Jumat, 19 Juli 2013

catatan perjalan, Merbabu via Selo (sebuah kisah)



Merbabu Sang Pengurai Kesesakan
Oleh: Heri
tim komplit 
 “Ingin kutegak berdiri kendati aku telah kehilangan energi”, bisikku dalam hati untuk sejenak mengusir keadaan yang menjemukan. Aku berharap dengan pernyataan itu semangatku mau bertumbuh.
            Tiga hari berturut-turut, bersama rekan-rekan kerja aku disibukkan dengan agenda tahunan. Rapat kerja yang selalu hanya dilakukan setahun sekali tetapi ini menjadi saat yang paling menjemukan. Acara setahun sekali yang biasanya mengundang rasa ingin, dirindu dan dinanti. Tetapi rapat kerja atau sering disebut raker menjadi saat yang paling tidak disuka. Tidak mengherankan kalau hal tersebut memang tidak diharapkan ada, karena raker hanya menjadi ajang penghakiman atas kegagalan rencana. Dan telah menjadi hal yang benar bahwa manusia enggan dihakimi, disalahkan, dikritik, ditonjolkan hal-hal yang menjadi titik lemahnya.
            Tiga hari tempat kerjaku telah membuka meja hijau. Penghakiman atas keterbatasan diri. Kegagalan satu disusul dengan kegagalan lain, bertubi dan beruntun kian menumpuk menjadi pemaparan yang tidak akan pernah habis. Hingga pada akhirnya, teriakan keputusasaan sempat menghentikannya. Ledakan emosi yang diteguhkan dengan gebrakan meja memaksa hadirin untuk berhenti berpikir, berhenti bersikap kritis dan bahkan ada yang sejenak berhenti bernafas. Seteguk air putih yang setia menunggu di depan meja menjadi penyejuk kegersangan kerongkongan sekaligus pelonggar dada yang menyesak.
             Raker yang kurindu sebagai ajang untuk memaparkan rencana kerja selama setahun berubah menjadi ajang penelanjangan. Fulgar. Berharap ada kebanggaan dan kepuasan asa karena cita telah menggores kisah berubah menjadi muka-muka murung. Muka tidak bergairah. Wajah sendu penuh kekecewaan. Kulihat ada yang lebih parah, ada wajah-wajah tanpa harapan. Apatis. Aku yakin setelah raker ini bukan semangat kerja untuk meningkatkan performa karya tetapi yang ada adalah rasa malas.
Kritik tidak selalu melahirkan gairah hidup. Nasehat tidak selalu menghadirkan energi. Mungkin keadaan ini harus dirombak dari cara belakang. Motivasi, pujian, dukungan, peneguhan yang diimbangi mau memahami,  kerelaan untuk mengerti dan ditopang dengan kesediaan memberi waktu untuk berbagi kesusahan hidup, berbagi kepenatan karya, aku yakin ini akan lebih mujarap untuk mengelorakan gairah, energi dan semangat karya. Namun, mungkinkah itu ditemukan?
Petanyaan itu menghantui benak dan pikiranku. Perhatianku sejenak terpaksa menemukan jawab atasnya. Hingga pada akhirnya terlintas dalam sejarah memoriku untuk kembali berpetualang. Alam adalah sumber dari segala jawaban atas kegelisahan manusia. Aku yakin itu. Dengan segera aku mencari hari untuk menelusuri setapak, menyibak belukar dan bersahabat dengan dinginnya kabut malam. Aku menjatuhkan pilihan, Merbabu via Selo[1].

Pagi hari saat badan enggan meregang. Masih mangu untuk menyambut mentari. Segala agenda yang rutin sengaja aku hentikan. Jam 05.00 biasa aku bangun, merapikan tempat tidur, menyirami tanaman, memberi makan beberapa ikan penunggu kolam sederhanaku, sedikit peregangan kulanjutkan dengan buang hajat, gosok gigi, mandi. Kulanjutkan dengan memanasi motor, dan kututup yang rutin di pagi hari dengan sarapan. Usai itu segera melaju ketempat kerjaku, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. “Inikan saatnya santai, mumpung diberi waktu untuk liburan”. Sengajaku untuk bermalasan terganggu dengan bunyi ring tone HP, berarti ada SMS. “Pg Pk, besok Sbt Jd muncak? Gabung ya pk”. SMS dari muridku. Aku sendiri telah lupa kalau pernah menawarkan kegiatan untuk mendaki gunung dalam rangka mengisi liburan kenaikan.
SMS itu meneguhkan keyakinanku untuk menemukan jawab atas kegelisahan hati. Alam adalah jawaban. Maka aku pun bangkit dari pembaringan dengan semangat. Mandi dan menunggu sarapan yang telah disiapkan oleh isteriku. “Katane mau malas-malasan dan pengin bangun siang. Kok udah siap untuk sarapan?” tanya isteriku penuh keheranan. “Gak isa. Udah terbiasa bangun pagi dengan segala rutinitasnya”, jawabku untuk berkelak.
Menu pagi hari ini agak istimewa, isteriku sengaja menyiapkan menu spesial liburan kupikir begitu. Ada cha brokoli-udang, sup kakap dan kerang rebus saus tiram.
“Menu spesial ki. Pasti enak”, celotehku.
“Biar mas entar sehat dan jadi gemuk. Entar setelah liburan mamas akan kelihatan lebih berisi. Tu kan tanda kalau mas diplihara hehe”, jawab isteriku ringan.
Jeng, besok ke Merbabu yuk. Rekreasi kan”.
“Boleh”.
Aku tidak mengira kalau dengan senang hati ia mengiyakan.
“Dengan Anak-anak?”, pertanyaan menyusul yang tidak aku harapkan.
Sebelum menikah aku memiliki kebiasaan mengajak murid-muridku untuk melakukan kegiatan alam bebas. Seringnya adalah pendakian gunung sekitar Solo. Sebagai seorang guru, juga teman dan yang jelas, aku sudah berpenghasilan maka tidak mengherankan kalau aku sering menopang beberapa kebutuhan murid-muridku saat pendakian tersebut.
Setelah menikah kebiasaan itu masih sering kulakukan. Namun, nampaknya isteriku kurang setuju dengan tindakanku, menggratisi murid-murid yang memang baru sedikit duit.
“iya”, jawabku ragu-ragu.
“Siapkan bekal ganda. Entar mas yang belanja dan jangan lupa dilebihkan. Biasane anak-anak tu kan menyepelekan. Pendakian dengan bekal ala kadarnya. Terkesan sebagai pendakian tanpa persiapan”.

“Siap”, jawabku singkat. Dengan pesan itu, aku menangkap bahwa isteriku mulai berkembang rasa toleransinya, mulai bisa memahami keterbatasan anak-anak yang memang belum berpenghasilan. Mereka masih sangat bergantung pada orang tua. Tentunya pemberian uang saku berdasarkan prioritas. Orang tua mereka rata-rata tidak mengerti dunia pendakian, wajarlah kalau uang saku yang diberikan juga tidak ada bedanya dengan uang saku saat jalan-jalan di perkotaan.
Usai sarapan isteriku berangkat kerja. Dengan semangat segera kukemasi perkakas makan. Piring, gelas, sendok, garpu dan peralatan lainnya segera kucuci. Beres semua. Segera kucari Hp yang biasa aku parkir. SMS segera kubalas, “Siapkan diri. Sbt besok Merbabu via Selo”. “Besok pk? Beneran pk?”, SMS balasan dari Fefe muridku. “Qm kontak temn2 yg udh ndaftr mo gabung ndaki. Entr aq dikbri, brp yg jd ikut”, balasku.
Kuisi waktu tungguku dengan kegiatan yang sudah kurencanakan. Hari ini aku akan mengecat ulang beberapa perabot yang mulai usang. Benarlah kata para bijak bahwa banyak manusia berlomba untuk membeli barang tetapi sedikit yang mau merawat barang yang sudah dimilikinya. Pikirku sederhana, “hemat”. Perawatan yang berkesinambungan akan menjaga keawetan perkakas yang dimiliki. Dengan demikian maka biaya pengeluaran dalam rumah tangga bisa ditekan dan dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya.
Tengah hari aku merasa telah capek dan ragapun dengan riang menyuarakan kebutuhannya. Tubuhku harus istirahat dan asupan energi juga mutlak harus diberikan. Saat aku makan siang, SMS dari Fefe mengganggu nikmat makanku. “Pk, da 5 anak yg mo gabung. Tp motornya br dpt 2. Gmn?
Qm nyari temn lg. Entr klo udh dpt kbri”.
SMS itu sengaja kukirim dengan harapan agar anak-anak mulai belajar memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Aku berharap mereka dapat menyesuaikan hidup. Kegiatan pendakian ini bukan hanya sekedar rekreasi tetapi semoga bisa mengajari banyak hal kepada anak-anak, terutama belajar cara hidup.
Belum selesai aku makan, SMS kembali datang. “Pk, gmn ni? Blom dpt temn. Pk qt mo main k rmh. Boleh ya”. Aku tidak membalas SMS tersebut, dengan harapan mereka bisa keluar dari rasa nyamannya. Proses dewasa karena kondisi yang menghimpit. Aku yakin itu.
Segera kubereskan meja makan. Cuci piring.
Belum juga kering tangan ini, anak-anak itu benar-benar datang ke rumah. Sebagai tuan rumah aku pun menyambut hangat mereka. Obrolan demi obralan silih berganti dengan canda tawa dan sesekali diimbangi omangan yang serius. “Pak rumahnya nyaman ya”, komentar anak-anak. Aku pun hanya tersenyum dan dalam hati aku yakin ini semua berkat kerja keras isteriku, yang anti kotor, anti berantakan. Setiap hari ia membersihkan rumah, mengelap dan menyapu serta menata rumah. Perabotan tidak seberapa banyak, bahkan rumahku cenderung belum ada apa-apanya. Tetapi sentuhan tangan isteriku lah yang menjadikannya nampak apik.

Anak-anak itu juga foto-foto di taman depan. Sebenarnya bukan taman, karena hanya ada kolam kecil dengan beberapa ikan. Di kanan-kiri kolam aku tanami beberapa tanaman yang harganya tidak lebih dari 10 ribu. Aku mencoba menatanya  dengan hati sehingga menjadi harmoni. Mendekati keadaan alam yang sesungguhnya. Di pinggir kolam itu aku bangun goa dan kuletakkan patung Bunda Maria sebagai tugu pengingat agar aku tiap hari tidak melupakan Tuhan. Di samping goa itu aku buatkan air terjun dua tingkat sehingga terdengar gemericik. Taman sederhana tetapi lengkap, ada unsur air, bunga, tumbuhan, perdu dan buatku yang penting adalah ada unsur rohaninya.
Sebenarnya aku merasa ngantuk sekali, dalam hati ingin kuusir mereka. Tetapi anak-anak ini memang merasa sangat nyaman. Mereka tiduran, bermain dan seolah mereka sudah sangat biasa main di rumah. Padahal mereka baru pertama ke rumah. Aku tidak tahu mengapa mereka bisa merasa senyaman ini. Sehingga aku pun tidak tega untuk mengusirnya.
“Pak, gimana ni, kita baru berlima dan motornya baru dua. Besok yang satu ikut siapa pak?”, kembali Fefe bertanya untuk memaksaku membantu memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Akupun tetap dengan pendirianku, tidak akan membantu. “Kan masih satu hari, usahakan untuk dapat satu teman”, jawabku ringan.
Sore menjelang dan anak-anak juga belum terlihat akan beranjak. Hingga pada akhirnya isteriku pulang, seperti biasa jam 16.30. Melihat isteriku, anak-anak ini bagaikan anak sendiri yang lama ditinggal ibunya, pulang disambut dengan girang. Wajah berbinar dari anak-anak, seolah mereka berjumpa dengan ibu kandungnya. Aku menangkap ada ikatan batin yang dalam antara isteriku dan murid-muridku ini.
Obrolan renyah memenuhi rumah sederhanaku. Ada kegembiraan. Ada keceriaan. Aku yakin inilah arti persaudaraan yang sesungguhnya. Persahabatan selalu menghadirkan cara untuk bahagia.
Jarum jam menunjuk titik 18.30, anak-anak pamitan. Katanya akan prepare, belanja kemudian packing agar besok siap tempur. Aku berharap itu semua benar.

Malam merangkak pelan menuju pagi. Sepanjang perjalanannya, malam telah menorehkan kisah, bahwa cuaca cerah, langit nampak bersih, sehingga cahaya bintang pun tanpa halangan menembus bumi. Sekitar jam 22.00 bening cahaya rembulan juga meneguhkan bahwa malam ini memang indah. Suasana malam yang  cerah dengan taburan bintang yang akhirnya dipertegas dengan cahaya bulan yang tidak bulat. Semua itu menyemangati untuk terus berharap bahwa besok, saat pendakian ke Merbabu juga akan mengalami keindahan malam yang sama. Sehingga pendakian ini akan membawa pengalaman tentang keindahan karya Sang Pencipta.
Pagi telah menyambut mentari, pertanda bahwa hari telah dimulai. Aku beserta isteriku menjalaninya dengan hal yang rutin dan pasti.
Isteriku berangkat kerja. Sedangkan aku memiliki tanggungaan ke sekolah. Walau tidak ada pelajaran karena  anak-anak baru libur kenaikan, tetapi aku memiliki beberapa tugas yang mesti terselesaikan.
Aku tidak kontak dengan anak-anak yang akan bergabung untuk pendakian. Aku fokus dengan pekerjaanku, begitu pula isteriku.
Jam 13.30 aku hampir bersamaan dengan isteriku tiba di rumah. Makan. Packing. Mandi. Dan petualangan pun siap dimulai. Motor sudah siap. Tinggal tancap gas.
Tiba-tiba Hp ku berbunyi, tanda ada SMS  masuk, “Pk, jd muncak. Ikut ya. Puput”. SMS dari muridku yang dari awal tidak diperhitungkan. “Sekarang qm siap. N tunggu d pertigaan b.lali arah selo”. Aku jawab demikian karena rumahnya memang searah perjalanan. Jadi tidak usah ke Solo dulu. Boros tenaga dan bahan bakar. Setelah aku putuskan bahwa Puput lebih baik menunggu rombongan yang dari Solo, tiba-tiba SMS dari Fefe muncul dan cukup mengejutkan, “Pk, gmn nih. Blom dpt temn, aq ma sapa”.
Ternyata rombongan yang antusias ini tidak juga mampu menyelesaikan persoalannya. Segera aku angkat Hp dan kutelepon Puput, “Put, ada perubahan rencana. Kamu ke Solo dulu, ke sekolah ya. Di sana ada satu peserta yang tidak ada kendaraan. Kamu boncengan dengan dia”. Ini bukan permintaan, bukan pula permohonan. Tetapi keputusan dari pemimpin gerakan. Kuyakin Puput tanpa paksaan segera mengiyakannya.
Aku sedikit lega. Tetapi aku juga harus menerima kenyataan bahwa rencana keberangkatan jelas mundur satu jam. Aku sengaja tidak membalas SMS Fefe. Kemudian aku duduk di teras rumah. Hp ku kembali bergetar, SMS dari Fefe, “Pk, gmn nih. Blom dpt temn, aq ma sapa”. Aku membayangkan wajah cemas yang tidak mudah dilukiskan. Rasa ingin yang menggebu, tetapi ketika hampir tiba saatnya, terpaksa gagal. Rasa itu pasti dongkol, marah, kecewa tetapi masih sedikit ada harapan. “Tunggu aja. Entr lg dewi penolong tiba. Tp brangktnya mundur. Jm empt qt jln”. Aku yakin SMS ku ini bagaikan setetes embun yang membasahi kerongkongan setelah seminggu tidak terkena air minum.

Hari ini, Sabtu 29 Juni 2013, saat jarum jam menunjuk angka 15.45 kami semua merapat di SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Adapun kami adalah aku sendiri yang lebih dikenal anak-anak sebagai Pak Heri, Isteriku yang akrab dipanggil Tante Ratih, Fefe, Adi, Jovan, Stefani yang lebih akrab dipanggil Fani, Novin dan yang terakhir adalah Puput. Dengan demikian kami terdiri dari satu pasutri, lima anak-anak YOPALA dan satu anak dari Paskib. Akhirnya kami menamai petualangan ini dengan “tim delapan penakluk mimpi”.

Detak jarum jam terus berjalan dan mencatatkan diri pada titik 16.00, saat ini lah kami meninggalkan teras SMA Yosef tercinta. Empat motor beriringan pelan, kulirik spidometer yang tidak pernah melewati angka 60 km/jam. Perjalanan yang cukup pelan dan santai. Aku mengambil posisi di akhir barisan dengan harapan bisa memantau anak-anak. Setengah jam berlalu hingga kami pun berhasil melewati kota Boyolali dengan selamat. Masih setengah perjalanan dan jalanan penuh tinkungan, tanjakan tajam dan lobang yang menganga siap menyambut.
Kuyakin anak-anak di medan seperti ini belum cukup nyali. Motorku yang memang lebih gembrot dari milik mereka memaksaku sempoyongan untuk mempertahankan keseimbangan karena terlalu pelan. Hingga pada akhirnya aku harus beralih jabatan manjadi sang leader. Melaju motorku di atas 60 km/ jam. Jalanan dengan tikungan dan tanjakan merupakan fasilitas yang bisa menghantar pada rasa bangga sebagai laki-laki dan itu adalah salah satu cara untuk bahagia. Kutatap spionku untuk menemukan bayang-bayang deretan anak-anak, tetapi sama sekali tidak ada tanda. Hingga kuputuskan untuk menunggu di Indomart Cepogo. Di sini aku dan isteriku berjumpa dengan rombongan pendaki lain yang akan mencumbu Merapi. Kami sudah lama kenal. Sering bertemu di beberapa beskem pendakian. Tetapi kami belum pernah mendaki bersama.
Kubiarkan anak-anak meninggalkanku.
Setelah berpamitan dengan sahabat petualang, aku pun menyusul. Tanjakan dan tikungan selepas Cepogo menuju Selo memang semakin seram. Hingga akhirnya di jalur selepas pasar Selo, motor yang dikendarai oleh Fefe yang berboncengan dengan Puput dan Fani yang berboncengan dengan Novin terpaksa harus menurunkan mereka berdua. “Pemanasan pak”, teriak mereka saat aku lewat disampingnya. Aku yakin itu pembelaan. Karena mereka memang belum ahli di medan tanjakan. Setelah menemukan tempat yang agak datar, aku pun mentransfer ilmu agar bisa bersahabat dengan medan pegunungan. Lalu aku memimpin mereka sekaligus memberi contoh cara berkendara di jalur tanjakan.
Perjalanan menjadi lancar, kendati sangat pelan. Namun, di luar rencana  kami mendadak tersesat. Karena aku memilih jalan yang bagus dan ternyata itu bukan menuju jalur. Anak-anak tertawa dan aku yakin itu adalah cara mereka untuk membalasku setelah beberapa kali aku mengejeknya. Dalam hati aku sendiri juga tertawa, karena sebenarnya perjalanan di jalur ini bagiku sudah yang keempat kalinya. “Kok bisa salah ya hehe. Heran aku”. Setelah bertanya, akhirnya kami menemukan jalan yang benar.
Satu setengah jam kami telah mengukir kisah di sepanjang jalan Solo-Selo. Di jalur ini, ada tiga beskem. Semuanya berada di rumah penduduk yang saling berdekatan. Kami memilih basecamp rumahnya pak Bari. Alasannya sederhana, tiga kali pendakian yang pernah terjadi dalam hidupku dimulai dari rumah ini. Ada nostalgia yang sengaja aku bangkitkan. Aku sudah sedikit akrab dengan ibu dan bapak Bari. Setiap kali pendakian, aku sempatkan diri untuk sejenak berbincang dengan mereka.
Kusarankan anak-anak untuk segera mendulang energi dengan makanan bergizi yang disediakan warung  privatnya bu Bari. Aku menamai demikian karena warung ini menjadi ada ketika ada pendaki yang memesan makanan. Aku membiarkan mereka bercengkerama. Usia sebaya dan itu masih remaja, hidup dalam kelompoknya merupakan sebuah keharusan.

Di pelataran basecamp ini, aku bertemu dengan dua rombongan besar, yang kesemuanya atas nama Jogja. Walau aku yakin mereka bukan anak-anak Yogyakarta. Mereka hanyalah sekumpulan anak-anak yang numpang cari ilmu. Sapa dan kemudian berbagi cerita serta kisah pun dimulai. Hal yang umum terjadi kisah para pendaki selalu diwarnai dengan rasa bangga yang kadang terasa sebagai kesombongan. Mereka berkisah tentang petualangan kali pertama, lalu dengan semangat membeberkan beberapa tempat yang bahaya, curam, membingungkan, tempat-tempat yang indah untuk memandang dan yang tidak pernah ketinggalan adalah daerah berirama mistik-horor. Dalam hati aku hanya tersenyum geli, karena aku telah tiga kali melewati jalur ini, berarti pendakian ini merupakan kisah keempat yang akan aku goreskan[2]. Untuk menghargai mereka, aku pun memposisikan sebagai pendaki yang belum pernah melewati jalur ini. Pura-pura menjadi orang yang hampa informasi. Untuk sekedar mengisi kisah, akupun banyak bertanya tentang jalur pendakian. “Kadang-kadang pura-pura adalah cara mujarab menemukan sahabat dan keluarga”, aku yakin itu.
Langit masih menawarkan pesonanya. Bintang-bintang bersinar dengan bening. Hingga lampu-lampu kota di bawah juga seirama dengannya. Paduan cahaya putih kekuningan dari neon penduduk dengan pancaran redup namun lembut dari atas menjadi cara untuk terpana. Di sisi lain, angin sepoi kering pertanda kemarau telah berjalan menyiratkan bahwa malam ini udara akan terasa sangat dingin.
Perlahan pun tubuhku mengigil. Aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. Aku dan isteriku berdiang bersama bu Bari, sedangkan anak-anak mulai memposisikan diri untuk sejenak menyimpan energi dengan nyenyak dalam mimpi. Obrolan demi obrolan menemani kami untuk menuju malam, perutku mulai terasa lapar. Kulirik isteriku, agaknya ia pun mengalami hal yang sama. Kami memesan makanan. Nasi sayur dengan telur ceplok. Rasa jangan ditanya. Luar biasa nikmat. Pada titik 20.00 kurebahkan ragaku untuk menumpuk kekuatan guna mengejar kisah.
Baru  saja lelap aku rasa, anak-anak mulai ribut. Mereka kedinginan. Dan aku pun mulai samar mendengar ada ketakutan dalam diri mereka. Kucoba untuk tidak memperhatikan karena aku telah menyampaikan rencana bahwa pendakian akan dimulai pada titik 22.00. Namun mataku pun enggan terpejam lagi. Aku bangun dan isteriku juga. Lalu kami pun segera berkemas agar ada aktifitas sehingga badan menjadi lebih hangat.
istirahat d batu tulis
Rencana perjalan terpaksa kami percepat setengah jam. Saat kulirik arlojiku, kulihat angka 21.30. Di gerbang pendakian kami bertemu dengan tiga rombongan besar, mereka dari Pengging sebanyak 17 orang, menyusul rombongan yang lebih besar yaitu sebanyak 19 orang, mereka semua dari Solo kota dan rombongan ketiga jumlahnya adalah yang paling banyak yaitu 40 orang. Mereka dari Sragen. Dari informasi yang mereka sampaikan bahwa malam ini ada banyak rombongan besar, yaitu ada tujuh dan semuanya memulai kisah dari basecamp yang berada di bawah kami.
Saat kami merangkak pelan meninggalkan basecamp, kami melewati tiga rombogan besar itu. Sudah menjadi tradisi, bahwa pendaki yang mendahului pendaki lainnya spontan akan menyapa, kendati kami belum pernah berjumpa. Anak-anak masih sangat belia dalam menorehkan kisah pendakian, maka aku dan isteriku yang lebih sering mewakili kelompok untuk selalu menyapa, “Mas, entar kami dikebut yo” sapaku yang bernada guyon.
Dua ratusan meter setelah kami meninggalkan basecamp [3] dan menemukan tempat yang rata sekaligus sudah agak jauh dari ributnya pendaki lain, kami meluangkan waktu untuk sujud kepada Tuhan, melambungkan doa, harapan serta permohonan agar pendakian ini menjadi ajang kami bisa saling melayani, tentunya harapan dan permohonan untuk selamat tetap menjadi doa yang utama.
Melangkah pelan kami mulai menapak. Meninggalkan jejak untuk terus menuju puncak. Selalu aku memulai pendakian dengan langkah santai. Bahkan seolah tidak ada niatan untuk mencapainya. Itulah strategi yang aku yakini sebagai cara paling efektif. Mengawali pendakian dengan pelan, semakin cepat dan ketika raga, fisik telah beradaptasi dengan lingkungan pegunungan juga ketinggian dengan udaranya yang cukup dingin maka dengan sendirnya tubuh akan melesat mencapai puncak.
Lima menit pertama, kendati nafas belum tersengal dan tubuhpun masih kedinginan, aku hentikan rombongan. “Pak, kok udah berhenti. Kan belum apa-apa”, celetuk muridku. Aku hanya diam. Tidak ada penjelasan. Satu menit kemudian kami meneruskan langkah. Sepuluh menit berikutnya, aku juga menghentikan langkah. Tubuh mulai hangat dan nafas juga sedikit tersengal. Setahap demi setahap kami melangkah dari lambat dan pelan menuju cepat serta durasi yang kian lama.
Tiga rombongan yang telah kami sapa di beskem pun telah mendahului kami. Anak-anak yang masih sangat bersemangat selalu berujar, “Pak, gak malu kah? Kita telah didahului oleh rombongan yang starnya jauh di belakang kita. Ayo pak kita percepat langkah dan jangan mau di dahului”. Aku hanya tersenyum. Tidak ada komentar.
bermain d sabana 2
Belum juga kami tiba di pos I, yaitu pos Dok Malang[4], si Adi telah mengeluh, “kelihatannya aku tidak akan mampu. Sudah tiga bulan tidak pernah olah raga dan pemanasan”. Dalam hati aku hanya tersenyum. Selama mereka mau mengikuti rencanaku, aku yakin bahwa kami akan sampai puncak. 45 menit selepas meninggalkan beskem, rombongan dari Sragen telah tersusul. Mereka yang mengawali langkah dengan semangat membara, kini telah nampak pucat, tanda tenaga mulai terkuras. “Mari mas”, sapaku ringan. Tidak ada maksud untuk mengejek mereka. Mendengar sapaku dan ternyata ada lima cewek dari rombonganku yang masih terlihat penuh senyum mendahului, mereka pun berkobar untuk segera meninggalkan rasa nyamannya demi mengejar rasa superior lelakinya.
 Kemudian kami menyusul rombongan dari Solo dan berikutnya kami telah melewati rombongan dari Penging. Melihat kenyataan itu bahwa kami yang awalnya pelan tertinggal, namun secara bertahap telah mampu mendahului mereka yang pada mulanya meninggalkan rombonganku, menjadi pendorong akan lahirnya kenyakinan bahwa kami bisa. Di sisi lain, nampak pada wajah anak-anak belum pucat, berarti mereka belum kelelahan dan tenaga yang tersimpan pun masih berlimpah.
Sebelum pos II, Pandean kami berjumpa dengan banyak rombongan yang sedang beristirahat sambil menikmati acara masak-memasak. Di selter ini keindahan panorama kota dengan indah cahaya lampunya begitu apik terlihat jelas. “Mari mas. Istirahat dulu di sini. Ngopi-ngopi dulu lah”, sapa mereka ramah. “Trimakasih, maturnuwun. Kami akan istirahat di pos II saja[5]. Kan tinggal beberapa meter lagi”, jawabku ringan. “Berangkat dari bawah jam berapa tadi mas?” “Sekitar jam 21.30”. “Hebat. Pembalap ya? Kami saja yang mulai jalan jam tujuh udah hampir tepar. Lha rombongane mase kok masih pada seger-seger, cewek-cewek lagi, hehe”. Canda tawa pun berlanjut dan kami dengan segera meninggalkan mereka.
Dari beberapa pengalaman itu, kulihat wajah anak-anak semakin nyakin bahwa metode yang kami terapkan akan sangat membantu dan mendukung menuju puncak. Dua jam empat puluh lima menit perjalanan dari beskem telah sampai di pos III, pos Batu Tulis[6]. Perjalanan yang cukup cepat. Biasanya ditempuh tiga jam dan anak-anak ini telah memiliki tabungan 15 menit. Kemudian aku putuskan untuk istirahat sekitar seperempat jam di pos III. Kami bertemu dengan rombongan lain yang hanya ingin menikmati suasana alam di pos Batu Tulis. Mereka tidak ingin menikmati puncak.
Setelah istirahat 15 menit, kami pun meneruskan langkah. Jalanan mulai menanjak. Dari kemiringan antar 20-35 derajat. Kini kami berhadapan dengan kemiringan 50-60 derajat. Cukup curam dan tentunya menguras tenaga. Aku pun menyadari ini adalah strategi yang salah. Saat tubuh kami mulai dingin, medan langsung menanjak. Nampak wajah anak-anak terlihat payah, pucat dan kehilangan gairah. Aku menangkap itu. Isteriku pun dengan perhatiannya mencoba menyemangati anak-anak. Merangkak pelan kami tertatih untuk terus membulatkan tekat menerjemahkan mimpi menjadi kenyataan. 45 menit dari Batu Tulis, kita berjumpa sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto, seorang pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun 1997, ini merupakan langkah yang sangat pelan karena sebenarnya jaraknya hanya sekitar 200 meter.
Kusempatkan diri untuk memanjatkan doa sederhana agar sang arwah beroleh kemurahan dari Tuhan. Menatap batu nisan sederhana itu aku menyadari sebagai diri yang terbatas. Maka menjadi mutlak untuk pada akhirnya harus bisa berserah pada Pencipta. Sekitar 30 detik waktu yang kuluangkan untuk mengucap doa sederhana dan menghantarku berani mengandalkan kekuatn yang Ilahi mengubah keadaan. Anak-anak yang awalnya tertatih, sempoyongan mendadak menjadi trengginas dan dengan gagahnya melaju menyususlku. Aku bersyukur karena setelah tepat satu jam meninggalkan pos Batu Tulis, kami menemukan tempat yang datar dan terlindung dari angin. Tempat ini tepat di bawah pos IV, Sabana I. Aku putuskan untuk beristirahat. Kubuatkan api unggun. Kubuka perbekalan. Dengan cekatan kurangkai alat masak dan dengan segera mendidihlah air untuk secepatnya membuat minuman hangat.
menunggu detik2 sun rise
 Setelah menikmati minuman kopi susu hangat dan menikmati roti panggang, anak-anak ada yang lelap dalam tidurnya. Tetapi Adi, Jovan, aku dan isteriku lebih memilih untuk menikmati suasana malam. Dari posisi kami, keindahan lembah, kota dari temaramnya cahaya rembulan nampak samar namun sangat indah, hal ini dikuatkan dengan cahaya perapian. Jam 02.00 kuputuskan untuk melanjutkan langkah. Aku berharap anak-anak mampu membangkitkan semangatnya sehingga bisa mencapai pos Sabana I. Aku tidak berharap lebih, “Di pos IV aku rasa cukup, karena dari sini panorama alamnya juga sudah sangat sempurna. Ketika pagi tiba, saat sunrise menjelang di pos ini pun sudah cukup memikat”.
Di luar dugaan. Setelah anak-anak sejenak lelap, mereka memiliki tenaga berlipat. Apa lagi ketika mereka tahu bahwa rombongan-rombongan lain yang pada mulanya dengan gagah melewati dan mendahului kami, ternyata mereka baru tiba. Pada hal anak-anak telah lelap selama satu jam. Mereka yakin bahwa diri mereka bisa dan ternyata cukup cepat saat melangkah. 10 menit kami menemukan tulisan Pos IV, Sabana I[7]. Semangat makin meningkat. Bahkan sangat-sangat berlipat. Dikomandoi Fefe yang diikuti Fani serta Novin, mereka bertiga dengan lantang mendendangkan lagu kas anak YOPALA.
Slamat tinggal kekasihku
Aku pergi takkan lama
Hanya dua hari saja
Aku pergi ke Merbabu
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Yo – Pa – La!
YOPALA! Yos!

Membaranya gairah dalam dada untuk menangkap keindahan alam dari puncak Merbabu, ternyata tidak cukup. Karena kami harus berhadapan dengan kekuatan alam, angin gunung pun berhembus dengan kencang. Sehingga tubuh pun ciut nyali menjadi kedinginan.
sun rise hy PHP
Tiba di tanjakan sebelum pos Sabana II, Adi mengalami kram kaki. Dari awal memang semangatnya dan kepercayaan dirinya agak lemah. Aku mencoba menyemangati untuk terus melangkah. Akhirnya Sabana II terlewati. Setapak yang datar, meliuk dengan panorama hutan edelweis menemani perjalanan. Hingga tidak terasa kami telah sampai di Pos Jemblungan, yaitu batas hutan edelweis untuk selanjutnya menapaki Sabana III yang didominasi tanjakan curam, tanpa pepohonan sehingga udara malam akan dengan riangnya menembus pertahanan baju hangat kami.
Kuingin hentikan perjalanan di pos hutan edelweiss ini, dimana aku menyadari bahwa rombongan kami tidak membawa tenda. Di tempat ini merupakan tempat terakhir yang terlindung dari terpaan angin. Suasana cukup tenang, hangat dan yang utama adalah pemandangan yang ditawarkan pun luar biasa indah. Belum sempat kuungkapkan rencana itu, anak-anak meraju untuk terus bergerak. Mereka sangat bangga ketika saling bergantian dahulu-mendahului dengan rombongan lain yang kesemuanya adalah para lelaki. Apa lagi banyak yang komentar, “Rombongan dari mana ini? Hebat. Cewek-cewek mendaki, ngebut dan hanya pakai celana pendek”. “YOPALA Yos”, itulah jawaban sekaligus slogan penyemangat anak-anak.
Sepuluh menit meninggalkan pos Jemblungan, mendadak Puput menghentikan langkah. Aku dan isteriku tahu kalau ia memang menderita penyakit maag. Maka segera isteriku tanggap. Menemaninya, menguatkan harapannya dan terus membangkitkan semangat. Isteriku dengan cekatan membuka tas obat, mencari koyo, obat maag dan tentunya makanan. Sementara aku dan isteriku menemani Puput untuk memulihkan kesehatan dan terutama motivasinya, seruan YOPALA Yos dari Adi, Jovan, Fefe, Fani dan Novin terdengar lantang di ketinggian depan kami.
Lantang di ketinggian dan itu berada di depanku, yaitu dendang anak-anakku.
Slamat tinggal kekasihku
Aku pergi takkan lama
Hanya dua hari saja
Aku pergi ke Merbabu
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo, oaeyo
Yo – Pa – La!
YOPALA! Yos!
Lagu it uterus berkumandang menjadikan pendaki yang lain pun ikut terbakar, bergairah dan berkobar untuk terus mengayunkan langkah. Kendati kekuatan raga telah di ambang batas. Aku yakin bahwa lagu Yopala selama masih terdengar akan mampu menghantar mereka sampai puncak. Akhirnya secara pelan aku, isteriku dan Puput pun menyusul. Walau harus tertatih namun kami masih memiliki harapan untuk menikmati keindahan dalam balutan kebersamaan dan tentunya kekeluargaan. Kami bertiga sering beristirahat dan pada saat itu isteriku tidak henti-hentinya terus mengobarkan gairah Puput untuk sampai tujuan.
puput n isteriku
Beberapa kali bahkan sudah sangat sering, Puput terus mengeluh dan hampir hilang asa. Namun isteriku semakin menggebu untuk menyemangati. Di sinilah aku semakin menyakini bahwa kehadiran orang lain menjadi sangat penting. Manusia adalah mahkluk terkuat dan akan semakin kuat bila ada dalam kebersamaan yang saling mendukung, menguatakan dan menguhkan.
Akhirnya tepat pukul 04.30 kami tiba di puncak Triangulasi. Sedangkan Fefe, Fani, Novon, Adi dan Jovan telah sampai di puncak tertinggi Merbabu, yaitu puncak Kenteng Songo[8]. Dari puncak Triangulasi menuju puncak Kenteng Songo sangatlah dekat, tinggal turun sedikit kemudian naik kembali dan sampailah. Maka,tidak mengherakan kalau Puput mendadak melesat dengan langkah gesit mencari rombongan “tim delapan penakluk mimpi” di tengah kerumunan pendaki lain yang lebih dulu sampai. Kulirik jam dan ternyata saat kaki menginjak puncak tertinggi di saat itulah jarum arlojiku menunjuk angka 04.35. Masih banyak waktu untuk menunggu sunrise.
istirahat d selter darurat
Anak-anak larut dalam gembiranya. Nampak wajah-wajah berbinar tanda sangat bahagia. Beberapa di antara mereka ini merupakan pengalaman pertama sampai di puncak tertinggi gunung yang pernah mereka daki.  Mereka menikmati rasa bahagianya dengan bersorak-sorai. Mereka pun berbaur dengan pendaki yang lainnya. Merbabu di pendakianku yang kesebelas ini benar-benar menjadi lautan manusia. Aku yakin ada sekitar tiga ratus pendaki yang berbangga diri karena telah melewati saat untuk meloncat dari ambang batas keterbatasan raga. Kukumpulkan mereka dan kusalami satu persatu, “Selamat ya. Kalian adalah anak-anak yang super. Yakini bahwa kalian pernah mengalahkan keterbatasan diri. Sekarang syukuri itu. Mari kita berdoa”. Hanya senyum yang mengembang dan itu tanda mereka mengiyakan. Lalu kami pun berdoa, tentunya dengan cara kami masing-masing.
Sambil menunggu sunrise tiba, aku berinisiatif untuk membuat tenda darurat dari flysheet. Tenda setiga ini cukup membantu untuk menahan angin sehingga tidak langsung menghajar raga kami yang sudah kelelahan. Isteriku, Novin dan Adi dengan segera mengurung diri dalam tenda darurat dan lelap. Aku pun dengan sigap merangaki alat masak untuk segera membuat minuman hangat. Segelas susu jahe ada juga kopi susu dan mie rebus dengan beberapa snack ringan siap menemani kami untuk menikmati sunrise.
kami yg dituakan
Hari ini, alam kurang bersahabat. Ia sengaja menitipkan rasa penasaran juga rasa rindu dengan menutup cakrawala. Temaram kuning kemerahan yang menandakan bahwa matahari akan segera muncul mendadak menjadi suram karena kabut tebal telah menghalangi pandangan. Angin lembut berhembus dan dalam beberapa waktu akhirnya cuaca kembali cerah. Sayang matahari telah bulat penuh dan memancarkan sinar lembutnya. Kami hanya diberi PHP, tanpa bisa menikmati keindahan lahirnya sang mentari. Kami hanya disuguhi indah sinarnya tetapi bukan saat lahirnya. Aku yakin alam melakukan itu agar kami kembali mau bercengkerama dengan indahnya panorama Merbabu, terutama untuk bisa menikmati suasana sunrise secara sempurna.
menikmati apel d puncak merbabu
Cukup lama kami menikmati keindahan Merbabu dari Kenteng Songo. Aku pun sempat pamer bekal istimewa. Waktu itu aku membawa sepuluh apel, yang ternyata sangat-sangat segar dan nikmat. Tetapi tidak semua anak-anakku menyukai itu. Mereka merasa cukup dengan keberhasilannya yaitu mencapai puncak tertinggi.
Sekitar pukul 08.30 kami pun terpaksa harus turun. Dengan berat hati kami memaksa diri untuk meninggalkan segala keindahan yang ada. Semoga tapak-tapak kaki kami menjadi abadi di ketinggian Kenteng Songo. Kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menyusuri sejarah yang kami ukir melalui kebersamaan, perjuangan dan kegigihan hati.
Dari kiri ke kanan: Adi, Isteriku (Ratih), Fefe, Fani, Jovan, Novin, Puput dan Aku
Sepanjang perjalanan pulang dari Kenteng Songo, kami disuguhi dengan indahnya padang sabana, dari sabana III, sabana II dan juga sabana I. sejauh mata memandang hanya melihat hijaunya rerumputan yang dihiasi dengan indah kembang edelweis juga kokohnya pohon kantigi. Jauh di seberang megah Merapi nampak mengundang kami untuk singgah menjenguknya. Tampaknya Merapi juga merindukan kami untuk mau bercengkerama dengannya.
Aku tahu bahwa nak-anak sangat berat untuk meninggalakan keindahan yang ada. Tetapi tanggungjawab lain tidak bisa aku tinggalkan. Maka aku pun memaksa turun. Berat hati itu memunculkan kelemahan raga. Sehingga Jovanpun harus tumbang, terjerebab di tanah. Tepat di bawah pos IV, Sabana I saat keindahan padang sabana berakhir Jovan mendadak sakit. Kami pun berhenti dan beristirahat. Kami terus mendukungnya, menyemangati dan juga menghibur. Sekitar satu jam kami beristirahat dengan menikmati perbekalan yang masih tersisa, akhirnya kekuatan Jovan pun pulih kembali.

Kami melanjutkan kisah untuk terus melangkah. Aku dan isteriku yang berusia dua kali lipatnya anak-anak berjalan tertatih dan perlahan. Aku menyadari bahwa elasitas ototku sudah tidak bisa mengimbangi anak-anak. Mereka melaju dan melesat begitu cepat, jauh meninggalkan aku dan isteriku. Hingga akhirnya saat jamku berada pada titik 13.30, akupun mampu menyusul mereka di basecamp, dimana mereka terlihat sudah sangat lama menanti. 
Hal itu nampak dari wajah-wajah cerah karena telah terbasuh dengan air segar. Mereka sudah selesai membersihkan diri. Di sini, kami beristirahat untuk sejenak bisa mengumpulkan tenaga. Perjalanan masih jauh. Perjalanan yang tidak lagi bertumpu pada kaki tetapi bertumpu pada kuda besi. Pukul 15.30 kami berpamitan dengan keluarga bapak Bari dan meluncur ke rumah kami, Solo tercinta. Selamat tinggal Merbabu. Kami selalu rindu untuk kembali. Bila Tuhan menghendaki, kita akan bercengkerama lagi.




[1] Jalur pendakian Selo termasuk jalur yang banyak dikunjungi oleh para pendaki. Kemudahan aksesibilitas dan pemandangan yang menarik menjadi faktor utama akan populernya jalur ini. Jalur Selo menuju puncak Merbabu akan melintasi tipe hutan hujan pegunungan (1800 – 2100 mdpl) dan hutan hujan sub alpin (2500 -3150 mdpl). Secara administratif jalur Merbabu via Selo berada di Dukuhk Genteng, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Boyolali.
[2] Kalimat ini juga menjadi pernyataan yang sangat sombong. Kisah para pendaki hampir dapat dipastikan selalu diwarnai kebanggaan yang teramat sangat. Hingga tidak dapat dibedakan dengan sebuah kesombongan cerita.
[3] Setelah melewati gerbang pendakian pendaki langsung diajak memasuki hutan. Di sekitar gerbang terdapat camping ground. Pada jarak 800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah persimpangan. Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur kanan (jalur menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat digunakan sebagai lokasi birdwatching.

[4] Pos I dapat ditempuh selama 1 jam dari basecamp. Pos yang berupa sebidang tanah ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan gunung sehingga tidak ada pemandangan. Pos I umumnya digunakan untuk tempat berisitirahat sejenak.
[5] Pos II berjarak kurang lebih satu jam perjalan dari pos I. Tipikal pos II mirip pos satu yang berupa sebidang tanah tanpa bangunan dan terletak pada ketinggian 2.420 mdpl. Vegetasinya berupa peralihan hutan hujan pegunungan dan hutan hujan sub alpin.

[6] Pos III, Pos Batu Tulis merupakan tempat terbuka yang cukup luas, di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos III berada pada ketinggian 2.590 mdpl. Pemandangan di pos ini sangat indah. Banyak terdapat Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan apabila cuaca cerah saat siang hari maka dapat melihat merapi di seberangnya. Sedangkan pada saat malam keindahan ribuan bintang yang bertaburan menghiasi samar merapi merupakan sajian utama.
[7] Sabana I berada pada ketinggian ±2.770 mdpl sedangkan sabana II terletak pada ketinggian ±2.860 mdpl. Sabana I dan sabana II dipisahkan oleh sebuah bukit. Ekosistem sabana ini didominasi oleh rumput bubar jaran.
[8] Puncak Kenteng Songo dapat ditempuh sekitar 5-10 menit dari puncak Triangulasi. Letaknya di sebelah timur puncak Triangulasi. Puncak Kenteng Songo adalah lahan luas sama seperti puncak Triangulasi. Di puncak Kenteng Songo terdapat kenteng atau batu berlubang. Menurut cerita dinamakan Kenteng Songo karena batu berlobang yang ada di puncak sebenarnya ada sembilan buah, atau songo dalam bahasa jawa. Namun yang bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah, selebihnya hanya bisa dipandang dengan mata batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar