Minggu, 17 Januari 2016

BELAJAR HIDUP DENGAN BERSEPEDA

BELAJAR HIDUP DENGAN BERSEPEDA
Oleh: Heri
Putaran waktu yang terus melaju membawa aku untuk sejenak tunduk. Kembali menyusuri memori untuk mengenang kisah. Cerita hidup yang sengaja aku ciptakan. Telah lama aku melupakan satu hal yang menjadi sumber bahagiaku, yaitu bersepeda. Sebenarnya, aku tidak bermaksud meninggalkannya, namun keadaanlah yang memaksa. Berawal dari dunia nyaman yang berganti pada kemandirian, menuntunku untuk bisa mengatur banyak hal. Salah satunya adalah menata segala kebutuhan hidup. Walau hanya sepeda ontel, namun itu perlu waktu untuk mendapatkannya. Menabung sedikit demi sedikit, hingga akhirnya di awal 2015, aku bisa memilikinya. Tidak terlalu mahal. Namun, bisa untuk mengurai rindu.
Saat roda waktu meninggalkan tahun 2014 dan memasuki tahun 2015, aku memulai rutinitas yang baru. Selama ini, setiap kali aku pergi kerja selalu menggunakan motor. Semenjak memiliki sepeda ontel kuingin mengganti alat transportasi dengannya. Tidak terasa telah satu tahun aku mengayuh ontel ke tempat kerja. Hingga aku menyakini ada banyak manfaat dan keuntungan dari aktifitas sederhana ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Menyenangkan
Dengan bersepeda waktu tempuh menuju tempat kerja menjadi lebih lambat. Artinya, kesempatan untuk menikmati segala yang dilewati menjadi lebih  lama. Ketika menemukan peristiwa yang menggetarkan hati, dengan sendirinya juga akan lebih lama untuk dirasakan. Karena jiwa lebih diberi ruang untuk menikmati yang ada, tidak buru-buru atau tidak terlalu cepat, maka dengan sendirinya, hati lebih merasa damai. Suasanan hati yang bahagia dan senang berpengaruh positif dalam menjalani rutinitas kerja. Kemungkinan untuk stress juga terminimaliskan. Hidup menjadi lebih nyaman.
2.      Ekonomis
Menuju tempat kerja dengan moda transportasi motor tentu menggunakan bahan bakar. Artinya, membutuhkan pengeluaran. Kudu mbayar. Dengan bersepeda hal itu tidak terjadi. Laju kecepatan sepeda sangat ditentukan oleh tenaga yang diberikan. Dan hitu hanya terjadi kalau dikayuh. Maka, bersepeda tidak perlu memikirkan biaya, tetapi tenaga.
3.      Menyehatkan
Bersepeda merupakan aktifitas olahraga yang dianjurkan karena ada banyak manfaat kesehatan yang akan diperoleh. Aktifitas fisik yang dilakukan lebih dari 15 menit pasti akan membakar lemak. Kalori yang terbakar dengan sendirinya akan memacu tubuh berkeringat. Berkeringat karena olahraga pasti mengeluarkan racun dalam tubuh. Selain itu, bersepeda juga meningkatkan gairah hidup, menyenangkan dan ekonomis. Maka, bisa mengurangi stress. Dengan tiga manfaat yaitu: membakar lemak, ekonomis dan menyenangkan dalam waktu yang bersamaan akan memberi dampak kesehatan yang signifikan. Raga menjadi lebih bugar dan bergairah dalam menjalani hidup dengan segala dinamikanya.
  
4.      Berpihak pada alam
Tidak dapat dipungkiri bahwa bersepeda berarti tidak mengeluarkan gas emisi buang. Maka, dengan sendirinya ikut mengurangi efek rumah kaca. Mengurangi jumlah karbon di udara sebagai polusi berarti ikut menjaga kebersihan udara. Dengan tersedianya oksigen yang layak dihirup, berarti dapat mengurangi sumber penyakit. Bersepeda berarti juga ikut menjaga bumi dari polusi dan secara tidak langsung ikut berperan dalam mengurangi berbagai penyakit akibat dari gas buang yang terhirup oleh manusia.  

5.      Bersolider
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia masih di bawah garis kemiskinan. Artinya masih banyak warga yang hidup secara sederhana. Kendati yang memiliki sepeda motor sudah cukup banyak, namun hal itu masih dinilai sebagai barang mewah. Di sekitar tempatku berada, transportasi sepeda masih banyak dipakai, karena belum mampu untuk membeli yang lebih. Dengan demikian, alat transportasi juga menunjukkan kelas sosial. Bersepeda masih dinilai sebagai kalangan bawah, kalangan sederhana, atau bahasa yang lebih menyakitkan adalah “kalangan miskin”. Bersepeda tidak diinginkan karena identik dengan kemiskinan.
Hal ini tidak dapat disalahkan, karena pola pikir masyarakatnya masih demikian. Masih butuh waktu lama, untuk mengubah pola pikir yang seperti ini. Oleh karena itu, aku dengan sengaja memilih bersepeda, kendati memiliki motor. Oleh teman-teman kerja aku juga sering diolok-olok. Biarlah, itu hak mereka. Bagiku, bersepeda adalah cara mudah untuk bersolider dengan kelas sosial bawah. Aku bisa mengalami bagaimana hidup dengan situasi masyarakat yang masih menilai sesamanya dari “kendaraan yang dipakainya”. Mengalami bagaimana rasanya ketika tidak dihargai dijalanan.
6.      Mengolah emosi untuk menjadi sabar
Menyambung point 5, bahwa bersepeda berarti membangun dan menghayati semangat solidaritas bagi “kaum sederhana”, maka dengan sendirinya juga akan banyak mengalami perlakuan yang tidak mengenakan. Berhadapan dengan situasi dan peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, diri yang dewasa akan mensikapinya secara bijak. Bukan amarah yang tidak jelas. Mengolah guncangan emosi negatif menjadi daya positif. Hati yang dongkol bisa memicu munculnya energi yang besar dan itu bisa disalurkan untuk mengayuh sepeda sehingga lebih bertenaga dan tidak terasa capek.
Selain terbiasa mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, bersepeda juga sangat tergantung pada dirinya. Kecepatan sepeda tidak bisa dibandingkan dengan mesin. Artinya, besarnya tenaga mempengaruhi kecepatan. Menikmati kegiatan bersepeda berarti menikmati ritme perjalanan. Gerak yang konstan merupakan metode yang baik untuk menghantar pada perjumpaan dengan dunia batin. Bersepeda dengan kesadaran menjadi salah satu cara bermeditasi dan itu efektif. Belajar sabar dengan bersepeda. Berarti belajar menjadi bijaksana. Orang yang bijak adalah orang yang paling mudah menemukan kedamaian dan kebahagiaan hidup.

Adapun beberapa pengalaman yang tidak mengenakan itu, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Sudah Keluar Aspal Masih Diumpat
Tidak semua orang yang di jalan tahu etikanya. Maka, ada istilah “yang waspada dan mau mengalahlah yang akan selamat”. Pernah suatu ketika dalam keadaan jalan yang ramai kendaraan, dari belakang ada klakson motor yang diulang-ulang. Terdengar cukup kencang, berarti ngebut. Aku sadar bahwa harus ngalah. Sudah minggir tetapi tetap diklakson kencang. Kuputuskan untuk turun dari aspal, setelah motor yang meng-klakson lewat disamping, tiba-tiba aku diumpat. Cukup kasar. Demi pertimbangan etis, maka aku tidak menuliskannya. Namun umpatan itu masih terngiang-ngiang dan masih menyakitkan. Lebih menyakitkan, karena hal itu terus berulang. Hingga akhirnya, aku terbiasa pula.

2.      Didahului Kemudian Dipotong
Peristiwa yang setiap hari hampir selalu diulang adalah “ketiadaan imajinasi pengendara motor”. Hampir selalu dapat dipastikan ketika ada motor yang mendahului, kemudian dengan segera akan memotong di depanku. Gaya khas pembalap liar. Sepontan pasti aku kalang kabut. Karena daya cengkeram rem sepeda ontel dengan motor pasti berbeda. Kecepatan motor 40 km/jam bagiku cukup lambat, tetapi sepeda ontel dengan kecepatan yang sama itu teramat kencang. Maka daya henti saat direm juga berbeda. Pernah suatu hari aku dipotong dan secara reflek kukencangkan rem, roda berhenti total tetapi masih meluncur. Istilah Jawanya adalah “Ngesrok”. Untungnya tidak jatuh. Awal-awal ngontel, aku sering cukup kencang dengan rata-rata kecepatan 35-40 km/jam. Semenjak sering mengalami peristiwa dipotong dan pontang-panting. Akhirnya kubatasi kecepatan maksimal 30 km/jam. Demi keselamatan.

Pengalaman sederhana ini menegaskan bahwa manusia bisa berkembang melalui pengalaman yang telah termaknai. Bersama sepeda yang kukayuh selama satu tahun telah menghantarku untuk berjumpa dengan banyak hal. Hingga akhirnya aku pun boleh belajar dari padanya. Selanjutnya aku akan lebih membuka hati untuk pengalaman-pengalaman berikutnya. Semoga diri ini semakin menjadi utuh, berkembang menjadi pribadi yang bisa memaknai setiap peristiwa untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Semoga.