Jumat, 16 Agustus 2019

catatan perjalanan: solo hiking gunung Lawu via Singolangu


SOLOHIKING: LAWU VIA SINGOLANGU
JALUR KLASIK (“PENDAKIAN YANG SPIRITUAL”)
Oleh: Heri


Salam Rimba, Salam Petualang, Salam Lestari, Salam Persahabatan.
Selamat berjumpa dalam sebuah kisah. Kisah yang sederhana. Hanya sebuah catatan perjalanan. Kali ini, aku akan berbagi sepenggal jejak dalam torehan waktu  pada setapak gunung Lawu via Singolangu.
Zaman terus merangkak, berbenah dan berubah, namun pengalaman tetaplah personal. Pengalaman dalam mengais informasi, bagiku tetap akurat dari taburan kata. Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini orang lebih mudah merekam dan meninggalkan jejak digital dan visual. Video blog (vlog) bertaburan tak karuan. Namun belum cukup menggambarkan situasi dan kondisi di lapangan. Informasi yang disampaikan dalam bentuk rekaman video atau film, belum mampu memenuhi ruang imajinasi pada situasi yang belum terjamah.
Minimnya informasi tertulis di internet tentang jalur gunung Lawu via Singolangu (sampai pada pendakianku belum ada satu pun rekam jejak petualangan dalam sebuah “catatan perjalanan”). Hal inilah yang mengusik hatiku untuk mencoba membagikan sepercik kisah, pengalaman singkat dalam menapakinya. Inilah kisahnya, ….
dari pos 5

 Gunung Lawu via Singolangu
Gunung Lawu via Singolangu, desa Sarangan, kecamatan Plaosan, kabupaten Magetan belumlah sebagai jalur resmi. Ijin dari TNGL masih dalam proses. Kendati demikian, jalur ini merupakan jalur peziarahan yang paling tua. Menurut informasi jalur ini diyakini sebagai jalan spiritual dari Raja Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir). Tidak mengherankan bila disepanjang jalur terdapat banyak petilasan, yang masing-masing memiliki kisah dengan kearifan lokal yang menyertainya. Jalur ini dulunya pernah ramai untuk umum. Namun, karena adanya peristiwa na’as menjadikan jalur ini pelan-pelan ditinggalkan dan menjadi sepi. Jalur ini hanya ramai oleh para peziarah.
depan pos 3

Kerinduan untuk mengangkat jalur pendakian Singolangu kembali mengundang untuk segera dijawab. Hingga pada akhirnya, para pemuda Singolangu beserta warga yang tergabung dalam paguyuban kelompok masyarakat “Sanggar Margo Lawu” berinisiatif untuk menata jalur peziarah agar semakin layak dan dapat menjamin keselamatan pendaki (jalur dibikin lebih safety). Setelah jalur dirasa layak untuk dijadikan sebagai jalur pendakian (untuk umum bukan untuk minat khusus) kemudian jalur ini disosialisasikan kepada khalayak umum, khusunya bagi komunitas-komunitas pencinta alam. Sosialisasi itu diadakan dalam sebuah event pendakian masal pada tanggal 4-5 Mei 2019. Usai sosialisasi, pihak pengelola (“Sanggar Margo Lawu”) mendapat banyak masukan dari berbagai kalangan (terutama dari peserta penmas tersebut). Kemudian, jalur ditata dan diperbaiki lagi. Setelah lebaran 2019 jalur kembali dibuka untuk umum.

Transportasi menuju Basecamp Gunung Lawu via Singolangu
Hari ini, Sabtu  10 Agustus 2019, aku berangkat sendirian dari Solo, Jawa Tengah. Aku memulai perjalanan pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.00. Aku menggunakan  sepeda motor. Dari informasi yang kukumpulkan mengerucut pada satu titik bahwa lokasi base camp dari arah Solo adalah setelah base camp pendakian Lawu via Cemoro Sewu. Kendati hari masih dini, namun kondisi jalanan sudah cukup ramai. Sehingga perjalananku tidak begitu lancar. Satu jam berkendara membawa aku sampai di sekitaran tanjakan setelah Tawangmangu. Mataku mulai menyelidik setelah base camp Cemoro Sewu.
Pikirku jarak antara Cemoro Sewu dan Singolangu itu berdekatan, ternyata cukup jauh. Menurut sepidometerku menunjuk perkiraan antara 9-10 km. Sebenarnya cukup mudah untuk menemukan lokasi base camp pendakian Lawu via Singolangu. Tanda pastinya yaitu setelah melewati Cemoro Sewu, lurus menuju wisata telaga sarangan. Acuannya adalah swalayan Alfamart (satu-satunya) yang berada di sebelah kanan jalan. Dari swalayan tersebut, sekitar 100 m akan melihat pertigaan (di sebelah kiri) yang telah terpampang banner (semacam baliho, karena cukup besar) bertuliskan jalur pendakian Lawu via Singolangu.
Keluar dari jalur utama Tawangmangu-Magetan, menyusuri jalan khas perkampungan di area pegunungan yang tidak begitu luas, menanjak, banyak simpangan dan ada tikungan tajam. Dari pertigaan jalan besar, hanya sekitar 1 km. Base camp tepat berada di sebelah kiri jalan.
Apa bila pendaki akan menggunakan transportasi umum, aku kurang tahu. Tetapi kalau masih bingung silahkan menghubungi nomor pengelola. Base camp Lawu via Singolangu 082141817515 (a.n. Bayu) atau “Sanggar Margo Lawu” 085257273587 (a.n. Dedi)  atau bisa DM dan mengikuti IG @lawuviasingolangu


Simaksi pendakian Gunung Lawu via Singolangu
  1. Tiket pendakian = Rp. 15.000/orang 
  2. Parkir sepeda motor = Rp. 5.000/orang 
  3. NB: tarif ini tidak bersifat tetap. Ada kemungkinan akan mengalami perubahan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu

Ringkasan waktu Perjalanan
            Mohon maaf, informasi tentang perkiraan waktu tempuh yang aku tuliskan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Berbeda dengan yang disampaikan oleh pengelola. Sekali lagi mohon maaf, karena bagiku waktu tempuh pendakian itu seutuhnya tergantung pada tenaga, stamina, perbekalan, metode, dan pengalaman pendaki itu sendiri. Kali ini, aku mendaki dengan metode trail run (namun, saat ini masih lebih popular desebut tik-tok. Kendati itu sebenarnya sangat berbeda).
  1. Base camp – Pos 1 (Kerun-Kerun) = 25 menit (jarak tempuh  1,8 km)
  2. Pos 1 (Kerun-Kerun) – Pos 2 (Banyu Urip) = 30 menit (jarak tempuh  2,7 km)
  3. Pos 2 (Banyu Urip) – Pos 3 (Hutan Cemara) = 45 menit (jarak tempuh 1,3 km)
  4. Pos 3 (Hutan Cemara) – Pos 4 (Taman Edelweis) = 45 menit (jarak tempuh 1,1 km)
  5. Pos 4 (Taman Edelweis) – Pos 5 (Cokro Paningalan) = 30 menit (jarak tempuh 0, 5 km)
  6. Pos 5 (Cokro Paningalan) – Puncak = 1.30 menit (jarak tempuh 1, 1 km)
  7. NB: Sumber air ada di Pos 2 (jarak tempuh Pos 2 - Mata Air sekitar 150 m). Sumber air yang kedua ada di Sendang Drajat (kering pada musim kemarau panjang).
dari puncak bukit ilalang


Sekelumit Kisah Pendakianku
            Sebut saja aku adalah Jimanto. Seseorang yang bukan siapa-siapa. Aku hanya bagian dari segelintir manusia yang selalu rindu untuk bertemu. Perjumpaan dengan liyan, pertemuan dengan segala mahkluk merupakan penenang jiwaku. Telah lama aku mendengar cerita tentang jalur pendakian gunung Lawu via Singolangu, namun tak kunjung juga waktu membantu mengurai penasaranku. Hingga pada hari Sabtu, 10 Agustus 2019 aku memperoleh kesempatan untuk menjawabnya.
            Berbekal serpihan informasi yang berserakan di kepala, kuberanikan untuk berpetualang seorang diri. Ekspedisi dengan metode trail run. Berlari di medan gunung yang baru pertama kujejak. Pagi merekah bersama sejuta harapan, bersama kuda besi kumulai petualangan ini. Usai melewati base camp Cemoro Sewu, mataku baru nanar mencari petunjuk untuk menentukan arah. Hingga akhirnya kusempatkan untuk beberapa kali bertanya. Syukurlah sekitar pukul 07.30 aku telah berada di base camp.
gerbang pendakian singolangu

      Obrolan demi obrolan mengalir seolah antara aku dan pengurus base camp telah lama bersua. Pada hal ini baru perjumpaan pertama. Kupaksa untuk menghentikan obrolan karena waktu telah berdiri kokoh di titik 08.00. Berarti ini saatnya untuk melakukan pendakian. Simaksi dengan ongkos Rp 15.000 serta parkir Rp 5.000 kuselesaikan. Hari ini, hanya ada satu rombongan sebanyak 6 anggota. Mereka berasal dari Purwodadi (Grobogan) yang telah memulai pendakian semenjak pukul 07.00. Selama satu minggu ini, baru rombongan yang di depanku yang nanjak. Mengetahui bahwa ada teman lain di petualangan ini, aku pun bergairah untuk menikmatinya dengan segera.
rute jalur

a)      Basecamp Menuju Pos 1 (Kerun-Kerun)
Antara base camp dan gerbang pendakian tidaklah berjarak. Karena memang berdekatan. Usai melewati gerbang pendakian, jalan besar berupa batu yang tertata. Lurus melewati perkebunan yang bersanding dengan mata air yang di bawahnya ada kolam ikan. Sekitar seratus meter meninggalkan gerbang, jalur pendakian masih tetap lebar dengan dinaungi perkebunan bambu yang begitu sejuk dan rindang-menyegarkan. Ujung dari perkebunan bambu ini menggiring untuk bertemu dengan pertigaan pertama, arah jalur harus memilih yang kanan. Berjalan terus lurus melewati jembatan pendek, lalu bertemu dengan pertigaan kedua, harus memilih kiri.
kebun bambu telah menyambut

Dari pertigaan kedua ini lah, jalur mulai menanjak syahdu. Situasi setapak yang menanjak landai tidak begitu terasa karena bernaung di bawah lebat hutan pinus. Jalur antara base camp-pos 1 banyak sekali percabangan. Banyak setapak yang akrab digunakan warga (mungkin sebagai jalur perambah hutan atau ada perkebunan di sisi yang lainnya). Kendati banyak persimpangan, tidak perlu khawatir, karena pengelola telah membuatkan papan petunjuk yang mudah dilihat dan tentu terpercaya.
pertigaan pertama, pilih lurus (kanan)
pertigaan ke 2 belok kiri

Usai menapaki tanjakan manja, medan akan melandai. Pada titik ini, di bawah naungan pohon pinus yang lebat sekaligus digunakan untuk perkebunan (tanaman tumpang sari). Setapak melandai sampai di bumper “Kiteran Camp Ground”. Terlihat bahwa tempatnya sudah ditata sedemikian bagusnya. Sehingga bila mendirikan tenda maka akan berlantai datar. Sudah ada kamar mandi (MCK) permanen (berjumlah  4). Yang jadi menu utama dari bumper ini adalah pemandangan yang menatap keindahan perkebunan di sekitar Telaga Sarangan juga keindahan kota Magetan (terutama views di malam hari).
camping ground kiteran

Jalur yang dominan landai mendorongku untuk berlari-lari ringan. Sekitar 500 m dari bumper, aku berjumpa dengan rombongan pendaki yang berjumlah 6. Ternyata mereka belum sampai pos 1. Sedikit basa-basi, tegur sapa, aku pun berpamitan meninggalkan mereka. Sampai di titik ini, aku telah bertemu dengan beberapa warga, mereka menyapa akrab, khas sapaan penduduk desa yang tulus.

sebelum pos 1, ada banyak persimpangan. tp tenang, ada penunjuk arah

Aku terus melaju, hingga bertemu dengan tanjakan landai yang membelah jalur menjadi 2. Ternyata ini menjadi penanda bahwa pos 1 sudah di depan mata. Pos 1 Kerun-Kerun merupakan sebuah area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Bisa sampai 5 tenda dum. Selternya juga cukup besar, bisa untuk berteduh 40 orang. Aku tidak berhenti lama di pos ini, hanya mengatur nafas, kemudian bergerak lagi.
pos 1 kerun-kerun

b)      Pos 1 (Kerun-Kerun) Menuju Pos 2 (Banyu Urip)
Selepas pos 1, keadaan jalur masih sama, yaitu landai. Hutan mulai variatif. Ada banyak jenis tanaman, pepohonan dan tumbuhan. Intinya, vegetasi yang  ada tidak hanya dominan pohon pinus. Sekitar 500 m meninggalkan pos 1, jalur akan menggiring kemampuan untuk menyeberangi sungai kecil (saat ini sedang kering. Kalo musim hujan akan ada air yang mengalir). Karena vegetasi lebih variatif, maka keadaan setapak tentunya semakin rindang. Seolah sinar matahari tidak mampu menembus celah dedaunan dan pepohonan. Sekitar 1 km selepas pos 1, jalur akan menanjak tajam kemudian turun landai agak panjang dan akan berakhir di jembatan.


Setelah menyeberangi jembatan, keadaan setapak masih sama, hutan lebat, padat dan rindang, serta landai. Sekitar 500 m dari jembatan, pendaki akan bertemu dengan salah satu “Petilasan” Prabu Brawijaya V berupa batu (Watu Lapak) yang saat ini masih dipakai untuk ritual-spiritual. Aku hanya mengabadikannya, berdoa sejenak, lanjut lagi. Setapak masih datar. Kemudian akan bertemu tanjakan yang lumayan tajam. Ada beberapa alternatif jalur (lama dan baru). Jalur baru cenderung dibuat landai, berkelok dan panjang. Sedangkan jalur lama, sempit dan terjal-menanjak. Selepas jembatan hampir tidak ada persimpangan jalan. Kalau pun ada, itu hanya persimpangan jalur lama dan baru, yang akan bermuara pada titik yang sama.

watu lapak

Bila sudah bertemu tanjakan-manja berarti akan sampai di pos 2. Benarlah yang kuperkirakan. Tepat pukul 09. 00, aku tiba di Pos 2 “Banyu Urip”. Di pos ini terdapat selter yang cukup longgar, bisa memuat sekitar 30 orang. Dari pos ini juga merupakan satu-satunya pos yang bisa untuk mengambil air (selain di Sendang Derajat). Walau harus turun sekitar 150 m (PP = 300 m). Di pos 2 ini terdpat beberapa titik untuk mendirikan tenda. Bila ditotal bisa memuat sekitar 7 tenda dum. Di pos ini, aku juga tidak berhenti lama. Aku hanya mengatur nafas dan lanjut.

pos 2

c)      Pos 2 (Banyu Urip) Menuju Pos 3 (Hutan Cemara)
Dari pos 2 ini, ada 2 alternatif jalur. Bila langsung melewati punggungan bukit dan setapaknya kecil bahkan cenderung tidak terlihat, itu adalah jalur lama. Jalur ini akan bertemu di beberapa titik dengan jalur baru yang lebih lebar dan landai. Jalur ini akan kembali utuh semenjak bertemu dengan petilasan (tidak ada nama/ keterangan. Aku tidak melihat nama dari petilasan ini). Terlihat petilasan ini sepintas mirip tugu batu atau lingga. Di dekat petilasan benda bersejarah ini, terlihat ada persimpangan. Aku melihat jalur baru yang bercabang/ bertemu dengan jalur lama ditutup dan pendaki diarahkan lewat jalur lama/ peziarah. Kenapa hal itu dilakukan atau ada apa di balik jalur yang ditutup itu, aku tidak tahu. Bagiku jarak tempuh yang kembali menghubungkan titik pertemuan jalur yang ditutup itu dengan jalur baru cukup jauh.
petilasan tak bernama

Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 ini, situasi keadaan hutannya kian rapat dan sangat padat. Betul-betul merasakan sensasi hutan belantara. Mulai dari pos 2 tanjakan demi tanjakan terus berganti variasi kemiringannya. Ada yang curam tetapi ada juga yang landau. Perjalanan pendakiain yang beratapkan lebat dedaunan hutan mulai membuka diri kendati masih rapat adalah setelah melewati “Cemara Lawang”. Sebuah setapak yang melewati semacam pohon cemara-kembar. Pohon yang cukup besar dengan suasanan mistis yang sangat kuat. Menurut info, di area ini merupakan gerbang menuju dunia gaib.

cemoro lawang 

Usai melewati gerbang cemara, setapak mulai melandai hingga bertemu dengan jalur yang bercabang, bertuliskan “Jalur Brawijaya”. Ada kesan, jalur lama mau sengaja dimatikan. Setelah tulisan itu, setapak dibuat lebar dan tanjakan juga cukup bersahabat. Sampai di sini, aku mulai bertanya-tanya, “Mana ini pos 3?” Dalam dunia pendakian bila sang petualang mulai bertanya seperti ini, artinya ia sedang mengalami kelelahan dan stress.
 suasana hutan yg masih asri

jalur baru, jalur Brawijaya

Tanjakan tidak juga melandai. Tenaga dan raga kian koyak. Namun, semangatku untuk menyelesaikan misi masih berkobar. Dalam lelahku, mataku kembali berbinar saat melihat ada selter di kejahuan. Artinya, sebentar lagi akan sampai di pos 3. Dan benarlah demikian. Keadaan yang menanandai bahwa akan sampai di pos 3 adalah setapak yang di kanan-kiri jalur ditumbuhi ilalang dan tanjakan cenderung landai bahkan datar.

jalan mulai landai n ada ilalangnya

Pos 3 Hutan Cemara memiliki selter yang lebih kecil dari pos-pos sebelumnya. Kendati demikian, mungkin masih bisa menampung sekitar 15-20 orang. Di sekitaran pos medannya cukup landai dan sudah disiapkan (dirancang) sebagai camping ground. Dari pengamatanku, di sini, kira-kira dapat dipergunakan untuk camp secara nyaman. Ada beberapa tempat yang disiapkan untuk mendirikan tenda/ selter secara aman dan nyaman. Dari pos ini views area bawah juga sudah terlihat sangat bagus dan indah. Kalaupun pendkaian hanya sampai di pos ini, tidak usah kecewa atau timbul sesal hati. Karena dari tempat ini sudah mampu untuk menikmati keindahan “Negeri Atas Awan”.
selter pos 3

Aku tiba di pos 3 tepat pukul 10.00. Lumayan cepat. Istirahat 15 menit, sambil menikmati perbekalan. Kurasa tenagaku mulai memulih. Aku pun kembali mencoba untuk meneruskan petualangan. Jalan lagi. Tentu, tertatih-tatih lagi.
views  dari pos 3 (di dpn selter)

d)     Pos 3 (Hutan Cemara) Menuju Pos 4 (Taman Edelweis)
Meninggalkan pos 3 jalur kian sadis. Tanjakan dahsyat siap menyambut dan menemani. Tidak ada ampun. Bahkan di titik awal “Tanjakan Penggik” pun telah diberi peringatan, “Apabila ragu-ragu lebih baik kembali”. Sedangkan di sisi lain juga di plakat yang sama, memberi peringatan dengan nada bercanda, “Gunakan gigi satu!”. Awalnya ketika aku membaca tulisan-tulisan tersebut, spontan aku tertawa dan tersenyum. Namun saat melangkahkan kaki melewati urutan anak tangga darurat yang bikin ngilu lutut. Bergetarrr!

peringatan ini, sekitar 200 m setelah pos 3

Pihak pengelola cukup bijak, karena di beberapa titik telah dipersiapkan tempat untuk camp. Di samping setapak yang menanjak hebat disediakan area yang mungkin hanya bisa menampung 1 atau 2 tenda. Sehingga pendaki tidak usah khawatir bila tidak kuat. Langsung saja buka lapak di pinggir tanjakan.
sebidang tanah datar di samping tanjakan. ada bbrp
Tidak perlu terlalu merisaukan tanjakan karena musim kemarau di jalur ini merupakan surga. Sepanjang jalur dihiasi bunga edelweiss. Aromanya yang begitu harum mampu membangkitkan gelora jiwa untuk terus berkobar. Maka tidak mengherankan bila Pos 4 diberi nama Taman Edelweis. Menjelang sampai di pos 4, tanjakan mulai melandai. Setapak juga tidak lagi berada di punggungan bukit yang kanan-kirinya berupa jurang.

tantangan d dpn

surga d belakang

Pos 4 ini berupa sebidang tanah datar yang dapat menampung sekitar 5-6 tenda. Di sekitar pos 4 ini tanaman edelweiss seolah-olah memang dirancang semesta. Aromanya bikin bentah. Sekitar pukul 11.20 aku sampai di pos ini. Setelah disambut dengan tanjakan super ganas, lututku kian ngilu. Seolah-olah tenagaku sudah habis dan jadi ambyar berantakan. Untuk mengembalikan tenaga kubuka bekal dan kunikmati kue coklat. 10 menit aku rasa cukup. Saatnya melanjutkan petualangan.



e)      Pos 4 (Taman Edelweis) Menuju Pos 5 (Cokro Paningalan)
Meninggalkan Pos 4 jalur mulai bersahabat. Cukup variatif, ada tanjakan yang tidak begitu tajam, ada pula medan datar. Jalur ini juga menyuguhkan panorama yang beragam. Ada “Bukit Ilalang” suatu tempat yang melandai penuh dengan rerumputan, seperti sabana tetapi tidak begitu luas. Juga akan melewati “Bukit Family”, sebidang tanah datar yang dipenuhi rerumputan hijau. Sangat cocok buat camping ceria. Dari lokasi ini, pemandangan lepas ke penjuru bawah telah dapat dinikmati. Gugusan bangunan rumah-rumah terlihat dikejahuan, menandakan bila malam hari pasti akan menjadi bukit bintang. Di bawah ada taburan lampu-lampu kota sedangkan di atas cakrawala membentang taburan berjuta bintang menemani.

bukit ilalang

bukit family

Tenagaku kian koyak. Sepanjang jalur “Tanjakan Penggik” aku telah dihadapkan pada badai yang tiada henti. Badanku ngedrop sampai kedinginan. Untungnya masih sesekali dilindungi oleh semak-perdu yang rimbun. Karena bagian bawah kakiku hanya berbalut legging maka dingin itu tembus sampai ke tulang. Tidak mengherankan bila akhirnya aku harus terkena kram kaki. Bagiku bila kaki kram adalah pantangan untuk berhenti. Petualangan harus dilanjutkan walaupun kian pelan dan tertatih.
pos 5 dikerumuni edelweis

Perjuanganku membuahkan hasil. Di sebidang tanah yang datar, kubaca papan bertuliskan Pos 5 “Cokro Paninggalan”. Hatiku lega. Bangga. Di ujung bukit kulihat ada beberapa tenda dum yang berjajar memamerkan warna-warninya. Seolah mereka melambai-mengundang untuk segera bergegas bahwa di titik itu lah “Sendang Drajat” berada.
di pos 5
Kakiku yang kram telah pulih, tenagaku pun telah kembali. Cuaca pun membaik, badai berhenti dan berganti dengan semilir angin sepoi-sepoi manja. Semangat membara untuk segera menuntaskan misi bergelora. Namun, ketika kulirik arlojiku, jarum jam telah menunjuk angka 12.00. ini berarti aku harus menghentikan petualangan. Tidak ada lagi langkah untuk menanjak yang diteruskan. Sudah menjadi prinsipku, bila menggunakan metode trail run untuk mendaki gunung,”waktu adalah acuannya”. Titik tujuku adalah waktu, yaitu pukul 12.00 (Artinya, aku harus finis. Selesai).
d pos 5
Aku diambang kebimbangan. Ada pertarungan ego, antara ingin menyelesaikan misi tetapi terbentur juga dengan prinsip. Menimbang tenaga dan kemampuan fisik serta mental aku masih punya, tetapi waktu tidak mungkin aku tawar. Tidak realistis bila aku terus melangkah karena akan tiba di rumah jauh melebihi waktu target. Ketepatan waktu pulang adalah kelegaan bagi yang menunggu di rumah. Sedangkan kemoloran atau pulang tidak tepat waktu akan membawa kegelisahan, kecemasan serta kekhawatiran bagi orang yang mencinta. Akhirnya, dengan tegas kuputuskan untuk menyudahi petualangan ini. Masih ada hari esok untuk melunasinya.
dr pos 5

f)       Pos 5 (Cokro Paningalan) Menuju Puncak Lawu Hargo Dumilah
Demikianlah, petualanganku dalam menapaki jalur Lawu via Singolangu. Memang belum tuntas karena baru sampai Pos 5. Sebenarnya, menurut keterangan dan juga berdasarkan gambar dalam peta, jarak dari Pos 5 menuju puncak tinggal 1,1 Km. Tidak jauh lagi. Sepelan-pelannya orang mendaki, aku pastikan maksimal hanya tinggal 1,5 jam. Namun, prinsipku tidak bisa ditawar lagi. Aku harus kembali.
dr pos 5

g)      Pos 5 (Cokro Paningalan) Menuju Base Camp
Dari Pos 5 ini, pemandangannya sungguh luar biasa. Bentangan semesta seolah menyambut dan ingin memeluk. Garis cakrawala yang memisahkan biru langit dengan hijau daratan membentang sejauh mata memandang. Di sekitar selter pos 5 ini juga bertaburan dan bertebaran aneka bunga edelweiss. Ada yang berbunga warna merah (tepatnya pink), kuning berpadu hitam, juga ada yang berwarna putih kekuningan. Dari pos ini seolah berada di tengah hamparan taman edelweiss.
di belakang beda dg yg di dpn

30 menit kuhabiskan waktuku di pos ini. Kunikmati lagi perbekalanku dan kusisakan sedikit untuk berjaga-jaga. Tenagaku yang telah utuh dan lama beristirahat serta semangat yang berkobar, kuyakinkan dan kubulatkan tekat untuk menembus perjalanan turun maksimal 2 jam.

Pukul 14.30 maksimal aku harus tiba di base camp, istirahat sebentar dan langsung pulang ke Solo. Karena pukul 16.00, aku ada acara lain. Di rumah aku telah ditunggu dengan cinta oleh belahan jiwaku.
Maka, tepat pukul 12.30 kumulai perjalanan turun ini. Metode down hill dalam dunia lari pun aku gunakan. Melesat aku seolah bagai cetah yang menyeruak belukar dengan gagah dan percaya diri. Dalam sekejab pos 4 terlewati. Meluncur terus menuruni “Tanjakan Penggik”. Tidak mengalami kesulitan berarti aku telah sampai di Pos 3. Di pos ini, aku kembali bertemu dengan rombongan Purwodadi.
di atas pos 4
Mereka mengais informasi. Terlihat di wajah masing-masing kelelahan yang kian mendera. Mendengar keluhan mereka, keyakinanku kian pasti. Mereka bercerita tidak akan pulang di jalur yang sama. Mereka akan melewati Cemoro Sewu. Mereka bilang terlalu berat jalur ini. Berat karena hutan belantara yang tidak mampu ditembus sinar matahari. Bayang-bayang dunia ghaib serta mistis. Aku berpikir, “Mungkin di antara mereka ada yang punya indra ke 6”. Ah, sudahlah. Kutetapkan tegar hati, tegar pikir, dan tegar mentalku.
sepanjang jalur pos 3-5
Sekitar 10 menit aku ngobrol dengan mereka. Aku anggap sekalian istirahat. Kemudian aku berpamitan untuk meneruskan langkah. Kembali kujejakkan langkah, melompat, menerjang lincah seperti cetah. Menembus belantara hutan, terus bergerak, berlari. Hingga sampailah aku di Pos 2, kulirik jam tepat pukul 13.30. Kuputuskan untuk menghela nafas barang sejenak, sambil meluruskan kaki, mereguk air perbekalan.

10 menit berlalu, kembali aku berlari, menari di antara semak, hutan yang membentang. Medan dari pos 2 sampai menjelang base camp memang cenderung landai, sangat cocok untuk berlarian. Pos 1 telah terlewati, aku tidak berhenti terus bergerak, berlari, melompat, menerjang. Hingga tidak terasa bila telah tiba di base camp. Kulihat arlojiku, waktu tepat berada di titik 14.20. Sesuai target. Aku disambut penuh keheranan oleh para pengelola base camp. Karena memang dirasa sangat cepat. Kami pun segera terlibat dalam obrolan sederhana. Hal ini kumanfaatkan sambil istirahat barang sebentar.
hutannya asik
Kusadahi obrolan dan kembali aku berkemas. Persiapan untuk berganti medan petualangan. Kini, aku berada di atas punggung kuda besi. Saatnya untuk menari di atas jalanan antara Telaga Sarangan-Solo. Tepat pukul 16.00, kubuka pagar rumah dan senyum ceria isteriku menyambut ceria. Ia siap mendengar kisah petualanganku hari ini.

Akhirnya,
            Pada akhirnya, setiap petualangan harus meninggalkan makna. Inti dari adventure adalah “adanya pembelajaran” dari setiap kisah yang ditorehkan. Medan petualangan yaitu bisa setapak, aspal, gunung, hutan, pantai, laut maupun gua hanyalah sebuah sarana. Medan petualangan hanyalah sebuah cermin. Kaca Benggala kehindupan. Menapaki medan petualangan di gunung Lawu via Singolangu sesungguhnya adalah cara menapaki diri. Lorong-lorong setapak, menerobos hutan, semak-belukar, perdu, pepohonan, bunga-kembang gunung, menyeberangi sungai, dan selokan di gunugn Lawu ini, semestinya memantulkan realita diri yang bersangkutan.

Aku pun merasa dengan petualangan ini terbantu untuk semakin mengenal diri, mengolahnya dan memperbaikinya. Dalam dunia pendakian, aku termasuk kukuh untuk menggapai titik tertinggi dalam setiap pendakian. Kali ini aku harus meluruhkan segenap egoku, karena aku dimampukan untuk memikirkan orang lain. Aku hidup tidak hanya untuk diriku saja. Tetapi aku hidup bersama dan membangun relasi yang sehat dengan sesama. Oleh karena itu, aku beranikan memangkas hasratku demi orang lain.
Terimakasih Lawu via Singolangu, bersamamu kudewasakan diriku. Terimaksih untuk semua orang yang aku jumpa dan untuk semua orang yang membantu kelancaran dalam petualangan ini. Terimaksih semesta, atas naunganmu dan pembelajaranmu. Terimakasih untuk isteriku yang masih memberi ruang kepadaku sehingga aku masih bisa bercengkerama dengan alam. Syukur Tuhan atas segala berkat dan perlindunganMu. Semoga aku masih bisa mengulang petualangan ini. Amin.