SUSUR
PANTAI: LANGKAH AWAL DI TAHUN 2015
Oleh: Heri
Terlalu
rapuh ingatan dan memori kepala ini untuk mengenang seluruh kisah hidup.
Sebelum lenyap dikurung tumpukan peristiwa baru, kuingin munculkan dan hadirkan
kembali salah satu kisah hidupku itu. Pengalaman sederhana dan tidak heroik. Sebuah
kisah dalam upaya untuk mengisi hidup, memaknainya serta mensyukurinya.
Pada
mulanya adalah rasa penasaran. Kemudian merambat dan berhasil membangkitkan rasa ingin. Penasaran dengan
cerita tentang indahnya alam, khususnya pesisir bumi Pacitan. Walau untuk
beberapa tempat pernah aku lihat dan nikmati. Namun, tumpukan waktu membuatku
pudar untuk mengenang. Maka kuingin kembali mencumbunya sekaligus menambah
pesona baru yang akan mengerak dalam ingatan.
Telah
lama aku dan isteriku menginginkan untuk bisa solo-touring sambil nge-camp
dan tentunya bernuansa petualangan, penjelajahan di tanah yang belum pernah
kami pijak. Maka, diawal tahun 2015 ini, niat kami akan menjadi kenyataan.
Pagi
menjelang setelah malas mengayun waktu dan membuyarkan mimpi. Jumat, 02 Januari
2015 tepat pukul 05.00, kami pun terjaga dan bangun dengan semangat. Rencana
awal akan memulai kisah sebelum mentari terjaga. Namun, karena cuaca yang
mendung dan malam berguyur hujan menjadikan tidur selalu menawar untuk tidak diganggu.
Tekat
telah bulat. Kendati ada rasa malas. Namun niat harus menjadi kenyataan. Hari ini,
tepat pukul 07.00 kami meninggalkan rumah untuk mendulang kisah hidup. Motor
kesangan, bekal perlengkapan telah siap. Kami juga membawa alat masak, tenda
dan beberapa baju ganti beserta perlengkapan tidur.
Inilah
petualangan. Kisah couple-rider atau
mungkin lebih tepat sebagai kisah couple-adventure.
Sepanjang malam hujan tiada berkesudahan.
Hingga sisa genangan air masih memenuhi beberapa ruas jalan. Meliuk motor
meninggalkan Solo dan menuju Wonogiri. Mendung kembali menggulung hitam. Rasa
was-was menyelimuti hati. Cuaca kurang mendukung. Rintik hujan pelan dan pasti
mulai berderai. Aku mengambil sisi positifnya yaitu suasana menjadi teduh.
Tidak panas.
Kota
Wonogiri berlalu. Tujuan pertama adalah Gomar Giriwoyo. Melandasi petualangan
dengan kekuatan rohani kiranya penting. Menziarahi hidup mesti dilingkupi
dengan suasana doa dan religi. Tepat jam 09.00, kami pun sampai. Berdoa dan
sejenak istirahat.
gomar Ratu Kenya Giriwoyo Wonogiri |
Perut
memberontak untuk diisi. Aku bersama isteri sambil melaju mencari warung. Namun
yang dicari tidaklah mudah ditemukan. Warung sederhana pun ketemu. Pesan
makanan. Masih hangat. Saat menikmati makan sederhana, hujanpun turun dengan
lebatnya.
Sambil
menunggu hujan reda, aku pikir sekalian istirahat dan mencari informasi tentang
beberapa lokasi yang akan kami kunjungi.
peta wisata Pacitan Lengkap |
10
tahun yang lalu aku memang telah bercengkerama dengan keindahan Goa Tabuhan
juga Goa Gong, Pacitan. Namun, ingatanku
mulai samar. Apa lagi waktu itu aku hanya menumpang. Sekarang harus mengemudi.
Petualanganku
tidaklah petualangan ala anak-anak modern yang lengkap dengan GPS. Mulutku
adalah navigator. Maka informasi manual menjadi sangat penting. Bagiku
keberanian bertanya untuk menggali informasi terkait dengan tempat-tempat yang
asing adalah cara untuk membuka hati, adalah cara untuk berkomunikasi dan
membangun relasi dengan orang lain.
Beberapa
penggalan informasi itu memantapkan tekatku untuk yakin akan menemukan tujuan. Meninggalkan
Giriwoyo. Menyususri kelokan jalan yang lebar dengan tanjakan yang mantap.
Menjadi penghiburan tersendiri bagi seorang rider.
Ada kepuasan yang tidak terbahasakan. Sekitar 40 menit akhirnya kami menemukan
perhentian ke-dua yaitu Goa Tabuhan.
Kami
pun disambut oleh para guide yang
siap memandu dengan hoinor suka rela. Penjual jasa lampu penerangan juga
bertebaran. Mereka ramah menyapa. Tetapi aku bersama isteriku telah menyiapkan
segalanya. Hingga kami pun menolak dengan cara bijak. Tidak menyinggung dan
tetap menghormati. Pada waktu itu kami bersamaan dengan rombongan wisata lain
sehingga aku dan isteriku bisa ikut menikmati alunan lagu campur sari dengan musik
yang khas, yaitu perkusi dari benjolan-benjolan dinding goa yang dipukul dan
menimbulkan bunyi/ suara yang sama persis dengan alat musik gamelan. Pada waktu
itu tarif untuk lima lagu sebesar Rp 150. 000.
goa Tabuhan Pacitan |
Setelah
puas dengan keindahan serta keunikan Goa
Tabuhan, kami melanjutkan perziarahan untuk menemukan perhentian ke-tiga, yaitu
Goa Gong. Goa terindah dan terbesar seasia tenggara. Kami tinggal mengikuti
jalan yang sudah ada papan penunjuknya. Sekitar 20 menit dari Goa Tabuhan, kami
pun menemukan tujuan ke-tiga.
Saatnya
menimati indahnya ukiran alam, indahnya pesona pahatan Sang Pencipta. Amazing.
di dlm Goa Gong Pacitan |
Setelah
mata terpuaskan karena terpesona dengan guratan dinding goa, kami pun
meneruskan kisah. Kembali motor meliuk menyususri jalanan. Lancar. Jalanan
lebar dengan aspal yang sempurna. Akses untuk lintas propinsi, aku berpikir
demikian. Namuan, kemudahan itu tidak berlangsung lama. Pembangunan
infrastruktur untuk menjual pesona Pacitan memang baru digalakan. Proyek
pelebaran jalan belum usai. Hingga kami pun bertemu dan harus menikmati
perjalanan dengan menyusuri jalanan penuh tikungan, tanjakan, turunan dengan
lobang menganga di mana-mana. Harus ekstra hati-hati.
Tujuan
berikutnya adalah pantai Klayar. Kami akan bermalam di sana, sambil menikmati
pesona sunset pantai. Namun harapan
itu harus tertunda. Akses menuju ke sana masih sempit. Di dukung dengan musim
liburan akhir tahun. Sehingga pengunjung pun membludak. Antrian mengular
panjang. Hal ini akan membuka pintu rejeki untuk penduduk setempat. Sekitar
tiga km antrian itu. Tangan dan kakiku mulai kecapaian. Tangan kiri yang harus
memainkan kopling mendadak kram. Hingga kami pun memutuskan untuk putar balik,
mencari sajian alam lainnya.
Keadaan
jalan masih sama, kecil, penuh lubang, tikungan, tanjakan dan turunan. Yang
patut disyukuri adalah adanya keterlibatan penduduk setempat mengatur dan
memberi tanda pada tiap sudut jalan yang berbahaya. Pemerintah setempat
terlihat sangat peduli dengan keselamatan pengunjung. Mereka juga tidak
menyodorkan kotak-kotak amal. Sehingga pengunjung sungguh merasa diperhatikan.
Bukan dimanfaatkan.
Wisata
pantai Pacitan buatku masih asing. Menurut informasi pantai terdekat sebagai alternatif
adalah Srau. Kami putuskan ke sana. Namun, kami harus memutar jauh. Melewati
kota Pacitan. Kami diberi tahu ada jalan pintas. Cukup pendek tetapi sangat
berbahaya. Kami pun memutuskan untuk memilih jalur itu. Supaya perjalanan makin
cepat. Kami menembus hutan dengan keadaan jalan yang sepi penuh lobang,
tanjakan dan turunan yang wau,
mengerikan. Kewaspadaan mutlak harus diberlakukan.
Sempat
kami tersesat. GPS manual pun harus dioperasikan, yaitu tanya sana-tanya sini. Setelah
lama bergulat dengan ketegangan, kecemasan dan ketidak tahuan. Akhirnya kami
menemukan titik terang setelah ada papan penunjuk jalan. Kelegaan hati
diperkuat dengan adanya jalan beraspal bagus. Suasana pantai mulai terasa.
Kesegaran udara perbukitan, hutan dan udara laut sungguh membuka hati. Ada
kegembiraan, ada kedamaian, ada kepuasaan, ada pula kebangaan dan tentunya ada
kebahagiaan.
Semangat
makin menggelora. Tanda-tanda tujuan kian mendekat. Usai membayar retribusi
kamipun segera menuju tempat parkir. Agak membingungkan, karena pantai Srau
berbeda dengan pantai pada umumnya. Satu lokasi dengan tiga tempat.
Masing-masing menyuguhkan pesona yang berbeda. Pantai paling timur adalah
tempat ternyaman untuk menunggu dan menikmati sunrise. Tentunya sambil melihat para nelayan kembali pulang dengan
hasil tangkapannya. Di sepanjang bibir pantai yang berbatu karang ada banyak
pemancing. Ini menjadi pemandangan yang unik. Tangkapan mereka besar-besar.
Menjadi pesona yang asik.
Pantai
kedua menyediakan area ombak yang dahsyat dengan pasir putihnya. Sangat cocok
untuk mandi dan bermain air laut. Sedangkan pantai yang ketiga sangat cocok
untuk menikmati pesoan sunset. Satu
tempat dengan tiga pesona. Kami pun memutuskan untuk bermalam di pantai ini.
Sekalian istirahat. Karena memang raga telah lelah setelah sekian lama
diguncang jalanan.
Tepat
jam 14.00 kami tiba di Srau. Masih ada beberapa warung yang buka. Segera kami
pun merapat. Sambil mendulang energi kami pun juga mengais informasi tentang
situasi, keadaan pantai dan banyak hal terkait dengan budaya serta kebiasaan
penduduk setempat. Pantai masih sepi. Tidak banyak pengunjung. Tidak ada
tanda-tanda yang akan bermalam di sini. Yang paling banyak adalah para
pemancing.
Kami
menikmati pantai sepuas-puasnya. Menimati suasana yang luar biasa. Sore
menjelang, kami pun segera merapat ke sisi barat untuk menyambut indahnya
semburat cakrawala kuning keemasan. Hanya ada decak kagum. Syukur Tuhan atas
pengalaman luar biasa ini.
suasana sunset di Srau Pacitan |
Sebelum
malam menutup sinar. Kami segera mencari lokasi guna mendirikan tenda. Aku
berpikir malam ini akan turun hujan karena memang musimnya. Pantai menjadi
sangat lengang. Hanya aku dan isteriku yang bermalam dan mendirikan tenda.
Tidak ada pengunjung lain. Namun, dikejauhan masih terlihat para pemancing.
Hati menjadi tenang. Walau kandang menjadi ciut nyali.
Bayangkan
aku dan isteriku berada di tempat baru. Tidak punya kenalan apa lagi saudara.
Di bibir pantai, sepi, tidak ada manusia lain.
Setelah
sepi malam kian merangkak. Mendung yang awalnya menggulung hitam, perlahan
mulai hilang. Suasana dan cuaca berganti benderang. Cahaya bulan purnama
menerangi dan menemani. Hingga kami pun keluar tenda untuk menikmati malam.
Segera
kami keluarkan bekal. Memasak. Membuat menu spesial dan minuman luar biasa.
Musik dari radio mengiringi kegembiraan hati. Suasana alam yang harmoni
menghiasi suasana hati. Bintang-bintang bertaburan bertengger bersama rembulan
menyinari lautan. Sehingga kami pun makin terbuai dengan indahnya karya Sang
Pencipta. Dalam keadaan yang seperti ini, sekitar pukul 22.00 para pengunjung
mulai berdatangan. Walau mereka tidak menginap. Namun cukup memberi kekuatan
untuk bertahan dalam dekapan pantai Srau.
Isteriku
pamit untuk istirahat duluan. Sedangkan aku masih bertahan untuk menikmati
malam. Suasana yang luar biasa, angin laut malam yang sejuk membuai ragaku menembus sukmaku
untuk bertemu dengan hening hati. Hingga rasa syukur terus berkumandang dalam
sanubari yang tak selalu jernih.
Sekitar
jam 02.00, mata tak lagi kuat menjadi jendela ingin. Kelelahan raga tak mampu
bertahan menopang hasrat untuk terus bercengkerama dengan alam. Aku pun
menyusul masuk tenda, rebah dan pulas. Seuntai doa masih sempat kurangkaikan berharap
esok kembali bersiaga dengan segar.
Fajar
pun menyingsing. Geliat kehidupan beranjak untuk menyongsong hari. Semburat
merah di ufuk timur memberi harap untuk disambut dengan segar cahaya emas.
Segera kubangunkan isteriku. Cahaya langit masih malu-malu. Hingga hanya
temaram fajar yang terlihat.
Kenapa
dibangunkan?
Katanya
mau liat sunrise.
Mana?
Tadi
udah ada tanda-tandanya kok.
Langit
Srau tidak mengijinkan kami menikmati keindahan alamnya. Mendadak mendung dan
tidak menunggu waktu kemudian menjadi rintik hujan. Kembali kami pun masuk
tenda. Tidur lagi.
Keceriaan
alam tidak juga datang. Walau begitu kami masih bersyukur karena matahari tidak
muncul sehingga panasnya tidak terlalu menyengat. Hingga kami pun leluasa untuk
bermain ombak dan menyusuri pantai. Kami pun bertemu dengan para nelayan yang
spesialis menangkap lobster. Mereka bercerita bahwa harga satu kilo lobster
kwalitas super bisa mencapai Rp 450. 000. Harga yang lumayan mahal. Niat hati
untuk membeli pun urung seketika.
Setelah
puas menikmati segarnya air laut di pantai Srau. Kami pun membuat menu ala
kadarnya. Sarapan. Bongkar tenda. Packing. Dan melanjutkan kisah.
Tepat
pukul 09.00 kami bergerak menuju petualangan berikutnya. Trimakasih Srau,
indahmu telah memudarkan kejenuhan hidup.
Medan
masih sama. Penuh dengan tanjakan, turunan, tikungan dan yang paling seram adalah jalanan penuh lobang. Itu
pun di tengah hutan. Mantap.
Menurut
informasi pantai yang terdekat dari Srau adalah pantai Watu Karung, yaitu
pantai landai dengan pasir putihnya. Namun ombaknya cukup menantang. Sehingga
banyak atlit surfing yang berlatih
serta menghabiskan waktu di sini. Kami pun melaju berburu. Namun kami tidak
juga menemukan. Hingga kami pun menyadari bahwa kami tersesat cukup jauh.
Tidak
selamanya jalan yang salah membawa keburukan. Kami secara tidak sengaja
menemukan resort yang dimiliki serta
dikelola orang asing. Sungguh mereka terlalu cerdas untuk bisa menimati
keindahan alam. Di resort itu aku
juga isteriku terasa masuk dalam dunia penjajahan baru. Hanya bisa menikmati
dari ketinggian bukit. Sedangkan orang-orang asing itu dengan leluasa menikmati
deburan ombak pantai.
Lalu
kami pun memutar haluan. Sekitar 15 menit pantai Watu karung yang oleh penduduk
setempat disebut sebagai pantai pasir putih dapat kami temukan. Sambil
beristirahat kami pun menikmati indah deburan ombak pantai. Sambil melihat
orang-orang asing bermain surfing.
Orang Indonesia yang punya pantai cukup menjadi penonton saja. Termasuk aku
juga isteriku.
keindahan pantai Watu Karung Pacitan |
Badan
terasa segar dan tenggorokanpun telah dibasahi air kelapa muda. Kami segera
bergegas mendulang kisah. Ingin hati kami tetap untuk bisa menikmati keindahan
pantai Klayar beserta legenda seruling lautnya. Namun apa daya, antrian hari
ini ternyata lebih panjang dari hari yang lalu.
Menukar
ingin itu dengan berganti destinasi
kiranya bukan sesuatu yang salah. Kami pun memutuskan untuk menuju pantai
Buyutan. Medan perjalanan masih sama. Penuh dengan tantangan. Di penghujung
perjalanan kami disuguhi indah panorama persawahan. Sedangkan di ujung batas
cakrawala, kami bisa melihat biru laut yang membentang. Sungguh sambutan yang
menenteramkan hati.
Deburan
tingginya ombak terlihat jelas dengan gagah. Bibir pantai tepat berada di atas
ketinggian. Sehingga pengunjung seolah-olah berdiri gagah di ujung jurang
terjal. Lalu kami pun turun ke bawah. Panorama yang luar biasa indahnya.
Bentangan pasir putih yang begitu luas dengan hiasan karang-karang yang berdiri
gagah. Di pantai ini aku merasa berada dalam negeri dongeng. Beberapa batu
karang berdiri tegak seperti tiang-tiang raksasa. Gagah menantang ganas ombak
lautan.
menikmati indahnya pantai Buyutan Pacitan |
Setelah
cukup lama terpana dengan imajinasi yang muncul secara sepontan. Kami pun
melanjutkan kisah. Kembali motor melaju pelan, menyusuri kelokan jalanan terjal
dan berlobang. Namun lebatnya pepohonan mampu menyembunyikan ganas sinar
mentari. Kami pun tiba di pantai Banyu
Tibo.
Banyu Tibo
secara harafiah dapat dipahami sebagai air jatuh. Dapat dibilang air terjun
tetapi pendek dan kecil. Pantai ini sebenarnya merupakan muara dari sungai
kecil. Namun, jatuhnya air sungai itu tepat di bibir pantai yang berbentuk
jurang. Ketinggian jurang hanya sekitar 10 meter. Tidak terlalu tinggi. Secara
pribadi aku juga tidak terlalu tertarik dengan panorama di pantai ini. Tetapi
bagi mereka yang suka dengan deburan ombak yang menggulung tinggi. Di sini lah
tempatnya. Aku pun sempat terpukau dengan ketinggian ombak yang ganas menghajar
karang.
tu yg di sana yg namanya pantai banyu tibo pacitan |
Mentari
kian terik menghajar kulit. Segera aku dan isteriku bergegas untuk melanjutkan
petualangan. Rencana dan target berikutnya adalah bermalam di pantai Sadeng
Yogjakarta. Sekitar jam 14.00, kami meninggalkan Banyu Tibo.
Perhentian
selanjutnya adalah pantai Nampu Wonogiri. Musim liburan ini memang sungguh luar
biasa. Di setiap tempat wisata, khususnya pantai, semuanya ramai oleh
pengunjung. Di pantai ini, pengunnung membludak. Aku pun menyempatkan diri
untuk turun dan menikmatinya. Kesan pribadi, bahwa pantai ini tidak terlalu
jernih. Berbeda dengan pantai-pantai Pacitan yang teramat jernih. Di pantai ini
agak sedikit keruh. Walau memiliki panorama yang ajib indah.
menikmati indahnya pantai Nampu Wonogiri |
Suasana
sore kian merangkak. Niat hati untuk segera bermalam karena raga memang telah
lelah. Jalanan mulai berbeda. Di kawasan Pacitan jalannya adalah yang paling
rusak. Menginjak daerah Wonogiri, jalanan mulai membaik. Tetapi ketika roda
motor menggelinding di jalanan wilayah Jogja. Keadaan teramat berbeda. Jalanan
sangat halus dan lebar. Asik untuk menikmati petualangan ala biker sejati.
Sekitar
pukul 16.30, kami tiba di Pantai Sadeng. Pantai paling timur dari wilayah
Jogja. Pantai ini merupakan tempat pelelangan ikan. Tidak mengherankan kalau
baunya tidak terlalu segar di tenggorokan. Menurut informasi, pantai ini hanya
memiliki sedikit ruang untuk mendirikan tenda. Itu pun hanya di area parkir.
Kami pun berpikir. Kiranya untuk bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman
dalam dekapan suasana pantai, harus berganti haluan.
isteriku sedang terkesima dg keindahan pantai Sadeng Wonosari Jogja |
Sembari
menikmati harmoni alam yang teramat indah, lidah dan bibir disegarkan dengan
menu laut. Kami pun menemukan ide, Pantai Wedi
Ombo. Kan kita pernah punya cerita di pantai ini. Usai menikmati panorama sunset di Sadeng dengan menikmati makan
khas pantai. Hingga raga pun kembali segar. Dan gairah untuk melanjutkan
perjalan kembali bergelora. Cahaya senja masih remang. Jalanan nan sepi namun
aman menjadikan kami menyakini bahwa perjalanan ini akan lancar. Tujuan kami
berikutnya yaitu pantai Wedi Ombo.
Sesuai
dengan namanya Wedi Ombo yang berarti
pasir luas. Pantai ini memang memiliki bibir pantai yang membentang cukup luas.
Ada berbagai karakter ombak. Dari yang ganas menggulung-gulung hingga
landai-tenang. Sebenarnya aku dan isteriku pernah bermalam di pantai ini.
Pengalaman yang telah mengajari bahwa di pantai ini sangat cocok untuk
memanjakan raga, rebah dalam peristirahatan.
Malam
telah merangkak. Tenda telah berdiri. Tidak banyak pengunjung. Agak sepi.
Segera kami pun menyiapkan menu makan malam. Perut harus diisi agar esok tak
berontak dan tentunya sebagai usaha untuk mendulang energi. Raga yang
sempoyongan segera minta untuk diistirahatkan. Hasrat ingin menikmati suasana
malam pantai. Namun, alam berpihak pada lelahku. Mendadak mendung menggulung,
menghitam. Akhirnya hujan turun dengan renyah. Lalu mata tidak lagi bertahan
untuk terbuka. Lelap raga. Lelap hati dan jiwa.
Pagi
menjelang. Segera aku bangun. Begitu pula dengan isteriku. Bergegas kami
menyusuri pantai. Di ujung bagian barat, ada bagian pantai yang terlindung dan
sangat cocok untuk bermain air, mandi dan renang. Kami berdua merasa pantai ini
seolah menjadi milik kami berdua. Private
beach.
Setelah
puas menghayutkan dan meruntuhkan kepenatan hidup dengan segala
kompleksitasnya. Segera kami pun ganti baju, bilas, membuat sarapan, makan
pagi, bongkar tenda. Kembali packing
untuk meneruskan petualangan. Hari ini tujuan kami hanya satu pulang ke rumah
tercinta. Sekitar pukul 09.00 kami pun melaju di atas kuda besi tercinta. Motor
meliuk, meraung perkasa.
ni yg namanya pantai wedi ombo jogja. keren to |
Mengikuti
papan penunjuk jalan. Kami pun menuju Pracimantoro, Wonogiri yang merupakan
rute terdekat. Selepas Pracimantoro, kami melewati samping waduk Gajah Mungkur.
Kesampaian juga aku melewatinya. Sejenak kami pun beristirahat sambil menikmati
indah waduk ini. Tidak lupa kami membeli oleh-oleh berupa wader goreng. Setelah
penat berlalu dari raga, kembali kami melaju. Hingga tepat pukul 11.30, kami
tiba di rumah. Tiba di Solo dengan selamat, aman dan sentosa.
Peziarahan
ini, tercatat dalam angka trip sepeda
motorku sejauh 338 km. maka peziarahan ini aku namakan “menyegarkan cinta yang mulai usang
sejauh 338 km”. sepanjang peziarahan itu yang aku lewati dengan santai
selama 3 hari 2 malam telah banyak mendidik hidupku. Dengan touring itu aku menjadi semakin mengerti
batas kemampuanku, kekuatanku juga ketidak-berdayaanku. Selain itu, aku juga
semakin mengenal sisi lain dari pribadi isteriku. Ada banyak hal yang muncul
dari peziarahan ini. Sehingga kami saling mengenal, mengerti dan memahami.
Dengan
kisah sederhana ini, kami membulatkan tekat untu semakin berani saling mengisi
hidup. Yang artinya kami akan saling memberi dan menerima, yaitu dua hal yang
menyatu dalam setiap pribadi, kelebihan sekaligus kelemahannya. Besar harapan
kami dengan adanya peziarahan ini, kami semakin bisa mencintai hingga hidup
kami semakin diwarnai dengan kedamiaan, kebahagiaan dan sukacita. Semoga.
Wah kalo pantai favorite saya tuh bro...ayo kapan petualang ke pantai lagi???
BalasHapusayo. agenda siap diatur aja
BalasHapus