Senin, 29 Juli 2013

CATATAN PERJALANAN: SINDORO VIA BANSARI



SINDORO VIA BANSARI: DI ULTAH PERKAWINANKU

Oleh: Heri
berdua d lembah edelweis sindoro

            Banyak orang tahu cara bahagia. Tetapi tidak mampu menjalaninya. Bahkan tidak mampu untuk sekedar berani mencobanya.
 Apakah putaran waktu selalu bermakna?”, pertanyaan inilah yang menggiringku untuk melihat kembali serpihan-serpihan perjalanan hidup yang pernah kulewati.
Jejak semakin samar dan semakin sulit saat waktu telah menggiring angin menghembuskan nafas atas dirinya. Membingkai putaran waktu menjadi frame yang layak untuk diperhatikan bukanlah perkara mudah. Ada kepekaan dan seni hidup yang mesti mendasarinya. Berbagai peristiwa mesti dilihat secara harmoni sehingga mampu menciptakan keindahan. Sudut pandang dari sang seniman hidup akan senantiasa menghasilkan keindahan kisah. Sepahit apapun peristiwa yang terjadi akan menghasilkan panorama indah bila mampu menempatkan diri untuk melihatnya dengan cara beda.
Hari-hari berlalu dengan yang rutin.
Aktifitas yang cenderung ritmis. Diawali dengan hari Senin dan diakhiri hari Sabtu menggiring aku untuk melakukan hal-hal yang sama. Pekerjaan dan aktifitas lainnya pun tidak jauh dari dunia pekerjaan. Kesibukan dan kubangan pekerjaan secara perlahan telah mengikis rasa manusiaku. Pelan dan pasti hidup tidak lagi dinamis tetapi menjadi statis. Bahkan sisi-sisi lain dari hidupku pun terimbas dengan yang rutin itu. Sesungguhnya aku tidak lagi lajang, aku telah beristeri. Aku juga bagian dari masyarakat dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkunganku. Namun, urusan keberlangsungan hidup yang menjadi prioritas hidup memaksaku untuk bangga dan betah dengan yang rutin tersebut.
Sebagai seorang pendidik yang masih yunior memiliki cita-cita ideal terhadap totalitas kerja merupakan hal yang sangat wajar. Dan itu lah aku saat ini.
Adanya totalitas mengandaikan adanya sisi-sisi lain yang terlupakan. Dan itu juga ada dalam diriku.
Menyadari bahwa diriku sebagai mahkluk berdimensi banyak, tidak akan mudah menjalani semuanya secara seimbang dan gampang. Ada berbagai lompatan yang mesti aku lakukan. Sayangnya aku belum bisa. Oleh karena itu mesti ada upaya dan itu mungkin kalu aku mau menciptakan momentum. Peristiwa-peristiwa yang aku usahakan untuk bisa terjadi itu lah yang akan secara perlahan membimbingku untuk hidup sebagai manusia yang secara bertahap bisa menyeimbangkan ribuan dimensi diri.
Menjelang lima hari menuju tanggal 09 Juli 2013, ternyata aku akan menggenapi perjalanan satu tahun sebagi seorang suami. Kehidupan baru yang pada mulanya di luar rencana. Hal yang tidak mudah tetapi aku berusaha menyakini bahwa ini jalanku. Kendati kehidupan lama masih terus menghantui[1] tetapi aku akan terus membangun tekat untuk bisa berdiri kokoh di medan yang kupijak ini.
Menyatukan dua pribadi dalam satu realita merupakan mimpi yang harus dibangun dari kesadaran yang bertanggung jawab. Mengikuti selera bukan lagi yang utama. Membangun cita sebaik apapun selama masih dalam koridor pribadi merupakan halangan terbesar dalam usaha untuk menyatu tersebut. Kerelaan untuk mengalah atas dasar pertimbangan rasional kendati hati mesti terluka merupakan santapaan setiap saat. Bukan aku yang mesti menang tetapi biarlah pasanganku yang memperoleh suka. Bila prinsip ini menjadi nyata dalam kehidupan rumah tangga maka yang akan ada adalah kebahagiaan yang tidak terlukiskan. Bila pasangan suami-isteri berlomba-lomba untuk memberi ruang pasangannya yang menang. Dengan sendiri yang terjadi adalah kebalikannya. Aku menang karena pasanganku menang. Aku bahagia karena belahan jiwaku bahagia. Untuk bisa hidup yang demikian, kiranya tindakan “saling” dalam berbagai peristiwa dan kemungkinan mesti terus terjadi.
Memaknai peristiwa demi peristiwa sudah menyatu dengan urat nadiku. Pembiasaan kehidupan lama telah menuntunku untuk terus menghidupi habitus yang demikian. Sehingga dengan sendirinya setiap peristiwa akan serta merta tetangkap ganda olehku, yaitu realitanya tetapi sekaligus makna yang disiratkannya.
Tetapi untuk isteriku yang berlatar belakang prakmatis kiranya hal yang demikian masih sangat jarang bahkan cenderung asing. Oleh karenanya ia rajin untuk mengajak menciptakan momentum. Menjelang ulang tahun perkawinanku yang pertama, ia pun memberi usul untuk menyisihkan waktu sehingga peristiwa setahun perkawinan dapat termaknai secara bijak. Sehingga pembelajaran dari padanya dapat digunakan sebagai modal guna menyusun ulang pondasi rumah tangga yang kami bina. Harapannya semoga keluarga kami kian hari semakin mampu memancarkan cinta. Dengan demikian kegembiraan juga kebahagiaan akan senantiasa menghiasai hari-hari sibuk kami.
“Mas, kita mau ngrayain ultah perkawinan ke mana ni?”, tanya isteriku ketika kami makan malam bersama. Hal yang selalu aku usahakan dalam tiap harinya. Setelah dari pagi sampai sore kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Aku berharap ada waktu yang kami luangkan untuk sekedar bisa berbagi kisah, suka-duka dalam menekuni pekerjaan dan rutinitas. Dan waktu yang kami sepakati adalah saat malam, yaitu ketika raga minta diisi dengan asupan nutrisi.
“Lha maunya kemana?”
“Maunya ya di satu tempat yang sekaligus bisa untuk rekreasi”.
“Ada tiga pilihan yang bisa dipilih. Pertama, modal sedikit, tidak capek dan cukup menyenangkan. Kedua, modal banyak, tidak capek dan tentunya sangat menyenangkan. Ketiga, modal sedikit, melelahkan tetapi yang paling menyenangkan”
“Langsung pada intine ae. Dimana to?”
“Pilihan pertama adalah di rumah saja. Aktifitasnya adalah tidur seharian hehe. Kedua adalah luar kota dan naik pesawat. Tapi ngajak kere hahaha. Ketiga, ndaki gunung. Lewat jalur baru. Ekspedisi. Menantang. Inilah rekreasi yang sebenarnya. Pilih mana?”
“Yang ketiga ae. Tapi gunung mana?”
“Aku juga belum tahu. Enake pilih gunung mana? Terjangkau dengan motor dan yang banyak airnya. Entar tinggal bawa logistik sebanyak-banyaknya. Siap bawa kulkas haha”.
“Siap browsing dulu ki hihihi”, isteriku mengiyakan dengan gembira. Hal itu dapat aku tangkap karena saat ini dia baru senang-senangnya dengan dunia pendakian. Seingatku bahwa kami telah melakukan pendakian bersama sebanyak 11 kali. Empat kali sebelum menikah dan selebihnya adalah paska perkawinan. Aku dulu juga pernah mengalami fase gandrung dengan dunia pendakian. Yang ada dalam hati, pikiran dan bahkan omongan tiap hari adalah tentang gunung, properti adventure dan alat-alat out door lainnya. Aksesoris pendakian pun kemudian memenuhi beberapa alat kerja yang kupakai tiap hari. Kini racun itu sedang menyerang dan ingin menguasai isteriku, terbukti dia bangga dengan gelang-gelang tali prusik yang memperidah tangan mungilnya.
Jumat, 05 Juli 2013 isteriku telah banyak mengumpulkan informasi tentang gunung yang menjadi target pendakian yaitu Sindoro via Bansari[2]. Aku pernah mendengar jalur itu tetapi aku belum pernah melewatinya. Walau begitu aku telah dua kali meninggalkan jejak kakiku di Sindoro via Kledung. Jalur yang cukup ramai karena akses jalan yang cukup mudah, dapat ditempuh dengan kendaraan umum selama 24 jam.
Menyadari bahwa hari Sabtu, aku dan isteriku masing-masing masih disibukkan dengan pekerjaan maka malam harinya kami belanja untuk segala keprluan pendakian. Sebagai pendaki yang tergolong cukup banyak ditempa pengalaman, persiapan tidak membutuhkan waktu lama. Segala perlengkapan safety dasar telah kumiliki. Bahkan daftar belanjaan pun telah aku file-kan sehngga tinggal nge-print dan membawanya ke swalayan guna menukarnya menjadi barang bawaan.
Jalur Sindoro via Bansari masih sangat sedikit informasi. Aku dan isteriku hanya bermodalkan info dari catatan perjalanan rekan-rekan pendaki yang mengabadikan kisah mereka di dunia maya. Kucoba mengontak pengurus jalur ini sebagaimana tertuliskan dalam blog yang kubaca tetapi tidak ada respon, tidak ada jawaban. Nomor aktif tetapi setiap kali aku menghubungi hasilnya adalah nihil. Aku tidak putus asa. Bermodalkan pengalaman dari beberapa pendakian yang pernah kujalani, aku yakin inilah saatnya untuk kembali menikmati sensasi dari petualangan yang sesungguhnya.
Sabtu, 06 Juli 2013 hari yang ditunggu pun tiba. Namun hari ini aku dan isteriku masih memiliki tanggungan untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan semangat membara, kami pun menuju ke tempat kerja. Hari ini aku mesti presentasi terkait acara MOS. Aku dipercaya untuk menyiapkan acara masa orientasi siswa baru. Segenap acara telah aku susun secara seksama dan matang. Semoga hari ini tidak banyak perubahan sehingga saat petualangan dimulai aku sungguh telah terbebaskan dari tuntutan tanggungjawab ini.
Sesuai harapan presentasi berjalan baik. Walau harus melewati perdebatan dan argumentasi yang cukup rumit. Sehingga rapat yang diagendakan hanya dua jam menjadi berlipat hingga waktu menunjuk jam 13.00. Dengan demikian rapat MOS telah memakan waktu sebanyak empat jam. Cukup lama dan menghabiskan energi. Aku pun segera pulang dengan semangat. Guna mewujudkan rencana, berpetualang untuk menemukan sensasi dari persaudaraan, pengorbanan, perhatian dan terutama adalah kebersamaan, melalui rasa senasib-sepenanggungan.
Sesampainya di rumah aku telah di tunggu isteriku. Ternyata ia telah pulang duluan. Kamipun istirahat sebentar, makan siang, mandi dan siap berangkat. Kucatat dalam memoriku bahwa kami memulai perjalan pada sudut 90 derajat. Melaju motorku meninggalkan gerbang rumahku di titik 15.00.
Aku sungguh menikmati perjalan dengan motor kali ini. Berbeda dengan biasanya yang selalu kulewati dengan cara pembalap. Motorku kulajukan dengan kecepatan yang tidak pernah melewati angka 70 km/h. Perjalanan tidak lagi terasa nyaman saat laju motorku harus tertatih di sekitar Ampel Boyolali. Ada pembangunan jalan. Biasalah menjelang lebaran, jalan-jalan yang berlobang mulai ditutup dengan harapan agar para pemudik bisa menikmati kenyamanan perjalanan. Merayap motorku bersamaan dengan barisan kendaraan lainnya. Tanganku mulai capek karena sibuk menarik dan melepas kemudi kopling. Meninggalkan Ampel bukannya semakin longgar tetapi jalanan semakin tidak beraturan. Kendaraan yang ramping itulah yang akan menjadi pemenang. Beda dengan motorku yang harus membawa dua penumpang dengan tas kerir 130 liter dan satu day pack 30-40 liter.
Menyadari jalanan yang macet, padat merayap dan hampir tidak bergerak akhirnya aku putuskan untuk mengubah alur perjalan. Awalnya aku ingin menikmati rute Solo-Sala tiga-Ambarawa-Pringsurat-Temanggung dan berakhir di Parakan. Selepas polsek Tengaran dengan sigap kubelokkan motorku ke arah kiri menuju Getasan Sala tiga. Dengan demikian ruteku pindah menjadi Solo-Tengaran-Getasan-Kopeng-Grabag-Secang-Temanggung-Parakan. Walau aku sendiri belum pernah melewati jalur alternatif itu, istriku juga belum pernah. Bermodalkan cerita yang pernah kudengar bahwa ada jalur alternatif dari Kopeng menuju Secang, “Petualangan pertama pun dimulai”. Ternyata untuk menembus Kopeng-Secang aku cukup bertanya hanya empat kali. “Tidak terlalu banyak kan?”
            Dari Secang menuju Parakan, perjalanan menjadi sangat lancar. Aku membutuhkan waktu tiga jam untuk melintasi jalanan Solo-Parakan. Dari Parakan inilah proses kebingungan dimulai. Aku dan isteriku sama-sama tidak tahu dimana letak base camp Bansari. “Petualangan kedua pun siap dimulai”.
            Dari Parakan, pertanyaan yang disusul dengan pertanyaan lain tentang dimanakah letak base camp Bansari mewarnai petualanganku. Kucatat dalam benakku bahwa untuk menemukan tempat tersebut, aku bertanya sebanyak tujuh kali pada hal jarak Parakan-base camp Bansari hanya 2,5 km. Itupun  kutempuh dengan waktu yang tidak pendek, hanya dua jam. “Pencarian yang tidak mudah. Langkah pertama yang sangat menantang”. Sesampainya di base camp aku begitu bahagia dan kulihat kelegaan yang teramat dalam juga memancar dari wajah isteriku. Jam 20.00 aku dan isteriku berhasil menemukan gerbang petualangan berikutnya, yaitu Sindoro via Bansari.
            Berawal dari ketidakpercayaan, karena baru kali ini aku menemukan base camp yang tidak seperti biasanya. Terletak dipinggir jalan besar beraspal dan berbentuk ruko. Base camp yang lebih mirip toko dari pada tempat  permulaan pendakian. Seandainya tidak ada tulisan base camp Kompas Bansari, maka aku tidak akan pernah menyakininya. Hal ini diperkuat dengan sepinya keadaan. Waktu itu kulihat ada beberapa anak muda yang tidak tanda-tanda pendaki. Aksesoris yang mereka kenakan sangat biasa. Hanya satu orang yang terlihat sebagai seorang pendaki. “Permisi mas. Ini benar base camp Sindoro Bansari?”Monggo silahkan masuki. Motornya langsung dibawa masuk aja. Gak usah sungkan-sungkan. Ini benar base camp  kok. Yakin wis to hehehe”, jawaban ramah kas anak-anak gunung. Dengan mantap akupun langsung meluncur masuk ke dalam bangunan tersebut.
            Jabat tangan dan kenalan pun mengawali perjumpaan dan tentunya sebagai titik permulaan akan persaudaraan yang dengan sendirinya telah lahir. “Kok sepi. Udah ada yang muncak mas?”, tanyaku menyelidik. “hehehe. Belum ada mas. Maklum jalur baru. Lagian juga jalur ini terkendala transportasi. Gak ada kendaraan umum yang lewat sini”. Aku hanya terdiam. Belum ada pendaki lain, berarti pendakian ini hanya akan aku nikmati bersama isteriku. “Petualangan ketiga”.
            Obrolan demi obralan menemani persahabatan malam ini. Namun kegembiraan yang lahir dari persaudaraan ini tidak bisa menyembunyikan dan tidak bisa menutupi kalau raga ini butuh asupan nutrisi. Perjalan jauh yang menguras tenaga dan konsentrasi menjadikan perutku berdendang. “Mas, adakah warung terdekat dari sini?”
Para pengurus base camp Kompas[3] hanya tertawa. “Di sini tidak ada warung mas. Kalaupun ada itu ya lumayan jauh”.
“Waduh, padahal aku belum makan dari tadi”.
“Tenang mas. Di sini sebenarnya warungnya banyak. Setiap anggota Kompas merupakan warung makan. Tidak usah khawatir”,. Aku tidak mengerti. Mereka tanggap kalau aku sedang kebingunngan. Mereka pun bergegas mengajakku ke rumah salah satu dari mereka. Kami pun segera menuju rumah mas Sugeng. Yang ternyata isterinya juga seorang pendaki. Mas Sugeng telah dikaruniai seorang anak. Aku berpikir ini adalah keluarga pendaki, sama sepetiku. Akupun berharap dapat meniti ilmu dari mereka. Awal kisah perjalanan cinta mas Sugeng diawali dari pendakian gunung Slamet. Kisah cinta para pendaki. Romantis.
Dari 37 pendakian yang pernah kulalui, baru kali ini aku memperoleh perlakuan yang sangat-sangat istimewa. Perjumpaan pertama, tetapi saudara-saudara dari komunitas Kompas ini telah mengganggap aku sebagai saudara sendiri. Di sini aku dijamu dengan makan malam tanpa bayar. Tidak ada kata yang bisa mewakili rasa terimakasihku karena telah diterima sebagai saudara.
Perlakuan itu belumlah seberapa. Usai makan, aku pun berpamitan dengan mas Sugeng karena mas Sugeng tidak kembali ke base camp.  Ia menidurkan anaknya karena hari telah mulai larut. Saudara-saudara komunitas Kompas kemudian berinisiatif untuk menghantar kami. Biasanya para pendaki akan memulai pendakian dari base camp ini. Tetapi kebiasaan ini tidak terjadi padaku. Mereka menghantar aku dan isteriku dengan sepeda motor hingga sampai pos I[4]. Aku dihantar oleh mas Pujex dan temannya yang aku sendiri lupa namanya[5].
Usai packing ulang aku pun berpamitan untuk segera melaju menuju pos berikutnya. Tas kerir yang memuat keperluan dasar pendakian untuk dua orang aku gendong sendiri. Isteriku kuminta membawa day pack saja yang isinya hanya baju ganti, kotak PPPK dan jaket. Semua properti pendaki ada di tas kerirku termasuk logistik untuk hidup selama tiga hari. Lumayan berat.
Saat kakiku melangkah meninggalkan pos I kulihat bahwa jarum jam telah menunjuk angka 23.00. Cuaca sangat cerah, angin berhembus sepoi namun mampu mendirikan bulu roma. Keindahan alam dari cahaya bintang dan temaram lampu kota menyemangati langkah laju kami. Secara perlahan dan sebentar-sebentar aku berhenti untuk mengatur nafas. Selain raga memang sungguh sudah lelah, karena telah melewati perjalanan yang cukuip panjang dan tanpa istirahat, berat tas kerirku memang berpengaruh banyak.
pos i, sidempul sindoro
            Usai  melewati percabangan dari pos Sidempul ini, kami dihadapkan pada tanjakan yang cukuip landai. Tetapi setelah menyeberangi sungai tanjakan mendadak curam. Kemiringan mendekati 35 derajat. Permulaan yang berat. Untungnya sepanjang jalur Pos I menuju Pos II, banyak sekali tempat datar. Hal ini disebabkan jalur ini merupakan bekas ladang penduduk. Maka tidak mengherankan kalau banyak tempat yang dibuat datar. Dadaku mulai terasa sesak dan panas. Tetapi aku tidak ingin menujukkan hal itu kepada isteriku. Aku mencoba selalu tersenyum, tertawa dan membuat gojekan. Walau kenyataan tidak bisa kusembunyikan karena aku terus tertinggal oleh langkah kaki isteriku. Ia terus menunggu dan menunggu, setelah aku dapat menyusulnya ia pun berlalu meninggalkan aku. Mungkin ia berharap agar lekas sampai pada Pos III sebagai target menginap.
pos 2, turunan sindoro
Saat jam menunjuk angka 00.05 aku merasa sangat lelah. Bahkan aku seoalh tidur dengan berjalan. Dalam situasi yang kurang mendukung pendakian itu, hatiku bersorak karena di balik samar gelap pepohonan aku membaca tulisan Pos II, Pos Turunan. Kami beristirahat di sini untuk kembali mengumpulkan sisa tenaga. Agar rasa kantuk tidak membiusku mejadi lelat tidur, kusibukan diriku dengan mengunyah biscuit kendati aku tidak lapar. Lima menit kami rasa cukup untuk sejenak mengistirahatkan raga, terutama pundakku yang mulai tidak dapat merasa. Kami pun berusaha untuk mengobarkan semangat yang sudah tidak lagi membara. Redup gairah itu terus kami tiup agar setapak terjal, curam dan menanjak segera menghantar kami untuk menemukan pos III.
pos iii, tunggangan, sindoro
Medan jalanan Pos II menuju Pos III tidak ada bedanya dengan medan tempur Pos I-Pos II. Bahkan lebih parah. Karena aku yakin kemiringan di jalan ini ada yang mencapai 45 derajat. Perlahan namun pasti semangat dalam dada kami kembali menggebu. Sehingga kami pun berlalu dan dalam waktu 55 menit kami telah sampai di Pos III, Pos Tunggangan[6]. Segera kubuka tenda, membuat api unggun, mengambil air yang hanya membutuhkan waktu 10 menit, memasak, makan dan istirahat.
air yg super jernih
Pagi menjelang aku bangun dengan raga yang sangat segar. Isteriku telah lama bangun dan sudah keluar tenda. Ia sangat menikmati situasi alam yang tenang, rimbun pepohonan, segarnya udara, jauh disebrang keindahan Sumbing dan dihibur oleh kicauan burung hutan yang tidak pernah berhenti bersenandung.
Pagi hingga siang, kami isi dengan kegiatan masak-memasak, santai, enjoi dan tentunya foto-foto. Aku berharap semoga ada pendaki lain yang menyususl. Harapan ini terus aku pertahankan karena hari ini adalah hari minggu dan musim liburan yang biasanya selalu banyak pendaki. Hingga siang tiba tidak ada tanda-tanda pendaki yang menyusul. Mungkin ini karunia Tuhan agar kami memang sungguh-sungguh bisa menikmati alam sebagai saat untuk rekreasi, merayakan hari ulang tahun perkawinan pertama kami.
sedikit narsis, biar keliatan romantis
Tenaga telah pulih, cuaca sangat baik dan tujuan pun masih jauh. Maka kami pun bergegas berkemas untuk kembali mengayunkan langkah. Jam 12.25 kami meninggalkan Pos III menuju pos IV. Permulaan perjalanan yang menyenangkan karena tanjakan tidak lagi seseram sebelumnya. Apalagi teduh dedauan mampu menyembunyikan diri kami dari incaran garang sinar mentari siang ini. Tidak lama kami pun telah sampai di Pos IV, Pos Souma[7]. Hanya membutuhkan waktu 25 menit, sehingga kami berhasil menginjakan kaki di pos ini pada pukul 12.50.
pos iv, souma, sindoro
Kami hanya sebentar untuk sejenak melegakan dada dan pundak. Tepat jam 13.00 kami pun melaju perlahan untuk menikmati alam. Jalanan masih landai, tanjakan tidak curam. Jalur ini sangat padat rapat, rimbun daun dan cabang pohon-pohon besar lah yang menjadikan seperti itu. Di tengah jalan kami bertemu dengan dua orang penangkap burung hutan. Sempat kami ngobrol yang pada intinya mereka kendati mencari rejeki tetapi mereka juga tetap menghormati alam. Mereka hanya menangkap burung jantan. Kalau yang tertangkap adalah indukan maka mereka dengan ikhlas hati melepas kembali burung tangkapannya.
hutan yg masih rapat n lebat
Ternyata jalur ini cukup jauh. Mungkin jalur yang paling jauh. Berharap penuh cemas untuk segera melihat tulisan Pos V. Tetapi yang ditunggu tidak segera muncul. Aku sempat stress, sempat putus asa. Aku tidak tahu apakah stresku juga dialami oleh istriku. Menurut informasi yang kugali dari base camp Pos V berada di penghujung hutan. Saat pepohonan menjadi langka di situlah keberadaan pos tersebut. Semakin besar harapanku untuk segera menemukannya maka semakin jauh yang kurasa. Perjalanan panjang, melelahkan dan yang jelas tas kerirku makin berat karena dari Pos III bebanku bertambah dengan air yang tidak sedikit. Kami berencana untuk membuat acara masak-memasak di puncak. Maka persediaan air harus berlipat dan itu harus membawa dari mata air terakhir yaitu Pos Tunggangan.
Kupaksakan bibirku untuk membentuk senyuman supaya isteriku tidak kehilangan semangat. Dan yang terutama adalah aku berharap dia tidak merasa bersalah karena melihat segala beban bawaan ada pada pundakku. Aku pun tahu kalau isteriku kendati sangat kuat berjalan tetapi saat ada beban dipundak sekecil apapun itu akan menyiutkan nyalinya dan pasti berakibat pada pundak yang tidak dapat bergerak. Saat melihat wajahnya merintih dan mengekspresikan rasa sakit yang tidak tertahankan aku pun kehilangan rasa nikmat dalam berpetualang. Makanya aku akan mengalah dan bersikeras menggendong semua barang bawaan. Dengan demikian kendati aku lelah dan terkuras semua tenaga tetapi aku tidak akan melihat wajah isteriku susah. Dan aku pun bisa merasakan sensasi petualangan.
Kakiku sudah tidak betah menahan beban yang kian saat tidak semakin ringan terasa. Beberapa kali kakiku tidak tetap dengan pijakan yang menurut mata adalah pas makanya tidak jarang aku tersungkur karenanya. Sempoyangan diriku untuk mempertahankan gairah dan semangat agar aku bisa berjalan kokoh. Mataku pun memudar memandang samar setapak. Tidak henti-hentinya kucoba masukkan oksigen sebanyak munkgin agar paru-paruku mampu mengisi darah dengan O2 agar kesadaranku tetap bertahan.
selter yg keren, view yg ajib, antara pos iv-v
Pepohonan mulai hilang dari rute. Tak ada naungan. Terik mentari menyengat tanpa penghalang. Ilalang bergoyang menjamah wajah dan meninggalkan perih. Angin berarak tanpa penghalang langsung mendorong tubuhku yang sudah kelelahan dan sempoyongan. Kadar motivasi tinggal tetes terakhir. Dalam situasi yang seperti itu isteriku berteriak kegirangan, “Mlelan. Mas, kita nyampe Pos V”. Mendadak ada sisa tenaga yang bisa mendorongku untuk segera menyusul isteriku. Tanpa malu-malu dan ragu segera kurebahkan ragaku di rerumputan. Kusempatkan untuk melihat penanda waktu yang mencatat angka 15.00. Ternyata aku telah berjuang selama dua jam untuk sampai di tempat ini.
pos v, mlelan, sindoro
            Kami pun beristirahat untuk beberapa saat dan mencoba mengais energi dari temah-remah biskuit. Indahnya panorama yang ditawarkan di pos ini menjadi hiburan yang melegakan dahaga hati. Gagah nan anggunnya gunung Sumbing nampak di seberang. Setiap lekuk tubuhnya nampak jelas sekali bahkan atap rumah-rumah penduduk yang jauh di bawah terlihat jelas. Di kanan kiri pos ini merupakan sabana yang cukup luas. Hijau. Cantik. Elok. Aku hanya bisa berkata, “Wow”.
apik to. pemandangan dr pos v
            Setelah ragaku mau bekerja sama untuk kembali mengayunkan langkah menggapai pos berikutnya, aku pun segera bergegas.  Pukul 15.15 kami segera berlalu mengejar puncak yang tinggal beberapa langkah. Nampak di depan pos sangat-sangat dekat. Ternyata kami hanya diberi PHP. Kupikir setapak tinggal sedikit maka kuhabiskan tenagaku untuk segera mencapainya. Ketika perlahan puncak makin dekat ternyata ada puncak berikutnya. Kami telah ditipu dengan puncak bayangan pertama karena ada puncak bayangan berikutnya. Pos V menuju Pos VI akan menjumpai dua puncak bayangan. 
Sepanjang rute ini, kami dihadapkan pada tanjakan sabana yang sangat luas. Di tengah jalur ini, terdapat pohon kantigi tunggal. Kiranya pohon ini dapat digunakan sebagai penanda jalur yang benar. Kantigi tunggal ini seolah menjadi tempat untuk kembali menghadirkan energi. Memandang kebawah nampak galir setapak yang telah terlewati dan saat memandang ke atas Nampak pula kelok setapak yang ujungnya tidak terlihat menandakan bahwa petualangan masih panjang. Setelah melihat jejak tapak kami yang berarti perjalanan  telah berlalu sekian waktu dan mungkin hanya beberapa langkah lagi maka selesailah peziarahan ini. Penegasan ini lah yang membuatku bisa melesat segera mempercepat langkah untuk tahu gerumbulan semak dibatas sabana ini.
klo capek ya liat ke belakng lah. kn keren
Ternyata, di penghujung jalur kami dihadapakan pada keindahan alam yang menggores tajam diingatan. Kami masuk di luasnya taman edelweiss. Sangat-sangat luas. Pada waktu kami hadir, taman edelweis tersebut baru di posisi puncak keindahan. Semuanya berbunga. Sehingga kami dijamu dengan harum bau kembangnya. Kegembiraan kami semakin memuncak karena taman edelweiss ini sekaligus sebagai Pos VI. Kami tiba di Pos Centong tepat pukul 16.15.
pos vi, centong
Setelah puas menikmati keindahan taman edelweiss, kami segera melangkah untuk menggapai puncak sejati Sindoro. Tidak butuh waktu lama untuk mencapainya. Hanya beberapa menit saja dan kami tiba di puncak saat jam menunjuk titik 16.30. Hati merasa puas. Bangga. Lega. Berbunga-bunga. Ada sensasi-senssi lain dari petualangan dan itu tidak mudah diwakilkan dengan kata. Kusyukuri atas proses yang boleh kulewati melalui peziarahan ini. Kulambungkan doa untuk hari-hari hidupku selanjutnya dan terutama untuk perjalanan hidup keluargaku. Tidak lupa kupersembahkan arwah semua orang yang telah berpulang karena pendakiannya ke gunung Sindoro.
hutan edelweis
Usai kututup perjalanan menuju pencak ini dengan doa syukur serta permohonan kuteruskan untuk mencari tempat yang nyaman agar tendaku dapat berdiri kokoh dan terhindar dari terpaan angin gunung. Agaknya puncak Sindoro kali ini tidak merestui keinginannku bermalam di ketinggiannya. Angin berhembus dengan kencang. Kuhabiskan waktu sekitar sepuluh menit mengitari puncaknya tetapi tidak ada satu tempatpun yang terhindar dari pusaran angin. Sore ini angin berhebus dari segala penjuru sehingga tenda mau didirikan dimanapun akan ditiupinya. Badanku mulai menggigil tanda angin dan cuaca sangat kurang bersahabat.
puncak sindoro
Isteriku dari awal sudah memohon untuk tidak mendirikan tenda di puncak. Tetapi aku sedikit memaksa. Kuingin menikmati malam dengan ribuan cahaya bintang dan dengan selimut kabut pegunungan. Tetapi keadaan alam yang kurang mendukung. Akhirnya aku iyakan usul isteriku. Kami pun turun kembali dan mencari lokasi agak di bawah, tepat disamping Pos Centong, yaitu di lembah edelweiss. Di sini sangat terlindung dari angin dan yang lebih penting adalah keindahan lembah edelweis itu sendiri. Taburan bunga dua warna edelweiss putih dan kuning serta aroma khasnya yang pada malam itu dihiasi dengan berjuta bintang aku anggap sebagai hadiah istimewa dari Tuhan pada hari ulang tahun pertama perkawinanku.
Tenda telah berdiri, api unggun di depannya telah jadi, masakan pun siap dinikmati. Usai makan karena raga memang sungguh lelah, kami pun beristirahat dengan nyaman. Pagi menjelang, semburat merah nampak di ujung timur. Dari dalam tenda kulihat tanda-tanda sunrise akan segera tiba. Kuingin nikmati keindahan alam pagi ini di luar tenda. Kendati udara sangat dingin dan angin masih berhembus dengan gagahnya aku tetap keluar tenda.


sunrise sindoro via bansari
Saat mentari hampir terlahir, kubangunkan isteriku agar kami bisa menikmati hadiah Tuhan yang maha indah. Pagi ini, kami berdua hanya terpana dan spontan sekelumit doa mengalir bersama desah nafas kami. Kekaguman itu mendorong kami untuk mengabadikan dengan beberapa foto, semoga membantu kami berdua untuk mensejarahkan hidup ini.
Setelah hangat sinar mentari menggantikan dingin udara, kami pun bergegas membuat sarapan, menikmatinya dan ingin segera melanjutkan kisah. Hari ini, kami mesti turun dan menuju Solo, menuju rumah tercinta.
sabana menuju pos v
Keyang sudah perut terisi, menjadikan kami memiliki cukup tenaga untuk berkegiatan. Langkah pertama adalah mengemasi semua perlengkapan dan menata kembali agar kami bisa pulang dengan langkah pasti.  Sebelum berpamitan dengan lembah edelweis yang semalam mendekap kami, mendadak muncul pendaki lokal yang berasal dari Katekan. Jalur pendakian yang jarang dilalui pendaki luar daerah. Saling sapa dan beberapa kisah penghangat menemani persaudaraan pagi ini.
acara masak-masak d lembah edelweis
Pada titik 09.00 kami pun memulai langkah turun untuk mengawali lukisan hidup, terutama goresan kisah rumah tangga kami. Rasa gembira dan bahagia menjadi kekuatan tersendiri. Sehingga hanya membutuhkan waktu 30 menit kami telah tiba di Pos V. Di sini kami kembali berjumpa dengan dua pendaki lokal. Mereka sedang menikmati keindahan panorama alam dari pos Mlelan ini. Tegur sapa pun mengalir dengan sendirinya. Dua saudara pun kami temukan dalam petualangan ini.
Beban bawaan yang tidak lagi seberat saat berangkat memperingan langkah. Sehingga setahap demi setahap kami mencapai pos-pos yang pernah kami lewati. 45 menit dari Mlelan menuju Souma, berikutnya hanya membutuhkan waktu 15 mencapai Pos III. 30 menit berikutnya kami telah tiba di Pos Turunan. Lutut mulai tidak bekerjasama. Ujung-ujung jari kami mulai berteriak-teriak. Betispun mendadak mengeras. Tertatih kami meninggalkan Turunan menuju Sidempul. Sisa tenaga yang dikuatkan dengan semangat akhirnya menghantar kami tiba di Pos satu tepat pukul 13.00.
medan turun kami. lumayan
Kami merasa lega. Sekarang kami tinggal menunggu mas Pujex yang telah kukabari semenjak tiba di pos tiga. Beliau dan rekan Kompas berjanji akan menjemput di pos ini. Sambil menunggu, aku dan isteriku memanfaatkannya untuk memulihkan tenaga dengan beristirahat. Panorama perkebuan tembakau dan gagahnya Sumbing serta rindangnya pepohonan dan sepoi angin pegunungan menjadi pengobat rasa lelah raga.
Satu jam kami menunggu, akhirnya yang ditunggu pun tiba. “Sudah lama nunggunya ya? Maaf lama”. Sapaan yang memudarkan rasa curigaku. Karena yang menjemput adalah wajah baru. Aku tidak kenal. Belum sempat kujawab. Mereka tahu kegundahan hatiku. “Mas Pujex gak bisa njemput. Lagi ngrumput”. Lalu kami pun saling berkenalan dan obrolan persaudaran pun menceriahkan suasana siang. Kami tidak diperkenankan langsung pulang. Tetapi kami diundang untuk singgah di rumah pengurus Kompas. Kami diundang untuk menambatkan kisah pendakian di rumah bapak Gondes[8]. Undangan persaudaraan, kami pun menanggapinya dengan sangat bahagia.
oleh-oleh kami
Meliuk motor kami meninggalkan Pos I dan tidak membutuhkan waktu lama kami pun tiba di rumah bapak Gondes. Cukup ramai. Karena malam nanti mereka akan mengadakan syukuran atas berdirinya Kompas. Sebenarnya kami diundang untuk menghadirinya. Tetapi karena kesibukan dan pekerjaan menjadikan kami punya alasan untuk tidak menghadirinya. Di rumah ini, kembali aku terpana. Aku terkesima dengan perlakuan yang melebihi saudara. Kami disambut dan telah disiapkan hidangan makan siang. Masih hangat. Sunggguh peristiwa ini menjadikan hatiku berbunga-bunga. Ini adalah hadiah perkawinan dari Tuhan berikutnya. Pengalaman pesaudaraan yang tulus dan jujur. Hal langka untuk zaman sekarang.
Obrolan demi obrolan, saling berbagi kisah dan pengalaman terutama di dunia pendakian dan usaha pelestarian alam mendominasi pembicaraan. Hingga tidak terasa waktu telah berada pada titik 15.00, ini berarti kami harus pamitan. Aku masih memiliki tanggungan untuk mengendarai kuda besi selama 4-5 jam menuju Solo. Fisik yang lelah akan menjadikan perjalan ini menjadi lebih pelan dan hati-hati. Kami pamitan dan tunggulah kami kota Solo. “Selamat tinggal Sindoro. Terimakasih atas caramu mendidik dan mengajari kami mengerti hidup. Semoga kebersamaan yang telah berlalu menjadi hadiah terindah untuk ulang tahun perkawinanku. Aku rindu untuk kembali dan aku selalu rindu”.



[1] Sejarah kehidupanku pernah mencatat bahwa aku pernah bercita-cita untuk menjadi seorang imam, menjadi seorang pastur. Maka aku pun pernah mampir di seminari, hidup sebagai seminaris serta cukup lama menyandang gelar biarawan dan akrab dipanggil frater. Aku pernah bergabung dengan tarekat MSF selama 10 tahun, antara 2001 – 2010. Cukup lama. Maka tidak mengherankan kalau aku mengalami kesulitan dalam usaha berganti haluan. Penyadaran terus-menerus menjadi syarat utama dalam usahaku untuk hidup baru, yang sungguh-sungguh baru.
[2] Jalur ini pada mulanya merupakan jalur penduduk Bansari yang masih rutin menjalankan ritual satu Suro di puncak Sindoro. Hingga pada akhirnya, jalur ini resmi dibuka sebagai jalur pendakian umum pada tanggal 6-8 Juli 2012. Pembukaan jalur baru ini diawali dengan penmas yang diikuti sekitar 300 pendaki dari berbagai daerah. Saat aku dan isteriku melewati jalur ini, ternyata jalur ini baru saja memperingati satu tahun dibukanya jalur Sindoro via Bansari, yaitu pada hari Jumat-Minggu, 28-30 Juni 2013.
[3] Kompas merupakan singkatan dari komunitas peduli Sindoro. Komunitas ini terdiri dari semua lapisan masyarakat yang memiliki misi sama, yaitu peduli dengan kelestarian gunung Sindoro. Tujuan utama dari komunitas ini adalah mewadahi anak-anak muda supaya memiliki orientasi hidup, agar mereka tidak tergerus oleh efek modernitas. Adapun yang biasa mereka lakukan adalah reboisasi, sosialisasi untuk tidak menebang hutan secara liar, melobi para penduduk yang sudah biasa menangkap burung dan membuka hutan sebagai lahan bercocok tanam.
[4] Pos I atau pos Sidempul adalah batas kebun dan hutan. Saat ini perkebunan tersebut ditanami tembakau. Dari base camp sampai di pos Sidempul ini dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam. Jalanan terdiri dari bebatuan yang tertata rapi. Pada saat musim panen jalanan ini akan banyak dilewati mobil bak terbuka. Di pos Sidempul ini telah dibangun selter yang cukup luas dan nyaman. Bangunan permanen yang memiliki tembok keliling walau hanya seperempat bangunan. Selter ini sekaligus menjadi markas kedua Kompas selain markas utama yaitu di base camp. Dari selter ini, pendaki akan dihadapkan pada pertigaan dan sebaiknya berjalan mengikuti jalanan yang menanjak. Di pos I ini, pendaki juga dapat mengambil air di pralon saluran air. Air langsung dari mata air Sindoro, cukup segar untuk langsung dinikmati.
[5] Nomor HP mas Pujex yang bisa dikontak adalah 085786767611.
[6] Di Pos Tunggangan ini telah dibangun selter, berupa gubug yang mampu memuat tiga tenda. Di depan selter ini juga dibangun para-para untuk beristirahat. Dari selter ini, pendaki juga dapat menikmati gagahnya gunung Sumbing kendati harus bermain dengan rimbun dedaunan. Hal yang istimewa dari Pos Tunggangan ini adalah adanya sumber air atau tepatnya sungai kecil. Di samping selter sudah ada penunjuk arah menujusungai tersebut yang hanya berjarak tidak lebih dari 200 meter.
[7] Pos Souma ini hanya berupa tanah datar yang dapat digunakan mendirikan tenda tidak lebih dari dua tenda.
[8] Nomor HP bpk Gondes sebagai pengurus Kompas adalah 085292113893.