Senin, 26 Agustus 2013

catatan perjalanan, Lawu via Cemoro Sewu (sebuah kisah)



MERINDUKANMU EDELWEIS MERAHKU
Oleh: Heri

“Kuingin menggali kuburmu agar aku dapat mencumbu indah parasmu”, gumanku menutup malam itu.
Tiga hari telah meninggalkan purnama. Tiga hari pula cuaca mendadak menjadi bersahabat. Musim yang tidak lagi berirama telah mendendangkan kemarau penuh hujan lebat. Musim panas yang biasanya ditandai dengan terik kini berganti dengan rintik air. Matahari lebih banyak bersembunyi dan berganti dengan gemuruh angin yang membawa lebat hujan. Adanya hal ini menyebabkan bingung. Banyak rencana yang memaksa batal juga gagal.
 Pertengahan bulan Juli yang biasanya diwarnai dengan kilatan cahaya mentari yang memantul panas dan saat surya terjaga rasa dingin menembus sumsum menghilang dari tradisinya. Namun, tiga hari ini cuaca ingin pulang.  Bulat purnama yang kian tipis bersama dengan taburan bintang malam nampak indah. Semilirnya angin malam yang mendinginkan penat raga juga lelah hati melambungkan ingatanku. Musim kemarau yang standar selalu membangunkan pesona bunga keabadian. Pucuk-pucuk ranting edelweiss berganti dengan indah bunganya. Perhatianku tertuju dengan kenangan akan indah bunga edelweiss merah yang tidak setiap saat bisa dijumpa. Menurut cerita dan dari pengalaman pendakian yang pernah kulakukan, aku baru satu kali menemuinya dan itu hanya di gunung Lawu.
Taburan bintang malam yang mempercantik paras terang bulan membulatkan tekatku untuk  kembali menemui edelweiss itu. “Ia mencintaiku, ia setia menungguku dan akupun begitu. Semoga lentera alam menemukan ikatan hati, mengakhiri rindu dan kembali membangun rasa itu”.
“Mas, sudah malam. Anginnya kencang. Masuk rumah. Istirahat”, suara isteriku dari dalam rumah yang membuyarkan nostalgia. Dengan tenang aku pun masuk rumah. Penat raga yang lelah karena disibukan dengan rutinitas pekerjaan segera meminta untuk diistirahatkan.
Permulaan aktifitas sekolah di tiap tahunnya sering diwarnai dengan kebingungan identitas. Gejolak hati karena perubahan dalam banyak hal menjadi penyebabnya. Susunan kelas yang berubah, teman baru yang masih asing menggantikan teman lama yang telah menjadi sahabat seperasaan dan seperjuangan. Kini hal-hal yang telah mapan, nyaman dan menyenangkan harus berganti dengan atmosfir yang belum pasti. Keadaan ini diperparah dengan tuntutan materi pelajaran yang tingkat kerumitannya lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai seorang pendidik, aku menyadari keadaan ini. Oleh karena itu aku pun berjuang untuk tidak ikut tertekan tetapi berusaha membesarkan hati anak-anak didikku. Aku memiliki banyak cara untuk hal itu, salah satunya dengan menjadi sahabat. Berarti aku akan banyak meluangkan waktu membangun kebersamaan dengan mereka. Dan yang paling sering kulakukan adalah mengajak anak-anak untuk belajar melalui alam. Sebulan sekali kuagendakan untuk melakukan kegiatan alam bebas, terutama mendaki gunung.
Di sekolah, tempat aku menemukan gembira dan membagi bahagia, anak-anak mengenalku dengan identitas pendaki. Sehingga tiap kali ada kesempatan untuk ngobrol, mereka selalu melontarkan satu pertanyaan wajib, “Pak, kapan ndakinya? Ikutan ya”.
Kamis, 25 Juli 2013, saat raga diujung daya, kutulis sekelumit kata di status facebook, group “Pengagum Alam”, “Menabur racun: di balik temaram cahaya rembulan yang tidak lagi bulat, mari kita sambut kilau sunrise di ketinggian Hargo Dumilah, Lawu via Cemorosewu pada Sabtu, 27 dan pulang menyisir Cemorokandang untuk menikmati harum serta indah edelweiss warna merah”. Lalu kulelapkan sukmaku untuk mendulang energi agar esok bisa beraktifitas kembali, menggeluti yang rutin dan pasti.
Bel berbunyi dengan segera anak-anak berhamburan, berebut cepat meninggalkan sekolah. Aku biasa menunggu, anak-anak berlalu untuk mengurangi gerbang berjubel. Tinggal beberapa anak yang tersisa di teras skolah. Mereka nampak asik menikmati fasilitas hotspot. Itulah dunia mereka. Kulangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah menuju tempat parkir. Anak-anak berebut sapa untuk membuktikan bahwa mereka peduli dan memiliki perhatian. “Ayo pulang. Istirahat”, balasku menyambut gembira sapa mereka.
“Pak, besok mau ke Lawu ya? Ikut ya pak”, Tanya Willy.
“Iya. Kamu koordinir teman-teman lain yang mau gabung ya”, jawabku ringan sekaligus menegaskan bahwa kegiatan ini mesti direncanakan kendati sudah biasa.
“Rencana berangkat jam berapa?”
“Kalau tidak ada ceweknya kita berangkat jam 19.00 dari rumahku. Tetapi kalau ada teman cewek yang gabung, kita berangkat jam 16.00. Lihat situasilah. Berani to!”.
“Siap pak”.
Sabtu adalah hari dipenghujung minggu, tidak mengherankan kalau hari ini adalah hari yang paling membosankan. Tidak ada gairah. Terasa lesu. Sisa tenaga dan semangat tidak lagi berdaya menggelorakan gairah untuk menikmati keadaan. Situasi ini juga meracuni dan mewabah di sekolahku. Saat aktifitas belajar mengajar, kutemukan wajah-wajah mendung dan sedikit yang masih berseri. Para guru yang lain pun begitu. Aku juga begitu. Buatku hari Sabtu adalah hari yang paling berat, tugas mengajar delapan jam penuh. Harusnya aku tidak begitu karena hari-hari yang kulewati, sedikitnya enam jam aku mengajar perharinya. Ya 17 kelas, 34 jam dan masih diberi tanggungjawab yang lain. Sehingga jamku genap 40 jam perminggunya.
Hari yang berat telah berakhir saat bel sekolah terdengar pada menit 12.50, berarti kemerdekaan telah di depan mata. Kulihat Willy dan Zafnat telah menunggu, “Pak entar sore ada enam anak yang mau gabung. Semuanya cowok”.
“Diatur aja. Siapa bonceng siapa ya. Trus jangan lupa bawa uang secukupnya hehe”.
“Beres Pak. Jam tujuh kita start jalan dari rumah bapak to?”
“Yup. Aku tunggu ya”.
“Siap Pak”.
Kulangkahkan kaki dengan segera agar aku lekjas sampai rumah. Istirahat. Tidur secukupnya. Packing dan siap berangkat. Sesampai di rumah isteriku telah menunggu. Omong-omong sebentar untuk sekedar menikmati perubahan aktifitas. Kumatikan Hp. Aku dan isteriku pun lelap guna menumpuk tenaga karena pertarungan dengan diri akan segera tiba.
Pad waktu 18.00 jam wekerku pun berdendang, melakukan tugas pokoknya. Aku terjaga dan segera kubuka Hp agar segenap aktifitas dan persiapan anak-anak dapat aku kontrol. Kubangunkan isteriku selepas aku mandi. Kukemasi peralatan safety dasar,dan yang tidak boleh ketinggalan adalah logistik. Dalam sibukku mengepak dan mengatur semua perlengkapan dan perbekalan agar bisa masuk kedalam satu tas, tiba-tiba Hp ku berbunyi, SMS masuk. Segera kubuka, nomor baru, “Pk Heri, aq gk tau rmh bpk. Harda”.
“Peserta baru”, aku berpikir demikian. Tidak kubuang waktu aku langsung menghubungi Willy selaku koordinator dari ana-anak. Kutanyakan apakah Harda sudah menghubungi kalau mau ikut gabung. “Blom pk”, balasan SMS dari Willy. Dengan sigap kukirim SMS ke Harda, “Qm k skul ae. Entr da anak yopal yg akn jemput”.
Jam 19.00, keenam anak yang mau gabung telah tiba di depan rumah. Mereka adalah Willy, Zafnat, Jovan, Jonathan, Andre dan Niko. Aku dan isteriku segera mempersilahkan mereka masuk ke rumah. Kusapa satu persatu dan segera kuminta Willy untuk menjemput satu teman yang menunggu di sekolah. Jarak rumahku ke sekolah hanya membutuhkan waktu 10 menit. Bergegas Willy ditemani Jovan meluncur untuk menemukan Harda.
20 menit meninggalkan jam tujuh malam, kami bersembilan akhirnya dapat berkumpul bersama. Usai breafing sebentar, petualangan pun siap dimulai. Tepat pukul 19.30 kami meninggalkan rumah dan menuju base camp Cemorosewu untuk selanjutnya mengejar sunrise di puncak Lawu.
Meliuk lima motor menembus pekat dan gelapnya malam. Beriringan dalam kebersamaan untuk saling  mendukung mengejar selamat. Aku menjadi leader dalam petualangan ini. Kubuka jalan ketika kendaraan padat memenuhi jalanan. Hingga kami terus dapat bersama. Rombongan kian jauh meninggalkan Solo dan telah meliuk di turunan dan tanjakan Tawangmangu. Biasanya jalanan di sini ramai, apa lagi malam minggu banyak anak muda yang menikmati malamnya di daerah ini. Tetapi kali ini nampak lengang sehingga perjalanpun menjadi lancar.
Kegembiraan yang memenuhi hati kami ternyata tidak mampu bertahan lama, karena sekitar Cemorosewu yang biasanya banyak penduduk menyediakan rumah sebagaitempat parkir ikutan lengang. Rumah-rumah sudah tutup. Dari satu rumah kami mengetuk rumah lainnya. Tetapi tidak ada jawaban. Kami pun gelisah, “Motor mau ditaruh mana?”
Masih ada harapan rumah Mbok Yem, rumah yang menjadi langganan anak-anak Yopala bila mengadakan pendakian. Tetapi keadaan rumah ini pun sama dengan rumah yang lainnya. Kami lebih berani mengetuk tepatnya menggedor karena kami merasa telah akrab. Tetapi yang ditunggu dan diharapkan tidak juga muncul. Hati makin gelisah. Hingga akhirnya perut yang menunggu untuk diisi memberi isyarat agar cepat diperhatikan.
Di penghujung jalan dekat gerbang pendakian, kami merapat untuk membeli sesuap nasi. Keberuntungan ada pada kami, ternyata ibu ini memiliki saudara yang rumahnya lumayan luas untuk memarkir motor-motor kami. Segera ibu itu menghantar. Kami merasa sangat senang dan bersyukur karena satu persoalan telah terselesaikan. Lahap kami menikmati hidangan. Sendau-gurau dan canda-tawa mewarnai kebersamaan dan persaudaraan ini.
Malam makin larut. Udara semakin berani menusuk tulang. Dingin terasa. Tidak seperti biasanya, Lawu tidak pernah sepi pengunjung. Setiap malam liburan, Lawu adalah gunung favorit pendakian. Tetapi kali ini beda. Sangat sepi bahkan lengang. Walau begitu  kami masih melihat satu rombongan pendaki, yang berjumlah tiga. Mereka juga dari Solo. “Lumayan, masih ada teman. Mungkin Lawu berpihak pada rombongan kami, agar kami leluasa untuk bercumbu dengannya”.
Mengibarkan asa untuk menggapai puncak Hargo Dumilah dalam siraman sinar mentari pagi, menjadi penyemangat langkah kami. Pada titik 22.50, ayunan kaki meninggalkan base camp. Suasana kebersamaan diwarnai dengan kegembiraan sehingga langkah kaki terasa sangat ringan. Hingga nafas yang harusnya memburu tidak terasakan. Terlalu bersemangat aku piker begitu. Anak-anak mulai berkomentar, “Pak, jalannya kok pelan banget sih. Ayo kita kejar sunrise-nya. Mumpung semangat ki”. Aku hany diam. Tidak ada komentar. Aku masih yakin bahwa mendaki perlu strategi tidak hanya bermodal semangat dan tenaga.
Keyakinanku mendekati benar ketika kami tiba di selter mata air, tepat di bawah pos I, kulihat wajah anak-anak mulai terlihat pucat. Aku hentikan langkah untuk memulihkan kekuatan. Di pos ini kami bertemu dengan rombongan Kediri yang berjumlah 11 orang. Mereka tidak berencana mengejar puncak tetapi hanya ingin menikmati malam. Di pos ini terdapat sumber air, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Di pos ini mereka seolah berpesta. Ada banyak makanan, tempat tidur yang nyaman dengan adanya karpet tebal dan perapian. Aku berpikir, “Wajarlah, mereka kan ingin berbuka dan saur dengan cara beda. Menjalani puasa dengan cara pendaki. Cara sang petualang memang selalu beda”.
Malam dengan pelan dan pasti mengejar pagi, seolah berlomba dengan kami yang mencoba meninggalkan kenyamanan untuk menemukan seni hidup. Namun malam ini, udara terasa sangat dingin. Bahkan kendati kami telah berjalan selama satu jam namun keringat tidak ada tanda akan keluar dari peraduannya. Tepat pukul 00.00 kami telah tiba di pos I[1]. Di sini kami berjumpa dengan rombongan anak-anak Tegal yang berjumlah tujuh orang. Mereka turun gunung karena ingin saur di base camp dan segera ingin melaju menuju kota tercintanya.
Kutargetkan mencapai Pos II sekitar pukul 01.30, satu setengah jam cukup toleran karena biasanya aku mencapainya hanya dengan waktu satu jam. Jalanan kian menanjak, terjal dan berliku. Namun malam ini keindahan alam memang disuguhkan bagi kami karena temaramnya sinar rembulan membantu kami untuk menikmati suasanan dan pemandangan yang beda. Samar cahaya rembulan menimbulkan dan memunculkan eksotisme panorama Lawu menjadi sangat menawan.
Aku dan isteriku melaju jauh di depan. Sering kuhentikan langkah kendati aku tidak kelelahan untuk sekedar tahu keadaan anak-anak. Jonathan dan Nico berusaha menyusul serta selalu menjaga jarak tempuh, aku tahu mungkin anak-anak merasa tidak enak dengan kami berdua. Mungkin di benak mereka takut kalau mengganggu. Aku kadang tersenyum melihat kegelisahan yang terpancar dari sorot mata mereka, padahal yang namanya pendaki tetaplah pendaki. Memang aku dan isteriku adalah sah sebagai suami isteri tetapi romantisme pendaki tetaplah tidak ada romantisnya, karena yang ada adalah misi bersama, yaitu keselamatan tim.
Aku bersyukur karena ternyata kami tiba di Pos II lebih cepat dari perkiraan[2]. Pukul 01.15 kami telah tiba. Wajah anak-anak masih menyiratkan semangat namun tidak mampu menyembunyikan bahwa mereka kelelahan. Tepatnya mereka kehabisan tenaga karena malam memang sungguh dingin. Energi mereka habis untuk melawan dingin. Padahal berhadapan dengan kekuatan alam seharusnya bukan dengan melawannya tetapi menerimanya. Sesuatu yang tidak mudah dipahami apalagi dihidupi. Tetapi itu adalah cara yang paling bijaksana dalam mensikapi kekuatan serta misteri alam.
Semangat yang menggebu mendorong mereka untuk segera menawar, “Pak, ayo kita lanjutkan. Pos II kan dekat to?” Tanya Willy.
“Hanya 30 menit. Tetapi jalurnya menanjak tajam. Tidak seperti yang sudah-sudah lho ya”. Jawabku jujur.
Melesat kaki-kaki kami meninggalakn Pos II dan segera ingin menapak di Pos III. Namun raga tidak mau menopang. Kekuatan ada batasnya. Maka raga pun minta diistirahatkan. Aku dan isteriku jauh di depan sedangkan Jonathan dan Nico terus mencoba mengejarku. Lima anak Yopala yang jauh tertinggal dibelakang sesekali berteriak “YOPALA” dan kami pun menjawab dengan lantang “YOS”. Teriakan yopala makin lama makin hilang gairah. Tidak ada tenaganya. Berarti semangatpun sudah redup.
Kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 02.00 saat kakiku menginjak pelataran Pos III. Di sini kulihat ada dua tenda yang bernaung di bawah atap selter yang sudah tidak lagi utuh. Di luar selter ada dua tenda yang di depannya ada perapian. Ternyata, mereka adalahanak-anak dari mapala UNS. Mereka tidak berencana ke puncak hanya ingin menikmati suasana Pos III. Berdiang, aku pun mendekat, isteriku juga. Dan tentunya Jonatahan serta Nico. Kami berempat setia menunggu dengan sabar kedatangan lima rekan petualang kami. Walau tubuh mulai terasa dingin dan bahkan telah menggigil namun kami mencoba bertahan menunggu sampai ketemu.
 Kucoba mengusir dingin dengan mondar-mandir, turuni setapak dan menaikinya lagi. Kucoba teriakan dengan lantang yopala agar aku b eroleh kepastian mereka masih menyusul. Masih ada jawaban. Berarti masih ada harapan. “Tunggu kami pak”, jawaban lirih bahkan hanya terdengar sayub.
Berharap dalam cemas hingga pada akhirnya menginjak waktu menunjuk 02.30, kelima anak yang ditunggu telah tiba. Mereka adalah Willy, Zafnat, Harda, Andre dan Jovan. Wajah mereka nampak lemas dan pucat. Kuminta mereka segera merapat ke perapian agar beroleh kehangatan. Kubuka perbekalan agar asupan energi mampu mendongkrak gairah. Namun harapan itu terlihat tidak berujung. Mereka masih enggan bangkit, sedangkan aku, isteriku, Jonathan dan Nico sudah lama kedinginan. Terpaksa aku putuskan untuk melanjutkan langkah dengan konsekwensi meninggalkan kelima anak tersebut. Kami setuju bahwa mereka secara perlahan akan tetap menyusul dan aku berjanji akan melambatkan langkah agar bisa mereka susul. Kutegaskan satu penyemangat, “Kita akan mencapai puncak secara bersama. Apa pun yang terjadi puncak akan kita gapai dalam kebersamaan”.
Berapi kami mengayunkan asa untuk terus menapak. Sekitar seratus meter kaki-dingin kami meninggalkan Pos III,  mendadak Jonathan menjerit kesakitan, “Pak, tunggu. Sakit sekali. Dua kakiku kram”. “Siap”, jaweabku singkat. Kutahu ini pasti akan terjadi. Setelah kaki menempuh panjang perjalanan, beristirahat hingga kedinginan, maka setelah digerakkan secara paksa untuk mengejar hangat. Dengan sendirinya otot-otot akan menjadi kaget. Kram pun  terjadi.
Satu anggota dengan kaki yang sering kumat kramnya dan di sisi lain, medan tempur antara Pos III menuju Pos IV memang sungguh menanjak tajam. Hingga kami pun seolah tidak bergerak, berjalan dengan sangat-sangat pelan. Namun asa untuk terpana melihat indahnya sinar emas mentari pagi menjadi motor yang mujarab. Tertatih langkah kami. Selangkah demi  selangkah kami meninggalkan ribuan jejak dan semakin jauh pula kami berhasil meninggalkan Pos III. Di tengah jalan, kami berjumpa dengan rombongan dari Salatiga yang berjumlah 5 orang. Mereka mengalami hal serupa dengan kami, yaitu satu anggota telah kaku kaki, kram akut dan sangat parah. Sempat kami berjalan beriringan. Solidaritas menjadi tenaga yang tidak terlukiskan. Namun sakit tetaplah sakit.
Kulihat wajah Jonathan dan teman baru dari Salatiga nampak sangat pucat. Apalagi cuaca memang sungguh sangat dingin. Berhenti kedinginan, tetapi saat bergerak rasa nyeri yang tak tertahankan meluluhkan ketahanan mental. Dalam situasi yang seperti itu, aku sempat kehilangan gairah. Yang menjadikanku terus bertahan adalah mereka masih mau bergerak dan tidak merengek, cengeng kekanak-kanakan. Kukobarkan gairah dan semangat mereka saat kubertemu dengan indah edelweiss merah. Bunga langka yang sulit dijumpai dan yang kutahu tidak semua gunung ada bunga edelweiss merahnya. “Ayo semangat. Teruslah bergerak. Di sini ada edelweiss merah. Siapa mau melihatnya?”
Teriakku mampu menutup sakit untuk sementara. Kami pun kemudian menikmati indah serta harum kembangnya. Selepas ini kami bergerak agak cepat. Kaki-kaki yang mulai menghangat perlahan juga melenyapkan kram pada kaki Jonathan tetapi tidak pada kaki teman baru. Hingga secara tidak sengaja kami pun meninggalkan rombongan Salatiga.
Hati merasa sangat lega saat mata menatap tulisan Pos IV. “Net, selamat yo”, sengaja kuucapkan kata itu pada Jonathan agar ia pun terus bersemangat. Saat itu kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 03.15. Tidak berapa lama kami beristirahat dan menikmati panorama di tempat ini. Segera kaki kami meninggalkannya untuk mencapai Pos V. Sejauh aku tahu dan dari pengalamanku Pos IV menuju Pos V hanya membutuhkan waktu 10 menit. Jarak yang cukup dekat dan medanpun perlahan mulai melandai.
Perjalanan sangat lancar, karena Jonathan sudah tidak lagi kram kaki. Hingga pada titik 03.30 kami telah menatap perdu yang bertuliskan Pos V.  Kuhentikan langkah sejenak karena aku pernah mengalami peristiwa yang sulit dinalar pada Pos ini. Kupusatkan hati untuk bersandar pada kemahakuasaan Yang Ilahi. Waktu itu aku pernah tersesat dan bingung selama dua jam. Aku dan teman-teman hanya muter-muter tidak jelas. Hingga kulit kacang asin warna putih membantu kami menemukan jalur yang benar.
Dari Pos V menuju Pos VI, atau Pos Sendang Drajat sebenarnya tidak begitu jauh, hanya sekitar 30 menit. Itupun dengan medan yang sangat landai, bahkan bisa dikatakan medan datar. Kalau tenaga masih utuh dan fisik masih prima, aku yakin itu dapat ditempuh hanya 10 menit. Tetapi beda dengan kami pada saat ini. Fisik yang sudah sempoyongan, mata yang terkantuk-kantuk, hal ini diperparah dengan angin yang berhembus kuat menjadikan udara dingin terasa semakin dingin. Sangat-sangat dingin. Hingga berasa darah tidak bisa mengalir. Beku.
Walaupun tertatih namun kami tetap terus melangkah. Seolah-olah kami sengaja menghitung langkah, pelan namun pasti. Hingga akhirnya tepat pukul 04.30 kami tiba di Sendang Drajat. Di sinilah pergulatanku dimulai. Aku sangat ingin menikmati indahnya sunrise di ketinggian Hargo Dumilah. Namun aku telah berjanji dengan kelima muridku yang semenjak kutinggalkan tidak ada suara memanggil. Aku berjanji untuk bersama-sama mencapai puncak. Demi kebersamaan dan solidaritas, akhirnya aku putuskan untuk menunggu mereka di sini.
Udara makin menusuk tulang. Jonathan dan Nico telah mencari tempat yang nyaman, mereka masuk goa sederhana di samping sendang lalu tertidur. Aku dengan segera mencari kayu kering agar ada perapian. Sebentar lagi tubuh tidak lagi panas maka harus ada penghangat. Kutinggalkan isteriku bersama dua muridku lalu aku kembali ke jalur yang telah terlewati. Sepintas aku melihat ada pohon kering yang bisa digunakan untuk membuat perapian. Kayu aku dapat. Dengan cekatan kubuatkan api dan kusiapkan air panas untuk membuat minuman hangat. Isteriku pun berdiang bersama aku. Lalu ia terlelap. Sedang aku terus berjaga untuk mempertahankan nyawa sang api sekaligus mengawasi mentari yang sudah bersiap keluar dari peraduannya.
Indah paras mentari saat lahir membangunkan kebahagiaan dalam hati. Maka aku pun tidak ingin menikmatinya  seorang diri. Segera kubangunkan isteriku, Jonathan dan Nico. Pada saat mentari lahir teriakan Andre dan Jovan memecah suasana bahagia itu. “YOPALA”. Serempak kamipun menjawab, “YOS”.
“Selamat ya. Tu minum energen dulu. Yang lain mana?”, tanyaku cemas.
“Tidur di bawah pak. Tapi mereka akan menyususl kok. Kita tunggu aja”. Aku merasa sangat lega mendengar berita ini.
Lalu kami pun berenam menikmati sunrise sambil makan mie rebus dan minum energen. Sebenarnya paling cocok adalah minum susu jahe atau kopi kental. Tetapi semua bahan minuman itu ada di tas peserta yang lagi tidur di bawah. Walau tidak ada minuman yang diinginkan tetapi itu tidak mengurangi kegembiraan serta kebahagiaan karena dapat menikmati indah paras sang surya.
Mentari makin tinggi melambung menatap kami, sinarnyapun mulai mengusir dingin malam. Hangat terasa. Namun ketiga muridku belum juga ada tanda-tanda muncul. Perut kenyang, udara yang mulai bersahabat menghantar keempat muridku lelap dalam pelukan indah Lawu. Mereka beralaskan bumi dan berpayungkan langit biru. Kendati begitu dengkur mereka menjadi nyanyian pujian atas kegembiraan hati yang tiada tara.
Jam 07.00 Willy, Zafnat dan Harda belum juga ada tanda-tanda muncul. Aku mulai kawatir. Hingga akhirnya kutenteramkan hatiku dengan satu keputusan, “Jam 08.00 merupakan batas toleransi. Kalau mereka tidak menyusul maka aku bersama rombongan akan bergerak turun dan tentunya mengubah rencana yang awalnya akan turun lewat Cemorokandang, menjadi pulang-balik lewat Cemorosewu”.
Namun aku tetap berharap bisa mencapai puncak dengan anak-anakku. Aku ingin agar anak-anak pernah mengalami masa-masa indah, pernah mengalami saat-saat membanggakan karena pernah menginjakkan kai-kaki mereka diatas atap-atap tertinggi Indonesia. Di tengah situasi yang tidak terlalu enak itu, sayup kudengar lantang bertenaga, “YOPALA”. Aku yakin itu dari ketiga muridku, maka dengan lantang pula kuteriakan, “YOS”. Teriakan jawaban sekaligus ungkapan rasa lega yang tidak terbanyangkan.
Mereka tiba tepat pukul 07.35, segera kutawarkan mie rebus yang sengaja aku persiapkan. Hal itu terjadi karena rombongan ini yang membawa alat masak hanya aku. Maka sudah pasti mereka tidak masak selama dalam perjalanan. “Hayo makan dulu. Biar tubuhmu segar. Lalu minum minuman hangat yang ada hehe”.
“Siap Pak”, jawab mereka serempak.
Sesuai rencana, kami pun bergerak meninggalkan kegembiraan di Sendang Drajat menuju puncak tertinggi Lawu tepat pukul 08.00. Selepas melewati pertigaan yang menuju puncak Hargo Dumilah dan yang menuju puncak Hargo Dalem, kami dimanjakan oleh pemandangan yang tidak mudah diperoleh. Lereng Lawu kali ini dipenuhi dengan taburan edelweiss merah. Nampak sangat indah. Delapan kali pendakian ke Lawu, baru kali ini aku mengalami peristiwa yang sangat mengagumkan. Bahkan area puncak tertinggi lawu seolah dipenuhi dengan aroma kembang ini. Sangat fantastis.
Pukul 08.30 kaki-kaki kami menapak di dataran tertinggi Lawu. Rasa syukur yang tiada tara menguap dari kedalam hati kami masing-masing. Lalu kami pun bercengkerama dengan Lawu, tentunya dengan cara kami masing-masing. Foto-foto. Selama aku mendaki Lawu, baru kali ini aku hanya berjumpa dengan lima orang. Itu pun dari dua rombongan. Satu rombongan beranggotakan tiga orang dan yang rombongan lainnya berjumlah dua orang. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena bulan puasa sehingga banyak pendaki muslim yang tidak menapakkan kaki-kaki mereka di ketinggian Lawu ini. Atau memang alam sengaja memberi kesempatan kepada rombongan kami untuk bermesraan dengan keindahan Lawu. Tanpa ada yang mengganggu.
Belum juga puas bahagia dalam diri ini, namun mentari terasa sudah sangat menyengat. Maka kami putuskan untuk bergerak turun, meninggalkan segala keindahan. Pukul 10.00, kami pun berpamitan dengan Hargo Dumilah. Sepanjang perjalanan dari puncak menuju Pos IV, kami disuguhi keindahan bunga edelweiss yang didominasi warna merah. Mereka baru pada titik sempurna sebagai bunga, sehingga keindahannya nampak luar biasa dan keharumannya mampu mengusir penak raga dan membangkikat semangat menjadi berlipat.
Perjalanan turun sangat lancar, karena kami tidak bertemu dengan pendaki lain. Jalur Cemorokandang kali ini menjadi hanya milik rombongan kami saja. Ini juga di luar kebiasaan. Sepnajang perjalanan turun kami juga disuguhi dengan banyaknya buah kantigi yang siap makan juga buah beri hutan yang banyak bertebaran. Isteriku sangat senang saat memanen buah-buah itu bahkan ia menyediakan kantung plastik untuk oleh-oleh. Hingga pada akhirnya, nafsu makan buah beri yang tidak terkontrol itu menyebabkan perutku berontak dan di Pos III pun aku terpaksa mengosongkannya.
Perjalanan selepas Pos III membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi. Setapak resmi telah berganti perdu, karena para pendaki lebih memilih jalur pintas yang memang lebih dekat. Masalah begitu banyak jalur pintasan sehingga cukup meragukan. Hingga pada akhirnya isteriku terjerembab jatuh hingga luitutnya pun membiru. Mata yang ngantuk dan fisik yang sudah sempoyongan menjadikan kami terpisah-pisah. Namun sebelumnya aku sudah berpesan kepada anak-anak, “jalur manapun boleh kalian pilih karena semuanya akan bertemu di jalur resmi yaitu sebelum selter di atas Pos II”.
Aku, isteriku dan Harda tiba duluan di selter, lalu aku menunggu sampai semua kumpul. Namun Andre dan Nico tidak ditemukan. Harapanku tetap positif, semoga mereka telah duluan. Bergegas aku meninggalkan selter untuk mengejar dua muridku. Kulihat jam tanganku yang menunjuk angka 12.00, cepat aku melaju. Pos II aku tidak berhenti. Lanjut terus. Isteriku mulai sempoyongan mengikuti jejakku. Sedang murid-murid yang lain jauh tertinggal di belakang. Hingga akhirnya rasa lega menyelimuti hati dan pikiranku saat aku melihat dari kejahuan dua orang telah menunggu di Pos I. Segera kuseret kakiku yang tidak lagi mau bekerjasama. “Udah lama nyampekah?”
“Baru aja kok, yang lain mana Pak?”
“Masih dibelakang. Kita tunggu aja. Entar juga nyusul”. Kami ngobrol sambil menunggu yang lain tiba. Lalu aku pun terlelap. Dan saat membuka mata, semua telah berkumpul. Kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 13.45. Segera kami pun melanjutkan langkah. Dan kami pun mencatat dalam sejarah hidup kami masing-masing bahwa kami telah menyelesaikan peziarahan Lawu pada jam 14.45. Karena di jam itu kami sampai di base camp Cemorokandang.
 Mengakhiri petualangan ini aku hanya bisa berkata, “Terimakasih Lawu. Engkau telah mengajari kami bersabar, mengajari kami untuk saling memberi, mengajari kami untuk dapat mengalahkan diri. Dan itu semua adalah pelajaran bagi kami tentang cara menjadi sahabat, tentang cara menjadi saudara”.







[1] Perjalanan dari base camp dimulai dengan melewati gerbang pendakian, medan awal berupa jalur tanah dan bebatuan. Di sepanjang jalur awal ini banyak ditumbuhi oleh pohon cemara. Baru setelah melewati hutan cemara ini, di kiri – kanan jalur terdapat kebun sayur milik penduduk. Dari basecamp menuju pos satu, jalur tidak begitu menanjak, namun pendaki harus tetap berhati – hati, karena tanah bebatuan yang dilewati lumayan licin. Dari base camp menuju pos satu dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Di pos satu, terdapat sebuah pondok, dan di depannya juga ada warung. Namun waktu kami mendaki, warung-warung ini sedang tutup. Mungkin karena musim puasa.
[2] Perjalanan dari pos 1 menuju pos 2 merupakan jalur terpanjang, dan medannya mulai memiliki kemiringan lebih tajam dibandingkan jalur pos 1. Jalur ini berada di kawasan hutan pegunungan tropis.