Kamis, 17 Desember 2015

solo hikking, gunung merapi

SOLO HIKING: MENAPAKI MERAPI MENJELAJAHI DIRI
Oleh: Heri
jempol sik ae, jos tenan

Dalam hidup ini, manusia memiliki banyak pilihan. Termasuk pilihan untuk mengurai kepenatan batin, pikiran dan raga. Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar manusia bisa kembali menjadi fresh, kembali menjadi segar, sehat dan bergairah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan rekreasi alam. Beragam kegiatan alam akan membawa bisa mengambil jarak dengan rutinitasnya. Tujuannya agar dirinya kembali memperoleh kesegaran hidup. Di antara sekian banyak kegiatan alam, salah satunya adalah mendaki gunung.
Sebenarnya, gunung merupakan salah satu lingkungan yang tidak lazim ditapaki oleh manusia. Kendati demikian, untuk sebagian orang sering memilih gunung sebagai tempat utama dari kegiatannya. Sebenarnya, kondisi alam di gunung sangatlah sulit ditebak. Kadang cuaca cerah tapi dengan hitungan menit sudah menjadi hujan disertai angin kencang. Selain itu, udara di gunung juga lebih dingin. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung merupakan kegiatan olah raga ektrim yang memiliki resiko besar sekaligus kegiatan yang penuh dengan tantangan.
Oleh karena itu persiapan dalam banyak bidang merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Minimal ada tiga hal, yang harus dipersiapan secara matang, yaitu: (a) Kondisi tubuh yang sehat. (b) Kondisi mental yang stabil. (c) Tujuan melakukan kegiatan di gunung harus jelas. Mendaki gunung membutuhkan kemampuan fisik yang terlatih. Karena sebenarnya mendaki gunung merupakan kumpulan dari banyak jenis olah raga. Ada jogging, lari, merangkak, mengangkat beban, dll. Selain kemampuan fisik yang prima, ketahanan mental juga sangat penting. Gunung memiliki keadaan alam yang sangat sulit diprediksi. Keadaan alam yang jauh dari kata nyaman. Maka, berhadapan dengan segala kemungkinan itu lah, ketangguhan mental menjadi sangat penting. Ketangguhan mental ini, sangat dipengaruhi oleh adanya tujuan yang jelas. Adanya tujuan dari naik gunung, akan menjadi pegangan ketika menghadapi situasi-situasi yang di luar kehendak dan rencana[1].
Selain ketiga hal di atas, mendaki gunung juga perlu peralatan yang memadai dan bisa mendukung. Di antaranya adalah baju lapangan, peralatan untuk beristirahat, peralatan untuk masak, ransel atau tas punggung (tas carrier), pisau rimba dan ponco. Dengan perlengkapan minimal ini, orang bisa bertahan dalam menghadapi bverbagai kemungkinan. Kalau perbekalan, minimal ada tiga hal, yaitu: logistik dan minuman secukupnya juga membawa obat-obatan dasar, sepeti: parasetamol, obat gosok, koyok, minyak angin dan obat diare.
Dari sekian kali mendaki gunung, berikut saya akan membagikan satu pengalaman saat solo-hiking di gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jateng. Gunung Merapi (2.968 m.dpl) terletak di dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jogjakarta. Gunung Merapi terletak berdampingan dengan Gunung Merbabu. Gunung Merapi adalah salah satu gunung api yang mempunyai daya rusak yang tinggi dan paling aktif diantara sekian banyak gunung api yang terletak di Indonesia serta merupakan salah satu gunung terganas di dunia. Nama puncaknya adalah puncak Garuda, tapi puncak garuda itu telah hilang karena letusan merapi pada tahun (2010) yang merupakan bongkahan batu besar dengan bentuk mirip burung garuda[2].
Menapaki terjalnya Merapi bukanlah pengalaman pertama buatku. Sudah beberapa kali saya mengunjunginya. Kendati demikian, tidak serta merta diriku bosan untuk mendakinya. Justeru semakin kuat mengikat batin ini untuk selalu kembali mendakinya. Namun, mendaki sendirian (solo-hikking), ini merupakan pendakian yang pertama. Mendaki gunung Merapi seorang diri, saya rasa ini adalah tantangan baru. Untuk membawa barang bawaan buatku bukan sesuatu yang baru. Karena sebelum-sebelumnya, teman-temanku sering menjuluki saya sebagai porter. Hal itu wajar karna setiap kali mendaki, saya terkenal sebagai orang yang suka menggendong bawaan yang berlimpah, terutama logistik. Di beberapa pendakian, saya pernah membawa jeruk 2 kg, pernah juga membawa kakap 1 kg. Namun yang paling sangar adalah saat saya membawa semangka dan melon. Banyak yang komentar, “ini mau mendaki atau mau jualan”. Buatku mendaki adalah rekreasi, “Kalau  bisa berlimpah kenapa dibuat ngirit, hehe”[3].

Tantangan terbesar dalam mendaki seorang diri adalah soal mental, menghadapi keraguan, ketakutan, kekawatiran dan kecemasan.
Selasa, 8 Desember 2015, saat waktu membelah hari semua perlengkapan telah siap saya packing. Tas kerier telah saya ikat di motor, tinggal berangkat. Namun, kegelisahan tiba-tiba menyerang. Padahal, sebelumnya telah saya persiapkan diri ini untuk mendaki solo. Saya sudah jogging dengan jarak tempuh lebih dari biasanya. Fisik dan mental sudah oke. Bahkan sampai malam tadi pun, diri ini masih yakin. Tidak ada keraguan yang menyerang. Tetapi ketika mau mandi untuk persiapan akhir, tiba-tiba rasa gundah datang. Saya menjadi ciut nyali. Hingga akhirnya, saya harus menawar diri ini. Bernegosiasi dengan diri. Menyelami segala kemampuan diri untuk kembali menemukan keberanian dan keyakinan diri. Dua jam bergulat. Tepat pukul 14.00, saya putuskan untuk melanjutkan petualangan. Motorku pun meliuk meninggalkan Solo menuju Selo, Boyolali.
Tidak berapa lama setelah meninggalkan rumah, mendadak cuaca berubah. Yang awalnya cerah kini mendung bergulung, menghitam seolah akan mengurung bumi. Hujan lembut pun turun. Saya masih menikmati perjalan dengan tidak menggunakan mantol. Namun, saat memasuki Cepogo dari arah berlawanan, semua penunggang motor telah menggunakan mantol. Berarti dari di depan telah turun hujan lebat. Kuhentikan motor, sambil menunggu situasi. Kusiapkan jas hujan. Dan tidak berapa lama, hujanpun turun dengan sangat-sangat lebat. Tanda-tanda hujan mereda tidak ada, kuputuskan untuk lanjut.
Meliuk motorku di jalanan dengan guyuran hujan lebat, seolah sendirian. Karena tidak ada pengendara yang lainnya. Hingga tepat pukul 16.00, saya pun tiba di base camp. Suasana sepi. Tanda-tanda tidak ada pendaki yang lainnya, padahal besoknya adalah libur nasional (pilkada sertentak). Kuparkir motor. Kulonuwun. Dan sayapun ikut berdiang di belakang. Saya memang sudah mengenal Pak Min (sesepuh base camp Merapi). Karena telah akrab, maka sayapun langsung mengobrol dengan bebasnya. Suasana di luar rumah, masih hujan cukup lebat. Menurut informasi, hanya ada dua rombongan kecil yang sudah naik dan ada satu rombongan besar yang hari ini akan turun.
Sekitar pukul 17.00, serombongan anak-anak SMA N 1 SKA telah turun. Mereka semua basah kuyup dan mengigil. Saya pun menawarkan untuk bergabung api-api. Hujan masih terus mengguyur. Seolah-olah tidak mau berhenti. Waktu kini bertengger di titik 19.00, saya belum makan tetapi warung base camp tidak jualan. Menurut anak-anak yang turun tadi, warung-warung di New Selo juga pada tutup. Alamat kelaparan.
Sekitar pukul 19.30, anak-anak itu akan nekat melanjutkan perjalanan. Hati ku makin kalut, karena tidak ada juga tanda-tanda hujan berhenti dan pendaki yang lainnya datang. Dalam hati terlintas untuk mengurungkan niat. Tidur aja di base camp. Entar malam kalau ada temannya baru attack summit, seperti yang sudah-sudah. Biasanya saya kalau mendaki Merapi juga tik-tok, kebut semalam. Berangkat jam 02.00, pagi nyampai puncak dan sekitar pukul 10.00 sudah kembali di base camp. Tapi ini sudah saya niatin untuk solo-hikking. Masak yo nggak jadi.
Keraguan ini makin memuncak, ketika anak-anak itu selalu bartanya, “Beneran nih pak mau ndaki sendirian?” Saya hanya tersenyum. Namun, pertanyaan anak-anak yang diulang-ulang itu, justeru menembalkan tekat dan keberanianku untuk terus lanjut. Hingga saat waktu berada pada angka 20.00, hujan mulai mereda, cuaca terlihat akan cerah. Sayapun memantapkan hati untuk melangkah. Semoga alam bersahabat. Berdoa dulu. Biarlah Tuhan yang akan meraja dan berkarya.
Melangkahkan kaki setahap demi setahap, karena ribuan kilometer hanya bisa dicapai dengan langkah demi langkah. Hal ini lah yang menopangku untuk pelan-pelan terus mengayunkan kaki. Asal mau berjalan, maka sejauh apapun tujuan pada akhirnya akan tercapai juga. Meninggalkan base camp, suasana begitu sepi. Sampai di pos New Selo, tidak bertemu seorangpun. Suasana yang sepi. Untungnya tidak mencekam. Hatiku masih tenang. Melaju menyusuri perkebunan. Hatiku masih biasa-biasa saja. Saat nafas mulai tersengal, kucoba tengok kebelakang untuk menatap Merbabu yang tersenyum manja. Lampu-lampu penduduk terlihat indah. Cuaca bersahabat. Semoga bertahan. Angin pun seolah-olah berhenti bertiup. Suasana sepi dan sangat-sangat sepi. Saya juga tidak termasuk pendaki yang suka membawa MP3 player untuk mengusir rasa sepi itu. Saya selalu berharap untuk bisa mendengarkan nyanyian harmoni alam dengan nyaman.
Menapaki setapak sendirian tanpa teman dan tidak ada tanda-tanda pendaki lain yang akan muncul, juga tidak bertemu dengan pendaki lain merupakan sesuatu banget. Rasa yang tidak mudah dibahasakan itu muncul ketika memasuki batas ladang dan hutan, saya melihat seberkas cahaya seperti rokok. Besar harapanku untuk bertemu dengan pendaki lain. Dengan mantap kuayunkan langkah menuju cahaya itu. Namun, tiba-tiba menghilang. Ah, saya telah berhalusinasi. Kusadari diriku sudah tidak berada pada jalur yang normal. Maka segera kukembali untuk menemukan jalur yang resmi. Saya terus mencoba untuk tetap tenang, mencoba mengais kenangan akan jalur pendakian ini dengan segala penanda yang ada. Kembali kuayunkan langkah untuk segera menemukan selter gerbang pendakian. Tidak saya pikirkan yang lain-lainnya, saya terus fokus untuk segera sampai.
Dalam tatapan mata yang samar karena gelap malam, mendadak kabut muncul. Makin susah melihat. Makin ciut juga nyali. Di tengah situasi yang cemas dan was-was, seberkas sinar terlihat terang. Saya yakin itu adalah pantulan kilat yang terkena atap dari selter. Dan benarlah. Lega hatiku. Untuk beberapa saat saya pun beristirahat di selter ini, berharap ada pendaki lain dari bawah yang menyusul. 10 menit berlalu dengan segala imajinasi tentang yang menyenangkan maupun yang menakutkan. Berkecamuk diantara imajinasi yang bertentangan itu, kuputuskan untuk melanjutkan langkah.
Memasuki hutan dengan setapak yang telah memulih. Karena jalur pendakian baru dibuka 1 minggu yang lalu. Jadi wajarlah kalau setapak banyak yang sudah ditumbuhi rumput dan ada beberapa yang samar. Suara-suara alam yang beraneka membangun imajinasi yang kian mengerikan. Bukan imajinasi yang menyenangkan. Segala pengetahuan tentang mahkluk-mahkluk astral menjelma dalam benak, yang kian menciutkan nyali. Untuk mengatasi hal-hal itu, sesekali saya membalikan badan untuk melihat lampu-lampu kota juga gagahnya Merbabu. Bukan masalah jalur dan segala kemungkinan tentang tantangan medan gunung yang menjadikan diri ini takut, tetapi dunia gaib lah yang paling kuasa memenjarakan jiwa ini.
Dalam situasi yang demikian, tidak juga saya berteriak. Namun, saya makin jauh menyelami diri ini yang renta dan rapuh. Terlihat gagah dan kuat-kokoh, tetapi jiwa, hati dan rohku tak bernyali. Untuk mengatasi hal ini, akhirnya kuingat dan kusebut Tuhan sang penguasa alam semesta untuk melindungiku. Setiap nafas yang kuhirup berharap mendapat kekuatan dari sang pencipta sendiri. Hingga hatiku kembali menjadi kokoh. Saya pun bisa menikmati petualangan mendaki sendirian ini. Saya seolah-olah dibimbing oleh alam itu sendiri untuk dapat menyatu dengannya. Pengalaman yang aneh dan tentu sangat sulit untuk dijelaskan.
Dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan ini, saya pun melaju. Sehingga tepat pukul 21.30, saya telah tiba di pos I, Watu Belah. Angin berhembus dengan kencang. Saya berencana untuk istirahat sejenak. Hati semakin tenang saat mata melihat seberkas cahaya dari senter. Pasti ini ada pendaki. Cahaya itu muncul dari tenda. Suara penghuninya pelan. Mungkin sudah pada tidur. Saat melintas di samping tenda secara spontan, saya pun berkata, “Permisi mas atau mbak-mbak”. Tiba-tiba ada sahutan dari dalam, “Sik-sik, kliatane aku kenal dengan suara ini”. Tenda pun dibuka. “Lha, rak tenan. Aku kenal to. Pak guru”. Ternyata anak-anak Rempala, komunitas pecinta alam dari Pantaran, Ampel, Boyolali. “Weala, bolo dewe to”, sahutku.
“Dengan siapa pak?”
“Sendiri”
Wedan. Kendel tenan po nekat ki?”
“Udah diniati kok. Santai ae”
Obrolan pun mengalir dengan deras. Karena rencana awal saya hanya ingin istirahat sejenak, maka kubulatkan tekat untuk kembali melangkah. Tetapi anak-anak ini berencana untuk bergabung. Lalu, saya pun membantu untuk bongkar tenda dan packing. Sekitar pukul 22.00, kami yang kini berenam kembali melangkah. Sekarang rombongan kami terdiri dari dua cewek dan empat cowok. Suasana pendakian pun berubah. Berganti suasana. Suasana yang khas anak-anak muda, dipenuhi dengan canda-tawa, gojekan dan saling mengerjain. Kini, tidak lagi mendaki sendiri dan suasana tidak lagi sepi. Tetapi ramai. Niat hati untuk mendaki sendiri terpaksa berhenti. Tak berapa lama, sekitar satu jam kami telah sampai di Pos II. Segera mendirikan tenda. Namun, tenda yang saya bawa tidak kudirikan. Kami telah mendirikan dua tenda masing-masing kapasitas 5 orang. Diisi 6 orang, saya kira lebih dari pada cukup. Kini, saatnya memasak untuk mendulang energi dan membuat minuman hangat sambil berbagi pengalaman. Inilah warna yang khas pendakian dalam hangatnya tenda.
Saya menawarkan, pagi hari apakah mau ikut ke puncak sambil menikmati momen sun-rise? Sesungguhnya jalur pendakian hanya memperbolehkan sampai di Pasar Bubrah. Namun, Pak Min yang mengenal saya telah mengijinkan. “Patokane adalah guide. Kalau mereka yang membawa turis berani ke puncak. Berarti pendaki yang lainnya juga boleh. Dengan catatan tetap hati-hati dan waspada”.
merbabu terlihat cantik saat pagi, dr pasar bubrah
“Sayangnnya sampai detik ini, belum ada tanda-tanda turis manca yang nanjak. Istirahat dulu. Minimal sampai di Pasar Bubrah. Gimana, tertarik?” Dari 6 di antara kami, ternyata ada 3 orang yang baru pertama kali mendaki. Semua sepakat untuk ikut. Lalu saya pun pamit duluan untuk istirahat.
Pagi menjelang. Pukul 04.30, pertanda bahwa golden sun-rise akan muncul, membulatkan semangat kami untuk bercengkerama dengannya. Segera kubuat minuman sereal-susu untuk menghangatkan raga. Setelah dirasa persiapan cukup, kami pun keluar tenda. Jam 05.00, kami melangkah. Remang-remang semburat merah menerangi jalan. Sengaja, saya berjalan sendiri di depan. Karena rencananya saya memang mau mendaki sendiri. Setelah agak jauh, saya menunggu. Setelah tersusul, kembali saya meninggalkan mereka. Dengan tetap memantau dan menunggu. Tersusul kemudian ngebut. Berharap dapat sun-rise di pasar bubrah, namun hanya di-PHP. Sekitar pukul 05.30, tiba-tiba kabut tipis merangkak naik, menutupi semburat merah mentari fajar. Ini lah, alam selalu sulit untuk diprediksi.
pada mulanya terlihat cerah. hingga akhirnya seperti inilah
Kembali kutawarkan, “Apakah masih berminat ke puncak?” “Masihlah”. Lalu saya pun memberi pentunjuk praktis tentang teknik berjalan di medan pasir dengan kemiringan yang lumayan. Menegaskan beberapa hal yang perlu diwaspadai. Dan terutama jalur mana yang harus dilewati, baik saat naik maupun turun. Setelah semuanya paham, kami pun melangkah. Saya tetap menggunakan metode untuk melaju duluan, menunggu, tersusul dan saya pun berlalu meninggalkan mereka. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.20, saya telah tiba di puncak Merapi. 30 menit berikutnya, rombongan yang bergabung denganku baru tiba. Karena saya telah 30 menit di puncak, maka, saya putuskan untuk turun. Saya akan menunggu di Pasar Bubrah.
kawah merapi
Satu jam saya menunggu di Pasar Bubrah. Mereka dari kejahuan terlihat masih asik berfoto ria dengan gaya khas anak muda. Foto dengan membawa berbagai tulisan dan dengan berbagai ekspresi. Capek menunggu, akhirnya saya berpesan kepada pendaki yang baru datang dari bawah, untuk menyampaikan kabar bahwa saya menunggu di tenda dan bila sampai jam 09.00, mereka belum sampai di tenda, saya akan turun duluan.
belakangku tu merbabu lho
Setelah nyakin bahwa pesan akan tersampaikan, maka saya pun turun untuk membuat sarapan, berkemas-kemas dan turun pulang. Niat hati untuk solo-hiking, pagi ini bisa tercapai, dari Pos II-Puncak dan kembali ke Pos II. Semua perlengkapanku telah masuk ke dalam kerir. Saya sudah siap untuk melangkah pulang. Sesuai dengan pesan yang saya kirimkan, kembali saya menunggu rombongan Rempala tiba di tenda. Tepat pukul 09.00, satu diantara kelima anak itu tiba.
“Kok sendiri. Yang lain mana?”, tanyaku.
“Masih asik foto-foto pak. Biasalah pendakian pertama. Tu baru senang-senangnya”.
“Yoi. Aku ngerti itu. Oke, aku pamit dulu ya. Soale balung tuo, udah tidak lagi muda. Tahu diri. Aku kalau nanjak bisa bersaing dengan yang muda. Tetapi kalau turun, aku harus ekstra pelan-pelan dan hati-hati. Lututnya sudah tidak selentur dulu, hehe”.
“Monggo Pak. Hati-hati ya”.
“Siap. Trims ya, bisa ndaki bareng. Moga lain waktu kita bisa ndaki bareng lagi”.
“Siap pak”. Jabat tangan khas pendaki mengiring langkah kaki ini.
Dengan hati yang dipenuhi suka cita dan kebahagiaan, saya pun kembali melangkahkan kaki untuk menuruni terjalnya medan. Melangkah pelan untuk mengawali perjalanan turun.sengaja kugunakan tongkat untuk menopang lutut ini yang sudah mengeras. 20 menit tibalah saya di pos satu. Istirahat sebentar. Lalu ditemani seorang pendaki senior dari Wonosobo, dengan santainya ia menarkan kopi dan rokok. Sekitar 15 menit kami berbagi pengalaman. Sungguh akrab. Rasa persaudaraan yang tulus.
keren kan, tu da sumbing, sindoro n prau
Kembali aki menapak di terjalnya medan. Tidak juga bertemu dengan pendaki lain. Belum musimnya. Selepas pos satu mendekati selter, saya baru bertemu dengan beberapa rombongan yang akan mendaki. Rata-rata hanya tik-tok, entar sore udah pada turun. Tidak ada yang berencana nenda. Sesampainya di selter, ada satu rombongan yang tengah berisitirahat, katanya dari Simo, Boyolali. Bertegur sapa. Saya pun berlalu. Hingga akhirnya, tepat pukul 10.30, saya telah masuk ke base camp. Istirahat sebentar. Tepat pukul 11.00, saya meneruskan perjalanan. Motor meliuk menuju Solo. Tepat pukul 12.15, sampailah saya di rumah tercinta dan bertemu dengan isteri tercinta pula. Trimakasih atas ijinnya, sehingga saya bisa berpetualang.
Lewat setapak Merapi seorang diri, sebenarnya saya menapaki lika-liku semak diri ini. Dengan berpetualang secara sendirian, solo-hikking akan lebih mudah menghantar untuk memasuki relung dan misteri diri. Saya semakin mengenal diri ini, dengan segala kelebihan juga kekurangan. Saya semakin mengerti batas kemampuan juga kelemahan. Dengan semakin mengenal diri, maka akan lebih mudah untuk menempatkan diri, mengarahkan hidup untuk menggapai hidup yang penuh warna. Hidup dengan suka-cita dan damai. Hidup yang dipenuhi dengan kebahagiaan sejati. Amin.
saat di puncak merapi, dari sisi paling timur
Terimakasih Merapi. Terimakasih untuk teman-teman seperjalanan (anak-anak Rempala) dan terimakasih untuk isteriku yang mau mengerti dan mau memahami diriku, sehingga memberi kepercayaan kepadaku untuk melakukan peziarahan ini, solo-hikking yang amazing. Berhartap bisa terulang kembali. Semoga.







[1] http://www.pendakigunung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:survival-di-gunung&catid=1:latest-news
[3] Sebenarnya ini mengingkari idialisme dalam dunia pendakian, karena logistik untuk mendaki gunung kan sebisa mungkin yang ringan, banyak kalorinya, praktis memasaknya dan tidak makan tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar