Kamis, 22 Desember 2016

catatan perjalanan Sumbing via Banaran

SUMBING VIA BANARAN: JALUR PENDAKIAN TER-SAFETY
Oleh: Heri


Salam Rimba, Salam Petualang, Salam Lestari, Salam Persahabatan. Selamat berjumpa dengan kisah yang berbeda walau pada setapak yang sama. Jaman boleh berubah, namun pengalaman tetaplah personal. Banyak cara mengabadikan peristiwa hidup. Salah satunya adalah dengan merekam peristiwa. Ada banyak metode. Sekarang ini merupakan era digital dan visual. Maka, informasi yang disampaikan pun mengarah pada rekaman video atau film. Berbagi info dengan tulisan mulai ditinggalkan. Minimnya informasi tertulis di internet tentang jalur gunung Sumbing via Banaran inilah yang mengusik hatiku untuk mencoba membagikan sepercik kisah, pengalaman singkat dalam menapakinya.
Dewasa ini, dunia pendakian bukan sesuatu yang asing. Bahkan cenderung udah biasa. Pakai banget lagi. Kendati demikian, yang namanya hoby tetaplah memanggil untuk dituruti. Jalur-jalur resmi pendakian selalu dijejali pendaki beserta sisa-sisa pendakiannya. Maka, ketika ada informasi mengenai jalur baru, saya selalu tergelitik untuk mencobanya. Ada tantangan di sana. Namun yang paling utama adalah sepinya jalur. Kesunyian gunung, selalu mendulang rindu dalam kalbu. Entah mengapa saya selalu rindu bercumbu dengan kesunyian gunung. Mungkin ada damai di sana atau bisa lebih dari pada itu. Mari kita simak, ….

 Sekilas tentang  Gunung Sumbing
Gunung sumbing sering dipahami sebagai salah satu gunung kembar. Sedangkan kembarannya adalah gunung Sindoro. Gunung Sumbing terletak di 4 kabupaten Temanggung- Wonosobo-Purworejo-Magelang Jawa Tengah. Salah satu daya tarik dari gunung ini adalah keindahan kawahnya. Gunung Sumbing juga terkenal sebagai gunung tertinggi ke-2 di Jawa Tengah setelah gunung Slamet dengan ketinggian 3.371 mdpl. Gunung Sumbing menempati urutan gunung tertinggi ke-3 di Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet.
Gunung Sumbing merupakan salah satu gunung api yang terdapat di Pulau Jawa, Indonesia. Bersama-sama dengan Gunung Sindoro, Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar, seperti Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Celah antara gunung ini dan Gunung Sindoro dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan kota Temanggung dan kota Wonosobo. Jalan ini biasa dijuluki sebagai "Kledung Pass”.
Jika ada pendaki yang menyebut istilah “Expedisi triple S” Gunung Sumbing termasuk didalamnya, melengkapi gunung dengan awalah huruf “S” lainnya, yaitu Sindoro, Sumbing dan Slamet.
Gunung sumbing memiliki beberapa puncak, yaitu puncak Buntu, puncak Kaliangkrik (Sejati), puncak Kawah, dan puncak tertingginya adalah puncak Rajawali. Untuk menuju puncak Sumbing sebenarnya ada banyak jalur, yakni via Garung, via Cepit, via Bawongso, via Mangli Kaliangkrik, dan via Butuh Kaliangkrik, via Lamuk, via Sipetung dan yang terbaru adalah via Banaran Temanggung.
Gunung Sumbing via Banaran
Gunung sumbing via Banaran, kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung belumlah sebagai jalur resmi. Ijin dari TNGS masih dalam proses. Jalur ini baru dibuka pada bulan Agustus 2016. Maka tidak mengherankan bila Sumbing via Banaran ini untuk sebagian orang agak awam bahkan asing dan tidak kenal atau belum tahu.
Kendati jalurnya belum resmi, namun tim pengelola patut diacungi jempol. Menjelang pendakian ramai, pasti tim SAR setempat akan siap sedia di Pos 2 dan 3. Alasan yang disampaikan adalah demi menghindari hal-hal yang tidak baik. Dengan kesiapan mereka di pos-pos tersebut, maka ketika ada pendaki yang mengalami situasi tidak baik, akan sangat cepat teratasi atau minimal segera dapat diatasi.
Pengalaman saya, pada saat mendaki jalur ini dan memang ada pendaki yang dievakuasi. Dengan sigap pihak pengelola segera cepat turun tangan, bahu membahu untuk segera mengevakuasi. Sistem estafet mereka terapkan sehingga masing-masing penjaga pos bekerja dan tidak akan menghabiskan tenaga tim pengelola. Selain kesiapan tim SAR setempat, sikap ramah para penduduk menjadi daya tarik yang luar biasa. Keramahan itu juga didukung dengan suguhan segelas teh panas saat datang di base camp dan segelas teh panas saat turun gunung. Oleh karena itu, saya berani menyimpulkan bahwa jalur ini merupakan jalur ter-safety
Jalur pendakian Sumbing via Banaran dapat ditempuh dengan waktu rata-rata 7 sampai 8 jam perjalanan untuk sampai di puncak Kawah / Segara Banjaran. Dari Segara Banjaran nanti bisa ke puncak jalur Sejati/ puncak Buntu/ puncak tertinggi Rajawali. Perjalanan dari Segara Banjaran (sabana yang berada di kawasan kawah Sumbing) untuk mencapai masing-masing  puncak membutuhkan waktu rata-rata 1 jam.

Transportasi menuju Basecamp Gunung Sumbing via Banaran
Saya berangkat berdua (dengan isteri) dari Solo Jawa Tengah. Kami memulai perjalanan dari Solo menjelang sore, sekitar pukul 15.30. Kami menggunakan  sepeda motor. Sebelum memulai pendakian, saya menyempatkan diri untuk searching  peta perjalanan. Tetapi kenyataan jalan tidak sesederhana yang ditampilkan oleh google map. Kami sempat tersesat, kehilangan arah. Bertanya pun banyak orang yang tidak tahu. Namun, kami percaya bahwa desa Banaran, Tembarak, Temanggung itu ada. Akhirnya, kami dipandu oleh pengelola base camp hingga kami sampai di base camp Banaran sekitar pukul 19.30.
Sedikit informasi, untuk menuju base camp Banaran Temanggung yang dari timur (Secang sebagai titik pertemuan dari arah Semarang/utara dan dari Yogjakarta/selatan), sebelum alun-alun Temanggung  nanti ada perempatan, ambil kiri (ada bank BCA). Lebih mudah bila mencari jalan Pahlawan. Ikuti jalan Pahlawan sampai menemukan Makam Pahlawan Temanggung, berarti sebelah kiri jalan. Dari makam pahlawan ini, lurus sekitar 40-50 meter, akan bertemu dengan pertigaan yang sudah ada papan penunjuk jalan arah base camp Banaran.  Tetapi jangan tertipu, di plang penunjuk jalan tersebut tertulis 3 km. Tetapi menurut spidometer motorku sampai 6 km, barulah kami tiba di base camp Banaran.
Kalau masih bingung silahkan menghubungi nomor pengelola, yaitu 081226469505
Atau ikuti IG @sumbingeastroute

Simaksi pendakian Gunung Sumbing Banaran
Untuk simaksi pendakian mudah dan terkoordinir dengan baik. Termasuk tarif ojek juga melalui pengelola. Dengan demikian pendaki diuntungkan karena tidak usah menawar atau nego dengan tukang ojek. Semua telah dikelola oleh base camp Banaran
·         Tiket pendakian = Rp. 10.000/orang 
·         Parkir sepeda motor = Rp. 5.000/orang 
·         Ojek bascamp – Pos 0 = Rp. 15.000/orang
·         NB: tarif ini tidak bersifat tetap. Ada kemungkinan akan mengalami perubahan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Ringkasan waktu Perjalanan
1.      Base camp – Pos 0 =  jalan kaki 1,5 jam / ojek 15 menit (jarak tempuh 2 km)
2.      Pos 0 – Pos 1 = 1-1.5 jam (jarak tempuh  1,5 km)
3.      Pos 1 – Pos 2 = 45 menit – 1 jam (jarak tempuh  687 m)
4.      Pos 2 – Pos 3 = 45 menit – 1 jam (jarak tempuh 592 m)
5.      Pos 3 – Pos 4 = 45 menit – 1 jam (jarak tempuh 627 m)
6.      Pos 4 – Segara Banjaran = 1,5 – 2 jam (jarak tempuh 2, 1 km)
7.      Segara Banjaran – Puncak = 1 jam
8.      NB: Sumber air ada di atas Pos 4 (jarak tempuh Pos 4-Mata Air sekitar 400 m)


Sekelumit Kisah Pendakian Kami (Aku dan Isteriku)
            Sebuat saja saya adalah Jimanto dan isteriku adalah Regina Nunuk. Telah agak lama kami tidak melakukan pendakian bersama, pendakian hanya berdua. Kesibukan kerja menjadi kan kami sering mengalami kesulitan menetukan waktu agar bisa bercengkerama dengan alam. Hingga pada akhirnya, kami membuat agenda guna mengisi libur nasional 2 hari berturut-turut untuk mendaki gunung Sumbing. Kami memilih jalur baru, Sumbing via Banaran. Biar ada tantangan dan rekreasi-petualangan kian terasa.
            Sabtu-Senin, 10-12 Desember 2016, kami akan membuka diri dalam pelukan damai gunung Sumbing. Usai bekerja, kami masing-masing pulang ke rumah. Segala persiapan telah saya packing Jumat malam. Berharap, Sabtu usai kerja langsung bisa tancap. Sesampainya di rumah, sejenak istirahat, makan siang, kemas-kemas. Tepat pukul 15.30 kami pun berangkat. Selamat datang petualangan. Mari nikmati nga-penture dengan cara masing-masing.
Meliuk motor kesayangan di jalanan. Kadang lambat, kadang cepat, kadang juga biasa-biasa. Sering kali berhenti untuk mengais informasi, agar perjalanan tepat sasaran dan tidak salah tempat. Ketika tersesat dan salah jalan, agap saja sebagai hiburan. Rasanya tidak nyaman bila petualangan hanya lancar-lancar saja. Tersesat dalam ketidaktahuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari petualangan itu sendiri.
      Hingga kami, tiba di base camp Banaran tepat pukul 19.30. Saatnya istirahat. Sebentar lagi akan berganti medan petualangan, yaitu jelajah setapak gunung dan hutan.


a)      Basecamp Menuju Pos 0
Kami memulai pendakian sekitar pukul 21.15. Setelah bercengkerama dengan penjaga b.camp yang super ramah,  kami memutuskan untuk mengalami sendiri apa yang mereka kisahkan.  Menuju Pos 0 kami menggunakan jasa ojek agar mempersingkat waktu juga mengirit tenaga. Lagian sepanjang hari kami memang belum beritirahat. Maka, tenaga harus dihemat. Selain itu, kami juga sadar bahwa kami telah lama tidak mendaki.
Medan menuju Pos 0 ini lumayan menguji adrenalin. Jalanya masih berupa bebatuan dan nanjak melewati perkebunan warga. Untungnya, kami jalan malam sehingga sensasi kengerian lumayan terkurangi. Jarak tempuh hanya sekitar 2 km, misalkan ditempuh dengan jalan kaki bisa sampe 1,5 – 2 jam. Sekitar 15 menit, kami pun tiba di Pos 0.
Pos 0 berupa tanah datar yang difungsikan untuk menumpuk kompos. Karena di pos ini, merupakan ujung jalan yang bisa dilewati oleh mobil barang. Sehingga di pos ini sangat ramai, karena warga banyak yang berlalu lalang untuk mengambil kompos sebagai pupuk. Di pos ini juga, view nya sudah sangat baik. Untuk penyemangat saat mau nanjak dan obat lelah saat turun.
Tepat pukul 21.30, kami memulia pendakian. Kami mengawali dengan berdoa. Semoga Tuhan menyertai dan melindungi sehingga pendakian akan berjalan dengan lancar dan aman.


b)      Pos 0 Menuju Pos 1 (Seklenteng)
Malam kian merangkak. Ditemani semilirnya angin gunung yang menusuk tulang. Di langit temaram sinar rembulan berbalut dengan cahaya bintang yang malu-malu terus merayu untuk terus melangkah. Namun, tenaga yang renta menjadikan kami terus terengah dan makin terengah.
Tak henti-hentinya kami, berharap agar setapak bukan kian menanjak. Namun yang ada adalah tanjakan kian tak berkesudahan. Saat ada sedikit medan datar, kami pun beristirahat. Jalur ini seolah-olah tidak berujung. Plang penunjuk Pos 1, begitu memenuhi relung imajinasi. Kapan kami bertemu dengan plakat itu. Hingga sekitar pukul 23.00, kami tiba. Sejenak beristirahat. Kami bertemu dengan dua pendaki berasal dari Bekasi yang sedang beristirahat, tidur dalam tenda.
Jalur menuju Pos 1 ini, selepas lading penduduk kamki langsung memasuki hutan. Jalurnya setapak, yang cukup bersahabat, ada landainya dan juga ada tanjakan yang cukup tinggi. Perjalanan  dari Pos 0 sampai di Pos 1 itu sekitar 1-1.5 jam. Di pos 1 ini terdapat sebuah bangunan besar. Di sini terdapat makam yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Banyak orang dating untuk berdoa di sini. Di pos ini, juga terdapat sumber air. Kendati tidak banyak tetapi lumayan untuk membantu persediaan.


c)      Pos 1(Seklenteng) menuju Pos 2 (Siwel-Iwel)
Tidak berapa lama kami beristirahat, kami langsung meneruskan langkah. Kami berharap bisa memperoleh tempat di Pos 3. Sepanjang perjalanan kami tidak bertemu dengan pendaki lain. Pelan-pelan kami terus melangkah. Mata kian berat diserang kantuk dahsyat. Tubuh kian gontai, namun kami tersu memaksa untuk melaju.
Jalur untuk menuju Pos 2 sebenarnya tidak jauh beda waktu menuju Pos 1. Masih didominasi hutan mandingan. Hutan yang cukup rapat, padat. Keadaan ini cukup menguntungkan karena angin tidak akan langsung mengenai tubuh. Sehingga lebih terasa hangat. Kami sesekali beristirahat untuk mengatur nafas. Hingga kami melihat cahaya dalam tenda. Kami pun yakin kalau itu adalah Pos 2. Benarlah keyakinan kami itu. Kami melihat ada 2 tenda, namun semuanya lelap. Ketika kami menyapa tidak ada jawaban. Kami hanya istirahat sebentar, target kami adalah Pos 3.
Sebenarnya, jarak antara pos 1 ke pos 2 tidak begitu. Bila tenaga masih prima mungkin tidak lebih dari 30 menit. Tetapi kami menempuhnya sekitar 45 menit. Di Pos 2 ini terdapat pohon besar dan juga cukup luas bisa menampung sekitar 10 tenda. Tempatnya cukup teduh, terlindung dari sinar matahari, karena pepohonan hutan yang sangat padat.


d)     Pos 2 (Siwel-Iwel) Menuju Pos 3 (Punthuk Barah)
Tenaga yang kian koyak tak mampu menopang gairah kami. Tenaga yang tersisa terus kami genjot agar segera sampai di pos 3. Namun, jalur kian nanjak hebat. Bahkan bisa dikatakan jalur tanpa ada bonusnya. Nafas tua kami makin tersengal. Namun kami memiliki pengalaman untuk tersu bertahan dan berjuang. Hingga kami melihat cahaya-cahaya dalam tenda seperti perkampungan. Berarti pos 3 sudah dekat. Kami makin bersemangat. Namun semangat kami harus kandas berujung kecewa. Tidak ada tempat untuk mendirikan tenda. Semua telah penuh.
Rencana harus diubah. Yang penting lanjut lagi. Saat ketemu area yang bisa untuk mendirikan tenda di situlah kita akan bermalam. Karena menurut info, Pos 4 juga telah penuh, tanpa sisa untuk mendirikan tenda.
Di Pos 3 ini, lahan cukup luas bisa menampung hingga 12 tenda. Suasana cukup nyaman, terhindar dari angiin gunung. Udara terasa hangat karena padatnya hutan pepohonan. Di pos ini juga terdapat tempat istirahat. Pos ini juga merupaka pertemuan jalur Lamuk dan Banaran.


e)      Pos 3 (Punthuk Barah) Menuju Pos 4 (Watu Ondo)
Dalam suasana hati yang kecewa, kami terus melangkah dengan membesarkan harapan segera mendapat tempat yang datar untuk mendirikan tenda. Kami dikuti oleh satu rombongan yang juga mengalami situasi yang sama, tidak mendapat tempat. Awalnya mereka berdesakan di sela-sela tenda. Saat mendengar ada pendaki yang lanjut, mereka juga lanjut. Akhirnya kami bersama-sama berjalan. Namun, kami tidak bisa mengingkari kalau tenaga kami memang sudah sangat terkuras. Akhirnya mereka pun meninggalkan kami. Monggo aja, masih muda.

Menuju Pos 4 jalur semakin menjadi-jadi tidak ada bonusnya. Jalur kian lama kian nanjak terus, dan jalur agak sedikit licin. Selain itu juga penuh dengan patahan ranting-ranting kering yang lapuk dan mungkin ada yang tajam. Maka harus ekstra hati-hati. Sepanjang jalur, mata kami nanar untuk mencari tempat yang bisa mendirikan tenda. Namun, keinginan kami hanyalah keinginan belaka. Hingga kami mendengar sayup-sayup suara riuh pendaki. Berarti pos 4 sudah dekat.
Dari pada kecewa sampai pos 4 tidak dapat tempat mending berhenti, berpikir. Kemudian saya memutuskan untuk membuka lahan guna mendirikan 1 tenda. Lalu dengan segera tanpa menunda waktu segera kuratakan tanah dengan golok kapak yang serba guna. Kami tiba di area ini sekitar pukul 01.30. Lalu kamipun segera mendirikan tenda. Membikin minuman hangat dan istirahat.


f)       Pos 4 (Watu Ondo) Menuju Segara Banjaran
Pagi menjelang, udara begitu segarnya. Terlihat samar-samar dari balik pepohonan pemandangan yang memanjakan mata. Segera kami pun bergegas untuk membuat sarapat. Target hari ini, segera bisa mencapai puncak. Karena musim sulit ditebak. Cuaca tidak dapat diprediksi. Mumpung alam member tanda kalau akan cerah dan bersahabat. Semoga kami, bisa menikmati keindahan Sumbing dengan cuaca yang bersahabat.

Hanya 10 menit kami telah tiba di kawasan Watu Ondho. Sebuah medan yang lumayan menantang terutama untuk yang trauma ketinggian. Isterku pun sempat menyerah dan mau balik. Untung banyak pendaki yang mensport member dukungan untuk terus melewati medan watu ondho ini.

Tantangan berat bagi yang memiliki fobia telah terlewati. Kami pun tiba di pos 4, yaitu pos Watu Ondo. Di pos 4 sangat luas bisa menampung 20 tenda. Banyak pendaki yang mengidolakan untuk bisa camp di pos 4 ini, karena dari sini sunrise sudah dapat dinikmati. Namun, di pos ini rawan badai karena tempatnya terbuka.
tantangan watu ondho

Selepas pos 4 kami melihat papan penunjuk arah menuju mata air. Untuk sumber air kalau musim hujan lancar, tapi kalo kemarau kadang kering. Karena sumber airnya itu dari sungai.

Pelan-pelan kami terus melangkah. Selepas pos 4, medan didominasi oleh sabana. Padang rumput yang luas bahkan amatsangat luas. Tanjakan juga tidak semengerikan di pos-pos sebelumnya. Medan terbuka, maka misalkan ada badai amat sangat rawan. Mata selalu dimanjakan oleh keindahan barisan menghijau. Hamparan tebing-tebing yang berpadu dengan hijaunya sabana yang teramat luas. Amazing. Waktu tempuh untuk menuju sabana kawah Sumbing, dari pos 4 untuk menuju pos Segara Banjaran skitar 1,5-2 jam.


g)      Segara Banjaran Menuju Puncak
Setelah tiba di Segara Banjaran, kami cukup lama menikmatinya.ada imajinasi yang muncul ketika ada dalam suasana alam yang baru. Sebuah fantasi tentang jaman purbakala. Asik aja. Menurut informasi dari Segara Banjaran bisa menuju 3 puncak sekaligus. Kalo ke kiri nanti ke puncak Sejati, kalo ke kanan menuju puncak Buntu Garung, kalo lurus nanti menuju puncak tertinggi Rajawali. 

Setelah cukup menikmati imajinasi yang lahir dari suasana yang fantastis ini, kami meneruskan langkah. Kami langsung menuju kawah. Kami menyempatkan pergi ke makam untuk berziarah, berdoa sebentar kemudian meneruskan langkah. Kabut dating begitu tebal, lalu sempat hujan rintik-rintik. Segera kami pun memakai mantol. Pada saat seperti ini, mental isteriku sedang diuji. Ia hamper menyerah. Berhenti cukup di kawah. Lalu akupun mengajaknya untuk langsung turun. Tidak ada kata berpisah. Satu berhenti yang lain juga. Apa lagi kami, hanya berdua.

Tiba-tiba ia mengubah keputusan, ia mau menemani ke puncak Rajawali. Ritme pendakian pun aku ubah. Dengan sangat santai. Yang penting isteriku mampu menikmati petualangan ini. Mampu mengatasi segala kelemahannya. Hingga akhirnya kami, tepat pukul 11.30, kami tiba di puncak tertinggi Sumbing.

Untuk sementara, kami menikmati keindahan alam dari puncak Rajawali ini. Sungguh kami bersyukur atas kesempatan bisa menikmati keindahan karya Tuhan dari ketinggian Sumbing.
h)     Saatnya Turun
Tepat pukul 12.00 kami turun dari puncak. Sepanjang perjalanan kami disuguh keindahan alam dengan segala dinamikanya. Kadang kabut turun begitu pekat sampai tidak melihat apa-apa. Setelah itu alam terbuka,kami dihadapkan pada bentangan padang rumput menghijau. Keren. Hinngga tepat pukul 14.30, kami tiba di tenda. Sebelumnya kami sempatkan diri untuk mengambil air, sebagai setok dan saatnya membuat menu special untuk makan besar. Makan enak.

Menemukan Makna dari Sebuah Perjalanan

Setiap peristiwa pasti menorehkan makna. Melalui setapak Sumbing via Banaran, kami, khususnya hidupku beserta isteriku semakin dikuatkan dalam mengikatkan hati. Melalui perjalanan, kami semakin dibuka untuk semakin mengerti diri kami masing-masing. Sehingga pada akhirnya, kami makin bisa saling menerima, memberi dan mengisi. Semoga dengan petualangan ini, cinta kami makin kokoh menyatu untuk saling menggiring hidup yang penuh suka cita, penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Terimakasih Sumbing, terimakasi untuk siapapun yang kami jumpai, terima kasih Tuhan atas segala berkat perlindungaMu. Semoga kami, bisa mengulang petualangan seperti ini lagi. Amin.





Minggu, 16 Oktober 2016

COUPLE RIDER: JELAJAH JATIM

COUPLE RIDER:
JELAJAH JATIM
Oleh: Heri
isteriku yg memotret, tu kliatan bayangannya
Pada Mulanya hanyalah Ide untuk Mensyukuri Hidup dengan Bikepacker
Setiap manusia memiliki kebebasan dalam mengukir sejarah hidupnya. Sebagai pasangan suami-isteri, aku pun berjuang untuk menciptakan warna pelangi dalam kehidupan rumah-tanggaku. Tidak setiap warna itu indah, tetapi rangkaian warna yang dikemas harmoni itulah keindahannya. Dengan demikian semakin berani menciptakan warna maka, semakin kaya pula harmoni yang akan tercipta.
Salah satu kegiatan yang sesekali kami lakukan adalah jelajah ke tempat-tempat yang belum pernah kami datangi. Eksplorasi, kata banyak orang. Sedangkan kami ingin hadir dan menjadi bagian dari hukum alam, yaitu bersinergi, saling mengisi. Sebagai orang yang bekerja mapan di satu tempat, kadang begitu rindu untuk menginjakkan kaki di daerah yang belum pernah kami datangi. Namun, keterbatasan waktu menjadikan kami jarang untuk bisa menggapai itu.
Akhir-akhir ini, banyak manusia yang mencoba me-refresh hidupnya dengan cara yang beda. Mencoba menjadi diri yang tidak pada umumnya. Namun, kebanyakan tetap mensyaratkan untuk mengalami perjalanan. Mengalami perpindahan keadaan. Menjalani sesuatu yang tidak seperti biasanya. Inti dari rekreasi adalah mengalami suasana, keadaan, tempat, situasi dan perjumpaan di luar yang rutin. Rekreasi hanyalah soal mengalami yang beda.
salah satu sudut jln, JLS Malang
Maka, munculah berbagai definisi tentang kegiatan-kegiatan yang di luar kebiasaan, terutama yang mesti dilakukan di tempat atau daerah lain. Seperti backpacker, bikepacker, traveler dan turis.
Agustinus Wibowo dalam bukunya, “Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan” mencoba membedah beda antara traveler dan turis.
“Katanya, turis itu pasti menginap di hotel mahal sedangkan traveler di rumah penduduk lokal. Turis bawa koper, traveler bawa ransel. Turis naik pesawat, traveler jalan darat. Turis ikut tur terima jadi, traveler berpetualang sendiri. Turis suka manja, traveler doyan derita. Turis banyak duit, traveler pada pelit. Turis bawa buku panduan, traveler mengintil angin. Turis selalu bilang, I am traveler, si traveler bilang, Who care? Turis adalah traveler amatir, traveler itu turis professional. Turis selalu berdebat beda antara turis dan traveler, sementara si traveler cuma tertawa. Begawan traveler (atau turis?) Paul Theroux bilang, turis tak ingat tempat mana yang sudah dikunjungi, traveler malah tak tahu ke mana mau pergi”[i].
Sedangkan yang ingin saya bagikan hanyalah pengalaman sederhana. Bukan sesuatu yang hebat. Apakah kami termasuk backpacker, bikepacker, traveler atau turis, silahkan pembaca untuk menilainya.
Tanggal 09 Juli adalah hari ulang tahun perkawinan. Hampir empat tahun, kami telah membangun bahtera rumah tangga dengan segala dinamikanya. Untuk merayakan perjuangan kami dalam usaha menyatukan hati, jiwa, pikiran dan hidup itulah kami berpetualang, menjelajah atau hanya sekedar jalan-jalan. Kali ini, kami ingin mengenal lebih dekat daerah-daerah pesisir selatan-timur Jawa, khususnya yang berada di daerah Jatim.
Sebut saja saya adalah Heri Jimanto dan isteri saya adalah Regina Nunuk. Biar agak sedikit keren, kami akan menyebut diri sebagai couple-adventure, hehe. Kata adventure mau menegaskan bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah memasuki daerah, situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah kami datangi.
Hari I, Minggu 03 Juli 2016: Menghentikan Konsep
Naungan kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan Solo. Sengaja kami memilih rute perjalanan dari sisi selatan, yaitu Solo – Wonogiri – Ponorogo – Trenggalek – Tulungagung – Blitar – Malang – Lumajang – Jember – Banyuwangi – Situbondo – Probolinggo – Pasuruan – Mojokerto – Jombang – Kediri – Ngawi – Sragen - Solo. Minggu, 03 Juli 2016, tepat pukul 05.30, kami memulai kisah ini. Target hari pertama ini, kami akan bermalam di Pantai Prigi, Trenggalek.
menikmati keajaiban karya Tuhan

Armada yang kami naiki hanya sepeda motor. Oleh karenanya, persiapan dalam banyak hal mutlak diperlukan. Motor telah kami percayakan kepada bengkel untuk perjalanan jarak jauh, dengan medan yang cukup bervariasi, ada tanjakan, turunan, tikungan, jalan mulus namun juga ada jalanan berbatu. Bengkel langganan tentu tahu yang kami maksudkan.
Fisik dan mental juga kami siapkan. Untuk fisik, satu minggu sebelum perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mendaki gunung Merbabu. Persiapan mental, kami mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait medan dan juga tempat yang akan kami kunjungi.  Untuk perbekalan, kami pun menyiapkan banyak hal, ada perlengkapan memasak, tenda, perlengkapan mandi, baju ganti, kotak P3K dan logistik.
Perhentian pertama adalah kota Ponorogo. Kota ini, seumur hidup baru kami lewati. Kota yang tidak begitu jauh dari Solo. Namun, kami belum pernah berkunjung. Membuka hati untuk menerima segala kekayaaan tradisi dan kebiasaan kota ini menjadi sebuah kunci kenyamanan. Segala idialisme harus dihentikan sementara. Terbuka untuk belajar. Tepat pukul 8.15, kami telah masuk kota ini. Kami pun memutuskan untuk istirahat sejenak, menikmati kuliner yang ada (karena masih masa puasa, banyak warung yang tutup).
Setelah badan terasa segar, perut kenyang, bahan bakar kendaraan juga telah terisi, tepat pukul 09.00, kami pun melanjutkan kisah untuk menuju Trenggalek. Tujuan kami, adalah wisata pantai Trenggalek. Menyusuri jalanan yang baru pertama kami lewati, ada berbagai pergulatan rasa. Ada ketakutan, was-was, khawatir, ragu-ragu yang kesemuanya berpadu dengan panorama alam yang begitu mengasikkan. Hamparan sawah berpadu harmoni dengan barisan perbukitan yang menghijau permai. Motor kami, meliuk menari bahagia seperti penunggangnya.
Jam 11.00, kami pun singgah di ukiran alam pada Gua Lawa, Trenggalek. Sejenak terpesona dengan guratan karya alam. Gua alami yang cukup besar dan penjang. Setelah terpuaskan, kami pun meneruskan kisah menuju hutan mangrove Cengkrong, Trenggalek. Sebenarnya perut sudah terasa lapar, namun tidak ada satu pun warung yang buka. Mungkin perda di sini yang menjadikan demikian.
ini dlm gua. asik kn.

Perjalanan yang mengasikkan, dengan liukan jalan dan hijau perbukitan menjadi suguhannya. Hingga tidak terasa, sekitar pukul 13.30, kami telah tiba. Kami pun berkeliling menikmati pesona hijau hutan bakau dan segarnya udara pantai. Warung juga belum ditemukan. Sementara menahan lapar. Setelah puas dengan panorama hutan mangrove, kami pun pindah ke pantai Cengkrong. Di sini terlihat banyak warung yang masih belum dibenahi. Tampak warung-warung berserakan, rusak parah. Menurut info ini akibat dari gelombang pasang yang menggila. Kami pun menghampiri, satu-satunya warung yang buka. Dia bercerita, “ini semua karena perda, takut digrebek dan disita satpol PP”. Warung pun hanya menyediakan menu sederhana. “Tidak apa lah, yang penting makan”, pikirku.
hutan magrove, cengkrong, trenggalek

Ditemani dengan hembusan angin laut dan diiringi harmoni deburan ombak, di bawah pohon nan rindang kami menikmati menu sederhana, namun terasa sangat-sangat istimewa dan nikmat. Niat hati malam ini, kami akan berteduh di bawah langit, berharap ada taburan bintang yang menghiasi remang cakrawala. Bertenda di bibir pantai Prigi, Trenggalek. Maka, kami sempatkan untuk berbelanja guna persiapan memasak. Sebelum sampai di pantai Prigi, kami juga meluangkan waktu untuk mengunjungi beberapa pantai di Trenggalek, ada pantai Asmara dan pantai Pasir Putih. Semuanya masih berdekatan dengan pantai Prigi.
Senja telah datang, kami juga telah selesai mendirikan hotel yaitu tenda pinjaman, yang telah beberapa kali menaungi petualangan kami. Malam hampir menjelang, kami pun bergegas untuk membersihkan diri. Istirahat di warung yang masih buka. Suasana pantai Prigi sepi karena masih musim puasa. Hanya beberapa warung yang buka dan menyediakan kuliner khas pantai. Kami pun memesan menu ikan bakar special ukuran jumbo, porsi untuk 4 orang kami habiskan hanya berdua. Bayar hutang, maklum hari ini kurang makan, hehe.
hotel yg bisa pindah-pindah unt selalu bercengkerama dg alam

Malam telah tiba, taburan bintang yang mempesona, mendadak lenyap berhamburan terhalang oleh pekatnya mendung. Pertanda akan hujan, kami pun segera berteduh dalam tenda. Benarlah, hujan turun dengan lebatnya. Raga yang telah lelah pun segera meminta untuk rebah mendulang tenaga. Saatnya istirahat.
Hari II, Senin 04 Juli 2016: Masih Ada Kebaikan
Keindahan pagi membisikan semangat dan tekat untuk segera bangkit. Nyanyian deru ombak sepanjang malam telah berdendang menina bobokan kami hingga istirahat begitu nyenyak. Pagi ini, kami pun segera membuat sarapan. Sejauh mata memandang tak ada tanda-tanda geliat aktifitas warung yang akan buka. Santapan jasmani telah usai saatnya mandi dan segera bergegas untuk kembali mengukir kisah. Tepat pukul 08.00, kami berpamitan dengan keramahan pesona Prigi dengan segala kenangan. Selamat tinggal Prigi dan sampai bertemu lagi.
Meninggalkan Trenggalek dengan hati bahagia. Kemudian jejak kamipun akan tinggalkan di Tulung Agung. Memasuki gapura bertuliskan Tulung Agung serta merta menuntut kewaspadaan. Terlihat perbedaan yang cukup kentara antara pengendara Trenggalek dan Tulung Agung. Di sini saya tidak bermaksud menilai mentalitas cara berkendara saudara-saudara Tulung Agung. Saya mencoba berpikir positif bahwa ini menjelang lebaran, jadi segala aturan lalu lintas kadang tidak berlaku.
Di sepanjang jalan daerah Tulung Agung, saya menjumpai begitu banyak orang –orang sakti, yang kepalanya mungkin lebih kuat dari pada kerasnya aspal. Pengendara motor, kebanyakan tidak memakai helm (sebagai perlengkapan berkendara juga untuk keamanan), spion dilepas (seperti motor balap), lampu sein (lampu reting) tidak kepakai, bila akan belok tidak ada kode sama sekali, tiba-tiba dan mendadak langsung tekuk. Etika berkendara di jalan umum yang saya pahami, seolah-olah tidak berlaku. Hanya kewaspadaan dan mencoba memahami cara orang lain berkendara menjadi satu-satunya rambu keselamatan. Waspada, awas dan perhatikan jalan mutlak tidak dapat ditawar.
obat capek

Pengalaman yang unik. Buatku, ini dibuat asik aja.
Tulung Agung berlalu. Memasuki Blitar, sejenak mengabadikan saksi sejarah, Patung bung Karno, sebagai Presiden pertama Negeri tercinta ini, Indonesia. Sejenak, ikutan ngeksis. Biar kekinian.
Blitar merupakan salah satu kota yang memanjakan para pengendara dengan kondisi jalan yang halus, datar dan rata. Gapura selamat datang Malang telah terlewati, kini medan jalan mendadak berubah. Rute Blitar-Kepanjen mengular penuh tikungan, tanjakan dan turunan. Bagi para pengendara, “ini adalah surga”. Penat raga tidak terasa, kami terus bergerak, berharap siang telah sampai barisan pantai selatan Malang.
Sebelum Kepanjen, peristiwa sakral yang biasa pun terjadi. Isteriku kedatangan tamu. Rencana berubah total. Saya tidak lagi sebagai pemegang kendali. Tetapi sepenuhnya, saya serahkan ke isteriku. Karena segala fenomena yang menyertai masa menstruasi seorang wanita tidak pernah sama. Selalu berbeda. Kadang tidak mengganggu kegiatan, namun seringnya membawa kerumitan karena derita yang menyertainya. Aku hanya berharap, semoga yang terjadi adalah yang terbaik.
Rasa lelah dan tertekan mulai merambat menyusup kedalam nadi harapan. Sehingga kejenuhan pun melanda. Motor terus menari meliuk di atas jalanan yang mengular. Aku mencoba terus membesarkan asa agar seni petualang kembali menjelma. Seorang petualang selalu bisa menemukan keceriaan di tengah badai peristiwa yang tidak diinginkan.
Keceriaan mulai merasuk pelan. Namun mendadak, motorku mengalami trouble ringan. Dudukan visor ku patah. Harus mencari tukang las. Kucoba bertahan untuk terus bersabar di atas jok yang mulai memanas. Samar di kejauhan terlihat tugu selamat datang, “Kepanjen”.
Syukur tiada terkira. Bahagia tiada tara. Kota Kepanjen ternyata cukup besar. Sambil mencari tukang las, berharap untuk bisa mencari informasi lainnya terutama tentang jalur menuju deretan pantai Malang. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Tukang las kutemukan dan sekaligus memberi informasi yang sangat detail tentang jalur serta medan untuk menikmati panorama barisan pantai-pantai Malang.
40 km bukanlah jarak yang jauh. Namun, karena raga telah lelah jarak pendek pun terasa lama tak juga terjangkau. Kulihat wajah isteriku masih bertahan. Kendati saya tahu dia memaksa dan berjuang untuk tetap ceria. Membelah motorku di jalanan yang sepi. Berkelok dan menanjak-turun, menembus hutan, ladang dan kebun. Sungguh panorama yang lengkap. Di kejauhan membentang batas cakrawala. Laut. Berarti tidak lama lagi tujuan akan tercapai. Benarlah, kita telah sampai di wisata pantai pertama, Pantai Bale Kambang Malang.

Air laut yang jernih, bentangan pasir putih yang maha luas, deburan ombak yang menari tiada henti. Pemandangan pantai yang komplit. Di ujung barat terdapat kafe yang bernuansa Bali, berpadu dengan musik etnik. Para pelancong bergembira, bercengkerama dan bermain ombak serta pasir.
Sambil menikmati panorama Balai Kambang, Saya serta isteriku memesan makanan, sambil meneguk air kelapa muda. Usai penat raga terurai, melanjutkan langkah untuk menengok ketenaran pantai ini yang dikisahkan sebagai Tanah Lot-nya Malang, karena ada pura yang berdiri kokoh di batu karang sebrang pantai.
Pure di Bale Kambang Malang

Misi perjalanan ini masih jauh. Berharap hari ini dapat menuntaskan wisata Malang dan tembus sampai kota Lumajang. Matahari terus menemani perjalanan kami. Cerah alam bermandi sepoi angin pantai terus mengiringi kisah kami. Pantai-pantai pun berlalu. Tidak menghitung berapa pantai yang telah kami singgahi. Ada pantai kami datangi. Hingga di penghujung sore, kami telah tiba di pantai Sendang Biru, Pulau Sempu. Namun, sayang hari ini karena lebaran H-1, maka tidak ada pengunjung. Niat untuk bermalam dan menikmati keindahan pulau Sempu terpaksa harus ditunda. Suatu saat semoga bisa bercengkerama dengan hening Sempu.
Motorku pun masih setia menghantar kami untuk menjelajah. Malam mulai merangkak. Gelap suasana mendukung uji adrenalin di jalanan lintas selatan yang didominasi tikungan tajam tiada berkesudahan, tanjakan, turunan, hutan dan kebun. Tanpa lampu jalan dan rumah penduduk yang jarang. Sungguh-sungguh ini merupakan media untuk bercermin mengenal dan menguasai diri. Ada ketakutan, ada kecemasan juga kekhawatiran namun sekaligus menumbuhkan harapan dan iman, selalu percaya bahwa Tuhan akan berkarya. Yakin aman.
menikmati keindahan jalanan

Gelap masih memayungi perjalanan antara Sendang Biru menuju pertigaan Turen, Malang. Dari pertigaan ini, kami mengambil arah Lumajang. Suasana jalan masih sama. Sepi, gelap, banyak tikungan, tanjakan dan turunan. Stres pun melanda. Kulirik jam tanganku telah menunjuk waktu tepat pukul 20.00. Berharap situasi masih aman terkendali.
Harapan untuk segera bertemu dengan pemukiman yang ada tempat penginapan agaknya harus terus dijaga. Agar kekuatan tetap ada. Karena raga yang begitu lelah, akhirnya kami beristirahat. Aku lupa nama daerahnya. Yang pasti kami memperoleh informasi bahwa penginapan terdekat ada di Lumajang dan itu masih harus ditempuh selama dua jam. Tentu, ini merupakan kecepatan penduduk lokal yang hafal jalan. Mungkin, kalau saya yang baru pertama kali lewat jalur ini, bisa sampai 3-4 jaman.
Kendati penginapan masih jauh, namun hati merasa tenang karena penduduk setempat menyakinkan bahwa jalur ini cukup aman. Tidak ada tindak kriminal. Menenangkan. Menenteramkan. Kutanya isteriku, apakah masih akan lanjut. “alon-alon ae, entar juga sampai”. Pelan-pelan asal terus berjalan maka sejauh apapun perjalan pada akhirnya juga akan terselesaikan.
Kembali motorku pun meliuk. Hingga di samar gelap malam, kulihat baleho besar bertuliskan “Wisata Air Terjun Tumpak Sewu Pronojiwo, Lumajang”. Lega rasanya. Sampai juga di wilayah Lumajang. Kulihat ada warung. Mampir istirahat, nyari informasi sekaligus mendulang energi. Kembali nyaliku terpaksa menciut. Dari ibu warung menegaskan bahwa Lumajang masih jauh, masih butuh waktu 1,5 jam. Padahal waktu telah bertengger di titik 21.00. Kupaksakan untuk meminta tolong apakah ada rumah penduduk yang bisa dimintai kerelaannya untuk menginap. Ibu itu merekomendasikan untuk meminta ijin ke Pak RT.
Semangat kembali bergelora. Usai menebus hidangan malam. Segera aku bergegas menuju rumah Pak RT. Sayang, rumahnya tutup. Lemas. Hingga akhirnya di area parkiran wisata Goa Tretes Pronojiwa yang berdekatan dengan wisata Tumpak Sewu, boleh dipakai untuk mendirikan tenda. Niat hati untuk mendirikan tenda dan segera membaringkan raga, tiba-tiba salah satu penduduk menyapa dan menawarkan rumahnya untuk menginap.
Rasanya tidak enak karena merepotkan. Namun, kedua pasang suami-isteri itu sangat antusias untuk menerima kami. Mereka segera menyiapkan kamar dan memaksa kami untuk menginap di rumahnya. Aku sudah membongkar tas untuk mendirikan tenda, namun beliau terus mengajak ngobrol dan tetap menawarkan kebaikan. Hingga, kami pun memutuskan untuk menginap di rumahnya. Malam berlalu. Lelah raga terjawab dan terurai oleh kebaikan sepasang kekasih. Terimakasih Bapak dan Ibu. Maaf, aku lupa menanyakan nama Anda.
Hari III, Selasa 05 Juli 2016: Membaharui Arti Surga
Pagi merekah dengan segala harapan baik. Terbuka mata penuh gairah dan tenaga yang melimpah meneguhkan semangat. Udara pegunungan yang sejuk segar menjadi warna khas yang kian sukar dicari. Tuan rumah telah menghidangkan segelas teh  hangat. Di dapur kudengar suara minyak yang telah memanggang hidangan. Benarlah, tidak berapa lama, si ibu menyapa dan mempersilahkan kami untuk sarapan.
Segera kurapikan tempat tidur, cuci muka dan sarapan. Sungguh nikmat. Surga itu terjadi saat sebagai orang asing yang disambut, diperlakukan layaknya saudara dekat, tanpa sekat, terbebas dari kecurigaan. Kami menghayati hidangan dari kebaikan selalu terasa lebih mantap. Di sini, bukan masalah menu dan rasa, tetapi soal hati. Kenikmatan tidak terletak pada lidah tetapi hati yang mampu merasakan lebih dari sekedar racikan bumbu masakan.
Perut telah kenyang, maka kami pun bergegas untuk menyambangi panorama alam, air terjun Gua Tretes yang tersohor keindahannya. Menyusuri perkebunan kopi yang berpadu dengan perkebunan salak. Menuruni tangga demi tangga. Setelah berjalan sekitar 15 menit, tibalah kami di wisata Gua Tretes. Sebuah gua yang dihiasi dan dialiri mata air yang jernih menawan. Di depan goa ini, aku berimajinasi menembus kisaran memori tentang jejak para pendekar yang bertapa di kesunyian hutan, tersembunyi di dalam goa dan terbungkus oleh air terjun. Menakjubkan.
keindahan ini berada d dpn gua. yg di dlm lebih keren

Dari depan gua ini, terlihat di kejauhan indahnya air terjun Tumpak Sewu. Air terjun yang terkenal sebagai Niagara Indonesia. Tetapi karena isteriku enggan berkunjung, saya pun mesti meninggalkan PR untuk suatu saat dapat ke sana.
Berat hati untuk meninggalkan indah secuil sorga di Gua Tretes ini. Namun, agenda perjalanan kami masih cukup jauh. Segera kami berlalu. Kembali ke rumah yang menampung kami. Lalu, kami pun segera membersihkan diri. Packing. Pamitan. Terimakasih banyak. Maaf atas segala keterbatasan kami.
Motorku kembali siap dipacu. Melanggak-lenggok, menyususri jalanan pegunungan yang naik-turun. Hingga kami bertemu dengan papan penunjuk jalan untuk menghantar pada panorama alam yang hampir sama, yaitu air terjun Kabut Pelangi. Masih di daerah yang sama, Pronojiwo, Lumajang. Hanya beda desa. Semangat membara mendorong kami untuk kembali menyusuri jalan desa menuju pintu masuk wisata alam ini.
Untuk menikmati keindahan air terjun ini, kami mesti menyusuri jalan setapak yang sangat variatif, dari cor, setapak hingga mesti menyusuri sungai. Akses jalannya masih sangat sederhana. Sekitar 45 menit, kami pun tiba. Air terjun yang lumayan tinggi dengan keunikan yang luar biasa. Bila mentari bersinar cerah dan mengenai percikan air terjun, maka akan menyuguhkan keindahan pelangi. Air terjun yang berselimutkan pelangi. Eksotis.
berdua, menyatu dg alam. kabut pelangi jd saksi

Hanya berdua kami menikmati lukisan Sang Pencipta. Terpana. Kami pun sedikit narsis untuk mengabadikan peristiwa langka ini. Karena terlalu asik. Hingga akhirnya, seluruh rekaman moment-moment indah itu lenyap bersama masuknya kamera pocket ke dalam air. Sayang, dokumentasinya hilang. Namun, kami percaya bahwa memori Tuhan lebih ajaib untuk mengabadikan   petualangan ini.
Setelah dirasa cukup, kamipun kembali melanjutkan kisah. Target kami, hari ini dan tepatnya sore nanti mesti sudah sampai di kota Jember. Kami akan bermalam di sana. Sambil menikmati malam takbiran, malam kemenangan.
Sekitar jam 12.00, kami kembali menunggangi kuda besi tercinta. Asik. Penat. Capek. Lelah. Mempesona. Terkesima. Semua rasa bercampur aduk mengiringi perjalanan sederhana kami.
Ternyata, jarak antara Pronojiwo, Lumajang (kecamatan ujung barat) dengan kota Jember cukup jauh. Hampir putus asa. Kapan sampainya? Pantat terasa terbakar. Menyala, namun gerbang bertuliskan Jember kok tidak juga nampak. Hingga waktu tepat pukul 16.30, kami telah memasuki kota Jember. Senang rasanya. Bahagia.
Tujuan menginap kami adalah di kawasan Bukit Rembangan. Semacam kawasan puncaknya Jember. Namun, sayang. Puncak bukit kembangan telah dikuasai oleh pengembang. Telah menjadi hotel berbintang dengan tarif mahal. Jelas, ini bukan kelas kami. Dengan hati kecewa, terpaksa kami kembali menuruni Bukit Rembangan menuju kota Jember (24 KM yang sia-sia). Kami, bukanlah petualang sejati. Kami masih sering kecewa. Dan belum mampu menikmati segala peristiwa menjadi sumber bahagia.
sbg obat kecewa, pantai bengkung, malang

Bunyi takbir telah berkumandang dari berbagai Masjid, mataku nanar mencari rumah makan yang masih terbuka. Berharap untuk bisa mengais rejeki sekaligus mencari informasi tempat penginapan yang murah. Sebelum memasuki kota Jember, kami melihat rumah makan (satu-satunya yang buka) sangat ramai. Harus antri. Apa daya, demi energi. Kami pun menunggu. Mungkin rumah makan ini, menjadi salah satu ikon kota Jember. Karena aku melihat banyak pengunjung yang dengan bangganya berfoto ria di depan rumah makan ini. Namun, kami tidak peduli, yang penting perut terisi.
Dapat meja, pesan makanan, menyantapnya, kenyang. Dapat informasi tentang hotel yang murah, hotel Cenderawasih. 10 menit perjalanan dari rumah makan. Hotel melati dengan tarif 100 ribu. Malam takbiran dengan harga segitu. Sangat terjangkau.
Segera mandi. Mata sudah terlalu lelah. Hingga sulit untuk dibuka. Sebelum kami lelap dalam buaian malam, saya sempatkan untuk menata beberapa perlengkapan agar besok pagi, bangun langsung ready guna melanjutkan kisah. Tidur seperti mati. Hingga cahaya fajar membangunkan kami. Kembali bergegas untuk segera mandi. Target kami, sebelum solat Id dimulai kami telah keluar dari dalam kota.
 Hari IV, Rabu 06 Juli 2016: Semua Ada Maksudnya
Pukul 05.30, kami meninggalkan hotel. Lumayan, jalanan masih sepi. Namun, tidak bertahan lama. Makin ke tengah kota, jalan mulai ramai dan penuh sesak. Sebelum ke luar kota, kami telah menemukan ruas jalan yang ditutup.  Pengalaman yang unik. Jalan normal saja kami tidak tahu, karena baru pertama kali masuk kota Jember. Kini, harus bermesraan dengan jalan-jalan kampung. Syukurlah, sebelum shalat Id dimulai, kami telah berhasil ke luar dari labirin kota.
Dengan perut kosong-lapar, kami terus melaju. Tidak ada warung yang buka. Wajarlah ini kan lebaran hari I. Aku targetkan setelah perjalanan dua jam, baru akan beristirahat. Dimanapun itu. Kami masih ada bekal roti. Tenang saja. Melaju motor meninggalkan Jember menuju Banyuwangi. Hingga kami pun telah memasuki kawasan hutan Gumitir. Sebuah tempat yang sangat menawan. Hutan lebat, berhiaskan panorama perkebunan kopi dengan aroma khas kembangnya. Sungguh asik. Suasana yang sejuk, jalan 4 jalur dengan kelokan yang tajam turun-naik. Sepi lagi. Ini adalah surganya bagi yang suka keplek-miring.
Di tengah perjalanan, ternyata masih ada orang yang mengais rejeki, buka warung makan. Bakso. Segera kuhentikan motor. Pesan bakso ketupat dan segelas kopi hitam. Matahari kian naik dan jalanan pun kian ramai. Ternyata arus balik dari arah pulau  Bali masih berbondong-bondong. Jalur ini adalah jalur alternatif selatan. Hati makin tenang, karena banyak teman seperjalanan.
warung d hutan gumitir

Perut telah kenyang. Badan kembali segar. Saatnya melanjutkan kisah, mengukir sejarah di tanah Banyuwangi. Suasana jalan masih sama, didominasi hutan, perbukitan dan perkampungan. Hingga tidak terasa, bahan bakar pun ikut menyusut. Tidak ada POM bensin yang buka. Semua masih shalat Id. Aku terus melihat sepidometer dan juga mengamati pinggir jalan. Namun, barisan botol pertamax tidak juga terlihat. Dari indikator bahan bakar yang telah berkedip, telah kutempuh jarak sekitar 60 KM, aku harus berhenti. Daripada mogok kehabisan bahan bakar. Tidak mampu membayangkan harus mendorong motor dengan beban hampir 2 kwintal. Oh, my God.
Sekitar pukul 09.00, aku melihat POM Bensin, terlihat ada tanda-tanda akan buka, sudah ada yang mengantri walau belum ada yang menjaganya. Aku putuskan untuk ikutan mengantri. Terasa lucu, POM belum buka tetapi sudah diantri. 1,5 jam menunggu, akhirnya buka juga. Syukur Tuhan dapat nutrisi untuk si kebo.
Target selanjutnya adalah pantai Grajagan. Sebuah pantai yang menjadi judul lagu. Sebenarnya kami, belum pernah berkunjung ke Banyuwangi. Dengan demikian, seluruh daerahnya adalah asing. Tidak tahu apa-apa. Tidak kenal siapa-siapa. Namun, kami percaya bahwa dunia ini masih dipenuhi dengan orang-orang baik. Lalu, kami pun berlaku sebagaimana dinasehatkan oleh para bijak, “Malu bertanya sesat di jalan”. Tidak henti-hentinya kami bertanya, hingga sekitar pukul 10. 30, kami pun tiba. Sejenak melepas lelah dan bercengkerama dengan keindahan pantai ini.
pantai grajakan banyuwangi

Dahaga jiwa telah terpuaskan begitu pula dengan raga. Hati senang, perut juga telah kenyang. Saatnya meneruskan perjalanan, target selanjutnya adalah pantai Plengkung, G-Land. Yang terkenal sebagai spot surving terbaik level dunia. Sejauh kami tahu, pantai tersebut berada di kawasan hutan lindung Alas Purwa. Maka, kami segera melaju untuk memburu waktu. Target sebelum malam harus selesai.
Di luar dugaan dan di luar bayanganku, saya melihat papan penunjuk tentang Gua Maria, berarti tempat peziarahan orang katholik. Saya berpikir, apakah mungkin di sini ada orang katolik. Untuk mengurai penasaranku, kubelokkan sepeda motor untuk menggapainya. Agak sedikit mentang, keluar dari target utama. Benarlah, bahwa di Banyuwangi ada tempat peziarahan, yang bernama Gua Maria Waluyaning Jatiningsih. Sejenak kami pun menikmati oase rohani. Sejenak hening untuk bersyukur dan berserah diri. Semoga tetap dilancarkan peziarahan ini.
salah satu perhentian jln salib, ornamen jawa-bali

Awalnya saya berpikir kalau Alas Purwa itu dekat, ternyata, kami mesti berulang kali menegaskan informasi bahwa jalan yang kami lewati akan menghantar di sana. Jauh, seolah-olah tidak lekas tercapai. Stress. Selain tempatnya yang jauh, akses jalannya juga tidak terlalu bagus, semi off road. Masuk hutan belantara. Tidak bertemu dengan perkampungan. Namun, kami terus membangun harapan, yakin kalau jalan ini adalah benar. Hingga hati makin berbunga ketika terlihat gapura selamat datang di wisata Alas Purwa, Banyuwangi.
narsis di gerbang alas purwa

Membayar tiket. Dari pos penjagaan rute perjalan masih jauh membentang. Pertama, kami disuguhi pura yang sangat tua. Pada waktu itu, ada banyak orang dari Bali yang berdoa. Lalu, kami dihadapkan pada persimpangan untuk menuju sabana Sadengan yang ada banteng dan beberapa satwa lainnya. Di sini kami dapat informasi, bahwa untuk menuju Pantai Plengkung, kami mesti menyewa mobil tertutup, 4 x 4. Demi keamanan, karena masih banyak binatang liar yang kadang menyerang pengunjung. Jarak 7 KM murni off road, bukan semi, tapi asli.
sabana sadengan alas purwa banyuwangi

Mengingat target kami bahwa malam mesti tembus di Baluran, Situbondo. Maka, kami memutuskan untuk menikmati beberapa pantai di lokasi Alas Purwa, yaitu pantai Triangulasi dan Pasir Putih saja.
pantai triangulasi alas purwa, banyu wangi

Tepat pukul 15. 15, kami meninggalkan wisata Alas Purwa untuk menuju kota Banyuwangi dan selanjutnya menuju target camp Baluran.
Antara Alas Purwa dengan kota Banyuwangi ternyata bukan jarak yang pendek. Sekitar pukul 17.00, kami baru tiba. Sebenarnya hati was-was, karena memang kami sungguh tidak kenal medan. Kami bulatkan tekad untuk terus melaju menuju Baluran. Selepas perbatasan Banyuwangi-Situbondo, kami telah memasuki hutan Baluran. Namun, karena suasana sudah mulai gelap, maka kami pun tidak juga menjumpai papan penunjuk arah menuju Baluran. Hingga tidak terasa kami telah meninggalkan hutan Baluran.
Menyadari bahwa kami telah tersesat, saatnya bertanya. Kemudian kucari warung yang buka. Lebaran hari pertama, tidak banyak warung yang buka. Kami terus berjalan pelan-pelan dan sambil terus mencari penjual energi. Akhirnya warung kami temukan, memesan makanan dan saatnya santap malam. Di sini, kami memperoleh informasi bahwa Alas Baluran telah jauh terlewati selain itu saat ini wisata Baluran sedang rawan menjelang malam. Kami pun disarankan untuk mencari penginapan di Situbondo, kalaupun mau berkunjung ke Baluran sebaiknya besok pagi saja. Tidak tanggung-tanggung, baluran telah kelewat sejauh 70 KM, sedangkan untuk sampai kota Situbondo tinggal 20 Km lagi.
narsis dpn kamar hotel, situbondo
Dengan sedikit kecewa, akhirnya kami putuskan untuk terus ke Situbondo dan menunda wisata Baluran. Demi keamanan dan juga kenyamanan. Lanjut lagi. Hingga tepat pukul 21.00, kami tiba dan memperoleh kamar, yang tinggal satu-satunya. Saatnya rebah untuk beristirahat. Berharap besok bangun dengan tenaga serta semangat yang baru.
Hari V, Kamis 07 Juli 2016: Mengais Energi Mistis
Pagi menjelang, cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat membuncah dan bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, packing dan sarapan. Meliuk menyusuri eksotisme jalanan Situbondo di sekitar pantai Pasir Putih memang luar biasa. Perbukitan, hutan yang berpadu harmoni dengan lukisan pasir berhias birunya lautan. Keren.
Hingga tidak terasa, kami telah memasuki wilayah Probolinggo. Pantat telah penat. Saatnya beristirahat. Lalu kami sempatkan diri untuk bercengkerama dengan lukisan alam di pantai Bentar. Sebuah pantai nan asri karena masih diselimuti oleh hutan mangrove yang cukup luas. Sejenak mengurai lelah. Menikmati semilirnya angin pantai dengan memanjakan mata disapu hijuanya hutan bakung.
pinggir pantai bentar probolinggo

Setelah sejenak istirahat, lanjut lagi. Target berikutnya adalah air terjun Madakaripura. Meninggalkan Probolinggo dan menuju arah pegunungan Tengger. Hingga tidak terasa, kami telah kelewat jalur sekitar 20 Km. ya namanya perjalan pertama, sama-sama tidak tahu. Wajar bila kami sering salah jalan. Putar lagi, hingga sekitar pukul 11.30, kami telah sampai di pintu masuk kawasan wisata air terjun pertapaan Patih Gajah Mada.
biar ketularan saktinya

Saatnya wisata rohani serta wisata sejarah. Membayangkan dan berimajinasi di jaman Majapahit dengan keperkasaan serta kesaktian Sang Maha Patih. Memang eksotis. Luar biasa, yang membikin hati berdecak kagum. Kekuatan jiwa-raga memang hasil dari usaha. Tentunya bisa dimengerti bila pada waktu itu orang bisa menemukan daerah yang tersembunyi dengan keindahannya. Sudah semestinya, orang yang mampu menggapai tempat ini telah teruji sebagai pribadi yang bakoh-kokoh.
air terjun madakaripura, probolinggo. brrrr....

Setelah asik bermain di bawah guyuran air terjun. Tubuh mengigil dan kedinginan. Saatnya kembali untuk membersihkan diri, makan siang dan melanjutkan perjalanan. Target sebelum gelap kami mesti sampai di Penanjakan Bromo. Kami akan bermalam sambil menikmati sejuknya hawa pegunungan Tengger. Di hening gunung dengan penanda keagamaan Hindu, banyak ornament Pura akan menghantar jiwa bertemu dengan Penguasa Semesta. Pada mulanya dan sampai sekarang Penanjakan adalah tempat peribadatan, tempat pemujaan untuk Sang Pencipta. Saya akan mencoba untuk mengalami peristiwa itu. Semoga tercapai.
Sekitar jam 14.00, kami meninggalkan lokasi wisata air terjun. Sayang di tengah perjalan kami dihajar hujan yang sangat lebat. Perut lapar, warung masih jarang yang buka. Terpaksa kami berteduh dengan perut kosong. Hingga tidak terasa 1,5 jam kami menunggu. Hujan pun reda. Segera kami melaju. Sampai di terminal Bromo, terlihat cuaca yang sangat cerah. Tidak ada hujan. Namun sayang, Bromo lagi bereaksi. Hingga kami tidak berani mendaki ke kawah Bromo.
berdua di bromo

Istirahat di terminal sambil menikmati pemandangan dan bakso. Nikmat.
Pukul 17.00, kami ber-off road di segoro wedi. Sebuah pengalaman yang menantang, di mana antara ban depan dan ban belakang tidak sejalan. Isteriku selalu menjerit histeris ketakutan. Sedangkan saya asik menikmati sebagai wisata adrenalin. Ya begitulah bedanya laki-laki dan perempuan. Tidak bisa disamakan. Aku menikmati, isteriku senam jantung. Melewati segoro wedi dengan lancar, saatnya membuktikan ketangguhan si kebo menapaki tikungan dan tanjakan Penanjakan yang wow. Asik aja. Motor dengan gagah, aman dan nyaman. Lancar. Isteriku menawar untuk camp di Penanjakan III, tetapi saya memaksa untuk camp di Penanjakan I, puncak dan akhir dari jalan aspal. Itulah puncak tertinggi dari Penanjakan. Suasana sepi tetapi masih ada beberapa penjaga warung yang merentangkan tangan untuk menyambut sumber kehidupan.
Tanya punya tanya, kami diperkenankan untuk camp di Penanjakan I. Sedangkan parkir diurus oleh penjaga warung. Sebelum gelap tenda telah berdiri gagah. Angin bertiup kencang. Sejenak udara telah menyiutkan nyali. Terasa amat sangat dingin. Di sini, kami bertemu satu orang pengelana, single touring  (aktif di Fulsar Comunnity, namanya Mas Rony) dari Sukoharjo juga. Kami diikat oleh sedaerah asal. Maka, kami pun cepat akrab. Sepanjang malam, kami asik banyak cerita.
Angin tidak henti-hentinya bertiup. Udara menjadi sangat dingin. Suasana sangat sepi. Hanya kami bertiga dengan dua tenda. Semua penjaga warung turun. Katanya akan mulai ramai lagi sekitar pukul 03.00, banyak pengunjung untuk menikmati keindahan sun rise. Dalam suasana yang teramat sepi dengan dendang harmoni alam bersama orhestra tiupan angin malam, saya menyempatkan untuk memejamkan mata. Dingin yang menembus tulang, menjadikanku berulang terjaga.
Malam mulai meregang memanggil sinar fajar. Saat kulirik jam menunjuk angka 02.00, sayub terdengar suara. Yang kian lama mengubah suasana menjadi riuh. Orang-orang berteriak kedinginan. Celoteh para pemandu memburai hening Penanjakan. Kendati demikian, kami tetap asik di dalam tenda. Sambil menikmati bisingnya pengunjung, kami membuat minuman hangat dan sarapan. Saat kubuka tenda, Penanjakan menjadi lautan manusia. Kini, Bromo menjadi wisata elit dengan tarif yang mahal.
sun rise bromo bercampur dg lautan manusia

Hari VI, Jumat 08 Juli 2016: Pulang ke Rumah
Sekitar jam 08.00, pengunjung sudah pada banyak yang turun. Warung-warung juga mulai tutup. Aku pun bergegas untuk bongkar tenda, packing dan siap-siap melakukan perjalanan jauh. Target hari ini, kami mesti sampai Solo. Pulang ke rumah menjadi satu pengharapan terbesar. Sejauh apapun perjalanan kembali pulang adalah akhir dari kisahnya.
Tepat jam 09.00, kami meninggalkan Penanjakan dengan segala kisah dan kenangan. Selamat berpisah dengan mas Roni yang menjadi teman berbagi. Berharap lain waktu bisa melukis kisah bersama lagi.
Menyususri jalanan demi jalanan. Santai  namun terus berjalan. Hingga sekitar pukul 11.00, kami telah memasuki kota Jombang. Istirahat. Pantat sudah panas. Mengurai segala kekalutan dengan segelas air kelapa muda. Terasa sangat segar. Saat waktu berada pada titik 12.30, kami melanjutkan perjalanan. Biasa naik bis umum sekarang dengan mengendarai sepeda motor, rasanya banyak juga yang asing. Modal bertanya selalu kami andalkan, hingga akhirnya, sekitar pukul 14.30 kami telah tiba di kota Ngawi. Istirahat. Mencari makan guna memulihkan tenaga.
Menjelang sore, kami melihat bahwa jalanan mulai ramai dan antrian panjang juga terjadi di beberapa titik. Hal ini terjadi karena bersamaan dengan arus balik. Di hutan Mantingan kami terjebak kemacetan yang panjang. Ada yang 5 Km, ada pula yang hanya 100 meter. Buatku dibikin asik saja. Setiap kali macet, motor kuturunkan dari aspal, semi off road. Motor matic dan bebek tidak ada yang berani mengikuti kami. Walaupun pelan yang penting tetap berjalan. Alon-alon waton kelakon. Yang lain macet, punyaku tetap lancar. Sekitar pukul 17.30, kami telah meninggalkan kota Sragen. Sebentar lagi Solo. Hingga kami pun tiba di rumah tercinta tepat pukul 18.00.
teringat keindahan pagi hr ini. bromo

Pada Akhirnya, …
Demikian lah sekelumit perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Dengan waktu selama 6 hari 5 malam, dengan jarak sejauh 1.520 Km dan menghabiskan bahan bakar tepat seharga Rp 300. 000. Kami telah menorehkan kisah menjelajahi dan menikmati karya Tuhan di wilayah Jatim. Sungguh ini menjadi peristiwa yang mengasikkan, mendebarkan, menakutkan juga menghadirkan kecemasan, keraguan dan membangun asa untuk selalu berharap. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini, terimakasih Isteriku yang setia untuk menjadi co-rider yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai. Terimaksih untuk setiap insan yang menginspirasi hidup ini. Semoga kisah ini menumbuhkan kemanusiaan kami untuk selalu berbagi, berharap dan memberi. Hingga kami, semakin mengerti dan mengalami kedamaian dan kebahagiaan hakiki. Semoga.







[i] Agustunis Wibowo, “Titik Nol, Makna sebuah Perjalanan”, Gramedia, Jakarta, 2013, hlm. 233.