MERINDUKANMU
EDELWEIS MERAHKU
Oleh: Heri
“Kuingin
menggali kuburmu agar aku dapat mencumbu indah parasmu”, gumanku menutup malam
itu.
Tiga
hari telah meninggalkan purnama. Tiga hari pula cuaca mendadak menjadi
bersahabat. Musim yang tidak lagi berirama telah mendendangkan kemarau penuh
hujan lebat. Musim panas yang biasanya ditandai dengan terik kini berganti
dengan rintik air. Matahari lebih banyak bersembunyi dan berganti dengan
gemuruh angin yang membawa lebat hujan. Adanya hal ini menyebabkan bingung.
Banyak rencana yang memaksa batal juga gagal.
Pertengahan bulan Juli yang biasanya diwarnai
dengan kilatan cahaya mentari yang memantul panas dan saat surya terjaga rasa
dingin menembus sumsum menghilang dari tradisinya. Namun, tiga hari ini cuaca
ingin pulang. Bulat purnama yang kian
tipis bersama dengan taburan bintang malam nampak indah. Semilirnya angin malam
yang mendinginkan penat raga juga lelah hati melambungkan ingatanku. Musim
kemarau yang standar selalu membangunkan pesona bunga keabadian. Pucuk-pucuk
ranting edelweiss berganti dengan indah bunganya. Perhatianku tertuju dengan
kenangan akan indah bunga edelweiss merah yang tidak setiap saat bisa dijumpa.
Menurut cerita dan dari pengalaman pendakian yang pernah kulakukan, aku baru
satu kali menemuinya dan itu hanya di gunung Lawu.
Taburan
bintang malam yang mempercantik paras terang bulan membulatkan tekatku
untuk kembali menemui edelweiss itu. “Ia
mencintaiku, ia setia menungguku dan akupun begitu. Semoga lentera alam
menemukan ikatan hati, mengakhiri rindu dan kembali membangun rasa itu”.
“Mas,
sudah malam. Anginnya kencang. Masuk rumah. Istirahat”, suara isteriku dari
dalam rumah yang membuyarkan nostalgia. Dengan tenang aku pun masuk rumah.
Penat raga yang lelah karena disibukan dengan rutinitas pekerjaan segera
meminta untuk diistirahatkan.
Permulaan
aktifitas sekolah di tiap tahunnya sering diwarnai dengan kebingungan identitas.
Gejolak hati karena perubahan dalam banyak hal menjadi penyebabnya. Susunan
kelas yang berubah, teman baru yang masih asing menggantikan teman lama yang
telah menjadi sahabat seperasaan dan seperjuangan. Kini hal-hal yang telah
mapan, nyaman dan menyenangkan harus berganti dengan atmosfir yang belum pasti.
Keadaan ini diperparah dengan tuntutan materi pelajaran yang tingkat
kerumitannya lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai
seorang pendidik, aku menyadari keadaan ini. Oleh karena itu aku pun berjuang
untuk tidak ikut tertekan tetapi berusaha membesarkan hati anak-anak didikku.
Aku memiliki banyak cara untuk hal itu, salah satunya dengan menjadi sahabat.
Berarti aku akan banyak meluangkan waktu membangun kebersamaan dengan mereka.
Dan yang paling sering kulakukan adalah mengajak anak-anak untuk belajar
melalui alam. Sebulan sekali kuagendakan untuk melakukan kegiatan alam bebas,
terutama mendaki gunung.
Di
sekolah, tempat aku menemukan gembira dan membagi bahagia, anak-anak mengenalku
dengan identitas pendaki. Sehingga tiap kali ada kesempatan untuk ngobrol, mereka
selalu melontarkan satu pertanyaan wajib, “Pak, kapan ndakinya? Ikutan ya”.
Kamis,
25 Juli 2013, saat raga diujung daya, kutulis sekelumit kata di status facebook, group “Pengagum Alam”, “Menabur racun: di balik temaram cahaya
rembulan yang tidak lagi bulat, mari kita sambut kilau sunrise di ketinggian
Hargo Dumilah, Lawu via Cemorosewu pada Sabtu, 27 dan pulang menyisir
Cemorokandang untuk menikmati harum serta indah edelweiss warna merah”.
Lalu kulelapkan sukmaku untuk mendulang energi agar esok bisa beraktifitas
kembali, menggeluti yang rutin dan pasti.
Bel
berbunyi dengan segera anak-anak berhamburan, berebut cepat meninggalkan
sekolah. Aku biasa menunggu, anak-anak berlalu untuk mengurangi gerbang
berjubel. Tinggal beberapa anak yang tersisa di teras skolah. Mereka nampak
asik menikmati fasilitas hotspot.
Itulah dunia mereka. Kulangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah menuju tempat
parkir. Anak-anak berebut sapa untuk membuktikan bahwa mereka peduli dan
memiliki perhatian. “Ayo pulang. Istirahat”, balasku menyambut gembira sapa
mereka.
“Pak,
besok mau ke Lawu ya? Ikut ya pak”, Tanya Willy.
“Iya.
Kamu koordinir teman-teman lain yang mau gabung ya”, jawabku ringan sekaligus
menegaskan bahwa kegiatan ini mesti direncanakan kendati sudah biasa.
“Rencana
berangkat jam berapa?”
“Kalau
tidak ada ceweknya kita berangkat jam 19.00 dari rumahku. Tetapi kalau ada
teman cewek yang gabung, kita berangkat jam 16.00. Lihat situasilah. Berani
to!”.
“Siap
pak”.
Sabtu
adalah hari dipenghujung minggu, tidak mengherankan kalau hari ini adalah hari
yang paling membosankan. Tidak ada gairah. Terasa lesu. Sisa tenaga dan
semangat tidak lagi berdaya menggelorakan gairah untuk menikmati keadaan.
Situasi ini juga meracuni dan mewabah di sekolahku. Saat aktifitas belajar
mengajar, kutemukan wajah-wajah mendung dan sedikit yang masih berseri. Para
guru yang lain pun begitu. Aku juga begitu. Buatku hari Sabtu adalah hari yang
paling berat, tugas mengajar delapan jam penuh. Harusnya aku tidak begitu
karena hari-hari yang kulewati, sedikitnya enam jam aku mengajar perharinya. Ya
17 kelas, 34 jam dan masih diberi tanggungjawab yang lain. Sehingga jamku genap
40 jam perminggunya.
Hari
yang berat telah berakhir saat bel sekolah terdengar pada menit 12.50, berarti
kemerdekaan telah di depan mata. Kulihat Willy dan Zafnat telah menunggu, “Pak
entar sore ada enam anak yang mau gabung. Semuanya cowok”.
“Diatur
aja. Siapa bonceng siapa ya. Trus jangan lupa bawa uang secukupnya hehe”.
“Beres
Pak. Jam tujuh kita start jalan dari
rumah bapak to?”
“Yup.
Aku tunggu ya”.
“Siap
Pak”.
Kulangkahkan
kaki dengan segera agar aku lekjas sampai rumah. Istirahat. Tidur secukupnya. Packing dan siap berangkat. Sesampai di
rumah isteriku telah menunggu. Omong-omong sebentar untuk sekedar menikmati
perubahan aktifitas. Kumatikan Hp. Aku dan isteriku pun lelap guna menumpuk
tenaga karena pertarungan dengan diri akan segera tiba.
Pad
waktu 18.00 jam wekerku pun berdendang, melakukan tugas pokoknya. Aku terjaga
dan segera kubuka Hp agar segenap aktifitas dan persiapan anak-anak dapat aku
kontrol. Kubangunkan isteriku selepas aku mandi. Kukemasi peralatan safety dasar,dan yang tidak boleh
ketinggalan adalah logistik. Dalam sibukku mengepak dan mengatur semua perlengkapan
dan perbekalan agar bisa masuk kedalam satu tas, tiba-tiba Hp ku berbunyi, SMS
masuk. Segera kubuka, nomor baru, “Pk
Heri, aq gk tau rmh bpk. Harda”.
“Peserta
baru”, aku berpikir demikian. Tidak kubuang waktu aku langsung menghubungi
Willy selaku koordinator dari ana-anak. Kutanyakan apakah Harda sudah
menghubungi kalau mau ikut gabung. “Blom
pk”, balasan SMS dari Willy. Dengan sigap kukirim SMS ke Harda, “Qm k skul ae. Entr da anak yopal yg akn
jemput”.
Jam
19.00, keenam anak yang mau gabung telah tiba di depan rumah. Mereka adalah
Willy, Zafnat, Jovan, Jonathan, Andre dan Niko. Aku dan isteriku segera
mempersilahkan mereka masuk ke rumah. Kusapa satu persatu dan segera kuminta
Willy untuk menjemput satu teman yang menunggu di sekolah. Jarak rumahku ke
sekolah hanya membutuhkan waktu 10 menit. Bergegas Willy ditemani Jovan
meluncur untuk menemukan Harda.
20
menit meninggalkan jam tujuh malam, kami bersembilan akhirnya dapat berkumpul
bersama. Usai breafing sebentar,
petualangan pun siap dimulai. Tepat pukul 19.30 kami meninggalkan rumah dan
menuju base camp Cemorosewu untuk
selanjutnya mengejar sunrise di
puncak Lawu.
Meliuk
lima motor menembus pekat dan gelapnya malam. Beriringan dalam kebersamaan
untuk saling mendukung mengejar selamat.
Aku menjadi leader dalam petualangan
ini. Kubuka jalan ketika kendaraan padat memenuhi jalanan. Hingga kami terus
dapat bersama. Rombongan kian jauh meninggalkan Solo dan telah meliuk di
turunan dan tanjakan Tawangmangu. Biasanya jalanan di sini ramai, apa lagi
malam minggu banyak anak muda yang menikmati malamnya di daerah ini. Tetapi
kali ini nampak lengang sehingga perjalanpun menjadi lancar.
Kegembiraan
yang memenuhi hati kami ternyata tidak mampu bertahan lama, karena sekitar
Cemorosewu yang biasanya banyak penduduk menyediakan rumah sebagaitempat parkir
ikutan lengang. Rumah-rumah sudah tutup. Dari satu rumah kami mengetuk rumah
lainnya. Tetapi tidak ada jawaban. Kami pun gelisah, “Motor mau ditaruh mana?”
Masih
ada harapan rumah Mbok Yem, rumah yang menjadi langganan anak-anak Yopala bila
mengadakan pendakian. Tetapi keadaan rumah ini pun sama dengan rumah yang
lainnya. Kami lebih berani mengetuk tepatnya menggedor karena kami merasa telah
akrab. Tetapi yang ditunggu dan diharapkan tidak juga muncul. Hati makin
gelisah. Hingga akhirnya perut yang menunggu untuk diisi memberi isyarat agar
cepat diperhatikan.
Di
penghujung jalan dekat gerbang pendakian, kami merapat untuk membeli sesuap
nasi. Keberuntungan ada pada kami, ternyata ibu ini memiliki saudara yang
rumahnya lumayan luas untuk memarkir motor-motor kami. Segera ibu itu
menghantar. Kami merasa sangat senang dan bersyukur karena satu persoalan telah
terselesaikan. Lahap kami menikmati hidangan. Sendau-gurau dan canda-tawa
mewarnai kebersamaan dan persaudaraan ini.
Malam
makin larut. Udara semakin berani menusuk tulang. Dingin terasa. Tidak seperti
biasanya, Lawu tidak pernah sepi pengunjung. Setiap malam liburan, Lawu adalah
gunung favorit pendakian. Tetapi kali ini beda. Sangat sepi bahkan lengang.
Walau begitu kami masih melihat satu
rombongan pendaki, yang berjumlah tiga. Mereka juga dari Solo. “Lumayan, masih
ada teman. Mungkin Lawu berpihak pada rombongan kami, agar kami leluasa untuk
bercumbu dengannya”.
Mengibarkan
asa untuk menggapai puncak Hargo Dumilah dalam siraman sinar mentari pagi,
menjadi penyemangat langkah kami. Pada titik 22.50, ayunan kaki meninggalkan base camp. Suasana kebersamaan diwarnai
dengan kegembiraan sehingga langkah kaki terasa sangat ringan. Hingga nafas
yang harusnya memburu tidak terasakan. Terlalu bersemangat aku piker begitu.
Anak-anak mulai berkomentar, “Pak, jalannya kok pelan banget sih. Ayo kita
kejar sunrise-nya. Mumpung semangat
ki”. Aku hany diam. Tidak ada komentar. Aku masih yakin bahwa mendaki perlu
strategi tidak hanya bermodal semangat dan tenaga.
Keyakinanku
mendekati benar ketika kami tiba di selter mata air, tepat di bawah pos I,
kulihat wajah anak-anak mulai terlihat pucat. Aku hentikan langkah untuk
memulihkan kekuatan. Di pos ini kami bertemu dengan rombongan Kediri yang
berjumlah 11 orang. Mereka tidak berencana mengejar puncak tetapi hanya ingin
menikmati malam. Di pos ini terdapat sumber air, yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan. Di pos ini mereka seolah berpesta. Ada banyak makanan, tempat tidur
yang nyaman dengan adanya karpet tebal dan perapian. Aku berpikir, “Wajarlah,
mereka kan ingin berbuka dan saur dengan cara beda. Menjalani puasa dengan cara
pendaki. Cara sang petualang memang selalu beda”.
Malam
dengan pelan dan pasti mengejar pagi, seolah berlomba dengan kami yang mencoba
meninggalkan kenyamanan untuk menemukan seni hidup. Namun malam ini, udara
terasa sangat dingin. Bahkan kendati kami telah berjalan selama satu jam namun
keringat tidak ada tanda akan keluar dari peraduannya. Tepat pukul 00.00 kami
telah tiba di pos I[1].
Di sini kami berjumpa dengan rombongan anak-anak Tegal yang berjumlah tujuh
orang. Mereka turun gunung karena ingin saur di base camp dan segera ingin melaju menuju kota tercintanya.
Kutargetkan
mencapai Pos II sekitar pukul 01.30, satu setengah jam cukup toleran karena
biasanya aku mencapainya hanya dengan waktu satu jam. Jalanan kian menanjak,
terjal dan berliku. Namun malam ini keindahan alam memang disuguhkan bagi kami
karena temaramnya sinar rembulan membantu kami untuk menikmati suasanan dan
pemandangan yang beda. Samar cahaya rembulan menimbulkan dan memunculkan
eksotisme panorama Lawu menjadi sangat menawan.
Aku
dan isteriku melaju jauh di depan. Sering kuhentikan langkah kendati aku tidak
kelelahan untuk sekedar tahu keadaan anak-anak. Jonathan dan Nico berusaha
menyusul serta selalu menjaga jarak tempuh, aku tahu mungkin anak-anak merasa
tidak enak dengan kami berdua. Mungkin di benak mereka takut kalau mengganggu.
Aku kadang tersenyum melihat kegelisahan yang terpancar dari sorot mata mereka,
padahal yang namanya pendaki tetaplah pendaki. Memang aku dan isteriku adalah
sah sebagai suami isteri tetapi romantisme pendaki tetaplah tidak ada
romantisnya, karena yang ada adalah misi bersama, yaitu keselamatan tim.
Aku
bersyukur karena ternyata kami tiba di Pos II lebih cepat dari perkiraan[2].
Pukul 01.15 kami telah tiba. Wajah anak-anak masih menyiratkan semangat namun
tidak mampu menyembunyikan bahwa mereka kelelahan. Tepatnya mereka kehabisan
tenaga karena malam memang sungguh dingin. Energi mereka habis untuk melawan
dingin. Padahal berhadapan dengan kekuatan alam seharusnya bukan dengan
melawannya tetapi menerimanya. Sesuatu yang tidak mudah dipahami apalagi
dihidupi. Tetapi itu adalah cara yang paling bijaksana dalam mensikapi kekuatan
serta misteri alam.
Semangat
yang menggebu mendorong mereka untuk segera menawar, “Pak, ayo kita lanjutkan.
Pos II kan dekat to?” Tanya Willy.
“Hanya
30 menit. Tetapi jalurnya menanjak tajam. Tidak seperti yang sudah-sudah lho
ya”. Jawabku jujur.
Melesat
kaki-kaki kami meninggalakn Pos II dan segera ingin menapak di Pos III. Namun
raga tidak mau menopang. Kekuatan ada batasnya. Maka raga pun minta
diistirahatkan. Aku dan isteriku jauh di depan sedangkan Jonathan dan Nico
terus mencoba mengejarku. Lima anak Yopala yang jauh tertinggal dibelakang
sesekali berteriak “YOPALA” dan kami pun menjawab dengan lantang “YOS”.
Teriakan yopala makin lama makin hilang gairah. Tidak ada tenaganya. Berarti
semangatpun sudah redup.
Kulirik
jam tanganku yang menunjuk angka 02.00 saat kakiku menginjak pelataran Pos III.
Di sini kulihat ada dua tenda yang bernaung di bawah atap selter yang sudah
tidak lagi utuh. Di luar selter ada dua tenda yang di depannya ada perapian.
Ternyata, mereka adalahanak-anak dari mapala UNS. Mereka tidak berencana ke puncak
hanya ingin menikmati suasana Pos III. Berdiang, aku pun mendekat, isteriku
juga. Dan tentunya Jonatahan serta Nico. Kami berempat setia menunggu dengan
sabar kedatangan lima rekan petualang kami. Walau tubuh mulai terasa dingin dan
bahkan telah menggigil namun kami mencoba bertahan menunggu sampai ketemu.
Kucoba mengusir dingin dengan mondar-mandir,
turuni setapak dan menaikinya lagi. Kucoba teriakan dengan lantang yopala agar
aku b eroleh kepastian mereka masih menyusul. Masih ada jawaban. Berarti masih
ada harapan. “Tunggu kami pak”, jawaban lirih bahkan hanya terdengar sayub.
Berharap
dalam cemas hingga pada akhirnya menginjak waktu menunjuk 02.30, kelima anak
yang ditunggu telah tiba. Mereka adalah Willy, Zafnat, Harda, Andre dan Jovan.
Wajah mereka nampak lemas dan pucat. Kuminta mereka segera merapat ke perapian
agar beroleh kehangatan. Kubuka perbekalan agar asupan energi mampu mendongkrak
gairah. Namun harapan itu terlihat tidak berujung. Mereka masih enggan bangkit,
sedangkan aku, isteriku, Jonathan dan Nico sudah lama kedinginan. Terpaksa aku
putuskan untuk melanjutkan langkah dengan konsekwensi meninggalkan kelima anak
tersebut. Kami setuju bahwa mereka secara perlahan akan tetap menyusul dan aku berjanji
akan melambatkan langkah agar bisa mereka susul. Kutegaskan satu penyemangat,
“Kita akan mencapai puncak secara bersama. Apa pun yang terjadi puncak akan
kita gapai dalam kebersamaan”.
Berapi
kami mengayunkan asa untuk terus menapak. Sekitar seratus meter kaki-dingin
kami meninggalkan Pos III, mendadak
Jonathan menjerit kesakitan, “Pak, tunggu. Sakit sekali. Dua kakiku kram”.
“Siap”, jaweabku singkat. Kutahu ini pasti akan terjadi. Setelah kaki menempuh
panjang perjalanan, beristirahat hingga kedinginan, maka setelah digerakkan
secara paksa untuk mengejar hangat. Dengan sendirinya otot-otot akan menjadi
kaget. Kram pun terjadi.
Satu
anggota dengan kaki yang sering kumat kramnya dan di sisi lain, medan tempur
antara Pos III menuju Pos IV memang sungguh menanjak tajam. Hingga kami pun
seolah tidak bergerak, berjalan dengan sangat-sangat pelan. Namun asa untuk
terpana melihat indahnya sinar emas mentari pagi menjadi motor yang mujarab.
Tertatih langkah kami. Selangkah demi
selangkah kami meninggalkan ribuan jejak dan semakin jauh pula kami berhasil
meninggalkan Pos III. Di tengah jalan, kami berjumpa dengan rombongan dari
Salatiga yang berjumlah 5 orang. Mereka mengalami hal serupa dengan kami, yaitu
satu anggota telah kaku kaki, kram akut dan sangat parah. Sempat kami berjalan
beriringan. Solidaritas menjadi tenaga yang tidak terlukiskan. Namun sakit
tetaplah sakit.
Kulihat
wajah Jonathan dan teman baru dari Salatiga nampak sangat pucat. Apalagi cuaca
memang sungguh sangat dingin. Berhenti kedinginan, tetapi saat bergerak rasa
nyeri yang tak tertahankan meluluhkan ketahanan mental. Dalam situasi yang
seperti itu, aku sempat kehilangan gairah. Yang menjadikanku terus bertahan
adalah mereka masih mau bergerak dan tidak merengek, cengeng kekanak-kanakan.
Kukobarkan gairah dan semangat mereka saat kubertemu dengan indah edelweiss
merah. Bunga langka yang sulit dijumpai dan yang kutahu tidak semua gunung ada
bunga edelweiss merahnya. “Ayo semangat. Teruslah bergerak. Di sini ada
edelweiss merah. Siapa mau melihatnya?”
Teriakku
mampu menutup sakit untuk sementara. Kami pun kemudian menikmati indah serta
harum kembangnya. Selepas ini kami bergerak agak cepat. Kaki-kaki yang mulai
menghangat perlahan juga melenyapkan kram pada kaki Jonathan tetapi tidak pada
kaki teman baru. Hingga secara tidak sengaja kami pun meninggalkan rombongan
Salatiga.
Hati
merasa sangat lega saat mata menatap tulisan Pos IV. “Net, selamat yo”, sengaja
kuucapkan kata itu pada Jonathan agar ia pun terus bersemangat. Saat itu
kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 03.15. Tidak berapa lama kami
beristirahat dan menikmati panorama di tempat ini. Segera kaki kami meninggalkannya
untuk mencapai Pos V. Sejauh aku tahu dan dari pengalamanku Pos IV menuju Pos V
hanya membutuhkan waktu 10 menit. Jarak yang cukup dekat dan medanpun perlahan
mulai melandai.
Perjalanan
sangat lancar, karena Jonathan sudah tidak lagi kram kaki. Hingga pada titik
03.30 kami telah menatap perdu yang bertuliskan Pos V. Kuhentikan langkah sejenak karena aku pernah
mengalami peristiwa yang sulit dinalar pada Pos ini. Kupusatkan hati untuk
bersandar pada kemahakuasaan Yang Ilahi. Waktu itu aku pernah tersesat dan
bingung selama dua jam. Aku dan teman-teman hanya muter-muter tidak jelas.
Hingga kulit kacang asin warna putih membantu kami menemukan jalur yang benar.
Dari
Pos V menuju Pos VI, atau Pos Sendang Drajat sebenarnya tidak begitu jauh,
hanya sekitar 30 menit. Itupun dengan medan yang sangat landai, bahkan bisa
dikatakan medan datar. Kalau tenaga masih utuh dan fisik masih prima, aku yakin
itu dapat ditempuh hanya 10 menit. Tetapi beda dengan kami pada saat ini. Fisik
yang sudah sempoyongan, mata yang terkantuk-kantuk, hal ini diperparah dengan
angin yang berhembus kuat menjadikan udara dingin terasa semakin dingin.
Sangat-sangat dingin. Hingga berasa darah tidak bisa mengalir. Beku.
Walaupun
tertatih namun kami tetap terus melangkah. Seolah-olah kami sengaja menghitung
langkah, pelan namun pasti. Hingga akhirnya tepat pukul 04.30 kami tiba di
Sendang Drajat. Di sinilah pergulatanku dimulai. Aku sangat ingin menikmati
indahnya sunrise di ketinggian Hargo
Dumilah. Namun aku telah berjanji dengan kelima muridku yang semenjak
kutinggalkan tidak ada suara memanggil. Aku berjanji untuk bersama-sama
mencapai puncak. Demi kebersamaan dan solidaritas, akhirnya aku putuskan untuk
menunggu mereka di sini.
Udara
makin menusuk tulang. Jonathan dan Nico telah mencari tempat yang nyaman,
mereka masuk goa sederhana di samping sendang lalu tertidur. Aku dengan segera
mencari kayu kering agar ada perapian. Sebentar lagi tubuh tidak lagi panas
maka harus ada penghangat. Kutinggalkan isteriku bersama dua muridku lalu aku
kembali ke jalur yang telah terlewati. Sepintas aku melihat ada pohon kering
yang bisa digunakan untuk membuat perapian. Kayu aku dapat. Dengan cekatan
kubuatkan api dan kusiapkan air panas untuk membuat minuman hangat. Isteriku
pun berdiang bersama aku. Lalu ia terlelap. Sedang aku terus berjaga untuk
mempertahankan nyawa sang api sekaligus mengawasi mentari yang sudah bersiap keluar
dari peraduannya.
Indah
paras mentari saat lahir membangunkan kebahagiaan dalam hati. Maka aku pun
tidak ingin menikmatinya seorang diri.
Segera kubangunkan isteriku, Jonathan dan Nico. Pada saat mentari lahir
teriakan Andre dan Jovan memecah suasana bahagia itu. “YOPALA”. Serempak
kamipun menjawab, “YOS”.
“Selamat
ya. Tu minum energen dulu. Yang lain mana?”, tanyaku cemas.
“Tidur
di bawah pak. Tapi mereka akan menyususl kok. Kita tunggu aja”. Aku merasa
sangat lega mendengar berita ini.
Lalu
kami pun berenam menikmati sunrise
sambil makan mie rebus dan minum energen. Sebenarnya paling cocok adalah minum
susu jahe atau kopi kental. Tetapi semua bahan minuman itu ada di tas peserta
yang lagi tidur di bawah. Walau tidak ada minuman yang diinginkan tetapi itu
tidak mengurangi kegembiraan serta kebahagiaan karena dapat menikmati indah
paras sang surya.
Mentari
makin tinggi melambung menatap kami, sinarnyapun mulai mengusir dingin malam.
Hangat terasa. Namun ketiga muridku belum juga ada tanda-tanda muncul. Perut
kenyang, udara yang mulai bersahabat menghantar keempat muridku lelap dalam
pelukan indah Lawu. Mereka beralaskan bumi dan berpayungkan langit biru.
Kendati begitu dengkur mereka menjadi nyanyian pujian atas kegembiraan hati
yang tiada tara.
Jam
07.00 Willy, Zafnat dan Harda belum juga ada tanda-tanda muncul. Aku mulai
kawatir. Hingga akhirnya kutenteramkan hatiku dengan satu keputusan, “Jam 08.00
merupakan batas toleransi. Kalau mereka tidak menyusul maka aku bersama
rombongan akan bergerak turun dan tentunya mengubah rencana yang awalnya akan
turun lewat Cemorokandang, menjadi pulang-balik lewat Cemorosewu”.
Namun
aku tetap berharap bisa mencapai puncak dengan anak-anakku. Aku ingin agar
anak-anak pernah mengalami masa-masa indah, pernah mengalami saat-saat
membanggakan karena pernah menginjakkan kai-kaki mereka diatas atap-atap
tertinggi Indonesia. Di tengah situasi yang tidak terlalu enak itu, sayup
kudengar lantang bertenaga, “YOPALA”. Aku yakin itu dari ketiga muridku, maka
dengan lantang pula kuteriakan, “YOS”. Teriakan jawaban sekaligus ungkapan rasa
lega yang tidak terbanyangkan.
Mereka
tiba tepat pukul 07.35, segera kutawarkan mie rebus yang sengaja aku
persiapkan. Hal itu terjadi karena rombongan ini yang membawa alat masak hanya
aku. Maka sudah pasti mereka tidak masak selama dalam perjalanan. “Hayo makan
dulu. Biar tubuhmu segar. Lalu minum minuman hangat yang ada hehe”.
“Siap
Pak”, jawab mereka serempak.
Sesuai
rencana, kami pun bergerak meninggalkan kegembiraan di Sendang Drajat menuju
puncak tertinggi Lawu tepat pukul 08.00. Selepas melewati pertigaan yang menuju
puncak Hargo Dumilah dan yang menuju puncak Hargo Dalem, kami dimanjakan oleh
pemandangan yang tidak mudah diperoleh. Lereng Lawu kali ini dipenuhi dengan
taburan edelweiss merah. Nampak sangat indah. Delapan kali pendakian ke Lawu,
baru kali ini aku mengalami peristiwa yang sangat mengagumkan. Bahkan area
puncak tertinggi lawu seolah dipenuhi dengan aroma kembang ini. Sangat
fantastis.
Pukul
08.30 kaki-kaki kami menapak di dataran tertinggi Lawu. Rasa syukur yang tiada
tara menguap dari kedalam hati kami masing-masing. Lalu kami pun bercengkerama
dengan Lawu, tentunya dengan cara kami masing-masing. Foto-foto. Selama aku
mendaki Lawu, baru kali ini aku hanya berjumpa dengan lima orang. Itu pun dari dua
rombongan. Satu rombongan beranggotakan tiga orang dan yang rombongan lainnya
berjumlah dua orang. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena bulan puasa sehingga
banyak pendaki muslim yang tidak menapakkan kaki-kaki mereka di ketinggian Lawu
ini. Atau memang alam sengaja memberi kesempatan kepada rombongan kami untuk
bermesraan dengan keindahan Lawu. Tanpa ada yang mengganggu.
Belum
juga puas bahagia dalam diri ini, namun mentari terasa sudah sangat menyengat.
Maka kami putuskan untuk bergerak turun, meninggalkan segala keindahan. Pukul
10.00, kami pun berpamitan dengan Hargo Dumilah. Sepanjang perjalanan dari
puncak menuju Pos IV, kami disuguhi keindahan bunga edelweiss yang didominasi
warna merah. Mereka baru pada titik sempurna sebagai bunga, sehingga keindahannya
nampak luar biasa dan keharumannya mampu mengusir penak raga dan membangkikat
semangat menjadi berlipat.
Perjalanan
turun sangat lancar, karena kami tidak bertemu dengan pendaki lain. Jalur
Cemorokandang kali ini menjadi hanya milik rombongan kami saja. Ini juga di
luar kebiasaan. Sepnajang perjalanan turun kami juga disuguhi dengan banyaknya
buah kantigi yang siap makan juga buah beri hutan yang banyak bertebaran.
Isteriku sangat senang saat memanen buah-buah itu bahkan ia menyediakan kantung
plastik untuk oleh-oleh. Hingga pada akhirnya, nafsu makan buah beri yang tidak
terkontrol itu menyebabkan perutku berontak dan di Pos III pun aku terpaksa
mengosongkannya.
Perjalanan
selepas Pos III membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi. Setapak resmi telah
berganti perdu, karena para pendaki lebih memilih jalur pintas yang memang lebih
dekat. Masalah begitu banyak jalur pintasan sehingga cukup meragukan. Hingga
pada akhirnya isteriku terjerembab jatuh hingga luitutnya pun membiru. Mata
yang ngantuk dan fisik yang sudah sempoyongan menjadikan kami terpisah-pisah.
Namun sebelumnya aku sudah berpesan kepada anak-anak, “jalur manapun boleh
kalian pilih karena semuanya akan bertemu di jalur resmi yaitu sebelum selter
di atas Pos II”.
Aku,
isteriku dan Harda tiba duluan di selter, lalu aku menunggu sampai semua
kumpul. Namun Andre dan Nico tidak ditemukan. Harapanku tetap positif, semoga
mereka telah duluan. Bergegas aku meninggalkan selter untuk mengejar dua
muridku. Kulihat jam tanganku yang menunjuk angka 12.00, cepat aku melaju. Pos
II aku tidak berhenti. Lanjut terus. Isteriku mulai sempoyongan mengikuti
jejakku. Sedang murid-murid yang lain jauh tertinggal di belakang. Hingga
akhirnya rasa lega menyelimuti hati dan pikiranku saat aku melihat dari
kejahuan dua orang telah menunggu di Pos I. Segera kuseret kakiku yang tidak
lagi mau bekerjasama. “Udah lama nyampekah?”
“Baru
aja kok, yang lain mana Pak?”
“Masih
dibelakang. Kita tunggu aja. Entar juga nyusul”. Kami ngobrol sambil menunggu
yang lain tiba. Lalu aku pun terlelap. Dan saat membuka mata, semua telah
berkumpul. Kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 13.45. Segera kami pun
melanjutkan langkah. Dan kami pun mencatat dalam sejarah hidup kami
masing-masing bahwa kami telah menyelesaikan peziarahan Lawu pada jam 14.45. Karena
di jam itu kami sampai di base camp
Cemorokandang.
Mengakhiri petualangan ini aku hanya bisa
berkata, “Terimakasih Lawu. Engkau telah mengajari kami bersabar, mengajari
kami untuk saling memberi, mengajari kami untuk dapat mengalahkan diri. Dan itu
semua adalah pelajaran bagi kami tentang cara menjadi sahabat, tentang cara
menjadi saudara”.
[1]
Perjalanan dari base camp dimulai
dengan
melewati gerbang pendakian, medan awal berupa jalur tanah dan bebatuan. Di
sepanjang jalur awal ini banyak ditumbuhi oleh pohon cemara. Baru setelah melewati
hutan cemara ini, di kiri – kanan jalur terdapat kebun sayur milik penduduk.
Dari basecamp menuju pos satu, jalur tidak begitu menanjak, namun
pendaki harus tetap berhati – hati, karena tanah bebatuan yang dilewati lumayan
licin. Dari base camp menuju
pos satu dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Di pos satu, terdapat
sebuah pondok, dan di depannya juga ada warung. Namun waktu kami mendaki, warung-warung ini
sedang tutup. Mungkin karena musim puasa.
[2]
Perjalanan dari pos 1
menuju pos 2 merupakan jalur terpanjang, dan medannya mulai memiliki kemiringan
lebih tajam dibandingkan jalur pos 1. Jalur ini berada di kawasan hutan
pegunungan tropis.