Minggu, 02 November 2014

catatan perjalanan ke gunung Rinjani

RINJANI, PENDAKIAN KARENA DAYA TAHAN BUKAN KEKUATAN
Oleh: Heri
 
ini adalah kisah kami bertiga, aku, isteriku dan timbul. lokasi segara anakan rinjani
Takkan kubiarkan sejarah itu terkubur dalam kenangan yang kian usang.  Seberapa kuatnya daya ingat manusia? Ah aku sendiri tak mampu mendefinisikan. Yang jelas pada saat ini, aku ingin kisahku bersama indah alam gunung Rinjani Lombok tidak menyusut bersama putaran waktu. Hingga aku sendiri terlalu sulit untuk mengingatnya.
Serpihan serta penggalan kisah itu berawal dari sebuah keinginan, … .
Saat waktu menandai pertengahan bulan Juli 2014, satu peristiwa yang selama ini hanya sebatas kerinduan akan menguap mewujud menjadi kenyataan. Selama ini, aku hanya pernah mendengar kisah dan cerita tentang kemegahan, kegagahan dan keindahan yang tidak terlukiskan tentang Gunung Rinjani. Aku hanya bisa membayangkan.
Namun, sang waktu akhirnya menghantarku untuk tidak cukup hidup dalam baying-bayang. Tepat pada tanggal 15 Juli, aku, isteriku dan satu temanku sepakat untuk mengalami surga dalam kenyataan alam Lombok.
Kusadari usiaku tidak lagi muda, maka persiapan fisik mutlak harus ada. Kendati aku telah beberapa kali menapaki terjalanya medan gunung, dari yang sering hingga yang baru pertama kali kudaki. Namun, Rinjani adalah gunung yang menempati ketinggian di atas 3.500 mdpl, tepatnya 3.726 mdpl yang kadar oksigennya tidak sebanyak di dataran rendah. Dunia pendakian bukanlah kegiatan yang hanya mengandalkan semangat dan keinginan. Ada berbagai hal yang perlu dipersiapkan sehingga pendakian akan berjalan dengan baik, menemukan keindahan alam dan yang terutama “pulang dengan selamat”.
Mendaki gunung merupakan kumpulan dari semua olah raga. Jadi, untuk mendukung hobiku ini, maka akupun berusaha untuk rutin melakukan aktifitas fisik. Persiapan akhir untuk bisa bercengkerama dengan Rinjani, aku beserta isteriku pun menyempatkan diri untuk sejanak mengakrabi setapak Lawu. Sengaja aku merencanakan untuk tidak nge-camp. Sabtu, 19 Juli tepat pukul 23.30 kutinggalkan basecamp Cemorosewu. Aku targetkan untuk dapat menikmati keindahan sunrise di Sendangdrajat. Rencana berjalan dengan lancar. Hingga pada hari Minggu, 20 Juli sekitar pukul 12.30 aku dan isteriku telah kembali menikmati sejuk alam pegunungan di basecamp. Sekitar 12 jam, aku bersama isteriku telah melakukan pendakian hingga puncak Lawu dan turun kembali. Persiapan yang mantap.
Sabtu, 26 Juli 2014: Transformasi dari kemapanan menuju ketidakpastian
Hari yang ditunggu pun tiba menghampiri. Telah menjadi kebiasaan yang permanen bahwa mengambil keuntungan di tengah himpitan menjadi hal yangsering dibenarkan. Saat orang berlomba untuk bisa berjumpa dengan anggota keluarganya, bersilahturami di hari yang fitri, secara otomatis,pada saat seperti ini ongkos angkutan umum pun naik dengan drastis. Orang menemukan peluang untuk mendulang keuntungan di tengah himpitan yang mendera bagi kebanyakan pemudik.
Aku tidak memiliki banyak waktu liburan. Tidak juga memiliki hak cuti. Sehingga untuk dapat liburan bersama dengan isteri, aku hanya bisa nikmatinya di hari libur lebaran. Sebenarnya, aku pun telah mengerti bahwa ongkos transportasi bisa saja naik 3-4 kali lipat dari hari-hari biasa. Perjalanan dari Solo ke Lombok kali ini aku tempuh dengan bus shafari dharma raya. Satu-satunya bus dari Solo yang memiliki trayek langsung menuju Lombok.
Sabtu, 26 Juli 2014, aku sebut saja Jimanto, isteriku sebut saja Ratih dan satu temanku sebut saja Thomas Agung yang lebih senang dengan panggilan Timbul siap berangkat. Sore hari, Solo masih diguyur hujan kendati harusnya musim kemarau. Hujan ini menemaniku menuju ke pangkalan bus, yang berada di belakang terminal Tirtonadi Surakarta. Tepat pukul 17.00, bus secara perlahan dan hati-hati meninggalkan Solo. Petualangan pun dimulai. Amazing of journey.
Perjalanan malam tidak selalu mengasikkan karena pandangan terhalang oleh bayang malam. Maka, aku juga isteriku setelah ngobrol untuk sementara, kami pun masing-masing lelap dalam tidur. Hingga tepat pukul 20.00 kami tiba di Nganjuk. Bus berhenti dan kami pun istirahat untuk sementara. Ada makan malam sebagai bagian dari servis kru bus. Hingga waktu kembali merangkak dan tepat pada pukul 21.00 kami melanjutkan perjalanan.

Minggu, 27 Juli 2014: Kekuatan untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai rencana, itulah bahagia
Penat raga dalam selimut dingin AC bus menjadikan mata manja dalam lelap. Semburat cahaya surya pagi menggugah asa untuk kembali terjaga. Saat, mata terbuka sampailah kami di kota Banyuwangi.
Antrian panjang siap menghadang di penyeberangan Ketapang-Gilimanuk. 2 jam cukup bus merayap menuju pintu ferry. 2 jam juga kami mengapung di perairan selat Bali. Hingga tepat pukul 08.00 kami telah menginjakkan kaki di daratan Bali, Gilimanuk. Terlihat antrian panjang, sekitar 3 km pemudik yang akan meninggalkan pulau Bali menuju tanah kelahirannya masing-masing. Pemandangan yang tidak asing karena hari ini adalah puasa terakhir.
2 jam selepas meninggalkan Gilimanuk, bus kami pun mengalami gangguan. Mogok. Fanbel mesin putus. Kami menunggu bus lain satu PO. Syukurlah tidak begitu lama kami telah tersusul. Ganti bus. Lalu kami tiba di Denpasar tepat pukul 12.00. Kami beristirahat, makan siang dan menunggu bus kami yang sesungguhnya. Karena bus yang kami tumpangi hanya sampai di Denpasar. Di sinilah terjadi sedikit perselisihan. Hingga ada teman kami yang complain ke perusahaan. Karena kami harus tertunda perjalanan.
Tepat pukul 16.00 kami baru meninggalkan Denpasar untuk menuju pelabuhan Padangbai. Perjalanan lancar. Hanya membutuhkan waktu 2 jam.
Di tengah pekat malam, ferry yang kami tumpangi menerjang ombak. Alunan musik dangdut koplo menemani kisah ini. Cukup lama kami terapung di lautan sekitar lima jam. Untung nya pengelola tidak hanya menyuguhkan lagu-lagu dangdut tetapi juga memutarkan beberapa film komedi. Sehingga penumpang sedikit terurai rasa bosannya. Sedangkan aku juga isteri dan Timbul, nyaman dalam mimpi.

Senin, 28 Juli 2014: Kekuatan diri bukanlah gagah raga, tapi kehendak
30 menit menuju titik 00.00, kami tiba di pelabuhan Lembar, Lombok. Bus melaju menuju kota Mataram. Hingga akhirnya, 15 menit selepas tengah malam, kami telah tiba. Dengan segala kebingunan dan kebimbangan, karena kami bertiga tidak ada satupun yang pernah ke Lombok. Di tengah situasi yang serba asing, tanpa kenalan juga saudara menjadikan rasa petualangan itu makin mencipta sensasinya.
Sebenarnya, satu minggu sebelum melakukan perjalanan ini, kami telah menemukan nomor telepon dari penyedia jasa angkutan di Lombok. Kami tidak pernah bertemu. Dengan demikian, kami tidak mengenal sama sekali terhadap seseorang yang kami kontak. Kami hanya bermodalkan kepercayaan dan keyakinan bahwa mereka bisa dipercaya. Saat meninggalkan Padangbai, kami pastikan bahwa perjalanan hampir sampai. Kami tahu, nama penyedia jasa itu adalah Bang Juan, warga asli Lombok. Ia terlihat sangat professional. Hingga ia bisa memprediksi kedatangan kami dengan tepat.
Setelah bus diparkir, segera kami dihampiri oleh dua pemuda. Modis dan gaul, itu adalah kesan pertamaku. Mereka menyapa dan memperkenalkan diri. Mereka telah merental mobil sebagai carteran. Kami dipersilahkan untuk beristirahat sebentar dan melengkapi perbekalan, karena sepanjang perjalanan hanya akan berjumpa dengan kesunyian. Dari kenyataan ini, bahwa tanpa adanya perjumpaan, tanpa adanya DP, tanpa ada jaminan. Komunikasi pun hanya via telpon dan SMS, namun mereka telah menunjukkan totalitasnya. Maka, serta merta aku pun percaya bahwa mereka adalah orang-orang baik. Kutahu mereka adalah Bang Juan dan Bang Jan.
Perjalanan dari Mataram menuju Aikmel dan selanjutnya menuju base camp Sembalun membutuhkan waktu tempuh sekitar 2, 5 jam. Aku sangat bersyukur karena dapat menikmati suasana malam takbiran di kota Mataram sampai Sembalun. Hingga aku pun merasakan hingar-bingar suasana takbiran. Jalanan menjadi sangat ramai dan di beberapa titik mengalami kemacetan. Hingga kami tiba di Sembalun tepat jam 03.00.
Ternyata kami tidak diantar ke base camp pendakian, tetapi di salah satu rumah penduduk, kenalan dari Bang Juang, yaitu Bang Jamal. Kami disambut dengan hangat. Dipersilahkan untuk beristirahat. Namun, aku sempatkan diri untuk sejenak berbagi kisah dengan mereka. Isteriku telah lelap medahului. Hingga waktu menujuk titik 04.00, Bang Juan dan Bang Jan pamitan. Mereka mau pulang karena berencana akan menjalankan solat Id di Mataram. Dalam lelahku, aku pun segera merebahkan diri dan lelap dalam balutan damai desa Sembalun.
Dua jam cukup untuk memulihkan tenaga. Isteriku dan Timbul masih lelap dalam tidurnya. Sedangkan Bang Jamal telah siap untuk menghantarku menikmati suasana desa Sembalun. Kami pun berjalan-jalan dan ia menunjukkan setapak yang memotong rute resmi. Menurut Bang Jamal, jalan itu lebih cepat satu jam bila dibandingkan dengan jalur resmi. Setelah aku merasa cukup untuk menikmati suasana desa Sembalun yang masih asri dengan sapaan-ramah-senyum dari penduduk, aku putuskan untuk kembali. Setelah sampai di rumah. Ternyata keluarga Bang Jamal telah menyediakan hidangan pagi, berupa nasi opor daging sapi. Sungguh keluarga yang sangat baik. Terimakasih Bang Jamal.
 Obrolan yang penuh dengan semangat persaudaraan menemani sarapan pagi ini. Tepat pukul 08.00 kami pun berpamitan untuk memulai pendakian. Namun kebaikan dari Bang Jamal, tidak sebatas itu. Ia masih berkenan menghantar kami sampai di perbatasan ladang dan hutan. Kami pun memulai petualangan ini, tanpa pemandu, tanpa pernah melewatinya, juga tanpa porter, kami hanya bermodal informasi yang telah kami kumpulkan jauh-jauh hari. Hingga kami yakin bahwa pendakian ini, akan menghantar kami menemukan berjuta kisah yang fantastis.
Langkah pertama ini, kami awali dengan doa. Kami sandarkan pendakian ini, ke dalam tangan Yang Ilahi. Dan pada waktu itu, jarum jam tepat bertengger pada titik 08.30. Panas terik mentari tanpa penghalang menemani langkah kaki ini. Luasnya savana dengan padang rumputnya yang mengombak dan meliuk. Setapak yang berkelok, timbul-tenggelam sedikit menyiutkan nyali. Tidak sampai 10 menit kami pun basah oleh keringat.
Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan savana. Perbukitan berbaris manja mempesona. Parit-parit yang membelah perbukitan itu meliuk-liuk memaparkan daya tariknya. Setapak hilang dan muncul, menantang nyali untuk tidak lagi mengandalkan kekuatan raga. Namun, menegaskan tekat yang harusnya jadi penopang langkah.
sabana rinjani dari pos sembalun. tu timbul jauh di belakang

masih jauh. enjoy aja. nikmati indahnya sabana sembalun rinjani
Perbukitan ini, terlihat lama tidak bermandi air mata langit. Sehingga setapak kering berdebu. Nafas kami pun berburu udara untuk memicu darah membakar energi. Tenggorakan tidak henti-hentinya meminta siraman air pelepas dahaga. Pengalaman beberapa pendakian di pulau Jawa seolah-olah tidak berdaya. Lombok adalah pulau kecil. Sungguh terasa udara kering, laut dan pegunungan. Selepas melewati tiga sungai yang mengering, di penghujung mata terlihat barisan pepohonan yang cukup rindang. Teduhnya membangkitkan asa yang kian koyak. Maka, aku dan isteriku segera mempercepat langkah. Sesampainya di hutan tersebut, tanpa menunda waktu segera kuletakkan kerirku. Tak begitu lama, Timbul juga segera menyusul dan melakukan hal yang sama. Akhirnya, kami putuskan untuk beberapa beristirahat di sini.
Mentari masih sangar memaparkan kekuatannya. Menyiutkan nyali. Pos satu masih jauh. Pendakian baru satu jam. Menurut informasi, dari perkampungan menuju pos satu membutuhkan tiga jam. Semoga jalur yang diberikan oleh Bang Juan ini benar-benar memotong, mengurangi pertarungan diri sebanyak 60 menit. Teduh pepohonan dan raga yang belum cukup beristirahat, menjadikan mata menyipit. Namun, asa telah mampu membuyarkan keinginan ragawi untuk manja dalam lelap.
30 menit berlalu untuk mengais tenaga yang tersisa. Rinjani nampaknya berkenan, sehingga ia menghadirkan kabut tebal untuk menaungi langkah letih kami. Segera, kami pun bergegas untuk melanjutkan kisah. Kami masih belum mantap dengan setapak yang kami lewati. Tidak ada penunjuk jalan. Kami berharap untuk segera bertemu dengan jembatan. Bang Juan berpesan bahwa setelah melewati jembatan maka tidak ada jalur lain. “Hanya ada satu setapak. Ikutin saja. Maka akan sampai pada tujuan”. Memasuki hutan lebat dengan kanopinya yang berhasil menyembunyikan cercah sinar mentari, menambah keraguan dan was-was hati.
Di tengah ketidakpastian itu, terlihat di kejauhan sepasukan pendaki turun menuju ke arah yang berlawanan. Ada harapan. Saat berpapasan, kusempatkan say hello dan menggali beberapa informasi. Benarlah bahwa jalur ini akan membawa kami sampai pada Pelawangan Sembalun. Mereka dari Jakarta, rombongan yang cukup besar. Ada sekitar 13 pendaki dengan 4 porter dan satu guide. Dalam hati aku hanya bisa bilang, “pendaki elite. Beda sekali denganku, yang tanpa porter, tanpa guide. Juga rombongan kecil yang berekspedisi. Pendakian pertama. Adu nyali. Ini lah Petualangan”.
Tak berapa lama, terlihat di kejauhan membelah kelok setapak jembatan yang gagah. Segera aku dan isteriku memacu langkah. Kami bertemu pertigaan yang ternyata adalah persimpangan dengan jalur resmi. Kuhentikan langkah untuk menghela nafas. Timbul jauh tertinggal. Ia terlihat penuh perjuangan untuk memompa energinya. Di jembatan ini, ku bertemu seorang porter yang memberi info bahwa Pos Satu tinggal 30 menit lagi. Berarti kemampuanku akan membutuhkan waktu tempuh dua kali lipatnya, 60 menit itu pasti.
Timbulpun menyusul dan segera mempersilahkan, aku dan isteriku untuk lanjut. Ia pelan-pelan akan menyusul. Di belakang kami jauh telihat 4 pendaki yang melewati jalur resmi. Berarti ada temannya. Aku pun berani meninggalkan Timbul dengan harapan di belakang masih ada pendaki lain.
Kabut masih menemani langkah gontai kami. Aku dan isteriku pun segera berlalu. Berharap untuk segera melihat selter Pos Satu. Liukan setapak masih melambai dan terlihat berakhir di penghujung bukit. Satu bukit terlampaui, kami bertemu dengan setapak yang meliuk kembali dan seolah berakhir di ujung bukit. Semangat membakar dan memudar saat hanya bertemu dengan bukit-bukit PHP. Untungnya jalur mendan pendakian tidak terlalu terjal. Sehingga kami masih bisa mengikutinya dengan riang.
Tiga bukit telah kami lewati setelah jembatan pertama.
Dan.
Di sinilah berdiri gagah dua selter yang bertuliskan Pos Satu. Hati riang tak terkatakan. Kulihat arlojiku dan menunjuk angka 11.00. Berarti 2,5 jam kami telah berjalan. Waktu tempuh yang masih standar. Di pos ini, kabut makin tebal. Angin berhembus makin lama makin kencang. Dan tidak berapa lama rintik hujanpun turun dengan manja. Seolah memberi penghiburan kepadaku, karena debu jalanan akan berkurang. Segera kuberteriak untuk menyemangati Timbul yang masih jauh di belakang, “Pos Satu. Ayo semangat”.
tu di blakang namanya selter pos satu sembalun rinjani
Segera kukeluarkan bekal dan tidak lupa aku mengabadikan momen ini. 10 menit kemudian Timbul pun menyusul. Dan tidak berapa lama, 4 pendaki yang di belakang kami pun tiba juga. Kami beristirahat sebentar. Mengisi tenaga dengan beberapa potong kue. Di sini kami sempat bercakap-cakap. Ke-4 pendaki itu berasal dari Jakarta. Satu hal yang kuingat dari obrolan kami adalah, mereka terkagum-kagum dengan besarnya kerir yang aku bawa. Wajar, namanya juga kerir 120 liter dan membawa perlengkapan untuk dua orang plus logistik untuk hidup beberapa hari. Aku sendiri juga terhertan-heran dengan banyaknya bawaanku, hehe.
Selepas gerimis, cuaca sangat bersahabat. Kabut menaunggi. Sehingga mentari tetap tersembunyi. Namun, tarian savana molek asri terhampar jelas di mata. Sehingga atap selter Pos Dua terlihat dikejauhan. Menurut informasi, jarak tempuh standar dari Pos Satu menuju Pos Dua hanya satu jam. Kami pun bergerak melanjutkan kisah. Sepanjang perjalanan ini, kami banyak berjumpa dengan pendaki dari luar negeri. Banyak pendaki bule. Ada yang mendahului, ada pula yang telah turun. Tidak sengaja aku pun membandingkan bahwa pendaki Indonesia tidak sampai sepertiga dari pendaki asing. Lebih banyak pendaki asingnya. Bahkan aku melihat bahwa mereka terlihat sangat akrab dan nyaman dengan Rinjani. Mungkin mereka telah beberapa kali melakukan pendakian di gunung ini.
Timbul semakin sempoyongan. Dia jauh tertinggal di belakang. Untungnya sepanjang jalur cuaca sangat mendukung. Sehingga aku pun bisa memantaunya. Tidak berapa lama, aku dan isteriku telah tiba di Pos Dua, hanya membutuhkan waktu 45 menit. Sesuai kesepakatan bahwa di pos ini, kami akan memasak sekaligus beristirahat agak lama. Menurut info juga bahwa di pos ini terdapat mata air. Namun, sungguh amat disayangkan mata air yang di bawah selter sangat-sangat kotor. Tidak layak untuk konsumsi. Yang menyebabkan kotor adalah para pendaki itu sendiri. Mata air bercampur dengan sisa masakan.
Hingga aku pun diajak oleh abang-abang porter untuk mencari air yang lebih bersih. Kami menyisisr sungai yang kering sekitar 20 menit. Kami menemukan tetes-tetes air yang meresap ke dalam pasir. Sehingga kami harus membuat sumur dulu. Syukur walau harus sabar namun aku dan abang-abang itu mendapatkan air bersih yang lumayan. Aku kembali ke selter dan kucatat bahwa waktu tempuh untuk mendapatkan air tersebut sekitar 30 menit. Setibanya aku di selter, Timbul juga telah sampai. Tidak menunda waktu, segera aku pun meracik menu.
Di pos ini banyak pendaki yang juga memasak. Yang menarik adalah para pendaki yang menggunakan jasa porter. Mereka tidak hanya sekedar membawa barang yang cukup banyak. Tetapi mereka juga bertanggungjawab untuk mencari air sekaligus memasak. Sehingga para pendaki yang menggunakan jasa mereka cukup nyaman. Yang penting berani berjalan, maka mereka akan sampai. Karena segala yang lainnya telah ditanggung oleh para porter. Benarlah bahwa kalau menginginkan menjadi pendaki elit, silahkan ke Rinjani. Ada uang maka kenyamanan pendakian akan di dapat.
Bagiku itu bukan petualangan. Karena seni perjalanan adalah sensasi dari segala yang dilakukannya.
Kembali rintik hujan lembut menemani. Sejuk pegunungan makin terasa. Hingga aku putuskan bahwa tepat pukul 14.00 kami akan melangkah. Karena jarak tempuh standar untuk sampai di Pos Pelawangan, selepas Pos Tiga adalah tiga jam. Sedangkan jarak tempuh dari pos Dua ke Pos Tiga, sekitar satu jam. Aku berharap tidak sampai gelap tiba di sana. Dan sebisa mungkin, kalau beruntung akan dapat menikmati keindahan sunset Pelawangan Sembalun.
Medan jalur masih sama. Setapak, perbukitan, savanna dan bukit-bukit PHP. Timbul makin sempoyongan. Ada kekawatiran dalam diriku juga isteriku. Namun, timbul selalu menegaskan bahwa pelan-pelan ia akan menyusul. Selepas Pos Dua, jumlah pendaki mulai banyak dan terasa ramai. Hal ini terjadi karena para pendaki mulai kehabisan tenaga karena perjuangan untuk menggapai puncak. Langkah kaki mulai melambat seiring tenaga yang kian pudar. Hanya semangat membara yang terus berkobar.
Aku dan isteriku masih standar dalam menapaki medan pos dua ke pos tiga. Namun, aku harus menunggu Timbul yang kian terseok-seok. Sekitar 20 menit ia baru muncul. Kembali ia mempersilahkan aku dan isteriku untuk melangkah lebih dulu. Ia berjanji apapun yang akan tejadi ia tetap akan menyusul. Dan ia pun berpesan untuk menunggunya di pelawangan. Waktu tempuh masih tiga jam. Itu pun kami harus berhadapan dengan tantangan tujuh bukit penyesalan. Medan ini, adalah medan yang paling disegani oleh para pendaki seantero negeri.
asli. dijamin. klo lewat jalur ini pasti megap-megap. jalur tujuh bukit penyesalan sembalun
Benarlah bahwa medan terjal, tanjakan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat tak habis-habisnya. Satu bukit telah terlewati bukit yang lainnya masih menunggu. Ada 4 bukit berat dan ada 3 bukit yang agak ringan. Di sepanjang jalur ini, kutemui banyak pendaki yang sempoyongan. Pelan-pelan terus melangkah. Semangat yang bergelora mampu mengalahkan kelemahan diri. Aku dan isteriku yang tidak lagi muda cukup menyedot perhatian banyak pendaki muda. Mereka terheran-heran. Ada pula yang panas. Lalu bangkit dari istirahatnya dan segera membalap. Kupersilahkan saja. Karena mereka masih muda. Aku bersyukur karena kemampuanku masih bisa menyemangati pendaki-pendaki muda.
Namun aku berharap semoga semangat mereka bukan karena iri dan tidak mau kalah. Bagiku pendakian bukanlah saatnya untuk unjuk diri. Bukan pula ajang pamer. Apa lagi menjadi ajang untuk menunjukkan diri sebagai sang jagoan. Aku hanya berharap agar mereka menemukan ritme mendaki. Karena beda orang, beda pula cara yang dimilikinya. Gaya seseorang belum tentu cocok untuk yang lainnya.
Saat kakiku bertengger di atas bukit penyesalan yang ke-6, kulihat arlojiku, waktu telah berada pada angka 16.45. Sejenak, kusempatkan diri untuk beristirahat. Menurut informasi bahwa jarak tempuh bukit yang terakhir sekitar 30 menit. Berarti kalau aku istirahat sekitar 15 menit sambil menunggu Timbul. Maka, sekitar pukul 17.30 aku akan sampai di pelawangan. Sesuai rencana, aku berpikir demikian. Semoga cuaca cerah sehingga bisa menikmati keindahan matahari tenggelam.
Tanjakan ke-7 dari “tujuh bukit penyesalan” memiliki medan yang berbeda. Tidak hanya yang paling panjang, namun juga yang paling terjal. Tenaga sungguh terkuras dan nyali sungguh ditantang. Kudengar banyak pendaki yang berteriak, “Aku menyesal. Sungguh menyesal”. Itu adalah ungkapan hati yang mencoba membangkitkan daya agar raga tidak rebah. Syukur pada waktu itu, di sebelah kiri terlihat gagah puncak Rinjani yang mengundang keberanian. Cuaca sangat bersahabat. Temaram sinar senja memoles pucuk Rinjani, mengubahnya menjadi wajah pengantin nan molek menawan.
Aku dan isteriku pun bersemangat untuk segera menyelesaikan target hari ini. Langit bening yang berbalut cahaya mentari senja memampukan aku untuk terus melangkah. Kendati raga benar-benar di ambang ketidakberdayaan. Sesuai rencana saat mulai bermunculan bintang-bintang malam, kakiku telah berdiri kokoh di labirin segara anak.
Pelawangan Sembalun.
Sayangnya, hari ini di ujung barat barisan awan jingga menutup matahari. Aku pun segera ingin mencari tempat yang nyaman. Agar tenda dapat menudungi istirahat malam nanti. Ingin kudirikan tenda sedekat mungkin dengan selter mata air. Namun, aku mempertimbangkan Timbul yang akan kesulitan mencariku. Apalagi suasana malam. Pasti di tengah lelahnya akan menambah frustasi saat tenda tidak cepat ditemukan. Akhirnya, kuputuskan untuk mendirikan tenda di ujung Plawangan.
Segera kudirikan tenda. Sejenak beristirahat. Lalu aku pun keluar tenda untuk mencari air. Agar segera dapat menyiapkan hidangan malam. Cuaca malam sangat cerah. Aku bagaikan berpayung tudung yang penuh dengan taburan kerlip bintang. Kubertanya pada para porter ataupun pendaki yang ada di sana. Ternyata mata air masih harus kutempuh sekitar 30 menit. Aku berharap isteriku mau beristirahat dan menunggu di dalam tenda. Namun, ia bersikeras untuk menemaniku. Akhirnya kami berdua menyusuri labirin pelawangan hingga tiba di pos mata air.
Di pos ini, para pendaki perlu hati-hati karena di sekeliling pancuran terdapat ranjau-ranjau kotoran manusia. Juga adanya daun jelantang, yang siap menyengat dan menimbulkan gatal yang amat sangat.
Air aku dapatkan. Sekitar 15 liter aku membawanya dengan harapan sekali saja mengambilnya, karena tempatnya memang agak jauh. Sesampainya aku  di tenda. Terlihat Timbul sudah nyaman berada di dalam. Ia terlihat sangat letih. Lalu kami pun menyiapkan hidangan malam. Memasak sebisanya. Makan malam dengan derai tawa. Lalu, sekitar pukul 22.00, kamipun beristirahat. Semoga tenaga pulih kembali karena esok hari akan berlomba dengan matahari untuk menginjakkan kaki di atap tertinggi pulau Lombok.

Selasa, 29 Juli 2014: Menghitung jejak
Sengaja aku mengatur waktu untuk berjaga tepat pukul 02.00. Menurut informasi jarak tempuh dari pelawangan Sembalun menuju puncak sekitar 4 jam. Dengan beban yang tidak terlalu banyak aku yakin akan mampu menjalaninya. Weker berbunyi. Segera kubuka mata. Terlihat isteriku dan Timbul masih nyaman dalam lelapnya. Segera kusiapkan masakan untuk bekal summit attack. Sekitar pukul 02.30, aku bangunkan timku. Segera kami pun menikmati sereal dan segelas susu hangat. Segala sesuatunya telah siap. Tekat dan mental juga telah siap. Tepat pukul 03.00, kami keluar tenda.
Angin yang sepoi menyapa wajah kami. Dingin menusuk tulang. Menyiutkan nyali. Namun, tekad telah bulat. Temaram cahaya langit mampu menunjukkan gagah, kokoh dan tegar puncak Rinjani seolah mengundang kami untuk segera bercengkerama dengannya. Barisan lampu-lampu senter telah berjajar mendahului. Pendakian yang cukup ramai. Pelan-pelan kami pun melangkah. Ternyata, rombonganku adalah yang terakhir. Di belakang kami sudah tidak ada lagi pendaki. Semua telah di depan. Kami sepakat untuk pelan-pelan. Kalau dapat sunrise di puncak itu adalah bonus. Bukan target utama. Kami sungguh menikmati petualangan ini. Selepas hutan cemara. Tanjakan dengan medan kemiringan sekitar 45-60 derajat mesti kami tapaki. Jalan pasir menjadikan tiga langkah menjadi satu langkah. Perjalanan yang berat. Namun cahaya langit menjadi penghiburan yang tiada tara. Cukup cepat aku dan isteriku melewati medan tahap pertama. Sedangkan Timbul masih jauh di belakang.
Menurut informasi yang kami dapatkan bahwa jalur pelawangan Sembalun menuju puncak dapat dibagi tiga golongan. Pertama, medan terjal dengan kemiringan yang ekstrim. Kedua, medan terjauh tetapi landai dengan kemiringan maksimal 30 derajat. Ketiga, medan terakhir kemiringan maksimal 40 derajat tetapi yang paling sulit. Karena medan batu bulat. Bukan pasir. Bebatuan yang labil. Tantangan terberat di medan yang ketiga ini. Atau lebih terkenal dengan sebutan medan leter “E” adalah kadar oksigen yang berkurang.
ni samudra awan yg diterangi cahaya mentari terbit. mo sunrise. ni blom nyampe puncak rinjani lho ya
Sekitar pukul 04.30, aku dan isteriku telah sampai di medan kedua. Kami bersyukur karena pagi ini, angin bertiup sepoi. Tidak ada badai. Udara juga tidak terlalu dingin. Langit sangat cerah. Sehingga gugusan bintang seperti sengaja disebar diangkasa. Sedangkan jauh di bawah, panorama lampu-lampu penduduk juga terlihat sangat elok. Sebuah suguhan alam yang amat sangat indah. Aku dan isteriku sangat menikmatinya. Hanya berdua. Semburat merah dari ufuk  timur semakin menggelorakan inginku. Kuputuskan untuk menikmati panorama sunrise di ujung leter “E”. karena luas puncak tidak seberapa. Tidak menampung semua pendaki. Aku melihat para bule, pendaki manca telah dahuluan memenuhi area puncak. Harus gantian.
Dalam kagumku juga isteriku, ada satu pendaki yang ternyata teman dari Jakarta yang sebelumnya telah ketemu di Pos I. Akhirnya kami bertiga, menikmati cahaya surya dengan seribu keindahan yang tak mampu kami bahasakan dari titik ini. Sebelah timur indah mentari yang baru keluar dari peraduan. Sebelah utara barisan hijau hamparan perbukitan dengan batas cakrawala lautan. Sedangkan di sisi barat biru, hijau dan kuning warna pelangi dari indah danau segara anak. Aku hanya takjub dengan suguhan alam ini. Setelah mentari agak meninggi, saat peralihan dari golden sunrise menjadi silver sunrise, pelan dan pasti berarak awan tebal bagaikan barisan domba menutup lembah. Hingga pemandangan berubah bagaikan kami berdiri di hamparan lautan awan. Sungguh pemandangan yang tidak terbahasakan.
biar kliatan romantis. menyambut sunrise di puncak rinjani
Dahaga hati karena penatnya rutinitas tidak mampu terpuaskan. Namun, di kejauhan aku melihat para bule telah turun. Berarti atap Rinjani ada ruang. Segera kembali kulanjutkan langkah. Setelah sekitar 30 menit menikmati indah Rinjani, aku merasa hilang daya dan tenaga. Begitu pula dengan isteriku. Ia beberapa kali berucap, “Aku nyerah. Sampai di sini saja”. Pada hal puncak nyata telah bertengger di depan mata. Namun apa daya tenaga seolah tidak ada. Hingga akhirnya, aku mengeluarkan jurus terakhir. Jurus menghitung langkah.
mantap kan. ni keindahan alam yg mampu mengusir keputusasaan. sunrise rinjani
Setiap 20 langkah aku berhenti. Menghela nafas. Kuatur karena ogsigen memang sedikit. Sengaja kukeraskan hitungan agar isteriku bersemangat. Seratus langkah. Dua ratus. Hingga tepat 500 langkah. Kakiku berdiri tepat di bawah gagah sang saka merah putih. Pada titik waktu 06.30, mataku tajam menatap plakat yang bertuliskan, “TOP Rinjani, 3.726 mdpl”. Akupun bersujud. Bersyukur. Kurangkai doa syukur atas perlindungan-Nya dalam menyelesaikan perjalan, pendakian dan petualangan ini. Isterikupun begitu.
biar yang lain terinspirasi unt ikutan jejak kami. sunrise rinjani
Pada saat kami tiba di puncak Rinjani, di sini hanya ada 3 pendaki. Itu pun lokal. Mereka dari kota Kudus, Jateng. Karena pendaki yang menikmati puncak tidak banyak. Maka, akupun dengan leluasa menikmati surga Rinjani. Ternyata dari ketiga pendaki Kudus itu, satu diantaranya aku kenal. Dan kami pernah melakukan pendakian bersama. Tuhan punya rencana indah. Pertemuan yang tidak pernah terduga. Persahabatan yang tersegarkan kembali. Terimakasih Rinjani. Indahmu mempertemukan dan menyatukan persahabatan yang telah termakan waktu.
kami berdua, nyampe jg di atap tertinggi lombok. puncak rinjani
Sekitar 30 menit aku dan isteriku menikmati suguhan alam pulau Lombok dari puncak gunung Rinjani. Lalu aku dan isteriku pun kembali melangkah untuk kembali. Tepat di leter “E” aku ketemu Timbul yang masih semangat untuk menggapai puncak. Kami pun saling bersalaman dan meneguhkan harapan. Kembali Timbul berpesan, bahwa ia akan terus melangkah. Tidak perlu mengkawatirkan dirinya. Ia akan terus berjuang demi menggapai atap tertinggi Lombok.
saatnya turun. tu masih disuguhi indahnya negeri di atas awan rinjani
Pendakian yang terdiri dari tiga orang namun yang seorang selalu menjauh. Aku merasa Timbul ada kesengajaan. Mungkin ia merasa tidak enak, karena aku bersama dengan isteriku. Mungkin ia tidak ingin mengganggu suasana romantik kami. Trimakasih atas pengertiannya, hehe.
tu yg di blakng namanya danau segara anakan rinjani
Sepanjang jalur turun, pemandangan tetap menarik. Kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang masih bersemangat ingin menggapai puncak. Sesekali kami juga mendahului pendaki lain yang sudah keletihan. Akhirnya, tepat pukul 10.00 kami telah tiba di selter mata air. Aku dan isteriku sengaja untuk berhenti di sana untuk membersihkan diri dari debu Rinjani. Aku tertawa melihat diriku yang bagaikan berbedak debu. Begitu pula isteriku. Sekitar satu jam aku dan isteriku beristirahat dekat mata air. Sambil membersihkan diri dan juga mengambil air untuk masak makan siang kami.
Selepas mengambil air, Timbul sudah menunggu di atas. Aku mengakui kalau soal turun gunung, Timbul adalah jagonya. Tetapi kalau mendaki nampaknya ia kewalahan. Ia beristirahat dan mempersilahkan aku juga isteriku untuk berjalan duluan menuju tenda. Kuiyakan. Aku pun melangkah. Hingga, aku catat dalam memoriku bahwa saat kami tiba di tenda waktu menunjuk tepat pukul 11.30.
ni tenda kami di plawangan sembalun. puncaknya tu td di sana. dekat kan?
Sesampainya di tenda, maka dengan segera perut pun berdendang, mengingatkan untuk segera diisi. Kini, tiba waktunya untuk menyiapkan menu spesial bumbu rahasia. Siap berpesta menu ala anak gunung.
Siang berlalu dengan tenang. Raga yang lelah menjadikan kami pun lelap dalam buaian angin sejuk pelawangan. Sebenarnya kami berencana, bahwa usai turun dari puncak kami akan langsung menuju ke danau segar anakan. Namun, Timbul merasa tidak mampu. Raganya terlalu lunglai. Hingga kami putuskan untuk menambah satu malam bersama taburan bintang di hening cakrawala.
Semakin sore, udara makin menusuk tulang. Memaksa aku terjaga lebih awal. Timbul dan isteriku masih nyaman dalam dekapan sleeping bag. Cerita-cerita heboh, akrab dan penuh dengan rasa persaudaraan tedengar sayub dari beberapa tenda. Sejauh memandang di punggungan pelawangan ini, terlihat barisan tenda penuh dengan warna-warana yang menyolok. Semburat warna jingga di ujung barat menggugah harapanku untuk bercengkerama dengan indah view mentari terbenam. Alam Rinjani sungguh bersahabat, ia tahu kalau aku merindu. Maka, dengan pesonanya ia menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Sunset pelawangan Sembalun.
Malam pun merangkak pelan. Udara makin dingin menusuk tulang. Setelah menyantap hidangan malam. Kamipun segera lelap. Kami berharap dapat maksimal untuk memulihkan tenaga. Sehingga esok hari dapat melanjutkan kisah untuk menuju segara anakan. Menjelang dini hari, seperti yang kami lakukan. Banyak pendaki mulai ribut untuk persiapan mengejar sunrise di pucuk Rinjani. Aku hanya tersenyum mendengar suara-suara itu, terasa lucu karena aku telah melewatinya. Tidurpun berlanjut.
Rabu, 30 Juli 2014: Surga itu Nyata, Danau Segara Anakan
Pagi mengintip. Udara kian mengundang selera untuk segera keluar dari mimpi. Kubuka tenda. Aku terpana. Cuaca bersahabat, karena sangat cerah. Tidak seperti kemarin yang bagaikan di atas samudera awan. Hari ini beda. Pagi ini, sejauh memandang terlihat hijau hutan yang bergalir-galir bagaikan kekuatan otot-otot kekar. Jauh terlihat lampu-lampu masih terang menyala. Sebentar lagi mentari pagi akan bertengger. Kubangunkan isteriku dan aku pun segera beranjak untuk mencari tempat yang nyaman. Agar bisa menikmati suguhan alam dengan lebih lama.
Pelawangan Sembalun telah menyajikan berbagai keindahan. Saat ini, kami dipaparkan panorama alam yang luar biasa. Mentari bersinar dengan gagah. Hari kedua ini, aku bersama isteriku kembali dapat menikmati view golden sunrise hingga silver sunrise. Terimakasih alam. Takmampu kuberkata-kata. Hanya kekaguman demi kekaguman.
sunrise hr ke dua. cukup di plawangan sembalun. keren kn?
Sekitar 60 menit aku bercengkerama dengan keindahan alam. Segera kukembali ke tenda. Timbul masih nyaman dalam pelukan sleeping bag. Segera aku pun membuat sarapan. Aku targetkan maksimal pukul 08.30 harus mulai turun. Makanan telah siap. Sarapan. Bongkar tenda. Packing. Kembali kami, siap untuk melanjutkan kisah dan sejarah hidup.
Tidak seperti yang kubanyangkan bahwa ternyata, jalur menuju danau cukup curam. Harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Aku pikir jalur menuju segara anakan tidak terlalu jauh. Namun, memang jauh. Medan turun adalah medan paling menakutkan untuk isteriku. Apalagi pada waktu itu kami melihat ada porter yang terjerembab, jatuh berguling-guling. Yang jagoan aja jatuh, apa lagi kami. Isteriku beberapa kali menjerit ketakutan. Setiap kali ia panik, aku hanya tersenyum. Ternyata jam terbang tidak dengan sendirinya mengubah paranoit menjadi sang pemberani.
Satu jam berlalu. Setapak masih terlihat meliuk, menari menanti kami menapakinya. Dua jam kami pun bersitirahat. Semangat membara kian redup. Nafas makin terengah. Namun, ujung segara anak tak juga nampak. Istirahat dan kembali berjalan merupakan cara untuk bisa terpana dengan keindahan serta keunikan alam segara anakan Rinjani. Sepanjang perjalanan kami bertemu dan berpapasan dengan pendaki lain yang dari jalur Senaru. Berulang kami bertanya, “masih jauhkah?” dan jawabannya juga selalu sama, “Sebentar lagi nyampai kok. Semangat!”
aku dan timbul mengikuti isteriku yg turun dg rasa takutnya. semangat. tinggal bbrp langkah lg haha
Kabut siang ini menjadi payung raksasa, menaungi sepanjang petualangan. Ia juga menyembunyikan ujung danau. Namun, sepintas terlihat biru dan hijau air danau. Aku bersemangat dan kuceritakan pada isteriku. Namun karena ia sudah putus asa, ia tidak pernah percaya. Namun, aku bersyukur kendati ia sangat frustasi, namun ia terus mau melangkah. Dan sudah menjadi prinsipku, selama pendaki mau melangkah maka ia akan sampai pada tujuannya.
Hingga tepat pukul 11.30, kami berada di bibir segara anakan Rinjani. Aku kembali terkesima. Terpana.
Di sini sudah ada banyak pendaki yang bersantai dan menikmati keindahan danau. Kami berdiskusi untuk menentukan tempat nenda. Tidak kupikirkan sebelumnya, ternyata ada sapaan, “mari mas, dirikan tendanya di sebelah kami saja”. Ternyata mereka adalah rombongan Kudus. Mereka telah asik memancing. Kami pun segera mendirikan tenda. Mencari air tawar. Karena air danau tidak baik untuk dikonsumsi. Tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit. Air tawar telah kami dapat. Maka kami sempatkan untuk menikmati segarnya pemandian air hangat.
Saatnya berendam. Memulihkan tenaga. Merilekan otot-otot raga yang lunglai. Terasa nyaman, santai dan damai. Sekitar satu jam aku, isteriku, Timbul dan beberapa pendaki berendam di pemandian air hangat. Di pemandian ini, terdapat juga penduduk setempat yang terapi. Mereka percaya bahwa kolam air hangat itu berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Bahkan pada waktu itu, ada dua orang yang sudah menginap 4 malam. Secara pribadi aku pun merasakan efek mujarab dari kolam tersebut. Hilang rasa pegal-pegal, hilang juga rasa capek. Tubuhpun terasa segar. Seolah-olah siap untuk diajak kembali berpetualang.
Segera kami pun menuju tenda, memasak.
Makan siang.
Saatnya istirahat. Bobok siang yang paling nyaman, santai. Damai.
Udara dingin menyengat, membuyarkan nyaman dalam buaian indah danau segara anakan. Saat kubuka mata, waktu telah menunjuk angka 16.30. Niat awal untuk membeli ikan sebagai lauk untuk makan malam, kelihatannya tidak akan terlaksana. Bumbu sudah aku persiapkan dengan harapan akan ada banyak pendaki lokal yang memancing dan menjual hasil dari pancingannya.  Tetapi kelihatannya, mereka masih dibuai oleh suasana lebaran. Sehingga tidak ada tanda-tanda pemancing-pemancing lokal yang mahir dalam menangkap ikan akan datang dan menjual tangkapannya.
Untuk mengobati rasa ingin agar bisa menyantap hidangan istimewa, kami pun berlomba untuk memancing. Satu jam berlalu, tak satu ikanpun aku tangkap. Begitu pula dengan Timbul. Padahal pendaki setempat yang berada di sebelahku, tak henti-hentinya menarik pancingnya dengan beban ikan yang cukup besar. Aku pun terheran-heran, umpan sama, pancing juga sama. Tetapi kami kok tidak mendapat. Dua jam pun berlalu dan masih nihil. Hingga malam merangkak dan menutup cahaya, namun tak satu ikanpun berhasil aku tangkap.
Ikan segar tidak bisa menemani hidangan malam terakhir dalam pendakian ini. Hingga, sarden pun menjadi penggantinya. Usai makan malam. Isteriku telah nyaman dalam istirahatnya. Sedangkan aku, Timbul dan beberapa pendaki asik menikmati hangatnya api unggun, menikmati sedapnya kopi sambil berbagi kisah. Kehangatan persaudaraan mampu sejenak mengusir dinginnnya udara malam. Hingga tidak terasa waktu telah berada pada titik 22.00, aku memutuskan untuk istirahat awal, agar besok memiliki tenaga cukup untuk turun menuju base camp Senaru.
Ditemani dengan kicauan para pendaki yang bercengkerama dengan indah pemandangan segara anakan pada waktu malam, taburan berjuta bintang yang bagaikan kilau permata, keakraban persahabatan, semangat kebersamaan serta hadirnya kehangatan dari tarian lidah-lidah api unggun, menghantarku pada istirahat yang sungguh menyegarkan. Ada kedamaian hati yang tidak mungkin terwakilkan dengan kata.

Kamis, 31 Juli 2014: Kembali Berjumpa dengan Peradaban
Di saat mentari bertengger dengan anggun membagikan gairah hidup, aku terjaga dengan semangat baru. Membuka tenda, mata memandang jauh ke hamparan air danau yang berwarna jamak, seolah bagaikan sambutan kedatangan tamu kerajaan. Sahabat-sahabat pendaki telah beraktifitas di sekitar danau, ada yang memancing, ada pula yang membersihkan badan, ada pula yang memasak. Aku pun segera terlibat untuk mendulang tenaga. Menu terakhir aku racik. Berharap sebelum jam 09.00 dapat meninggalkan keindahan danau segara anakan menuju base camp Senaru.
Keyang sudah perut terisi. Bongkar tenda pun usai. Packing juga sudah selesai. Saatnya melanjutkan kisah dengan meninggalkan jejak sepanjang setapak antara segara anak dan Senaru. Kendati segalanya telah siap, namun hati enggan juga melepaskan semuanya. Menyadari bahwa ada perjumpaan pasti ada perpisahan tidak juga menjadikanku mudah berlalu. Hatiku telah tertambat di keindahan danau segara anakan.
Aku, isteriku juga Timbul akhirnya mengulur waktu, berharap hati yang tertambat mau melonggarkan ikatannya. Membingkai panorama serta peristiwa dalam gambar adalah cara untuk berani beranjak. Hingga, akhirnya tepat pukul 09.30, kami bertiga berpamitan dengan sahabat-sahabat petualang yang telah menjalin persaudaraan di hamparan danau. Berat hati untuk melangkah, namun bayangan jauhnya perjalanan memaksa untuk meningkatkan asa.
tu banyak yg mancing kan. sayangnya kami tdk dapat. buat PR trip yg akan datang. smoga
Menyusuri pinggiran danau selama 30 menit membawa kaki kami berada pada setapak dari arah Senaru. Jalurnya terlihat jelas. Ada banyak turis dan pendaki manca yang mengawali petualangannya dari Senaru. Kami pun bertemu. Tak lupa kami juga mengabadikan beberapa peristiwa di tempat ini. Bertegur sapa dengan beberapa pendaki, baik setempat, manca maupun lokal Indonesia. Sungguh persaudaraan yang tulus.
trek ini blom lh apa-apa. masih byk trek yg lebih sadis tp menantang
Kaki terus meniti setapak yang tidak ramah. Tanjakan curam dengan batu-batu labil, serta  bibir jurang menemani sepanjang perjalanan. Inilah petualangan. Namun yang selalu aku rindu, saat nafas terengah-engah, asa meredup bila berjumpa dengan tantangan tanjakan yang super tajam, aku akan segera berpaling ke belakang untuk menyaksikan serta menikmati indah segara anakan. Warna-warni yang terpantul karena efek dari belerang serta kedalaman danau menjadikan kilau warna yang anggun. Empat jam dari bibir danau, langkah kakiku kini tepat berada di Pelawangan Senaru. Dari sini, Rinjani menyuguhkan panorama yang mahaindah. Ada lukisan alam dari eloknya segara anakan, sabana yang seolah tak terbatas juga barisan kabut serta awan yang berarak manja. Tidak henti-hentinya aku hanya terkagum-kagum. Bengong dan mlongo.
buat hiburan. menikmati danau segara anakan
Untuk beberapa saat, kunikmati dan kuhabiskan waktu bersama lukisan Sang Pencipta di pelawangan Senaru ini.
menikmati yg indah-indah dr plawangan senaru
Tepat pukul 14.00, kembali kulangkahkan kaki yang kian koyak untuk mepaki terjalnya setapak. Setengah jam berlalu kamipun bertemu dengan selter. Berharap Pos Tiga segera terjumpai. Namun harapan itu tak juga tiba. Hingga akhirnya tepat pukul 15.30 kami baru tiba di Pos Tiga. Segera kami pun menyiapkan hidangan sederhana, tentunya instan. 10 menit pun jadi. Makan. Beres-beres. Tepat pukul 16.00 kembali kamipun melangkah.
Setelah Pos Tiga, medan setapak mulai berbeda. Kalua sebelumnya dari pelawangan hingga pos tiga banyak bertemu dengan savanna, padang rumput, perdu, sinar mentari yang tanpa penghalang juga debu-debu yang berterbangan. Kini, aku dihadapkan pada kanopi hutan yang masih sangat lebat. Hutan belantara dengan aneka pepohonan, dari yang masih imut baru keluar dari benihnya hingga pohon raksasa yang tidak bisa dipeluk 5 orang dalam satu genggaman. Bahkan sinar perkasa  sang surya pun tak mampu menembusnya. Karena hutan belantara yang masih padat itulah, nyaliku pun ciut. Aku menjadi khawatir, cemas dan takut terhadap binantang buas yang bisa datang dengan tiba-tiba.
Kendati aku tahu bahwa hal tersebut amat jarang terjadi. Apalagi setiap lima menit masih bisa bertemu dan berpapasan dengan pendaki dari arah Senaru. Setapak masih ramai namun hatiku tetap was-was. Sekitar pukul 17.00, aku pun tiba di Pos Dua. Setapak masih sama, hutan rimbun padat. Suasana mulai remang. Kupercepat langkahku begitu pula isteriku. Berharap untuk segera tiba di Pos Extra, Pos Satu dan sampailah di Base Camp. Namun, semakin besar harapan maka seolah semakin jauh untuk tergapai. Lelah raga makin memperparah suasana hati yang tidak nyaman.
Setibanya di Pos Extra cahaya mentari yang samar sudah tidak lagi mampu menunjukkan setapak. Maka harus mengeluarkan alat bantu. Baterai yang sudah terpakai beberapa malam kian redup. Setapak tidak terlihat jelas. Sementara suasana hutan makin mencekam. Ada suara-suara yang tidak jelas. Keberanianku menciut. Kekhawatiran dan kecemasan menguasai suasana hatiku. Untuk mengurai itu semua, kucoba berdoa, menyebut nama Yang Ilahi dan mencoba bersandar pada kerahiman-Nya.
Kulihat isteriku juga mengalami hal yang sama. Ia juga mengalami ketakutan yang luar biasa. Tidak ada suara pendaki lain. Kami juga tidak bertemu dengan pendaki baik yang kana naik maupun yang turun. Porter pun juga tidak ada. Kami hanya berdua. Menapaki setapak untuk pertama kalinya dihutan yang sangat lebat benar-benar bagaikan uji nyali. Di tengah ketakutan yang kian membuncah itu, terlihat ada pantulan atap. Berarti Pos Satu. Akupun berteriak, berharap ada pendaki yang beristirahat di sana. Tidak ada jawaban. Nihil.
Di pos ini yang memiliki area camp yang cukup luas dengan setapak yang lalu lalang menjadikanku bingung menentukan arah. Akhirnya aku hanya mengandalkan insting. Senter tak mampu lagi menembus jarak 3 meter. Pandangan makin kabur. Aku terus berharap untuk segera ketemu dengan gerbang pendakian Senaru. Kecemasan makin menguasai hatiku. Yang ada hanyalah ketakutan yang luar biasa. Dalam suasana yang seperti itu, akhirnya kualihkan dengan melangkah bagaikan sang pelari. Aku dan isteriku tidka lagi berjalan tetapi berlari. Jatuh dan jatuh lagi tidak juga mampu menyiutkan ketakutan itu. Yang ada malah semakin takut.
Di tengah kegalauan yang seperti itu, terlihat jauh di sana ada kerlip cahaya lentera. Aku berharap itu lah gerbang pendakian. Sekitar 5 menit kemudian. Samar kulihat gagah gerbang pendakian. Hatiku sontak berteriak gembira. Dan sayup-sayup kudengar ada obrolan. Aku besarkan harapan untuk bertemu dengan manusia dan bukannya mahkluk lainnya.
Sekitar 30 meter dari gerbang tersebut ternyata ada warung. Hanya satu rumah yang dihuni oleh orang tua. Belum ada listrik. Hanya ada lentera. Timbul telah menunggu di sini. Ia sedang menikmati segelas teh panas.  Hati menjadi lega. Plong.
Segera kuletakkan tas kerir yang yang sudah tak berasa. Kupesan teh begitu pula isteriku. Kami beristirahat cukup lama. Karena untuk menuju base camp masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit lagi. Kami pun menikmati keletihan juga kegembiraan ini.
Kini setapak menghantarku untuk menyusuri perkebunan penduduk. Suasana masih sama. Tidak ada rumah penduduk. Karena perumahan berada di sekeliling base camp. Namun, hati tidak terlalu risaua. Apa lagi kami telah genap menjadi tiga personil. Dari gerbang pendakian, kami telah menghubungi Bang Jan dan ternyata beliau telah stand by di base camp. Sungguh sambutan yang profesional.
Lelah raga telah terkalahkan dengan harapan untuk segera berjumpa dengan peradaban. Kami terus melangkah. Kendati langkah makin terseok. Namun asa memampukan kami untuk terus mengukir kisah di atas setapak. Cahaya lampu neon mulai bertaburan. Menandakan peradapan sudah dipenghujung mata. Kami makin bergairah dan semangat. Hingga tepat pukul 20.00 kami telah tiba di base camp. Ban Jan langsung mendatangi dan menyelamati kami.
“Selamat ya. Jam berapa turunnya?”
 “Jam 09.30”, jawabku.
“Hebat. Ternyata bisa lebih cepat dari waktu standar. Biasanya dari segara anakan hingga sampai di base camp sekitar 12 jam”
Aku hanya terdiam. Namun dalam hati saya tertawa. Ketika mengingat peristiwa ketakutan yang amat sangat. Hingga menjadikanku sebagai atlit running dadakan. Bukannya jalan menuruni gunung tetapi lari. Hehe.
Kami dipersilahkan untuk masuk ke mobil. Di sepanjang perjalanan kami banyak berbagi kisah. Namun, di kedalaman hatiku aku masih menyempatkan diri untuk bersyukur atas pendampingan Sang Pencipta, atas keselamatan, atas kesempatan sehingga bisa menikmati keindahan alam Rinjani. Putaran ingatan itu meneguhkan harapanku untuk terus bersyukur atas kesempatan ini dan jika ada waktu lebih, selama masih raga mampu menopang asa, aku akan selalu dan selalu meluaskan hidup untuk terus menginjakkan kaki pada setapak-setapak hutan dan gunung. Bagiku melalui belukar, terjalnya tebing, samarnya setapak, lebatnya hutan, keraguan, kecemasan dan ketakutan akan membawa diriku untuk dekat dengan Yang Kuasa, untuk bisa belajar mengalahkan diri, memberi dan menerima kehadirtan orang lain. Maka, aku akan rindu dan selalu rindu untuk kembali menapaki setapak Rinjani.