berdua d lembah edelweis sindoro |
Banyak
orang tahu cara bahagia. Tetapi tidak mampu menjalaninya. Bahkan tidak mampu
untuk sekedar berani mencobanya.
“Apakah putaran waktu selalu bermakna?”,
pertanyaan inilah yang
menggiringku untuk melihat kembali serpihan-serpihan perjalanan hidup yang
pernah kulewati.
Jejak semakin samar dan semakin sulit saat waktu telah
menggiring angin menghembuskan nafas atas dirinya. Membingkai putaran waktu
menjadi frame yang layak untuk
diperhatikan bukanlah perkara mudah. Ada kepekaan dan seni hidup yang mesti
mendasarinya. Berbagai peristiwa mesti dilihat secara harmoni sehingga mampu
menciptakan keindahan. Sudut pandang dari sang seniman hidup akan senantiasa
menghasilkan keindahan kisah. Sepahit apapun peristiwa yang terjadi akan
menghasilkan panorama indah bila mampu menempatkan diri untuk melihatnya dengan
cara beda.
Hari-hari berlalu dengan yang rutin.
Aktifitas yang cenderung ritmis. Diawali dengan hari
Senin dan diakhiri hari Sabtu menggiring aku untuk melakukan hal-hal yang sama.
Pekerjaan dan aktifitas lainnya pun tidak jauh dari dunia pekerjaan. Kesibukan
dan kubangan pekerjaan secara perlahan telah mengikis rasa manusiaku. Pelan dan
pasti hidup tidak lagi dinamis tetapi menjadi statis. Bahkan sisi-sisi lain
dari hidupku pun terimbas dengan yang rutin itu. Sesungguhnya aku tidak lagi
lajang, aku telah beristeri. Aku juga bagian dari masyarakat dan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari lingkunganku. Namun, urusan keberlangsungan hidup yang
menjadi prioritas hidup memaksaku untuk bangga dan betah dengan yang rutin
tersebut.
Sebagai seorang pendidik yang masih yunior memiliki
cita-cita ideal terhadap totalitas kerja merupakan hal yang sangat wajar. Dan
itu lah aku saat ini.
Adanya totalitas mengandaikan adanya sisi-sisi lain
yang terlupakan. Dan itu juga ada dalam diriku.
Menyadari bahwa diriku sebagai mahkluk berdimensi
banyak, tidak akan mudah menjalani semuanya secara seimbang dan gampang. Ada
berbagai lompatan yang mesti aku lakukan. Sayangnya aku belum bisa. Oleh karena
itu mesti ada upaya dan itu mungkin kalu aku mau menciptakan momentum.
Peristiwa-peristiwa yang aku usahakan untuk bisa terjadi itu lah yang akan
secara perlahan membimbingku untuk hidup sebagai manusia yang secara bertahap
bisa menyeimbangkan ribuan dimensi diri.
Menjelang lima hari menuju tanggal 09 Juli 2013,
ternyata aku akan menggenapi perjalanan satu tahun sebagi seorang suami.
Kehidupan baru yang pada mulanya di luar rencana. Hal yang tidak mudah tetapi
aku berusaha menyakini bahwa ini jalanku. Kendati kehidupan lama masih terus
menghantui[1]
tetapi aku akan terus membangun tekat untuk bisa berdiri kokoh di medan yang
kupijak ini.
Menyatukan dua pribadi dalam satu realita merupakan
mimpi yang harus dibangun dari kesadaran yang bertanggung jawab. Mengikuti
selera bukan lagi yang utama. Membangun cita sebaik apapun selama masih dalam
koridor pribadi merupakan halangan terbesar dalam usaha untuk menyatu tersebut.
Kerelaan untuk mengalah atas dasar pertimbangan rasional kendati hati mesti
terluka merupakan santapaan setiap saat. Bukan aku yang mesti menang tetapi
biarlah pasanganku yang memperoleh suka. Bila prinsip ini menjadi nyata dalam
kehidupan rumah tangga maka yang akan ada adalah kebahagiaan yang tidak
terlukiskan. Bila pasangan suami-isteri berlomba-lomba untuk memberi ruang
pasangannya yang menang. Dengan sendiri yang terjadi adalah kebalikannya. Aku
menang karena pasanganku menang. Aku bahagia karena belahan jiwaku bahagia.
Untuk bisa hidup yang demikian, kiranya tindakan “saling” dalam berbagai
peristiwa dan kemungkinan mesti terus terjadi.
Memaknai peristiwa demi peristiwa sudah menyatu dengan
urat nadiku. Pembiasaan kehidupan lama telah menuntunku untuk terus menghidupi habitus yang demikian. Sehingga dengan
sendirinya setiap peristiwa akan serta merta tetangkap ganda olehku, yaitu
realitanya tetapi sekaligus makna yang disiratkannya.
Tetapi untuk isteriku yang berlatar belakang prakmatis
kiranya hal yang demikian masih sangat jarang bahkan cenderung asing. Oleh
karenanya ia rajin untuk mengajak menciptakan momentum. Menjelang ulang tahun
perkawinanku yang pertama, ia pun memberi usul untuk menyisihkan waktu sehingga
peristiwa setahun perkawinan dapat termaknai secara bijak. Sehingga
pembelajaran dari padanya dapat digunakan sebagai modal guna menyusun ulang
pondasi rumah tangga yang kami bina. Harapannya semoga keluarga kami kian hari
semakin mampu memancarkan cinta. Dengan demikian kegembiraan juga kebahagiaan
akan senantiasa menghiasai hari-hari sibuk kami.
“Mas, kita mau ngrayain ultah perkawinan ke mana ni?”,
tanya isteriku ketika kami makan malam bersama. Hal yang selalu aku usahakan
dalam tiap harinya. Setelah dari pagi sampai sore kami sibuk dengan pekerjaan
kami masing-masing. Aku berharap ada waktu yang kami luangkan untuk sekedar
bisa berbagi kisah, suka-duka dalam menekuni pekerjaan dan rutinitas. Dan waktu
yang kami sepakati adalah saat malam, yaitu ketika raga minta diisi dengan
asupan nutrisi.
“Lha maunya kemana?”
“Maunya ya di satu tempat yang sekaligus bisa untuk
rekreasi”.
“Ada tiga pilihan yang bisa dipilih. Pertama, modal sedikit, tidak capek dan
cukup menyenangkan. Kedua, modal
banyak, tidak capek dan tentunya sangat menyenangkan. Ketiga, modal sedikit, melelahkan tetapi yang paling menyenangkan”
“Langsung pada intine ae. Dimana to?”
“Pilihan pertama adalah di rumah saja. Aktifitasnya
adalah tidur seharian hehe. Kedua adalah luar kota dan naik pesawat. Tapi ngajak kere hahaha. Ketiga, ndaki
gunung. Lewat jalur baru. Ekspedisi. Menantang. Inilah rekreasi yang
sebenarnya. Pilih mana?”
“Yang ketiga ae. Tapi gunung mana?”
“Aku juga belum tahu. Enake pilih gunung mana?
Terjangkau dengan motor dan yang banyak airnya. Entar tinggal bawa logistik
sebanyak-banyaknya. Siap bawa kulkas haha”.
“Siap browsing
dulu ki hihihi”, isteriku mengiyakan dengan gembira. Hal itu dapat aku tangkap
karena saat ini dia baru senang-senangnya dengan dunia pendakian. Seingatku
bahwa kami telah melakukan pendakian bersama sebanyak 11 kali. Empat kali
sebelum menikah dan selebihnya adalah paska perkawinan. Aku dulu juga pernah
mengalami fase gandrung dengan dunia pendakian. Yang ada dalam hati, pikiran
dan bahkan omongan tiap hari adalah tentang gunung, properti adventure dan alat-alat out door lainnya. Aksesoris pendakian
pun kemudian memenuhi beberapa alat kerja yang kupakai tiap hari. Kini racun
itu sedang menyerang dan ingin menguasai isteriku, terbukti dia bangga dengan
gelang-gelang tali prusik yang memperidah tangan mungilnya.
Jumat, 05 Juli 2013 isteriku telah banyak mengumpulkan
informasi tentang gunung yang menjadi target pendakian yaitu Sindoro via
Bansari[2].
Aku pernah mendengar jalur itu tetapi aku belum pernah melewatinya. Walau
begitu aku telah dua kali meninggalkan jejak kakiku di Sindoro via Kledung.
Jalur yang cukup ramai karena akses jalan yang cukup mudah, dapat ditempuh
dengan kendaraan umum selama 24 jam.
Menyadari bahwa hari Sabtu, aku dan isteriku
masing-masing masih disibukkan dengan pekerjaan maka malam harinya kami belanja
untuk segala keprluan pendakian. Sebagai pendaki yang tergolong cukup banyak
ditempa pengalaman, persiapan tidak membutuhkan waktu lama. Segala perlengkapan
safety dasar telah kumiliki. Bahkan
daftar belanjaan pun telah aku file-kan
sehngga tinggal nge-print dan
membawanya ke swalayan guna
menukarnya menjadi barang bawaan.
Jalur Sindoro via Bansari masih sangat sedikit
informasi. Aku dan isteriku hanya bermodalkan info dari catatan perjalanan
rekan-rekan pendaki yang mengabadikan kisah mereka di dunia maya. Kucoba
mengontak pengurus jalur ini sebagaimana tertuliskan dalam blog yang kubaca
tetapi tidak ada respon, tidak ada jawaban. Nomor aktif tetapi setiap kali aku
menghubungi hasilnya adalah nihil. Aku tidak putus asa. Bermodalkan pengalaman
dari beberapa pendakian yang pernah kujalani, aku yakin inilah saatnya untuk kembali
menikmati sensasi dari petualangan yang sesungguhnya.
Sabtu, 06 Juli 2013 hari yang ditunggu pun tiba. Namun
hari ini aku dan isteriku masih memiliki tanggungan untuk menyelesaikan
pekerjaan. Dengan semangat membara, kami pun menuju ke tempat kerja. Hari ini
aku mesti presentasi terkait acara MOS. Aku dipercaya untuk menyiapkan acara
masa orientasi siswa baru. Segenap acara telah aku susun secara seksama dan matang.
Semoga hari ini tidak banyak perubahan sehingga saat petualangan dimulai aku
sungguh telah terbebaskan dari tuntutan tanggungjawab ini.
Sesuai harapan presentasi berjalan baik. Walau harus
melewati perdebatan dan argumentasi yang cukup rumit. Sehingga rapat yang
diagendakan hanya dua jam menjadi berlipat hingga waktu menunjuk jam 13.00.
Dengan demikian rapat MOS telah memakan waktu sebanyak empat jam. Cukup lama
dan menghabiskan energi. Aku pun segera pulang dengan semangat. Guna mewujudkan
rencana, berpetualang untuk menemukan sensasi dari persaudaraan, pengorbanan,
perhatian dan terutama adalah kebersamaan, melalui rasa senasib-sepenanggungan.
Sesampainya di rumah aku telah di tunggu isteriku.
Ternyata ia telah pulang duluan. Kamipun istirahat sebentar, makan siang, mandi
dan siap berangkat. Kucatat dalam memoriku bahwa kami memulai perjalan pada
sudut 90 derajat. Melaju motorku meninggalkan gerbang rumahku di titik 15.00.
Aku sungguh menikmati perjalan dengan motor kali ini.
Berbeda dengan biasanya yang selalu kulewati dengan cara pembalap. Motorku
kulajukan dengan kecepatan yang tidak pernah melewati angka 70 km/h. Perjalanan
tidak lagi terasa nyaman saat laju motorku harus tertatih di sekitar Ampel
Boyolali. Ada pembangunan jalan. Biasalah menjelang lebaran, jalan-jalan yang
berlobang mulai ditutup dengan harapan agar para pemudik bisa menikmati
kenyamanan perjalanan. Merayap motorku bersamaan dengan barisan kendaraan
lainnya. Tanganku mulai capek karena sibuk menarik dan melepas kemudi kopling.
Meninggalkan Ampel bukannya semakin longgar tetapi jalanan semakin tidak
beraturan. Kendaraan yang ramping itulah yang akan menjadi pemenang. Beda
dengan motorku yang harus membawa dua penumpang dengan tas kerir 130 liter dan
satu day pack 30-40 liter.
Menyadari jalanan yang macet, padat merayap dan hampir
tidak bergerak akhirnya aku putuskan untuk mengubah alur perjalan. Awalnya aku
ingin menikmati rute Solo-Sala tiga-Ambarawa-Pringsurat-Temanggung dan berakhir
di Parakan. Selepas polsek Tengaran dengan sigap kubelokkan motorku ke arah
kiri menuju Getasan Sala tiga. Dengan demikian ruteku pindah menjadi
Solo-Tengaran-Getasan-Kopeng-Grabag-Secang-Temanggung-Parakan. Walau aku
sendiri belum pernah melewati jalur alternatif itu, istriku juga belum pernah.
Bermodalkan cerita yang pernah kudengar bahwa ada jalur alternatif dari Kopeng
menuju Secang, “Petualangan pertama pun dimulai”. Ternyata untuk menembus
Kopeng-Secang aku cukup bertanya hanya empat kali. “Tidak terlalu banyak kan?”
Dari
Secang menuju Parakan, perjalanan menjadi sangat lancar. Aku membutuhkan waktu
tiga jam untuk melintasi jalanan Solo-Parakan. Dari Parakan inilah proses
kebingungan dimulai. Aku dan isteriku sama-sama tidak tahu dimana letak base camp Bansari. “Petualangan kedua pun
siap dimulai”.
Dari
Parakan, pertanyaan yang disusul dengan pertanyaan lain tentang dimanakah letak
base camp Bansari mewarnai
petualanganku. Kucatat dalam benakku bahwa untuk menemukan tempat tersebut, aku bertanya sebanyak tujuh
kali pada hal jarak Parakan-base camp Bansari
hanya 2,5 km. Itupun kutempuh dengan
waktu yang tidak pendek, hanya dua jam. “Pencarian yang tidak mudah. Langkah
pertama yang sangat menantang”. Sesampainya di base camp aku begitu bahagia dan kulihat kelegaan yang teramat
dalam juga memancar dari wajah isteriku. Jam 20.00 aku dan isteriku berhasil
menemukan gerbang petualangan berikutnya, yaitu Sindoro via Bansari.
Berawal
dari ketidakpercayaan, karena baru kali ini aku menemukan base camp yang tidak seperti biasanya. Terletak dipinggir jalan
besar beraspal dan berbentuk ruko. Base
camp yang lebih mirip toko dari pada tempat
permulaan pendakian. Seandainya tidak ada tulisan base camp Kompas Bansari, maka aku tidak akan pernah menyakininya.
Hal ini diperkuat dengan sepinya keadaan. Waktu itu kulihat ada beberapa anak
muda yang tidak tanda-tanda pendaki. Aksesoris yang mereka kenakan sangat
biasa. Hanya satu orang yang terlihat sebagai seorang pendaki. “Permisi mas.
Ini benar base camp Sindoro Bansari?”
“Monggo silahkan masuki. Motornya
langsung dibawa masuk aja. Gak usah sungkan-sungkan. Ini benar base camp kok. Yakin wis to hehehe”, jawaban ramah kas
anak-anak gunung. Dengan mantap akupun langsung meluncur masuk ke dalam
bangunan tersebut.
Jabat
tangan dan kenalan pun mengawali perjumpaan dan tentunya sebagai titik
permulaan akan persaudaraan yang dengan sendirinya telah lahir. “Kok sepi. Udah
ada yang muncak mas?”, tanyaku menyelidik. “hehehe. Belum ada mas. Maklum jalur
baru. Lagian juga jalur ini terkendala transportasi. Gak ada kendaraan umum
yang lewat sini”. Aku hanya terdiam. Belum ada pendaki lain, berarti pendakian
ini hanya akan aku nikmati bersama isteriku. “Petualangan ketiga”.
Obrolan
demi obralan menemani persahabatan malam ini. Namun kegembiraan yang lahir dari
persaudaraan ini tidak bisa menyembunyikan dan tidak bisa menutupi kalau raga
ini butuh asupan nutrisi. Perjalan jauh yang menguras tenaga dan konsentrasi
menjadikan perutku berdendang. “Mas, adakah warung terdekat dari sini?”
Para pengurus base
camp Kompas[3] hanya
tertawa. “Di sini tidak ada warung mas. Kalaupun ada itu ya lumayan jauh”.
“Waduh, padahal aku belum makan dari tadi”.
“Tenang mas. Di sini sebenarnya warungnya banyak.
Setiap anggota Kompas merupakan warung makan. Tidak usah khawatir”,. Aku tidak
mengerti. Mereka tanggap kalau aku sedang kebingunngan. Mereka pun bergegas
mengajakku ke rumah salah satu dari mereka. Kami pun segera menuju rumah mas
Sugeng. Yang ternyata isterinya juga seorang pendaki. Mas Sugeng telah
dikaruniai seorang anak. Aku berpikir ini adalah keluarga pendaki, sama
sepetiku. Akupun berharap dapat meniti ilmu dari mereka. Awal kisah perjalanan
cinta mas Sugeng diawali dari pendakian gunung Slamet. Kisah cinta para
pendaki. Romantis.
Dari 37 pendakian yang pernah kulalui, baru kali ini
aku memperoleh perlakuan yang sangat-sangat istimewa. Perjumpaan pertama,
tetapi saudara-saudara dari komunitas Kompas ini telah mengganggap aku sebagai
saudara sendiri. Di sini aku dijamu dengan makan malam tanpa bayar. Tidak ada
kata yang bisa mewakili rasa terimakasihku karena telah diterima sebagai
saudara.
Perlakuan itu belumlah seberapa. Usai makan, aku pun
berpamitan dengan mas Sugeng karena mas Sugeng tidak kembali ke base camp. Ia menidurkan anaknya karena hari telah mulai
larut. Saudara-saudara komunitas Kompas kemudian berinisiatif untuk menghantar
kami. Biasanya para pendaki akan memulai pendakian dari base camp ini. Tetapi kebiasaan ini tidak terjadi padaku. Mereka
menghantar aku dan isteriku dengan sepeda motor hingga sampai pos I[4].
Aku dihantar oleh mas Pujex dan temannya yang aku sendiri lupa namanya[5].
Usai packing
ulang aku pun berpamitan untuk segera melaju menuju pos berikutnya. Tas kerir
yang memuat keperluan dasar pendakian untuk dua orang aku gendong sendiri.
Isteriku kuminta membawa day pack
saja yang isinya hanya baju ganti, kotak PPPK dan jaket. Semua properti pendaki
ada di tas kerirku termasuk logistik untuk hidup selama tiga hari. Lumayan
berat.
Saat kakiku melangkah meninggalkan pos I kulihat bahwa
jarum jam telah menunjuk angka 23.00. Cuaca sangat cerah, angin berhembus sepoi
namun mampu mendirikan bulu roma. Keindahan alam dari cahaya bintang dan
temaram lampu kota menyemangati langkah laju kami. Secara perlahan dan
sebentar-sebentar aku berhenti untuk mengatur nafas. Selain raga memang sungguh
sudah lelah, karena telah melewati perjalanan yang cukuip panjang dan tanpa
istirahat, berat tas kerirku memang berpengaruh banyak.
Usai melewati percabangan dari pos Sidempul ini,
kami dihadapkan pada tanjakan yang cukuip landai. Tetapi setelah menyeberangi
sungai tanjakan mendadak curam. Kemiringan mendekati 35 derajat. Permulaan yang
berat. Untungnya sepanjang jalur Pos I menuju Pos II, banyak sekali tempat
datar. Hal ini disebabkan jalur ini merupakan bekas ladang penduduk. Maka tidak
mengherankan kalau banyak tempat yang dibuat datar. Dadaku mulai terasa sesak
dan panas. Tetapi aku tidak ingin menujukkan hal itu kepada isteriku. Aku
mencoba selalu tersenyum, tertawa dan membuat gojekan. Walau kenyataan tidak
bisa kusembunyikan karena aku terus tertinggal oleh langkah kaki isteriku. Ia
terus menunggu dan menunggu, setelah aku dapat menyusulnya ia pun berlalu
meninggalkan aku. Mungkin ia berharap agar lekas sampai pada Pos III sebagai
target menginap.
pos i, sidempul sindoro |
Saat jam menunjuk angka 00.05 aku merasa sangat lelah.
Bahkan aku seoalh tidur dengan berjalan. Dalam situasi yang kurang mendukung
pendakian itu, hatiku bersorak karena di balik samar gelap pepohonan aku
membaca tulisan Pos II, Pos Turunan. Kami beristirahat di sini untuk kembali
mengumpulkan sisa tenaga. Agar rasa kantuk tidak membiusku mejadi lelat tidur,
kusibukan diriku dengan mengunyah biscuit kendati aku tidak lapar. Lima menit
kami rasa cukup untuk sejenak mengistirahatkan raga, terutama pundakku yang
mulai tidak dapat merasa. Kami pun berusaha untuk mengobarkan semangat yang
sudah tidak lagi membara. Redup gairah itu terus kami tiup agar setapak terjal,
curam dan menanjak segera menghantar kami untuk menemukan pos III.
pos iii, tunggangan, sindoro |
Medan jalanan Pos II menuju Pos III tidak ada bedanya
dengan medan tempur Pos I-Pos II. Bahkan lebih parah. Karena aku yakin kemiringan
di jalan ini ada yang mencapai 45 derajat. Perlahan namun pasti semangat dalam
dada kami kembali menggebu. Sehingga kami pun berlalu dan dalam waktu 55 menit
kami telah sampai di Pos III, Pos Tunggangan[6].
Segera kubuka tenda, membuat api unggun, mengambil air yang hanya membutuhkan
waktu 10 menit, memasak, makan dan istirahat.
air yg super jernih |
Pagi menjelang aku bangun dengan raga yang sangat
segar. Isteriku telah lama bangun dan sudah keluar tenda. Ia sangat menikmati
situasi alam yang tenang, rimbun pepohonan, segarnya udara, jauh disebrang
keindahan Sumbing dan dihibur oleh kicauan burung hutan yang tidak pernah
berhenti bersenandung.
Pagi hingga siang, kami isi dengan kegiatan
masak-memasak, santai, enjoi dan tentunya foto-foto. Aku berharap semoga ada
pendaki lain yang menyususl. Harapan ini terus aku pertahankan karena hari ini
adalah hari minggu dan musim liburan yang biasanya selalu banyak pendaki. Hingga
siang tiba tidak ada tanda-tanda pendaki yang menyusul. Mungkin ini karunia
Tuhan agar kami memang sungguh-sungguh bisa menikmati alam sebagai saat untuk
rekreasi, merayakan hari ulang tahun perkawinan pertama kami.
sedikit narsis, biar keliatan romantis |
Tenaga telah pulih, cuaca sangat baik dan tujuan pun
masih jauh. Maka kami pun bergegas berkemas untuk kembali mengayunkan langkah.
Jam 12.25 kami meninggalkan Pos III menuju pos IV. Permulaan perjalanan yang
menyenangkan karena tanjakan tidak lagi seseram sebelumnya. Apalagi teduh
dedauan mampu menyembunyikan diri kami dari incaran garang sinar mentari siang
ini. Tidak lama kami pun telah sampai di Pos IV, Pos Souma[7].
Hanya membutuhkan waktu 25 menit, sehingga kami berhasil menginjakan kaki di
pos ini pada pukul 12.50.
pos iv, souma, sindoro |
Kami hanya sebentar untuk sejenak melegakan dada dan
pundak. Tepat jam 13.00 kami pun melaju perlahan untuk menikmati alam. Jalanan
masih landai, tanjakan tidak curam. Jalur ini sangat padat rapat, rimbun daun
dan cabang pohon-pohon besar lah yang menjadikan seperti itu. Di tengah jalan
kami bertemu dengan dua orang penangkap burung hutan. Sempat kami ngobrol yang
pada intinya mereka kendati mencari rejeki tetapi mereka juga tetap menghormati
alam. Mereka hanya menangkap burung jantan. Kalau yang tertangkap adalah
indukan maka mereka dengan ikhlas hati melepas kembali burung tangkapannya.
hutan yg masih rapat n lebat |
Ternyata jalur ini cukup jauh. Mungkin jalur yang
paling jauh. Berharap penuh cemas untuk segera melihat tulisan Pos V. Tetapi
yang ditunggu tidak segera muncul. Aku sempat stress, sempat putus asa. Aku
tidak tahu apakah stresku juga dialami oleh istriku. Menurut informasi yang
kugali dari base camp Pos V berada di
penghujung hutan. Saat pepohonan menjadi langka di situlah keberadaan pos
tersebut. Semakin besar harapanku untuk segera menemukannya maka semakin jauh
yang kurasa. Perjalanan panjang, melelahkan dan yang jelas tas kerirku makin
berat karena dari Pos III bebanku bertambah dengan air yang tidak sedikit. Kami
berencana untuk membuat acara masak-memasak di puncak. Maka persediaan air
harus berlipat dan itu harus membawa dari mata air terakhir yaitu Pos
Tunggangan.
Kupaksakan bibirku untuk membentuk senyuman supaya
isteriku tidak kehilangan semangat. Dan yang terutama adalah aku berharap dia
tidak merasa bersalah karena melihat segala beban bawaan ada pada pundakku. Aku
pun tahu kalau isteriku kendati sangat kuat berjalan tetapi saat ada beban
dipundak sekecil apapun itu akan menyiutkan nyalinya dan pasti berakibat pada
pundak yang tidak dapat bergerak. Saat melihat wajahnya merintih dan
mengekspresikan rasa sakit yang tidak tertahankan aku pun kehilangan rasa
nikmat dalam berpetualang. Makanya aku akan mengalah dan bersikeras menggendong
semua barang bawaan. Dengan demikian kendati aku lelah dan terkuras semua
tenaga tetapi aku tidak akan melihat wajah isteriku susah. Dan aku pun bisa
merasakan sensasi petualangan.
Kakiku sudah tidak betah menahan beban yang kian saat
tidak semakin ringan terasa. Beberapa kali kakiku tidak tetap dengan pijakan
yang menurut mata adalah pas makanya tidak jarang aku tersungkur karenanya.
Sempoyangan diriku untuk mempertahankan gairah dan semangat agar aku bisa
berjalan kokoh. Mataku pun memudar memandang samar setapak. Tidak
henti-hentinya kucoba masukkan oksigen sebanyak munkgin agar paru-paruku mampu
mengisi darah dengan O2 agar kesadaranku tetap bertahan.
selter yg keren, view yg ajib, antara pos iv-v |
Pepohonan mulai hilang dari rute. Tak ada naungan.
Terik mentari menyengat tanpa penghalang. Ilalang bergoyang menjamah wajah dan
meninggalkan perih. Angin berarak tanpa penghalang langsung mendorong tubuhku
yang sudah kelelahan dan sempoyongan. Kadar motivasi tinggal tetes terakhir.
Dalam situasi yang seperti itu isteriku berteriak kegirangan, “Mlelan. Mas,
kita nyampe Pos V”. Mendadak ada sisa tenaga yang bisa mendorongku untuk segera
menyusul isteriku. Tanpa malu-malu dan ragu segera kurebahkan ragaku di
rerumputan. Kusempatkan untuk melihat penanda waktu yang mencatat angka 15.00.
Ternyata aku telah berjuang selama dua jam untuk sampai di tempat ini.
pos v, mlelan, sindoro |
Kami
pun beristirahat untuk beberapa saat dan mencoba mengais energi dari
temah-remah biskuit. Indahnya panorama yang ditawarkan di pos ini menjadi
hiburan yang melegakan dahaga hati. Gagah nan anggunnya gunung Sumbing nampak
di seberang. Setiap lekuk tubuhnya nampak jelas sekali bahkan atap rumah-rumah
penduduk yang jauh di bawah terlihat jelas. Di kanan kiri pos ini merupakan
sabana yang cukup luas. Hijau. Cantik. Elok. Aku hanya bisa berkata, “Wow”.
apik to. pemandangan dr pos v |
Setelah
ragaku mau bekerja sama untuk kembali mengayunkan langkah menggapai pos
berikutnya, aku pun segera bergegas.
Pukul 15.15 kami segera berlalu mengejar puncak yang tinggal beberapa
langkah. Nampak di depan pos sangat-sangat dekat. Ternyata kami hanya diberi
PHP. Kupikir setapak tinggal sedikit maka kuhabiskan tenagaku untuk segera
mencapainya. Ketika perlahan puncak makin dekat ternyata ada puncak berikutnya.
Kami telah ditipu dengan puncak bayangan pertama karena ada puncak bayangan
berikutnya. Pos V menuju Pos VI akan menjumpai dua puncak bayangan.
Sepanjang rute ini, kami dihadapkan pada tanjakan
sabana yang sangat luas. Di tengah jalur ini, terdapat pohon kantigi tunggal.
Kiranya pohon ini dapat digunakan sebagai penanda jalur yang benar. Kantigi
tunggal ini seolah menjadi tempat untuk kembali menghadirkan energi. Memandang
kebawah nampak galir setapak yang telah terlewati dan saat memandang ke atas
Nampak pula kelok setapak yang ujungnya tidak terlihat menandakan bahwa
petualangan masih panjang. Setelah melihat jejak tapak kami yang berarti
perjalanan telah berlalu sekian waktu
dan mungkin hanya beberapa langkah lagi maka selesailah peziarahan ini.
Penegasan ini lah yang membuatku bisa melesat segera mempercepat langkah untuk
tahu gerumbulan semak dibatas sabana ini.
klo capek ya liat ke belakng lah. kn keren |
Ternyata, di penghujung jalur kami dihadapakan pada
keindahan alam yang menggores tajam diingatan. Kami masuk di luasnya taman
edelweiss. Sangat-sangat luas. Pada waktu kami hadir, taman edelweis tersebut
baru di posisi puncak keindahan. Semuanya berbunga. Sehingga kami dijamu dengan
harum bau kembangnya. Kegembiraan kami semakin memuncak karena taman edelweiss
ini sekaligus sebagai Pos VI. Kami tiba di Pos Centong tepat pukul 16.15.
pos vi, centong |
Setelah puas menikmati keindahan taman edelweiss, kami
segera melangkah untuk menggapai puncak sejati Sindoro. Tidak butuh waktu lama
untuk mencapainya. Hanya beberapa menit saja dan kami tiba di puncak saat jam
menunjuk titik 16.30. Hati merasa puas. Bangga. Lega. Berbunga-bunga. Ada
sensasi-senssi lain dari petualangan dan itu tidak mudah diwakilkan dengan
kata. Kusyukuri atas proses yang boleh kulewati melalui peziarahan ini.
Kulambungkan doa untuk hari-hari hidupku selanjutnya dan terutama untuk
perjalanan hidup keluargaku. Tidak lupa kupersembahkan arwah semua orang yang
telah berpulang karena pendakiannya ke gunung Sindoro.
hutan edelweis |
Usai kututup perjalanan menuju pencak ini dengan doa
syukur serta permohonan kuteruskan untuk mencari tempat yang nyaman agar
tendaku dapat berdiri kokoh dan terhindar dari terpaan angin gunung. Agaknya
puncak Sindoro kali ini tidak merestui keinginannku bermalam di ketinggiannya.
Angin berhembus dengan kencang. Kuhabiskan waktu sekitar sepuluh menit
mengitari puncaknya tetapi tidak ada satu tempatpun yang terhindar dari pusaran
angin. Sore ini angin berhebus dari segala penjuru sehingga tenda mau didirikan
dimanapun akan ditiupinya. Badanku mulai menggigil tanda angin dan cuaca sangat
kurang bersahabat.
puncak sindoro |
Isteriku dari awal sudah memohon untuk tidak
mendirikan tenda di puncak. Tetapi aku sedikit memaksa. Kuingin menikmati malam
dengan ribuan cahaya bintang dan dengan selimut kabut pegunungan. Tetapi keadaan
alam yang kurang mendukung. Akhirnya aku iyakan usul isteriku. Kami pun turun
kembali dan mencari lokasi agak di bawah, tepat disamping Pos Centong, yaitu di
lembah edelweiss. Di sini sangat terlindung dari angin dan yang lebih penting
adalah keindahan lembah edelweis itu sendiri. Taburan bunga dua warna edelweiss
putih dan kuning serta aroma khasnya yang pada malam itu dihiasi dengan berjuta
bintang aku anggap sebagai hadiah istimewa dari Tuhan pada hari ulang tahun
pertama perkawinanku.
Tenda telah berdiri, api unggun di depannya telah
jadi, masakan pun siap dinikmati. Usai makan karena raga memang sungguh lelah,
kami pun beristirahat dengan nyaman. Pagi menjelang, semburat merah nampak di
ujung timur. Dari dalam tenda kulihat tanda-tanda sunrise akan segera tiba. Kuingin nikmati keindahan alam pagi ini
di luar tenda. Kendati udara sangat dingin dan angin masih berhembus dengan
gagahnya aku tetap keluar tenda.
sunrise sindoro via bansari |
Saat mentari hampir terlahir, kubangunkan isteriku agar
kami bisa menikmati hadiah Tuhan yang maha indah. Pagi ini, kami berdua hanya
terpana dan spontan sekelumit doa mengalir bersama desah nafas kami. Kekaguman
itu mendorong kami untuk mengabadikan dengan beberapa foto, semoga membantu
kami berdua untuk mensejarahkan hidup ini.
Setelah hangat sinar mentari menggantikan dingin
udara, kami pun bergegas membuat sarapan, menikmatinya dan ingin segera
melanjutkan kisah. Hari ini, kami mesti turun dan menuju Solo, menuju rumah
tercinta.
sabana menuju pos v |
Keyang sudah perut terisi, menjadikan kami memiliki
cukup tenaga untuk berkegiatan. Langkah pertama adalah mengemasi semua
perlengkapan dan menata kembali agar kami bisa pulang dengan langkah pasti. Sebelum berpamitan dengan lembah edelweis yang
semalam mendekap kami, mendadak muncul pendaki lokal yang berasal dari Katekan.
Jalur pendakian yang jarang dilalui pendaki luar daerah. Saling sapa dan
beberapa kisah penghangat menemani persaudaraan pagi ini.
acara masak-masak d lembah edelweis |
Pada titik 09.00 kami pun memulai langkah turun untuk
mengawali lukisan hidup, terutama goresan kisah rumah tangga kami. Rasa gembira
dan bahagia menjadi kekuatan tersendiri. Sehingga hanya membutuhkan waktu 30
menit kami telah tiba di Pos V. Di sini kami kembali berjumpa dengan dua
pendaki lokal. Mereka sedang menikmati keindahan panorama alam dari pos Mlelan
ini. Tegur sapa pun mengalir dengan sendirinya. Dua saudara pun kami temukan
dalam petualangan ini.
Beban bawaan yang tidak lagi seberat saat berangkat
memperingan langkah. Sehingga setahap demi setahap kami mencapai pos-pos yang
pernah kami lewati. 45 menit dari Mlelan menuju Souma, berikutnya hanya
membutuhkan waktu 15 mencapai Pos III. 30 menit berikutnya kami telah tiba di
Pos Turunan. Lutut mulai tidak bekerjasama. Ujung-ujung jari kami mulai
berteriak-teriak. Betispun mendadak mengeras. Tertatih kami meninggalkan
Turunan menuju Sidempul. Sisa tenaga yang dikuatkan dengan semangat akhirnya
menghantar kami tiba di Pos satu tepat pukul 13.00.
medan turun kami. lumayan |
Kami merasa lega. Sekarang kami tinggal menunggu mas
Pujex yang telah kukabari semenjak tiba di pos tiga. Beliau dan rekan Kompas berjanji akan menjemput di pos
ini. Sambil menunggu, aku dan isteriku memanfaatkannya untuk memulihkan tenaga
dengan beristirahat. Panorama perkebuan tembakau dan gagahnya Sumbing serta
rindangnya pepohonan dan sepoi angin pegunungan menjadi pengobat rasa lelah
raga.
Satu jam kami menunggu, akhirnya yang ditunggu pun
tiba. “Sudah lama nunggunya ya? Maaf lama”. Sapaan yang memudarkan rasa
curigaku. Karena yang menjemput adalah wajah baru. Aku tidak kenal. Belum
sempat kujawab. Mereka tahu kegundahan hatiku. “Mas Pujex gak bisa njemput.
Lagi ngrumput”. Lalu kami pun saling berkenalan dan obrolan persaudaran pun
menceriahkan suasana siang. Kami tidak diperkenankan langsung pulang. Tetapi
kami diundang untuk singgah di rumah pengurus Kompas. Kami diundang untuk menambatkan kisah pendakian di rumah
bapak Gondes[8].
Undangan persaudaraan, kami pun menanggapinya dengan sangat bahagia.
oleh-oleh kami |
Meliuk motor kami meninggalkan Pos I dan tidak
membutuhkan waktu lama kami pun tiba di rumah bapak Gondes. Cukup ramai. Karena
malam nanti mereka akan mengadakan syukuran atas berdirinya Kompas. Sebenarnya kami diundang untuk
menghadirinya. Tetapi karena kesibukan dan pekerjaan menjadikan kami punya alasan
untuk tidak menghadirinya. Di rumah ini, kembali aku terpana. Aku terkesima
dengan perlakuan yang melebihi saudara. Kami disambut dan telah disiapkan
hidangan makan siang. Masih hangat. Sunggguh peristiwa ini menjadikan hatiku
berbunga-bunga. Ini adalah hadiah perkawinan dari Tuhan berikutnya. Pengalaman
pesaudaraan yang tulus dan jujur. Hal langka untuk zaman sekarang.
Obrolan demi obrolan, saling berbagi kisah dan
pengalaman terutama di dunia pendakian dan usaha pelestarian alam mendominasi
pembicaraan. Hingga tidak terasa waktu telah berada pada titik 15.00, ini
berarti kami harus pamitan. Aku masih memiliki tanggungan untuk mengendarai
kuda besi selama 4-5 jam menuju Solo. Fisik yang lelah akan menjadikan perjalan
ini menjadi lebih pelan dan hati-hati. Kami pamitan dan tunggulah kami kota
Solo. “Selamat tinggal Sindoro. Terimakasih atas caramu mendidik dan mengajari
kami mengerti hidup. Semoga kebersamaan yang telah berlalu menjadi hadiah
terindah untuk ulang tahun perkawinanku. Aku rindu untuk kembali dan aku selalu
rindu”.
[1]
Sejarah kehidupanku pernah
mencatat bahwa aku pernah bercita-cita untuk menjadi seorang imam, menjadi
seorang pastur. Maka aku pun pernah mampir di seminari, hidup sebagai seminaris
serta cukup lama menyandang gelar biarawan dan akrab dipanggil frater. Aku
pernah bergabung dengan tarekat MSF selama 10 tahun, antara 2001 – 2010. Cukup
lama. Maka tidak mengherankan kalau aku mengalami kesulitan dalam usaha
berganti haluan. Penyadaran terus-menerus menjadi syarat utama dalam usahaku
untuk hidup baru, yang sungguh-sungguh baru.
[2]
Jalur ini pada mulanya
merupakan jalur penduduk Bansari yang masih rutin menjalankan ritual satu Suro
di puncak Sindoro. Hingga pada akhirnya, jalur ini resmi dibuka sebagai jalur
pendakian umum pada tanggal 6-8 Juli 2012. Pembukaan jalur baru ini diawali
dengan penmas yang diikuti sekitar 300 pendaki dari berbagai daerah. Saat aku
dan isteriku melewati jalur ini, ternyata jalur ini baru saja memperingati satu
tahun dibukanya jalur Sindoro via Bansari, yaitu pada hari Jumat-Minggu, 28-30
Juni 2013.
[3]
Kompas merupakan singkatan
dari komunitas peduli Sindoro. Komunitas ini terdiri dari semua lapisan
masyarakat yang memiliki misi sama, yaitu peduli dengan kelestarian gunung
Sindoro. Tujuan utama dari komunitas ini adalah mewadahi anak-anak muda supaya
memiliki orientasi hidup, agar mereka tidak tergerus oleh efek modernitas. Adapun
yang biasa mereka lakukan adalah reboisasi, sosialisasi untuk tidak menebang hutan
secara liar, melobi para penduduk yang sudah biasa menangkap burung dan membuka
hutan sebagai lahan bercocok tanam.
[4]
Pos I atau pos Sidempul adalah
batas kebun dan hutan. Saat ini perkebunan tersebut ditanami tembakau. Dari base camp sampai di pos Sidempul ini
dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam. Jalanan terdiri dari bebatuan yang tertata
rapi. Pada saat musim panen jalanan ini akan banyak dilewati mobil bak terbuka.
Di pos Sidempul ini telah dibangun selter yang cukup luas dan nyaman. Bangunan
permanen yang memiliki tembok keliling walau hanya seperempat bangunan. Selter
ini sekaligus menjadi markas kedua Kompas selain markas utama yaitu di base camp. Dari selter ini, pendaki akan
dihadapkan pada pertigaan dan sebaiknya berjalan mengikuti jalanan yang
menanjak. Di pos I ini, pendaki juga dapat mengambil air di pralon saluran air.
Air langsung dari mata air Sindoro, cukup segar untuk langsung dinikmati.
[5]
Nomor HP mas Pujex yang bisa
dikontak adalah 085786767611.
[6]
Di Pos Tunggangan ini telah
dibangun selter, berupa gubug yang mampu memuat tiga tenda. Di depan selter ini
juga dibangun para-para untuk beristirahat. Dari selter ini, pendaki juga dapat
menikmati gagahnya gunung Sumbing kendati harus bermain dengan rimbun dedaunan.
Hal yang istimewa dari Pos Tunggangan ini adalah adanya sumber air atau
tepatnya sungai kecil. Di samping selter sudah ada penunjuk arah menujusungai
tersebut yang hanya berjarak tidak lebih dari 200 meter.
[7]
Pos Souma ini hanya berupa
tanah datar yang dapat digunakan mendirikan tenda tidak lebih dari dua tenda.
[8]
Nomor HP bpk Gondes sebagai
pengurus Kompas adalah 085292113893.