RINJANI, PENDAKIAN KARENA DAYA TAHAN BUKAN KEKUATAN
Takkan kubiarkan sejarah itu terkubur dalam kenangan
yang kian usang. Seberapa kuatnya daya ingat manusia? Ah aku sendiri
tak mampu mendefinisikan. Yang jelas pada saat ini, aku ingin kisahku bersama
indah alam gunung Rinjani Lombok tidak menyusut bersama putaran waktu. Hingga
aku sendiri terlalu sulit untuk mengingatnya.
Serpihan serta penggalan kisah itu berawal dari sebuah
keinginan, … .
Saat waktu menandai pertengahan bulan Juli 2014, satu
peristiwa yang selama ini hanya sebatas kerinduan akan menguap mewujud menjadi
kenyataan. Selama ini, aku hanya pernah mendengar kisah dan cerita tentang
kemegahan, kegagahan dan keindahan yang tidak terlukiskan tentang Gunung
Rinjani. Aku hanya bisa membayangkan.
Namun, sang waktu akhirnya menghantarku untuk tidak
cukup hidup dalam baying-bayang. Tepat pada tanggal 15 Juli, aku, isteriku dan satu
temanku sepakat untuk mengalami surga dalam kenyataan alam Lombok.
Kusadari usiaku tidak lagi muda, maka persiapan fisik
mutlak harus ada. Kendati aku telah beberapa kali menapaki terjalanya medan
gunung, dari yang sering hingga yang baru pertama kali kudaki. Namun, Rinjani
adalah gunung yang menempati ketinggian di atas 3.500 mdpl, tepatnya 3.726 mdpl
yang kadar oksigennya tidak sebanyak di dataran rendah. Dunia pendakian
bukanlah kegiatan yang hanya mengandalkan semangat dan keinginan. Ada berbagai
hal yang perlu dipersiapkan sehingga pendakian akan berjalan dengan baik,
menemukan keindahan alam dan yang terutama “pulang
dengan selamat”.
Mendaki gunung merupakan kumpulan dari semua olah
raga. Jadi, untuk mendukung hobiku ini, maka akupun berusaha untuk rutin
melakukan aktifitas fisik. Persiapan akhir untuk bisa bercengkerama dengan
Rinjani, aku beserta isteriku pun menyempatkan diri untuk sejanak mengakrabi
setapak Lawu. Sengaja aku merencanakan untuk tidak nge-camp. Sabtu, 19 Juli tepat pukul 23.30 kutinggalkan basecamp Cemorosewu. Aku targetkan untuk
dapat menikmati keindahan sunrise di
Sendangdrajat. Rencana berjalan dengan lancar. Hingga pada hari Minggu, 20 Juli
sekitar pukul 12.30 aku dan isteriku telah kembali menikmati sejuk alam
pegunungan di basecamp. Sekitar 12
jam, aku bersama isteriku telah melakukan pendakian hingga puncak Lawu dan
turun kembali. Persiapan yang mantap.
Sabtu,
26 Juli 2014: Transformasi dari kemapanan menuju ketidakpastian
Hari yang ditunggu pun tiba menghampiri. Telah menjadi
kebiasaan yang permanen bahwa mengambil keuntungan di tengah himpitan menjadi
hal yangsering dibenarkan. Saat orang berlomba untuk bisa berjumpa dengan
anggota keluarganya, bersilahturami di hari yang fitri, secara otomatis,pada
saat seperti ini ongkos angkutan umum pun naik dengan drastis. Orang menemukan
peluang untuk mendulang keuntungan di tengah himpitan yang mendera bagi
kebanyakan pemudik.
Aku tidak memiliki banyak waktu liburan. Tidak juga
memiliki hak cuti. Sehingga untuk dapat liburan bersama dengan isteri, aku hanya
bisa nikmatinya di hari libur lebaran. Sebenarnya, aku pun telah mengerti bahwa
ongkos transportasi bisa saja naik 3-4 kali lipat dari hari-hari biasa.
Perjalanan dari Solo ke Lombok kali ini aku tempuh dengan bus shafari dharma raya. Satu-satunya bus
dari Solo yang memiliki trayek langsung menuju Lombok.
Sabtu, 26 Juli 2014, aku sebut saja Jimanto, isteriku
sebut saja Ratih dan satu temanku sebut saja Thomas Agung yang lebih senang
dengan panggilan Timbul siap berangkat. Sore hari, Solo masih diguyur hujan
kendati harusnya musim kemarau. Hujan ini menemaniku menuju ke pangkalan bus,
yang berada di belakang terminal Tirtonadi Surakarta. Tepat pukul 17.00, bus
secara perlahan dan hati-hati meninggalkan Solo. Petualangan pun dimulai. Amazing of journey.
Perjalanan malam tidak selalu mengasikkan karena
pandangan terhalang oleh bayang malam. Maka, aku juga isteriku setelah ngobrol
untuk sementara, kami pun masing-masing lelap dalam tidur. Hingga tepat pukul
20.00 kami tiba di Nganjuk. Bus berhenti dan kami pun istirahat untuk
sementara. Ada makan malam sebagai bagian dari servis kru bus. Hingga waktu
kembali merangkak dan tepat pada pukul 21.00 kami melanjutkan perjalanan.
Minggu,
27 Juli 2014: Kekuatan untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai rencana,
itulah bahagia
Penat raga dalam selimut dingin AC bus menjadikan mata
manja dalam lelap. Semburat cahaya surya pagi menggugah asa untuk kembali
terjaga. Saat, mata terbuka sampailah kami di kota Banyuwangi.
Antrian panjang siap menghadang di penyeberangan
Ketapang-Gilimanuk. 2 jam cukup bus merayap menuju pintu ferry. 2 jam juga kami
mengapung di perairan selat Bali. Hingga tepat pukul 08.00 kami telah
menginjakkan kaki di daratan Bali, Gilimanuk. Terlihat antrian panjang, sekitar
3 km pemudik yang akan meninggalkan pulau Bali menuju tanah kelahirannya
masing-masing. Pemandangan yang tidak asing karena hari ini adalah puasa
terakhir.
2 jam selepas meninggalkan Gilimanuk, bus kami pun
mengalami gangguan. Mogok. Fanbel mesin putus. Kami menunggu bus lain satu PO.
Syukurlah tidak begitu lama kami telah tersusul. Ganti bus. Lalu kami tiba di
Denpasar tepat pukul 12.00. Kami beristirahat, makan siang dan menunggu bus
kami yang sesungguhnya. Karena bus yang kami tumpangi hanya sampai di Denpasar.
Di sinilah terjadi sedikit perselisihan. Hingga ada teman kami yang complain ke perusahaan. Karena kami
harus tertunda perjalanan.
Tepat pukul 16.00 kami baru meninggalkan Denpasar
untuk menuju pelabuhan Padangbai. Perjalanan lancar. Hanya membutuhkan waktu 2
jam.
Di tengah pekat malam, ferry yang kami tumpangi
menerjang ombak. Alunan musik dangdut
koplo menemani kisah ini. Cukup lama kami terapung di lautan sekitar lima
jam. Untung nya pengelola tidak hanya menyuguhkan lagu-lagu dangdut tetapi juga
memutarkan beberapa film komedi. Sehingga penumpang sedikit terurai rasa
bosannya. Sedangkan aku juga isteri dan Timbul, nyaman dalam mimpi.
Senin,
28 Juli 2014: Kekuatan diri bukanlah gagah raga, tapi kehendak
30 menit menuju titik 00.00, kami tiba di pelabuhan
Lembar, Lombok. Bus melaju menuju kota Mataram. Hingga akhirnya, 15 menit
selepas tengah malam, kami telah tiba. Dengan segala kebingunan dan
kebimbangan, karena kami bertiga tidak ada satupun yang pernah ke Lombok. Di
tengah situasi yang serba asing, tanpa kenalan juga saudara menjadikan rasa
petualangan itu makin mencipta sensasinya.
Sebenarnya, satu minggu sebelum melakukan perjalanan
ini, kami telah menemukan nomor telepon dari penyedia jasa angkutan di Lombok.
Kami tidak pernah bertemu. Dengan demikian, kami tidak mengenal sama sekali
terhadap seseorang yang kami kontak. Kami hanya bermodalkan kepercayaan dan
keyakinan bahwa mereka bisa dipercaya. Saat meninggalkan Padangbai, kami
pastikan bahwa perjalanan hampir sampai. Kami tahu, nama penyedia jasa itu
adalah Bang Juan, warga asli Lombok. Ia terlihat sangat professional. Hingga ia
bisa memprediksi kedatangan kami dengan tepat.
Setelah bus diparkir, segera kami dihampiri oleh dua
pemuda. Modis dan gaul, itu adalah kesan pertamaku. Mereka menyapa dan
memperkenalkan diri. Mereka telah merental mobil sebagai carteran. Kami
dipersilahkan untuk beristirahat sebentar dan melengkapi perbekalan, karena
sepanjang perjalanan hanya akan berjumpa dengan kesunyian. Dari kenyataan ini,
bahwa tanpa adanya perjumpaan, tanpa adanya DP, tanpa ada jaminan. Komunikasi
pun hanya via telpon dan SMS, namun mereka telah menunjukkan totalitasnya.
Maka, serta merta aku pun percaya bahwa mereka adalah orang-orang baik. Kutahu
mereka adalah Bang Juan dan Bang Jan.
Perjalanan dari Mataram menuju Aikmel dan selanjutnya
menuju base camp Sembalun membutuhkan
waktu tempuh sekitar 2, 5 jam. Aku sangat bersyukur karena dapat menikmati
suasana malam takbiran di kota Mataram sampai Sembalun. Hingga aku pun
merasakan hingar-bingar suasana takbiran. Jalanan menjadi sangat ramai dan di
beberapa titik mengalami kemacetan. Hingga kami tiba di Sembalun tepat jam
03.00.
Ternyata kami tidak diantar ke base camp pendakian, tetapi di salah satu rumah penduduk, kenalan
dari Bang Juang, yaitu Bang Jamal. Kami disambut dengan hangat. Dipersilahkan
untuk beristirahat. Namun, aku sempatkan diri untuk sejenak berbagi kisah
dengan mereka. Isteriku telah lelap medahului. Hingga waktu menujuk titik
04.00, Bang Juan dan Bang Jan pamitan. Mereka mau pulang karena berencana akan
menjalankan solat Id di Mataram. Dalam lelahku, aku pun segera merebahkan diri
dan lelap dalam balutan damai desa Sembalun.
Dua jam cukup untuk memulihkan tenaga. Isteriku dan
Timbul masih lelap dalam tidurnya. Sedangkan Bang Jamal telah siap untuk
menghantarku menikmati suasana desa Sembalun. Kami pun berjalan-jalan dan ia
menunjukkan setapak yang memotong rute resmi. Menurut Bang Jamal, jalan itu
lebih cepat satu jam bila dibandingkan dengan jalur resmi. Setelah aku merasa
cukup untuk menikmati suasana desa Sembalun yang masih asri dengan
sapaan-ramah-senyum dari penduduk, aku putuskan untuk kembali. Setelah sampai
di rumah. Ternyata keluarga Bang Jamal telah menyediakan hidangan pagi, berupa
nasi opor daging sapi. Sungguh keluarga yang sangat baik. Terimakasih Bang
Jamal.
Obrolan yang
penuh dengan semangat persaudaraan menemani sarapan pagi ini. Tepat pukul 08.00
kami pun berpamitan untuk memulai pendakian. Namun kebaikan dari Bang Jamal,
tidak sebatas itu. Ia masih berkenan menghantar kami sampai di perbatasan
ladang dan hutan. Kami pun memulai petualangan ini, tanpa pemandu, tanpa pernah
melewatinya, juga tanpa porter, kami hanya bermodal informasi yang telah kami
kumpulkan jauh-jauh hari. Hingga kami yakin bahwa pendakian ini, akan
menghantar kami menemukan berjuta kisah yang fantastis.
Langkah pertama ini, kami awali dengan doa. Kami
sandarkan pendakian ini, ke dalam tangan Yang Ilahi. Dan pada waktu itu, jarum
jam tepat bertengger pada titik 08.30. Panas terik mentari tanpa penghalang
menemani langkah kaki ini. Luasnya savana dengan padang rumputnya yang
mengombak dan meliuk. Setapak yang berkelok, timbul-tenggelam sedikit
menyiutkan nyali. Tidak sampai 10 menit kami pun basah oleh keringat.
Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah
hamparan savana. Perbukitan berbaris manja mempesona. Parit-parit yang membelah
perbukitan itu meliuk-liuk memaparkan daya tariknya. Setapak hilang dan muncul,
menantang nyali untuk tidak lagi mengandalkan kekuatan raga. Namun, menegaskan
tekat yang harusnya jadi penopang langkah.
sabana rinjani dari pos sembalun. tu timbul jauh di belakang |
masih jauh. enjoy aja. nikmati indahnya sabana sembalun rinjani |
Perbukitan ini, terlihat lama tidak bermandi air mata
langit. Sehingga setapak kering berdebu. Nafas kami pun berburu udara untuk
memicu darah membakar energi. Tenggorakan tidak henti-hentinya meminta siraman
air pelepas dahaga. Pengalaman beberapa pendakian di pulau Jawa seolah-olah
tidak berdaya. Lombok adalah pulau kecil. Sungguh terasa udara kering, laut dan
pegunungan. Selepas melewati tiga sungai yang mengering, di penghujung mata
terlihat barisan pepohonan yang cukup rindang. Teduhnya membangkitkan asa yang
kian koyak. Maka, aku dan isteriku segera mempercepat langkah. Sesampainya di
hutan tersebut, tanpa menunda waktu segera kuletakkan kerirku. Tak begitu lama,
Timbul juga segera menyusul dan melakukan hal yang sama. Akhirnya, kami
putuskan untuk beberapa beristirahat di sini.
Mentari masih sangar memaparkan kekuatannya.
Menyiutkan nyali. Pos satu masih jauh. Pendakian baru satu jam. Menurut
informasi, dari perkampungan menuju pos satu membutuhkan tiga jam. Semoga jalur
yang diberikan oleh Bang Juan ini benar-benar memotong, mengurangi pertarungan
diri sebanyak 60 menit. Teduh pepohonan dan raga yang belum cukup beristirahat,
menjadikan mata menyipit. Namun, asa telah mampu membuyarkan keinginan ragawi
untuk manja dalam lelap.
30 menit berlalu untuk mengais tenaga yang tersisa.
Rinjani nampaknya berkenan, sehingga ia menghadirkan kabut tebal untuk menaungi
langkah letih kami. Segera, kami pun bergegas untuk melanjutkan kisah. Kami
masih belum mantap dengan setapak yang kami lewati. Tidak ada penunjuk jalan.
Kami berharap untuk segera bertemu dengan jembatan. Bang Juan berpesan bahwa
setelah melewati jembatan maka tidak ada jalur lain. “Hanya ada satu setapak.
Ikutin saja. Maka akan sampai pada tujuan”. Memasuki hutan lebat dengan
kanopinya yang berhasil menyembunyikan cercah sinar mentari, menambah keraguan
dan was-was hati.
Di tengah ketidakpastian itu, terlihat di kejauhan sepasukan
pendaki turun menuju ke arah yang berlawanan. Ada harapan. Saat berpapasan,
kusempatkan say hello dan menggali
beberapa informasi. Benarlah bahwa jalur ini akan membawa kami sampai pada
Pelawangan Sembalun. Mereka dari Jakarta, rombongan yang cukup besar. Ada
sekitar 13 pendaki dengan 4 porter
dan satu guide. Dalam hati aku hanya
bisa bilang, “pendaki elite. Beda sekali denganku, yang tanpa porter, tanpa guide. Juga rombongan kecil yang
berekspedisi. Pendakian pertama. Adu nyali. Ini lah Petualangan”.
Tak berapa lama, terlihat di kejauhan membelah kelok
setapak jembatan yang gagah. Segera aku dan isteriku memacu langkah. Kami
bertemu pertigaan yang ternyata adalah persimpangan dengan jalur resmi.
Kuhentikan langkah untuk menghela nafas. Timbul jauh tertinggal. Ia terlihat
penuh perjuangan untuk memompa energinya. Di jembatan ini, ku bertemu seorang
porter yang memberi info bahwa Pos Satu tinggal 30 menit lagi. Berarti
kemampuanku akan membutuhkan waktu tempuh dua kali lipatnya, 60 menit itu
pasti.
Timbulpun menyusul dan segera mempersilahkan, aku dan
isteriku untuk lanjut. Ia pelan-pelan akan menyusul. Di belakang kami jauh
telihat 4 pendaki yang melewati jalur resmi. Berarti ada temannya. Aku pun
berani meninggalkan Timbul dengan harapan di belakang masih ada pendaki lain.
Kabut masih menemani langkah gontai kami. Aku dan
isteriku pun segera berlalu. Berharap untuk segera melihat selter Pos Satu. Liukan
setapak masih melambai dan terlihat berakhir di penghujung bukit. Satu bukit
terlampaui, kami bertemu dengan setapak yang meliuk kembali dan seolah berakhir
di ujung bukit. Semangat membakar dan memudar saat hanya bertemu dengan
bukit-bukit PHP. Untungnya jalur
mendan pendakian tidak terlalu terjal. Sehingga kami masih bisa mengikutinya
dengan riang.
Tiga bukit telah kami lewati setelah jembatan pertama.
Dan.
Di sinilah berdiri gagah dua selter yang bertuliskan
Pos Satu. Hati riang tak terkatakan. Kulihat arlojiku dan menunjuk angka 11.00.
Berarti 2,5 jam kami telah berjalan. Waktu tempuh yang masih standar. Di pos
ini, kabut makin tebal. Angin berhembus makin lama makin kencang. Dan tidak
berapa lama rintik hujanpun turun dengan manja. Seolah memberi penghiburan
kepadaku, karena debu jalanan akan berkurang. Segera kuberteriak untuk
menyemangati Timbul yang masih jauh di belakang, “Pos Satu. Ayo semangat”.
tu di blakang namanya selter pos satu sembalun rinjani |
Segera kukeluarkan bekal dan tidak lupa aku
mengabadikan momen ini. 10 menit kemudian Timbul pun menyusul. Dan tidak berapa
lama, 4 pendaki yang di belakang kami pun tiba juga. Kami beristirahat
sebentar. Mengisi tenaga dengan beberapa potong kue. Di sini kami sempat
bercakap-cakap. Ke-4 pendaki itu berasal dari Jakarta. Satu hal yang kuingat
dari obrolan kami adalah, mereka terkagum-kagum dengan besarnya kerir yang aku
bawa. Wajar, namanya juga kerir 120 liter dan membawa perlengkapan untuk dua
orang plus logistik untuk hidup beberapa hari. Aku sendiri juga terhertan-heran
dengan banyaknya bawaanku, hehe.
Selepas gerimis, cuaca sangat bersahabat. Kabut
menaunggi. Sehingga mentari tetap tersembunyi. Namun, tarian savana molek asri
terhampar jelas di mata. Sehingga atap selter Pos Dua terlihat dikejauhan.
Menurut informasi, jarak tempuh standar dari Pos Satu menuju Pos Dua hanya satu
jam. Kami pun bergerak melanjutkan kisah. Sepanjang perjalanan ini, kami banyak
berjumpa dengan pendaki dari luar negeri. Banyak pendaki bule. Ada yang
mendahului, ada pula yang telah turun. Tidak sengaja aku pun membandingkan
bahwa pendaki Indonesia tidak sampai sepertiga dari pendaki asing. Lebih banyak
pendaki asingnya. Bahkan aku melihat bahwa mereka terlihat sangat akrab dan
nyaman dengan Rinjani. Mungkin mereka telah beberapa kali melakukan pendakian
di gunung ini.
Timbul semakin sempoyongan. Dia jauh tertinggal di
belakang. Untungnya sepanjang jalur cuaca sangat mendukung. Sehingga aku pun
bisa memantaunya. Tidak berapa lama, aku dan isteriku telah tiba di Pos Dua,
hanya membutuhkan waktu 45 menit. Sesuai kesepakatan bahwa di pos ini, kami
akan memasak sekaligus beristirahat agak lama. Menurut info juga bahwa di pos
ini terdapat mata air. Namun, sungguh amat disayangkan mata air yang di bawah
selter sangat-sangat kotor. Tidak layak untuk konsumsi. Yang menyebabkan kotor
adalah para pendaki itu sendiri. Mata air bercampur dengan sisa masakan.
Hingga aku pun diajak oleh abang-abang porter untuk mencari air yang lebih
bersih. Kami menyisisr sungai yang kering sekitar 20 menit. Kami menemukan
tetes-tetes air yang meresap ke dalam pasir. Sehingga kami harus membuat sumur
dulu. Syukur walau harus sabar namun aku dan abang-abang itu mendapatkan air
bersih yang lumayan. Aku kembali ke selter dan kucatat bahwa waktu tempuh untuk
mendapatkan air tersebut sekitar 30 menit. Setibanya aku di selter, Timbul juga
telah sampai. Tidak menunda waktu, segera aku pun meracik menu.
Di pos ini banyak pendaki yang juga memasak. Yang
menarik adalah para pendaki yang menggunakan jasa porter. Mereka tidak hanya sekedar membawa barang yang cukup
banyak. Tetapi mereka juga bertanggungjawab untuk mencari air sekaligus
memasak. Sehingga para pendaki yang menggunakan jasa mereka cukup nyaman. Yang
penting berani berjalan, maka mereka akan sampai. Karena segala yang lainnya
telah ditanggung oleh para porter. Benarlah bahwa kalau menginginkan menjadi
pendaki elit, silahkan ke Rinjani. Ada uang maka kenyamanan pendakian akan di
dapat.
Bagiku itu bukan petualangan. Karena seni perjalanan
adalah sensasi dari segala yang dilakukannya.
Kembali rintik hujan lembut menemani. Sejuk pegunungan
makin terasa. Hingga aku putuskan bahwa tepat pukul 14.00 kami akan melangkah.
Karena jarak tempuh standar untuk sampai di Pos Pelawangan, selepas Pos Tiga
adalah tiga jam. Sedangkan jarak tempuh dari pos Dua ke Pos Tiga, sekitar satu
jam. Aku berharap tidak sampai gelap tiba di sana. Dan sebisa mungkin, kalau
beruntung akan dapat menikmati keindahan sunset
Pelawangan Sembalun.
Medan jalur masih sama. Setapak, perbukitan, savanna
dan bukit-bukit PHP. Timbul makin
sempoyongan. Ada kekawatiran dalam diriku juga isteriku. Namun, timbul selalu
menegaskan bahwa pelan-pelan ia akan menyusul. Selepas Pos Dua, jumlah pendaki
mulai banyak dan terasa ramai. Hal ini terjadi karena para pendaki mulai
kehabisan tenaga karena perjuangan untuk menggapai puncak. Langkah kaki mulai
melambat seiring tenaga yang kian pudar. Hanya semangat membara yang terus
berkobar.
Aku dan isteriku masih standar dalam menapaki medan
pos dua ke pos tiga. Namun, aku harus menunggu Timbul yang kian terseok-seok.
Sekitar 20 menit ia baru muncul. Kembali ia mempersilahkan aku dan isteriku
untuk melangkah lebih dulu. Ia berjanji apapun yang akan tejadi ia tetap akan
menyusul. Dan ia pun berpesan untuk menunggunya di pelawangan. Waktu tempuh
masih tiga jam. Itu pun kami harus berhadapan dengan tantangan tujuh
bukit penyesalan. Medan ini, adalah medan yang paling disegani oleh
para pendaki seantero negeri.
asli. dijamin. klo lewat jalur ini pasti megap-megap. jalur tujuh bukit penyesalan sembalun |
Benarlah bahwa medan terjal, tanjakan dengan kemiringan
lebih dari 45 derajat tak habis-habisnya. Satu bukit telah terlewati bukit yang
lainnya masih menunggu. Ada 4 bukit berat dan ada 3 bukit yang agak ringan. Di
sepanjang jalur ini, kutemui banyak pendaki yang sempoyongan. Pelan-pelan terus
melangkah. Semangat yang bergelora mampu mengalahkan kelemahan diri. Aku dan
isteriku yang tidak lagi muda cukup menyedot perhatian banyak pendaki muda.
Mereka terheran-heran. Ada pula yang panas. Lalu bangkit dari istirahatnya dan
segera membalap. Kupersilahkan saja. Karena mereka masih muda. Aku bersyukur
karena kemampuanku masih bisa menyemangati pendaki-pendaki muda.
Namun aku berharap semoga semangat mereka bukan karena
iri dan tidak mau kalah. Bagiku pendakian bukanlah saatnya untuk unjuk diri.
Bukan pula ajang pamer. Apa lagi menjadi ajang untuk menunjukkan diri sebagai sang
jagoan. Aku hanya berharap agar mereka menemukan ritme mendaki. Karena beda
orang, beda pula cara yang dimilikinya. Gaya seseorang belum tentu cocok untuk
yang lainnya.
Saat kakiku bertengger di atas bukit penyesalan yang
ke-6, kulihat arlojiku, waktu telah berada pada angka 16.45. Sejenak, kusempatkan
diri untuk beristirahat. Menurut informasi bahwa jarak tempuh bukit yang
terakhir sekitar 30 menit. Berarti kalau aku istirahat sekitar 15 menit sambil
menunggu Timbul. Maka, sekitar pukul 17.30 aku akan sampai di pelawangan.
Sesuai rencana, aku berpikir demikian. Semoga cuaca cerah sehingga bisa
menikmati keindahan matahari tenggelam.
Tanjakan ke-7 dari “tujuh bukit penyesalan” memiliki
medan yang berbeda. Tidak hanya yang paling panjang, namun juga yang paling
terjal. Tenaga sungguh terkuras dan nyali sungguh ditantang. Kudengar banyak
pendaki yang berteriak, “Aku menyesal. Sungguh menyesal”. Itu adalah ungkapan
hati yang mencoba membangkitkan daya agar raga tidak rebah. Syukur pada waktu
itu, di sebelah kiri terlihat gagah puncak Rinjani yang mengundang keberanian.
Cuaca sangat bersahabat. Temaram sinar senja memoles pucuk Rinjani, mengubahnya
menjadi wajah pengantin nan molek menawan.
Aku dan isteriku pun bersemangat untuk segera
menyelesaikan target hari ini. Langit bening yang berbalut cahaya mentari senja
memampukan aku untuk terus melangkah. Kendati raga benar-benar di ambang
ketidakberdayaan. Sesuai rencana saat mulai bermunculan bintang-bintang malam,
kakiku telah berdiri kokoh di labirin segara anak.
Pelawangan Sembalun.
Sayangnya, hari ini di ujung barat barisan awan jingga
menutup matahari. Aku pun segera ingin mencari tempat yang nyaman. Agar tenda
dapat menudungi istirahat malam nanti. Ingin kudirikan tenda sedekat mungkin
dengan selter mata air. Namun, aku mempertimbangkan Timbul yang akan kesulitan
mencariku. Apalagi suasana malam. Pasti di tengah lelahnya akan menambah
frustasi saat tenda tidak cepat ditemukan. Akhirnya, kuputuskan untuk
mendirikan tenda di ujung Plawangan.
Segera kudirikan tenda. Sejenak beristirahat. Lalu aku
pun keluar tenda untuk mencari air. Agar segera dapat menyiapkan hidangan
malam. Cuaca malam sangat cerah. Aku bagaikan berpayung tudung yang penuh
dengan taburan kerlip bintang. Kubertanya pada para porter ataupun pendaki yang ada di sana. Ternyata mata air masih
harus kutempuh sekitar 30 menit. Aku berharap isteriku mau beristirahat dan
menunggu di dalam tenda. Namun, ia bersikeras untuk menemaniku. Akhirnya kami
berdua menyusuri labirin pelawangan hingga tiba di pos mata air.
Di pos ini, para pendaki perlu hati-hati karena di
sekeliling pancuran terdapat ranjau-ranjau kotoran manusia. Juga adanya daun
jelantang, yang siap menyengat dan menimbulkan gatal yang amat sangat.
Air aku dapatkan. Sekitar 15 liter aku membawanya dengan
harapan sekali saja mengambilnya, karena tempatnya memang agak jauh.
Sesampainya aku di tenda. Terlihat
Timbul sudah nyaman berada di dalam. Ia terlihat sangat letih. Lalu kami pun
menyiapkan hidangan malam. Memasak sebisanya. Makan malam dengan derai tawa. Lalu,
sekitar pukul 22.00, kamipun beristirahat. Semoga tenaga pulih kembali karena
esok hari akan berlomba dengan matahari untuk menginjakkan kaki di atap
tertinggi pulau Lombok.
Selasa,
29 Juli 2014: Menghitung jejak
Sengaja aku mengatur waktu untuk berjaga tepat pukul
02.00. Menurut informasi jarak tempuh dari pelawangan Sembalun menuju puncak
sekitar 4 jam. Dengan beban yang tidak terlalu banyak aku yakin akan mampu
menjalaninya. Weker berbunyi. Segera kubuka mata. Terlihat isteriku dan Timbul
masih nyaman dalam lelapnya. Segera kusiapkan masakan untuk bekal summit attack. Sekitar pukul 02.30, aku
bangunkan timku. Segera kami pun menikmati sereal dan segelas susu hangat. Segala
sesuatunya telah siap. Tekat dan mental juga telah siap. Tepat pukul 03.00,
kami keluar tenda.
Angin yang sepoi menyapa wajah kami. Dingin menusuk
tulang. Menyiutkan nyali. Namun, tekad telah bulat. Temaram cahaya langit mampu
menunjukkan gagah, kokoh dan tegar puncak Rinjani seolah mengundang kami untuk
segera bercengkerama dengannya. Barisan lampu-lampu senter telah berjajar
mendahului. Pendakian yang cukup ramai. Pelan-pelan kami pun melangkah.
Ternyata, rombonganku adalah yang terakhir. Di belakang kami sudah tidak ada
lagi pendaki. Semua telah di depan. Kami sepakat untuk pelan-pelan. Kalau dapat
sunrise di puncak itu adalah bonus.
Bukan target utama. Kami sungguh menikmati petualangan ini. Selepas hutan
cemara. Tanjakan dengan medan kemiringan sekitar 45-60 derajat mesti kami
tapaki. Jalan pasir menjadikan tiga langkah menjadi satu langkah. Perjalanan
yang berat. Namun cahaya langit menjadi penghiburan yang tiada tara. Cukup
cepat aku dan isteriku melewati medan tahap pertama. Sedangkan Timbul masih
jauh di belakang.
Menurut informasi yang kami dapatkan bahwa jalur
pelawangan Sembalun menuju puncak dapat dibagi tiga golongan. Pertama, medan terjal dengan kemiringan
yang ekstrim. Kedua, medan terjauh
tetapi landai dengan kemiringan maksimal 30 derajat. Ketiga, medan terakhir kemiringan maksimal 40 derajat tetapi yang
paling sulit. Karena medan batu bulat. Bukan pasir. Bebatuan yang labil.
Tantangan terberat di medan yang ketiga ini. Atau lebih terkenal dengan sebutan
medan leter “E” adalah kadar oksigen yang berkurang.
ni samudra awan yg diterangi cahaya mentari terbit. mo sunrise. ni blom nyampe puncak rinjani lho ya |
Sekitar pukul 04.30, aku dan isteriku telah sampai di
medan kedua. Kami bersyukur karena pagi ini, angin bertiup sepoi. Tidak ada
badai. Udara juga tidak terlalu dingin. Langit sangat cerah. Sehingga gugusan
bintang seperti sengaja disebar diangkasa. Sedangkan jauh di bawah, panorama
lampu-lampu penduduk juga terlihat sangat elok. Sebuah suguhan alam yang amat
sangat indah. Aku dan isteriku sangat menikmatinya. Hanya berdua. Semburat
merah dari ufuk timur semakin
menggelorakan inginku. Kuputuskan untuk menikmati panorama sunrise di ujung leter
“E”. karena luas puncak tidak seberapa. Tidak menampung semua pendaki.
Aku melihat para bule, pendaki manca telah dahuluan memenuhi area puncak. Harus
gantian.
Dalam kagumku juga isteriku, ada satu pendaki yang
ternyata teman dari Jakarta yang sebelumnya telah ketemu di Pos I. Akhirnya
kami bertiga, menikmati cahaya surya dengan seribu keindahan yang tak mampu
kami bahasakan dari titik ini. Sebelah timur indah mentari yang baru keluar
dari peraduan. Sebelah utara barisan hijau hamparan perbukitan dengan batas
cakrawala lautan. Sedangkan di sisi barat biru, hijau dan kuning warna pelangi
dari indah danau segara anak. Aku hanya takjub dengan suguhan alam ini. Setelah
mentari agak meninggi, saat peralihan dari golden
sunrise menjadi silver sunrise,
pelan dan pasti berarak awan tebal bagaikan barisan domba menutup lembah.
Hingga pemandangan berubah bagaikan kami berdiri di hamparan lautan awan.
Sungguh pemandangan yang tidak terbahasakan.
biar kliatan romantis. menyambut sunrise di puncak rinjani |
Dahaga hati karena penatnya rutinitas tidak mampu
terpuaskan. Namun, di kejauhan aku melihat para bule telah turun. Berarti atap
Rinjani ada ruang. Segera kembali kulanjutkan langkah. Setelah sekitar 30 menit
menikmati indah Rinjani, aku merasa hilang daya dan tenaga. Begitu pula dengan
isteriku. Ia beberapa kali berucap, “Aku nyerah. Sampai di sini saja”. Pada hal
puncak nyata telah bertengger di depan mata. Namun apa daya tenaga seolah tidak
ada. Hingga akhirnya, aku mengeluarkan jurus terakhir. Jurus menghitung
langkah.
mantap kan. ni keindahan alam yg mampu mengusir keputusasaan. sunrise rinjani |
Setiap 20 langkah aku berhenti. Menghela nafas. Kuatur
karena ogsigen memang sedikit. Sengaja kukeraskan hitungan agar isteriku
bersemangat. Seratus langkah. Dua ratus. Hingga tepat 500 langkah. Kakiku
berdiri tepat di bawah gagah sang saka merah putih. Pada titik waktu 06.30,
mataku tajam menatap plakat yang bertuliskan, “TOP Rinjani, 3.726 mdpl”. Akupun
bersujud. Bersyukur. Kurangkai doa syukur atas perlindungan-Nya dalam
menyelesaikan perjalan, pendakian dan petualangan ini. Isterikupun begitu.
biar yang lain terinspirasi unt ikutan jejak kami. sunrise rinjani |
Pada saat kami tiba di puncak Rinjani, di sini hanya
ada 3 pendaki. Itu pun lokal. Mereka dari kota Kudus, Jateng. Karena pendaki
yang menikmati puncak tidak banyak. Maka, akupun dengan leluasa menikmati surga
Rinjani. Ternyata dari ketiga pendaki Kudus itu, satu diantaranya aku kenal.
Dan kami pernah melakukan pendakian bersama. Tuhan punya rencana indah.
Pertemuan yang tidak pernah terduga. Persahabatan yang tersegarkan kembali. Terimakasih
Rinjani. Indahmu mempertemukan dan menyatukan persahabatan yang telah termakan waktu.
kami berdua, nyampe jg di atap tertinggi lombok. puncak rinjani |
Sekitar 30 menit aku dan isteriku menikmati suguhan
alam pulau Lombok dari puncak gunung Rinjani. Lalu aku dan isteriku pun kembali
melangkah untuk kembali. Tepat di leter “E” aku ketemu Timbul yang masih
semangat untuk menggapai puncak. Kami pun saling bersalaman dan meneguhkan
harapan. Kembali Timbul berpesan, bahwa ia akan terus melangkah. Tidak perlu
mengkawatirkan dirinya. Ia akan terus berjuang demi menggapai atap tertinggi
Lombok.
saatnya turun. tu masih disuguhi indahnya negeri di atas awan rinjani |
Pendakian yang terdiri dari tiga orang namun yang
seorang selalu menjauh. Aku merasa Timbul ada kesengajaan. Mungkin ia merasa
tidak enak, karena aku bersama dengan isteriku. Mungkin ia tidak ingin
mengganggu suasana romantik kami. Trimakasih atas pengertiannya, hehe.
tu yg di blakng namanya danau segara anakan rinjani |
Sepanjang jalur turun, pemandangan tetap menarik. Kami
berpapasan dengan beberapa pendaki yang masih bersemangat ingin menggapai
puncak. Sesekali kami juga mendahului pendaki lain yang sudah keletihan.
Akhirnya, tepat pukul 10.00 kami telah tiba di selter mata air. Aku dan isteriku
sengaja untuk berhenti di sana untuk membersihkan diri dari debu Rinjani. Aku
tertawa melihat diriku yang bagaikan berbedak debu. Begitu pula isteriku.
Sekitar satu jam aku dan isteriku beristirahat dekat mata air. Sambil
membersihkan diri dan juga mengambil air untuk masak makan siang kami.
Selepas mengambil air, Timbul sudah menunggu di atas.
Aku mengakui kalau soal turun gunung, Timbul adalah jagonya. Tetapi kalau
mendaki nampaknya ia kewalahan. Ia beristirahat dan mempersilahkan aku juga
isteriku untuk berjalan duluan menuju tenda. Kuiyakan. Aku pun melangkah.
Hingga, aku catat dalam memoriku bahwa saat kami tiba di tenda waktu menunjuk tepat
pukul 11.30.
ni tenda kami di plawangan sembalun. puncaknya tu td di sana. dekat kan? |
Sesampainya di tenda, maka dengan segera perut pun berdendang,
mengingatkan untuk segera diisi. Kini, tiba waktunya untuk menyiapkan menu spesial
bumbu rahasia. Siap berpesta menu ala anak gunung.
Siang berlalu dengan tenang. Raga yang lelah
menjadikan kami pun lelap dalam buaian angin sejuk pelawangan. Sebenarnya kami
berencana, bahwa usai turun dari puncak kami akan langsung menuju ke danau
segar anakan. Namun, Timbul merasa tidak mampu. Raganya terlalu lunglai. Hingga
kami putuskan untuk menambah satu malam bersama taburan bintang di hening
cakrawala.
Semakin sore, udara makin menusuk tulang. Memaksa aku
terjaga lebih awal. Timbul dan isteriku masih nyaman dalam dekapan sleeping bag. Cerita-cerita heboh, akrab
dan penuh dengan rasa persaudaraan tedengar sayub dari beberapa tenda. Sejauh
memandang di punggungan pelawangan ini, terlihat barisan tenda penuh dengan
warna-warana yang menyolok. Semburat warna jingga di ujung barat menggugah
harapanku untuk bercengkerama dengan indah view
mentari terbenam. Alam Rinjani sungguh bersahabat, ia tahu kalau aku merindu.
Maka, dengan pesonanya ia menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Sunset pelawangan Sembalun.
Malam pun merangkak pelan. Udara makin dingin menusuk
tulang. Setelah menyantap hidangan malam. Kamipun segera lelap. Kami berharap
dapat maksimal untuk memulihkan tenaga. Sehingga esok hari dapat melanjutkan
kisah untuk menuju segara anakan. Menjelang dini hari, seperti yang kami
lakukan. Banyak pendaki mulai ribut untuk persiapan mengejar sunrise di pucuk Rinjani. Aku hanya
tersenyum mendengar suara-suara itu, terasa lucu karena aku telah melewatinya.
Tidurpun berlanjut.
Rabu,
30 Juli 2014: Surga itu Nyata, Danau Segara Anakan
Pagi mengintip. Udara kian mengundang selera untuk
segera keluar dari mimpi. Kubuka tenda. Aku terpana. Cuaca bersahabat, karena sangat
cerah. Tidak seperti kemarin yang bagaikan di atas samudera awan. Hari ini
beda. Pagi ini, sejauh memandang terlihat hijau hutan yang bergalir-galir
bagaikan kekuatan otot-otot kekar. Jauh terlihat lampu-lampu masih terang
menyala. Sebentar lagi mentari pagi akan bertengger. Kubangunkan isteriku dan
aku pun segera beranjak untuk mencari tempat yang nyaman. Agar bisa menikmati
suguhan alam dengan lebih lama.
Pelawangan Sembalun telah menyajikan berbagai
keindahan. Saat ini, kami dipaparkan panorama alam yang luar biasa. Mentari
bersinar dengan gagah. Hari kedua ini, aku bersama isteriku kembali dapat
menikmati view golden sunrise hingga silver sunrise. Terimakasih alam.
Takmampu kuberkata-kata. Hanya kekaguman demi kekaguman.
sunrise hr ke dua. cukup di plawangan sembalun. keren kn? |
Sekitar 60 menit aku bercengkerama dengan keindahan
alam. Segera kukembali ke tenda. Timbul masih nyaman dalam pelukan sleeping bag. Segera aku pun membuat
sarapan. Aku targetkan maksimal pukul 08.30 harus mulai turun. Makanan telah
siap. Sarapan. Bongkar tenda. Packing.
Kembali kami, siap untuk melanjutkan kisah dan sejarah hidup.
Tidak seperti yang kubanyangkan bahwa ternyata, jalur menuju
danau cukup curam. Harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Aku pikir jalur
menuju segara anakan tidak terlalu jauh. Namun, memang jauh. Medan turun adalah
medan paling menakutkan untuk isteriku. Apalagi pada waktu itu kami melihat ada
porter yang terjerembab, jatuh berguling-guling. Yang jagoan aja jatuh, apa
lagi kami. Isteriku beberapa kali menjerit ketakutan. Setiap kali ia panik, aku
hanya tersenyum. Ternyata jam terbang tidak dengan sendirinya mengubah paranoit
menjadi sang pemberani.
Satu jam berlalu. Setapak masih terlihat meliuk,
menari menanti kami menapakinya. Dua jam kami pun bersitirahat. Semangat
membara kian redup. Nafas makin terengah. Namun, ujung segara anak tak juga nampak.
Istirahat dan kembali berjalan merupakan cara untuk bisa terpana dengan
keindahan serta keunikan alam segara anakan Rinjani. Sepanjang perjalanan kami
bertemu dan berpapasan dengan pendaki lain yang dari jalur Senaru. Berulang
kami bertanya, “masih jauhkah?” dan jawabannya juga selalu sama, “Sebentar lagi
nyampai kok. Semangat!”
aku dan timbul mengikuti isteriku yg turun dg rasa takutnya. semangat. tinggal bbrp langkah lg haha |
Kabut siang ini menjadi payung raksasa, menaungi
sepanjang petualangan. Ia juga menyembunyikan ujung danau. Namun, sepintas
terlihat biru dan hijau air danau. Aku bersemangat dan kuceritakan pada
isteriku. Namun karena ia sudah putus asa, ia tidak pernah percaya. Namun, aku
bersyukur kendati ia sangat frustasi, namun ia terus mau melangkah. Dan sudah
menjadi prinsipku, selama pendaki mau melangkah maka ia akan sampai pada
tujuannya.
Hingga tepat pukul 11.30, kami berada di bibir segara
anakan Rinjani. Aku kembali terkesima. Terpana.
Di sini sudah ada banyak pendaki yang bersantai dan
menikmati keindahan danau. Kami berdiskusi untuk menentukan tempat nenda. Tidak kupikirkan sebelumnya,
ternyata ada sapaan, “mari mas, dirikan tendanya di sebelah kami saja”.
Ternyata mereka adalah rombongan Kudus. Mereka telah asik memancing. Kami pun
segera mendirikan tenda. Mencari air tawar. Karena air danau tidak baik untuk
dikonsumsi. Tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit. Air tawar telah kami dapat.
Maka kami sempatkan untuk menikmati segarnya pemandian air hangat.
Saatnya berendam. Memulihkan tenaga. Merilekan
otot-otot raga yang lunglai. Terasa nyaman, santai dan damai. Sekitar satu jam
aku, isteriku, Timbul dan beberapa pendaki berendam di pemandian air hangat. Di
pemandian ini, terdapat juga penduduk setempat yang terapi. Mereka percaya
bahwa kolam air hangat itu berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Bahkan pada waktu itu, ada dua orang yang sudah menginap 4 malam.
Secara pribadi aku pun merasakan efek mujarab dari kolam tersebut. Hilang rasa
pegal-pegal, hilang juga rasa capek. Tubuhpun terasa segar. Seolah-olah siap
untuk diajak kembali berpetualang.
Segera kami pun menuju tenda, memasak.
Makan siang.
Saatnya istirahat. Bobok siang yang paling nyaman,
santai. Damai.
Udara dingin menyengat, membuyarkan nyaman dalam
buaian indah danau segara anakan. Saat kubuka mata, waktu telah menunjuk angka
16.30. Niat awal untuk membeli ikan sebagai lauk untuk makan malam,
kelihatannya tidak akan terlaksana. Bumbu sudah aku persiapkan dengan harapan
akan ada banyak pendaki lokal yang memancing dan menjual hasil dari
pancingannya. Tetapi kelihatannya,
mereka masih dibuai oleh suasana lebaran. Sehingga tidak ada tanda-tanda
pemancing-pemancing lokal yang mahir dalam menangkap ikan akan datang dan
menjual tangkapannya.
Untuk mengobati rasa ingin agar bisa menyantap
hidangan istimewa, kami pun berlomba untuk memancing. Satu jam berlalu, tak
satu ikanpun aku tangkap. Begitu pula dengan Timbul. Padahal pendaki setempat
yang berada di sebelahku, tak henti-hentinya menarik pancingnya dengan beban
ikan yang cukup besar. Aku pun terheran-heran, umpan sama, pancing juga sama.
Tetapi kami kok tidak mendapat. Dua jam pun berlalu dan masih nihil. Hingga
malam merangkak dan menutup cahaya, namun tak satu ikanpun berhasil aku tangkap.
Ikan segar tidak bisa menemani hidangan malam terakhir
dalam pendakian ini. Hingga, sarden pun menjadi penggantinya. Usai makan malam.
Isteriku telah nyaman dalam istirahatnya. Sedangkan aku, Timbul dan beberapa
pendaki asik menikmati hangatnya api unggun, menikmati sedapnya kopi sambil
berbagi kisah. Kehangatan persaudaraan mampu sejenak mengusir dinginnnya udara
malam. Hingga tidak terasa waktu telah berada pada titik 22.00, aku memutuskan
untuk istirahat awal, agar besok memiliki tenaga cukup untuk turun menuju base camp Senaru.
Ditemani dengan kicauan para pendaki yang bercengkerama
dengan indah pemandangan segara anakan pada waktu malam, taburan berjuta
bintang yang bagaikan kilau permata, keakraban persahabatan, semangat
kebersamaan serta hadirnya kehangatan dari tarian lidah-lidah api unggun,
menghantarku pada istirahat yang sungguh menyegarkan. Ada kedamaian hati yang
tidak mungkin terwakilkan dengan kata.
Kamis,
31 Juli 2014: Kembali Berjumpa dengan Peradaban
Di saat mentari bertengger dengan anggun membagikan
gairah hidup, aku terjaga dengan semangat baru. Membuka tenda, mata memandang jauh
ke hamparan air danau yang berwarna jamak, seolah bagaikan sambutan kedatangan
tamu kerajaan. Sahabat-sahabat pendaki telah beraktifitas di sekitar danau, ada
yang memancing, ada pula yang membersihkan badan, ada pula yang memasak. Aku
pun segera terlibat untuk mendulang tenaga. Menu terakhir aku racik. Berharap
sebelum jam 09.00 dapat meninggalkan keindahan danau segara anakan menuju base camp
Senaru.
Keyang sudah perut terisi. Bongkar tenda pun usai. Packing juga sudah selesai. Saatnya
melanjutkan kisah dengan meninggalkan jejak sepanjang setapak antara segara
anak dan Senaru. Kendati segalanya telah siap, namun hati enggan juga
melepaskan semuanya. Menyadari bahwa ada perjumpaan pasti ada perpisahan tidak
juga menjadikanku mudah berlalu. Hatiku telah tertambat di keindahan danau
segara anakan.
Aku, isteriku juga Timbul akhirnya mengulur waktu,
berharap hati yang tertambat mau melonggarkan ikatannya. Membingkai panorama
serta peristiwa dalam gambar adalah cara untuk berani beranjak. Hingga,
akhirnya tepat pukul 09.30, kami bertiga berpamitan dengan sahabat-sahabat
petualang yang telah menjalin persaudaraan di hamparan danau. Berat hati untuk
melangkah, namun bayangan jauhnya perjalanan memaksa untuk meningkatkan asa.
tu banyak yg mancing kan. sayangnya kami tdk dapat. buat PR trip yg akan datang. smoga |
Menyusuri pinggiran danau selama 30 menit membawa kaki
kami berada pada setapak dari arah Senaru. Jalurnya terlihat jelas. Ada banyak
turis dan pendaki manca yang mengawali petualangannya dari Senaru. Kami pun
bertemu. Tak lupa kami juga mengabadikan beberapa peristiwa di tempat ini.
Bertegur sapa dengan beberapa pendaki, baik setempat, manca maupun lokal
Indonesia. Sungguh persaudaraan yang tulus.
trek ini blom lh apa-apa. masih byk trek yg lebih sadis tp menantang |
Kaki terus meniti setapak yang tidak ramah. Tanjakan
curam dengan batu-batu labil, serta
bibir jurang menemani sepanjang perjalanan. Inilah petualangan. Namun
yang selalu aku rindu, saat nafas terengah-engah, asa meredup bila berjumpa
dengan tantangan tanjakan yang super tajam, aku akan segera berpaling ke
belakang untuk menyaksikan serta menikmati indah segara anakan. Warna-warni
yang terpantul karena efek dari belerang serta kedalaman danau menjadikan kilau
warna yang anggun. Empat jam dari bibir danau, langkah kakiku kini tepat berada
di Pelawangan Senaru. Dari sini, Rinjani menyuguhkan panorama yang mahaindah.
Ada lukisan alam dari eloknya segara anakan, sabana yang seolah tak terbatas
juga barisan kabut serta awan yang berarak manja. Tidak henti-hentinya aku
hanya terkagum-kagum. Bengong dan mlongo.
buat hiburan. menikmati danau segara anakan |
Untuk beberapa saat, kunikmati dan kuhabiskan waktu
bersama lukisan Sang Pencipta di pelawangan Senaru ini.
menikmati yg indah-indah dr plawangan senaru |
Tepat pukul 14.00, kembali kulangkahkan kaki yang kian
koyak untuk mepaki terjalnya setapak. Setengah jam berlalu kamipun bertemu
dengan selter. Berharap Pos Tiga segera terjumpai. Namun harapan itu tak juga
tiba. Hingga akhirnya tepat pukul 15.30 kami baru tiba di Pos Tiga. Segera kami
pun menyiapkan hidangan sederhana, tentunya instan. 10 menit pun jadi. Makan.
Beres-beres. Tepat pukul 16.00 kembali kamipun melangkah.
Setelah Pos Tiga, medan setapak mulai berbeda. Kalua
sebelumnya dari pelawangan hingga pos tiga banyak bertemu dengan savanna,
padang rumput, perdu, sinar mentari yang tanpa penghalang juga debu-debu yang
berterbangan. Kini, aku dihadapkan pada kanopi hutan yang masih sangat lebat.
Hutan belantara dengan aneka pepohonan, dari yang masih imut baru keluar dari
benihnya hingga pohon raksasa yang tidak bisa dipeluk 5 orang dalam satu
genggaman. Bahkan sinar perkasa sang
surya pun tak mampu menembusnya. Karena hutan belantara yang masih padat
itulah, nyaliku pun ciut. Aku menjadi khawatir, cemas dan takut terhadap
binantang buas yang bisa datang dengan tiba-tiba.
Kendati aku tahu bahwa hal tersebut amat jarang
terjadi. Apalagi setiap lima menit masih bisa bertemu dan berpapasan dengan
pendaki dari arah Senaru. Setapak masih ramai namun hatiku tetap was-was.
Sekitar pukul 17.00, aku pun tiba di Pos Dua. Setapak masih sama, hutan rimbun
padat. Suasana mulai remang. Kupercepat langkahku begitu pula isteriku.
Berharap untuk segera tiba di Pos Extra, Pos Satu dan sampailah di Base Camp. Namun, semakin besar harapan
maka seolah semakin jauh untuk tergapai. Lelah raga makin memperparah suasana
hati yang tidak nyaman.
Setibanya di Pos Extra cahaya mentari yang samar sudah
tidak lagi mampu menunjukkan setapak. Maka harus mengeluarkan alat bantu.
Baterai yang sudah terpakai beberapa malam kian redup. Setapak tidak terlihat
jelas. Sementara suasana hutan makin mencekam. Ada suara-suara yang tidak
jelas. Keberanianku menciut. Kekhawatiran dan kecemasan menguasai suasana
hatiku. Untuk mengurai itu semua, kucoba berdoa, menyebut nama Yang Ilahi dan
mencoba bersandar pada kerahiman-Nya.
Kulihat isteriku juga mengalami hal yang sama. Ia juga
mengalami ketakutan yang luar biasa. Tidak ada suara pendaki lain. Kami juga
tidak bertemu dengan pendaki baik yang kana naik maupun yang turun. Porter pun
juga tidak ada. Kami hanya berdua. Menapaki setapak untuk pertama kalinya
dihutan yang sangat lebat benar-benar bagaikan uji nyali. Di tengah ketakutan
yang kian membuncah itu, terlihat ada pantulan atap. Berarti Pos Satu. Akupun
berteriak, berharap ada pendaki yang beristirahat di sana. Tidak ada jawaban.
Nihil.
Di pos ini yang memiliki area camp yang cukup luas dengan setapak yang lalu lalang menjadikanku
bingung menentukan arah. Akhirnya aku hanya mengandalkan insting. Senter tak
mampu lagi menembus jarak 3 meter. Pandangan makin kabur. Aku terus berharap
untuk segera ketemu dengan gerbang pendakian Senaru. Kecemasan makin menguasai
hatiku. Yang ada hanyalah ketakutan yang luar biasa. Dalam suasana yang seperti
itu, akhirnya kualihkan dengan melangkah bagaikan sang pelari. Aku dan isteriku
tidka lagi berjalan tetapi berlari. Jatuh dan jatuh lagi tidak juga mampu
menyiutkan ketakutan itu. Yang ada malah semakin takut.
Di tengah kegalauan yang seperti itu, terlihat jauh di
sana ada kerlip cahaya lentera. Aku berharap itu lah gerbang pendakian. Sekitar
5 menit kemudian. Samar kulihat gagah gerbang pendakian. Hatiku sontak
berteriak gembira. Dan sayup-sayup kudengar ada obrolan. Aku besarkan harapan untuk
bertemu dengan manusia dan bukannya mahkluk lainnya.
Sekitar 30 meter dari gerbang tersebut ternyata ada
warung. Hanya satu rumah yang dihuni oleh orang tua. Belum ada listrik. Hanya
ada lentera. Timbul telah menunggu di sini. Ia sedang menikmati segelas teh
panas. Hati menjadi lega. Plong.
Segera kuletakkan tas kerir yang yang sudah tak
berasa. Kupesan teh begitu pula isteriku. Kami beristirahat cukup lama. Karena
untuk menuju base camp masih
membutuhkan waktu sekitar 30 menit lagi. Kami pun menikmati keletihan juga
kegembiraan ini.
Kini setapak menghantarku untuk menyusuri perkebunan
penduduk. Suasana masih sama. Tidak ada rumah penduduk. Karena perumahan berada
di sekeliling base camp. Namun, hati
tidak terlalu risaua. Apa lagi kami telah genap menjadi tiga personil. Dari
gerbang pendakian, kami telah menghubungi Bang Jan dan ternyata beliau telah stand by di base camp. Sungguh sambutan yang profesional.
Lelah raga telah terkalahkan dengan harapan untuk
segera berjumpa dengan peradaban. Kami terus melangkah. Kendati langkah makin
terseok. Namun asa memampukan kami untuk terus mengukir kisah di atas setapak.
Cahaya lampu neon mulai bertaburan. Menandakan peradapan sudah dipenghujung
mata. Kami makin bergairah dan semangat. Hingga tepat pukul 20.00 kami telah
tiba di base camp. Ban Jan langsung
mendatangi dan menyelamati kami.
“Selamat ya. Jam berapa turunnya?”
“Jam 09.30”,
jawabku.
“Hebat. Ternyata bisa lebih cepat dari waktu standar.
Biasanya dari segara anakan hingga sampai di base camp sekitar 12 jam”
Aku hanya terdiam. Namun dalam hati saya tertawa.
Ketika mengingat peristiwa ketakutan yang amat sangat. Hingga menjadikanku
sebagai atlit running dadakan. Bukannya jalan menuruni gunung tetapi lari.
Hehe.
Kami dipersilahkan untuk masuk ke mobil. Di sepanjang
perjalanan kami banyak berbagi kisah. Namun, di kedalaman hatiku aku masih
menyempatkan diri untuk bersyukur atas pendampingan Sang Pencipta, atas
keselamatan, atas kesempatan sehingga bisa menikmati keindahan alam Rinjani.
Putaran ingatan itu meneguhkan harapanku untuk terus bersyukur atas kesempatan
ini dan jika ada waktu lebih, selama masih raga mampu menopang asa, aku akan
selalu dan selalu meluaskan hidup untuk terus menginjakkan kaki pada
setapak-setapak hutan dan gunung. Bagiku melalui belukar, terjalnya tebing,
samarnya setapak, lebatnya hutan, keraguan, kecemasan dan ketakutan akan
membawa diriku untuk dekat dengan Yang Kuasa, untuk bisa belajar mengalahkan
diri, memberi dan menerima kehadirtan orang lain. Maka, aku akan rindu dan
selalu rindu untuk kembali menapaki setapak Rinjani.
salam komunitas blogger pak heri... :-)
BalasHapussalam jg. udh lama ni gk corat-coret hehe
BalasHapusInspiring....
BalasHapusmonggo, silahkan mencoba
HapusInspiring....
BalasHapusIngin kesini juga pak..
BalasHapusMain ke Makassar Pak .. Ke Gunung Bawakaraeng, G. Lompobattang, G.Latimojong n G.Bulusaraung
penginnya sih gitu, hehe. tp terkendala dana n wkt. nabung dulu haha.
Hapussilahkan mencoba. rinjani menyuguhkan medan n view yg komplit
Ternyata udah 20 tahun(1998)..yang lalu..
HapusMiss u so much... Rinjani
Boleh ka mas kasi nombornya abg juan?
BalasHapusmaaf, hape lama telah hilang dg smua nomornya. jd gk keinget. invite aja FB-nya dengan nama juan di matteo. salam petualang
BalasHapusLuar biasa pengalamannya....ayo kapan OMK diajak nih hehe
BalasHapusmari rapatkan barisan, siap nanjak
Hapussemoga kita bisa ketemu dilereng rinjani..
BalasHapussaya asli lombok
no hp 085333046064 mungkin bisa membantu n bsa bersehabat
salam kenal bang baim, moga kita bisa berjumpa, jabat tangan n ngopi bersama. salam petualang
Hapus