Jumat, 02 Juni 2017

catatan perjalanan (solo hikking): Lawu via Cetho

SOLO HIKING: LAWU VIA CETHO
Oleh: Heri

Setiap manusia selalu punya cara untuk mengurai kegelisahan dan beban hidupnya. Demikian pula dengan diriku. Ada banyak cara yang bisa dipilih. Dari beragam pilihan untuk mengurai penat jiwa, aku lebih cocok dengan kegiatan mendaki gunung. Kendati gunung yang sama namun aku tak pernah bosan untuk kembali mencumbunya.
Kali ini, aku ingin berbagi kisah pendakian solo ke gunung Lawu lewat Cetho. Sekalian bernostalgia. Aku pernah melewati jalur ini, sekitar bulan Mei 2013. Sudah cukup lama. Tentu ada banyak perubahan. Waktu yang kupilih adalah ingin menyambut puasa hari pertama di ketinggian Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu[1].
            Pagi menjelang menyambut fajar hari Jumat, 26 Mei 2017, raga dan mentalku telah siap untuk berpetualang seorang diri. Bukan karena tidak punya teman. Tetapi memang inginnya sendiri. Biasanya selama ini, isteriku setia menemani hari-hari pendakianku. Tetapi kali ini, karena rutinitas kerja menjadikannya tidak bisa bersama. Buatku ijin serta restunya saja sudah cukup menjadi kekuatanku. Aku yakin, doanya selalu akan menemani perjuangan dan petualanganku. Semoga.
Pagi ini, aku sempatkan untuk sarapan bersama di rumah dengan isteriku. Ia membuatkan bekal perjalanan, nasi dan telur dadar, agar di tengah pendakian tidak perlu repot-repot memasak. Tinggal buka dan makan. Nasi adalah sumber kekuatan utama. Sambil cerita-cerita tidak terasa waktu sarapan telah usai. Saatnya melangkah meninggalkan rumah, isteriku menuju tempat kerja sedangkan aku akan memulai petualangan mendaki sendirian. Lawu via Cetho.

            Berangkat dari Solo tepat pukul 07.30 menuju arah timur. Satu jam perjalanan, sampailah di Karangpandan. Tidak berhenti, tetap kulajukan sepeda motorku menuju Ngargoyoso yang selanjutnya menuju candi Cetho, sekaligus beskem pendakian[2]. Hanya butuh watu 30 menit untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan indahnya luas perkebunan teh. Jalan yang berliku, bekelok, menanjak dengan tepian jalan yang masih perawan, belum banyak rumah-rumah penduduk, menjadikan mata langsung menatap landscape panorama hijau hamparan perkebunan.
Terlalu pagi, mungkin aku tiba di parkiran pendaki. Beskem Cetho masih sangat sepi. Namun, banyak motor yang terparkir, mungkin yang nanjak hari kemarin cukup ramai. Beskem dikelola oleh perhutani yang bekerjasama dengan penduduk setempat. Beskem sendiri tidak terlalu luas. Namun, ada banyak rumah penduduk untuk transit. Rata-rata rumah penduduk yang menyediakan jasa parkir kendaraan sekaligus menjadi rumah transit, sebelum pendakian. Sehingga para pendaki sejenak bisa mengistirahatkan tubuh yang capek karena perjalanan. Kalau yang menghendaki makan juga bisa bekerjasama dengan penduduk setempat.
            Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga parkir, tepat jam 09.50 aku memulai pendakian. Mengawali pendakian ini, kuawali dengan doa dan kumulai dengan sangat santai, menyisisr sebelah candi sekaligus mengaguminya. Jalur ini, pada awalnya telah menyajikan warisan budaya Majapahit yaitu candi Cetho[3]. Candi Cetho ini, sampai sekarang masih dipergunakan untuk tempat sembahyang. Waktu itu, aku masih mencium harum bau dupa-ratus dan kemenyan yang menghantar sanubari untuk sejenak hening menyadari kekerdilan di hadapan Sang Pencipta.
keindahan bulak peperangan unt memompa tenaga
Sekitar 10 menit meninggalkan candi Cetho aku pun mensyukuri perjumpaan dengan warisan budaya Majapahit yang lainnya yaitu, candi Ketek. Sejenak, akupun menyempatkan diri untuk berfoto-foto, sebuah langkah sederhana untuk mensejarahkan kehidupan. Dalam kagumku pada pesona warisan budaya, mendadak kabut naik dengan sangat pekat. Seolah-olah akan menyelimuti perjalananku. Beberapa hari ini, cuaca cukup panas. Bisa jadi ini akan menjadi pertanda munculnya hujan. Maka, segera akupun berlalu untuk melanjutkan perjalanan.

Menyisir jalan setapak sebelah kiri candi Ketek, aku bertemu dengan persimpangan menuju ladang penduduk. Kupilih jalur kanan. Jalanan setapak sudah terlihat jelas dengan papan penunjuk arah yang bertebaran. Nafas mulai tersengal, karena tenaga ganda yang harus kukeluarkan, menopang beban perbekalan dan sekaligus mengayunkan langkah. Tepat satu jam dari Cetho, aku tiba di pos satu. Pos I ini, hayalah sebuah selter, perhentian sementara. Di sini ada bedeng sederhana, dari bekas spanduk. Namun tertata rapi dan terlihat mumpuni untuk berteduh bila hujan mendera. Di depan pos I lumayan untuk menikmati panorama alam, dengan catatan tidak ada kabut. Aku pun beristirahat sebentar dan menikmati bekal seadanya.

Setelah nafas lega dan pundakpun sedikit longgar, segera kumeninggalkan pos I. Baru lima menit berjalan, perjumpaan pertama dengan rombongan yang turun. Mereka semalam beristirahat di Pos III. Maka, tidak mengherankan bila sepagi ini sudah sampai Pos I. Menurut mereka, di atas banyak pendaki tetapi rata-rata akan turun hari ini. Yang bergerak menuju puncak hanya ada tiga rombongan. Pikirku, “lumayan lah di atas nanti akan ada temannya”. Kuayunkan kakiku dengan santai, karena perjalanan memang masih sangatlah jauh. Aku pun masih menikmati sensasi mendaki sendirian.
20 menit meninggalkan Pos I, aku melihat ada selter. Kupikir ini Pos II, ternyata hanya tempat perhentian sementara. Namun, cukup nyaman bila hujan mendera. Bisa untuk berteduh. Aku terus melaju untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Berharap sore sudah sampai puncak. Sehingga bisa menikmati panorama sun set puncak Lawu. Tetapi apa daya beban bawaan yang menindih pundakku kian terasa berat, aku yakin berat tas kerirku sekitar 25 kiloan. Wajarlah, karena mendaki sendiri lengkap dengan segala perlengkapan tempur dan juga bekal antisipasinya.

Akhirnya, jam 11.30 aku tiba di pos II[4]. Untuk beberapa saat, aku beristirahat. Rasanya memang lelah dan penat. Hampir aku terlelap. Namun, sayup terdengar riuh orang bercanda di kejahuan. Berarti ada pendaki lain. Bisa saja mereka turun atau mereka yang baru naik. Bergegas aku berlalu meninggalkan Pos II untuk kembali melangkah.

Medan pendakian semakin menanjak. Untungnya hutan masih terjaga, sehingga terasa bagai dalam naungan payung keagungan Tuhan pencipta. Keindahan itu diperkuat dengan taburan bunga hutan warna-warni. Perdu, semak dan tanaman hutan lainnya tumbuh dengan suburnya. Jalur ini benar-benar hutan belantara. Rimbun dan teduh. Suara aneka burung juga masih asik terdengar menghibur raga yang koyak-kelelahan.
Sekitar 300 meter meninggalakn Pos II aku telah melihat satu rombongan beranggota 5 orang, 2 cowok dan 3 cewek. Awalnya, aku mengikuti mereka. Hingga pada akhirnya tersusul juga. Kami pun bertegur sapa dan saling memperkenalkan diri. Mereka gabungan dari Bandung dan Jakarta. Pertama kali mereka mendaki di jalur ini. Melihat bekal yang menggantung di pundak, terlihat penuh muatan. Lalu, kami pun berjalan bersama, saling berbagi cerita dan pengalaman. Saling menguatkan dan memotivasi agar terus berjalan. Tak dapat dipungkiri bahwa medan setapak di jalur ini memang sungguh dahsyat. Jalanan yang samar karena kabut senatiasa menemani perjalanan dan juga rapat perdu-belukar menutup setapak, dan licin. Akhirnya, rasa lega memenuhi dada kami ketika samar-samar para-para terlihat. Ini bukan Pos III, menurut info, area ini masih 50 meter menjelang Pos III. Namun, di sini ada sumber air yang mengalir dari pipa. Sehingga sangat cocok untuk beristirahat dan memasak. Di sini juga cukup untuk mendirikan 2 – 3 tenda sehingga dapat beristirahat secara nyaman.
hutan yg menaungi sumber air di bawah pos 3
    Kami beristirahat cukup lama. Di selter ini, kami membuka perbekalan. Sejenak kami melupakan raga yang telah habis tenaga. Di sini kami mulai memasak. Makan singpun siap. Bekalku belum kubuka, aku malah menikmati bekal pemberian dari teman baru rombongan bandung-jakarta, sebungkus nasi goring dengan lauk telur dadar. Terimakasih kawan. Mari makan…
            Satu jam berlalu dengan kegiatan masak-memasak juga waktu untuk menikmatinya dan beristirahat. Saatnya melanjutkan pendakian. Tidak berapa lama, tibalah kami di Pos III (Cemoro Dowo). Di sini, kami berjumpa dengan dua rombongan yang akan bermalam setelah dari puncak. Mereka mendirikan dua tenda. Pos III memang sangat nyaman untuk tempat peristirahatan. Dengan kanopi lebatnya hutan belantara dan dekat dengan sumber air.

            Tak berhenti lama, kami terus melangkah. Tanjakkan mulai terasa makin berat dan curam. Keadaan hutan masih sama, lebat. Ada pohon cemara maupun akasia hutan yang besar-besar kelihatan sangat gagah. Nafas mulai tersengal kembali. Setiap nafas kami berburu oksigen, kami terhenti sejenak untuk menikmati panorama jurang dan hutan di sisi kanan, terlihat sangat indah, agung dan mempesona. Pos III menuju pos IV merupakan trek terjauh dari pos-pos yang ada. Aku mulai merasa kecapaian, karena kelamaan dan keseringan menunggu teman rombongan Jakarta-bandung ini. Namun, aku masih bertahan untuk terus bersama dengan mereka. Akhirnya, kami tiba di pos IV (Pengik)[5]. Senang rasanya. Kemudian kami beristirahat selama 15 menit. Lanjut lagi.

            Ditemani oleh mas Gerard, salah satu rombongan yang bareng denganku. Agaknya teman-teman rombongan lain, kian jauh tertinggal. Pada hal medan selepas Pos IV cenderung datar dan banyak bonusnya. Namun, mungkin tenaga memang benar-benar menipis. Sehingga tidak juga muncul. Bentar-bentar kami berteriak untuk memberi tanda. Mereka menyahut, kami tunggu, mereka tiba, kami jalan. Metode ini terus kami pakai. Hingga akhirnya, suara mereka berempat tidak terdengar. Lalu mas Gerard mempersilahkan aku untuk lanjut duluan. Ia tahu betul soal ritme pendaki tidak bisa disamakan. Ia malah kasihan kepadaku, bila harus menyesuaikan dengan ritme rombongannya.

Hingga akhirnya, dengan berat hati aku pun berpamitan untuk mendahului. Kami berjanji untuk saling menunggu dan bila mungkin, kami akan bertemu di warung Mbok Yem. Setelah aku memberikan sedikit petunjuk dengan beberapa tanda dan tempat-tempat yang perlu diwaspadai, aku pun melaju. Namun, apa daya tenagaku juga mulai koyak. Kendati medan diujung Pos IV menuju Pos V cenderung datar. Tetapi hanya lemas yang kupunya. Keinginan tak sebanding dengan tenaga yang kumiliki. Kendati terseok, aku terus melangkah. Melihat hijaunya sabana, berharap ada tenaga yang merasuk. Harapan itu seolah mimpi yang tak kan menjadi nyata.
Terus berjuang kendati seolah tak bisa melangkah, hingga hati bergembira menemukan papan bertuliskan Pos V (Bulak Peperangan). Di pos ini, aku sempatkan untuk beristirahat sambil menikmati bekal yang ada. Semburat sinar jingga pertanda sun set akan segera tiba, berhasil memompa semangatku. Karena targetku adalah menikmati senja di puncak Lawu.

Semangat hanyalah semangat. Karena raga memang telah kelelahan. Hati girang melihat papan bertuliskan “Gupakan Menjangan”. Lalu, aku putuskan untuk lebih realistis. Ganti haluan tidak mengejar puncak tetapi cukup di warung Mbok Yem.    Mulai pos ini, aku sudah tidak lagi menyempatkan diri untuk melirik arloji. Yang ada dikepalaku hanyalah “segera tiba, mendirikan tenda, memasak dan istirahat”. Sejauh mata memandang hanyalah sabana dan sabana. Hanya padang rumput yang terlihat. Sesekali diselingi tanjakan kecil. Hati makin ciut ketika mata melihat dan menyadari bahwa setapak seolah tidak berujung. Perjalananku seolah-olah masih sangat-sangat jauh.
obat capek
Selepas sabana dan memasuki area hutan, aku bertemu dengan rombongan yang turun. Mereka memberitahu bahwa masih ada satu rombongan terdiri 4 orang yang akan ke puncak. Cuaca mulai meremang. Pertanda hari akan berganti malam. Ragaku makin sempoyongan. Tetapi aku tidak boleh kalah. Targetku adalah melewati area “Pasar Dieng” sebelum benar-benar gelap. Pos Pasar Dieng mengingatkanku pada pendakian yang lalu, bahwa timku pernah kebingungan dan mengalami dis-orientasi medan. Maka, segala sisa tenaga aku kerahkan.
Menjelang sampai Pasar Dieng, aku bertemu dengan rombongan yang akan menuju puncak, mereka dari Madiun. Rombongan ini baru memasak di tengah jalan. Karena satu anggotanya telah tak berdaya. Aku pun bertanya, apakah mereka pernah melewati jalur ini. Jawabnya adalah, “belum”. Pengalamanku yang lalu membuatku tidak tega membiarkan mereka kebingungan di Pasar Dieng. Maka aku putuskan untuk bersama-sama dengan mereka dan aku tetap menjaga rahasia bahwa aku pernah berputar-putar di sekitar Pasar Dieng.

Setelah rombongan dari Madiun ini memulihkan tenaga, perlahan kami bergerak. Aku sungguh bersyukur dengan berhenti lama, karena menunggu rombongan ini memasak hingga matang lalu menyantapnya, tenagaku pulih kembali. Ternyata aku mengalami kelelahan akut. Niat hati solider dan membantu rombongan lain, tetapi diriku juga tertolong. Membantu berbuah terbantu. Pengalaman baru.
Tenaga yang pulih, mental yang kembali menguat dan di dalam hati terus berdoa, aku pun dengan mantap mengayunkan langkah untuk memasuki area Pasar Dieng. Suasana gelap, namun di langit bintang bertaburan, pertanda cuaca cerah bersahabat. Hingga akhirnya, kami sampai di pasar Dieng. Tempat ini ditandai dengan hutan cantigi dan serakan bebatuan. Di sini juga ada banyak tumpukan batu-batu yang tersusun rapi, bagaikan tugu-tugu kecil yang menyerupai stupa. Di tempat ini, auranya sangat mistis. Hal ini ditandai dengan tangkai-tangkai bekas dupa sesaji. Hal semacam ini menandai bahwa keyakinan lokal yaitu agama asli masih hidup dan lestari. Aku hargai itu. Setiap orang punya cara berdoa untuk berelasi dengan Allah penguasa jagat semesta.
teras menuju makan Prabu Brawijaya V
Indahnya panorama pegunungan di malam hari yang terlihat remang-remang di bawah naungan cahaya bintang menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan dengan seketika. Kami berlima bergerak cepat meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang ditandai dengan tali rafiah usang dan papan-papan penunjuk arah.. Hingga akhirnya, tepat pukul 18.30 kami tiba di  puncak Hargo Dalem.
Suasana di warung Mbok Yem terlihat lengang. Mungkin tutup, karena besok hari 1 puasa. Kuketok pintu dan ada jawaban. Lega rasanya. Setelah sungkem dengan Mbok Yem, aku memutuskan mendirikan tenda di depan warung. Keputusan ini, sengaja aku paksakan, karena bila aku menginap di warung, maka bekal yang aku bawa tidak akan berkurang. Pasti aku akan memilih untuk jajan. Berbeda dengan 4 teman dari Madiun, mereka memutuskan untuk bemalam di warung.

Maka, segera kudirikan tenda dum kapasitas dua orang. Memasukan barang dan mengaturnya. Saatnya memasak untuk memulihkan tenaga. Belum juga selesai aku makan, ke-4 teman dari Madiun nimbrung di tendaku. Lalu akhirnya, kami asik berbagi cerita, pengalaman dan petualangan. Bekal yang kupunya menemani obrolan malam hingga larut. Tidak terasa waktu telah menunjuk angka 23.00, kuputuskan untuk menghentikan sejenak obrolan, besok dilanjut lagi. Saatnya istirahat, agar besok tenaga pulih dan bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak dan pulang kembali dengan semangat.
Menggapai Puncak Hargo Dumilah 3.265 Mdpl
Malam telah berlalu meninggalkan kenangan karena istirahat yang menyegarkan. Pagi tepat pukul 05.00 aku bangun untuk menyaksikan indah panorama sunrise. Namun, belum juga aku beranjak dari kantung tidurku, kabut berarak naik. Rencana menikmati sun rise di depan warung agaknya harus tertunda. Kabut makin menebal. Pertanda cuaca kurang baik. Maka, kuputuskan untuk langsung menuju puncak. Kami berlima bersama meninggalkan warung dan menuju puncak. Menjelang puncak, sejenak kabut berhenti dan memberi ruang untuk mengintip matahari terbit. Sejenak menikmati sunrise sambil mengatur nafas. Kembali kabut menebal dan menutup keindahan fajar. Tepat pukul 05.30 kami tiba di puncak Hargo Dumilah. Berdoa dan bersyukur. Hening sejenak. Menikmati keindahan lukisan sang pencipta.

Tak banyak orang yang mendaki hari ini, hanya ada 7 orang, aku, rombongan dari Madiun 4 orang dan 1 rombongan beranggotakan 2 personil dari Solo. Hanya seperempat jam aku menikmati keindahan puncak, karena kabut datang dan pergi. Tidak leluasa menikmatinya. Aku berpikir, mending segera turun, memasak, sarapan sambil menikmati keindahan Lawu dari depan warung. Lalu aku turun sendirian. Teman-teman yang lain masik asyik bercengkerama dengan pesona alam.
 Di langit tertutup mendung tipis, menyembunyikan panas mentari pagi. Tetapi batas horizon menyuguhkan keindahan alam yang luar bisa. Lukisan galir-galir bukit dan lembah serta ladang pertanian dan deretan perkampungan terlihat jelas dari atas. Kunikmati lukisan Sang Pencipta ini sambil sarapan dari dalam tenda. Asyik aja.

Saatnya Turun
Tepat pukul 08.00, kubongkar tenda sebagai istana sementaraku dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah. Berharap pukul 08.30 bisa memulai perjalanan turun. Semoga masih dapat cuaca cerah. Feeling-ku mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan. Semoga perjalanan lancar, tidak kehujanan sebelum sampai di beskem. Membayangkan licinnya setapak bila hujan mendera sebelum sampai bawah. Genangan air yang terjebak di parit-parit setapak yang tidak mudah menguap karena rimbunnya pepohonan hutan, akan memperparah tantangan perjalanan turun.

Setelah semuanya siap, kulirik jam tanganku yang menunjuk waktu pukul 08.30 aku bersama 4 teman dari Madiun meninggalkan Hargo Dalem. Menyusuri setapak yang lebar, bersih dan jelas. Panorama sepanjang perjalanan dari Hargo Dalem, Pasar Dieng dan sabana sampai Gupakan Menjangan sungguh luar biasa. Keren. Selepas Pasar Dieng, kami bertemu dengan teman rombongan Bandung-Jakarta. Sejenak bertegur sapa, saling menguatkan dan meneguhkan, lalu lanjut lagi perjalanan. Sesampainya di Gupakan Menjangan, salah satu teman kami dari Madiun muntah-muntah. Ternyata mereka berempat sedang menjalankan puasa. Saliut untuk keempat sahabat baruku ini. Berbeda denganku yang tidak puasa. Jelas bila ritme perjalananku diikuti oleh mereka akan menjadi beban. Dengan berat hati kuputuskan untuk berpisah. Aku akan jalan duluan, pelan-pelan dengan ritme yang berbeda.

Selamat berpisah kawan. Lain waktu semoga bisa berjumpa. Salam dari dariku, pendaki solo.
Lalu, aku pun melenggang berjalan sendirian. Dari Gupakan Menjangan, lanjut ke Pos V, Bulak Peperangan. Sejenak mengatur nafas.
Jalan lagi. Istirahat di Pos IV.
Jalan lagi tanpa bertemu seorangpun.
Masih semangat. Lanjut lagi.

Di kejahuan, samar terlihat atap selter Pos III, hati senang. Sampai juga di Pos III. Di sini aku bertemu kembali dengan rombongan dari Karangpandan, Solo berjumlah 4 orang. Semalam mereka ngekem di Pos V. Lanjutkan lagi perjalanan. Bertemu dengan dua orang yang mau ke puncak. Jalan lagi hingga ketemu dengan papan bertuliskan Pos II. Istirahat. Mengurangi bekal yang tersisa. Tak berapa lama rombongan dari Solo menyusul. Ngobrol. Asyik. Bertemu dengan dua pendaki dari Jogja yang akan ke puncak. Aku pamit duluan untuk segera turun.

Kabut naik dengan tebalnya. Jarak pandang menciut. Dugaanku akan segera turun hujan. Semangat menggelora. Berusaha untuk tidak kehujanan. Aku setengah berlari karena masih ada banyak tenaga. Pos I telah terlewati, bentar lagi sampai. Candi Ketek. Bentar lagi beskem. Sampai juga. Tepat pukul 12.30, aku masuk ke rumah singgah untuk istirahat sementara dan tak berapa lama hujan turun dengan derasnya.

Penutup: Membingkai Makna sebuah Kisah Perjalanan
            Solo hiking, sebuah perjalanan yang tidak biasa. Namun sudah banyak yang menjalaninya. Salah satunya adalah aku. Perjalanan kali ini mengajariku tentang arti menziarahi diri. Solo hiking hanyalah sebuah sarana untuk memasuki realitas diri. Melalui pendakian seorang diri ada pengalaman baru, terutama untuk semakin mengenal “siapa aku?”  Selain itu juga membimbingku untuk belajar banyak hal. Tentang cara berbagi, tentang cara mengalah, tentang cara meluruhkan target dan ego, tentang cara merendah, tentang cara mendukung dan yang utama adalah tentang membuka diri akan persaudaraan, untuk selalu menyapa dan tersenyum, untuk selalu membangun asa dan mendulang harapan, untuk selalu percaya akan kebaikan sesama dan yang utama adalah untuk selalu percaya bahwa Tuhan Allah akan selalu membimbing, menuntut, dan mendampingi serta melindungi. Terimakasih Tuhan, terimakasih sahabat sepetualangan, terimakasih semesta, terimakasih setapak Lawu via Cetho dan terimakasih untuk isteriku yang selalu mendukung peziarahanku, sehingga aku bisa selalu bertumbuh untuk menjadi manusia yang semakin utuh.




[1] Gunung ini ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan ketinggian 3265 Mdpl, gunung ini sangat menantang untuk dijelajahi.  Pendakian Gunung Lawu dapat melewati beberapa jalur, antara lain jalur Cemoro Kandang, Candi Cetho, Tambak ( Jawa Tengah ) serta Cemoro Sewu dan Jogorogo ( Jawa Timur ).
[2] Candi Cetho terletak di ketinggian 1400 mdpl dan secara administratif berada di Dukuh Cetho, Desa Gemeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Desa Gemeng memiliki potensi wisata yang besar karena banyak terdapat candi dan juga pesona kebun teh yang memiliki keunikan tersendiri.

[3] Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus yang menjadi symbol Siwa. Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya dan susunan batu berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama berbentuk trapesium berada di teras paling atas.
[4] Pos II ini sering disebut sebagai pos Brak Seng. Pendakian dari pos I menuju pos II ini, akan menyusuri punggungan yang makin lama makin menanjak, walaupun tidak seberapa terjal. Dengan dihiasi tanaman arbei hutan di sepanjang perjalanan. Hutan dijalur ini semakin rapat sehingga perjalanan tidak terlalu panas. Pos II hanyalah sebuah shelter yang mirip gubug yang terbuat dari bekas spanduk yang cukup nyaman buat beristirahat dan kalau hujan juga bisa untuk berteduh. Pos II ini, di apit oleh dua buah pohon yang menjulang tinggi, sehingga sangat rindang untuk beristirahat. Di sini, para pendaki dapat mendirikan sekitar 2 -3 tenda.

[5] Di pos ini, telah dibangun dua pondok sederhana dari terpal dan spanduk bekas. Terlihat masih bagus dan dapat digunakan sebagai tempat bermalam jika pendaki tidak membawa tenda. Di sekitar selter tersebut juga memungkinkan untuk didirikan 3-4 tenda.

Kamis, 01 Juni 2017

catatan perjalanan: Gunung Merbabu via Grenden

Gunung Merbabu via Grenden
Oleh: Heri
 
menunggu sun rise di puncak merbabu
Salam Rimba, Salam Petualang, Salam Lestari, Salam Persahabatan. Selamat berjumpa dengan kisah yang berbeda walau pada setapak yang sama. Jaman boleh berubah, namun pengalaman tetaplah personal. Dewasa ini, “hobby mendaki gunung” bukan sesuatu yang asing. Maka tidak mengherankan bila jalur-jalur resmi pendakian selalu dijejali pendaki beserta sisa-sisa pendakiannya. Maka, ketika ada informasi mengenai jalur baru, saya selalu tergelitik untuk mencobanya. Ada tantangan di sana. Namun yang paling utama adalah sepinya jalur. Kesunyian gunung, selalu mendulang rindu dalam kalbu untuk bercumbu dengannya. Kali ini, saya akan membagikan sekelumit kisah mendaki Merbabu via Grenden. Mari kita simak, ….

 Sekilas tentang  Gunung Merbabu
Gunung Merbabu terletak di jawa tengah dengan ketinggian 3.142 Mdpl pada puncak Kenteng Songo. Gunung Merbabu berasal dari kata "meru" yang berarti gunung dan "babu" yang berarti wanita. Gunung ini dikenal sebagai gunung tidur meskipun sebenarnya memiliki 5 buah kawah: kawah Condrodimuko, kawah Kombang, Kendang, Rebab, dan kawah Sambernyowo.
Gunung Merbabu merupakan gunung dengan banyak puncak. Ada puncak Syarif (3.119 m), Triangulasi, Menara, Kendi Kencono, puncak Kukusan dan puncak Kenteng Songo (3.142 m). Puncak tertinggi Merbabu yaitu Kenteng Songo yang berdekatan dengan Triangulasi dapat ditempuh dari jalur pendakian Cunthel, Thekelan, (Kopeng/ Salatiga), Wekas (Kaponan/ Magelang) atau dari Selo (Boyolali). Sekarang telah ada jalur baru, yaitu Swanting dan Grenden, keduanya berada di lereng sisi barat.
salah satu kenangan keindahan pendakian

Gunung Merbabu via Grenden
Merbabu jalur Grenden ini merupakan jalur yang baru dibuka oleh rintisan warga Grenden lereng barat.  Jalur ini berada di dusun Pogalan, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang. Jalur ini, merupakan jalur warisan tradisi. Maksudnya adalah jalur menuju puncak untuk para peziarah lokal. Dengan demikian jalur ini sebenarnya adalah jalur lama bagi peziarah, tetapi jalur baru bagi para pendaki non-lokal.
Sedikit gambaran bahwa mendaki Merbabu   melalui  jalur Grenden akan menemukan  pemandangan yang berbeda dari setapak Merbabu lainnya. Jalur ini menyajikan panorama yang beragam, ada wana wisata dengan hutan pinusnya, hutan lumut, hingga sabana yang indah. Jalur pendakian Merbabu via Grenden dapat ditempuh dengan waktu rata-rata 7 sampai 8 jam perjalanan untuk sampai di puncak Kenteng Songo.
gunung kendi kencono dari puncak

Transportasi menuju Basecamp Merbabu via Grenden
Base camp Grenden, sangat mudah ditemukan dengan kendaraan roda dua. Bila menggunakan jasa angkutan umum kelihatannya akan mengalami kesulitan. Namun, pihak pengelola siap memberikan solusi. Silahkan menghubungi nomor pengelola, yaitu 087719021013 atau frekwensi HT: 163.090

Ringkasan waktu Perjalanan
1.      Base camp – Pos 1 = 20-30 menit
2.      Pos 1 – Pos 2 = 30 – 45 menit
3.      Pos 2 – Pos 3 = 1,5 – 2 jam
4.      Pos 3 – Pos 4 = 45 menit – 1 jam
5.      Pos 4 – Puncak Kendi Kencono = 45 menit – 1,15 jam
6.      Puncak Kendil Kencono – Puncak = 1-1,5 jam
7.      NB:
a.       Semua estimasi waktu sangat ditentukan oleh kemampuan fisik dan tenaga pendaki. Jadi antara satu pendaki dengan yang lainnya tidak pernah sama.
b.      Sumber air ada di atas Pos 3 & 4 berupa pipa dengan kran, tinggal putar air mengalir.

Sekelumit Kisah Pendakian Kami (Aku dan Isteriku)
            Sebuat saja saya adalah Jimanto dan isteriku adalah Regina Nunuk. Bila ada waktu luang, kami biasa mengisinya dengan kegiatan petualangan, mengunjungi tempat-tempat yang jarang kami lewati. Biasanya, kami mengunjungi desa-desa yang berada di lereng gunung atau dekat dengan pantai. Bila waktu yang kami miliki agak longgar, maka kami memilih daerah yang jauh. Tetapi bila waktu yang kami miliki terbatas, daerah yang dekat-dekat pun tidak masalah.
            Kali ini,  kami berdua mencoba mengunjungi lereng barat gunung Merbabu. Yang katanya ada jalur pendakian rintisan baru, yaitu Grenden.
kelok setapak di tengah sabana grenden

Saya berangkat berdua (dengan isteri) dari Solo, Jawa Tengah. Kami memulai perjalanan sekitar pukul 07.45. Kami menggunakan  sepeda motor. Tujuan kami, pertama-tama bukanlah mendaki tetapi menghadiri resepsi pernikahan. Tamu manten yang paling aneh, karena membawa bekal untuk mendaki. Teman kami menikah di Salatiga kota. Acara resepsi mulai jam 10.00 dan berakhir pukul 12.00. Usai pesta, kami segera meneruskan kisah untuk mendaki Merbabu via Grenden.
Dari Salatiga kami menuju Kopeng, sesampainya di Getasan hujan turun dengan lebat. Berharap cuaca bersahabat. Setelah melewati desa Wekas, hujan berhenti, kami pun beristirahat untuk mencari makan siang dan membeli bekal.
Kami berhenti di pertigaan jalur Salatiga-Magelang-Ketep Pas. Kami berbelok ke arah kiri ambil arah Ketep Pas. Jalanan masih meliuk, naik, turun, licin, maka harus ekstra hati-hati. Tidak berapa lama, kami pun menemukan pertigaan dengan penunjuk arah base camp Grenden. Segera, kami berbelok ke kiri, mengikuti kelokan jalan makadam yang menghantar sampai ke camping ground Grenden. Ternyata, kami telah melewati base camp. Segera kami pun bertanya, syukur kami tidak usah turun ke bawah. Segera regristrasi, dan pihak pengelola akan memarkir motor di base camp. Berarti saat turun, kami akan berjalan lebih jauh ke bawah.

Pendakian Merbabu Jalur Grenden
Kami tidak ingin lama-lama di bumper, setelah selesai packing ulang, perjalanan pun dimulai. Kami agak sedikit mengalami kebingungan karena di area bumper terdapat banyak percabangan, untungnya masih banyak orang yang bisa dimintai keterangan untuk menuju puncak.
Pendakian ini terasa sunyi. Menurut informasi hanya ada dua rombongan. Rombongan pertama dari Sumber berjumlah 3 orang dan rombonganku yang hanya 2 orang. Jadi, hari ini baru ada 5 pendaki.
Kami memulai pendakian tepat pukul 14.15, berawal dari hutan wisata Grenden yang ramai oleh pengunjung. Mereka rata-rata anak muda yang mencari spot untuk selfy. Ada banyak titik untuk menemukan lokasi yang keren demi foto-foto yang enak dilihat dan dikagumi.
hadiah alam

Camping Ground – Pos 1
Menurut informasi, jarak tempuh untuk sampai Pos 1 tidak seberapa jauh. Hanya sekitar 500 meter. Medan menuju Pos 1 tidak terlalu menanjak dengan setapak-tanah yang empuk. Kanopi hutan pinus pun membuat sinar matahari tidak terlalu terik menyengat kulit walapun siang hari panas terik. Namun, belum juga sampai 300 m berjalan, mendadak hujan turun dengan derasnya. Segera memakai mantol. Jalan lagi. Tak berapa lama, sampailah di Pos 1.

 NB: sepanjang jalur sudah ada banyak papan “petunjuk jalur”, pendaki tinggal mengikuti arah dan jalan setapak hingga ketemu Pos 1. Di sini terdapat tempat duduk untuk beristirahat. Juga ada beberapa tempat untuk berfoto ria (ber-selfy).

Pos 1 - Pos 2 Lawu
Alam masih bermandi hujan. Dingin, lumpur dan setapak yang banjir. Menantang. Kami terus berjalan. Tidak lama berhenti di Pos 1 karena takut keburu kedinginan. Melangkah dalam derai hujan yang bertubi-lebat. Belukar rebah menghalangi setapak yang tak lebar. Setapak yang berlubang-lubang diselubungi aliran air yang deras. Maka tidak jarang kaki terperangkap dan tubuh yang basah harus rebah. Terjerembab. Tantangan yang lengkap mendebarkan dan penuh dengan kejutan-kejutan.
Kami baru pertama lewat jalur ini, tak ada seorang pun yang kami jumpai. Namun, setapak jelas di depan mata selalu melambai mengundang untuk merajut kisah di atasnya. Bersama semangatnya hujan mengguyur bumi, kami juga ikut membara untuk terus melangkah. Berharap Pos 2 tidak begitu jauh dan susah didapat.
Kendati hujan lebat, namun mata masih bisa memandang alam sekitar. Dari samar penglihatan itu, kurekam beberapa catatan penting untuk diabadikan. Setelah Pos 1, perjalanan masih didominasi oleh hutan pinus. Jalur sedikit lebih menanjak. Jalur awal melewati pinggiran punggungan jurang setelah itu menuju trek ke tengah punggungan bukit yang luas. Sepanjang perjalanan dari Pos 1 menuju Pos berikutnya ada satu panduan, yaitu pipa air yang melintasi jalur.
Sebelum sampai Pos 2, kita bertemu dengan selter yang lumayan luas untuk istirahat. Namun, kami terus melangkah. Hujan belum juga reda. Kami juga masih semangat.
Medan jelajah masih sama, tanjakan, tikungan dan hutan. Pepohonan makin lebat dan besar-besar. Tak berapa lama meninggalkan selter, kami pun tiba di satu area, di mana ada tanda pada pohon yang bertuliskan Pos 2 Lawu. Hati senang. Namun, apa daya hujan juga tak kunjung reda. Lanjut lagi.

Sedikit informasi bahwa di Pos 2 ini terdapat tempat luas untuk mendirikan tenda. Bisa untuk 5 tenda. Kalau tujuannya hanya sekedar happy camp, tempat ini sangat cocok. Jarak dari pos 1 ke pos ini tidak terlalu jauh.Tetapi bila tujuannya menggapai puncak, maka tidak disarankan karena jarak menuju puncak masih jauh.
Pos 2 - Pos 3
            Cuaca tak juga membaik. Hujan tak ada akan berhenti. Langit seolah sedang bersuka hati. Hujan tiada berkesudahan. Badan yang belum istirahat, capek tak juga mendapat kesempatan untuk rehat. Harus berjalan lagi agar tubuh tidak menggigil kedinginan. Capek harus dilawan. Tidak boleh ada kompromi. Terus jalan atau siap-siap kena hipo? Lanjut terus.
            Meninggalkan Pos 2, medan kian menanjak. Setapak yang sekaligus menjadi saluran air harus dilewati. Satu-satunya jalur, mesti dinikmati. Isteriku mulai terseok dan sempoyongan. Namun, ia juga yang memutuskan untuk terus bergerak, merangkak dan sesekali terjengkang rebah di saluran air dadakan. Mantap. Petualangan yang lengkap. Masih ada semangat. Lanjut terus.
byk pohon gede dg tulisan penunjuk arah
            Menurut perhitunganku, perjalanan dari  Pos 2 menuju Pos 3 merupakan jarak tempuh yang paling jauh dan tentunya, lama. Trek semakin menanjak dengan jarak elevasi dengan Pos 3 sekitar 500 meter. Jalur pendakian setelah Pos 2 masih berupa hutan rimba. Hutan pinus sudah berganti menjadi hutan yang heterogen. Lebatnya hutan mampu menutupi sinar matahari masuk ke dalam sela-sela hutan. Tidak mengherankan bila pohon-pohon yang besar-besar ini, ditumbuhi lumut, dari pangkal bawah sampai atas. Melihat pepohonan yang diselimuti lumut, menghantar pada imajinasi ke alam purba.
            Raga kian sempoyongan menopang beban yang basah kian berat. Setapak licin penuh air, yang membingungkan untuk dipijhak karena tidak kelihatan. Tubuh dibelit mantol yang membikin tidak leluasa bergerak. Dari luar badan terhindar oleh air hujan, tetapi tubuh tetap basah oleh keringat. Melewati area setapak yang menyempit, seolah-olah diapit beteng, maka maka makin lemaslah asa.
            Akhirnya, asa agak sedikit lega. Ada harapan, karena mata menemukan sebuah selter. Di sinilah kami, bertemu dengan tiga pendaki dari sumber. Ketemu orang juga. Namun, isteriku tidak menyempatkan diri untuk istirahat. Lanjut terus. Mungkin, isteriku udah kenal dengan dirinya, kalau tubuh basah dan istirahat maka akan kedinginan. Aku pun mengikutinya. Medan bukannya kian bersahabat, tetapi makin manantang nyali dan mental.
            Pundakku sudah teramat ngilu karena beban bawaan yang tidak ringan. Ditambah basah. Namun, petualangan tidak boleh berhenti. Kendati tenaga terkuras dan raga telah gontai, namun semangat tak juga padam, masih membara. Kami, mengais sisa tenaga untuk terus bergerak dan berjalan.
            Hingga akhirnya, kami sampai juga di Pos 3. Lega. Senang. Gembira. Di Pos ini, terdapat tanah datar yang luas. Cocok untuk mendirikan tenda dan bermalam. Area ini dapat menampung 6 tenda. Di Pos ini, juga terdapat sumber air dari pipa yang sudah diberi kran. Tingal puter, air mengalir dengan jernih. Tempat yang landai, tertutup oleh kanopi rimbunnya pepohonan, sangat nyaman untuk camp.

Aku dan isteriku beristirahat sejanak, buka bekal untuk memulihkan tenaga. Hujan telah mereda. Ketiga pendaki juga telah terlihat dan berhasil menyususl. Namun, niat hati kami telah bulat untuk bermalam di Pos 4. Maka, kami pun melanjutkan perjalanan. Mumpung masih terang. Sebelum gelap kami targetkan untuk bisa mencapai Pos 4.

Pos 3 - Pos 4
            Lelah raga setelah menembus rute perjalanan dari base camp sampai Pos 3, tak terbayar kendati telah istirahat. Badan yang terkuras tenaga tak cepat pulih. Hanya semangat yang tersisa. Namun apa daya, memang raga telah usang. Isteriku beberapa kali jatuh. Hingga akhirnya, beban bawaannya saya yang menggendongnya. Namun, tenaga memang tidak bisa diperas lagi. Isteriku menyerah. Kalah.
            Gawat. Jelas ini bukan peristiwa yang diharapkan. Belum sekali pun isteriku menyerah selama pendakian. Istirahat sejenak, jalan sebentar, istirahat lebih lama. Terus mengulang metode ini. Namun Pos 4 yang dinanti-nanti tak juga terlihat. Isteriku diam saja. Terlihat mau menangis tapi coba ditahan. Akhirnya, saya putuskan untuk mencari tanda, jalan duluan sapa tahu memang Pos 4 bisa segera dicapai. Sekitar 100 m setelah meninggalkan isteriku, samar terlihat tanda-tanda itu ada, berupa papan bertuliskan, ”Pos 4”. Segera saya kembali, menyambangi isteriku, memberinya semangat, mendorongnya agar mau berjalan lagi. Hanya sekitar 100 m. Bagi raga yang tak bertenaga, berjalan 100 m itu bagaikan mendaki gunung 8 jam.

            Syukur, akhirnya perjuangan kami membawa hasil, sampai di Pos 4 sebelum gelap. Segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Sebenarnya, jarak tempuh dari Pos 3 menuju Pos 4, tidaklah terlalu jauh. Di pos ini, terdapat tempat untuk mendirikan tenda yang tidak terlalu luas. Bisa menampung sekitar 5 tenda. Perlu dicatat, tempat tendanya tidak sedatar dan senyaman Pos 3. Waktu itu, aku sempatkan untuk meratakan tanah, agar menjadi lebih nyaman buat beristirahat. Di sini, juga ada sumber air berupa pipa dengan krannya. Jadi tinggal puter, air bersihpun mengalir.

Menikmati Malam di Pos 4
            Setengah tujuh malam. Aku dan isteriku telah masuk tenda. Beruntung, kami mendirikan tenda yang terlindung dari terpaan angin malam. Tubuh yang basah-lelah segera minta untuk diistirahatkan. Masak segera dan membuat minuman hangat. Usai makan berharap bisa segera istirahat untuk mendulang tenaga, agar pagi bisa meneruskan kisah menuju puncak. Namun, apa daya isteriku mendadak kedinginan. Sebelumnya tidak pernah terjadi. Isteriku terserang gejala hipo. Agak kawatir juga diriku ini. Akhirnya sepanjang malam, kompor spirtus sering saya nyalakan dalam tenda agar terasa hangat.
            Kendati harus bentar-bentar bangun, namun sungguh bersyukur karena masih bisa tidur. Lelap, bangun, lelap lagi bangun lagi. Hingga akhirnya, tepat jam tiga aku tidak kembali tidur tetapi segera membuat minuman hangat. Aku cukup segar dan tenaga seolah pulih kembali. Kutanya pada isteriku, dan sesuai dugaanku, ia tidak berminat untuk meneruskan kisah. Ia akan beristirahat saja. Memberiku ijin untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Merbabu.

Pos 4 - Kendi Kencana (Puncak Grenden)
Langit terlihat cerah dengan tanda taburan bintang. Kabut juga belum bergerak, terbukti dengan terlihatnya lampu-lampu kota. Angin berhembus sepoi, terasa hangat dan tidak terlalu dingin. Keadaan yang cocok untuk attack summit. Tepat pukul 04.10, saya meninggalkan tenda. Berpamitan dengan isteriku, “bahwa pendakianku pagi ini tidak harus sampai puncak, prinsipnya pukul 07.00, saya harus sudah tiba di tenda”. Bila meninggalkan isteriku terlalu lama, rasanya juga tidak tenang. Sedangkan tetanggaku rombongan dari Sumber telah berangkat duluan.
Menyusuri jalanan terjal bekas aliran air, menjadi tantangan tersendiri. Perjuangan menuju puncak telah dihadang dengan tanjakan terjal, setapak berliku, licin dan curam bekas gerusan air hujan. Nafas langsung tersengal, detak jantung berdegup kencang. Saat-saat menenangkan diri, kucoba nikmati pemandangan bawah berupa gemerlap kota di lereng gunung Merbabu yang berpadu harmoni dengan taburan bintang tanpa penghalang mendung maupun kabut.
Perjalanan setelah pos 4 melewati sabana pendek. Jalan sudah dibuat beranak-tangga oleh warga. Punggung gunung dari Grenden ini akhirnya bertemu dengan punggungan lain yang mengarah ke arah puncak. Dari sebelah kanan tampak punggungan jalur Wekas yang terpisah oleh jurang yang luas. Jalur yang sekarang ini saya lewati tepat di punggungan bukit yang sempit. Sebelah kiri dan kanan berupa jurang. Itu artinya jalur pendakian hanya lurus naik ke atas. Lampu headlamp menyorot bukit di depan yang didaki terasa terjal. Setelah melewati setapak yang landai dengan sabana kecilnya, sayapun melihat penanda yang tergeletak di tanah, bertuliskan “puncak Kendi Kencana”.
Aku tidak berhenti di puncak ini, lanjut lagi. Sedikit bonus, turunan. Di balik remang fajar kulihat adanya hamparan  sabana dengan punggungan kecil sebelah kiri kanan jurang. Angin beberapa kali bertiup kencang dari bawah jurang. Selang dua bukit setelah bukit Kendi Kencana, saya melihat ada bekas orang mendirikan tenda di sini tepat di atas bukit. Tempatnya tidak terlalu luas-bisa menampung 3 tenda dengan posisi tenda yang sedikit miring. Menurut cerita, area ini disebut “bukit Cantigi Tunggal”.

Sejenak hanya menghela nafas. Kembali saya melangkah untuk mengukir kisah. Samar temaram fajar mulai berbinar. Setapak yang layu pun mulai merekah di balik rimbun embun yang bersarang di atas rerumputan, sabana Merbabu. Setapak yang kulalui menghantarku di persimpangan. Sebuah pertigaan. Kuberhenti sejenak untuk menghafal medan dan mencoba menerka, dari jalur manakah ini? Saya pun yakin inilah pertemuan dengan jalur Suwanting, pertigaan di atas puncak Suwanting.
Setelah yakin dengan jalur yang kulewati, kembali kuayunkan langkah untuk segera mencapai puncak. Kendati nafas tersengal dahsyat, namun saya cukup puas. Ada kebanggaan yang tak terbahasakan. Kupijakan kaki di Kenteng Songo, puncak Merbabu tepat pukul 05.15. Dengan begitu waktu tempuh dari Pos 4 sampai Kenteng Songo adalah satu jam sepuluh menit.
Saatnya istirahat dan menunggu lahirnya sang surya.

Mentari bergeliat, terbangun dari istirahatnya. Sinarnya membangkitkan asa. Sinar keemasan membuyarkan pekat malam, menyibak keindahan alam bawah, lereng-lereng pegunungan. Pagi ini pemandangan terlihat sangat cerah. Beberapa gunung sepanjang mata memandang tampak terlihat jelas. Gunung Sindoro, Sumbing, Prau, Slamet berada di sisi barat. Sedangkan gunung Andong, Telomoyo dan Ungaran tampak dari sebelah utara. Semua terlihat leluasa, karena tidak terlalu banyak pendaki yang ada di puncak. Suasana lumayan sepi.
Kunikmati segala anugerah ini. Syukur dan terpujilah Tuhan semesta alam.


Saatnya Turun Meninggalkan Puncak
            Saya telah berjanji pada isteriku yang setia menunggu di Pos 4, bahwa sebelum jam 07.00 saya harus tiba di tempat. Maka, dengan segera saya meninggalkan segala keindahan panorama puncak Merbabu. Bergegas langkah kakiku meliuk mengikuti kelokan setapak terjal Merbabu. Sesekali masih kesempatkan untuk mengabadikan keindahan alam dengan kamera. Tak hentinya hatiku berdecak kagum  pada suguhan alam pagi ini, seolah mau mengganti dan membayar perjuangan hari kemaren.

            Menyeberangi dan mengarungi luasnya sabana. Membelah dan menyapu perbukitan. Terus berjuang menyusuri setapak yang tak ramah. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.50, saya telah tiba di tenda. Sapa dan senyum dari isteriku menyambutku dengan bangga dan bahagia.

Saatnya Turun
            Segarnya bening mentari, mendadak hilang tergulung kabut yang menebal pekat. Jam 08.00 sarapan telah siap. Pertanda cuaca tidak baik. Maka, segera kami pun bergegas untuk sarapan dan lanjut kemas-kemas. Terpaksa beberapa perlengkapan yang basah langsung kami masukan ke tas kerier. Tidak ada pilihan. Perjalanan pulang ini pasti akan jauh lebih berat dan menantang dari pada saat menanjak.

Tepat pukul 09.30, saat teman-teman dari Sumber sampai di tenda selepas dari puncak, kami pun berpamitan untuk turun lebih duluan. Semenjak meninggalkan Pos 4, kabut bergelayut tebal dan menggulung. Bahkan beberapa kali karena begitu pekatnya kabut sampai turun menjadi tetesan hujan. Belum juga setapat mengering, masih banyak kubangan yang penuh air, sudah ditambahi dari atas. Lebatnya hutan mengurung licin setapak untuk tidak lekas mengering. Lengkap sudah tantangan pendakian kami kali ini. Perjalanan turun gunung yang super licin maka kami harus ektra hati-hati.
ngeri-ngeri sedap, isteriku berjuang

Tidak sampai 30 menit, kami telah tiba di Pos 3, istirahat sejenak. Kami tahu bahwa selepas pos ini tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk sejenak istirahat. Setelah dirasa cukup, kami pun melaju untuk segera turun. Cuaca masih sama. Kabut tebal bercampur gerimis. Licin. Tak jarang kami harus bergelayutan di akar-akar pepohonan serta bergelantungan mengandalkan pertolongan ranting-ranting perdu sepanjang setapak. Lumayan menghemat kekhawatiran bila harus tersungkur.

Sekitar satu jam setengah, kami telah tiba di Pos 2, sungguh senang rasanya. Cuaca tidak ada perbedaan masih diselimuti kabut tebal dan gerimis. Pundakku terasa kian tak bertahan. Seolah-olah membawa beban lebih dari 30 kg. Namun, isteriku terus melangkah penuh semangat. Saya yakin kesehatannya telah pulih. Maka, aku tidak akan menggangu feel-nya dengan mengeluh tentang beratnya beban dipundak. Ia tersu berjalan di depan, saya pun setia mencoba untuk terus mengikuti di belakang.
isteriku berjuang dlm licinnya setapak

Tibalah di Pos 1. Gembira rasanya. Karena jarak tinggal sejenak, hanya sekitar 10 menit. Maka, saya pun bercerita soal beratnya beban di pundak. Kami pun beristirahat untuk sementara. Lega pundak, pulih tenaga. Kembali kami melangkah. Hingga, akhirnya tepat pukul 12.00 kami telah tiba di bumper Grenden. Artinya, kami telah sampai dipemukiman. Perjalanan pun selesai. Selepas bumper, kami masih meneruskan perjalanan untuk menuju rumah Bapak Dukuh, dimana motor kami parkir. Hati yang nyaman karena tidak dikurung hujan lebat, hanya gerimis sepanjang perjalanan, maka laju kami pun melambat. Hingga akhirnya, kami tiba di rumah Pak Dukuh tepat pukul 12.30.
Kami disambut dengan ramah. Dijamu dengan segelas teh panas. Dipersilahkan istirahat dan dipaksa untuk berbagi kisah. Seolah-olah kami adalah teman lama yang sangat akrab. Percakapan, obrolan pun mengalir dengan lancar. Tidak terasa waktu telah berada pada titik 14.00, kami pun memutuskan untuk mengakirinya. Karena perjalanan masih jauh untuk menuju Solo, tempat rumah kami. Berharap sepanjang perjalanan tidak turun hujan. Kehujanan kemarin dengan segala tantangannya cukuplah menyirami kisah kami.

Penutup: Membingkai Kisah
            Selama saya dan isteriku membangun kebersamaan dalam hari-hari petualangan yang pernah kami lewati, petualangan kali ini merupakan petualangan terhebat. Petualangan yang paling menantang. Sungguh ada hal-hal yang tidak terduga. Hidup mesti siap menghadapi segala kemungkinan. Terutama mesti siap menghadapi kemungkinan terburuk. Buatku sendiri, petualangan kali ini membawa berkah dan pembelajaran. Ada banyak makna yang kutemukan. Belajar dari setapak Merbabu via Grenden kutemukan harta karun hidup. Pertama, dimana manusia boleh berencana Tuhan yang menentukan. Kedua, manusia kadang merasa sungguh percaya diri dan siap menghadapi segala kemungkinan tetapi nyatanya hidup tidak lah selalu sesederhana yang dibayangkan. Ketiga, belajar rendah hati untuk menerima kenyataan yang diluar jangkauan dan perkiraan. Keempat, selalu menjaga hati agar bersih sehingga selalu bisa kontak dengan nurani, dimana Allah selalu hadir di sana. Mendengarkan hati, berarti mendengarkan Allah yang selalu membimbing. Percaya bahwa Allah selalu berbicara untuk menyelamatkan manusia dalam segala situasinya. Kelima, belajar untuk selalu berterimakasih pada kemungkinan-kemungkinan baru. Terbuka untuk menemukan saudara, terbuka untuk saling mengikatkan hati dalam sebuah kebersamaan-petualangan. Akhirnya, terimakasih untuk Tuhan yang selalu memberi, melindungi dan mengiringi. Terimakasih isteriku, denganmu selalu ada warna baru dalam setiap petualangan hidup. Semoga pengalamaan ini akan menghantar pada kesatuan hati yang lebih hakiki, terpatri dalam sanubari. Semoga.