Selasa, 07 April 2015

catatan perjalanan: Merbabu via Suwanting

MERBABU VIA SUWANTING: JALUR PENDAKIAN FULL SINYAL
Oleh: Heri
 
sabana merbabu swanting
Rasa rindu yang kian tak tertahankan akan segar udara dingin pegunungan menjadikanku berani menetapkan hari untuk melangkah. Rencana pendakian telah kutetapkan. Baik hari maupun tempatnya. Lama tidak menginjakkan pada setapak yang asing dan samar. Beberapa rute pendakian untuk gunung-gunung yang terjangkau sudah tidak lagi mengundang rasa ingin[1]. Maka aku pun mencari informasi tentang jalur-jalur baru. Hingga pada akhirnya menjelang musim pendakian ada informasi yang samar bahwa telah dibuka jalur baru ke gunung Merbabu, yaitu jalur Swanting.
Di tengah usia yang tidak muda lagi, maka aku pun menyiapkan sebaik-baiknya. Dua minggu cukup untuk menyusun langkah, baik persiapan fisik, mental maupun dana yang akan menopangnya. Telah sekian bulan aku tidak lagi menginjakkan kaki pada dataran tinggi. Oleh karena itu segalanya harus dipersiapkan secara masak-masak.
            Pada awalnya banyak yang berminat dan ingin gabung dengan ekspedisi Merbabu via Swanting ini. Namun, menjelang tiba hari yang ditentukan, jumlah aggota yang pasti berangkat hanya dua orang. Mereka adalah aku pribadi (sering dipanggil “pak”, karena memang aku seorang pendidik) dan ada satu muridku (Enggar).
            Minggu, 05 April 2015 tepat pukul 07.00 segala persiapan telah usai. Perbekalan dan peralatan telah selesai aku packing. Namun Enggar belum juga terlihat. Rencana awal memang akan berangkat sepagi mungkin, karena segala sesuatunya masih samar dan asing. Aku menunggu dalam cemas. Namun telah kutekadkat, seandainya Enggar tidak datang, maka tepat pukul 08.00 aku akan berangkat sendiri.
Tepat pukul 07.30, Enggar tiba di rumah. “maaf pak, tadi jam 06.30 baru tiba, semalam masih di Klaten”. Kumaklumi situasinya.
Segera kutata perlengkapan di motor kesayangan. Hingga tepat pukul 08.00, kami berdua meninggalkan Solo menuju Ketep Gardu Pandang. Karena menurut informasi yang masih samar, dukuh Swanting tidak begitu jauh dari tempat tersebut. Para pedagang yang berada di sekitar Ketep katanya telah tahu tentang dukuh Swanting.
            Sekitar 1,5 jam perjalanan, sampailah kami di Ketep Gardu Pandang. Aku tidak berhenti dan mencoba mencari tahu tentang keberadaan desa Swanting. Jalur Ketep Gardu Pandang menuju Kopeng buatku tidak terlalu asing. Maka aku juga yakin bahwa dukuh tersebut akan ketemu. Menurut informasi bahwa base camp berada di desa Sambiroto, dukuh Swanting. Desa itu aku telah tahu. Tinggal mencari dukuhnya saja. Sekitar tiga kilo meter dari Ketep Gardu Pandang menuju arah Kopeng, kulihat belokan yang  bertuliskan “Base Camp Merbabu dukuh Swanting”.
            Dengan yakin aku pun membelokkan motor sesuai dengan keterangan tersebut. Dari jalan beraspal kemudian berganti dengan cor-beton. Sepansang jalur cor-beton sepanjang 1,5 km yang penuh dengan kelokan, tikungan, naik serta turun menghantar kami tiba di base camp Swanting. Lega rasanya karena ternyata tidak terlalu sulit untuk menemukan base camp ini. Ramah penduduk setempat menyambut kami, menjadi obat lelah dan kecemasan.
base camp merbabu swanting
Para pemuda yang tergabung dalam paguyuban “Karang Taruna” menerima, menyambut dan mempersilahkan kami dengan sangat-sangat sopan, ramah dan penuh dengan rasa kekeluargaan.
Langkah pertama untuk memantapkan nyali adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya. Medan baru dengan tanpa pengalaman dan tidak dengan orang yang pernah menanjak di jalur ini, maka informasi menjadi sangat penting. Jalur ini pada mulanya adalah jalur penduduk yang melakukan ritual ke puncak Merbabu. Maka jalur ini medannya cukup terjal. Untuk penduduk setempat hanya membutuhkan waktu 3-4 jam. Jalur ini belum memiliki ijin resmi dari pihak Taman Nasional Gunung Merbabu. Makanya, retribusi untuk setiap pendaki hanya Rp 3.000 ditambah biaya parkir motor Rp. 5.000. Karena jalur ini belum resmi maka tidak ada karcis, tidak juga ada asuransi. Namun soal tanggungjawab, pengelola jalur ini boleh diacungi jempol[2].
Satu hal yang sangat berkesan di base camp ini adalah penerimaan mereka. Walau baru pertama bertemu namun seolah-olah kita telah lama kenal. Hingga keakraban yang terjalin pun begitu dekatnya.
            Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga base camp, tepat pukul 10.50 kami memulai pendakian. Mengawali misi ini, kami sangat santai karena sesungguhnya kami sedang terpesona. Kami disambut dengan sapaan penduduk yang luar biasa akrabnya. Setiap kami menyapa penduduk, mereka dengan ramah dan senyum selalu mengundang kami untuk berkenan singgah di rumahnya. Sungguh ini lah yang menjadikan perberbedaan dengan jalur pendakian lainnya. Keramahan penduduk Swanting kiranya akan menjadi daya tarik utama jalur ini.
Sekitar 8 menit meninggalkan base camp dan menyusuri jalan kampung, kita dihadapkan pada persimpangan. Kami mengambil arah kiri. Sedangkan arah kanan atu jalan yang bagus akan menghantar pada kampung sebelah. Sekitar 10 menit kita menyusuri jalur ladang penduduk. Lalu kami ketemu dengan batas hutan yang masih sangat lebat. Hutan pinus dan cemara dengan pepohonan yang rapat. Sekitar 5 menit kami menyusuri setapak hutan ini, ternyata kami telah sampai di Pos I, yaitu Lemba Lempong[3].
pos i lemba lempong
Di pos ini memiliki area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Pemandangan yang disajikan pun sudah cukup menarik. Ada keindahan perkampungan yang kalau malam hari pasti menyajikan panorama gerlap lampu neon. Tempat yang datar dengan kanopi-rimbun pepohonan. Juga hamparan padang rumput luas yang nyaman untuk tiduran. Untuk sampai di pos ini pun hanya membutuhkan waktu tempuh tidak kurang dari 25 menit. Di pos ini sinyal HP juga masih sangat kuat. Dari pengalaman pribadi jalur ini adalah jalur pendakian dengan sinyal yang paling kuat. Sepanjang perjalanan dari base camp sampai Pos III, SMS tetap lancar. Mungkin HP mereka-mereka yang sudah canggih, tetap bisa on line. Tetapi punyaku hanyalah HP jadul.
Sekitar 10 menit kami beristirahat. Lalu kami meneruskan langkah. Setapak terlihat jelas. Namun medan kian menanjak. Waktu tempuh dari Pos I ke Pos II sekitar 60 menit/ 1 jam. Sepanjang jalur ini, kami melewati 3 selter, yaitu secara berurutan Lemba Gosong, Lemba Cemoro dan Lemba Ngrijan. Masing-masing selter memiliki area yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda antar 1-3. Sepanjang jalur masih diwarnai dengan pemandangna hutan yang lebat.
selter ke iii seblum pos ii, lemba ngrijan
Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Pos II, yaitu Pos Lemba Mitoh. Pos ini menyuguhkan panorama yang lebih ajib dari pada Pos I. Panorama lembah terlihat, sedangkan punggungan bukit dan hutan yang menghijau asri terlihat di sisi kanan dan kiri. Di pos ini juga memiliki area untuk mendirikan tenda sekitar 6-7. Area yang cukup luas.
pos ii, lemba mitoh
Pada waktu itu aku sempat ngobrol dengan beberapa pendaki yang nenda di pos ini. Mereka mengeluhakn bahwa jalur ini adalah jalur yang berat. Waktu tempuh yang diceritakan oleh pengelola tidak sesuai dengan kenyataan. “orang sini bilange hanya 4 jam untuk sampai puncak. Kami aja dari pos 2 ke pos 3, butuh waktu 4 jam. Terus sampai di pos 3, kami melihat sabana dengan puncak yang masih sangat jauh. Kami perkirakan bahwa waktu tempuh dari pos 3 ke puncak sekitar 4 jam. Jadi yang diceritakan oleh pengelola itu sebenarnya adalah waktu tempuh dari pos 3 ke puncak. Tapi mase kan udah niat nanjak. Dinikmati saja”.
Aku pun bertanya, “memang mas-mase sudah sampai puncak?”
“Belumlah, kami baru sampai di Pos III.”
Dari keterangan itu, aku menjadi ciut nyali. Untungnya Enggar tidak mendengar keluhan pendaki-pendaki yang sudah turun tersebut. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama. Perjalanan siang memang lebih menguras tenaga. Untungnya, sepanjang jalan kami dilindungi oleh kabut yang terus mengurung dan menaungi. Sekitar pukul 14.00, kami melanjutkan perjalanan. Petualangan ini mesti kami tuntaskan.
Tanjakan kian dahsyat, tanjakan tanpa bonus. Terus naik dengan kemiringan antara 25-40 derajat[4]. Sungguh medan yang tidak mudah untuk pendaki yang seusiaku. Aku dan Enggar sepakat untuk gantian membawa tas kerir, sebagai tas utama pengangkut perlengkapan utama. Setiap usai melangkah sekitar 10 meter kami berhenti untuk mengatur nafas. Perjuangan yang luar biasa.
Sekitar 1 jam meninggalkan Pos II, kami bertemu dengan selter Lemba Manding. Di selter ini dapat digunakan untuk mendirikan tenda sekitar 3-4. Cukup terlindung dari sinar matahari dan angin kencang. Namun disarankan untuk tidak mendirikan tenda di selter ini.
Selepas Lemba Manding, medan makin menantang, tanjakan curam dengan kemiringan 40-55 derajat. Belum lagi diperparah dengan setapak yang licin. Wajarlah karena jalur ini tertutup rapat, sehingga sinar matahari sulit menembusnya. Harus ekstra hati-hati. 40 menit dari Lemba Manding, kami sampai di selter berikutnya, yaitu Dampo Awang. Selter ini, bisa digunakan untuk peristirahatan sementara. Kalau pun mau mendirikan tenda, selter ini hanya bisa menampung maksimal 2 tenda.
selter terakir sebelum pos iii, dampo awang
Cuaca siang dengan perut yang belum terisi penuh, menjadikan kami kian sempoyongan. Target kami adalah Pos III. Di pos tersebut ada mata air. Sehingga kami dapat memasak secara leluasa. Dengan sisa-sisa tenaga, kami terus melangkah. Bagiku selama kaki masih mau melangkah maka sejauh apapun medan pendakian pada akhirnya akan terselesaikan juga.
 Sekitar pukul 16.00, kami telah keluar dari batas hutan mandingan. Kami dihadapkan pada tanjakan sabana. Hati pun bergirang-senang. Pasti sebentar lagi Pos III. Namun tenaga yang hampir punah menjadikan niat tidak juga menjadi kenyataan. Di depan mata sudah terlihat penanda mata air. Tetapi kaki tak juga segera mencapainya. Keinginan yang kuat tak juga menegakkan raga yang memang sudah sempoyongan. Akhirnya, kami putuskan bahwa aku akan duluan mencapai Pos III, sedangkan Enggar akan pelan-pelan menyusul yang sekalian akan membawa air. Tepat pukul 16.30, aku pun tiba di Pos III, yaitu Pos Swanting.
nyampe di pos iii, swanting
Pos ini sangat idial untuk mendirikan tenda. Cukup luas. Bisa menampung sekitar 20 tenda. Kalau beruntung bisa menikmati keindahan sunset. Tapi pada saat ini, kami belum beruntung. Dekat dengan sumber air. Bila fisik dengan keadaan normal hanya membutuhkan waktu tempuh 5 menit. Tetapi bila tenaga sudah nyaris habis, maka butuh waktu yang lama. Kendati aku dan Enggar masih bisa terus menjaga komunikasi. Namun Enggar tidak muncul-muncul. Hingga tepat pukul 16.50, Enggar sampai di Pos III. Lega rasanya.
Segera kami mencari tempat tenda yang paling nyaman. Tidak menunda lama, kami dengan cepat mendirikannya, memasak, membuat api unggun, sambil menikmati lagu-lagu dari M3 Player. Tentunya, sambil terus ber-SMS ria dengan orang-orang tercinta.
Dengan demikian dapat kami katakan bahwa waktu yang kami butuhkan dari base camp sampai pos 3 adalah 6 jam. Namun kalau mau dirinci, sebenarnya yang kami butuhkan adalah:
1.      Base camp – Pos I, Lemba Lempong : 23 menit.
2.      Pos I – Pos II, Lemba Mitoh : 60 menit.
3.      Pos II – Selter Lemba Manding : 60 menit.
4.      Lemba Manding – Selter Dampo Awang : 30 menit.
5.      Dampo Awang – Pos III, Swanting : 30 menit.
            Jadi perjalanan kami sekitar 3 jam 23 menit. Waktu yang lainnya adalah untuk istirahat. Sebuah pendakian yang tergolong sangat-sangat santai.
            Hindangan malam telah siap. Kami pun makan malam dengan nikmat, yaitu kentang rebus dengan lauk istimewa. Hingga kami pun kekenyangan. Sekitar pukul 20.00, Enggar telah mendahului dengan dengkur. Sedangkan aku masih sibuk SMS-an dengan isteri tercinta sambil menikmati panorama malam yang indah luar biasa. Terang bulan (tgl 16/ bulan purnama-1) yang bersanding dengan taburan bintang. Angin manja, bukit dengan deretan sabana yang maha luas dan tarian pepohonan hutan. Serta di kejahuan terlihat kerlipan lampu-lampu kehidupan penduduk lintas daerah. Sungguh panorama yang ajib. Keren.
Malam masih berjaga. Tapat pukul 02.30, aku terjaga dan segera menyiapkan sarapan. Rencana pagi ini, kami akan attact summit sekitar pukul 03.30. Raga yang masih malas-malasan terpaksa menawar target. Akhirnya kami berangkat tepat pukul 04.00. Cuaca pagi ini didominasi badai yang lembut. Sesekali angin kencang dan membawa kabut tebal. Namun lebih seringnya mendapat cuaca yang bersahabat.
Indahnya panorama pegunungan saat fajar yang nampak remang-remang di bawah naungan cahaya purnama-1 menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan dengan seketika. Kami berdua bergerak cepat meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang samar. Setapak masih kecil, belum terlalu kentara. Untungnya setiap melewati pohon kantigi hampir selalu ada penanda berupa arah dari plat seng. Setiap kali melihat tanda itu kami yakini sebagai medan yang benar.
Medan jalur dari Pos III menuju Puncak didominasi oleh sabana dengan tetap menyusuri punggungan bukit. Menurut penduduk setempat punggungan bukit itu berjumlah 9. Menurut kepercayaan penduduk setempat legenda nama Kenteng Songo, sebagai puncak tertinggi Merbabu berasal dari jalur ini. Kenteng berarti bukit. Maka ada 9 bukit. Nama kentang songo berarti bukit yang kesembilan. Kami tidak banyak beristirahat dan membuang waktu. Target golden sunrise mesti tercapai. Kami hanya berhenti untuk mengatur nafas. Misalkan kami nekat berhenti lama, pasti akan kedinginan karena terpaan angin yang cukup kencang.
sabana merbabu swanting
Hingga akhirnya, tepat pukul 05.00 kami tiba di  puncak Triangulasi. Lima menit kemudian, kami tiba di puncak Kenteng Songo (3.145 Mdpl). Syukur Tuhan atas penyertaan-Mu. Di sini kami bertemu dengan beberapa pendaki yang nge-kem di puncak. Kami pun saling berbagi cerita. Persahabatn yang khas anak gunung.
menunggu sunrise merbabu
Keindahan alam saat gelap berganti terang bila dilihat dari ketinggian memang selalu luar biasa. Hanya ada decak kagum. Pagi ini tepat pukul 05.30 indah panorama sunrise menyambut kami. Hanya ada rasa syukur atas keindahan yang boleh kami nikmati dan alami. 
berdua kami sampai di puncak merbabu. sunrise
Pelan dan pasti, matahari bersinar dengan cerahnya. Mentari pagi ini, berhasil menghalau gumpalan awan hitam dan menyingkirkan kabut putih pegunungan. Aku dan Enggar bertekat untuk menikmati keindahan sabana sepanjang perjalanan turun. Segera setelah mentari bersinar dengan lantang, kami pun memutuskan untuk kembali mengayunkan langkah turun ke peradaban.
Sepanjang perjalanan melewati deretan sabana Merbabu via Swanting ini, hati hanya bergetar, terkagum-kagum, terpana dan terkesima. Hamparan sabana yang begitu luas membawa aku secara pribadi berimajinasi ke alam yang tidak terbahasakan. Sekitar 45 menit kami turun dan sampailah di tenda tercinta.
sabana merbabu swanting
sabana yg keren
Bernaung di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar tenda dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah pulang. Tepat pukul 08.30 kami meninggalkan Pos III. Melangkahkan kaki dengan keyakinan penuh bahwa sore ini kami akan segera bertemu dengan orang-orang yang senantiasa mencintai kami. Menyusuri setapak yang menurun-sempit, licin dan rapuh-mudah longsor, kami harus ekstra hati-hati.
tenda tercinta di pos iii swnating merbabu
Satu per satu selter telah terlewati. Hingga tepat satu jam, kami telah sampai di Pos II. Sekitar 30 menit kami beristirahat, sambil menikmati perbekalan yang masih buanyak. Perut yang terisi menjadikan tenaga pulih. Kembali kami pun melangkah. Sekitar 40 menit, kami telah tiba di Pos I. Kembali kami mencoba menghabiskan perbekalan. Namun apa daya, perut punya daya tamping maksimal. Hingga akhirnya kami putuskan untuk segera turun ke base camp. Beristirahat di sana lalu pulang ke rumah. Dari Pos I ke base camp membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Cukup singkat.
Adapun waktu tempuh perjalanan turun dari puncak sampai base camp adalah sebagai berikut:
1.      Puncak – Pos III, Swanting : 45 menit.
2.      Pos III – Pos II, Lemba Mitoh : 60 menit.
3.      Pos II – Pos I, Lemba Lempong : 40 menit.
4.      Pos I – Base Camp : 15 menit.
Jadi waktu tempuh yang dibutuhkan untuk perjalanan turun sekitar 2 jam 40 menit. Cukup singkat. Tetapi semua tergantung pada kemampuan fisik para pendakinya.
Sesampainya di base camp, kami disambut oleh pengelola. Ada penerimaan yang sangat bersahabat. Segelas teh telah menanti. Kami pun banyak bercakap, berbagi pengalaman. Mereka juga meminta masukan. Tujuannnya agar pengelolaan jalur ini semakin professional. Jalur ini akan masih banyak mengalami perubahan dan perbaikan. Sekitar 60 menit kami ngobrol. Lalu kami pun berpamitan untuk meneruskan perjalanan. Meliuk kembali motorku di jalan beraspal dan tepat pukul 14.00, aku telah kembali tiba di rumah. Saatnya beristirahat, memulihkan tenaga. Agar besok bisa kembali bekerja dengan segar. Terimakasih Merbabu via Swanting, setapakmu telah mengajari banyak hal tetnag arti hidup dan cara mengisinya. Semoga ada waktu untuk kembali belajar pada setapak yang sama.




[1] Harianku aktif sebagai karyawan. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta Solo. Maka untuk terus bisa menyalurkan hobi mendaki gunung, biasanya aku lakukan di gunung-gunung yang terjangkau (maksudnya adalah dekat dengan kota Solo dan dapat dicapai dengan waktu tempuh hari Sabtu-Minggu). Oleh karena itu gunung yang paling sering aku daki adalah Lawu, Merapi dan Merbabu.
[2] Waktu aku di sana ada satu pendaki yang tersesat, dan pihak pengelola dengan cekatan langsung menyusur kembali dan berjuang untuk segera menemukan. Pada waktu itu, tengah malam pendaki yang tersesat karena salah jalur sudah ditemukan.
[3] Pada jalur ini, banyak nama pos dan selter yang menggunakan nama “Lemba”, saya tidak sempat menanyakan apa yang dimaksud dengan “Lemba”. Apakah itu maksudnya Lembah (karena salah penulisan) ataukah istilah khas dari dukuh ini.
[4] Menapaki jalur Merbabu via Swanting ini, mengingatkanku pada jalur Rinjani via Sembalun, yaitu tujuh bukit penyesalan. Trek yang naik terus, tanpa bonus. Dengan medan licin, hutan lebat yang membutuhkan tenaga ekstra.

Jumat, 03 April 2015

cople-touring: jelajah pantai Pacitan. Wonogiri dan Gunung Kidul Yogjakarta

SUSUR PANTAI: LANGKAH AWAL DI TAHUN 2015
Oleh: Heri

Terlalu rapuh ingatan dan memori kepala ini untuk mengenang seluruh kisah hidup. Sebelum lenyap dikurung tumpukan peristiwa baru, kuingin munculkan dan hadirkan kembali salah satu kisah hidupku itu. Pengalaman sederhana dan tidak heroik. Sebuah kisah dalam upaya untuk mengisi hidup, memaknainya serta mensyukurinya.
Pada mulanya adalah rasa penasaran. Kemudian merambat dan berhasil  membangkitkan rasa ingin. Penasaran dengan cerita tentang indahnya alam, khususnya pesisir bumi Pacitan. Walau untuk beberapa tempat pernah aku lihat dan nikmati. Namun, tumpukan waktu membuatku pudar untuk mengenang. Maka kuingin kembali mencumbunya sekaligus menambah pesona baru yang akan mengerak dalam ingatan.
Telah lama aku dan isteriku menginginkan untuk bisa solo-touring sambil nge-camp dan tentunya bernuansa petualangan, penjelajahan di tanah yang belum pernah kami pijak. Maka, diawal tahun 2015 ini, niat kami akan menjadi kenyataan.
Pagi menjelang setelah malas mengayun waktu dan membuyarkan mimpi. Jumat, 02 Januari 2015 tepat pukul 05.00, kami pun terjaga dan bangun dengan semangat. Rencana awal akan memulai kisah sebelum mentari terjaga. Namun, karena cuaca yang mendung dan malam berguyur hujan menjadikan tidur selalu menawar untuk tidak diganggu.
Tekat telah bulat. Kendati ada rasa malas. Namun niat harus menjadi kenyataan. Hari ini, tepat pukul 07.00 kami meninggalkan rumah untuk mendulang kisah hidup. Motor kesangan, bekal perlengkapan telah siap. Kami juga membawa alat masak, tenda dan beberapa baju ganti beserta perlengkapan tidur.
Inilah petualangan. Kisah couple-rider atau mungkin lebih tepat sebagai kisah couple-adventure.
 Sepanjang malam hujan tiada berkesudahan. Hingga sisa genangan air masih memenuhi beberapa ruas jalan. Meliuk motor meninggalkan Solo dan menuju Wonogiri. Mendung kembali menggulung hitam. Rasa was-was menyelimuti hati. Cuaca kurang mendukung. Rintik hujan pelan dan pasti mulai berderai. Aku mengambil sisi positifnya yaitu suasana menjadi teduh. Tidak panas.
Kota Wonogiri berlalu. Tujuan pertama adalah Gomar Giriwoyo. Melandasi petualangan dengan kekuatan rohani kiranya penting. Menziarahi hidup mesti dilingkupi dengan suasana doa dan religi. Tepat jam 09.00, kami pun sampai. Berdoa dan sejenak istirahat.
gomar Ratu Kenya Giriwoyo Wonogiri
Perut memberontak untuk diisi. Aku bersama isteri sambil melaju mencari warung. Namun yang dicari tidaklah mudah ditemukan. Warung sederhana pun ketemu. Pesan makanan. Masih hangat. Saat menikmati makan sederhana, hujanpun turun dengan lebatnya.
Sambil menunggu hujan reda, aku pikir sekalian istirahat dan mencari informasi tentang beberapa lokasi yang akan kami kunjungi.
peta wisata Pacitan Lengkap
10 tahun yang lalu aku memang telah bercengkerama dengan keindahan Goa Tabuhan juga Goa Gong, Pacitan.  Namun, ingatanku mulai samar. Apa lagi waktu itu aku hanya menumpang. Sekarang harus mengemudi.
Petualanganku tidaklah petualangan ala anak-anak modern yang lengkap dengan GPS. Mulutku adalah navigator. Maka informasi manual menjadi sangat penting. Bagiku keberanian bertanya untuk menggali informasi terkait dengan tempat-tempat yang asing adalah cara untuk membuka hati, adalah cara untuk berkomunikasi dan membangun relasi dengan orang lain.
Beberapa penggalan informasi itu memantapkan tekatku untuk yakin akan menemukan tujuan. Meninggalkan Giriwoyo. Menyususri kelokan jalan yang lebar dengan tanjakan yang mantap. Menjadi penghiburan tersendiri bagi seorang rider. Ada kepuasan yang tidak terbahasakan. Sekitar 40 menit akhirnya kami menemukan perhentian ke-dua yaitu Goa Tabuhan.
Kami pun disambut oleh para guide yang siap memandu dengan hoinor suka rela. Penjual jasa lampu penerangan juga bertebaran. Mereka ramah menyapa. Tetapi aku bersama isteriku telah menyiapkan segalanya. Hingga kami pun menolak dengan cara bijak. Tidak menyinggung dan tetap menghormati. Pada waktu itu kami bersamaan dengan rombongan wisata lain sehingga aku dan isteriku bisa ikut menikmati alunan lagu campur sari dengan musik yang khas, yaitu perkusi dari benjolan-benjolan dinding goa yang dipukul dan menimbulkan bunyi/ suara yang sama persis dengan alat musik gamelan. Pada waktu itu tarif untuk lima lagu sebesar Rp 150. 000.
goa Tabuhan Pacitan
Setelah puas dengan  keindahan serta keunikan Goa Tabuhan, kami melanjutkan perziarahan untuk menemukan perhentian ke-tiga, yaitu Goa Gong. Goa terindah dan terbesar seasia tenggara. Kami tinggal mengikuti jalan yang sudah ada papan penunjuknya. Sekitar 20 menit dari Goa Tabuhan, kami pun menemukan tujuan ke-tiga.
Saatnya menimati indahnya ukiran alam, indahnya pesona pahatan Sang Pencipta. Amazing.
di dlm Goa Gong Pacitan
Setelah mata terpuaskan karena terpesona dengan guratan dinding goa, kami pun meneruskan kisah. Kembali motor meliuk menyususri jalanan. Lancar. Jalanan lebar dengan aspal yang sempurna. Akses untuk lintas propinsi, aku berpikir demikian. Namuan, kemudahan itu tidak berlangsung lama. Pembangunan infrastruktur untuk menjual pesona Pacitan memang baru digalakan. Proyek pelebaran jalan belum usai. Hingga kami pun bertemu dan harus menikmati perjalanan dengan menyusuri jalanan penuh tikungan, tanjakan, turunan dengan lobang menganga di mana-mana. Harus ekstra hati-hati.
Tujuan berikutnya adalah pantai Klayar. Kami akan bermalam di sana, sambil menikmati pesona sunset pantai. Namun harapan itu harus tertunda. Akses menuju ke sana masih sempit. Di dukung dengan musim liburan akhir tahun. Sehingga pengunjung pun membludak. Antrian mengular panjang. Hal ini akan membuka pintu rejeki untuk penduduk setempat. Sekitar tiga km antrian itu. Tangan dan kakiku mulai kecapaian. Tangan kiri yang harus memainkan kopling mendadak kram. Hingga kami pun memutuskan untuk putar balik, mencari sajian alam lainnya.
Keadaan jalan masih sama, kecil, penuh lubang, tikungan, tanjakan dan turunan. Yang patut disyukuri adalah adanya keterlibatan penduduk setempat mengatur dan memberi tanda pada tiap sudut jalan yang berbahaya. Pemerintah setempat terlihat sangat peduli dengan keselamatan pengunjung. Mereka juga tidak menyodorkan kotak-kotak amal. Sehingga pengunjung sungguh merasa diperhatikan. Bukan dimanfaatkan.
Wisata pantai Pacitan buatku masih asing. Menurut informasi pantai terdekat sebagai alternatif adalah Srau. Kami putuskan ke sana. Namun, kami harus memutar jauh. Melewati kota Pacitan. Kami diberi tahu ada jalan pintas. Cukup pendek tetapi sangat berbahaya. Kami pun memutuskan untuk memilih jalur itu. Supaya perjalanan makin cepat. Kami menembus hutan dengan keadaan jalan yang sepi penuh lobang, tanjakan dan turunan yang wau, mengerikan. Kewaspadaan mutlak harus diberlakukan.
Sempat kami tersesat. GPS manual pun harus dioperasikan, yaitu tanya sana-tanya sini. Setelah lama bergulat dengan ketegangan, kecemasan dan ketidak tahuan. Akhirnya kami menemukan titik terang setelah ada papan penunjuk jalan. Kelegaan hati diperkuat dengan adanya jalan beraspal bagus. Suasana pantai mulai terasa. Kesegaran udara perbukitan, hutan dan udara laut sungguh membuka hati. Ada kegembiraan, ada kedamaian, ada kepuasaan, ada pula kebangaan dan tentunya ada kebahagiaan.
Semangat makin menggelora. Tanda-tanda tujuan kian mendekat. Usai membayar retribusi kamipun segera menuju tempat parkir. Agak membingungkan, karena pantai Srau berbeda dengan pantai pada umumnya. Satu lokasi dengan tiga tempat. Masing-masing menyuguhkan pesona yang berbeda. Pantai paling timur adalah tempat ternyaman untuk menunggu dan menikmati sunrise. Tentunya sambil melihat para nelayan kembali pulang dengan hasil tangkapannya. Di sepanjang bibir pantai yang berbatu karang ada banyak pemancing. Ini menjadi pemandangan yang unik. Tangkapan mereka besar-besar. Menjadi pesona yang asik.
Pantai kedua menyediakan area ombak yang dahsyat dengan pasir putihnya. Sangat cocok untuk mandi dan bermain air laut. Sedangkan pantai yang ketiga sangat cocok untuk menikmati pesoan sunset. Satu tempat dengan tiga pesona. Kami pun memutuskan untuk bermalam di pantai ini. Sekalian istirahat. Karena memang raga telah lelah setelah sekian lama diguncang jalanan.
Tepat jam 14.00 kami tiba di Srau. Masih ada beberapa warung yang buka. Segera kami pun merapat. Sambil mendulang energi kami pun juga mengais informasi tentang situasi, keadaan pantai dan banyak hal terkait dengan budaya serta kebiasaan penduduk setempat. Pantai masih sepi. Tidak banyak pengunjung. Tidak ada tanda-tanda yang akan bermalam di sini. Yang paling banyak adalah para pemancing.
Kami menikmati pantai sepuas-puasnya. Menimati suasana yang luar biasa. Sore menjelang, kami pun segera merapat ke sisi barat untuk menyambut indahnya semburat cakrawala kuning keemasan. Hanya ada decak kagum. Syukur Tuhan atas pengalaman luar biasa ini.
suasana sunset di Srau Pacitan
Sebelum malam menutup sinar. Kami segera mencari lokasi guna mendirikan tenda. Aku berpikir malam ini akan turun hujan karena memang musimnya. Pantai menjadi sangat lengang. Hanya aku dan isteriku yang bermalam dan mendirikan tenda. Tidak ada pengunjung lain. Namun, dikejauhan masih terlihat para pemancing. Hati menjadi tenang. Walau kandang menjadi ciut nyali.
Bayangkan aku dan isteriku berada di tempat baru. Tidak punya kenalan apa lagi saudara. Di bibir pantai, sepi, tidak ada manusia lain.
Setelah sepi malam kian merangkak. Mendung yang awalnya menggulung hitam, perlahan mulai hilang. Suasana dan cuaca berganti benderang. Cahaya bulan purnama menerangi dan menemani. Hingga kami pun keluar tenda untuk menikmati malam.
Segera kami keluarkan bekal. Memasak. Membuat menu spesial dan minuman luar biasa. Musik dari radio mengiringi kegembiraan hati. Suasana alam yang harmoni menghiasi suasana hati. Bintang-bintang bertaburan bertengger bersama rembulan menyinari lautan. Sehingga kami pun makin terbuai dengan indahnya karya Sang Pencipta. Dalam keadaan yang seperti ini, sekitar pukul 22.00 para pengunjung mulai berdatangan. Walau mereka tidak menginap. Namun cukup memberi kekuatan untuk bertahan dalam dekapan pantai Srau.
Isteriku pamit untuk istirahat duluan. Sedangkan aku masih bertahan untuk menikmati malam. Suasana yang luar biasa, angin laut malam  yang sejuk membuai ragaku menembus sukmaku untuk bertemu dengan hening hati. Hingga rasa syukur terus berkumandang dalam sanubari yang tak selalu jernih.
Sekitar jam 02.00, mata tak lagi kuat menjadi jendela ingin. Kelelahan raga tak mampu bertahan menopang hasrat untuk terus bercengkerama dengan alam. Aku pun menyusul masuk tenda, rebah dan pulas. Seuntai doa masih sempat kurangkaikan berharap  esok kembali bersiaga dengan segar.
Fajar pun menyingsing. Geliat kehidupan beranjak untuk menyongsong hari. Semburat merah di ufuk timur memberi harap untuk disambut dengan segar cahaya emas. Segera kubangunkan isteriku. Cahaya langit masih malu-malu. Hingga hanya temaram fajar yang terlihat.
Kenapa dibangunkan?
Katanya mau liat sunrise.
Mana?
Tadi udah ada tanda-tandanya kok.
Langit Srau tidak mengijinkan kami menikmati keindahan alamnya. Mendadak mendung dan tidak menunggu waktu kemudian menjadi rintik hujan. Kembali kami pun masuk tenda. Tidur lagi.
Keceriaan alam tidak juga datang. Walau begitu kami masih bersyukur karena matahari tidak muncul sehingga panasnya tidak terlalu menyengat. Hingga kami pun leluasa untuk bermain ombak dan menyusuri pantai. Kami pun bertemu dengan para nelayan yang spesialis menangkap lobster. Mereka bercerita bahwa harga satu kilo lobster kwalitas super bisa mencapai Rp 450. 000. Harga yang lumayan mahal. Niat hati untuk membeli pun urung seketika.
Setelah puas menikmati segarnya air laut di pantai Srau. Kami pun membuat menu ala kadarnya. Sarapan. Bongkar tenda. Packing. Dan melanjutkan kisah.

Tepat pukul 09.00 kami bergerak menuju petualangan berikutnya. Trimakasih Srau, indahmu telah memudarkan kejenuhan hidup.
Medan masih sama. Penuh dengan tanjakan, turunan, tikungan dan yang  paling seram adalah jalanan penuh lobang. Itu pun di tengah hutan. Mantap.
Menurut informasi pantai yang terdekat dari Srau adalah pantai Watu Karung, yaitu pantai landai dengan pasir putihnya. Namun ombaknya cukup menantang. Sehingga banyak atlit surfing yang berlatih serta menghabiskan waktu di sini. Kami pun melaju berburu. Namun kami tidak juga menemukan. Hingga kami pun menyadari bahwa kami tersesat cukup jauh.
Tidak selamanya jalan yang salah membawa keburukan. Kami secara tidak sengaja menemukan resort yang dimiliki serta dikelola orang asing. Sungguh mereka terlalu cerdas untuk bisa menimati keindahan alam. Di resort itu aku juga isteriku terasa masuk dalam dunia penjajahan baru. Hanya bisa menikmati dari ketinggian bukit. Sedangkan orang-orang asing itu dengan leluasa menikmati deburan ombak pantai.
Lalu kami pun memutar haluan. Sekitar 15 menit pantai Watu karung yang oleh penduduk setempat disebut sebagai pantai pasir putih dapat kami temukan. Sambil beristirahat kami pun menikmati indah deburan ombak pantai. Sambil melihat orang-orang asing bermain surfing. Orang Indonesia yang punya pantai cukup menjadi penonton saja. Termasuk aku juga isteriku.
keindahan pantai Watu Karung Pacitan
Badan terasa segar dan tenggorokanpun telah dibasahi air kelapa muda. Kami segera bergegas mendulang kisah. Ingin hati kami tetap untuk bisa menikmati keindahan pantai Klayar beserta legenda seruling lautnya. Namun apa daya, antrian hari ini ternyata lebih panjang dari hari yang lalu.
Menukar ingin itu dengan berganti destinasi kiranya bukan sesuatu yang salah. Kami pun memutuskan untuk menuju pantai Buyutan. Medan perjalanan masih sama. Penuh dengan tantangan. Di penghujung perjalanan kami disuguhi indah panorama persawahan. Sedangkan di ujung batas cakrawala, kami bisa melihat biru laut yang membentang. Sungguh sambutan yang menenteramkan hati.
 
habis disambut indahnya persawahan lalu disuguhi birunya lautan, pantai Buyutan

Deburan tingginya ombak terlihat jelas dengan gagah. Bibir pantai tepat berada di atas ketinggian. Sehingga pengunjung seolah-olah berdiri gagah di ujung jurang terjal. Lalu kami pun turun ke bawah. Panorama yang luar biasa indahnya. Bentangan pasir putih yang begitu luas dengan hiasan karang-karang yang berdiri gagah. Di pantai ini aku merasa berada dalam negeri dongeng. Beberapa batu karang berdiri tegak seperti tiang-tiang raksasa. Gagah menantang ganas ombak lautan.
menikmati indahnya pantai Buyutan Pacitan
Setelah cukup lama terpana dengan imajinasi yang muncul secara sepontan. Kami pun melanjutkan kisah. Kembali motor melaju pelan, menyusuri kelokan jalanan terjal dan berlobang. Namun lebatnya pepohonan mampu menyembunyikan ganas sinar mentari. Kami pun tiba di pantai Banyu Tibo.
Banyu Tibo secara harafiah dapat dipahami sebagai air jatuh. Dapat dibilang air terjun tetapi pendek dan kecil. Pantai ini sebenarnya merupakan muara dari sungai kecil. Namun, jatuhnya air sungai itu tepat di bibir pantai yang berbentuk jurang. Ketinggian jurang hanya sekitar 10 meter. Tidak terlalu tinggi. Secara pribadi aku juga tidak terlalu tertarik dengan panorama di pantai ini. Tetapi bagi mereka yang suka dengan deburan ombak yang menggulung tinggi. Di sini lah tempatnya. Aku pun sempat terpukau dengan ketinggian ombak yang ganas menghajar karang.
tu yg di sana yg namanya pantai banyu tibo pacitan
Mentari kian terik menghajar kulit. Segera aku dan isteriku bergegas untuk melanjutkan petualangan. Rencana dan target berikutnya adalah bermalam di pantai Sadeng Yogjakarta. Sekitar jam 14.00, kami meninggalkan Banyu Tibo.
Perhentian selanjutnya adalah pantai Nampu Wonogiri. Musim liburan ini memang sungguh luar biasa. Di setiap tempat wisata, khususnya pantai, semuanya ramai oleh pengunjung. Di pantai ini, pengunnung membludak. Aku pun menyempatkan diri untuk turun dan menikmatinya. Kesan pribadi, bahwa pantai ini tidak terlalu jernih. Berbeda dengan pantai-pantai Pacitan yang teramat jernih. Di pantai ini agak sedikit keruh. Walau memiliki panorama yang ajib indah.
menikmati indahnya pantai Nampu Wonogiri
Suasana sore kian merangkak. Niat hati untuk segera bermalam karena raga memang telah lelah. Jalanan mulai berbeda. Di kawasan Pacitan jalannya adalah yang paling rusak. Menginjak daerah Wonogiri, jalanan mulai membaik. Tetapi ketika roda motor menggelinding di jalanan wilayah Jogja. Keadaan teramat berbeda. Jalanan sangat halus dan lebar. Asik untuk menikmati petualangan ala biker sejati.
Sekitar pukul 16.30, kami tiba di Pantai Sadeng. Pantai paling timur dari wilayah Jogja. Pantai ini merupakan tempat pelelangan ikan. Tidak mengherankan kalau baunya tidak terlalu segar di tenggorokan. Menurut informasi, pantai ini hanya memiliki sedikit ruang untuk mendirikan tenda. Itu pun hanya di area parkir. Kami pun berpikir. Kiranya untuk bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman dalam dekapan suasana pantai, harus berganti haluan.
isteriku sedang terkesima dg keindahan pantai Sadeng Wonosari Jogja
Sembari menikmati harmoni alam yang teramat indah, lidah dan bibir disegarkan dengan menu laut. Kami pun menemukan ide, Pantai Wedi Ombo. Kan kita pernah punya cerita di pantai ini. Usai menikmati panorama sunset di Sadeng dengan menikmati makan khas pantai. Hingga raga pun kembali segar. Dan gairah untuk melanjutkan perjalan kembali bergelora. Cahaya senja masih remang. Jalanan nan sepi namun aman menjadikan kami menyakini bahwa perjalanan ini akan lancar. Tujuan kami berikutnya yaitu pantai Wedi Ombo.
Sesuai dengan namanya Wedi Ombo yang berarti pasir luas. Pantai ini memang memiliki bibir pantai yang membentang cukup luas. Ada berbagai karakter ombak. Dari yang ganas menggulung-gulung hingga landai-tenang. Sebenarnya aku dan isteriku pernah bermalam di pantai ini. Pengalaman yang telah mengajari bahwa di pantai ini sangat cocok untuk memanjakan raga, rebah dalam peristirahatan.
Malam telah merangkak. Tenda telah berdiri. Tidak banyak pengunjung. Agak sepi. Segera kami pun menyiapkan menu makan malam. Perut harus diisi agar esok tak berontak dan tentunya sebagai usaha untuk mendulang energi. Raga yang sempoyongan segera minta untuk diistirahatkan. Hasrat ingin menikmati suasana malam pantai. Namun, alam berpihak pada lelahku. Mendadak mendung menggulung, menghitam. Akhirnya hujan turun dengan renyah. Lalu mata tidak lagi bertahan untuk terbuka. Lelap raga. Lelap hati dan jiwa.
Pagi menjelang. Segera aku bangun. Begitu pula dengan isteriku. Bergegas kami menyusuri pantai. Di ujung bagian barat, ada bagian pantai yang terlindung dan sangat cocok untuk bermain air, mandi dan renang. Kami berdua merasa pantai ini seolah menjadi milik kami berdua. Private beach.
Setelah puas menghayutkan dan meruntuhkan kepenatan hidup dengan segala kompleksitasnya. Segera kami pun ganti baju, bilas, membuat sarapan, makan pagi, bongkar tenda. Kembali packing untuk meneruskan petualangan. Hari ini tujuan kami hanya satu pulang ke rumah tercinta. Sekitar pukul 09.00 kami pun melaju di atas kuda besi tercinta. Motor meliuk, meraung perkasa.
ni yg namanya pantai wedi ombo jogja. keren to
Mengikuti papan penunjuk jalan. Kami pun menuju Pracimantoro, Wonogiri yang merupakan rute terdekat. Selepas Pracimantoro, kami melewati samping waduk Gajah Mungkur. Kesampaian juga aku melewatinya. Sejenak kami pun beristirahat sambil menikmati indah waduk ini. Tidak lupa kami membeli oleh-oleh berupa wader goreng. Setelah penat berlalu dari raga, kembali kami melaju. Hingga tepat pukul 11.30, kami tiba di rumah. Tiba di Solo dengan selamat, aman dan sentosa.
Peziarahan ini, tercatat dalam angka trip sepeda motorku sejauh 338 km. maka peziarahan ini aku namakan “menyegarkan cinta yang mulai usang sejauh 338 km”. sepanjang peziarahan itu yang aku lewati dengan santai selama 3 hari 2 malam telah banyak mendidik hidupku. Dengan touring itu aku menjadi semakin mengerti batas kemampuanku, kekuatanku juga ketidak-berdayaanku. Selain itu, aku juga semakin mengenal sisi lain dari pribadi isteriku. Ada banyak hal yang muncul dari peziarahan ini. Sehingga kami saling mengenal, mengerti dan memahami.
Dengan kisah sederhana ini, kami membulatkan tekat untu semakin berani saling mengisi hidup. Yang artinya kami akan saling memberi dan menerima, yaitu dua hal yang menyatu dalam setiap pribadi, kelebihan sekaligus kelemahannya. Besar harapan kami dengan adanya peziarahan ini, kami semakin bisa mencintai hingga hidup kami semakin diwarnai dengan kedamiaan, kebahagiaan dan sukacita. Semoga.