Merbabu Sang Pengurai Kesesakan
Oleh:
Heri
“Ingin kutegak berdiri
kendati aku telah kehilangan energi”, bisikku dalam hati untuk sejenak mengusir
keadaan yang menjemukan. Aku berharap dengan pernyataan itu semangatku mau bertumbuh.
Tiga hari berturut-turut, bersama rekan-rekan kerja aku disibukkan
dengan agenda tahunan. Rapat kerja yang selalu hanya dilakukan setahun sekali
tetapi ini menjadi saat yang paling menjemukan. Acara setahun sekali yang
biasanya mengundang rasa ingin, dirindu dan dinanti. Tetapi rapat kerja atau
sering disebut raker menjadi saat yang paling tidak disuka. Tidak mengherankan
kalau hal tersebut memang tidak diharapkan ada, karena raker hanya menjadi
ajang penghakiman atas kegagalan rencana. Dan telah menjadi hal yang benar
bahwa manusia enggan dihakimi, disalahkan, dikritik, ditonjolkan hal-hal yang
menjadi titik lemahnya.
Tiga hari tempat kerjaku telah membuka meja hijau.
Penghakiman atas keterbatasan diri. Kegagalan satu disusul dengan kegagalan
lain, bertubi dan beruntun kian menumpuk menjadi pemaparan yang tidak akan pernah
habis. Hingga pada akhirnya, teriakan keputusasaan sempat menghentikannya.
Ledakan emosi yang diteguhkan dengan gebrakan meja memaksa hadirin untuk
berhenti berpikir, berhenti bersikap kritis dan bahkan ada yang sejenak
berhenti bernafas. Seteguk air putih yang setia menunggu di depan meja menjadi
penyejuk kegersangan kerongkongan sekaligus pelonggar dada yang menyesak.
Raker yang kurindu
sebagai ajang untuk memaparkan rencana kerja selama setahun berubah menjadi
ajang penelanjangan. Fulgar. Berharap ada kebanggaan dan kepuasan asa karena
cita telah menggores kisah berubah menjadi muka-muka murung. Muka tidak
bergairah. Wajah sendu penuh kekecewaan. Kulihat ada yang lebih parah, ada
wajah-wajah tanpa harapan. Apatis. Aku yakin setelah raker ini bukan semangat
kerja untuk meningkatkan performa karya tetapi yang ada adalah rasa malas.
Kritik
tidak selalu melahirkan gairah hidup. Nasehat tidak selalu menghadirkan energi.
Mungkin keadaan ini harus dirombak dari cara belakang. Motivasi, pujian,
dukungan, peneguhan yang diimbangi mau memahami, kerelaan untuk mengerti dan ditopang dengan
kesediaan memberi waktu untuk berbagi kesusahan hidup, berbagi kepenatan karya,
aku yakin ini akan lebih mujarap untuk mengelorakan gairah, energi dan semangat
karya. Namun, mungkinkah itu ditemukan?
Petanyaan
itu menghantui benak dan pikiranku. Perhatianku sejenak terpaksa menemukan
jawab atasnya. Hingga pada akhirnya terlintas dalam sejarah memoriku untuk
kembali berpetualang. Alam adalah sumber dari segala jawaban atas kegelisahan
manusia. Aku yakin itu. Dengan segera aku mencari hari untuk menelusuri
setapak, menyibak belukar dan bersahabat dengan dinginnya kabut malam. Aku
menjatuhkan pilihan, Merbabu via Selo[1].
Pagi
hari saat badan enggan meregang. Masih mangu untuk menyambut mentari. Segala
agenda yang rutin sengaja aku hentikan. Jam 05.00 biasa aku bangun, merapikan
tempat tidur, menyirami tanaman, memberi makan beberapa ikan penunggu kolam
sederhanaku, sedikit peregangan kulanjutkan dengan buang hajat, gosok gigi,
mandi. Kulanjutkan dengan memanasi motor, dan kututup yang rutin di pagi hari dengan
sarapan. Usai itu segera melaju ketempat kerjaku, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef
Surakarta. “Inikan saatnya santai, mumpung diberi waktu untuk liburan”.
Sengajaku untuk bermalasan terganggu dengan bunyi ring tone HP, berarti ada SMS. “Pg
Pk, besok Sbt Jd muncak? Gabung ya pk”. SMS dari muridku. Aku sendiri telah
lupa kalau pernah menawarkan kegiatan untuk mendaki gunung dalam rangka mengisi
liburan kenaikan.
SMS
itu meneguhkan keyakinanku untuk menemukan jawab atas kegelisahan hati. Alam
adalah jawaban. Maka aku pun bangkit dari pembaringan dengan semangat. Mandi
dan menunggu sarapan yang telah disiapkan oleh isteriku. “Katane mau
malas-malasan dan pengin bangun siang. Kok udah siap untuk sarapan?” tanya
isteriku penuh keheranan. “Gak isa. Udah terbiasa bangun pagi dengan segala
rutinitasnya”, jawabku untuk berkelak.
Menu
pagi hari ini agak istimewa, isteriku sengaja menyiapkan menu spesial liburan
kupikir begitu. Ada cha brokoli-udang, sup kakap dan kerang rebus saus tiram.
“Menu
spesial ki. Pasti enak”, celotehku.
“Biar
mas entar sehat dan jadi gemuk. Entar setelah liburan mamas akan kelihatan
lebih berisi. Tu kan tanda kalau mas diplihara hehe”, jawab isteriku ringan.
“Jeng,
besok ke Merbabu yuk. Rekreasi kan”.
“Boleh”.
Aku
tidak mengira kalau dengan senang hati ia mengiyakan.
“Dengan
Anak-anak?”, pertanyaan menyusul yang tidak aku harapkan.
Sebelum
menikah aku memiliki kebiasaan mengajak murid-muridku untuk melakukan kegiatan
alam bebas. Seringnya adalah pendakian gunung sekitar Solo. Sebagai seorang
guru, juga teman dan yang jelas, aku sudah berpenghasilan maka tidak
mengherankan kalau aku sering menopang beberapa kebutuhan murid-muridku saat
pendakian tersebut.
Setelah
menikah kebiasaan itu masih sering kulakukan. Namun, nampaknya isteriku kurang
setuju dengan tindakanku, menggratisi murid-murid yang memang baru sedikit
duit.
“iya”,
jawabku ragu-ragu.
“Siapkan
bekal ganda. Entar mas yang belanja dan jangan lupa dilebihkan. Biasane
anak-anak tu kan menyepelekan. Pendakian dengan bekal ala kadarnya. Terkesan
sebagai pendakian tanpa persiapan”.
“Siap”,
jawabku singkat. Dengan pesan itu, aku menangkap bahwa isteriku mulai
berkembang rasa toleransinya, mulai bisa memahami keterbatasan anak-anak yang
memang belum berpenghasilan. Mereka masih sangat bergantung pada orang tua.
Tentunya pemberian uang saku berdasarkan prioritas. Orang tua mereka rata-rata
tidak mengerti dunia pendakian, wajarlah kalau uang saku yang diberikan juga
tidak ada bedanya dengan uang saku saat jalan-jalan di perkotaan.
Usai
sarapan isteriku berangkat kerja. Dengan semangat segera kukemasi perkakas
makan. Piring, gelas, sendok, garpu dan peralatan lainnya segera kucuci. Beres
semua. Segera kucari Hp yang biasa aku parkir. SMS segera kubalas, “Siapkan diri. Sbt besok Merbabu via Selo”.
“Besok pk? Beneran pk?”, SMS balasan dari Fefe muridku. “Qm kontak temn2 yg udh ndaftr mo gabung
ndaki. Entr aq dikbri, brp yg jd ikut”, balasku.
Kuisi
waktu tungguku dengan kegiatan yang sudah kurencanakan. Hari ini aku akan
mengecat ulang beberapa perabot yang mulai usang. Benarlah kata para bijak
bahwa banyak manusia berlomba untuk membeli barang tetapi sedikit yang mau
merawat barang yang sudah dimilikinya. Pikirku sederhana, “hemat”. Perawatan
yang berkesinambungan akan menjaga keawetan perkakas yang dimiliki. Dengan
demikian maka biaya pengeluaran dalam rumah tangga bisa ditekan dan dapat
dipergunakan untuk keperluan lainnya.
Tengah
hari aku merasa telah capek dan ragapun dengan riang menyuarakan kebutuhannya.
Tubuhku harus istirahat dan asupan energi juga mutlak harus diberikan. Saat aku
makan siang, SMS dari Fefe mengganggu nikmat makanku. “Pk, da 5 anak yg mo gabung. Tp motornya br dpt 2. Gmn?”
“Qm nyari temn lg. Entr klo udh dpt kbri”.
SMS
itu sengaja kukirim dengan harapan agar anak-anak mulai belajar memecahkan
persoalan yang mereka hadapi. Aku berharap mereka dapat menyesuaikan hidup.
Kegiatan pendakian ini bukan hanya sekedar rekreasi tetapi semoga bisa
mengajari banyak hal kepada anak-anak, terutama belajar cara hidup.
Belum
selesai aku makan, SMS kembali datang. “Pk,
gmn ni? Blom dpt temn. Pk qt mo main k rmh. Boleh ya”. Aku tidak membalas
SMS tersebut, dengan harapan mereka bisa keluar dari rasa nyamannya. Proses
dewasa karena kondisi yang menghimpit. Aku yakin itu.
Segera
kubereskan meja makan. Cuci piring.
Belum
juga kering tangan ini, anak-anak itu benar-benar datang ke rumah. Sebagai tuan
rumah aku pun menyambut hangat mereka. Obrolan demi obralan silih berganti
dengan canda tawa dan sesekali diimbangi omangan yang serius. “Pak rumahnya
nyaman ya”, komentar anak-anak. Aku pun hanya tersenyum dan dalam hati aku
yakin ini semua berkat kerja keras isteriku, yang anti kotor, anti berantakan.
Setiap hari ia membersihkan rumah, mengelap dan menyapu serta menata rumah.
Perabotan tidak seberapa banyak, bahkan rumahku cenderung belum ada apa-apanya.
Tetapi sentuhan tangan isteriku lah yang menjadikannya nampak apik.
Anak-anak
itu juga foto-foto di taman depan. Sebenarnya bukan taman, karena hanya ada
kolam kecil dengan beberapa ikan. Di kanan-kiri kolam aku tanami beberapa
tanaman yang harganya tidak lebih dari 10 ribu. Aku mencoba menatanya dengan hati sehingga menjadi harmoni.
Mendekati keadaan alam yang sesungguhnya. Di pinggir kolam itu aku bangun goa
dan kuletakkan patung Bunda Maria sebagai tugu pengingat agar aku tiap hari
tidak melupakan Tuhan. Di samping goa itu aku buatkan air terjun dua tingkat
sehingga terdengar gemericik. Taman sederhana tetapi lengkap, ada unsur air,
bunga, tumbuhan, perdu dan buatku
yang
penting adalah
ada
unsur rohaninya.
Sebenarnya
aku merasa ngantuk sekali, dalam hati ingin kuusir mereka. Tetapi anak-anak ini
memang merasa sangat nyaman. Mereka tiduran, bermain dan seolah mereka sudah
sangat biasa main di rumah. Padahal mereka baru pertama ke rumah. Aku tidak
tahu mengapa mereka bisa merasa senyaman ini. Sehingga aku pun tidak tega untuk
mengusirnya.
“Pak,
gimana ni, kita baru berlima dan motornya baru dua. Besok yang satu ikut siapa
pak?”, kembali Fefe bertanya untuk memaksaku membantu memecahkan persoalan yang
mereka hadapi. Akupun tetap dengan pendirianku, tidak akan membantu. “Kan masih
satu hari, usahakan untuk dapat satu teman”, jawabku ringan.
Sore
menjelang dan anak-anak juga belum terlihat akan beranjak. Hingga pada akhirnya
isteriku pulang, seperti biasa jam 16.30. Melihat isteriku, anak-anak ini
bagaikan anak sendiri yang lama ditinggal ibunya, pulang disambut dengan
girang. Wajah berbinar dari anak-anak, seolah mereka berjumpa dengan ibu
kandungnya. Aku menangkap ada ikatan batin yang dalam antara isteriku dan
murid-muridku ini.
Obrolan
renyah memenuhi rumah sederhanaku. Ada kegembiraan. Ada keceriaan. Aku yakin
inilah arti persaudaraan yang sesungguhnya. Persahabatan selalu menghadirkan
cara untuk bahagia.
Jarum
jam menunjuk titik 18.30, anak-anak pamitan. Katanya akan prepare, belanja kemudian packing
agar besok siap tempur. Aku berharap itu semua benar.
Malam
merangkak pelan menuju pagi. Sepanjang perjalanannya, malam telah menorehkan
kisah, bahwa cuaca cerah, langit nampak bersih, sehingga cahaya bintang pun tanpa halangan
menembus bumi. Sekitar jam 22.00 bening cahaya rembulan juga meneguhkan bahwa
malam ini memang indah. Suasana malam yang
cerah dengan taburan bintang yang akhirnya dipertegas dengan cahaya
bulan yang tidak bulat. Semua itu menyemangati untuk terus berharap bahwa
besok, saat pendakian ke Merbabu juga akan mengalami keindahan malam yang sama. Sehingga
pendakian ini akan membawa pengalaman tentang keindahan karya Sang Pencipta.
Pagi
telah menyambut mentari, pertanda bahwa hari telah dimulai. Aku beserta isteriku
menjalaninya dengan hal yang rutin dan pasti.
Isteriku
berangkat kerja. Sedangkan aku memiliki tanggungaan ke sekolah. Walau tidak ada
pelajaran karena anak-anak baru libur kenaikan, tetapi
aku memiliki beberapa tugas yang mesti terselesaikan.
Aku
tidak kontak dengan anak-anak yang akan bergabung untuk pendakian. Aku fokus
dengan pekerjaanku, begitu pula isteriku.
Jam
13.30 aku hampir bersamaan dengan isteriku tiba di rumah. Makan. Packing.
Mandi. Dan petualangan pun siap dimulai. Motor sudah siap. Tinggal tancap gas.
Tiba-tiba
Hp ku berbunyi, tanda ada SMS masuk, “Pk, jd muncak. Ikut ya. Puput”. SMS dari
muridku yang dari awal tidak diperhitungkan. “Sekarang
qm siap. N tunggu d pertigaan b.lali arah selo”.
Aku jawab demikian karena rumahnya memang searah perjalanan. Jadi tidak usah ke
Solo dulu. Boros tenaga dan bahan bakar. Setelah aku putuskan bahwa Puput lebih
baik menunggu rombongan yang dari Solo, tiba-tiba SMS dari Fefe muncul dan
cukup mengejutkan, “Pk, gmn nih. Blom dpt
temn, aq ma sapa”.
Ternyata
rombongan yang antusias ini tidak juga mampu menyelesaikan persoalannya. Segera
aku angkat Hp dan kutelepon
Puput, “Put, ada perubahan rencana. Kamu ke Solo dulu, ke sekolah ya. Di sana ada satu peserta yang
tidak ada kendaraan. Kamu boncengan dengan dia”. Ini bukan permintaan, bukan
pula permohonan. Tetapi keputusan dari pemimpin gerakan. Kuyakin Puput tanpa
paksaan segera mengiyakannya.
Aku
sedikit lega. Tetapi aku juga harus menerima kenyataan bahwa rencana
keberangkatan jelas mundur satu jam. Aku sengaja tidak membalas SMS Fefe.
Kemudian aku duduk di teras rumah. Hp ku kembali bergetar, SMS dari Fefe, “Pk, gmn nih. Blom dpt temn, aq ma sapa”.
Aku membayangkan wajah cemas yang tidak mudah dilukiskan. Rasa ingin yang
menggebu, tetapi ketika hampir tiba saatnya, terpaksa gagal. Rasa itu pasti dongkol, marah, kecewa
tetapi masih sedikit ada harapan. “Tunggu
aja. Entr lg dewi penolong tiba. Tp brangktnya mundur. Jm empt qt jln”. Aku
yakin SMS ku ini bagaikan setetes embun yang membasahi kerongkongan setelah
seminggu tidak terkena air minum.
Hari ini, Sabtu 29 Juni 2013, saat jarum jam
menunjuk angka 15.45
kami semua merapat di SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Adapun kami
adalah aku sendiri yang lebih dikenal anak-anak sebagai Pak Heri, Isteriku yang
akrab dipanggil Tante Ratih, Fefe, Adi, Jovan, Stefani yang lebih akrab
dipanggil Fani, Novin dan yang
terakhir adalah Puput.
Dengan demikian kami terdiri dari satu pasutri, lima anak-anak YOPALA dan satu
anak dari Paskib. Akhirnya kami menamai petualangan ini dengan “tim
delapan penakluk mimpi”.
Detak jarum jam terus berjalan dan mencatatkan diri
pada titik 16.00, saat ini lah kami meninggalkan teras SMA Yosef tercinta.
Empat motor beriringan pelan, kulirik spidometer yang tidak pernah melewati angka
60 km/jam. Perjalanan yang cukup pelan dan santai. Aku mengambil posisi di akhir
barisan dengan harapan bisa memantau anak-anak. Setengah jam berlalu hingga
kami pun berhasil melewati kota Boyolali dengan selamat. Masih setengah
perjalanan dan jalanan penuh tinkungan, tanjakan tajam dan lobang yang menganga
siap menyambut.
Kuyakin anak-anak di medan seperti ini belum cukup
nyali. Motorku yang memang lebih gembrot dari milik mereka memaksaku
sempoyongan untuk mempertahankan keseimbangan karena terlalu pelan. Hingga pada
akhirnya aku harus beralih jabatan manjadi sang leader. Melaju motorku di atas 60 km/ jam. Jalanan dengan tikungan
dan tanjakan merupakan fasilitas yang bisa menghantar pada rasa bangga sebagai
laki-laki dan itu adalah salah satu cara untuk bahagia. Kutatap spionku untuk
menemukan bayang-bayang deretan anak-anak, tetapi sama sekali tidak ada tanda.
Hingga kuputuskan untuk menunggu di Indomart Cepogo. Di sini aku dan isteriku
berjumpa dengan rombongan pendaki lain yang akan mencumbu Merapi. Kami sudah
lama kenal. Sering bertemu di beberapa beskem pendakian. Tetapi kami belum
pernah mendaki bersama.
Kubiarkan anak-anak meninggalkanku.
Setelah berpamitan dengan sahabat petualang, aku pun
menyusul. Tanjakan dan tikungan selepas Cepogo menuju Selo memang semakin seram.
Hingga akhirnya di jalur selepas pasar Selo, motor yang dikendarai oleh Fefe
yang berboncengan dengan Puput dan Fani yang berboncengan dengan Novin terpaksa
harus menurunkan mereka berdua. “Pemanasan pak”, teriak mereka saat aku lewat
disampingnya. Aku yakin itu pembelaan. Karena mereka memang belum ahli di medan
tanjakan. Setelah menemukan tempat yang agak datar, aku pun mentransfer ilmu
agar bisa bersahabat dengan medan pegunungan. Lalu aku memimpin mereka
sekaligus memberi contoh cara berkendara di jalur tanjakan.
Perjalanan menjadi lancar, kendati sangat pelan.
Namun, di luar rencana kami mendadak
tersesat. Karena aku memilih jalan yang bagus dan ternyata itu bukan menuju
jalur. Anak-anak tertawa dan aku yakin itu adalah cara mereka untuk membalasku
setelah beberapa kali aku mengejeknya. Dalam hati aku sendiri juga tertawa,
karena sebenarnya perjalanan di jalur ini bagiku sudah yang keempat kalinya.
“Kok bisa salah ya hehe. Heran aku”. Setelah bertanya, akhirnya kami menemukan
jalan yang benar.
Satu setengah jam kami telah mengukir kisah di
sepanjang jalan Solo-Selo. Di jalur ini, ada tiga beskem. Semuanya berada di
rumah penduduk yang saling berdekatan. Kami memilih basecamp rumahnya pak Bari. Alasannya sederhana, tiga kali
pendakian yang pernah terjadi dalam hidupku dimulai dari rumah ini. Ada
nostalgia yang sengaja aku bangkitkan. Aku sudah sedikit akrab dengan ibu dan
bapak Bari. Setiap kali pendakian, aku sempatkan diri untuk sejenak berbincang
dengan mereka.
Kusarankan anak-anak untuk segera mendulang energi
dengan makanan bergizi yang disediakan warung
privatnya bu Bari. Aku menamai demikian karena warung ini menjadi ada
ketika ada pendaki yang memesan makanan. Aku membiarkan mereka bercengkerama.
Usia sebaya dan itu masih remaja, hidup dalam kelompoknya merupakan sebuah
keharusan.
Di pelataran basecamp
ini, aku bertemu dengan dua rombongan besar, yang kesemuanya atas nama Jogja.
Walau aku yakin mereka bukan anak-anak Yogyakarta. Mereka hanyalah sekumpulan
anak-anak yang numpang cari ilmu. Sapa dan kemudian berbagi cerita serta kisah
pun dimulai. Hal yang umum terjadi kisah para pendaki selalu diwarnai dengan
rasa bangga yang kadang terasa sebagai kesombongan. Mereka berkisah tentang
petualangan kali pertama, lalu dengan semangat membeberkan beberapa tempat yang
bahaya, curam, membingungkan, tempat-tempat yang indah untuk memandang dan yang
tidak pernah ketinggalan adalah daerah berirama mistik-horor. Dalam hati aku
hanya tersenyum geli, karena aku telah tiga kali melewati jalur ini, berarti
pendakian ini merupakan kisah keempat yang akan aku goreskan[2].
Untuk menghargai mereka, aku pun memposisikan sebagai pendaki yang belum pernah
melewati jalur ini. Pura-pura menjadi orang yang hampa informasi. Untuk sekedar
mengisi kisah, akupun banyak bertanya tentang jalur pendakian. “Kadang-kadang
pura-pura adalah cara mujarab menemukan sahabat dan keluarga”, aku yakin itu.
Langit masih menawarkan pesonanya. Bintang-bintang
bersinar dengan bening. Hingga lampu-lampu kota di bawah juga seirama
dengannya. Paduan cahaya putih kekuningan dari neon penduduk dengan pancaran
redup namun lembut dari atas menjadi cara untuk terpana. Di sisi lain, angin
sepoi kering pertanda kemarau telah berjalan menyiratkan bahwa malam ini udara
akan terasa sangat dingin.
Perlahan pun tubuhku mengigil. Aku masuk ke dalam
rumah dan langsung menuju dapur. Aku dan isteriku berdiang bersama bu Bari,
sedangkan anak-anak mulai memposisikan diri untuk sejenak menyimpan energi
dengan nyenyak dalam mimpi. Obrolan demi obrolan menemani kami untuk menuju
malam, perutku mulai terasa lapar. Kulirik isteriku, agaknya ia pun mengalami
hal yang sama. Kami memesan makanan. Nasi sayur dengan telur ceplok. Rasa
jangan ditanya. Luar biasa nikmat. Pada titik 20.00 kurebahkan ragaku untuk
menumpuk kekuatan guna mengejar kisah.
Baru saja lelap
aku rasa, anak-anak mulai ribut. Mereka kedinginan. Dan aku pun mulai samar
mendengar ada ketakutan dalam diri mereka. Kucoba untuk tidak memperhatikan
karena aku telah menyampaikan rencana bahwa pendakian akan dimulai pada titik
22.00. Namun mataku pun enggan terpejam lagi. Aku bangun dan isteriku juga.
Lalu kami pun segera berkemas agar ada aktifitas sehingga badan menjadi lebih
hangat.
istirahat d batu tulis
Rencana perjalan terpaksa kami percepat setengah jam.
Saat kulirik arlojiku, kulihat angka 21.30. Di gerbang pendakian kami bertemu
dengan tiga rombongan besar, mereka dari Pengging sebanyak 17 orang, menyusul
rombongan yang lebih besar yaitu sebanyak 19 orang, mereka semua dari Solo kota
dan rombongan ketiga jumlahnya adalah yang paling banyak yaitu 40 orang. Mereka
dari Sragen. Dari informasi yang mereka sampaikan bahwa malam ini ada banyak
rombongan besar, yaitu ada tujuh dan semuanya memulai kisah dari basecamp yang berada di bawah kami.
Saat kami merangkak pelan meninggalkan basecamp, kami melewati tiga rombogan
besar itu. Sudah menjadi tradisi, bahwa pendaki yang mendahului pendaki lainnya
spontan akan menyapa, kendati kami belum pernah berjumpa. Anak-anak masih
sangat belia dalam menorehkan kisah pendakian, maka aku dan isteriku yang lebih
sering mewakili kelompok untuk selalu menyapa, “Mas, entar kami dikebut yo”
sapaku yang bernada guyon.
Dua ratusan meter setelah kami meninggalkan basecamp [3]
dan menemukan tempat yang rata sekaligus sudah agak jauh dari ributnya pendaki
lain, kami meluangkan waktu untuk sujud kepada Tuhan, melambungkan doa, harapan
serta permohonan agar pendakian ini menjadi ajang kami bisa saling melayani,
tentunya harapan dan permohonan untuk selamat tetap menjadi doa yang utama.
Melangkah pelan kami mulai menapak. Meninggalkan jejak
untuk terus menuju puncak. Selalu aku memulai pendakian dengan langkah santai.
Bahkan seolah tidak ada niatan untuk mencapainya. Itulah strategi yang aku
yakini sebagai cara paling efektif. Mengawali pendakian dengan pelan, semakin
cepat dan ketika raga, fisik telah beradaptasi dengan lingkungan pegunungan
juga ketinggian dengan udaranya yang cukup dingin maka dengan sendirnya tubuh
akan melesat mencapai puncak.
Lima menit pertama, kendati nafas belum tersengal dan
tubuhpun masih kedinginan, aku hentikan rombongan. “Pak, kok udah berhenti. Kan
belum apa-apa”, celetuk muridku. Aku hanya diam. Tidak ada penjelasan. Satu menit
kemudian kami meneruskan langkah. Sepuluh menit berikutnya, aku juga
menghentikan langkah. Tubuh mulai hangat dan nafas juga sedikit tersengal. Setahap
demi setahap kami melangkah dari lambat dan pelan menuju cepat serta durasi
yang kian lama.
Tiga rombongan yang telah kami sapa di beskem pun
telah mendahului kami. Anak-anak yang masih sangat bersemangat selalu berujar,
“Pak, gak malu kah? Kita telah didahului oleh rombongan yang starnya jauh di
belakang kita. Ayo pak kita percepat langkah dan jangan mau di dahului”. Aku
hanya tersenyum. Tidak ada komentar.
bermain d sabana 2
Belum juga kami tiba di pos I, yaitu pos Dok Malang[4],
si Adi telah mengeluh, “kelihatannya aku tidak akan mampu. Sudah tiga bulan
tidak pernah olah raga dan pemanasan”. Dalam hati aku hanya tersenyum. Selama
mereka mau mengikuti rencanaku, aku yakin bahwa kami akan sampai puncak. 45
menit selepas meninggalkan beskem, rombongan dari Sragen telah tersusul. Mereka
yang mengawali langkah dengan semangat membara, kini telah nampak pucat, tanda
tenaga mulai terkuras. “Mari mas”, sapaku ringan. Tidak ada maksud untuk
mengejek mereka. Mendengar sapaku dan ternyata ada lima cewek dari rombonganku
yang masih terlihat penuh senyum mendahului, mereka pun berkobar untuk segera
meninggalkan rasa nyamannya demi mengejar rasa superior lelakinya.
Kemudian kami
menyusul rombongan dari Solo dan berikutnya kami telah melewati rombongan dari
Penging. Melihat kenyataan itu bahwa kami yang awalnya pelan tertinggal, namun
secara bertahap telah mampu mendahului mereka yang pada mulanya meninggalkan
rombonganku, menjadi pendorong akan lahirnya kenyakinan bahwa kami bisa. Di
sisi lain, nampak pada wajah anak-anak belum pucat, berarti mereka belum
kelelahan dan tenaga yang tersimpan pun masih berlimpah.
Sebelum pos II, Pandean kami berjumpa dengan banyak
rombongan yang sedang beristirahat sambil menikmati acara masak-memasak. Di
selter ini keindahan panorama kota dengan indah cahaya lampunya begitu apik
terlihat jelas. “Mari mas. Istirahat dulu di sini. Ngopi-ngopi dulu lah”, sapa
mereka ramah. “Trimakasih, maturnuwun.
Kami akan istirahat di pos II saja[5].
Kan tinggal beberapa meter lagi”, jawabku ringan. “Berangkat dari bawah jam
berapa tadi mas?” “Sekitar jam 21.30”. “Hebat. Pembalap ya? Kami saja yang mulai
jalan jam tujuh udah hampir tepar. Lha rombongane mase kok masih pada
seger-seger, cewek-cewek lagi, hehe”. Canda tawa pun berlanjut dan kami dengan
segera meninggalkan mereka.
Dari beberapa pengalaman itu, kulihat wajah anak-anak
semakin nyakin bahwa metode yang kami terapkan akan sangat membantu dan
mendukung menuju puncak. Dua jam empat puluh lima menit perjalanan dari beskem
telah sampai di pos III, pos Batu Tulis[6].
Perjalanan yang cukup cepat. Biasanya ditempuh tiga jam dan anak-anak ini telah
memiliki tabungan 15 menit. Kemudian aku putuskan untuk istirahat sekitar
seperempat jam di pos III. Kami bertemu dengan rombongan lain yang hanya ingin
menikmati suasana alam di pos Batu Tulis. Mereka tidak ingin menikmati puncak.
Setelah istirahat 15 menit, kami pun meneruskan
langkah. Jalanan mulai menanjak. Dari kemiringan antar 20-35 derajat. Kini kami
berhadapan dengan kemiringan 50-60 derajat. Cukup curam dan tentunya menguras
tenaga. Aku pun menyadari ini adalah strategi yang salah. Saat tubuh kami mulai
dingin, medan langsung menanjak. Nampak wajah anak-anak terlihat payah, pucat
dan kehilangan gairah. Aku menangkap itu. Isteriku pun dengan perhatiannya
mencoba menyemangati anak-anak. Merangkak pelan kami tertatih untuk terus
membulatkan tekat menerjemahkan mimpi menjadi kenyataan. 45 menit dari Batu Tulis, kita berjumpa sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto, seorang
pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun 1997, ini merupakan langkah yang sangat pelan karena sebenarnya
jaraknya hanya sekitar 200 meter.
Kusempatkan diri untuk memanjatkan doa sederhana agar
sang arwah beroleh kemurahan dari Tuhan. Menatap batu nisan sederhana itu aku
menyadari sebagai diri yang terbatas. Maka menjadi mutlak untuk pada akhirnya
harus bisa berserah pada Pencipta. Sekitar 30 detik waktu yang kuluangkan untuk
mengucap doa sederhana dan menghantarku berani mengandalkan kekuatn yang Ilahi
mengubah keadaan. Anak-anak yang awalnya tertatih, sempoyongan mendadak menjadi
trengginas dan dengan gagahnya melaju menyususlku. Aku bersyukur karena setelah
tepat satu jam meninggalkan pos Batu Tulis, kami menemukan tempat yang datar
dan terlindung dari angin. Tempat ini tepat di bawah pos IV, Sabana I. Aku
putuskan untuk beristirahat. Kubuatkan api unggun. Kubuka perbekalan. Dengan
cekatan kurangkai alat masak dan dengan segera mendidihlah air untuk secepatnya
membuat minuman hangat.
menunggu detik2 sun rise
Setelah
menikmati minuman kopi susu hangat dan menikmati roti panggang, anak-anak ada
yang lelap dalam tidurnya. Tetapi Adi, Jovan, aku dan isteriku lebih memilih
untuk menikmati suasana malam. Dari posisi kami, keindahan lembah, kota dari
temaramnya cahaya rembulan nampak samar namun sangat indah, hal ini dikuatkan
dengan cahaya perapian. Jam 02.00 kuputuskan untuk melanjutkan langkah. Aku
berharap anak-anak mampu membangkitkan semangatnya sehingga bisa mencapai pos
Sabana I. Aku tidak berharap lebih, “Di pos IV aku rasa cukup, karena dari sini
panorama alamnya juga sudah sangat sempurna. Ketika pagi tiba, saat sunrise menjelang di pos ini pun sudah
cukup memikat”.
Di luar dugaan. Setelah anak-anak sejenak lelap,
mereka memiliki tenaga berlipat. Apa lagi ketika mereka tahu bahwa
rombongan-rombongan lain yang pada mulanya dengan gagah melewati dan mendahului
kami, ternyata mereka baru tiba. Pada hal anak-anak telah lelap selama satu
jam. Mereka yakin bahwa diri mereka bisa dan ternyata cukup cepat saat
melangkah. 10 menit kami menemukan tulisan Pos IV, Sabana I[7].
Semangat makin meningkat. Bahkan sangat-sangat berlipat. Dikomandoi Fefe yang
diikuti Fani serta Novin, mereka bertiga dengan lantang mendendangkan lagu kas
anak YOPALA.
Slamat tinggal kekasihku
Aku pergi takkan lama
Hanya dua hari saja
Aku pergi ke Merbabu
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Yo – Pa – La!
YOPALA! Yos!
Membaranya gairah dalam dada untuk menangkap keindahan
alam dari puncak Merbabu, ternyata tidak cukup. Karena kami harus berhadapan
dengan kekuatan alam, angin gunung pun berhembus dengan kencang. Sehingga tubuh
pun ciut nyali menjadi kedinginan.
sun rise hy PHP
Tiba di tanjakan sebelum pos Sabana II, Adi mengalami
kram kaki. Dari awal memang semangatnya dan kepercayaan dirinya agak lemah. Aku
mencoba menyemangati untuk terus melangkah. Akhirnya Sabana II terlewati.
Setapak yang datar, meliuk dengan panorama hutan edelweis menemani perjalanan.
Hingga tidak terasa kami telah sampai di Pos Jemblungan, yaitu batas hutan
edelweis untuk selanjutnya menapaki Sabana III yang didominasi tanjakan curam,
tanpa pepohonan sehingga udara malam akan dengan riangnya menembus pertahanan
baju hangat kami.
Kuingin hentikan perjalanan di pos hutan edelweiss
ini, dimana aku menyadari bahwa rombongan kami tidak membawa tenda. Di tempat
ini merupakan tempat terakhir yang terlindung dari terpaan angin. Suasana cukup
tenang, hangat dan yang utama adalah pemandangan yang ditawarkan pun luar biasa
indah. Belum sempat kuungkapkan rencana itu, anak-anak meraju untuk terus
bergerak. Mereka sangat bangga ketika saling bergantian dahulu-mendahului
dengan rombongan lain yang kesemuanya adalah para lelaki. Apa lagi banyak yang
komentar, “Rombongan dari mana ini? Hebat. Cewek-cewek mendaki, ngebut dan
hanya pakai celana pendek”. “YOPALA Yos”, itulah jawaban sekaligus slogan
penyemangat anak-anak.
Sepuluh menit meninggalkan pos Jemblungan, mendadak
Puput menghentikan langkah. Aku dan isteriku tahu kalau ia memang menderita
penyakit maag. Maka segera isteriku tanggap. Menemaninya, menguatkan harapannya
dan terus membangkitkan semangat. Isteriku dengan cekatan membuka tas obat,
mencari koyo, obat maag dan tentunya makanan. Sementara aku dan isteriku
menemani Puput untuk memulihkan kesehatan dan terutama motivasinya, seruan
YOPALA Yos dari Adi, Jovan, Fefe, Fani dan Novin terdengar lantang di
ketinggian depan kami.
Lantang di ketinggian dan itu berada di depanku, yaitu
dendang anak-anakku.
Slamat tinggal kekasihku
Aku pergi takkan lama
Hanya dua hari saja
Aku pergi ke Merbabu
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Yo – Pa – La!
YOPALA! Yos!
Lagu it uterus berkumandang menjadikan pendaki yang
lain pun ikut terbakar, bergairah dan berkobar untuk terus mengayunkan langkah.
Kendati kekuatan raga telah di ambang batas. Aku yakin bahwa lagu Yopala selama
masih terdengar akan mampu menghantar mereka sampai puncak. Akhirnya secara
pelan aku, isteriku dan Puput pun menyusul. Walau harus tertatih namun kami
masih memiliki harapan untuk menikmati keindahan dalam balutan kebersamaan dan
tentunya kekeluargaan. Kami bertiga sering beristirahat dan pada saat itu
isteriku tidak henti-hentinya terus mengobarkan gairah Puput untuk sampai
tujuan.
puput n isteriku
Beberapa kali bahkan sudah sangat sering, Puput terus
mengeluh dan hampir hilang asa. Namun isteriku semakin menggebu untuk
menyemangati. Di sinilah aku semakin menyakini bahwa kehadiran orang lain
menjadi sangat penting. Manusia adalah mahkluk terkuat dan akan semakin kuat
bila ada dalam kebersamaan yang saling mendukung, menguatakan dan menguhkan.
Akhirnya tepat pukul 04.30 kami tiba di puncak
Triangulasi. Sedangkan Fefe, Fani, Novon, Adi dan Jovan telah sampai di puncak
tertinggi Merbabu, yaitu puncak Kenteng Songo[8].
Dari puncak Triangulasi menuju puncak Kenteng Songo sangatlah dekat, tinggal
turun sedikit kemudian naik kembali dan sampailah. Maka,tidak mengherakan kalau
Puput mendadak melesat dengan langkah gesit mencari rombongan “tim
delapan penakluk mimpi” di tengah kerumunan pendaki lain yang lebih
dulu sampai. Kulirik jam dan ternyata saat kaki menginjak puncak tertinggi di
saat itulah jarum arlojiku menunjuk angka 04.35. Masih banyak waktu untuk
menunggu sunrise.
istirahat d selter darurat
Anak-anak larut dalam gembiranya. Nampak wajah-wajah
berbinar tanda sangat bahagia. Beberapa di antara mereka ini merupakan
pengalaman pertama sampai di puncak tertinggi gunung yang pernah mereka
daki. Mereka menikmati rasa bahagianya
dengan bersorak-sorai. Mereka pun berbaur dengan pendaki yang lainnya. Merbabu di
pendakianku yang kesebelas ini benar-benar menjadi lautan manusia. Aku yakin
ada sekitar tiga ratus pendaki yang berbangga diri karena telah melewati saat
untuk meloncat dari ambang batas keterbatasan raga. Kukumpulkan mereka dan
kusalami satu persatu, “Selamat ya. Kalian adalah anak-anak yang super. Yakini
bahwa kalian pernah mengalahkan keterbatasan diri. Sekarang syukuri itu. Mari
kita berdoa”. Hanya senyum yang mengembang dan itu tanda mereka mengiyakan.
Lalu kami pun berdoa, tentunya dengan cara kami masing-masing.
Sambil menunggu sunrise
tiba, aku berinisiatif untuk membuat tenda darurat dari flysheet. Tenda setiga ini cukup membantu untuk menahan angin
sehingga tidak langsung menghajar raga kami yang sudah kelelahan. Isteriku,
Novin dan Adi dengan segera mengurung diri dalam tenda darurat dan lelap. Aku
pun dengan sigap merangaki alat masak untuk segera membuat minuman hangat.
Segelas susu jahe ada juga kopi susu dan mie rebus dengan beberapa snack ringan siap menemani kami untuk
menikmati sunrise.
kami yg dituakan
Hari ini, alam kurang bersahabat. Ia sengaja
menitipkan rasa penasaran juga rasa rindu dengan menutup cakrawala. Temaram
kuning kemerahan yang menandakan bahwa matahari akan segera muncul mendadak
menjadi suram karena kabut tebal telah menghalangi pandangan. Angin lembut
berhembus dan dalam beberapa waktu akhirnya cuaca kembali cerah. Sayang
matahari telah bulat penuh dan memancarkan sinar lembutnya. Kami hanya diberi
PHP, tanpa bisa menikmati keindahan lahirnya sang mentari. Kami hanya disuguhi
indah sinarnya tetapi bukan saat lahirnya. Aku yakin alam melakukan itu agar
kami kembali mau bercengkerama dengan indahnya panorama Merbabu, terutama untuk
bisa menikmati suasana sunrise secara
sempurna.
menikmati apel d puncak merbabu
Sekitar pukul 08.30 kami pun terpaksa harus turun.
Dengan berat hati kami memaksa diri untuk meninggalkan segala keindahan yang
ada. Semoga tapak-tapak kaki kami menjadi abadi di ketinggian Kenteng Songo.
Kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menyusuri sejarah yang kami ukir
melalui kebersamaan, perjuangan dan kegigihan hati.
Dari kiri ke
kanan: Adi, Isteriku (Ratih), Fefe, Fani, Jovan, Novin, Puput dan Aku
Sepanjang perjalanan pulang dari Kenteng Songo, kami
disuguhi dengan indahnya padang sabana, dari sabana III, sabana II dan juga
sabana I. sejauh mata memandang hanya melihat hijaunya rerumputan yang dihiasi
dengan indah kembang edelweis juga kokohnya pohon kantigi. Jauh di seberang
megah Merapi nampak mengundang kami untuk singgah menjenguknya. Tampaknya
Merapi juga merindukan kami untuk mau bercengkerama dengannya.
Aku tahu bahwa nak-anak sangat berat untuk
meninggalakan keindahan yang ada. Tetapi tanggungjawab lain tidak bisa aku
tinggalkan. Maka aku pun memaksa turun. Berat hati itu memunculkan kelemahan
raga. Sehingga Jovanpun harus tumbang, terjerebab di tanah. Tepat di bawah pos
IV, Sabana I saat keindahan padang sabana berakhir Jovan mendadak sakit. Kami
pun berhenti dan beristirahat. Kami terus mendukungnya, menyemangati dan juga
menghibur. Sekitar satu jam kami beristirahat dengan menikmati perbekalan yang
masih tersisa, akhirnya kekuatan Jovan pun pulih kembali.
Kami melanjutkan kisah untuk terus melangkah. Aku dan
isteriku yang berusia dua kali lipatnya anak-anak berjalan tertatih dan
perlahan. Aku menyadari bahwa elasitas ototku sudah tidak bisa mengimbangi
anak-anak. Mereka melaju dan melesat begitu cepat, jauh meninggalkan aku dan
isteriku. Hingga akhirnya saat jamku berada pada titik 13.30, akupun mampu
menyusul mereka di basecamp, dimana
mereka terlihat sudah sangat lama menanti.
Hal itu nampak dari wajah-wajah cerah karena telah terbasuh dengan air segar. Mereka sudah selesai membersihkan diri. Di sini, kami beristirahat untuk sejenak bisa mengumpulkan tenaga. Perjalanan masih jauh. Perjalanan yang tidak lagi bertumpu pada kaki tetapi bertumpu pada kuda besi. Pukul 15.30 kami berpamitan dengan keluarga bapak Bari dan meluncur ke rumah kami, Solo tercinta. Selamat tinggal Merbabu. Kami selalu rindu untuk kembali. Bila Tuhan menghendaki, kita akan bercengkerama lagi.
Hal itu nampak dari wajah-wajah cerah karena telah terbasuh dengan air segar. Mereka sudah selesai membersihkan diri. Di sini, kami beristirahat untuk sejenak bisa mengumpulkan tenaga. Perjalanan masih jauh. Perjalanan yang tidak lagi bertumpu pada kaki tetapi bertumpu pada kuda besi. Pukul 15.30 kami berpamitan dengan keluarga bapak Bari dan meluncur ke rumah kami, Solo tercinta. Selamat tinggal Merbabu. Kami selalu rindu untuk kembali. Bila Tuhan menghendaki, kita akan bercengkerama lagi.
[1] Jalur
pendakian Selo termasuk jalur
yang banyak dikunjungi oleh para pendaki. Kemudahan aksesibilitas dan
pemandangan yang menarik menjadi faktor utama akan populernya jalur ini. Jalur Selo menuju puncak Merbabu akan melintasi tipe hutan hujan pegunungan
(1800 – 2100 mdpl) dan hutan hujan sub alpin (2500 -3150 mdpl). Secara
administratif jalur Merbabu via Selo berada di Dukuhk Genteng, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Boyolali.
[2]
Kalimat ini juga menjadi
pernyataan yang sangat sombong. Kisah para pendaki hampir dapat dipastikan
selalu diwarnai kebanggaan yang teramat sangat. Hingga tidak dapat dibedakan
dengan sebuah kesombongan cerita.
[3]
Setelah melewati gerbang pendakian pendaki
langsung diajak memasuki hutan. Di sekitar gerbang terdapat camping ground.
Pada jarak 800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah
persimpangan. Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur
kanan (jalur menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat
digunakan sebagai lokasi birdwatching.
[4] Pos I dapat ditempuh selama 1 jam
dari basecamp. Pos yang berupa sebidang
tanah ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan
gunung sehingga tidak ada pemandangan. Pos I umumnya digunakan untuk tempat
berisitirahat sejenak.
[5] Pos II berjarak kurang lebih satu
jam perjalan dari pos I. Tipikal pos II mirip pos satu yang berupa sebidang
tanah tanpa bangunan dan terletak pada ketinggian 2.420 mdpl. Vegetasinya berupa
peralihan hutan hujan pegunungan dan hutan hujan sub alpin.
[6] Pos III, Pos Batu Tulis merupakan tempat terbuka yang
cukup luas, di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos III berada
pada ketinggian 2.590 mdpl. Pemandangan di pos ini sangat indah. Banyak
terdapat Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk
berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan apabila cuaca cerah saat siang hari maka dapat melihat merapi di seberangnya. Sedangkan pada saat malam keindahan ribuan
bintang yang bertaburan menghiasi samar merapi merupakan sajian utama.
[7]
Sabana I berada pada
ketinggian ±2.770 mdpl sedangkan sabana II terletak pada ketinggian ±2.860
mdpl. Sabana I dan sabana II dipisahkan oleh sebuah bukit. Ekosistem sabana ini
didominasi oleh rumput bubar jaran.
[8] Puncak Kenteng Songo dapat ditempuh sekitar 5-10 menit dari puncak Triangulasi. Letaknya di sebelah timur puncak Triangulasi. Puncak Kenteng Songo adalah lahan luas sama seperti puncak Triangulasi. Di puncak Kenteng Songo terdapat kenteng atau batu berlubang.
Menurut cerita dinamakan Kenteng Songo karena batu berlobang yang ada di puncak sebenarnya ada sembilan buah, atau songo dalam bahasa
jawa. Namun yang bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah,
selebihnya hanya bisa dipandang dengan mata batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar