Jumat, 07 Juni 2013

PERSAHABATAN DALAM KEPULAN ASAP KNALPOT



PERSAHABATAN DALAM KEPULAN ASAP KNALPOT
Oleh: Heri
“Sungguh terlalu, kalau orang Indonesia sampai tidak tahu Mbah Klewang, seorang tokoh bahkan menyebut dirinya sebagai jendral yaitu jendral Geng Motor”, ini merupakan sebuah pernyataan yang disampaikan oleh seorang pembawa acara dalam kupas tuntas tentang berbagai tindak kriminal yang baru menjadi sorotan media masa di salah satu siaran televisi swasta. Berbicara tentang Geng Motor kiranya sulit dipisahkan dari tiga kata, yaitu motor, kelompok dan jalanan.
Tercatat dalam benakku sebuah rencana yang jauh dari duniaku. Keseharian yang kulukis dengan buku, tulisan, ilmu dan juga ajaran. Sederhananya aku mewarnai hari-hariku dengan ribetnya administrasi pekerjaan sebagai pendidik. Pagi ketika kelopak mata masih ragu untuk menengok indahnya dunia, aku memaksanya untuk segera beranjak dari alam mimpi. Memburu waktu yang menjajar agenda, menderetkan tuntutan tanggungjawab. Hal itu pelan dan pasti menghantarku pada situasi jemu. Aku tidak mengatakan bahwa aku muak, karena nyatanya aku selalu rindu untuk menjalani. Ketika malam menjelang dan para tetangga mulai berebut acara televisi yang didominasi hiburan yang membius, aku harus menyiapkan urusan untuk hari esok. Kalaupun tidak begitu aku harus menghabiskan waktu di depan layar komputerku, memelototinya hingga larut untuk menyelesaikan tanggungan pekerjaan yang tidak mungkin terselesaikan bila aku hanya mengandalkan jam kantor.
Saat penat mengintip dan nurani mulai tergoyahkan, kubuka dunia yang menghantarku untuk berlayar dalam imajinasi. Melalui bimbingan dan panduan dunia maya-internet, aku menjelajah impian-impian yang tidak mungkin aku alami dalam dunia yang sesungguhnya. Namun, internet juga tidak hanya menawarkan transportasi yang melesatkan petualangan dunia khayal, ia juga mampu menjadi pertapa yang kaya pengalaman rohani sehingga mampu menuturkan keajaiban hidup.
Berpetualang dengan mengendari imajinasi merupakan cara menghibur diri, atau mungkin tepatnya menemukan cara untuk melarikan diri dari berbagai tekanan, persoalan dan permasalahan hidup.  Saat aku sedang menikmati dunia maya, melalui jejaring sosial facebook, kutemukan berbagai karakter manusia yang telah membangun istananya masing-masing. Ada istana petualangan alam liar, pendakian gunung, penelusuran goa, susur pantai bahkan komunitas jalanan. Ada yang membangun istananya dengan hati dan nurani tetapi ada pula yang membangunnya dengan semangat setan dan iblis. Sederhananya ada dua jenis istana, yaitu istana kebaikan dan istana kejahatan.
Sebagai seorang pendidik aku juga memiliki kecenderungan untuk kadang kala menikmati istana setan, tetapi lebih seringnya aku menikmati istana malaikat. Saat facebook-an, aku chating dengan teman-teman. Ada yang sungguh-sungguh teman. Tetapi ada pula yang sekedar teman imajinasi karena tidak dan belum pernah bertemu dengan orangnya.
Suatu pagi aku mengomentari sebuah status dari group SPTC[1] yang punya gawe untuk mengisi liburan Isra Miraj, pada hari Kamis, 06 Juni 2013 untuk mengunjungi wisata alam telaga Madirda[2], Goa Maria Tawang Mangu[3] dan ditutup dengan belanja souvenir kerajinan kulit di Magetan. Komentarku cukup singkat, “ndaftar”.
Di luar dugaan, respon sahabat-sahabat petualang jalanan dalam kelompok SPTC tersebut  sangat positif. Mereka terus mengontak dan memantapkan rencana. Padahal, aku selama ini belum pernah bertemu dengan komunitas ini. Hanya satu orang yang pernah kukenal dan yang sekaligus menjadi dedengkotnya SPTC, yaitu Padmo. Ia pernah menjadi adik tingkatku dalam rimba belantara dunia kiri[4], sebuah dunia yang menawarkan setapak dan selembar peta untuk digumuli agar berjumpa dengan Sangakan Paraning Dumadi.
Pagi telah menyingkapkan selubung malam. Rentan raga ingin berlanjut dalam nyaman buaian selimut tebal. Cuaca akhir-akhir ini, sangat sulit untuk ditebak. Sebagai anak petani, warisan “ilmu titen” dari para leluhurku telah kehilangan kesaktiannya. Bulan Juni yang seharusnya mulai diwarnai dengan kekeringan, tanah yang mulai retak dan menganga, saat ini malah dipenuhi dengan genangan. Hujan tiap hari dengan waktu sesukanya, kadang pagi, tengah malam, siang-siang, atau sore kalau tidak dini hari. Cuaca yang telah dikoyak oleh global warming, menjadikan segalanya di luar predikisi. Seminggu lebih, kota Solo diselimuti air. Hujan tiap hari mengakibatkan udara menjadi lembab dan mengundang orang untuk bermanja di atas pembaringan, sembunyi di bawah kenyamanan kain tebal.
Dalam situasi yang seperti itu, HP-ku bergetar, bukan karena alarm tetapi SMS dari Padmo, “Bangun-bangun. Mandi. Sarapan. Manasi mesin”. Kulirik jam dinding yang dengan pasti telah melajukan detiknya tepat pukul 06.46. “Serius juga ini anak-anak”, gumanku, lalu aku bergegas melompat dari pembaringan. Isteriku telah lama bangun dan sudah berburu kebutuhan pokok di pasar tradisional. Segera kulucuti kemalasanku dan kusegarkan ragaku untuk menemukan gairah hidup. Jam 07.00 aku telah siap dan tidak berapa lama isteriku tiba. Kami cepat-cepat sarapan. Kemudian menyiapkan perbekalan ala kadarnya. Dan tepat pukul 07.30 kututup pintu juga pagar pondok sederhanaku untuk meluncur menuju base camp SPTC, yaitu gereja Santo Paulus Kleco, Surakarta.
Waktu tempuh tidaklah lama, hanya sekitar 15 menit dari rumah menuju base camp. Tiba di sana telah menunggu sahabat-sahabat petualang jalanan. Sebagai orang baru, aku dan isteriku diperkenalkan oleh Padmo kepada sahabat-sahabat lainnya. Wajah-senyum ramah yang dipertegas dengan sapaan dan menyusul canda tawa semua merupakan sunguhan persaudaraan. Pukul 08.00 rencana awal untuk memulai “putar jari” terpaksa diundur demi menunggu personel lainnya.
Menunggu yang biasanya dipenuhi dengan gerutu dan omelan tidak kujumpai dalam komunitas ini. Hingga pada akhirnya, kami lengkap menjadi sebelas joki dan tiga penumpang[5]. Kulirik arlojiku, tepat pukul 08.28 kami melambungkan doa-syukur atas kesehatan dan waktu juga kesempatan untuk membangun dan merajut persaudaran dan persahabatan melalui kegiatan touring. Tidak lupa kami memohon terang, perlindungan dan bimbingan dari Tuhan Allah sang pencipta agar peziarahan ini selamat dan sampai pada tujuan sejatinya.
Bersamaan waktu yang mencatatkan diri pada titik 08.30, teriakan “Santo Paulus, Doakan kami”, menandai perziarahan ini resmi dimulai.
Sebagai pemula dari kumpulan manusia-manusia yang suka “ngaspal” ini, aku mengalami banyak persoalan. Dari ketidaktahuan akan kode, tanda, simbol dan etika ber-touring hingga masalah speed, kecepatan dalam berkendara[6]. Sekitar 10 menit meniggalkan base camp aku telah melakukan pelanggaran pertama, secara spontan kulajukan sepeda motorku meninggalkan bus dari sisi kiri. Padahal anggota tidak boleh bertindak tanpa rekomendasi dari leader. Akibat dari pelanggaran itu aku melaju kencang dan meninggalkan rombongan. Pelanggaran kedua yang kucatat dalam memoriku adalah sikap waspada yang sudah menjadi habitku, kebiasaan mengambil jarak dengan pengguna jalan yang posisinya ada di depan, hal ini memungkinkan adanya “penyusup”. Akibatnya adalah rombongan menjadi terpecah, tercecer dan ritme berkendaraan pun menjadi labil.
Aku pikir, ternyata aku cepat juga menyesuaikan dengan dunia baru ini. Tidak berapa lama, aku telah mampu mengikuti alur touring. Rombongan SPTC, meliuk menorehkan jejaknya di setiap rute. Sang leader dengan gagah dan sangat bertanggungjawab memimpin dan mengkoordinir rombongan, kode dan tanda selalu dimunculkan agar semua anggota merasa nyaman dalam berkendara dan yang lebih penting adalah keselamatan. Peran leader menjadi lebih ringan dengan adanya sweeper dan pembuka jalan. Bila ada anggota yang tercecer maka, sweeper akan menjemput, mengawal serta memandunya hingga dapat kembali ke posisi awal dalam rombongan.
Aku yakin kalau taganggungjawab  dari para pembuka jalan adalah beresikokan nyawa. Mereka melaju kencang dan mencoba memberi tanda pengendara lain untuk lebih merapat guna memberi ruang agar rombongan bisa berjalan lancar. Kadang aku melihat bahwa resiko yang diambil tidak tanggung-tanggung, mereka mempertaruhkan dirinya untuk menghadang pengendara dari arah berlawanan, tujuannya hanya satu agar pengendara lain berkenan sedikit meminggirkan tunggangannya. Bila arus lalu lintas yang searah sangat padat, para pembuka jalan inipun tidak ragu-ragu untuk memohon dengan kode agar kami diberi ruang. Kadang aku melihat cara memohonnya agak ekstrim, ada kesan arogan dan kasar. Tetapi kesimpulan itu runtuh berantakan kala aku lihat kode jempol jari diacungkan, yang berarti matur nuwun, trimakasih.
Melaju kencang, mendadak melambat, lebih sering dalam kecepatan stabil merupakan ritme touring ini. Di tengah-tengah situasi yang seperti itu, terbesit dalam benakku sebuah permenungan sederhana. Aku menemukan satu pembelajaran rohani bahwa keselamatan, entah pada situasi kekinian atau di keabadian, hal itu lebih mudah dicapai dengan semangat kebersamaan. Digapai karena tim yang solid, kompak dan nyedulur. Tim ini ditandai dengan adanya daya inisiatif, tindakan spontan, tanggungjawab untuk rekan seperjalanan dan kesemuaya bermuara pada satu titik yaitu keselamatan bersama. Hal itu dipertegas dengan adanya tindakan berani mengambil resiko, tidak peduli keselamatan diri, yang terpenting adalah keselamatan kawan. Kalau dalam setiap tim atau kelompok dan masing-masing anggotanya telah memiliki keutamaan untuk rela berkorban bagi yang lainnya, aku yakin keselamatan itu akan terjadi dengan sendirinya.
Memecah refleksiku, kala aku harus dengan sigap mengerem karena lobang besar telah menyambut rombongan. Lobang-lobang jalanan itu kami temukan setelah melewati pertigaan arah Kemuning dan Tawangmangu. Selepas Karangpandan, jalanan makin meliuk, menukik dan mendongak. Jerit motor tak lagi indah, ada berbagai erangan, ada yang menangis karena dipaksa si joki untuk terus merangkak. Tapi ada pula yang karena kurang ahli. Yang lebih bikin geli adalah suara batuk-batuk. Motorku salah satunya yang dilanda wabah masuk angin, sehingga pembakaran tidak lancar, menjadikan motor harus tersendat-sendat.
Udara dingin mulai menusuk tulang, merasuk dan akhirnya berhasil menyusup dalam sumsum mengakibatkan bulu harus berdiri. Kami menggigil. Hal itu diperparah dengan kabut tebal yang dengan riangnya menggoda kami untuk tidak melaju dalam kecepatan. Hamparan perkampungan yang menawarkan keasrian, kesahajaan, kesederhanaan dan yang terpenting adalah keramahan. Feeling-ku menyakini bahwa telaga sudah dekat. Yang dituju sudah tidak tahan ingin melepas rindu.
Keindahan telaga nampak samar dari kejauhan. Kami mesti memaksa motor kami untuk sedikit off road. Jelas ini bukan medan kami dan tidak cocok untuk tunggangan yang kami miliki. Menyiasati situasi itu, akhirnya kami saling berbagi tenaga dan keahlian. Kami sedikit bermandi lumpur juga peluh karena kami harus mendorong motor-motor yang hanya memutar rodanya tetapi tidak mau beranjak dari tahta barunya. Mungkin ban-ban itu sudah merasa nyaman, setelah berputar di atas panas dan kerasnya aspal, kini mereka bertemu dengan kubangan air, lumpur dan tanah basah, mungkin  itu menyejukkan mereka.   
Tepat pukul 09.40 kami menyandarkan motor tunggangan pada perhentian pertama, Telaga Madirdo. Penat raga terobati dengan keindahan alam karya Tuhan Sang Pencipta.
          Beningnya air telaga yang menunjukkan segala isinya nampak ke permukaan. Ada banyak jenis ikan yang berlomba memamerkan kemolekan serta keahlian tariannya. Hijau lelumutan pun tak mau kalah untuk menujukan lembut sapanya. Seolah tidak air diatasnya, dasar telaga begitu jelasnya. Kejernihan air telaga yang menjanjikan kesegaran segera menggoda kami untuk bercengkeramanya dengannya. Dunia anak kembali memenuhi darah kami. Tanpa menunda waktu, kami berhamburan untuk berenang, berendam dan main air. Dunia anak menjadi dunia kami. Dunia yang hanya memiliki satu warna yaitu keceriaan, kegembiraan dan inilah yang dirindu orang sebagai kebahagiaan.
           Cukup lama kami mendinginkan segenap kegundahan hidup yang selama ini terselubungi oleh berbagai persoalan, permasalah dan kegundahan. Jiwa kami perlahan bertumbuh, berbanding terbalik dengan raga yang mulai menggigil beku. Bergantian kami untuk membersihkan diri, memesan segelas kopi dan sepiring mie rebus yang hanya disediakan oleh satu warung. Tepat pukul 11.00 kami meninggalkan rajutan kisah persaudaraan dalam pelukan hening telaga Madirdo. Rombongan kembali merangkak pelan untuk menemukan serpihan tujuan hidup yang lainnya.
           Menapaki jalanan yang tidak selalu rapi, mulus dan lurus kehati-hatian mutlak kami lakukan. Apa lagi di antara kami ada yang baru dibuai asmara. Kulihat ada ekspresi cinta yang masih ragu-ragu, bahkan belum menemukan cara yang jitu. Kehati-hatian memunculkan ketidakpercaan diri. Yang biasanya ahli menjadi amatiran. Hingga pada akhirnya, satu diantara kami ada yang terpaksa memeluk motornya di selokan. Waktu itu aku tidak melihatnya, karena posisiku ada di belakang sang kepala. Yang kami yakini bahwa ada yang tidak beres bahwa paduan suara knalpot mendadak hilang, berganti kesunyian.
           Perlahan rombongan kembali merapat dan melanjutkan kisah. Akhirnya tepat pukul 11.45 kami tiba di Goa Maria Tawangmangu. Secara pribadi kami masing-masing membuka hati untuk memadu kasih dengan Tuhan yang kami imani. Di sinilah kami masing-masing membuka relung jiwa untuk memahami bahwa diri ini lemah dan tak berdaya. Oleh karenanya, rahmat serta karunia dari Yang Transenden mutlak kami perlukan. Aku pun sungguh bersyukur karena masih ada waktu untuk kembali mengisi relung hati. Kembali memahami hakekat diri sejati yang tidak hanya sekedar raga dan daging, tetapi ada jiwa, ada yang rohani dan itu pun mesti diberi nutrisi berupa keheningan untuk kembali bermesraan dengan Tuhan yang kusembah.
           Setelah kesegaran jiwa kami dapat dari menu kedua peziarahan ini, yaitu nutrisi rohani karena doa, kami pun akan segera berlalu meninggalakan torehan sejarah hidup.
           Pukul 12.45 kami melanjutkan kisah untuk memenuhi dahaga raga, memuaskan jasmani dengan menu spesial pada warung-warung Cemorosewu. Jalanan yang makin meruncing dan menanjak  dengan selimut kabut tebal menemani laju roda tunggangan kami. Dalam hitungan menit kami pun tiba di lokasi yang dituju. Merapat di warung Cemoro sewu pada detak jarum yang  ke 13.00. Di sinilah kami melengkapi proses kebutuhan hidup yang sesungguhnya. Ada pemenuhan kebutuhan jiwa, ada pula pemuasan kebutuhan roh namun tidak ketinggalan juga menguatkan raga yang menopang jiwa roh kami itu.
          Cuaca tidak mendukung rencanan kami untuk mengunjungi keindahan alam Magetan dengan hasil karyanya, kerajinan kulit. Mendadak kabut turun dengan tebalnya menjadikan jarak pandang memendek menjadi skitar lima meter, jarak yang tidak ideal untuk melaju dalam kecepatan. Akhirnya, pukul 14.45 kami melaju turun menuju base camp. Kami memutuskan untuk menunda rencana dan segera kembali ke tempat nyaman kami masng-masing. Saat menghentikan deru paduan suara knalpot, kusempatkan untuk memastikan waktu yang duduk dengan santai pada posisi 15.45. Doa syukur atas keselamatan, waktu untuk berpetualang menemukan kesejatian tujuan hidup, itulah menutup perjalanan ini. Trimakasih sahabat petualang jalanan, semoga waktu akan menghantar kita kembali mengais serpihan makna kehidupan melalui kepulan asap knalpot. Aku rindu untuk “ngaspal” lagi.


[1] SPTC merupakan singkatan dari Saint Paul Touring Community, sebuah komunitas yang beranggotakan anak-anak muda yang suka touring dan pergi ke berbagai daerah dan ziarah ke Goa Maria.
[2] Telaga Mardido berada di lereng barat Gunung Lawu, di Dusun Tlogo, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Dengan ketinggian sekitar 900 mdpl, telaga ini memang terasa sangat sejuk, tenang, indah dan asri. Telaga ini tidak terlalau besar, luas airnya hanya sekitar 1000 m2, terletak pada suatu cekungan datar seluas kira-kira 3000 m2. Di sekeliling telaga adalah perbukitan dengan tumbuh-tumbuhan yang menghijau dan rumah-rumah penduduk desa yang bersahaja.
[3] Tempat ziarah, Gua Maria Sendang Pawitra, di Dusun Sendang, Desa Sepanjang, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar
[4] Aku dan Padmo pernah terdampar di seminari. Kami berdua adalah eks-frater MSF. Kami pernah menyusuri liku rimba menuju imamat. Tetapi kami pada akhirnya lebih memilih jalur dunia nyata, menuju surga melalui banyak karya, sedikit doa. Sedangkan biarawan (imam) menyusuri jalan menuju surga dengan banyak doa, sedikit karya.
[5] Kesebelas joki itu masing-masing mengendari: 1 Byson, 1 Ninja, 1 Versa, 1 Satria F, 1 Jupiter MX, 1 Revo, 1 Vario, sisanya adalah Mega Pro. Sedangkan personil yang terlibat dalam peziarahan ini saya tidak berani menyebut nama, karena saya belum hafal (hehe). Yang jelas wajah-wajah mereka tidak asing. Mereka semua adalah para aktifis gereja (ra pomah tetapi selalu stand by di gereja). Di antara mereka,  ada yang sebagaian adalah alumni dari tempat aku mengais rejeki (SMA St. Yosef Surakarta). Total, kami terdiri dari 12 laki-laki perkasa dan dua bidadari (yang satu adalah isteriku hehe).
[6] Kalau pengin belajar silahkan buka di sini: http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwhitevixion.wordpress.com%2F2011%2F04%2F20%2Ftata-krama-touring%2F&h=bAQFpJzEa&s=1