Pendakian Gunung Sumbing Via Butuh, Kaliangkrik
Kegelisahan dan kegundahan dalam
dada ini sudah terlalu lama menyesak. Kerinduan akan indah alam pegunungan yang
selalu beda cerita. Rasa penasaran dalam benak ini sudah lama menunggu untuk
dipastikan. Penasaran akan rahasia gunung Sumbing via Kaliangkrik yang
berketinggian 3.371 mdpl. Jalur ini belum resmi. Aku mendengar cerita tentang
jalur ini pada saat pendakian gunung Sumbing yang pertama via Garung pada tahun
2006. Cukup lama rasa penasaran dan kerinduan di hati.
Keinginan untuk bercengkerama dengan
keindahan Sumbing berkecamuk ditengah hiruk-pikuk rutinitas kerja. Padahal rasa
itu sudah ada, semenjak aku masih punya waktu cukup longgar, yaitu saat masih
kuliah. Pergantian tahun yang ditandai dengan kalender baru. Saat menerima
kalender, yang kucari pertama kali adalah hari libur yang agak panjang. Tahun
2014, kulihat ada waktu untuk long week end.
Maka, kujatuhkan pilihan dan agenda yang tidak mungkin ditawar lagi,
Sabtu-Senin, 29-31 Maret 2014 aku akan menyusuri setapak Sumbing lewat Kaliangkrik.
Namanya juga jalur yang belum
diresmikan, tidak mengherankan kalau informasi tentang jalur ini masih sangat
terbatas. Teman-teman pendakipun awam dengan jalur ini. Akhirnya untuk mengais
informasi, dumay menjadi alternatif. Berdasarkan
hasil googling untuk sampai di basecamp pendakian jalur Kaliangkrik,
pertama-tama mesti menuju Magelang, kemudian dilanjutkan ke kecamatan
Kaliangkrik. Baru kemudian menuju dusun Butuh.
Sedikit informasi tentang Sumbing
bercampur dengan rasa penasaran yang tinggi, menghantar aku (yang akan lebih
sering dipanggil Pak Heri), istriku (Regina Nunuk, yang akan lebih sering
dipanggil Bu Heri), Thomas Agung W. (akrab dipanggil Timbul), Yessia Amanda (bangga
dipanggil Pink) dan Yulius Andre P. sepakat untuk menanjak bersama. Karena
kesibukan yang berbeda, maka rencana kegiatan dan pendakian hanya bisa
dikomunikasikan lewat SMS.
Sabtu, 29 Maret 2014, usai
menyelesaikan rutinitas kerja. Aku pun pulang. Isteriku belum sampai di rumah.
Waktu yang tidak banyak segera kuisi dengan packing.
Semua barang perlengkapan pendakian serta logistik aku kemasi dalam kerrir.
Belum selesai packing, isteriku
pulang. Sejenak kuhentikan aktifitas untuk sekedar mendulang tenaga dengan
makan siang. Packing berlanjut.
Selesai. Mandi. Sejenak menunggu Timbul dan Pink. Akhirnya, tepat pukul 15.45,
kami berempat meninggalkan Solo untuk menuju Magelang. Andre menunggu di
pertigaan Ketep Pas, Selo karena ia datang dari Salatiga.
byk lewati sabana
Meliuk motor kami menyusuri jalanan
yang menanjak dan menikung. Kami sengaja memilih jalur Selo, agar rasa rindu
terhadap indah panorama gunung makin meninggi. Indah gugusan lereng Merapi dan
Merbabu dengan lukisan ladang penduduk menjadi teman perjalanan ini. Selepas
Kecamatan Selo, jalanan didominasi lubang terjal. “Inilah petualangan”.
Tepat pukul 17.15, kami tiba di
tempat yang disepakati. Andre belum terlihat. Kami pun menuggu. “Jame Andre ki bedo”, celetuk Pink untuk mengurai kejenuhan menunggu. “Andre ki
emang punya waktu sendiri. Tapi gak jam nasional. Jam individu. Makane gak akan
pernah terlambat”. Timpal Timbul. Kami pun tertawa gembira. Canda tawa mulai
mengalir menemani istirahat kami, sambil menunggu Andre tiba.
Yang ditunggu datang pada titik
18.15. Satu jam kami menunggu. Tetapi tidak terlalu terasa. Karena yang ada di
dalam benak hanyalah soal petualangan. Kegiatan tanpa target yang ketat.
Longgar. Bebas. Yang memberi ruang jiwa untuk merdeka bernafas.
“Sorry nda, telat. Ni karena aku
bawa teman. Empat orang”. Kami pun saling berjabat tangan dan berkenalan. Mereka adalah Bangkit, Yusuf, Puput (akrab
dipanggil Oni) dan Cepi. Tegur sapa dan say
hello pun berlalu. Tanpa menunda waktu, kami yang sekarang menjadi tim 9,
mulai bergerak menembus pekat malam untuk menuju Magelang.
Dari pertigaan Ketep Pas menuju perempatan Blabak, jalanan didominasi kubangan dan lobang. Motor kami yang beragam dan tidak didesain off road, menjadikan rombongan terpisah serta terberai. Sesampainya di Blabak satu motor telah tersesat. Sehingga perjalanan mesti ditunda untuk berburu teman yang hilang. Kami pun saling berlomba untuk menemukan yang pertama. Serangan telpon pun gencar kami lakukan. Alhasil, teman yang hilangpun berhasil dievakuasi. Tim 9 telah komplit, petualangan pun siap dilanjut.
Dari pertigaan Ketep Pas menuju perempatan Blabak, jalanan didominasi kubangan dan lobang. Motor kami yang beragam dan tidak didesain off road, menjadikan rombongan terpisah serta terberai. Sesampainya di Blabak satu motor telah tersesat. Sehingga perjalanan mesti ditunda untuk berburu teman yang hilang. Kami pun saling berlomba untuk menemukan yang pertama. Serangan telpon pun gencar kami lakukan. Alhasil, teman yang hilangpun berhasil dievakuasi. Tim 9 telah komplit, petualangan pun siap dilanjut.
tim komplit, yg 1 motret
Kebingungan dan ketidaktahuan
mengenai medan petualangan tidak selalu terkait dengan rimba dan hutan, di kota
pun hal ini bisa terjadi. Kami bersembilan tidak ada satu pun yang tahu arah menuju
kecamatan Kaliangkrik. Yang membedakan adalah banyaknya sumber informasi dan
tempat bertanya. Sesampainya di Magelang kami pun langsung berburu tahu
“dimanakah Kaliangkrik itu berada?”
Menurut
beberapa sumber yang kami tanyai dan semua mengatakan “dari alun-alun Magelang
arah barat, setelah ketemu dengan lampu merah pertama silahkan memilih ke arah
kanan atau yang turun. Ikutin terus hingga ketemu pertigaan arah Bandongan,
pilihlah arah kiri dan ikutin terus hingga sampai di Kaliangkrik”. Jelasnya
informasi tidak serta merta membawa keyakinan, karena kami memang masih asing
dengan daerah di mana kami berada. Ketidakyakinan itu memaksa kami untuk terus
mencari kepastian dengan banyak bertanya. Hingga akhirnya, tepat pukul 20.00
kami tiba di pasar Kalingkrik. Di sini kami berbelanja melengkapi perbekalan.
Ada toko swalayan yang lumayan komplit. Ada pula pasar sayur yang buka malam
dengan harga murah. Tidak lupa kami juga menggali info agar bisa merapat di base camp pendakian.
Dari
pasar Kaliangkrik lurus ke arah barat, mengikuti jalur turun. Lalu berjumpa
dengan pertigaan, kami disarankan untuk belok ke kanan hingga menemui SD Negeri
Temanggung. Perjalan malam memang memiliki sensasi tersendiri. Mata telah
menjelalat namun SD yang dimaksud telah lama tertinggal. Hingga kami pun
terpaksa berbalik arah untuk menemukan SD tersebut. Di samping bangunan SD
tersebut ada jalanan yang menuju dusun Butuh. Kurang lebih jarak tempuh yang
mesti kami lewati sekitar 5 Km.
Motor
kami kembali meliuk menembus pekat malam dengan medan kampung yang jarang
penduduknya. Hingga kami bertemu pertigaan yang ada masjidnya. Kami mengalami
kebingungan. Hingga akhirnya kami pun harus menunggu ada penduduk yang lewat.
Perlu kami sarankan bila menginginkan perjalanan lancar, sebaiknya menghindari
jalan malam karena jarangnya warga yang lalu lalang. Dari info yang kami
terima, perjalanan mesti dilanjutkan dengan mengambil jalan arah kiri. Lurus
menembus area perkebunan yang tidak ada rumah satu pun, hingga ketemu pertigaan
dan harus mengambil arah kanan atau arah naik. Dari pertigaan tersebut, kami
bertemu lagi dengan pertigaan. Kembali kami kebingungan.
Menunggu
penduduk lewat adalah solusi yang tidak dapat ditawar. Yang ditunggu lama
munculnya. Kami terus membesarkan harapan. Hingga yang ditunggu pun tiba,
seorang bapak dan anaknya yang berboncengan. Kami bertanya. Tidak hanya jawaban
yang diberikan tetapi juga kerelaannya untuk menghantar kami ke rumah bapak
kadus. Keramahan dan kebaikan yang jarang ditemukan untuk jaman sekarang.
Tetapi di dusun ini, hal tersebut masih sangat mudah untuk dijumpai.
Pembelajaran yang bermakna.
Tidak
berapa lama kami tiba di pasar dusun Butuh. Jalanan aspal telah habis dan
berganti dengan tatanan batu tanpa
pasir. Semua yang membonceng turun, agar kekuatan motor menjadi lebih prima.
Aku dan isteriku yang menggunakan motor dengan CC paling besar sengaja
mengambil posisi paling belakang. Sengaja aku ambil jarak agar kalau ada
hal-hal yang tidak diinginkan aku bisa mengambil tindakan. Teman-teman telah
melaju meninggalkan aku juga isteriku. Isteriku berjalan dan aku mencoba
menerangi dengan lampu motor. Jalanan yang tidak beraspal dan menanjak memaksa
motorku untuk sempoyongan. Dan akhirnya menyerah. Jatuh dan macet. Motorku
ngadat.
Jalanan
sepi tanpa lampu penerangan. Aku yang terasing dengan daerah itu terpaska ciut
nyali. Istieriku terlihat amat ketakutan. Telpon segera aku angkat. Hp ku
terlihat ada sinyal, segera kuhubungi teman-temanku tetapi jawaban operator
yang kuterima, “nomor yang anda hubungi di luar jangkauan”.
Hatiku
makin was-was. Motor, aku istirahatkan. Tas kerir yang aku ikat dibagian
belakang aku turunkan. Aku terus mencoba, namun motor tetap tidak mau
bekerjasama. Kembali aku menelpon tetapi jawaban dari operator masih sama. Kucoba
tenangkan diri. Dalam hati berucap doa tiada henti. Lalu, kucoba kembali
motorku dan terimakasih Tuhan, motorku mau menyala. Walau suaranya masih
terdengar tidak lancar. Kupanasi motorku dan kuputuskan untuk menyusul
teman-teman yang berarti aku harus meninggalkan isteriku. Sendirian.
Sekitar
50 meter kutemukan rumah-rumah penduduk dengan medan yang datar. Kuparkir motor
dan segera aku kembali menjemput isteriku. Kami berjalan bersama dalam
keremangan malam. Aku sengaja meninggalkan motor agar segera menemukan
teman-teman. Harapanku pun berujung, Timbul telah menyusul dengan berjalan
kaki. Perjumpaan yang menggembirakan. Ternyata Timbul juga mengalami hal yang
sama, ia terjatuh juga. Kami pun tertawa.
Obrolan
kami ternyata menbangunkan dua orang penduduk yang adalah bapak dan anaknya. Ia
menawarkan jasa untuk menampung motorku. Aku menolak karena motor teman-teman
semuanya telah sampai di atas. Beliau tetap tersenyum. Aku kembali mencoba
menaiki motor, sedangkan isteriku berjalan bersama dengan Timbul. Ketidaktahuan
medan menjadikan aku terlihat tidak
pernah mengendarai motor. Kembali motorku macet. Jalanan yang terjal, licin,
sempit, dengan banyaknya tikungan tajam serta medan yang menanjak memaksaku
untuk kehilangan kemampuan. Hingga akhirnya, seorang penduduk menawarkan diri
untuk membawakan motorku. Dengan mudahnya beliau mengendarai motorku. Aku hanya
geleng-geleng. Rasa senang memenuhi sanubariku ketika motor dan diriku telah
berada di teras bapak dukuh.
Sekitar
pukul 22.30 kami tiba di dusun Butuh, desa Temanggung, kecamatan Kaliangkrik.
Di sini merupakan dusun terakhir di ketinggian 1.500 mdpl. Basecamp pendakian
di desa ini merupakan rumah pribadi kepala dusun butuh, namanya pak Muchsinun.
Bapak Muchsinun sendiri merupakan orang yang ramah, begitu pula dengan para
penduduknya. Pada saat kami tiba, pak kadus terlihat sangat lelah, maka yang
menemani kami adalah seorang penduduk yang menghantar kami. Dari omong-omong beliau
bernama Masnun. Beliaulah yang memberi banyak informasi mengenai medan
pendakian.
dg pengelola (yg aku lupa namanya)
Selesai
melakukan ceking ulang peralatan dan keperluan pendakian, tepat pukul 00.10 dini
hari, kami mulai perjalanan mendaki. Dari rumah pak kadus, jalur berupa
tanjakan serius seperti menaiki tangga yang sangat panjang, dengan hamparan
perkebunan di kanan-kirinya. Sepanjang jalan perkebunan ada bak penampungan air
sebanyak 13 bak. Sejauh aku amati semakin ke atas air dalam bak tersebut
semakin jernih. Ternyata di bak paling atas merupakan tampungan pertama dari
mata air. Jadi pendaki bisa mengambil air dari bak terakhir yang berada di sisi
kanan jalan. Sehingga pendaki tidak usah membawa air dari bawah atau dari
basecamp. Cukup mengambil dari bak ini. Untuk yang akan mendaki di musim
kemarau sebaiknya memastikan dengan warga, “apakah bak tersebut masih ada
airnya?” Kalau saat ini, air sangat-sangat melimpah hingga tumpah-tumpah.
Setelah
melewati perkebunan warga, kami tiba di hutan pinus. Jalur masih menanjak dan
masih diberi fasilitas tangga tapi tidak semua dari batu, sebagian sudah berupa
tanah. Perjalanan malam dengan kondisi raga lelah dan tanpa istirahat
menjadikan kami melambat dan kian lambat. Tidak ubahnya kami bagaikan
segerombolan keong. Niat hati ingin segera mencapai pos I, namun yang diharapkan
tidak juga terlihat. Setiap habis melangkah beberapa meter, kami pun tak kuasa
untuk terus tegak berdiri, hingga tanpa sadar kami pun berlomba rebah ke tanah.
Sempoyangan. Setiap kali menghentikan langkah walau hanya sejenak maka tanpa
sadar matapun segera terpejam. Sungguh perjalanan yang tidak mudah. Tekat hati
untuk mencapai pos satu sebagai perhentian sekaligus peristirahatan pertama
mendorong kami untuk pelan-pelan terus merangkak naik.
Hingga
akhirnya, saat waktu menunjuk angka 03.30 kami menemukan medan datar untuk
mendirikan tenda sejumlah 4 dengan tempat yang berdekatan. Bukan mulut yang
bekerja tetapi tanganlah yang bertindak. Dalam waktu sekejap, tenda pun telah
gagah berdiri. Tanpa banyak bicara, kami pun masing-masih langsung rebah.
Istirahat yang bagaikan hilang nyawa.
nenda d pos 1
Pagi
menjelang, mentari menyapa dan riuh suara penduduk pencari kayu bakar
membangunkanku dari tidur yang lelap. Kubuka tenda, belum ada tanda-tanda
kehidupan. 8 temanku belum ada yang terbangun. Keluar tenda dengan suasana
hutan yang sangat menyegarkan. Hutan pinus dan cemara yang masih sangat lebat
dengan udara yang tidak terkontaminasi menjadikan raga berseri. Kusiapkan
peralatan untuk masak, membuat minuman hangat dan sarapan pagi. Isteriku
menyusul kemudian secara berurutan, Timbul dan Pink. Sedangakn Andre, Bangkit,
Yusuf, Oni dan Cepi masih dibuai mimpi.
Setelah
menikmati kopi panas, bergegas aku bangunkan seluruh angota tim 9. Tujuannya
sederhana, agar kami bisa berbagi ilmu,
berbagi perhatian dan terutama berbagi kemampuan mencipta menu masakan ala anak
gunung. Menu spesial dengan bumbu rahasia pun terhidang dengan beragam. Ada
macam-macam jenis masakan. Sarapan pagi dengan acar kacang panjang, mie-bakso
dengan dominasi sayur sawi, telur dadar, tempe goreng dan capjay. Hidangan yang
mantap. Melebihi menu hotel bintang lima. Pendakian yang luar biasa.
masak-masak
Di
sela-sela santap pagi, banyak penduduk setempat pencari kayu bakar yang lewat
dan menyapa dengan ramah. Kami pun menyapa mereka dengan gembira. Perjumpaan
sederhana tetapi mampu melahirkan kebahagiaan. Sapaan yang tulus adalah cara
sederhana melahirkan kebahagiaan. Perut kami telah kenyang, hati pun senang.
Melanjutkan perjalan adalah misi yang telah menunggu. Packing dengan cepat kami lakukan. Saatnya melangkah.
masih ttg masak
Setelah
tenda terkemasi, mataku baru menyadari kalau ternyata tempat istirahat kami adalah
Pos I. spontan kami pun bersorak, “Ternyata kita telah sampai di Pos I. Berarti
sebentar lagi kita akan melewati banyak sungai”. Kenyataan ini kemudian
mendongkrak semangat kami. Bergegas kami pun melangkah. Sekitar 10 menit dari
Pos I kami telah bertemu dengan anak sungai yang pertama, menyusul sungai kedua
dan seterusnya. Menurut catatanku, jarak antara satu sungai dengan sungai
berikutnya antara 10-15 menit, yang paling lama adalah jarak antara sungai 8
dan 9, skitar 20-25 menit. Sekarang di sungai ke 6 yang ada percabangan sudah
ada penunjuk arah, tertuliskan, “Pos III – Puncak”. Air di setiap sungainya
sangat jernih. Bahkan langsung bisa diminum. Rasanya sangat menyegarkan. Lebih
segar dari air kemasan merk apapun.
langsung bisa diminum
Di
atas sungai 9 ini, kekawatiran menyelimuti benakku. Isteriku yang biasanya
prima, kini dalam keadaan yang di luar kebiasaan. Beberapa kali ia menyampaikan
keluhannya. Ia mengajak untuk berhenti dan mendirikan tenda. Menyarankan agar
teman-teman lain melanjutkan kisah. Kucoba bujuk ia untuk berhenti di Pos Pohon
Tunggal. Karena di sana ada tempat yang datar dan bisa ditempati beberapa
tenda.
Bujukanku
untuk sementara berdaya. Medan pertama setelah sungai 9 adalah medan terjal dan
menanjak, semangat yang berkobar itu pun mendadak luluh. Isteriku terlihat
kesakitan dan seolah tidak ada tenaga. Kucoba memotivasinya dengan terus
bergerak walau sangat pelan. Kuikuti dia dari belakang. Posisiku yang dengan
tas kerir segede gajah masih dengan bawaan air ditangan seberat 7,5 liter.
Memaksaku tidak berdaya untuk membantunya. Medan yang agak landai menyemangati
kami, terutama isteriku. Kami berpapasan dengan rombongan dari Jakarta, aku pun
mencoba mencari info, “Pos Pohon Tunggal masih jauhkah?” Dengan semangat mereka
pun menjelaskan yang pada intinya, Pos Pohon Tunggal masih membutuhkan waktu
1,5 jam lagi. Info ini bukannya mendongkrak semangat tetapi justeru melemahkan
semangat isteriku. Ia kehilangan gairah dan kembali menawar untuk segera
mendirikan tenda. Aku hanya memberi PHP. Kuajak ia untuk istirahat sebentar
kemudian melanjutkan langkah.
isteriku yg sempoyongan
Terlihat
Timbul dan Pink yang jauh di depan, spontan isteriku berteriak, “Mbul, katane
mau gantian membawa airnya?” Lantang teriakan isteriku menghentikan langkahnya.
Isteriku pun melaju seolah ingin mengejarnya. Lalu aku pun mengikutinya.
Setelah air berpindah dari tanganku ke tangan Timbul, maka tas isteriku pun
berpindah ke tubuhku. Kini aku bagaikan porter yang membawa dua tas besar.
Isteriku agak sedikit tertolong. Namun kembali ia menawar untuk mendirikan
tenda. Kuberikan alasan bahwa tidak ada tempat yang datar guna mendirikan
tenda.
perjuangan suami demi kebahagiaan isteri (porter)
Tertatih
kami berjalan sangat pelan. Hingga hati bersorak karena bertemu kembali sungai
yang ke 10. Sungai ini diberi nama Pos Batu Tulis. Mirip dengan Pos III Merbabu
via Selo. Karena banyak batu-batu besar yang telah dicorat-coret. Sebenernya
dari sungai ini Pohon Tunggal sudah terlihat. Karena baru pendakian pertama
maka kami pun tidak menduga. Misalnya kami tahu sebelumnya kalau masih ada
sungai maka kami tidak akan repot-repot membawa air dari sungai 9.
sungai k 9
Selepas
sungai 10 kami terus melangkah hingga kami bertemu pertigaan dengan tanda pada
tulisan batu yang bertuliskan “PT”. Waktu itu isteriku melihat tulisan itu,
mendadak langsung lemas, karena berpikir bahwa kami telah salah mengambil jalan
hingga tidak terasa pos “PT” yang kami artikan Pohon Tunggal telah jauh
tertinggal. Kemudian aku mencoba menalar, PT itu artinya Parakan-Temanggung.
Berarti jalur cepit. Kukuatkan isteriku agar ia mau bergerak dan maju.
Menyadari bahwa teman-teman yang lain ternyata jauh tertinggal di belakang,
isteriku pun kembali aku semangati bahwa ia masih kuat dan lebih kuat dari
teman-teman yang masih muda. Ia pun kembali melangkah.
masih jauh d sana
Jalanan
makin menanjak dan mulai didominasi alang-alang dan rumput hutan. Lalu kulihat
segerombol dahan pohon dan hanya itu, maka aku dapat memastikan bahwa itu
adalah Pos Pohon Tunggal. Kuceritakan pada isteriku. Ia diam saja seolah-olah
meragukan. Lalu kembali kami melangkah. Kulihat batang pohon itu bertuliskan.
Berarti benar itu Pos Pohon Tunggal. Isteriku pun berteriak gembira. Kusiapkan
tempat untuk mendirikan tenda. Sambil menunggu teman-teman yang lain. Segera
tendakupun berdiri. Dan isteriku segera beristirahat didalamnya.
post pohon tunggal
Satu
persatu teman-teman yang lain menyusul. Tenda berdiri semua. Kami pun siap
meracik hidangan istimewa. Kolak pisang dan ketela menjadi menu pembuka.
Kemudian menyusul hidangan untuk makan malam dengan aneka menu spesial. Senja
yang temaram dengan tiupan angin sepoi-sepoi, ditemani api unggun semakin
menghangatkan suasana. Keceriaan terpancar dari wajah-wajah lelah kami. Hingga
sore pun berganti malam. Terpampang keindahan kota Magelang yang jauh terlihat
di bawah berpadu harmoni dengan taburan bintang malam. Sungguh suguhan alam
yang maha sempurna. Angin malam kian kuat menerpa tubuh lelah kami, hingga kami
pun mengigil kedinginan. Setelah santap
malam kami berlomba untuk yang paling cepat lelap.
Di
tengah dekapan malam gunung Sumbing, terdengar sayup dua rombongan besar yang
mencari tempat mendirikan tenda. Aku abaikan dan terus melanjutkan lelap.
Hingga tidak terasa pagi pun tiba. Jam 5 aku terbangun. Aku pun keluar tenda
mencoba menerka tanda-tanda alam apakah akan menyuguhkan keindahan sunrise pagi ini. Terlihat kabut mulai
merangkak ke atas. Alamat akan menutup mata menikmati semesta golden sunrise. Kekawatiran ini akhirnya mendorongku untuk
bergegas menanjak ke atas. Kuberteiak, “Ayo muncak-muncak. Kita kejar sunrise
di atas”. “Monggo pak. Entar kami susul”, jawaban dari tenda. Aku tidak tahu
suara siapa itu.
Berjalan
aku sendiri. Cahaya kuning belum nampak. Maka headlamp masih aku andalkan untuk membantu kaki menapak.
Kutargetkan untuk bisa menikmati sunrise
di pertigaan antara ke kawah dan ke puncak. Aku terpaksa ngebut. Bisa jadi aku
sedikit berlari agar rekahan mentari pagi bisa kunikmati sebagaimana aku
rencanakan. Alam terus memberi tanda kalau akan berkabut tebal. Aku pun terus
menebalkan harapan, “Semoga alam bersahabat”. Kunikmati perjalanan ini seorang
diri. Single attact summit, aku
berpikir demikian. Sesuai harapan, saat sampai di pertigaan antara kawah dan
puncak golden sunrise pun terjadi. Untuk sementara aku hanya berdecak kagum
menikmati lukisan Yang Kuasa. Kuuntaikan syukur atas kesempatan menikmati
karyaMu Tuhan.
Setelah
dimanja dengan keindahan mentari terbit. Kabutpun sengaja menyembunyikan indah
alam, agar aku kembali melanjutkan kisah. Dari pertigaan ini jarak ke kawah
kurang lebih 20 menit, dan puncak 5-10 menit. Pekatnya kabut pagi ini memaksaku
untuk tidak bisa memandang indah kawah, mungkin Sumbing sengaja
menyembunyikannya agar aku kembali ke sini. Kemudian keteruskan langkah untuk
menikmati ketinggian Sumbing, walau bukan puncak sejati. Namun aku bersyukur
dapat menginjakkan kaki diatas atap tertinggi ketiga pulau Jawa dan yang ke dua
di Jateng. Cerita tentang puncak “Watu Lawang” pun telah kutemukan. Aku di sini
masih seorang diri. Tidak ada pendaki lain. Cuaca kabut masih pekat menutup
pandangan. Terdengar sayup teriakan pendaki dari jalur lain. Mungkin mereka
juga telah sampai di puncak. Tetapi aku tidak berminat untuk mengitari puncak.
selfy
Setelah
aku rasa cukup bercengkerama dengan suasana puncak Sumbing, saatnya turun.
Cuaca masih sama, berkabut. Setelah melewati pertigaan kawah dan puncak, aku
bertemu dengan dua rombongan yang katanya dari Yogyakarta. Setelah bertegur
sapa dan seteguk air aku dapatkan, kembali aku melangkah. Trimaksaih sahabat
atas seteguk air itu. Sekitar seratus meter kemudian aku berjumpa dengan
rombongan dari Muntilan yang berjumlah 8 orang. Cuaca masih berkabut tetapi sudah tidak terlalu pekat.
Teman-temanku yang berjumlah 8 orang tidak ada satu pun yang menyusul. Tepat
pukul 06.30 aku telah kembali ke Pos Pohon Tunggal. Jadi menurut perhitunganku
perjalanan PP dari pohon tunggal menuju puncak dan kembali lagi sekitar 80
menit (1 jam 20 menit). “Nyampe puncak pak?” sapa Oni. “Puji Tuhan,
nyampe”.“Slamat ya pak”. “Trimakasih”, jawabku pendek.
memandang keren k bawah
Segera
kubuka tenda dan kusapa isteriku, “Udah sehatkah?” “Udahlah. Siap turun ki”,
seutas senyum keceriaan menegaskan kalau memang dia sudah sehat. “Ini ada
oleh-oleh”, kuserahkan kamera poket yang berisi beberapa gambar saat menikmati
indah golden moment sunrise. Setok
air yang terbatas menjadikan kami hanya menyiapkan menu sarapan pagi sereal dan
minuman hangat. Kunikmati suasana pagi di Pos Pohon Tunggal dengan damai.
Hingga waktu menunjuk angka 07.30, aku pun bergegas membongkar tenda dan
berkemas. Begitu pula dengan teman-teman yang lainnya. Hingga semuanya telah
siap untuk turun gunung.
menikmati suasana pg d post pohon tunggal
Saat
waktu merangkak pelan dan bertengger diatas titik 08.15, kami pun bergerak
untuk melanjutkan goresan sejarah hidup. Aku dan isteriku dipersilahkan turun
duluan. Sedangkan teman-teman yang lainnya sengaja memilih di belakang. Mungkin
mereka kawatir kalau meninggalkan kami. Dengan memilih di belakang mereka dapat
memantau langkah laju kami. “Terimakasih teman-teman atas pengertiannya”, aku
berucap dalam hati. Sejuta kenangan tertinggal bersama jejak tapak kaki. Namun
kenangan itu akan abadi dalam goresan sanubari.
Melenggang
kaki dengan riangnya. Hingga tidak terasa kami telah sampai di barisan
sungai-sungai kecil. Sesuai kesepakatan kami akan saling menunggu di Pos III,
Pos sungai ke 6. Siapa duluan tiba ia harus menunggu dan menyiapkan sarapan pagi
sekaligus makan siang. Aku dan isteriku tiba duluan, maka kami pun sesuai
kesepakatan membuat hidangan dengan bekal yang tersisa. Kami tiba di pos ini
pada pukul 09.45. selang satu jam kemudian semua rombongan telah komplit
berkumpul.
asik kn?
Namun,
Bangkit mohon pamit duluan karena ia ada acara. Ia pulang bersama adiknya, Oni.
Yusuf yang dari kemaren menderita sakit perut juga berpamitan untuk menyusul.
Ia ditemani Cepi. Akhirnya yang tersisa tinggal lima orang, yaitu aku,
isteriku, Timbul, Pink dan Andre. Kami berlima kemudian menyelesaikan menu
istimewa. Makanan masih berlimpah yang seharusnya dinikmati bersembilan kini
hanya dinikmati berlima. Kami pun sempat kekenyangan dan harus menunggu beberap
lama agar perut tidak kram atau sunduken.
Tepat pukul 13.00 kami pun berpamitan dengan dekapan keakraban dan kekeluargaan
di bawah pohon Pos III.
Tertatih
kami karena tenaga yang tersisa. Sempoyongan kami menghadapi medan jalur
turunan curam dengan tangga batunya. Sungguh menguras tenaga dan stamina. Kekuatan
lutut sungguh diuji di jalur ini. Aku pun sempat jatuh dua kali. Rekor
terbanyak jatuh adalah Pink, yang mencatat jatuhnya sebanyak 7 kali. Di jalur
pulang ini kami sering bertemu penmduduk, tegur sapa dan sedikit berbagi cerita
menghiasi perjalanan pulang. Hinga tidak terasa, atap-atap rumah penduduk telah
terlihat. Tepat pukul 15.15 kami pun telah disambut hangat oleh keluarga pak
Kadus. Kami pun sungguh bersyukur Karena telah pulang dengan selamat. Tinggal
melanjutkan perjalanan dengan tumpuan roda, tidak lagi bertumpu pada otot ataupun
kekuatan kaki-kaki lemah kami. Selamat tinggal keramahan penduduk Butuh. Kami
akan selalu merindu. Suatu saat kita akan bertemu dalam nuansa petualangan yang
berbeda.
hampir sampai ya?
Pukul
16.30 kami pun memulai perjalanan pulang menuju kota tercinta. Cuaca masih
remang-remang ketika kami tiba di Magelang. Karena Andre yang akan menuju
Salatiga hanya seorang diri, maka aku dan rombongan pindah haluan untuk
menyusuri jalur Magelang-Salatiga, lewat Kopeng. Pukul 18.30, kami pun tiba di
Kopeng. Istirahat dan mengisi tenaga. Pukul 19.30 kami kembali menunggangi kuda
besi agar lekas sampai di tempat tujuan masing-masing. Sesampainya dipertigaan
Pereng, Getasan, kami berpisah. Aku, isteriku dan Timbul serta Pink meneruskan
perjalanan menuju Solo. Hingga akhirnya, ditikungan tajam dengan jalanan yang
bertaburkan pasir, melesatkan motorku. Aku pun rebah ditindih motor serta
isteriku. Kakiku mengalami banyak luka. Celanaku robek. Begitu pula dengan
lututku. Isteriku hanya memar sedikit. Yang paling parah adalah sidebox motorku pecah karena melindungi
kakiku dari belaian kerasnya aspal.
Untuk
sementara perjalanan kami tunda. Setelah mental isteriku kembali pulih, kami
pun kembali melaju. Hingga pada titik 21.10 aku dan isteriku tiba di rumah
tercinta kami. Aku yakin Timbul dan Pink juga begitu. Pengalaman petualangan
yang luar biasa. Menghibur sekaligus mengajari banyak hal. Persahabatan dan
persaudaraan. Berbagi dan semangat untuk saling melayani dan memberi. Merancang
kehendak dan sekaligus menyusun strategi guna menggapainya. Juga cara
mengalahkan diri dan menjinakkan ego. Trimakasih Sumbing karena engkau telah mendidik kami dengan caramu yang
unik. Kami pun rindu dan selalu rindu untuk kembali.
Mas Boleh Minta No Hp / Fb NYa Gak, Soalnya Q juga mAu muncak Ke sumbing lewat jalur itu
BalasHapusalamat FB, heri andreas
BalasHapuspengalaman yg mantab... dlm waktu dket jg ada rencana ke Sumbing mas heri...
BalasHapusmonggo. mungkin yg saya tuliskan di sini, sudah bayak perbedaan. menurut info terbaru, papan penunjuk jalan makin banyak dan juga pos2 atau selter jg telah dibuat secara memadai.
Hapus