Selasa, 14 Oktober 2014

refleksi touring: kesatuan roda dan jiwa



MAKNA TOURING (PERJALANAN): KESATUAN RODA DAN JIWA
Oleh: Heri

         Perjalanan merupakan kegiatan untuk perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Banyak manusia menyakini bahwa perjalanan hanya sebagai syarat untuk mencapai tempat yang dituju. Perjalanan hanya diartikan sebagai sarana.
          Saat ini, saya akan mencoba berbagi arti perjalanan dari sisi lainnya. Secara pribadi, saya juga tidak menyalahkan bahwa perjalanan atau tour merupakan tindakan manusia yang menjadikan dirinya berpindah ke tempat yang berbeda. Perjalanan menjadi syarat yang tidak bisa ditawar agar manusia dapat berganti tempat.

         Pengalaman dari satu perjalanan berganti dengan perjalanan berikutnya, menghantar saya untuk berani mengambil satu pembelajaran. Tentunya ada banyak pembelajaran dari setiap perjalanan itu sendiri.
Bagi saya, perjalanan adalah tujuan bukannya syarat. Terdengar agak tidak masuk akal. Tetapi saya memang menyakini bahwa perjalanan mesti dan harus diyakini sebagai tujuan. Walau bukan sebagai tujuan utama.

Sungguh amat disayangkan bila sebuah perjalanan hanya dimaknai dan diartikan hanya sebatas syarat. Karena dengan hal tersebut perjalanan akan mengalami penyempitan makna, yaitu hanya sebagai alat. Manusia akan menemukan kekecewaan saat memahami bahwa alat yang ia pakai tidak menghantarnya sampai pada tujuan.
Banyak manusia yang kecewa ketika perjalanan gagal dan tidak mencapai tujuannya. Akan beda cerita kalau perjalanan itu dimaknai sebagai tujuan. Maka, kendati kenyataannya orang tersebut tidak sampai pada tempat yang dituju ia tetap akan merasa puas. Ia akan yakin betul bahwa dirinya telah mencapai tujuannya. Saya pribadi menyakini bahwa kegembiraan, kebahagiaan adalah efek dari keberhasilan seseorang mencapai tujuannya. Bila perjalanan menuju satu tempat tidak berhasil, saya yakin akan tetap bahagia, akan tetap bergembira. Karena perjalanan sampai dimanapun sesungguhnya tetaplah sampai pada tujuannya.

Ada satu pengalaman yang mungkin bisa menyederhanakan atau menjelaskan keyakinan saya tersebut.
Kisah ini berawal dari niat hati untuk melakukan touring motor sama teman-teman muda ke Baluran Situbondo. Namun, karena kesibukan kerja dan prioritas hidup menjadikanku urung ikut. Sebagai penggantinya, maka kami pun menetapkan hari untuk membayar hutan touring tersebut.
Satu bulan kami telah menetapkan agenda untuk touring sekaligus camping. Wonosobo dengan janji surganya di sekitar Dieng menjadi target.  Persiapan pun telah dilakukan. Koordinasi pun berjalan dengan lancar. Hingga tiba pada harinya.
Sabtu, 4 Oktober 2014 pukul 19.00 sesuai kesepakatan akupun tiba di base camp, gereja Kleco, Surakarta. Tidak ada tanda-tanda. Semua anggota belum ada yang kelihatan. Aku pun menunggu. Untuk mengusir jenuh, aku dan isteriku pun mencari makanan. Nutrisi merupakan unsur penting bagi biker jarak jauh.
Hingga sampai jam 20.00 belum juga terlihat. Aku mencoba SMS dan jawabannya pun sama, “OTW”. Kembali aku menunggu. Hingga saat waktu berada pada angka 20.20 semua anggota telah lengkap. Ada 5 motor dan 7 pe-touring, yang dua adalah boncenger.
Briefing singkat, berdoa mohon pendampingan yang Ilahi. Hingga tepat pukul 20.30 kami start engine. Go, go, go, … .
Melliuk motor-motor kami menembus pekatnya malam. Jalanan Solo menuju Boyolali tidak terlalu ramai. Perjalanan lancar. Aman terkendali. Aku diantara pemotor lainnya adalah biker paling senior. Motorku pun juga tidak muda. Yang penting masih bisa mengimbangi aja lah.
Perjalanan agak sedikit terhambat saat melewati tanjakan sekaligus kelokan jalur Cepogo-Selo, Boyolali. Banyak tikungan yang berlapiskan pasir. Musuh bebuyutan dari motorku adalah jalanan berpasir.
Medan seperti ini, akhirnya mengingatkanku pada peristiwa yang pernah memaksaku untuk bergulingan dengan motor kesayangan.
Agaknya isteriku pun ingatan tentang peristiwa itu baru ada dipermukaan. Hingga aku merasa ada kekhawatiran dan ketakutan. Setiap kali ada tikungan gerak reflek dari isteriku selalu melawan alur, hingga  yang terjadi adalah gangguan keseimbangan motor.
Barisan motor terus melaju menembus pekat kabut pegunungan. Jalur Selo menuju Magelang didominasi turunan. Hingga aku makin merasakan kekhawatiran isteriku. Gerak refleksnya makin menjadikanku kurang berkonsentrasi. Aku pun terpengaruh dengan keadaan psikologi dari isteriku. Hingga pada akhirnya saat menemukan tikungan terakhir sebelum tanjakan menuju Ketep Pas, motorku terpaksa membelai jalanan yang berpasir tebal dan berlobang.
Keadaan malam yang pekat oleh kabut pegunungan, ketiadaan lampu jalanan, suasana yang gelap-sepi itu menjadi terusik dengan suara jeritan dari isteriku yang bersamaan tumbangnya motorku. Suara itu masih diperparah dengan pecahnya side box, kesayanganku.
Buatku, suara itu tidak terlalu mengagetkan. Yang menjasikanku sangat terkejut, saat kulihat ada yang tidak beres dengan kaki isteriku. Ia terlihat meringis kesakitan dan jalannya juga sudah tidak normal lagi. Padahal rencana ke Dieng adalah nge-camp di gunung Prau. Jelas ini akan menyusahkan tim dan jika aku melanjutkan perjalanan berarti aku terlalu memaksakan diri.
Aku bersama teman-teman menge-cek keadaan motor. Beberapa bagian aku lepas hingga aku merasa yakin kalau motorku siap untuk beraksi. Setelah semua beres, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kisah. Biarkan teman-teman lain yang meneruskan perjalanan menuju Dieng.
Aku merasa bahwa teman-teman agak keberatan dengan keputusanku. Dengan berbagai alasan yang masuk akal, akhirnya mereka mampu menerima keputusanku itu. Aku pun putar haluan untuk kembali ke Solo.
Untuk perjalan pulang ini, kulewati dengan kecepatan yang melambat. Isteriku masih trauma. Gerak refleknya tidak mampu menyembunyikan itu.
Sepanjang perjalanan itu, aku banyak diam. Begitu pula isteriku. Namun, pikiranku terus berputar seirama dengan putaran roda motorku. Hingga aku semakin menyakini bahwa bukan tempat yang dituju sebagai akhir dari perjalanan tetapi perjalanan itu sendiri mesti sebagai tujuannya. Kendati aku tidak sampai di Dieng, namun aku tetap merasa bahagia. Keberanianku untuk lebih mengutamakan keselamatan juga mendukungku untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian hati.
Diakhir kisah, ingin kutegaskan bahwa perjalanan yang diyakini sebagai tujuan akan lebih mungkin menghadirkan kegembiraan. Kebahagiaan akan hadir setiap saat karena perjalanan itu sendiri  merupakan tujuan dari jiwa manusia. Roda yang berputar seirama dengan jiwa yang mencari ketenteraman. Kesatuan hati antara jiwa dan roda yang berputar adalah roh dari biker, spirit dari sang pejalan. Salam satu aspal.