Sabtu, 05 April 2014

Pendakian Gunung Sumbing Via Butuh, Kaliangkrik




Pendakian Gunung Sumbing Via Butuh, Kaliangkrik
Oleh: Heri
jalur yg menggemaskan

            Kegelisahan dan kegundahan dalam dada ini sudah terlalu lama menyesak. Kerinduan akan indah alam pegunungan yang selalu beda cerita. Rasa penasaran dalam benak ini sudah lama menunggu untuk dipastikan. Penasaran akan rahasia gunung Sumbing via Kaliangkrik yang berketinggian 3.371 mdpl. Jalur ini belum resmi. Aku mendengar cerita tentang jalur ini pada saat pendakian gunung Sumbing yang pertama via Garung pada tahun 2006. Cukup lama rasa penasaran dan kerinduan di hati.
            Keinginan untuk bercengkerama dengan keindahan Sumbing berkecamuk ditengah hiruk-pikuk rutinitas kerja. Padahal rasa itu sudah ada, semenjak aku masih punya waktu cukup longgar, yaitu saat masih kuliah. Pergantian tahun yang ditandai dengan kalender baru. Saat menerima kalender, yang kucari pertama kali adalah hari libur yang agak panjang. Tahun 2014, kulihat ada waktu untuk long week end. Maka, kujatuhkan pilihan dan agenda yang tidak mungkin ditawar lagi, Sabtu-Senin, 29-31 Maret 2014 aku akan menyusuri setapak Sumbing lewat Kaliangkrik.

            Namanya juga jalur yang belum diresmikan, tidak mengherankan kalau informasi tentang jalur ini masih sangat terbatas. Teman-teman pendakipun awam dengan jalur ini. Akhirnya untuk mengais informasi, dumay menjadi alternatif. Berdasarkan hasil googling untuk sampai di basecamp pendakian jalur Kaliangkrik, pertama-tama mesti menuju Magelang, kemudian dilanjutkan ke kecamatan Kaliangkrik. Baru kemudian menuju dusun Butuh.
            Sedikit informasi tentang Sumbing bercampur dengan rasa penasaran yang tinggi, menghantar aku (yang akan lebih sering dipanggil Pak Heri), istriku (Regina Nunuk, yang akan lebih sering dipanggil Bu Heri), Thomas Agung W. (akrab dipanggil Timbul), Yessia Amanda (bangga dipanggil Pink) dan Yulius Andre P. sepakat untuk menanjak bersama. Karena kesibukan yang berbeda, maka rencana kegiatan dan pendakian hanya bisa dikomunikasikan lewat SMS.
            Sabtu, 29 Maret 2014, usai menyelesaikan rutinitas kerja. Aku pun pulang. Isteriku belum sampai di rumah. Waktu yang tidak banyak segera kuisi dengan packing. Semua barang perlengkapan pendakian serta logistik aku kemasi dalam kerrir. Belum selesai packing, isteriku pulang. Sejenak kuhentikan aktifitas untuk sekedar mendulang tenaga dengan makan siang. Packing berlanjut. Selesai. Mandi. Sejenak menunggu Timbul dan Pink. Akhirnya, tepat pukul 15.45, kami berempat meninggalkan Solo untuk menuju Magelang. Andre menunggu di pertigaan Ketep Pas, Selo karena ia datang dari Salatiga.
byk lewati sabana

            Meliuk motor kami menyusuri jalanan yang menanjak dan menikung. Kami sengaja memilih jalur Selo, agar rasa rindu terhadap indah panorama gunung makin meninggi. Indah gugusan lereng Merapi dan Merbabu dengan lukisan ladang penduduk menjadi teman perjalanan ini. Selepas Kecamatan Selo, jalanan didominasi lubang terjal. “Inilah petualangan”.
            Tepat pukul 17.15, kami tiba di tempat yang disepakati. Andre belum terlihat. Kami pun menuggu. “Jame Andre ki bedo”, celetuk Pink untuk mengurai kejenuhan menunggu. “Andre ki emang punya waktu sendiri. Tapi gak jam nasional. Jam individu. Makane gak akan pernah terlambat”. Timpal Timbul. Kami pun tertawa gembira. Canda tawa mulai mengalir menemani istirahat kami, sambil menunggu Andre tiba.
            Yang ditunggu datang pada titik 18.15. Satu jam kami menunggu. Tetapi tidak terlalu terasa. Karena yang ada di dalam benak hanyalah soal petualangan. Kegiatan tanpa target yang ketat. Longgar. Bebas. Yang memberi ruang jiwa untuk merdeka bernafas.
            “Sorry nda, telat. Ni karena aku bawa teman. Empat orang”. Kami pun saling berjabat tangan dan berkenalan.  Mereka adalah Bangkit, Yusuf, Puput (akrab dipanggil Oni) dan Cepi. Tegur sapa dan say hello pun berlalu. Tanpa menunda waktu, kami yang sekarang menjadi tim 9, mulai bergerak menembus pekat malam untuk menuju Magelang.
            Dari pertigaan Ketep Pas menuju perempatan Blabak, jalanan didominasi kubangan dan lobang. Motor kami yang beragam dan tidak didesain off road, menjadikan rombongan terpisah serta terberai. Sesampainya di Blabak satu motor telah tersesat. Sehingga perjalanan mesti ditunda untuk berburu teman yang hilang. Kami pun saling berlomba untuk menemukan yang pertama. Serangan telpon pun gencar kami lakukan. Alhasil, teman yang hilangpun berhasil dievakuasi. Tim 9 telah komplit, petualangan pun siap dilanjut.
tim komplit, yg 1 motret

            Kebingungan dan ketidaktahuan mengenai medan petualangan tidak selalu terkait dengan rimba dan hutan, di kota pun hal ini bisa terjadi. Kami bersembilan tidak ada satu pun yang tahu arah menuju kecamatan Kaliangkrik. Yang membedakan adalah banyaknya sumber informasi dan tempat bertanya. Sesampainya di Magelang kami pun langsung berburu tahu “dimanakah Kaliangkrik itu berada?”
Menurut beberapa sumber yang kami tanyai dan semua mengatakan “dari alun-alun Magelang arah barat, setelah ketemu dengan lampu merah pertama silahkan memilih ke arah kanan atau yang turun. Ikutin terus hingga ketemu pertigaan arah Bandongan, pilihlah arah kiri dan ikutin terus hingga sampai di Kaliangkrik”. Jelasnya informasi tidak serta merta membawa keyakinan, karena kami memang masih asing dengan daerah di mana kami berada. Ketidakyakinan itu memaksa kami untuk terus mencari kepastian dengan banyak bertanya. Hingga akhirnya, tepat pukul 20.00 kami tiba di pasar Kalingkrik. Di sini kami berbelanja melengkapi perbekalan. Ada toko swalayan yang lumayan komplit. Ada pula pasar sayur yang buka malam dengan harga murah. Tidak lupa kami juga menggali info agar bisa merapat di base camp pendakian.
Dari pasar Kaliangkrik lurus ke arah barat, mengikuti jalur turun. Lalu berjumpa dengan pertigaan, kami disarankan untuk belok ke kanan hingga menemui SD Negeri Temanggung. Perjalan malam memang memiliki sensasi tersendiri. Mata telah menjelalat namun SD yang dimaksud telah lama tertinggal. Hingga kami pun terpaksa berbalik arah untuk menemukan SD tersebut. Di samping bangunan SD tersebut ada jalanan yang menuju dusun Butuh. Kurang lebih jarak tempuh yang mesti kami lewati sekitar 5 Km.
Motor kami kembali meliuk menembus pekat malam dengan medan kampung yang jarang penduduknya. Hingga kami bertemu pertigaan yang ada masjidnya. Kami mengalami kebingungan. Hingga akhirnya kami pun harus menunggu ada penduduk yang lewat. Perlu kami sarankan bila menginginkan perjalanan lancar, sebaiknya menghindari jalan malam karena jarangnya warga yang lalu lalang. Dari info yang kami terima, perjalanan mesti dilanjutkan dengan mengambil jalan arah kiri. Lurus menembus area perkebunan yang tidak ada rumah satu pun, hingga ketemu pertigaan dan harus mengambil arah kanan atau arah naik. Dari pertigaan tersebut, kami bertemu lagi dengan pertigaan. Kembali kami kebingungan.
Menunggu penduduk lewat adalah solusi yang tidak dapat ditawar. Yang ditunggu lama munculnya. Kami terus membesarkan harapan. Hingga yang ditunggu pun tiba, seorang bapak dan anaknya yang berboncengan. Kami bertanya. Tidak hanya jawaban yang diberikan tetapi juga kerelaannya untuk menghantar kami ke rumah bapak kadus. Keramahan dan kebaikan yang jarang ditemukan untuk jaman sekarang. Tetapi di dusun ini, hal tersebut masih sangat mudah untuk dijumpai. Pembelajaran yang bermakna.
Tidak berapa lama kami tiba di pasar dusun Butuh. Jalanan aspal telah habis dan berganti  dengan tatanan batu tanpa pasir. Semua yang membonceng turun, agar kekuatan motor menjadi lebih prima. Aku dan isteriku yang menggunakan motor dengan CC paling besar sengaja mengambil posisi paling belakang. Sengaja aku ambil jarak agar kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan aku bisa mengambil tindakan. Teman-teman telah melaju meninggalkan aku juga isteriku. Isteriku berjalan dan aku mencoba menerangi dengan lampu motor. Jalanan yang tidak beraspal dan menanjak memaksa motorku untuk sempoyongan. Dan akhirnya menyerah. Jatuh dan macet. Motorku ngadat.
Jalanan sepi tanpa lampu penerangan. Aku yang terasing dengan daerah itu terpaska ciut nyali. Istieriku terlihat amat ketakutan. Telpon segera aku angkat. Hp ku terlihat ada sinyal, segera kuhubungi teman-temanku tetapi jawaban operator yang kuterima, “nomor yang anda hubungi di luar jangkauan”.
Hatiku makin was-was. Motor, aku istirahatkan. Tas kerir yang aku ikat dibagian belakang aku turunkan. Aku terus mencoba, namun motor tetap tidak mau bekerjasama. Kembali aku menelpon tetapi jawaban dari operator masih sama. Kucoba tenangkan diri. Dalam hati berucap doa tiada henti. Lalu, kucoba kembali motorku dan terimakasih Tuhan, motorku mau menyala. Walau suaranya masih terdengar tidak lancar. Kupanasi motorku dan kuputuskan untuk menyusul teman-teman yang berarti aku harus meninggalkan isteriku. Sendirian.
Sekitar 50 meter kutemukan rumah-rumah penduduk dengan medan yang datar. Kuparkir motor dan segera aku kembali menjemput isteriku. Kami berjalan bersama dalam keremangan malam. Aku sengaja meninggalkan motor agar segera menemukan teman-teman. Harapanku pun berujung, Timbul telah menyusul dengan berjalan kaki. Perjumpaan yang menggembirakan. Ternyata Timbul juga mengalami hal yang sama, ia terjatuh juga. Kami pun tertawa.
Obrolan kami ternyata menbangunkan dua orang penduduk yang adalah bapak dan anaknya. Ia menawarkan jasa untuk menampung motorku. Aku menolak karena motor teman-teman semuanya telah sampai di atas. Beliau tetap tersenyum. Aku kembali mencoba menaiki motor, sedangkan isteriku berjalan bersama dengan Timbul. Ketidaktahuan medan menjadikan aku terlihat  tidak pernah mengendarai motor. Kembali motorku macet. Jalanan yang terjal, licin, sempit, dengan banyaknya tikungan tajam serta medan yang menanjak memaksaku untuk kehilangan kemampuan. Hingga akhirnya, seorang penduduk menawarkan diri untuk membawakan motorku. Dengan mudahnya beliau mengendarai motorku. Aku hanya geleng-geleng. Rasa senang memenuhi sanubariku ketika motor dan diriku telah berada di teras bapak dukuh.
Sekitar pukul 22.30 kami tiba di dusun Butuh, desa Temanggung, kecamatan Kaliangkrik. Di sini merupakan dusun terakhir di ketinggian 1.500 mdpl. Basecamp pendakian di desa ini merupakan rumah pribadi kepala dusun butuh, namanya pak Muchsinun. Bapak Muchsinun sendiri merupakan orang yang ramah, begitu pula dengan para penduduknya. Pada saat kami tiba, pak kadus terlihat sangat lelah, maka yang menemani kami adalah seorang penduduk yang menghantar kami. Dari omong-omong beliau bernama Masnun. Beliaulah yang memberi banyak informasi mengenai medan pendakian.
dg pengelola (yg aku lupa namanya)

Selesai melakukan ceking ulang peralatan dan keperluan pendakian, tepat pukul 00.10 dini hari, kami mulai perjalanan mendaki. Dari rumah pak kadus, jalur berupa tanjakan serius seperti menaiki tangga yang sangat panjang, dengan hamparan perkebunan di kanan-kirinya. Sepanjang jalan perkebunan ada bak penampungan air sebanyak 13 bak. Sejauh aku amati semakin ke atas air dalam bak tersebut semakin jernih. Ternyata di bak paling atas merupakan tampungan pertama dari mata air. Jadi pendaki bisa mengambil air dari bak terakhir yang berada di sisi kanan jalan. Sehingga pendaki tidak usah membawa air dari bawah atau dari basecamp. Cukup mengambil dari bak ini. Untuk yang akan mendaki di musim kemarau sebaiknya memastikan dengan warga, “apakah bak tersebut masih ada airnya?” Kalau saat ini, air sangat-sangat melimpah hingga tumpah-tumpah.  
Setelah melewati perkebunan warga, kami tiba di hutan pinus. Jalur masih menanjak dan masih diberi fasilitas tangga tapi tidak semua dari batu, sebagian sudah berupa tanah. Perjalanan malam dengan kondisi raga lelah dan tanpa istirahat menjadikan kami melambat dan kian lambat. Tidak ubahnya kami bagaikan segerombolan keong. Niat hati ingin segera mencapai pos I, namun yang diharapkan tidak juga terlihat. Setiap habis melangkah beberapa meter, kami pun tak kuasa untuk terus tegak berdiri, hingga tanpa sadar kami pun berlomba rebah ke tanah. Sempoyangan. Setiap kali menghentikan langkah walau hanya sejenak maka tanpa sadar matapun segera terpejam. Sungguh perjalanan yang tidak mudah. Tekat hati untuk mencapai pos satu sebagai perhentian sekaligus peristirahatan pertama mendorong kami untuk pelan-pelan terus merangkak naik.
Hingga akhirnya, saat waktu menunjuk angka 03.30 kami menemukan medan datar untuk mendirikan tenda sejumlah 4 dengan tempat yang berdekatan. Bukan mulut yang bekerja tetapi tanganlah yang bertindak. Dalam waktu sekejap, tenda pun telah gagah berdiri. Tanpa banyak bicara, kami pun masing-masih langsung rebah. Istirahat yang bagaikan hilang nyawa.
nenda d pos 1

Pagi menjelang, mentari menyapa dan riuh suara penduduk pencari kayu bakar membangunkanku dari tidur yang lelap. Kubuka tenda, belum ada tanda-tanda kehidupan. 8 temanku belum ada yang terbangun. Keluar tenda dengan suasana hutan yang sangat menyegarkan. Hutan pinus dan cemara yang masih sangat lebat dengan udara yang tidak terkontaminasi menjadikan raga berseri. Kusiapkan peralatan untuk masak, membuat minuman hangat dan sarapan pagi. Isteriku menyusul kemudian secara berurutan, Timbul dan Pink. Sedangakn Andre, Bangkit, Yusuf, Oni dan Cepi masih dibuai mimpi.
Setelah menikmati kopi panas, bergegas aku bangunkan seluruh angota tim 9. Tujuannya sederhana, agar kami bisa  berbagi ilmu, berbagi perhatian dan terutama berbagi kemampuan mencipta menu masakan ala anak gunung. Menu spesial dengan bumbu rahasia pun terhidang dengan beragam. Ada macam-macam jenis masakan. Sarapan pagi dengan acar kacang panjang, mie-bakso dengan dominasi sayur sawi, telur dadar, tempe goreng dan capjay. Hidangan yang mantap. Melebihi menu hotel bintang lima. Pendakian yang luar biasa.
masak-masak

Di sela-sela santap pagi, banyak penduduk setempat pencari kayu bakar yang lewat dan menyapa dengan ramah. Kami pun menyapa mereka dengan gembira. Perjumpaan sederhana tetapi mampu melahirkan kebahagiaan. Sapaan yang tulus adalah cara sederhana melahirkan kebahagiaan. Perut kami telah kenyang, hati pun senang. Melanjutkan perjalan adalah misi yang telah menunggu. Packing dengan cepat kami lakukan. Saatnya melangkah.
masih ttg masak

Setelah tenda terkemasi, mataku baru menyadari kalau ternyata tempat istirahat kami adalah Pos I. spontan kami pun bersorak, “Ternyata kita telah sampai di Pos I. Berarti sebentar lagi kita akan melewati banyak sungai”. Kenyataan ini kemudian mendongkrak semangat kami. Bergegas kami pun melangkah. Sekitar 10 menit dari Pos I kami telah bertemu dengan anak sungai yang pertama, menyusul sungai kedua dan seterusnya. Menurut catatanku, jarak antara satu sungai dengan sungai berikutnya antara 10-15 menit, yang paling lama adalah jarak antara sungai 8 dan 9, skitar 20-25 menit. Sekarang di sungai ke 6 yang ada percabangan sudah ada penunjuk arah, tertuliskan, “Pos III – Puncak”. Air di setiap sungainya sangat jernih. Bahkan langsung bisa diminum. Rasanya sangat menyegarkan. Lebih segar dari air kemasan merk apapun.
langsung bisa diminum

Di atas sungai 9 ini, kekawatiran menyelimuti benakku. Isteriku yang biasanya prima, kini dalam keadaan yang di luar kebiasaan. Beberapa kali ia menyampaikan keluhannya. Ia mengajak untuk berhenti dan mendirikan tenda. Menyarankan agar teman-teman lain melanjutkan kisah. Kucoba bujuk ia untuk berhenti di Pos Pohon Tunggal. Karena di sana ada tempat yang datar dan bisa ditempati beberapa tenda.
Bujukanku untuk sementara berdaya. Medan pertama setelah sungai 9 adalah medan terjal dan menanjak, semangat yang berkobar itu pun mendadak luluh. Isteriku terlihat kesakitan dan seolah tidak ada tenaga. Kucoba memotivasinya dengan terus bergerak walau sangat pelan. Kuikuti dia dari belakang. Posisiku yang dengan tas kerir segede gajah masih dengan bawaan air ditangan seberat 7,5 liter. Memaksaku tidak berdaya untuk membantunya. Medan yang agak landai menyemangati kami, terutama isteriku. Kami berpapasan dengan rombongan dari Jakarta, aku pun mencoba mencari info, “Pos Pohon Tunggal masih jauhkah?” Dengan semangat mereka pun menjelaskan yang pada intinya, Pos Pohon Tunggal masih membutuhkan waktu 1,5 jam lagi. Info ini bukannya mendongkrak semangat tetapi justeru melemahkan semangat isteriku. Ia kehilangan gairah dan kembali menawar untuk segera mendirikan tenda. Aku hanya memberi PHP. Kuajak ia untuk istirahat sebentar kemudian melanjutkan langkah.
isteriku yg sempoyongan

Terlihat Timbul dan Pink yang jauh di depan, spontan isteriku berteriak, “Mbul, katane mau gantian membawa airnya?” Lantang teriakan isteriku menghentikan langkahnya. Isteriku pun melaju seolah ingin mengejarnya. Lalu aku pun mengikutinya. Setelah air berpindah dari tanganku ke tangan Timbul, maka tas isteriku pun berpindah ke tubuhku. Kini aku bagaikan porter yang membawa dua tas besar. Isteriku agak sedikit tertolong. Namun kembali ia menawar untuk mendirikan tenda. Kuberikan alasan bahwa tidak ada tempat yang datar guna mendirikan tenda.
perjuangan suami demi kebahagiaan isteri (porter)

Tertatih kami berjalan sangat pelan. Hingga hati bersorak karena bertemu kembali sungai yang ke 10. Sungai ini diberi nama Pos Batu Tulis. Mirip dengan Pos III Merbabu via Selo. Karena banyak batu-batu besar yang telah dicorat-coret. Sebenernya dari sungai ini Pohon Tunggal sudah terlihat. Karena baru pendakian pertama maka kami pun tidak menduga. Misalnya kami tahu sebelumnya kalau masih ada sungai maka kami tidak akan repot-repot membawa air dari sungai 9.
sungai k 9

Selepas sungai 10 kami terus melangkah hingga kami bertemu pertigaan dengan tanda pada tulisan batu yang bertuliskan “PT”. Waktu itu isteriku melihat tulisan itu, mendadak langsung lemas, karena berpikir bahwa kami telah salah mengambil jalan hingga tidak terasa pos “PT” yang kami artikan Pohon Tunggal telah jauh tertinggal. Kemudian aku mencoba menalar, PT itu artinya Parakan-Temanggung. Berarti jalur cepit. Kukuatkan isteriku agar ia mau bergerak dan maju. Menyadari bahwa teman-teman yang lain ternyata jauh tertinggal di belakang, isteriku pun kembali aku semangati bahwa ia masih kuat dan lebih kuat dari teman-teman yang masih muda. Ia pun kembali melangkah.
masih jauh d sana

Jalanan makin menanjak dan mulai didominasi alang-alang dan rumput hutan. Lalu kulihat segerombol dahan pohon dan hanya itu, maka aku dapat memastikan bahwa itu adalah Pos Pohon Tunggal. Kuceritakan pada isteriku. Ia diam saja seolah-olah meragukan. Lalu kembali kami melangkah. Kulihat batang pohon itu bertuliskan. Berarti benar itu Pos Pohon Tunggal. Isteriku pun berteriak gembira. Kusiapkan tempat untuk mendirikan tenda. Sambil menunggu teman-teman yang lain. Segera tendakupun berdiri. Dan isteriku segera beristirahat didalamnya.
post pohon tunggal

Satu persatu teman-teman yang lain menyusul. Tenda berdiri semua. Kami pun siap meracik hidangan istimewa. Kolak pisang dan ketela menjadi menu pembuka. Kemudian menyusul hidangan untuk makan malam dengan aneka menu spesial. Senja yang temaram dengan tiupan angin sepoi-sepoi, ditemani api unggun semakin menghangatkan suasana. Keceriaan terpancar dari wajah-wajah lelah kami. Hingga sore pun berganti malam. Terpampang keindahan kota Magelang yang jauh terlihat di bawah berpadu harmoni dengan taburan bintang malam. Sungguh suguhan alam yang maha sempurna. Angin malam kian kuat menerpa tubuh lelah kami, hingga kami pun  mengigil kedinginan. Setelah santap malam kami berlomba untuk yang paling cepat lelap.
Di tengah dekapan malam gunung Sumbing, terdengar sayup dua rombongan besar yang mencari tempat mendirikan tenda. Aku abaikan dan terus melanjutkan lelap. Hingga tidak terasa pagi pun tiba. Jam 5 aku terbangun. Aku pun keluar tenda mencoba menerka tanda-tanda alam apakah akan menyuguhkan keindahan sunrise pagi ini. Terlihat kabut mulai merangkak ke atas. Alamat akan menutup mata menikmati semesta golden sunrise.  Kekawatiran ini akhirnya mendorongku untuk bergegas menanjak ke atas. Kuberteiak, “Ayo muncak-muncak. Kita kejar sunrise di atas”. “Monggo pak. Entar kami susul”, jawaban dari tenda. Aku tidak tahu suara siapa itu.

Berjalan aku sendiri. Cahaya kuning belum nampak. Maka headlamp masih aku andalkan untuk membantu kaki menapak. Kutargetkan untuk bisa menikmati sunrise di pertigaan antara ke kawah dan ke puncak. Aku terpaksa ngebut. Bisa jadi aku sedikit berlari agar rekahan mentari pagi bisa kunikmati sebagaimana aku rencanakan. Alam terus memberi tanda kalau akan berkabut tebal. Aku pun terus menebalkan harapan, “Semoga alam bersahabat”. Kunikmati perjalanan ini seorang diri. Single attact summit, aku berpikir demikian. Sesuai harapan, saat sampai di pertigaan antara kawah dan puncak golden sunrise pun terjadi. Untuk sementara aku hanya berdecak kagum menikmati lukisan Yang Kuasa. Kuuntaikan syukur atas kesempatan menikmati karyaMu Tuhan.
Setelah dimanja dengan keindahan mentari terbit. Kabutpun sengaja menyembunyikan indah alam, agar aku kembali melanjutkan kisah. Dari pertigaan ini jarak ke kawah kurang lebih 20 menit, dan puncak 5-10 menit. Pekatnya kabut pagi ini memaksaku untuk tidak bisa memandang indah kawah, mungkin Sumbing sengaja menyembunyikannya agar aku kembali ke sini. Kemudian keteruskan langkah untuk menikmati ketinggian Sumbing, walau bukan puncak sejati. Namun aku bersyukur dapat menginjakkan kaki diatas atap tertinggi ketiga pulau Jawa dan yang ke dua di Jateng. Cerita tentang puncak “Watu Lawang” pun telah kutemukan. Aku di sini masih seorang diri. Tidak ada pendaki lain. Cuaca kabut masih pekat menutup pandangan. Terdengar sayup teriakan pendaki dari jalur lain. Mungkin mereka juga telah sampai di puncak. Tetapi aku tidak berminat untuk mengitari puncak.
selfy

Setelah aku rasa cukup bercengkerama dengan suasana puncak Sumbing, saatnya turun. Cuaca masih sama, berkabut. Setelah melewati pertigaan kawah dan puncak, aku bertemu dengan dua rombongan yang katanya dari Yogyakarta. Setelah bertegur sapa dan seteguk air aku dapatkan, kembali aku melangkah. Trimaksaih sahabat atas seteguk air itu. Sekitar seratus meter kemudian aku berjumpa dengan rombongan dari Muntilan yang berjumlah 8 orang. Cuaca masih berkabut  tetapi sudah tidak terlalu pekat. Teman-temanku yang berjumlah 8 orang tidak ada satu pun yang menyusul. Tepat pukul 06.30 aku telah kembali ke Pos Pohon Tunggal. Jadi menurut perhitunganku perjalanan PP dari pohon tunggal menuju puncak dan kembali lagi sekitar 80 menit (1 jam 20 menit). “Nyampe puncak pak?” sapa Oni. “Puji Tuhan, nyampe”.“Slamat ya pak”. “Trimakasih”, jawabku pendek.
memandang keren k bawah

Segera kubuka tenda dan kusapa isteriku, “Udah sehatkah?” “Udahlah. Siap turun ki”, seutas senyum keceriaan menegaskan kalau memang dia sudah sehat. “Ini ada oleh-oleh”, kuserahkan kamera poket yang berisi beberapa gambar saat menikmati indah golden moment sunrise. Setok air yang terbatas menjadikan kami hanya menyiapkan menu sarapan pagi sereal dan minuman hangat. Kunikmati suasana pagi di Pos Pohon Tunggal dengan damai. Hingga waktu menunjuk angka 07.30, aku pun bergegas membongkar tenda dan berkemas. Begitu pula dengan teman-teman yang lainnya. Hingga semuanya telah siap untuk turun gunung.
menikmati suasana pg d post pohon tunggal

Saat waktu merangkak pelan dan bertengger diatas titik 08.15, kami pun bergerak untuk melanjutkan goresan sejarah hidup. Aku dan isteriku dipersilahkan turun duluan. Sedangkan teman-teman yang lainnya sengaja memilih di belakang. Mungkin mereka kawatir kalau meninggalkan kami. Dengan memilih di belakang mereka dapat memantau langkah laju kami. “Terimakasih teman-teman atas pengertiannya”, aku berucap dalam hati. Sejuta kenangan tertinggal bersama jejak tapak kaki. Namun kenangan itu akan abadi dalam goresan sanubari.
Melenggang kaki dengan riangnya. Hingga tidak terasa kami telah sampai di barisan sungai-sungai kecil. Sesuai kesepakatan kami akan saling menunggu di Pos III, Pos sungai ke 6. Siapa duluan tiba ia harus menunggu dan menyiapkan sarapan pagi sekaligus makan siang. Aku dan isteriku tiba duluan, maka kami pun sesuai kesepakatan membuat hidangan dengan bekal yang tersisa. Kami tiba di pos ini pada pukul 09.45. selang satu jam kemudian semua rombongan telah komplit berkumpul.
asik kn?

Namun, Bangkit mohon pamit duluan karena ia ada acara. Ia pulang bersama adiknya, Oni. Yusuf yang dari kemaren menderita sakit perut juga berpamitan untuk menyusul. Ia ditemani Cepi. Akhirnya yang tersisa tinggal lima orang, yaitu aku, isteriku, Timbul, Pink dan Andre. Kami berlima kemudian menyelesaikan menu istimewa. Makanan masih berlimpah yang seharusnya dinikmati bersembilan kini hanya dinikmati berlima. Kami pun sempat kekenyangan dan harus menunggu beberap lama agar perut tidak kram atau sunduken. Tepat pukul 13.00 kami pun berpamitan dengan dekapan keakraban dan kekeluargaan di bawah pohon Pos III.
Tertatih kami karena tenaga yang tersisa. Sempoyongan kami menghadapi medan jalur turunan curam dengan tangga batunya. Sungguh menguras tenaga dan stamina. Kekuatan lutut sungguh diuji di jalur ini. Aku pun sempat jatuh dua kali. Rekor terbanyak jatuh adalah Pink, yang mencatat jatuhnya sebanyak 7 kali. Di jalur pulang ini kami sering bertemu penmduduk, tegur sapa dan sedikit berbagi cerita menghiasi perjalanan pulang. Hinga tidak terasa, atap-atap rumah penduduk telah terlihat. Tepat pukul 15.15 kami pun telah disambut hangat oleh keluarga pak Kadus. Kami pun sungguh bersyukur Karena telah pulang dengan selamat. Tinggal melanjutkan perjalanan dengan tumpuan roda, tidak lagi bertumpu pada otot ataupun kekuatan kaki-kaki lemah kami. Selamat tinggal keramahan penduduk Butuh. Kami akan selalu merindu. Suatu saat kita akan bertemu dalam nuansa petualangan yang berbeda.
hampir sampai ya?

Pukul 16.30 kami pun memulai perjalanan pulang menuju kota tercinta. Cuaca masih remang-remang ketika kami tiba di Magelang. Karena Andre yang akan menuju Salatiga hanya seorang diri, maka aku dan rombongan pindah haluan untuk menyusuri jalur Magelang-Salatiga, lewat Kopeng. Pukul 18.30, kami pun tiba di Kopeng. Istirahat dan mengisi tenaga. Pukul 19.30 kami kembali menunggangi kuda besi agar lekas sampai di tempat tujuan masing-masing. Sesampainya dipertigaan Pereng, Getasan, kami berpisah. Aku, isteriku dan Timbul serta Pink meneruskan perjalanan menuju Solo. Hingga akhirnya, ditikungan tajam dengan jalanan yang bertaburkan pasir, melesatkan motorku. Aku pun rebah ditindih motor serta isteriku. Kakiku mengalami banyak luka. Celanaku robek. Begitu pula dengan lututku. Isteriku hanya memar sedikit. Yang paling parah adalah sidebox motorku pecah karena melindungi kakiku dari belaian kerasnya aspal.
Untuk sementara perjalanan kami tunda. Setelah mental isteriku kembali pulih, kami pun kembali melaju. Hingga pada titik 21.10 aku dan isteriku tiba di rumah tercinta kami. Aku yakin Timbul dan Pink juga begitu. Pengalaman petualangan yang luar biasa. Menghibur sekaligus mengajari banyak hal. Persahabatan dan persaudaraan. Berbagi dan semangat untuk saling melayani dan memberi. Merancang kehendak dan sekaligus menyusun strategi guna menggapainya. Juga cara mengalahkan diri dan menjinakkan ego. Trimakasih Sumbing karena  engkau telah mendidik kami dengan caramu yang unik. Kami pun rindu dan selalu rindu untuk kembali.


4 komentar:

  1. Mas Boleh Minta No Hp / Fb NYa Gak, Soalnya Q juga mAu muncak Ke sumbing lewat jalur itu

    BalasHapus
  2. pengalaman yg mantab... dlm waktu dket jg ada rencana ke Sumbing mas heri...

    BalasHapus
    Balasan
    1. monggo. mungkin yg saya tuliskan di sini, sudah bayak perbedaan. menurut info terbaru, papan penunjuk jalan makin banyak dan juga pos2 atau selter jg telah dibuat secara memadai.

      Hapus