalaupun itu benar-benar ada pasti terdengar suara yang dihasilkannya. Tetapi ini tidak. Aku masih mantap mengikuti langkah temanku yang memang beda ritme. Temanku mantap terus mengikuti alur jalan yang hangat tertandai jejak ban hartop.
Kadang alur jalan terterangi penunggu langit, sinar rembulan dan bintang berkuasa atas celah dedaunan yang pohonnya menjarang. Terkadang setapak berada di lingkungan yang terbuka karena pohon-pohonnya jarang. Sesekali aku masih melihat samar sosok besar itu terus mengikuti. Aku masih berusaha untuk terus berpikir rasional. Tidak mungkin makhluk sebesar itu bergerak tanpa suara, juga tidak ada semak yang bergerak karenanya.
Aku mencoba mantap, tetapi tetap saja nyali ciut bila banyang-bayang besar itu terlihat begitu dekat, hanya sekitar 3 meter di sisi setapak. Kualihkan pandanganku pada temanku, yang masih mantap melangkah. Mungkinkah hanya aku yang merasa. Tak berani kutanyakan. Kuikuti temanku dengan cara makin kudekatkan diri. Hingga kadang kakiku tersandung pada kakinya.
Rasah cepet-cepet, dinikmati ae”, komentar temanku. Seolah ia tidak melihat apa-apa. Ia tetap tenang melangkah. Aku ambil jarak. Suasana hutan bukannya semakin bersahabat. Terasa dendang harmoni hutan berganti dendang kematian. Mencekam. Merinding bulu kudukku. Ciut nyaliku. Makhluk itu masih saja mengikuti. Bila aku melihatnya, setengah aku berlari mendekat pada temanku yang masih sama, begitu tenangnya. Aku tersadar lagi bila kakiku terantuk pada kaki temanku. Kembali teguran itu kudengar sebagai pengingat untuk normal.
Sekitar 30 menit perasaanku dimainkan, suasana hatiku tak kuasa aku kondisikan tetap stabil. Ada gelombang cemas, was-was, juga takut. Hal itu muncul terutama bila bayang-bayang hitam besar itu terlihat (walau hanya samar-samar).
Rasa hatiku mendadak girang tiada terkira, saat sayub kudengar riuh orang berbincang. Awalnya aku agak ragu. Tapi kuyakinkan diri kalau itu benar-benar suara manusia karena suaranya dari sumber yang tetap. Makin jauh kami melangkah, suara itu semakin jelas terdengar, dan terlihat kerlap-kerlip cahaya. Bergegas aku kejar temanku dan kusampaikan pemikiranku, “Pos Pondokan sudakan deket ki”. “Iyo, kae tandane cah pramuka kemah”, sahut temanku. Girang hati tiada terkira. Aku merasa ada yang kembali normal, mulai saat aku mendengar riuh suara orang-orang itu, dan setelah itu tak kulihat lagi bayang-bayang besar seperti manusia raksasa itu.
Tak berapa lama, tibalah kami di Pos 3 Pondokan. Kami sempatkan mendatangi rombongan pramuka yang membuat tenda seperti perkampungan. Lalu, kami disarankan untuk mendirikan tenda tak jauh dari mereka. Kami pun mengiyakan. Lega rasanya. Hati terasa sangat-sangat longgar, setelah lama dicekam ketidakjelasan rasa. Bongkar tas, mendirikan tenda, ambil air, masak, makan, dan saatnya istirahat.
nikmatnya

13 Juli 2007: Keracunan dan Disorientasi
            Usai malam merajut harapan dan semangat hidup, pagi pun membuka hari dengan ceria. Saatnya bangun dari kemalasan. Aktifitas pagi adalah masak memasak. Sudah jadi kebiasaanku dan temanku, bila mendaki gunung di jalur yang ada sumber air, pasti kami membawa logistik melimpah. Memasak dan menikmatinya adalah bagian dari seni petualangan gunung. Sungguh asik dan mendatangkan suka cita yang tak ada bandingnya.
lengkap

asik tenan

            Usai makan kenyang, raga ingin bermalas-malasan. Tetapi petualangan mesti diselesaikan. Maka, segera kami pun bergegas untuk membereskan perlengkapan. Semua peralatan kami bawa, karena kami akan menyelesaikan misi estafet 4 puncak gunung. Mengisi air sebanyak-banyaknya (mumpung masih ketemu) karena di jalujr kami tidak tahu. Dan menurut info di pos ini adalah tempat terakhir bisa menemukan sumber air.
pondokan 
salam kenal, salam pramuka

            Sekitar pukul 10.00, kami kembali melangkah. Target terdekat kami hari ini adalah puncak Welirang. Kami ikuti jalur penambang belerang. Jalurnya cukup jelas, hal ini terlihat dari setapak yang ada garisnya, bekas gerobak kayu tanpa roda untuk membawa hasil tambang. Jalur masih dipayungi lebatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan.
hutannya asik

Sekitar 2 jam kami berjalan, akhirnya kami tiba di pertigaan yang tidak terlalu jelas. Di sini hutan pinus sudah tiada, tersisa pepohonan kantigi dan edelweiss. Puncak Welirang sudah terlihat jelas di sisi kanan, sedang di sisi kiri terlihat gagah puncak Kembar 1. Karena nanti akan kembali ke jalur ini, kami putuskan untuk menyembunyikan tas kerrir di balik semak belukar. Kami membawa tas selempang dengan masing-masing membawa air 1 botol. Kemudian kami susuri setapak menuju puncak Welirang.
keren kn?
            Sesampainya di pertigaan antara puncak atau kawah (jalur penambang), kalau mau ke puncak harusnya lurus (atau ambil kanan), bila belok kiri maka akan sampai di kawah. Kami yang penasaran dengan kawah yang menghasilkan belerang, maka kami putuskan untuk belok kiri, menyusuri setapak menuju tambang. Aroma menyengat mengunci paru-paru. Kami terus bergerak untuk bergegas sampai kawah. Setelah sampai, sejenak kami menikmati keindahan lukisan belerang yang baru keluar dari dalam perut bumi. Keren.
kawah belerang

            Tak berapa lama kemudian, angin berhenti bertiup. Kawah menjadi pekat penuh asap. Kami yang tidak terbiasa dengan situasi ini, bukannya cepat-cepat untuk berlalu tetapi malah menikmatinya. Al hasil, paru-paru kami terkunci, hampir tidak bisa bernafas, tenggorokan menjadi kaku, sulit sekali untuk bernafas. Derita yang luar biasa. Temanku juga sama. Kami terbatuk-batuk dengan kesakitan yang teramat. Segera kami keluarkan air minum, seteguk tak melegakan, 2 teguk juga sia-sia. Satu botol tenggak semuanya, hasilnya nihil. Dan kami lupa kalau perjalanan belum sampai puncak.
awal mula keracunan

            Kulirik temanku, masih menyisakan sedikit airnya, segera kami pun bergegas untuk cepat-cepat meninggalkan kawah. Lalu air yang tinggal sedikit itu, kami tuangkan di sleyer masing-masing untuk segera menutup hidung. Nafas lumayan lega, tetapi tenggorakan masih sangat kering dan terasa sangat gatal. Kubongkar kotak P3K, kutemukan madu. Minum madu, masih gatal. Ada susu sacet, minum lagi, lega sebentar dan kembali lagi. Dalam kepanikan itu, kucoba hisap premen “Antangin”. Premen yang sebenanrnya untuk cadangan akhir, bila air sudah benar-benar limit. Ternyata, sangat melegakan tenggorkan. Terimakasih pembuat jamu, racikanmu menyelamatkanku. Aku pun segera menawarkan pada temanku. Hal sama pun terjadi. Senang rasanya. Lega hati setelah sejenak mau mati.
            Dari kawah puncak tidak berapa jauh, kami putuskan untuk tidak kembali kejalur awal. Kami potong kompas, langsung nanjak mengikuti punggungan gunung, karena tanpa vegetasi langsung tembus puncak yang terlihat sangat jelas. Sampailah puncak. Menikmatinya.
puncak welirang dg sandal jepit

            Senja pun datang. Bergegas kami tinggalkan puncak dengan segala keindahannya. Sekejap kami pun sampai ke pertigaan, mengambil tas, lalu meniti setapak yang tidak terlalu jelas mengarah pada puncak Kembar 1. Sampailah di puncak saat keindahan sun set sempurna. Sejenak terkesima. Namun, perjalanan masih panjang. Kami pun bergegas. Menuruni punggungan untuk menuju puncak Kembar 2. Sebelum sampai lembah, kabut datang dengan sangat tebal, kilau cahaya senja telah habis sama sekali, tinggal kegelapan tak bertepi. Kami pun kehilangan orientasi untuk mengarahkan langkah menuju puncak Kembar 2.
Semenjak meninggalkan Pondokan, kami tak berjumpa orang. Maka, jelas tidak mungkin berharap bisa berjumpa pendaki lain untuk mengais informasi. Akhirnya, kami putuskan untuk tidak lanjut. Segera mencari tempat datar. Bongkar tas, mendirikan tenda, masak dan makan. Sebelum terlelap dalam tidur, aku syukuri hidupku yang masih dijaga oleh Tuhan Allah. Bila ridho-Nya tidak turun, aku yakin hidup kami telah selesai. Terimakasih Tuhan, atas ijin-Mu sehingga nyawa ini masih boleh bertahan dalam raga yang hina dan renta ini. Keindahan malam pun akhirnya membuai tidur malam ini.
14 Juli 2007:  Riuh Suara Pendaki itu Ternyata tidak Nyata
            Hangat sinar mentari menyusup dalam tenda, pertanda hari harus diisi. Temanku masih asik dalam dengkurnya. Segera kusiapkan peralatan masak dan memakainya. Temanku pun kupaksa bangun. Sarapan telah selesai. Saatnya packing lagi dan melangkah lagi. Hari masih panjang untuk dibiarkan berlalu dalam kemalasan. Sebelum melangkah tersadarlah kami, bahwa air masing-masing tinggal 1 botol besar. Ini masih berada di lokasi antah berantah, tetapi air tinggal 2 botol. Harus dikawal ekstra keras agar cukup.
tenda di antah berantah krn disorientasi

            Kami tepat berada d lembah antara Kembar 1 dan 2. Kami mulai petualangan ini, langsung trabas, potong kompas dengan menyisir punggungan gunung yang lebih mudah ditapaki, tujuan kami adalah puncak Kembar 2, dan berharap dari ketinggian bisa lebih mudah untuk menemukan jalur yang benar. Puncak tergapai. Prediksi kami benar, dari sini ketiga puncak semua terlihat jelas. Puncak Kembar 1 dan Welirang sudah selesai, kini kami tepat berpijak di Kembar 2, dan di depan ada puncak Arjuno yang melambai-lambai.
menjelang puncak kembar 2
sabana di bawah lh yg kami tuju

            Dari puncak terlihat sabana tepat berada di lembah antara Kembar 2 dan Arjuno. Kami putuskan untuk menuju ke sana dan menggapainya. Kami masih menggunakan metode trabas potong kompas, karena mencari jalur setapak tak juga ketemu. Tentu dengan tetap meniti punggungan gunung sebagai medan yang paling aman. Tak berapa lama kami pun tiba di lembah (sabana 2). Lalu rebahan bahagia, karena menemukan pohon bertuliskan “Puncak” dan setapak yang lumayan jelas. Artinya, kami telah menemukan jalur yang benar.
            Hampir saja kami terlelap, tiba-tiba ada suara dari sayub lama makin jelas menuju kami. Benarlah, ada 3 orang yang selesai mendaki Arjuno. Mereka akan turun. Kemudian mereka memberi tahu kalau di sekitar situ ada mata air. Mereka sangat baik, menghantar kami sampai ke sumber. Lumayan, kami memperoleh 3 botol, kendati agak keruh tidak mengapa kan bisa dimasak. Masih ada 1, 5 botol tersisa air bersih. Mantaplah.
terimakasi ya

            Mereka turun, kami lanjut naik. Hari ketiga tenaga bukannya makin bertambah, tetapi semakin payah. Sebentar-sebentar istirahat, melangkah lagi, lelah lagi, istirahat lagi dan seterusnya. Hingga senja dengan kilau keemasan sun set menyambut kami menjelang puncak. Sebenarnya dari tempat kami berada, puncak ogal-agil sudah terlihat, namun kami lebih memilih untuk menikmati suasana senja menjelang puncak dengan barisan awan di bawah. Sungguh panorama yang luar biasa indah. Sampai gelap menutup pandangan, kami pun kembali melangkah. Menurut 3 pendaki yang kami jumpai, di puncak ogal-agil tidak ada tempat untuk mendirikan tenda, tetapi sebelumnya malah ada tempat datar, cukup longgar bisa menampung 10 tenda.

sun set menjelang puncak arjuno

            Saat kaki lepas dari tanjakan ganas yang menguras tenaga dan menjumpai medan datar, hati lega. Segera kami pun bergegas bongkar tas, mendirikan tenda, dan bernaung di dalamnya. Sebenarnya, kami merasa lelah yang teramat sangat, namun kami paksa untuk memasak dulu dan makan agar tidur malam bisa nyenyak. Usai makan, mata sudah sangat lengket dan ingin segera lelap. Tetapi temanku dapat gangguan pencernaan yang ganas, sehingga kentut sepanjang malam. Bila bau menyengat, aku pun terjaga. Tentu hanya setengah terjaga, dan tentunya setengah sadar. Dalam situasi yang seperti itu, ada satu peristiwa yang kuingat. Awalnya aku mendengar derap langkah kaki, seolah-olah dari rombongan pendaki yang berjumlah lebih dari 5. Mereka mondar-mandir di sekitar tendaku, lalu aku pun memberi petunjuk, “Mas, kalau mau mendirikan tenda di sebelahku saja, tempatnya datar, cukup nyaman”. Tidak ada balasan. Ketika kusapa, suara langkah-langkah kaki itu malah makin jauh dari tenda tetapi kemudian muncul suara pendaki, seolah sedang berdiskusi untuk mencari tempat mendirikan tenda.
            Bila langkah kaki itu menjauh dari tenda, lalu terdengar suara-suara pendaki yang riuh semacam diskusi. Intinya, bila suara diskusi itu hilang, suara langkah-langkah kaki itu sangat jelas-mendekat. Begitu sebailknya. Ini berulang dan berulang. Akhirnya aku simpulkan ini pasti peristiwa “aneh”. Dari pengalamanku, mencari tempat mendirikan tenda tidak akan seribet itu, bila lelah melanda dapat tempat datar seukuran tenda pun, pasti akan langsung gelar.
            Setelah aku mengambil kesimpulan seperti itu, suara langkah-langkah kaki dan diskusi hilang. Belum lama menikmati suasa sunyi malam di puncak gunung, kembali temanku mengeluarkan gas dengan ledakannya, temanku tetap bersembunyi dalam SB-nya dan hanya bilang, “Sorry, wertengku loro”. Tidurku tidak sempurna, ada kegelisahan yang menyelinap, tetapi karena lengketnya mata tetap aku coba lelapkan. Di tengah sadar dan tidak, aku melihat tendaku bergoyang dan jelas itu hanya mungkin terjadi karena digerakkan oleh manusia. “Mas, hati-hati”, ucapku dari dalam tenda. Tak ada jawaban.
15 Juli 2007: Berjumpa dengan Aneka Kebaikan
            Pagi ini, aku berencana untuk menikmati proses  sun rise secara utuh, dari gelap dengan langit yang awalnya ditaburi bintang, pelan-pelan menjadi remang-remang, dan kemudian muncul semburat merah di ufuk timur, bermula dari hanya cahaya merah, pelan-pelan muncul mataharinya dan mulai merangkak naik dan berganti cahaya perak. Kalau benar-benar mengikuti proses sunrise secara utuh bisa sampai sekitar 2 jam.
            Pukul 04.30 alarm berbunyi. Segera aku bangun. Segera kuraih kompor dan kunyalakan, merebus air dan sereal pun siap. Kubuka pintu tenda, masih gelap. Kunikmati taburan berjuta bintang, tetapi fajar kali ini angin berhembus dengan semangat, aku pun jadi kedinginan. Kembali kutup tendaku. Kini kunikmati serealku. Temanku masih nyaman dalam SB-nya, dan sudah tidak ada lagi ledakan. Aman.
            Dari dalam tenda remang cahaya fajar terlihat. Kubuka pintu tenda separonya dan ternyata tendaku tepat menghadap ke arah matahari terbit. Sebenarnya di dalam tendapun mata sudah terpuaskan, tetapi tidak demikian denganku. Rasanya ada yang kurang kalau menikmati sun rise tidak dipadu dengan terpaan angin pagi yang menggigilkan tulang. Kubangunkan temanku, sapa tahu ia juga mau menikmatinya. Lalu aku keluar. Dalam remang cahaya fajar ternyata tendaku tepat berada di samping deretan gundukan tanah semacam kuburan dengan tuliskan “in memoriam”.
tepat di depan tenda

            Tertegun dan terhenyak aku untuk sementara. Lalu, aku mencoba berpikir tenang. Kuabaikan was-wasku, kini mentari telah bersinar utuh, kawasan puncak terlihat jelas. Aku mencari-cari rombongan yang diskusi pengin mendirikan tenda. Tidak kutemukan. Satu-satunya tenda yang berdiri di puncak Arjuno hanyalah tendaku. Aku hanya membatin, “Apakah ada kaitannya antara tempat tendaku dengan peristiwa “Aneh” ini?”
sun rise arjuno
Aku tak berusaha untuk mengaitkannya, segera aku pun berdoa, kusebutkan jiwa-jiwa mereka yang meninggal di pendakian Arjuno agar beroleh pengampunan dan dapat diterima-Nya.
            Setelah puas menikmati suasana pagi di puncak, kami pun bergegas membuat sarapan, makan dan ngopi. Bongkar tenda telah selesai, packing juga. Sebelum kaki kami menuju puncak ogal-agil yang tinggal 50 meter, tiba-tiba ada suara pendaki dari arah jalur Tretes. Ada 2 pendaki asing dengan 1 guide. Mereka menyapa kami dan sejenak kami pun foto bersama. Dari guide itu kami dapat informasi arah turun menuju beskem Lawang. Kami sama-sama menuju puncak ogal-agil.
bersama turis perancis d puncak arjuno

Setelah beberapa saat menikmati keindahan dari puncak.
puncak ogal-agil arjuno

Mereka kembali ke arah awal, sedangkan kami menuju sebaliknya. Belum sampai 30 meter kami melangkah, ada serombongan dari arah yang akan kutuju. Kami pun saling bertegur sapa, mereka akan turun lewat Tretes, berkebalikan dengan kami.
mantap

            Bergegas kami pun melangkah, terus dan terus, hutan cemoro sewu (alas lali jiwo) telah terlewati. Hati makin mantap, terus melangkah hingga telah meninggalkan pos 3. Di pertengahan menuju pos 2, kami bertemu dengan 2 orang perambah hutan. Mereka ponakan dan pamannya. Kemudian mereka menawari agar kami mengikuti langkah mereka agar tidak usah ragu-ragu lagi dalam melangkah. Selepas pos 3 memang setapak makin samar. Kami pun mantap mengikuti mereka. Kaki lelah kami harus memaksa ekstra demi bisa mengikuti orang setempat. Sepanjang jalan, bapaknya banyak bercerita. Hingga sampailah kami di kebun teh Lawang.

            Bapaknya, memaksa kami berdua untuk singgah di rumahnya. Ia sebagai pekerja kebun teh. Jadi kami hanya belok sedikit dari jalur dan sudah sampai di rumahnya. Kami putuskan untuk menyambut tawaran tulus itu. Kami dipersilahkan masuk rumahnya yang sangat sederhana, dipersilahkan mandi dan istirahat. Lalu, kami disuguh makan nasi jagung, sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mantap. Kami ganas menyantapnya. Kebaikan yang bapaknya berikan tidak hanya itu, ia masih memaksa kami untuk mau dihantar dengan motor bututnya sampai di jalan raya. Haru rasanya. Hingga akhirnya, seluruh isi dompetku hanya aku ambil 100 k, sisanya aku berikan. Bapaknya menolak tetapi aku memaksanya.
terimakasih bapak, lemah teles nggih

              Lalu, kami mengarah ke Malang dan akan mengawali petualangan-petualangan yang lainnya.
         Terimakasih untuk segala cerita yang boleh aku ukir di setapak 4 puncak. Semoga segala pendewasaan terus bertahan dan berkembang. Terimakasih untuk setiap hal yang boleh aku jumpa, hingga akhirnya makin memekarkan diri untuk selalu bergembira, optimis dan semangat. Salam.

Minggu, 14 Juni 2020

Pengalaman (Cerita) Mistis II: “Penampakan 3 Pendaki di Gunung Lawu Via Cemoro Kandang”


Pengalaman (Cerita) Mistis II:
“Penampakan 3 Pendaki di Gunung Lawu Via Cemoro Kandang”
Oleh: Heri Jimanto
aku yg pakai sorjan

Salam jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
         Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang. Pengalaman ini sudah lama aku simpan dalam ingatan. Awalnya aku hanya berbagi dengan satu atau dua orang yang memang pengin banget mengerti tentang adanya hal “aneh” dalam dunia pendakian.
            Kisah ini bagiku cukup “aneh” walau mungkin untuk kebanyakan orang merupakan hal biasa. Semoga kisah ini menambah perbendaharaan dan varian dari kisah-kisah misitis atau kisah horror gunung, khususnya cerita mistis di gunung Lawu. Adanya banyaknya kisah “aneh” menandai bahwa hidup ini diselimuti oleh barbagai misteri. Dalam hidu ini ada yang memang sudah sangat jelas, tetapi ada pula yang masih berupa rahasia alam.
            Samar ingatku kembali pada masa lalu. Di penghujung November 2007. Sudah cukup lama. Ya, sekitar 13 tahun. Namun, pengalaman ini begitu kuat dalam ingatan. Bahkan seolah-olah baru saja terjadi kemaren sore. Aku lupa tanggalnya, tetapi ingat harinya, yaitu Sabtu malam Minggu.
            Pada waktu itu aku sempat magang di Solo, hingga dalam beberapa bulan ketemu teman-teman yang gemar mendaki. Tentu, pada tahun-tahun ini penggemar kegiatan ini belumlah sebanyak sekarang (2020). Sengaja kami, memilih hari malam libur nasional, karena berharap bisa ketemu atau bareng dengan rombongan lain.
            Sesuai hari yang disepakati, kami berlima cowok semua (sengaja aku tidak sebutkan nama-nama mereka). Awalnya kami berencana 7 orang. Tetapi pada hari yang ditentukan yang bisa start bareng hanya 5 orang, sedangkan yang 2 akan menyusul.
            Jam 15.00, kami telah berkumpul di terminal Tirtonadi. Hidup ini kadang penuh kejutan. ada hal-hal yang tak terduga dan tak mampu diprediksi. Ternyata, hari ini banyak bus yang mogok kerja karena menuntut kenaikan tarif. Bahkan seluruh bus jurusan Tawangmangu tak ada satu pun yang jalan. Tak ada rotan, akarnya pun jadi. Kami berpikir mencari alternatif, kami naik angkutan jurusan yang sama. Hal ini tentu akan butuh waktu lebih lama, karena angkutan cenderung lebih sering untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Angkutan bergerak pelan menuju timur dengan mantap menjemput tiap rejeki yang berjajar di sepanjang jalan Solo-Tawangmangu. Baru sampai Karangpandan, ban angkotan pecah. Demi mengejar waktu, kami pun ganti angkutan. Tibalah kami di terminal sekitar pukul 17.00. Segera kami mencari angkutan ke Telaga Sarangan. Sayang, waktu sudah terlalu senja sehingga minim penumpang. Menunggu terkumpulnya penumpang tak juga kunjung. Akhirnya kami memutuskan mencharter angkutan tentu dengan harga yang lebih mahal.
            Mentari telah berlalu dari tugasnya. Angkutan merangkak meniti kelokan jalan yang banyak naiknya dari pada turunan. Hingga akhirnya angkutan yang kami charter tak kuasa menyelesaikan misi. Gagah penampilan, tak berdaya di mesinnya. Masih seperempat perjalann menuju beskem Cemoro Kandang. Tantangan ini tak menyurutkan nyali, kami putuskan untuk jalan kaki, sekalian pemanasan. Terlihat di sepanjang pinggir jalan tertandai bekas hujan yang cukup deras. Berarti setapak Lawu agak becek yang tentunya akan lebih licin.
            Akhirnya, kaki kami bisa mendarat di sekitaran beskem. Kami mencari warung makan dulu guna menyiapkan diri, membekali dengan asupan gizi yang cukup. Saatnya makan dan menikmati segelas kopi panas. Mantap.
            Obrolan bercampur candaan ikut menghabiskan suasana sekitaran Cemoro Kandang yang dingin syahdu. Bergegas kami packing ulang. Setelah dirasa semuanya telah siap, tepat waktu berada pada angka 21.00, kami pun memulai petualangan ini. Target bisa menikmati sun rise di puncak Lawu.
            Tantangan dari beskem sampai Pos 1 tidak terlalu terasa. Istirahat sebentar. Lanjut lagi. Begitu pula antara Pos 1 - Pos 2 juga berjalan aman dan lancar. Hati makin mantap untuk bisa menginjakkan kaki sebelum matahari bekerja di atas puncak. Selepas Pos 2, saat merambati tebing jurang yang di sisi kiri berpengaman pagar kawat hal “aneh” mulai terasa.
            Karena ini merupakan pendakian perdanaku pada setapak Gunung Lawu, maka aku pun bertanya, “Kenapa ada pagar kawat?” (pagar dari besi yg tdk terlalu besar. Sekarang sisa-sia pagar ini masih ada, cuma sudah banyak yang roboh). Temanku menjelaskan bahwa dulu pernah ada pendaki yang tergelincir ke jurang sisi kiri dan meninggal. Entah kenapa ketika tahu penyebab dipasangnya pagar tersebut, bulu kudukku langsung berdiri. Aku nikmati dan biarkan pertanda alami itu. Setelah itu, aku tidak merasa ada sesuatu yang aneh dengan diriku. Semuanya kembali berjalan sewajarnya.
            Setelah mengitari perbukitan yang berpagar kawat medan landai membentang (sekarang berdiri pos selter setelah pos 2). Sekitar pukul 01.00, kami memulai pendakian yang cenderung datar penuh kelak-kelok. Sebenarnya medan ini cenderung enak, hanya membutuhkan kesabaran karena memang penuh lika-liku. Keanehan itu justeru terjadi pada salah satu temanku. Sebentar-sebentar meminta berhenti. Ia tidak bercerita apa-apa. Aku hanya melihat kalau ia sangat kepayahan. Terlihat teramat sangat berat untuk melangkah. Metode 5-10 pun kami terapkan. Berjalan 5 menit dan beristirahat 10 menit. Untuk yang masih prima metode ini justeru akan menguras tenaga. Tetapi bagi yang sudah sempoyongan, metode ini cukup mumpuni untuk terus bergerak mencapai tujuan.
            Hingga akhirnya tepat pukul 04.00, kami tiba di Pos 3. Karena hanya rombongan kami yang mendaki, jelaslah kalau selter kosong, tidak ada orang. Segera aku bukakan matras dan kukeluarkan SB. Temanku yang kepayahan segera aku minta untuk masuk SB dan rebahan. Udara di dalam selter sebenarnya sudah cukup hangat. Namun, karena ada teman yang ngedrop, aku pun segera merakit peralatan masak, rebus air dan siap-siap membuat minuman hangat. Sambil menunggu air mendidih kunyalakan perapian. Di selter ini, sudah tersedia kayu kering, sisa-sisa dari pendaki lain. Api menyala, kami segera merapat mengelilingi api unggun.
            Kuracik minuman hangat berupa teh panas yang manis (=kesukaan orang Solo). Aku yang terbiasa membawa peralatan masak dengan logistiknya serta peralatan pendukungnya, segera kusiapkan gelas plastik tumpuk. Saat kuhitung teman-temanku yang harusnya hanya ada 5 termasuk diriku. Mendadak ada 8 orang. Artinya ada tambahan 3 pendaki lain yang ikut berdiang di sekitar api unggun. Kami tidak ada yang bicara, hanya diam sambil menahan kantuk. Aku juga tidak menanyakan kedatangan ketiga rombongan pendaki yang ikut bergabung dengan kami tanpa permisi. Aku berpikir setelah minuman jadi, sambil menyodorkan minuman itu nanti sekalian bertanya walau hanya sekedar basa-basi keakraban.
            Saat minuman siap aku tawarkan ke teman-teman. Tiba-tiba salah satu temanku bertanya, “Kok banyak sekali buatnya. Kita kan hanya 5 kenapa buat 8?” Pertanyaan ini tak sempat aku jawab, karena perhatianku segera teralihkan untuk menghitung ulang ketiga pendaki yang ikut berdiang di sekitar api. Dan memang mereka tidak ada. Hanya kami berlima. Bulu kuduku tanpa dikomando langsung berdiri tegak. Selter di pos 3 ini hanya ada satu pintu dan itu terhalang olehku. Sebenarnya, kalau aku berpikir jernih dari awal, jelas tidak akan ada pendaki yang bisa masuk ke selter tanpa aku ketahui (karena sebelum sampai perapian harus melewatiku, artinya aku pasti melihatnya).
            Demi prinsip dalam sebuah pendakian  gunung bila berjumpa dengan hal-hal “aneh” sebaiknya simpan saja sampai turun ke bawah dan ceritakan setelah beberapa hari. Aku pun diam sejenak dan mencari alasan yang bisa diterima, “Biarlah, aku kan haus 1 gelas tidak cukup”. Untung temanku tidak mengejar lebih jauh. Aman rasanya. Sekitar 45 menit, temanku yang tepar terdengar mendengkur dan terpaksa kami bangunkan untuk minuman hangat, agar kondisi tubuh makin prima. Sekitar pukul 05.00, remang-remang cahaya pagi telah menyingkap gelap malam. Temanku ternyata telah bugar. Belum kami beranjak dari pos tiga guna meneruskan langkah. Mendadak ada teriakan dari bawah memanggil-manggil nama kami. Tak berapa lama, 2 orang pun muncul dan itu adalah teman-teman kami yang memang akan menyusul.
            Bertujuh kami pun meneruskan petualangan ini. Lancar. Tidak ada kendala yang berarti. Puncak pun dapat kami gapai bersama dan kemudian turun bersama-sama juga. Sekitar pukul 14.00, kami telah sampai di beskem Cemoro Sewu. Istirahat sebentar, mencari makan siang dan menikmatinya. Lanjut naik angkot, ganti Bus jurusan Solo dari terminal Tawangmangu. Sambil terkantuk-kantuk di dalam bus, kembali aku teringat dengan ciri-ciri tiga pendaki yang ikut berdiang bersama. Ah, mungkin itu hanya ilusiku karena memang lelah ragaku. Semalaman tidak tidur dan rasa kantuk teramat ganas, hanya karena demi kesetiakawanan aku abaikan kantuk itu.
Terimakasih untuk kisah perjalanan dan petualangan ini bahwa aku pernah merambati setapak Lawu lintas jalur Cemoro Kandang-Sewu dengan segala misteri dan keindahannya. Semoga kisah dan pengalaman ini akan selalu menjadi guru dan pelita hidup dalam petualangan-petualangan berikutnya. Salam.

Selasa, 09 Juni 2020

Pengalaman (cerita) Mistis I: “Jeritan Wanita Gunung Merbabu Via Wekas”


Pengalaman Mistis:
“Jeritan Wanita Gunung Merbabu Via Wekas”
Oleh: Heri Jimanto

Salam jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
            Sobat petualang, dalam situasi dunia yang baru dikunci Corona maka cerita-cerita terbaru dari petualangan jelas tidak ada. Kecuali mereka yang “Ora Manut”, mereka yang tidak ikut anjuran Pemerintah jelas akan mencari celah untuk bisa menjelajah. Memang dalam situasi seperti ini, hati cenderung mencari obat jenuh. Aktifitas manusia berubah total, bagi yang masih terikat dengan pola lama maka dengan sendirinya akan berusaha mengurai penat hati.
            Aku pun juga begitu, pengalaman masa lalu yang sering naik gunung menjadikan kaki terasa kaku, ingin dibuat gempor dan kelelahan lagi. Namun, apa daya aku hanyalah insan biasa yang mencoba menjadi anggota masyarakat taat agar situasi ini lekas terkendali dan bisa beraktifitas layaknya seperti hari-hari yang lalu.
            Demi mengurai rindu, album foto dalam komputer masih menjadi obat yang paling mujarab. Di balik foto yang tak bergerak ada kenangan yang menari lincah mengajak hadir kembali dalam peristiwa. Dari kilasan berjuta kisah, kali ini aku akan bercerita tetanng pengalaman mistis. Memang sudah banyak pendaki yang  berkisah. Aku awalnya mencoba menyimpan peristiwa-peristiwa unik itu tetap menjadi sebuah rahasia. Namun, dalam situasi seperti ini, kisah-kisah tentang yang “aneh” bisa saja menjadi pembelajaran bersama. Maka, dengan hati ihklas aku bagikan.
            Pernah kudengar nasehat dari pendaki kawakan (=kalau tidak mau disebut senior), “Dalam setiap pendakian, bila mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang aneh atau tidak wajar jangan sekali-kali diceritakan. Kisahkan lah itu setelah usai mendaki. Berilah jeda beberapa hari”. Sampai hari ini bila sesekali aku mengalami hal-hal yang “aneh” aku akan menjaganya agar tetap rahasia.
            Lama tidak menjelajah dan tidak berpetualang akan menjadikan blog pribadi yang kukelola nantinya berkarat. Biasanya bila tidak ada kisah baru yang dibagikan, maka tidak ada pengunjung atau jarang dikunjungi. Dari kenyataan ini, maka kuputuskan demi menjaga silahturahmi, demi terjalinnya relasi sesama petualang dalam dunia kata, aku rela membongkar kenangan-kenangan pengalaman “aneh” yang tidak biasa untuk kubagikan.
            Mungkin aku akan berbagai beberapa pengalaman. Aku tidak bermaksud mengganti tema blog yang awalnya hanya berisi catatan perjalanan menjadi blog yang bertema horror. Bila situasi telah pulih dan terkendali, kupastikan akan ada kisah-kisah petualangan yang mengasikkan untuk kulukis ulang dengan deretan kata.
***
            Kisah “aneh” pertama yang ingin kuceritakan adalah pengalaman pertama mendaki Gunung Merbabu via Wekas.
            Putaran waktu merajut kisah demi kisah. Peristiwa ini terjadi di akhir Januari 2005. Kendati lebih dari 15 tahun, namun masih gampang muncul di permukaan ingatan. Pada waktu itu aku berstatus mahasiswa. Anak kos-kosan. Bukan anggota mapala. Hanya sekedar berkegiatan untuk memiliki cerita di hari esok. Pendakian ini baru ketiga kali aku jalani dan pendakian ini juga baru pertama kali untuk ketinggian di atas 3.000 mdpl.
            Sekitar pukul 13.00 kami meninggalkan terminal Jombor, Yogjakarta mengarah ke utara. Melaju kadang pelan, kadang juga cepat dan sampailah di terminal Magelang. Saatnya berpindah armada jurusan Salatiga yang melewati Kopeng. Bus tanggung bergerak membawa kami berdelapan, cowok semua dan doyan-doyannya makan. Sesekali kami membongkar tas untuk mengais logistik perbekalan. Bukannya dimakan saat di jalur tetapi malah di bus. Sesampainya di pertigaan ke arah base camp Wekas, kami pun turun.
            Saat itu, belum ada angkutan menuju ke atas. Masih mengandalkan kebaikan orang, yaitu para sopir pembawa sayur. Satu jam kami menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda mobil yang lewat. Kami putuskan untuk berjalan sambil berharap tersusul mobil sayur yang bisa ditumpangi. Namun yang diharap tak juga memberi sinyal.
Hari menjelang gelap, kami masih tertatih di jalan tak beraspal, hanya batu yang tertata rapi, khas jalan-jalan area pegunungan. Belum sempat kami melihat rumah beskem apalagi menginjakkan kaki guna istirahat sejenak, mendadak mendung menggulung membuncah menjadi tarian air. Kami bergegas menuju salah satu rumah penduduk, merayu tuan rumah yang punya anak perawan nan cantik molek, “kembang desa” untuk memberi kami kesempatan berteduh di dalam rumah.
Satu jam menunggu hujan tak ada niat untuk berhenti. Akhirnya kami melobi tuan rumah untuk memasakkan bekal yang kami bawa, karena kami memang harus makan. Berdiang di depan tungku perapian sambil bercerita dengan tuan rumah, kami sesekali saling curi pandang untuk melirik anak tuan rumah, “Ayu tenan”, komentarku. Kulirik arloji, waktu menunjuk angka delapan dan hujan pun mulai merenggang, kami nekat berpamitan untuk melanjutkan langkah menuju beskem. Sekitar 20 menit kami berjalan, sampailah kami di beskem.
Di tahun-tahun ini, bahwa mendaki bisa berjumpa dengan rombongan lain adalah sebuah kemujuran. Apalagi pendakian yang tidak dieksekusi di hari malam libur nasional. Beskem lengang, tak ada yang berjaga, mungkin sudah tidur. Kami pun mengetuk, dibukakan dan dipersilahkan. Dari informasi yang kami kumpulkan diperoleh kepastian bahwa tidak ada yang menanjak, hanya rombongan kami. Juga tidak ada yang besoknya akan menanjak. Jelaslah hanya kami yang akan bercengkerama dengan keindahan Merbabu via Wekas ini.
Oh ya, hari ini adalah Kamis malam Jumat. Malam yang dikeramatkan untuk orang-orang tertentu. Tetapi kami hanya sekedar ingin berkunjung dan bercengkerama dengan keindahan alam Merbabu. Tidak lebih dari itu. Sekitar pukul 22.00 kami mulai bergerak, yang sebelumnya tentu telah kami awali dengan doa. Berjalan pelan menyusuri lorong jalan desa, ladang dan sampailah kami di perbatasan hutan. Kami berhenti sejenak untuk menyiapkan mental sebelum masuk ke area hutan. Tekad lebih terbajakan agar semuanya lancar. Dasar kami, anak-anak yang masih muda dan cowok semua kami lebih banyak berceloteh tidak jelas.
Gerbang hutan terlewati, namun belum 10 menit salah satu teman kami berteriak memohon untuk berhenti. Ada nada kepanikan, aku pun menjadi was-was. “Ada apa?” Tanya ketua rombongan. Temanku menjawab, “Kebelet”. Wajah tegangnya membuyarkan dongkol hati. Lalu ia pun  mencari singgasana untuk menuntaskan misi isi perutnya.
Kami pun melanjutkan kisah, kembali melangkah. Sungai kecil telah kami lewati, setapak terjal menyambut kami. Gagah langkah awal kami, mendadak ciut nyali dihajar curamnya tanjakan. Namun semangat menguatkan niat, hingga kami pun terus mampu melaju, menjejakkan tanah lapang bertuliskan pos satu.
Istirahat sejenak guna menata sisa tenaga. Sekitar pukl 00.00 kami kembali bergerak meninggalkan pos satu. Usai istirahat dua temanku yang terlihat paling gagah mendadak melemah dan sempoyongan. Langkahnya gontai. Aku mulai heran dan bertanya-tanya, “Harusnya setelah beristirahat tenaga akan berlimpah dan jalan akan lebih gagah. Namun, ini tidak demikian. Aku yang jadi sweeper pun menghampiri temanku dan menanyakan keadaanya. “Aku heran kok aku habis tenaga ya”, jawabnya. Segera kulihat tasnya yang hanya ada sebotol air, jaket dan mantol. Tidak lebih. Teman satu juga menyampaikan hal yang sama. Aku juga segera melihat dalam tasnya, beban bawaannya juga hampir sama. Harusnya tidak menjadi masalah.
Ada apakah ini, satu teman telah digerus pencernaannya, kini ada 2 teman yang kehilangan daya. Dari belakang aku berteriak untuk menghentikan langkah teman yang paling depan. Mereka pun berjalan pelan sambil mencari tempat lapang guna nyaman untuk rehat sejenak. Sekitar 10 menit kami berjalan dan semua telah genap berkumpul di bawah pohon. Belum juga aku menyampaikan rasa heranku, tiba-tiba angin bertiup kencang. Kabut pun datang, pandangan menjadi tak jelas, sorot senter tak begitu jauh menembusnya. Lalu, dengan segera hujan rintik pun datang.
Tak menunggu lama, kami segerga bergegas mengeluarkan mantol kelelawar (pada tahun-tahun ini, mantol kelelawar adalah alat serba bisa, untuk matras, selimut, tenda/ selter juga yang pasti adalah sebagai jas hujan). Kami tahu bersama, dalam situasi seperti ini, bila berhenti tanpa tenda maka akan membeku kedinginan. Kami putuskan pelan-pelan terus berjalan, supaya raga tetap hangat. Hujan rintik pelan membasahi bumi, setapak menjadi licin, kami tidak ciut nyali. Terus bergerak menembus asa.
Karena prinsip, “alon-alon asal melangkang”, kami pun tiba di pos 2 sekitar pukul 02.00. Tanah lapang yang cukup longgar ditambah ada sumber air, menjadikan kami beristirahat  agak lama. Kami pun membongkar tas, merebus air guna membuat minuman hangat. Kami duduk saling berdekatan, mengelilingi kompor sambil menikmati perbekalan.
Di lereng bukit sebelah kiri, tiba-tiba aku mendengar teriakan histeris. Karena suasana gunung yang lengang dan tengah malam, dengan sendirinya suara itu nyaring terdengar jelas. Aku melihat reaksi teman-temanku. Tak ada sesuatu pun. Hanya aku kah yang mendengar suara itu. Tak berani aku bertanya, karena ini adalah prinsip. Aku tunggu, kalau-kalau ada pengulangan teriakan. Satu menit menunggu, tidak ada apa-apa. Dua menit menyusul sampai sepuluh menit. Teman-temanku terlihat tidak ada perubahan sikap. Berarti hanya aku yang mendengar.
Aku pun diam tak bercerita.
Sebelum kami melanjutkan perjalan, teriakan itu muncul lagi. Aku memutar mata, melihat satu persatu reaksi teman-temanku, tidak ada tanda-tanda kalau mereka mendengar suara itu.
Ya sudahlah. Kami pun bergegas melanjutkan kisah. Aku tetap sebagai sweeper. Belum 10 menit meninggalkan pos 2, teriakan ketiga kembali terdengar dan reaksi teman-temanku tetap sama. Tak bisa dibohongi aku pun medadak ciut nyali, bulu kudukku pun berdiri. Ada kecemasan yang merasuk ke hati. Namun, dengan keteguhan nalar kucoba tepis itu semua. Kembali kaki melangkah, hingga sampailah kami dipertigaan yang mana kami harus belok ke kiri menuju puncak lembah (persimpangan jalur dengan Kopeng).
Dalam lelahku, sembari mengatur nafas. Kunikmati cerah cuaca.  Hening suasana fajar terpecahkan kerasnya teriakan hesteris yang menyayat hati. Terdengar sangat pilu. Ya, suara wanita itu muncul lagi. Kulihat reaksi ketujuh temanku tetap sama. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Hati bergetar merambat kecelah sendi hingga lutut kokohku mendadak goyah, hampir ambyar.
Kutegarkan hati dan tekad bahwa ini hanya “Krungon-krongonen”, seolah-olah mendengar suara pada hal aslinya tidak ada apa-apa. Kembali kaki melangkah mengikuti teman-teman yang berjalan pelan menuju puncak lembah. Sesampainya di persimpangan jalur Wekas-Kopeng, ke 4 temanku menyerah. Mereka mengatakan, “Selesailah sudah, cukup kami sampai di sini”. Aku mencoba menyemangati. Namun mereka bersikeras untuk berhenti dan cukup sampai di sini. Kulihat jam tanganku, waktu menunjuk pukul 04.30. Tinggal satu jam lagi matahari akan terbit. Semburat merah remang-remang sudah terlihat.
Kami pun membuat kesepakatan, 4 orang tinggal beristirahat dan menunggu sampai kami tiba. Lalu aku dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk lanjut ke puncak. Kami berjanji maksimal pukul 07.00 sudah tiba dan berkumpul kembali. Setapak yang mulai terlihat karena pekat malam telah berlalu memudahkan kami melangkah. Sesampainya di puncak “Geger (punuk) Sapi”, satu temanku menyerah dan tidak mau melangkah. Pada hal tinggal 50 meter tiba di persimpangan antara puncak Sharif dan Kenteng Songo. Di persimpangan itu sudah cukup kalau hanya untuk menikmati keindahan matahari terbit.
Kami pun berembuk, akhirnya diputuskan aku menemani teman yang tepar, sedangkan 2 teman lainnya lanjut. Aku dan satu teman memutuskan untuk mencari celah batu, berlindung dari hembusan angin, berselimutkan mantol dan lelaplah kami. Tidak sampai 30 menit, tiba-tiba ada suara, “Ayo bangun. Ayo lanjut”. Dua temanku yang mau menuju puncak memutuskan untuk cukup di pertigaan, mengabadikan moment sun ruse sambil sejenak istirahat. Lalu, turun lagi.
Berempat kami bergergas turun, temanku yang mengeluh lemas tak berdaya sudah pulih segar bugar. Lalu kami lepas bagai anak panah untuk segera menjumpa ke 4 teman yang ada di bawah. 40 meter aroma mie instan rebus telah membuai seluruh gunung. Naga dalam perutpun bangkit memberontak. Kaki makin ganas melesat. Sambutan ke 4 teman dengan senyum bahagia. Terlihat bugar dan sehat-sehat, sarapan telah siap. Kami pun sambil bersendau gurau menikmati hidangan pagi di hadapan semesta gunung dengan hembusan angin sepoi dan melihat barisan awan di kejahuan. Sungguh nikmat yang luar biasa.
Saat angka waktu bertengger di titik 08.00, kami pun memulai perjalanan turun. Sangat lancar. Kami gembira. Penuh semangat. Pos 2 terlewati tanpa kesusahan. Tidak beristirahat. Lanjut. Pos 1 juga terlewati dengan gampang. Kami masih bugar. Lanjut lagi. Usai menyeberangi sungai kecil, suasana mendadak agak beda. Mungkin hanya aku yang merasa. Kulihat teman-temanku masih ceria sambil bercanda.
Akhirnya, kami keluar dari hutan. Mendadak mataku terbelalak karena fokus akan satu hal bahwa tempat kami bernaung untuk menyiapkan mental sebelum memasuki hutan adalah pemakaman. Aku tersadarkan dan seolah-olah memperoleh jawab atas peristiwa-peristiwa “aneh” yang kualami. Dalam batin, segera aku pun “Nembung”, menyampaikan permohonan maaf bila ada tingkah-laku yang tidak berkenan dalam pendakian ini. Aku pun sampaikan doa bagi kedamaian arwah mereka yang dikuburkan di pemakaman tersebut.
Tak berapa lama kami pun tiba di beskem. Membeli makan, menikmatinya sambil beristirahat. Tak menunda waktu kami pun lanjut pulang. Dalam bus aku masih terngiang-ngiang dengan suara wanita yang pilu menyayat hati. 4 kali aku mendengarnya. Beberapa teman mengalami kelelahan yang tidak wajar. Ah, biarlah itu menjadi rahasia dalam kisahku. Hingga, akhirnya aku menuliskannya pada pertengahan Juni 2020. Semoga pengalaman ini menjadi inspirasi bersama. Terimakasih Merbabu untuk bijakmu, biarlah menjadi lentera dalam kegitanku  yang lainnya. Salam.