SOLO HIKING: MENAPAKI MERAPI MENJELAJAHI
DIRI
Oleh: Heri
jempol sik ae, jos tenan |
Dalam hidup ini, manusia memiliki
banyak pilihan. Termasuk pilihan untuk mengurai kepenatan batin, pikiran dan
raga. Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar manusia bisa kembali menjadi fresh, kembali menjadi segar, sehat dan
bergairah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan rekreasi alam. Beragam
kegiatan alam akan membawa bisa mengambil jarak dengan rutinitasnya. Tujuannya
agar dirinya kembali memperoleh kesegaran hidup. Di antara sekian banyak
kegiatan alam, salah satunya adalah mendaki gunung.
Sebenarnya, gunung merupakan
salah satu lingkungan yang tidak lazim ditapaki oleh manusia. Kendati demikian,
untuk sebagian orang sering memilih gunung sebagai tempat utama dari kegiatannya.
Sebenarnya, kondisi alam di gunung sangatlah sulit ditebak. Kadang cuaca cerah
tapi dengan hitungan menit sudah menjadi hujan disertai angin kencang. Selain
itu, udara di gunung juga lebih dingin. Dengan demikian, kegiatan mendaki
gunung merupakan kegiatan olah raga ektrim yang memiliki resiko besar sekaligus
kegiatan yang penuh dengan tantangan.
Oleh karena itu persiapan dalam
banyak bidang merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Minimal ada
tiga hal, yang harus dipersiapan secara matang, yaitu: (a) Kondisi tubuh yang
sehat. (b) Kondisi mental yang stabil. (c) Tujuan melakukan kegiatan di gunung
harus jelas. Mendaki gunung membutuhkan kemampuan fisik yang terlatih. Karena
sebenarnya mendaki gunung merupakan kumpulan dari banyak jenis olah raga. Ada
jogging, lari, merangkak, mengangkat beban, dll. Selain kemampuan fisik yang
prima, ketahanan mental juga sangat penting. Gunung memiliki keadaan alam yang
sangat sulit diprediksi. Keadaan alam yang jauh dari kata nyaman. Maka,
berhadapan dengan segala kemungkinan itu lah, ketangguhan mental menjadi sangat
penting. Ketangguhan mental ini, sangat dipengaruhi oleh adanya tujuan yang
jelas. Adanya tujuan dari naik gunung, akan menjadi pegangan ketika menghadapi
situasi-situasi yang di luar kehendak dan rencana[1].
Selain ketiga hal di atas,
mendaki gunung juga perlu peralatan yang memadai dan bisa mendukung. Di
antaranya adalah baju lapangan, peralatan untuk beristirahat, peralatan untuk
masak, ransel atau tas punggung (tas carrier),
pisau rimba dan ponco. Dengan perlengkapan minimal ini, orang bisa
bertahan dalam menghadapi bverbagai kemungkinan. Kalau perbekalan, minimal ada
tiga hal, yaitu: logistik dan minuman secukupnya juga membawa obat-obatan dasar,
sepeti: parasetamol, obat gosok, koyok, minyak angin dan obat diare.
Dari sekian kali mendaki gunung,
berikut saya akan membagikan satu pengalaman saat solo-hiking di gunung
Merapi, Selo, Boyolali, Jateng. Gunung Merapi (2.968
m.dpl) terletak di dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jogjakarta. Gunung Merapi
terletak berdampingan dengan Gunung Merbabu. Gunung Merapi adalah salah satu
gunung api yang mempunyai daya rusak yang tinggi dan paling aktif diantara
sekian banyak gunung api yang terletak di Indonesia serta merupakan salah satu
gunung terganas di dunia. Nama puncaknya adalah puncak Garuda, tapi puncak
garuda itu telah hilang karena letusan merapi pada tahun (2010) yang merupakan
bongkahan batu besar dengan bentuk mirip burung garuda[2].
Menapaki terjalnya
Merapi bukanlah pengalaman pertama buatku. Sudah beberapa kali saya
mengunjunginya. Kendati demikian, tidak serta merta diriku bosan untuk
mendakinya. Justeru semakin kuat mengikat batin ini untuk selalu kembali
mendakinya. Namun, mendaki sendirian (solo-hikking),
ini merupakan pendakian yang pertama. Mendaki gunung Merapi seorang diri, saya
rasa ini adalah tantangan baru. Untuk membawa barang bawaan buatku bukan
sesuatu yang baru. Karena sebelum-sebelumnya, teman-temanku sering menjuluki
saya sebagai porter. Hal itu wajar
karna setiap kali mendaki, saya terkenal sebagai orang yang suka menggendong
bawaan yang berlimpah, terutama logistik. Di beberapa pendakian, saya pernah
membawa jeruk 2 kg, pernah juga membawa kakap 1 kg. Namun yang paling sangar
adalah saat saya membawa semangka dan melon. Banyak yang komentar, “ini mau
mendaki atau mau jualan”. Buatku mendaki adalah rekreasi, “Kalau bisa berlimpah kenapa dibuat ngirit, hehe”[3].
Tantangan terbesar
dalam mendaki seorang diri adalah soal mental, menghadapi keraguan, ketakutan,
kekawatiran dan kecemasan.
Selasa, 8 Desember
2015, saat waktu membelah hari semua perlengkapan telah siap saya packing. Tas kerier telah saya ikat di
motor, tinggal berangkat. Namun, kegelisahan tiba-tiba menyerang. Padahal,
sebelumnya telah saya persiapkan diri ini untuk mendaki solo. Saya sudah
jogging dengan jarak tempuh lebih dari biasanya. Fisik dan mental sudah oke.
Bahkan sampai malam tadi pun, diri ini masih yakin. Tidak ada keraguan yang
menyerang. Tetapi ketika mau mandi untuk persiapan akhir, tiba-tiba rasa gundah
datang. Saya menjadi ciut nyali. Hingga akhirnya, saya harus menawar diri ini.
Bernegosiasi dengan diri. Menyelami segala kemampuan diri untuk kembali
menemukan keberanian dan keyakinan diri. Dua jam bergulat. Tepat pukul 14.00,
saya putuskan untuk melanjutkan petualangan. Motorku pun meliuk meninggalkan
Solo menuju Selo, Boyolali.
Tidak berapa lama setelah
meninggalkan rumah, mendadak cuaca berubah. Yang awalnya cerah kini mendung
bergulung, menghitam seolah akan mengurung bumi. Hujan lembut pun turun. Saya
masih menikmati perjalan dengan tidak menggunakan mantol. Namun, saat memasuki
Cepogo dari arah berlawanan, semua penunggang motor telah menggunakan mantol.
Berarti dari di depan telah turun hujan lebat. Kuhentikan motor, sambil
menunggu situasi. Kusiapkan jas hujan. Dan tidak berapa lama, hujanpun turun
dengan sangat-sangat lebat. Tanda-tanda hujan mereda tidak ada, kuputuskan
untuk lanjut.
Meliuk motorku di
jalanan dengan guyuran hujan lebat, seolah sendirian. Karena tidak ada
pengendara yang lainnya. Hingga tepat pukul 16.00, saya pun tiba di base camp. Suasana sepi. Tanda-tanda
tidak ada pendaki yang lainnya, padahal besoknya adalah libur nasional (pilkada
sertentak). Kuparkir motor. Kulonuwun.
Dan sayapun ikut berdiang di belakang. Saya memang sudah mengenal Pak Min
(sesepuh base camp Merapi). Karena telah akrab, maka sayapun langsung mengobrol
dengan bebasnya. Suasana di luar rumah, masih hujan cukup lebat. Menurut
informasi, hanya ada dua rombongan kecil yang sudah naik dan ada satu rombongan
besar yang hari ini akan turun.
Sekitar pukul 17.00,
serombongan anak-anak SMA N 1 SKA telah turun. Mereka semua basah kuyup dan
mengigil. Saya pun menawarkan untuk bergabung api-api. Hujan masih terus mengguyur. Seolah-olah tidak mau
berhenti. Waktu kini bertengger di titik 19.00, saya belum makan tetapi warung
base camp tidak jualan. Menurut anak-anak yang turun tadi, warung-warung di New
Selo juga pada tutup. Alamat kelaparan.
Sekitar pukul 19.30,
anak-anak itu akan nekat melanjutkan perjalanan. Hati ku makin kalut, karena
tidak ada juga tanda-tanda hujan berhenti dan pendaki yang lainnya datang.
Dalam hati terlintas untuk mengurungkan niat. Tidur aja di base camp. Entar
malam kalau ada temannya baru attack
summit, seperti yang sudah-sudah. Biasanya saya kalau mendaki Merapi juga
tik-tok, kebut semalam. Berangkat jam 02.00, pagi nyampai puncak dan sekitar
pukul 10.00 sudah kembali di base camp. Tapi ini sudah saya niatin untuk
solo-hikking. Masak yo nggak jadi.
Keraguan ini makin
memuncak, ketika anak-anak itu selalu bartanya, “Beneran nih pak mau ndaki
sendirian?” Saya hanya tersenyum. Namun, pertanyaan anak-anak yang
diulang-ulang itu, justeru menembalkan tekat dan keberanianku untuk terus
lanjut. Hingga saat waktu berada pada angka 20.00, hujan mulai mereda, cuaca
terlihat akan cerah. Sayapun memantapkan hati untuk melangkah. Semoga alam
bersahabat. Berdoa dulu. Biarlah Tuhan yang akan meraja dan berkarya.
Melangkahkan kaki
setahap demi setahap, karena ribuan kilometer hanya bisa dicapai dengan langkah
demi langkah. Hal ini lah yang menopangku untuk pelan-pelan terus mengayunkan
kaki. Asal mau berjalan, maka sejauh apapun tujuan pada akhirnya akan tercapai
juga. Meninggalkan base camp, suasana begitu sepi. Sampai di pos New Selo,
tidak bertemu seorangpun. Suasana yang sepi. Untungnya tidak mencekam. Hatiku
masih tenang. Melaju menyusuri perkebunan. Hatiku masih biasa-biasa saja. Saat
nafas mulai tersengal, kucoba tengok kebelakang untuk menatap Merbabu yang
tersenyum manja. Lampu-lampu penduduk terlihat indah. Cuaca bersahabat. Semoga bertahan.
Angin pun seolah-olah berhenti bertiup. Suasana sepi dan sangat-sangat sepi.
Saya juga tidak termasuk pendaki yang suka membawa MP3 player untuk mengusir
rasa sepi itu. Saya selalu berharap untuk bisa mendengarkan nyanyian harmoni
alam dengan nyaman.
Menapaki setapak
sendirian tanpa teman dan tidak ada tanda-tanda pendaki lain yang akan muncul, juga
tidak bertemu dengan pendaki lain merupakan sesuatu banget. Rasa yang tidak
mudah dibahasakan itu muncul ketika memasuki batas ladang dan hutan, saya
melihat seberkas cahaya seperti rokok. Besar harapanku untuk bertemu dengan
pendaki lain. Dengan mantap kuayunkan langkah menuju cahaya itu. Namun,
tiba-tiba menghilang. Ah, saya telah berhalusinasi. Kusadari diriku sudah tidak
berada pada jalur yang normal. Maka segera kukembali untuk menemukan jalur yang
resmi. Saya terus mencoba untuk tetap tenang, mencoba mengais kenangan akan
jalur pendakian ini dengan segala penanda yang ada. Kembali kuayunkan langkah
untuk segera menemukan selter gerbang pendakian. Tidak saya pikirkan yang
lain-lainnya, saya terus fokus untuk segera sampai.
Dalam tatapan mata
yang samar karena gelap malam, mendadak kabut muncul. Makin susah melihat.
Makin ciut juga nyali. Di tengah situasi yang cemas dan was-was, seberkas sinar
terlihat terang. Saya yakin itu adalah pantulan kilat yang terkena atap dari
selter. Dan benarlah. Lega hatiku. Untuk beberapa saat saya pun beristirahat di
selter ini, berharap ada pendaki lain dari bawah yang menyusul. 10 menit
berlalu dengan segala imajinasi tentang yang menyenangkan maupun yang
menakutkan. Berkecamuk diantara imajinasi yang bertentangan itu, kuputuskan
untuk melanjutkan langkah.
Memasuki hutan dengan
setapak yang telah memulih. Karena jalur pendakian baru dibuka 1 minggu yang
lalu. Jadi wajarlah kalau setapak banyak yang sudah ditumbuhi rumput dan ada
beberapa yang samar. Suara-suara alam yang beraneka membangun imajinasi yang
kian mengerikan. Bukan imajinasi yang menyenangkan. Segala pengetahuan tentang
mahkluk-mahkluk astral menjelma dalam benak, yang kian menciutkan nyali. Untuk
mengatasi hal-hal itu, sesekali saya membalikan badan untuk melihat lampu-lampu
kota juga gagahnya Merbabu. Bukan masalah jalur dan segala kemungkinan tentang
tantangan medan gunung yang menjadikan diri ini takut, tetapi dunia gaib lah
yang paling kuasa memenjarakan jiwa ini.
Dalam situasi yang
demikian, tidak juga saya berteriak. Namun, saya makin jauh menyelami diri ini
yang renta dan rapuh. Terlihat gagah dan kuat-kokoh, tetapi jiwa, hati dan
rohku tak bernyali. Untuk mengatasi hal ini, akhirnya kuingat dan kusebut Tuhan
sang penguasa alam semesta untuk melindungiku. Setiap nafas yang kuhirup berharap
mendapat kekuatan dari sang pencipta sendiri. Hingga hatiku kembali menjadi
kokoh. Saya pun bisa menikmati petualangan mendaki sendirian ini. Saya
seolah-olah dibimbing oleh alam itu sendiri untuk dapat menyatu dengannya.
Pengalaman yang aneh dan tentu sangat sulit untuk dijelaskan.
Dengan langkah yang
mantap dan penuh keyakinan ini, saya pun melaju. Sehingga tepat pukul 21.30,
saya telah tiba di pos I, Watu Belah. Angin berhembus dengan kencang. Saya
berencana untuk istirahat sejenak. Hati semakin tenang saat mata melihat
seberkas cahaya dari senter. Pasti ini ada pendaki. Cahaya itu muncul dari
tenda. Suara penghuninya pelan. Mungkin sudah pada tidur. Saat melintas di
samping tenda secara spontan, saya pun berkata, “Permisi mas atau mbak-mbak”.
Tiba-tiba ada sahutan dari dalam, “Sik-sik,
kliatane aku kenal dengan suara ini”. Tenda pun dibuka. “Lha, rak tenan. Aku kenal to. Pak guru”.
Ternyata anak-anak Rempala, komunitas pecinta alam dari Pantaran, Ampel,
Boyolali. “Weala, bolo dewe to”,
sahutku.
“Dengan siapa pak?”
“Sendiri”
“Wedan. Kendel tenan po nekat
ki?”
“Udah diniati kok.
Santai ae”
Obrolan pun mengalir
dengan deras. Karena rencana awal saya hanya ingin istirahat sejenak, maka
kubulatkan tekat untuk kembali melangkah. Tetapi anak-anak ini berencana untuk
bergabung. Lalu, saya pun membantu untuk bongkar tenda dan packing. Sekitar pukul 22.00, kami yang kini berenam kembali
melangkah. Sekarang rombongan kami terdiri dari dua cewek dan empat cowok.
Suasana pendakian pun berubah. Berganti suasana. Suasana yang khas anak-anak
muda, dipenuhi dengan canda-tawa, gojekan
dan saling mengerjain. Kini, tidak lagi mendaki sendiri dan suasana tidak lagi
sepi. Tetapi ramai. Niat hati untuk mendaki sendiri terpaksa berhenti. Tak berapa
lama, sekitar satu jam kami telah sampai di Pos II. Segera mendirikan tenda.
Namun, tenda yang saya bawa tidak kudirikan. Kami telah mendirikan dua tenda
masing-masing kapasitas 5 orang. Diisi 6 orang, saya kira lebih dari pada
cukup. Kini, saatnya memasak untuk mendulang energi dan membuat minuman hangat
sambil berbagi pengalaman. Inilah warna yang khas pendakian dalam hangatnya
tenda.
Saya menawarkan, pagi
hari apakah mau ikut ke puncak sambil menikmati momen sun-rise? Sesungguhnya jalur pendakian hanya memperbolehkan sampai
di Pasar Bubrah. Namun, Pak Min yang mengenal saya telah mengijinkan. “Patokane
adalah guide. Kalau mereka yang
membawa turis berani ke puncak. Berarti pendaki yang lainnya juga boleh. Dengan
catatan tetap hati-hati dan waspada”.
merbabu terlihat cantik saat pagi, dr pasar bubrah |
“Sayangnnya sampai
detik ini, belum ada tanda-tanda turis manca yang nanjak. Istirahat dulu.
Minimal sampai di Pasar Bubrah. Gimana, tertarik?” Dari 6 di antara kami,
ternyata ada 3 orang yang baru pertama kali mendaki. Semua sepakat untuk ikut.
Lalu saya pun pamit duluan untuk istirahat.
Pagi menjelang. Pukul
04.30, pertanda bahwa golden sun-rise
akan muncul, membulatkan semangat kami untuk bercengkerama dengannya. Segera
kubuat minuman sereal-susu untuk menghangatkan raga. Setelah dirasa persiapan
cukup, kami pun keluar tenda. Jam 05.00, kami melangkah. Remang-remang semburat
merah menerangi jalan. Sengaja, saya berjalan sendiri di depan. Karena
rencananya saya memang mau mendaki sendiri. Setelah agak jauh, saya menunggu.
Setelah tersusul, kembali saya meninggalkan mereka. Dengan tetap memantau dan
menunggu. Tersusul kemudian ngebut. Berharap dapat sun-rise di pasar bubrah, namun hanya di-PHP. Sekitar pukul 05.30, tiba-tiba kabut tipis merangkak naik,
menutupi semburat merah mentari fajar. Ini lah, alam selalu sulit untuk
diprediksi.
pada mulanya terlihat cerah. hingga akhirnya seperti inilah |
Kembali kutawarkan,
“Apakah masih berminat ke puncak?” “Masihlah”. Lalu saya pun memberi pentunjuk
praktis tentang teknik berjalan di medan pasir dengan kemiringan yang lumayan. Menegaskan
beberapa hal yang perlu diwaspadai. Dan terutama jalur mana yang harus
dilewati, baik saat naik maupun turun. Setelah semuanya paham, kami pun melangkah.
Saya tetap menggunakan metode untuk melaju duluan, menunggu, tersusul dan saya
pun berlalu meninggalkan mereka. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.20, saya telah
tiba di puncak Merapi. 30 menit berikutnya, rombongan yang bergabung denganku
baru tiba. Karena saya telah 30 menit di puncak, maka, saya putuskan untuk
turun. Saya akan menunggu di Pasar Bubrah.
kawah merapi |
Satu jam saya
menunggu di Pasar Bubrah. Mereka dari kejahuan terlihat masih asik berfoto ria
dengan gaya khas anak muda. Foto dengan membawa berbagai tulisan dan dengan
berbagai ekspresi. Capek menunggu, akhirnya saya berpesan kepada pendaki yang baru
datang dari bawah, untuk menyampaikan kabar bahwa saya menunggu di tenda dan
bila sampai jam 09.00, mereka belum sampai di tenda, saya akan turun duluan.
belakangku tu merbabu lho |
Setelah nyakin bahwa
pesan akan tersampaikan, maka saya pun turun untuk membuat sarapan, berkemas-kemas
dan turun pulang. Niat hati untuk solo-hiking, pagi ini bisa tercapai, dari Pos
II-Puncak dan kembali ke Pos II. Semua perlengkapanku telah masuk ke dalam
kerir. Saya sudah siap untuk melangkah pulang. Sesuai dengan pesan yang saya
kirimkan, kembali saya menunggu rombongan Rempala tiba di tenda. Tepat pukul
09.00, satu diantara kelima anak itu tiba.
“Kok sendiri. Yang
lain mana?”, tanyaku.
“Masih asik foto-foto
pak. Biasalah pendakian pertama. Tu baru senang-senangnya”.
“Yoi. Aku ngerti itu.
Oke, aku pamit dulu ya. Soale balung tuo,
udah tidak lagi muda. Tahu diri. Aku kalau nanjak bisa bersaing dengan yang
muda. Tetapi kalau turun, aku harus ekstra pelan-pelan dan hati-hati. Lututnya
sudah tidak selentur dulu, hehe”.
“Monggo Pak.
Hati-hati ya”.
“Siap. Trims ya, bisa
ndaki bareng. Moga lain waktu kita bisa ndaki bareng lagi”.
“Siap pak”. Jabat
tangan khas pendaki mengiring langkah kaki ini.
Dengan hati yang
dipenuhi suka cita dan kebahagiaan, saya pun kembali melangkahkan kaki untuk
menuruni terjalnya medan. Melangkah pelan untuk mengawali perjalanan
turun.sengaja kugunakan tongkat untuk menopang lutut ini yang sudah mengeras.
20 menit tibalah saya di pos satu. Istirahat sebentar. Lalu ditemani seorang
pendaki senior dari Wonosobo, dengan santainya ia menarkan kopi dan rokok.
Sekitar 15 menit kami berbagi pengalaman. Sungguh akrab. Rasa persaudaraan yang
tulus.
keren kan, tu da sumbing, sindoro n prau |
Kembali aki menapak
di terjalnya medan. Tidak juga bertemu dengan pendaki lain. Belum musimnya.
Selepas pos satu mendekati selter, saya baru bertemu dengan beberapa rombongan
yang akan mendaki. Rata-rata hanya tik-tok, entar sore udah pada turun. Tidak
ada yang berencana nenda. Sesampainya di selter, ada satu rombongan yang tengah
berisitirahat, katanya dari Simo, Boyolali. Bertegur sapa. Saya pun berlalu.
Hingga akhirnya, tepat pukul 10.30, saya telah masuk ke base camp. Istirahat
sebentar. Tepat pukul 11.00, saya meneruskan perjalanan. Motor meliuk menuju
Solo. Tepat pukul 12.15, sampailah saya di rumah tercinta dan bertemu dengan
isteri tercinta pula. Trimakasih atas ijinnya, sehingga saya bisa berpetualang.
Lewat setapak Merapi
seorang diri, sebenarnya saya menapaki lika-liku semak diri ini. Dengan
berpetualang secara sendirian, solo-hikking akan lebih mudah menghantar untuk
memasuki relung dan misteri diri. Saya semakin mengenal diri ini, dengan segala
kelebihan juga kekurangan. Saya semakin mengerti batas kemampuan juga
kelemahan. Dengan semakin mengenal diri, maka akan lebih mudah untuk
menempatkan diri, mengarahkan hidup untuk menggapai hidup yang penuh warna.
Hidup dengan suka-cita dan damai. Hidup yang dipenuhi dengan kebahagiaan
sejati. Amin.
saat di puncak merapi, dari sisi paling timur |
Terimakasih Merapi.
Terimakasih untuk teman-teman seperjalanan (anak-anak Rempala) dan terimakasih
untuk isteriku yang mau mengerti dan mau memahami diriku, sehingga memberi
kepercayaan kepadaku untuk melakukan peziarahan ini, solo-hikking yang amazing.
Berhartap bisa terulang kembali. Semoga.
[1]
http://www.pendakigunung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:survival-di-gunung&catid=1:latest-news
[3]
Sebenarnya ini
mengingkari idialisme dalam dunia pendakian, karena logistik untuk mendaki
gunung kan sebisa mungkin yang ringan, banyak kalorinya, praktis memasaknya dan
tidak makan tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar