PERSAHABATAN
DALAM KEPULAN ASAP KNALPOT
Oleh:
Heri
“Sungguh
terlalu, kalau orang Indonesia sampai tidak tahu Mbah Klewang, seorang tokoh
bahkan menyebut dirinya sebagai jendral yaitu jendral Geng Motor”, ini
merupakan sebuah pernyataan yang disampaikan oleh seorang pembawa acara dalam
kupas tuntas tentang berbagai tindak kriminal yang baru menjadi sorotan media
masa di salah satu siaran televisi swasta. Berbicara tentang Geng Motor kiranya
sulit dipisahkan dari tiga kata, yaitu motor, kelompok dan jalanan.
Tercatat
dalam benakku sebuah rencana yang jauh dari duniaku. Keseharian yang kulukis
dengan buku, tulisan, ilmu dan juga ajaran. Sederhananya aku mewarnai
hari-hariku dengan ribetnya administrasi pekerjaan sebagai pendidik. Pagi
ketika kelopak mata masih ragu untuk menengok indahnya dunia, aku memaksanya
untuk segera beranjak dari alam mimpi. Memburu waktu yang menjajar agenda,
menderetkan tuntutan tanggungjawab. Hal itu pelan dan pasti menghantarku pada
situasi jemu. Aku tidak mengatakan bahwa aku muak, karena nyatanya aku selalu
rindu untuk menjalani. Ketika malam menjelang dan para tetangga mulai berebut
acara televisi yang didominasi hiburan yang membius, aku harus menyiapkan
urusan untuk hari esok. Kalaupun tidak begitu aku harus menghabiskan waktu di
depan layar komputerku, memelototinya hingga larut untuk menyelesaikan
tanggungan pekerjaan yang tidak mungkin terselesaikan bila aku hanya
mengandalkan jam kantor.
Saat
penat mengintip dan nurani mulai tergoyahkan, kubuka dunia yang menghantarku
untuk berlayar dalam imajinasi. Melalui bimbingan dan panduan dunia maya-internet,
aku menjelajah impian-impian yang tidak mungkin aku alami dalam dunia yang
sesungguhnya. Namun, internet juga tidak hanya menawarkan transportasi yang
melesatkan petualangan dunia khayal, ia juga mampu menjadi pertapa yang kaya
pengalaman rohani sehingga mampu menuturkan keajaiban hidup.
Berpetualang
dengan mengendari imajinasi merupakan cara menghibur diri, atau mungkin
tepatnya menemukan cara untuk melarikan diri dari berbagai tekanan, persoalan
dan permasalahan hidup. Saat aku sedang
menikmati dunia maya, melalui jejaring sosial facebook, kutemukan berbagai karakter manusia yang telah membangun
istananya masing-masing. Ada istana petualangan alam liar, pendakian gunung,
penelusuran goa, susur pantai bahkan komunitas jalanan. Ada yang membangun
istananya dengan hati dan nurani tetapi ada pula yang membangunnya dengan
semangat setan dan iblis. Sederhananya ada dua jenis istana, yaitu istana
kebaikan dan istana kejahatan.
Sebagai
seorang pendidik aku juga memiliki kecenderungan untuk kadang kala menikmati
istana setan, tetapi lebih seringnya aku menikmati istana malaikat. Saat facebook-an, aku chating dengan teman-teman. Ada yang sungguh-sungguh teman. Tetapi
ada pula yang sekedar teman imajinasi karena tidak dan belum pernah bertemu
dengan orangnya.
Suatu
pagi aku mengomentari sebuah status dari group SPTC[1]
yang punya gawe untuk mengisi liburan Isra
Miraj, pada hari Kamis, 06 Juni 2013 untuk mengunjungi wisata alam telaga
Madirda[2],
Goa Maria Tawang Mangu[3]
dan ditutup dengan belanja souvenir kerajinan kulit di Magetan. Komentarku
cukup singkat, “ndaftar”.
Di
luar dugaan, respon sahabat-sahabat petualang jalanan dalam kelompok SPTC
tersebut sangat positif. Mereka terus
mengontak dan memantapkan rencana. Padahal, aku selama ini belum pernah bertemu
dengan komunitas ini. Hanya satu orang yang pernah kukenal dan yang sekaligus
menjadi dedengkotnya SPTC, yaitu Padmo. Ia pernah menjadi adik tingkatku dalam
rimba belantara dunia kiri[4],
sebuah dunia yang menawarkan setapak dan selembar peta untuk digumuli agar
berjumpa dengan Sangakan Paraning Dumadi.
Pagi
telah menyingkapkan selubung malam. Rentan raga ingin berlanjut dalam nyaman
buaian selimut tebal. Cuaca akhir-akhir ini, sangat sulit untuk ditebak.
Sebagai anak petani, warisan “ilmu titen”
dari para leluhurku telah kehilangan kesaktiannya. Bulan Juni yang seharusnya
mulai diwarnai dengan kekeringan, tanah yang mulai retak dan menganga, saat ini
malah dipenuhi dengan genangan. Hujan tiap hari dengan waktu sesukanya, kadang
pagi, tengah malam, siang-siang, atau sore kalau tidak dini hari. Cuaca yang
telah dikoyak oleh global warming,
menjadikan segalanya di luar predikisi. Seminggu lebih, kota Solo diselimuti
air. Hujan tiap hari mengakibatkan udara menjadi lembab dan mengundang orang
untuk bermanja di atas pembaringan, sembunyi di bawah kenyamanan kain tebal.
Dalam
situasi yang seperti itu, HP-ku bergetar, bukan karena alarm tetapi SMS dari
Padmo, “Bangun-bangun. Mandi. Sarapan. Manasi mesin”. Kulirik jam dinding yang
dengan pasti telah melajukan detiknya tepat pukul 06.46. “Serius juga ini
anak-anak”, gumanku, lalu aku bergegas melompat dari pembaringan. Isteriku
telah lama bangun dan sudah berburu kebutuhan pokok di pasar tradisional.
Segera kulucuti kemalasanku dan kusegarkan ragaku untuk menemukan gairah hidup.
Jam 07.00 aku telah siap dan tidak berapa lama isteriku tiba. Kami cepat-cepat
sarapan. Kemudian menyiapkan perbekalan ala kadarnya. Dan tepat pukul 07.30
kututup pintu juga pagar pondok sederhanaku untuk meluncur menuju base camp SPTC, yaitu gereja Santo
Paulus Kleco, Surakarta.
Waktu
tempuh tidaklah lama, hanya sekitar 15 menit dari rumah menuju base camp. Tiba di sana telah menunggu
sahabat-sahabat petualang jalanan. Sebagai orang baru, aku dan isteriku
diperkenalkan oleh Padmo kepada sahabat-sahabat lainnya. Wajah-senyum ramah
yang dipertegas dengan sapaan dan menyusul canda tawa semua merupakan sunguhan
persaudaraan. Pukul 08.00 rencana awal untuk memulai “putar jari” terpaksa diundur
demi menunggu personel lainnya.
Menunggu
yang biasanya dipenuhi dengan gerutu dan omelan tidak kujumpai dalam komunitas
ini. Hingga pada akhirnya, kami lengkap menjadi sebelas joki dan tiga penumpang[5].
Kulirik arlojiku, tepat pukul 08.28 kami melambungkan doa-syukur atas kesehatan
dan waktu juga kesempatan untuk membangun dan merajut persaudaran dan
persahabatan melalui kegiatan touring.
Tidak lupa kami memohon terang, perlindungan dan bimbingan dari Tuhan Allah
sang pencipta agar peziarahan ini selamat dan sampai pada tujuan sejatinya.
Bersamaan
waktu yang mencatatkan diri pada titik 08.30, teriakan “Santo Paulus, Doakan
kami”, menandai perziarahan ini resmi dimulai.
Sebagai
pemula dari kumpulan manusia-manusia yang suka “ngaspal” ini, aku mengalami
banyak persoalan. Dari ketidaktahuan akan kode, tanda, simbol dan etika ber-touring hingga masalah speed, kecepatan dalam berkendara[6].
Sekitar 10 menit meniggalkan base camp
aku telah melakukan pelanggaran pertama, secara spontan kulajukan sepeda
motorku meninggalkan bus dari sisi kiri. Padahal anggota tidak boleh bertindak
tanpa rekomendasi dari leader. Akibat
dari pelanggaran itu aku melaju kencang dan meninggalkan rombongan. Pelanggaran
kedua yang kucatat dalam memoriku adalah sikap waspada yang sudah menjadi
habitku, kebiasaan mengambil jarak dengan pengguna jalan yang posisinya ada di
depan, hal ini memungkinkan adanya “penyusup”. Akibatnya adalah rombongan
menjadi terpecah, tercecer dan ritme berkendaraan pun menjadi labil.
Aku
pikir, ternyata aku cepat juga menyesuaikan dengan dunia baru ini. Tidak berapa
lama, aku telah mampu mengikuti alur touring.
Rombongan SPTC, meliuk menorehkan jejaknya di setiap rute. Sang leader dengan gagah dan sangat
bertanggungjawab memimpin dan mengkoordinir rombongan, kode dan tanda selalu
dimunculkan agar semua anggota merasa nyaman dalam berkendara dan yang lebih
penting adalah keselamatan. Peran leader
menjadi lebih ringan dengan adanya sweeper
dan pembuka jalan. Bila ada anggota yang tercecer maka, sweeper akan menjemput, mengawal serta memandunya hingga dapat
kembali ke posisi awal dalam rombongan.
Aku
yakin kalau taganggungjawab dari para
pembuka jalan adalah beresikokan nyawa. Mereka melaju kencang dan mencoba
memberi tanda pengendara lain untuk lebih merapat guna memberi ruang agar
rombongan bisa berjalan lancar. Kadang aku melihat bahwa resiko yang diambil
tidak tanggung-tanggung, mereka mempertaruhkan dirinya untuk menghadang
pengendara dari arah berlawanan, tujuannya hanya satu agar pengendara lain
berkenan sedikit meminggirkan tunggangannya. Bila arus lalu lintas yang searah
sangat padat, para pembuka jalan inipun tidak ragu-ragu untuk memohon dengan
kode agar kami diberi ruang. Kadang aku melihat cara memohonnya agak ekstrim,
ada kesan arogan dan kasar. Tetapi kesimpulan itu runtuh berantakan kala aku
lihat kode jempol jari diacungkan, yang berarti matur nuwun, trimakasih.
Melaju
kencang, mendadak melambat, lebih sering dalam kecepatan stabil merupakan ritme
touring ini. Di tengah-tengah situasi
yang seperti itu, terbesit dalam benakku sebuah permenungan sederhana. Aku
menemukan satu pembelajaran rohani bahwa keselamatan, entah pada situasi
kekinian atau di keabadian, hal itu lebih mudah dicapai dengan semangat
kebersamaan. Digapai karena tim yang solid,
kompak dan nyedulur. Tim ini ditandai
dengan adanya daya inisiatif, tindakan spontan, tanggungjawab untuk rekan
seperjalanan dan kesemuaya bermuara pada satu titik yaitu keselamatan bersama.
Hal itu dipertegas dengan adanya tindakan berani mengambil resiko, tidak peduli
keselamatan diri, yang terpenting adalah keselamatan kawan. Kalau dalam setiap
tim atau kelompok dan masing-masing anggotanya telah memiliki keutamaan untuk
rela berkorban bagi yang lainnya, aku yakin keselamatan itu akan terjadi dengan
sendirinya.
Memecah
refleksiku, kala aku harus dengan sigap mengerem karena lobang besar telah
menyambut rombongan. Lobang-lobang jalanan itu kami temukan setelah melewati
pertigaan arah Kemuning dan Tawangmangu. Selepas Karangpandan, jalanan makin
meliuk, menukik dan mendongak. Jerit motor tak lagi indah, ada berbagai
erangan, ada yang menangis karena dipaksa si joki untuk terus merangkak. Tapi
ada pula yang karena kurang ahli. Yang lebih bikin geli adalah suara
batuk-batuk. Motorku salah satunya yang dilanda wabah masuk angin, sehingga
pembakaran tidak lancar, menjadikan motor harus tersendat-sendat.
Udara
dingin mulai menusuk tulang, merasuk dan akhirnya berhasil menyusup dalam
sumsum mengakibatkan bulu harus berdiri. Kami menggigil. Hal itu diperparah
dengan kabut tebal yang dengan riangnya menggoda kami untuk tidak melaju dalam
kecepatan. Hamparan perkampungan yang menawarkan keasrian, kesahajaan,
kesederhanaan dan yang terpenting adalah keramahan. Feeling-ku menyakini bahwa telaga sudah dekat. Yang dituju sudah
tidak tahan ingin melepas rindu.
Keindahan
telaga nampak samar dari kejauhan. Kami mesti memaksa motor kami untuk sedikit off road. Jelas ini bukan medan kami dan
tidak cocok untuk tunggangan yang kami miliki. Menyiasati situasi itu, akhirnya
kami saling berbagi tenaga dan keahlian. Kami sedikit bermandi lumpur juga
peluh karena kami harus mendorong motor-motor yang hanya memutar rodanya tetapi
tidak mau beranjak dari tahta barunya. Mungkin ban-ban itu sudah merasa nyaman,
setelah berputar di atas panas dan kerasnya aspal, kini mereka bertemu dengan
kubangan air, lumpur dan tanah basah, mungkin itu menyejukkan mereka.
Tepat
pukul 09.40 kami menyandarkan motor tunggangan pada perhentian pertama, Telaga
Madirdo. Penat raga terobati dengan keindahan alam karya Tuhan Sang Pencipta.
Beningnya air telaga yang menunjukkan
segala isinya nampak ke permukaan. Ada banyak jenis ikan yang berlomba
memamerkan kemolekan serta keahlian tariannya. Hijau lelumutan pun tak mau
kalah untuk menujukan lembut sapanya. Seolah tidak air diatasnya, dasar telaga
begitu jelasnya. Kejernihan air telaga yang menjanjikan kesegaran segera
menggoda kami untuk bercengkeramanya dengannya. Dunia anak kembali memenuhi
darah kami. Tanpa menunda waktu, kami berhamburan untuk berenang, berendam dan
main air. Dunia anak menjadi dunia kami. Dunia yang hanya memiliki satu warna
yaitu keceriaan, kegembiraan dan inilah yang dirindu orang sebagai kebahagiaan.
Cukup lama kami mendinginkan segenap
kegundahan hidup yang selama ini terselubungi oleh berbagai persoalan,
permasalah dan kegundahan. Jiwa kami perlahan bertumbuh, berbanding terbalik
dengan raga yang mulai menggigil beku. Bergantian kami untuk membersihkan diri,
memesan segelas kopi dan sepiring mie rebus yang hanya disediakan oleh satu
warung. Tepat pukul 11.00 kami meninggalkan rajutan kisah persaudaraan dalam
pelukan hening telaga Madirdo. Rombongan kembali merangkak pelan untuk
menemukan serpihan tujuan hidup yang lainnya.
Menapaki jalanan yang tidak selalu
rapi, mulus dan lurus kehati-hatian mutlak kami lakukan. Apa lagi di antara
kami ada yang baru dibuai asmara. Kulihat ada ekspresi cinta yang masih
ragu-ragu, bahkan belum menemukan cara yang jitu. Kehati-hatian memunculkan
ketidakpercaan diri. Yang biasanya ahli menjadi amatiran. Hingga pada akhirnya,
satu diantara kami ada yang terpaksa memeluk motornya di selokan. Waktu itu aku
tidak melihatnya, karena posisiku ada di belakang sang kepala. Yang kami yakini
bahwa ada yang tidak beres bahwa paduan suara knalpot mendadak hilang, berganti
kesunyian.
Perlahan rombongan kembali merapat
dan melanjutkan kisah. Akhirnya tepat pukul 11.45 kami tiba di Goa Maria
Tawangmangu. Secara pribadi kami masing-masing membuka hati untuk memadu kasih
dengan Tuhan yang kami imani. Di sinilah kami masing-masing membuka relung jiwa
untuk memahami bahwa diri ini lemah dan tak berdaya. Oleh karenanya, rahmat
serta karunia dari Yang Transenden mutlak kami perlukan. Aku pun sungguh
bersyukur karena masih ada waktu untuk kembali mengisi relung hati. Kembali
memahami hakekat diri sejati yang tidak hanya sekedar raga dan daging, tetapi
ada jiwa, ada yang rohani dan itu pun mesti diberi nutrisi berupa keheningan
untuk kembali bermesraan dengan Tuhan yang kusembah.
Setelah kesegaran jiwa kami dapat
dari menu kedua peziarahan ini, yaitu nutrisi rohani karena doa, kami pun akan
segera berlalu meninggalakan torehan sejarah hidup.
Pukul 12.45 kami melanjutkan kisah
untuk memenuhi dahaga raga, memuaskan jasmani dengan menu spesial pada
warung-warung Cemorosewu. Jalanan yang makin meruncing dan menanjak dengan selimut kabut tebal menemani laju roda
tunggangan kami. Dalam hitungan menit kami pun tiba di lokasi yang dituju.
Merapat di warung Cemoro sewu pada detak jarum yang ke 13.00. Di sinilah kami melengkapi proses
kebutuhan hidup yang sesungguhnya. Ada pemenuhan kebutuhan jiwa, ada pula
pemuasan kebutuhan roh namun tidak ketinggalan juga menguatkan raga yang
menopang jiwa roh kami itu.
Cuaca tidak mendukung rencanan kami untuk mengunjungi
keindahan alam Magetan dengan hasil karyanya, kerajinan kulit. Mendadak kabut
turun dengan tebalnya menjadikan jarak pandang memendek menjadi skitar lima
meter, jarak yang tidak ideal untuk melaju dalam kecepatan. Akhirnya, pukul
14.45 kami melaju turun menuju base camp.
Kami memutuskan untuk menunda rencana dan segera kembali ke tempat nyaman kami
masng-masing. Saat menghentikan deru paduan suara knalpot, kusempatkan untuk
memastikan waktu yang duduk dengan santai pada posisi 15.45. Doa syukur atas
keselamatan, waktu untuk berpetualang menemukan kesejatian tujuan hidup, itulah
menutup perjalanan ini. Trimakasih sahabat petualang jalanan, semoga waktu akan
menghantar kita kembali mengais serpihan makna kehidupan melalui kepulan asap
knalpot. Aku rindu untuk “ngaspal” lagi.
[1]
SPTC merupakan singkatan dari Saint Paul Touring Community, sebuah komunitas
yang beranggotakan anak-anak muda yang suka touring dan pergi ke berbagai
daerah dan ziarah ke Goa Maria.
[2] Telaga Mardido berada di lereng
barat Gunung Lawu, di Dusun Tlogo, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dengan ketinggian sekitar 900 mdpl, telaga ini memang terasa sangat sejuk,
tenang, indah dan asri. Telaga ini tidak terlalau besar, luas airnya hanya
sekitar 1000 m2, terletak pada suatu cekungan datar seluas kira-kira
3000 m2. Di sekeliling telaga adalah perbukitan dengan
tumbuh-tumbuhan yang menghijau dan rumah-rumah penduduk desa yang bersahaja.
[3]
Tempat ziarah, Gua Maria Sendang Pawitra, di Dusun Sendang, Desa Sepanjang,
Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar
[4]
Aku dan Padmo pernah terdampar di seminari. Kami berdua adalah eks-frater MSF.
Kami pernah menyusuri liku rimba menuju imamat. Tetapi kami pada akhirnya lebih
memilih jalur dunia nyata, menuju surga melalui banyak karya, sedikit doa.
Sedangkan biarawan (imam) menyusuri jalan menuju surga dengan banyak doa,
sedikit karya.
[5]
Kesebelas joki itu masing-masing mengendari: 1 Byson, 1 Ninja, 1 Versa, 1
Satria F, 1 Jupiter MX, 1 Revo, 1 Vario, sisanya adalah Mega Pro. Sedangkan
personil yang terlibat dalam peziarahan ini saya tidak berani menyebut nama,
karena saya belum hafal (hehe). Yang jelas wajah-wajah mereka tidak asing. Mereka
semua adalah para aktifis gereja (ra
pomah tetapi selalu stand by di
gereja). Di antara mereka, ada yang
sebagaian adalah alumni dari tempat aku mengais rejeki (SMA St. Yosef
Surakarta). Total, kami terdiri dari 12 laki-laki perkasa dan dua bidadari
(yang satu adalah isteriku hehe).
[6]
Kalau pengin belajar silahkan buka di sini: http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwhitevixion.wordpress.com%2F2011%2F04%2F20%2Ftata-krama-touring%2F&h=bAQFpJzEa&s=1