MERBABU VIA SWANTING: BERDUA KITA BISA
Oleh:
Heri
samudera awan dari pos iii, dampo awang |
Dua hari berturut-turut kalender berwarna merah, sering
dipahami sebagai long week end. Hari
libur panjang. Biasanya, hari-hari seperti ini digunakan untuk rekreasi dan
liburan. Bagiku long week end adalah
istilah yang digunakan oleh mereka yang telah mapan. Mapan dalam pekerjaan atau
pun mapan dalam kehidupannya. Mereka yang tidak lagi disibukkan dengan urusan
“mencari rejeki”. Kelas mapan selalu memiliki agenda yang hampir tetap, sehingga
mereka bisa leluasa untuk mengatur hari liburnya, mengatur dirinya untuk
sejenak berpaling dari rutinitas dan kesibukannya.
Tetapi, untuk mereka yang tidak bekerja secara rutin
dan teratur, long week end merupakan
saat untuk mencari rejeki. Hari-hari seperti ini adalah peluang besar untuk
mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Libur panjang adalah kesempatan dan peluang
untuk menambah pendapatan.
Hari yang sama tetapi dimaknai oleh dua kelompok
secara berbeda. Buatku, hal inilah yang menarik untuk dilihat, diamati dan
direnungkan. Buatku long week end
selalu memberi pembelajaran hidup yang beragam. Tidak selalu sama. Tetapi juga
tidak selalu berbeda. Buatku, yang terpenting adalah bahwa setiap perjumpaan
akan memberi warna baru bagi kehidupanku.
Sabtu-Minggu, 16-17 Mei 2015 merupakan long week end. Maka, aku beserta
isteriku juga menyiapkan diri untuk mengisinya dengan kegiatan yang tidak
seperti biasanya. Aku berencana untuk mengisinya dengan rekreasi alam. Mendaki
gunung mungkin pilihan yang baik.
Dua minggu menjelang hari H, aku informasikan ke
beberapa teman, siapa tahu ada yang mau gabung. Banyak yang merespon. Banyak
pula yang berminat. Kami pun menetapkan untuk menapaki setapak Lawu dari jalur
Candi Cetho. Aku berpikir, ini sekaligus bernostalgia pada petualangan dua
tahun yang silam. Pada hari-hari libur panjang, jalujr popular untuk setiap
pendakian pasti akan sangat ramaia. Maka, kami sengaja memilih jalur Candi
Cetho, jalur yang belum popular sekaligus jalur dengan trek yang cukup panjang.
Banyak yang bergetar ketika mendengar jalur ini.
Satu minggu menjelang hari H, masih banyak yang
berminat. Jumlah anggotga yang kan gabung masih bertahan di angka 9 orang.
Rombongan yang banyak dan pasti akan meriah. Tiga hari menjelang hari H, yang
masih bertahan tinggal 5 orang. Masih cukuplah.
Tetapi saat H-1, tinggal aku dan isteriku. Memang
sudah menjadi prinsipku, “apapun keadaannya, yang telah terencana sudah
semestinya dilaksanakan”. Walau hanya berdua, mendaki tetap jalan. Namun,
mendadak lengan isteriku kembali tidak bisa digerakkan. Penyakit lama kambuh.
Apa boleh buat. Rencana harus ditunda.
Malam menjelang isteriku masih bertanya, “Gimana mas,
besok tetap mau mendaki?”
“Liat keadaan, kalau lengannya udah bisa digerakkan ya
jalan. Tapi kalau belum bisa, kan masih ada hari lain”.
Sebelum istirahat, kusempatkan diri untuk mengurut
lengan isteriku. Berharap besok menjadi lebih baik. Hingga bisa melaksanakan
apa yang telah terencana. Aku tidak berani berharap banyak. Hingga akhirnya,
aku hanya menghabiskan waktu dengan nonton televisi. Malam melaju. Hingga
larut. Mata tidak lagi bertahan. Aku pun rebah. Saat mentari telah tinggi, aku
pun berjaga. Isteriku juga. “Gimana keadaannya, udah membaik?”
“Sudah mendingan. Bisa untuk beraktifitas. Tetapi
belum berani untuk menggedong tas”
“Tapi masih berani ndaki nggak?”
“Ya masih tetapi gak berani bawa barang”
“Kalau semua perlengkapan dan barang bawaan, aku yang
bawa gimana?”
“Entar kasian mamasku lah”
“Gak pa-pa, siap saja. Pokoke digawe nyante ae. Tapi kalau jadi berangkat. Sebaiknya kita
gak ke Lawu. Kita mesti ganti haluan. Tetap ke gunung tetapi nyari jalur yang
belum popular. Aku ada usul gimana kalau ke Merbabu lewat Swanting”.
Di luar dugaan, isteriku pun langsung mengiyakannya.
Segera berkemas. Terbiasa mendaki, maka dalam sekejap pun semua perlengkapan
pokok telah masuk dalam satu tas kerir. Tinggal belanja beberapa logistik
tambahan, untuk menegaskan bahwa pendakian ini adalah pendakian rekreatif.
Biasanya, aku akan membawa buah jeruk, ikan nila, kentang dan minyak goreng.
Memang logistik yang aku bawa bukan logistik
yang direkomendasi untuk pendakian. Logistik yang aku bawa memang cenderung
berat, cara memasaknya pun lama. Ribet, tidak praktis. Tapi buatku, itulah cara
terbaik untuk menikmati pendakian. Membuat menu special dengan bumbu rahasia
hehe.
Sekitar pukul 09.00 aku dan hanya dengan isteriku
mulai meninggalkan Solo untuk menuju base camp pendakian Merbabu di dukuh
Suwanting, desa Banyuroto, Sawangan, Magelang. Perjalanan cukup lancar. Cuaca
sangat baik. Motor terus meliuk di jalanan yang naik-turun, berkelok-mengular.
Hingga saat waktu berada pada titik 11.00, tibalah kami pada tempat yang
dituju. “Base Camp Merbabu Via Suwanting”.
Pengalaman pendakian yang lalu di
jalur ini bahwa saat kaki berpijak pada bumi, ramah penduduk setempat langsung
menyambut kami. Sapaan yang tulus dan penuh makna, yaitu “nyedulur”, terbuka pada
persahabatan juga persaudaraan.
Para pemuda yang tergabung dalam paguyuban “Karang Taruna” menerima, menyambut dan
mempersilahkan kami dengan sangat-sangat sopan, ramah dan penuh dengan rasa
kekeluargaan. Kami pun dipersilahkan untuk sejenak istirahat dan ngobrol dengan
pak kadus dan anaknya (Mas Eko). Karena mereka masih ingat dengan diriku, maka
percakapanmu seolah-olah kami bagaikan sahabat karib. Sejenak kamipiun berbagi
kisah. Terutama akan perkembangan jalur pendakian Suwanting ini. Memang
terlihat, bahwa sudah banyak pendaki yang mencoba jalur ini. Mereka juga
mengucapkan terimakasih atas informasi yang aku sebarkan via blog.
Rasa penasaran ketika mas Eko berucap, “Sekarang udah
banyak perubahan di trek-trek pendakian. Liat saja dan buktikan”. Ingin segera
aku menapakinya.
Aku pun segera packing
ulang. Melihat barang bawaan yang begitu banyak dan aku hanya membawa kerrir 60
liter, menjadikan tuan rumah beserta beberapa pendaki terheran-heran. “Bagaimana
ngaturnya? Apakah semua bawaan itu bisa masuk?”
Aku hanya tersenyum, “Liat aja, bagaimana aku packing. Sekalian belajar untuk dapat
ilmu baru”.
Sekitar pukul 12.20, kami pun mulai melangkah. Membuka
diri pada pengalaman baru. Inilah petualangan.
Cara rekreasi yang beda.
Masih segar dalam ingatan bahwa jalur Swanting pada
awalnya merupakan jalur penduduk untuk melakukan ritual di puncak Merbabu. Maka
jalur ini medannya cukup terjal. Untuk penduduk setempat hanya membutuhkan
waktu 3-4 jam. Jalur ini belum memiliki ijin resmi dari pihak Taman Nasional
Gunung Merbabu (masih dalam proses). Makanya, retribusi untuk setiap pendaki
hanya Rp. 5.000 (brarti udah naik Rp. 2.000, hehe) ditambah biaya parkir motor
Rp. 5.000. Karena jalur ini belum resmi maka tidak ada karcis, tidak juga ada
asuransi. Tetapi tanggungjawab dari pengelola sangat luar biasa[1].
Satu hal yang sangat berkesan di base camp ini adalah
penerimaan mereka. Walau baru pertama bertemu namun seolah-olah kita telah lama
kenal. Hingga keakraban yang terjalin pun begitu dekatnya.
Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga base camp, tepat pukul 13.00 kami memulai
pendakian. Mengawali kisah
ini, kami sangat santai. Kami disambut
dengan sapaan penduduk yang luar biasa akrabnya. Setiap kami menyapa penduduk, mereka menyambut dengan
ramah. Mereka selalu mengundang kami untuk berkenan singgah di rumahnya.
Sungguh dinamika seperti ini lah yang menjadikan jalur Swanting berbeda dengan
jalur pendakian lainnya. Saya yakin keramahan penduduk Swanting kiranya akan
menjadi daya tarik utama jalur ini. Dan saya berharap semoga keramahan ini
tidak luntur bersama berjalannya waktu. Amin.
Sekitar
8 menit meninggalkan base camp, menyusuri jalan kampung, aku dan isteriku
dihadapkan pada persimpangan. Sekarang
telah ada papan penunjuk arah. Kami pun mengambil arah kiri. Sekitar 10 menit
kami menyusuri jalur ladang penduduk. Lalu kami ketemu dengan batas hutan yang
masih sangat lebat. Hutan pinus dan cemara dengan pepohonan yang rapat. Sekitar
5 menit kami menyusuri setapak hutan ini, sampailah kami di Pos I, yaitu Lemba
Lempong[2].
Di pos ini memiliki area yang cukup luas untuk
mendirikan tenda. Pemandangan yang disajikan pun sudah cukup menarik. Ada keindahan
perkampungan yang kalau malam hari pasti menyajikan panorama gerlap lampu neon.
Tempat yang datar dengan kanopi-rimbun pepohonan. Juga hamparan padang rumput
luas yang nyaman untuk tiduran. Untuk sampai di pos ini, juga tidak terlalu
jauh. Dari base camp hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 25 menit.
Di pos ini, ada satu keluarga yang sedang happy-camp. Kami sempat bertegur sapa. Lalu
kami meneruskan langkah. Setapak terlihat jelas. Namun medan kian menanjak.
Waktu tempuh dari Pos I ke Pos II sekitar 60 menitan. Sepanjang jalur ini, kami
melewati 3 selter, yaitu secara berurutan Lemba Gosong, Lemba Cemoro dan Lemba
Ngrijan. Masing-masing selter memiliki area yang dapat digunakan untuk
mendirikan tenda antar 1-3. Sepanjang jalur masih didominasi dengan pemandangna
hutan yang lebat.
Sekitar pukul 14.30, kami tiba di Pos II, yaitu Pos Lemba
Mitoh. Pos ini menyuguhkan panorama yang lebih ajib dari pada Pos I. Panorama
lembah terlihat, sedangkan punggungan bukit dan hutan yang menghijau asri
terlihat di sisi kanan dan kiri. Di pos ini juga memiliki area untuk mendirikan
tenda sekitar 6-7. Area yang cukup luas. Sampai di pos ini, kami tidak bertemu
dengan pendaki yang lain. Untuk sejenak, kami pun beristirahat sambil menikmati
perbekalan.
Sekitar pukul 15.00, kami melanjutkan perjalanan.
Petualangan ini mesti kami tuntaskan. Beban dipundak makin berat terasa. Namun,
demi isteriku, saya mencoba bertahan. Isteriku masih bersemangat meneruskan
kisah. Kendati lengannya juga belum membaik. Sepanjang perjalanan kami banyak
bercerita, melucu dan mengais kenangan-kenangan masa silam yang membanggakan. Pendakian yang romantis
hehe.
Tanjakan kian dahsyat, tanjakan tanpa bonus. Terus
naik dengan kemiringan antara 25-40 derajat. Sungguh medan yang tidak mudah
untuk pendaki yang seusiaku. Setiap usai melangkah sekitar 10 meter kami
berhenti untuk mengatur nafas. Perjuangan yang luar biasa.
Tidak berapa lama, sekitar 20 menit, kami tiba di
puncak bendera[3].
Pada saat jalur ini dirintis, pos ini belum ada. Di sini kami bertemu dengan
beberapa pendaki yang sedang menikmati keindahan semesta. Sejenak bertegur
sapa, kami pun melanjutkan langkah. Usai pos ini, medan tidak terlalu terjal.
Cenderung landai. Hingga sampai di selter Lemba Manding. Perjalanan dari Pos
II hingga di selter ini, sekitar 45 menit[4].
Selepas Lemba Manding, medan makin menantang, tanjakan
curam dengan kemiringan 40-55 derajat. Belum lagi diperparah dengan setapak
yang licin. Wajarlah karena jalur ini tertutup rapat, sehingga sinar matahari
sulit menembusnya. Harus ekstra hati-hati. Sepanjang jalur kami bertemu dengan
beberapa pendaki. Rata-rata masih muda. Setiap kami mendahului, terpancar dari
sorot mata mereka yang “kurang terima”.
Lalu mereka mencoba membalap. Kami biarkan. Namanya juga anak muda, mana mau
kalah, hehe.
Namun ada beberapa pendaki yang akhirnya menyerah.
Mereka tertinggal jauh di belakang. Aku hanya bisa tersenyum, dalam hati
berkata, “jangan pandang raga kami yang telah renta. Karena mendaki membutuhkan
pengalaman. Tidak hanya tekat baja dan tenaga”. Benarlah bahwa pengalaman
adalah guru yang terbaik. Managamen
tenaga, waktu juga semangat sangat ditentukan oleh jam terbang. Hal ini tidak
dapat diteorikan, karena setiap pribadi memiliki ritme yang berbeda. Dengan demikian
tiap individu akan memiliki cara yang tidak sama dalam mengarungi setapak
gunung.
Menjelang senja, saat mentari menuju peraduan, kami
telah keluar dari batas hutan. Kami dihadapkan pada tanjakan sabana. Hati pun
bergirang-senang. Sebentar lagi Pos III, yaitu Pos Dampo Awang. Di depan
mata sudah terlihat penunjuk adanya mata air. Tepat pukul 17.30, kami pun tiba
di Pos III. Di pos ini, alam menyambut kami dengan menyuguhkan panorama
indahnya, harmoni sun-set. Angin
sepoi nan sejuk menyusup mengurai lelah raga menjadi kebanggaan dan kebahagiaan
yang tidak terbahasakan. Pengalaman yang luar biasa.
pemandangna dari puncak swantin |
Tidak berapa lama, temaram senja telah mengundang
malam untuk menyelimuti kehidupan. Kami pun segera mencari tempat untuk
mendirikan tenda yang paling nyaman. Menurut informasi, bahwa malam ini
bersamaan dengan adanya pen-mas.
Dengan demikian pos ini akan menjadi sangat ramai. Maka, kami putuskan untuk
mencari tempat tenda agak di pinggiran. Kemudian, tanpa menunda-menunda, segera
kudirikan tenda.
moment sun set pos iii, dampo awang |
Berdua dalam tenda.
Segera kukeluarkan segala perbekalan. Malam ini, saya akan
menciptakan menu yang paling spesial, yaitu nilai goreng, kentang rebus dengan
hidangan penutup nata-decoco, tidak lupa buah pencuci mulutnya adalah jeruk.
Pesta sederhana ala sepasang-pendaki. Mantap kan?
Aroma nila goreng membuat geger area pos tiga. Banyak
yang komentar, banyak juga yang bertandang ke tenda. Setelah mereka tahu, bahwa
yang memasak adalah sepasang pendaki yang tidak lagi muda, mereka hanya
geleng-geleng dengan kata yang terucap, “salut”. Kujawab dengan canda, “moga
bikin ngiri. Entar tirulah cara kami menikmati bahtera perkawinan, haha”.
Setelah semuanya siap. Saatnya pesta. Mari kita
santap. Mak-nyus.
Raga yang lelah dan perut yang
kenyang menjadikan mata segera mau terpejam. Isteriku tanpa menunda lama,
segera lelap, nyaman dalam istirahat. Tapi buatku keindahan mala mini, teramat
sayang kalau dibiarkan berlalu. Sayapun membuat secangkir kopi. Sejenak keluar
tenda. Membuka hati untuk menyambut dan menikmati malam. Angin manja, bukit
dengan deretan sabana yang maha luas dan tarian pepohonan hutan. Serta di
kejahuan terlihat kerlipan lampu-lampu kehidupan penduduk lintas daerah.
Sungguh panorama yang ajib. Keren. Di sekitar tenda juga ramai oleh para
pendaki. Mereka juga sedang menikmati malam. Tegur sapa dan sejenak berbagi
kisah. Keakraban pun tercipta. Jalan sederhana menemukan saudara.
Pukul 23.00, sapun kembali masuk
tenda untuk istirahat. Berharap esok pagi bisa bangun dengan tenaga yang baru.
Sehingga dapat bercengkerama dengan alam merbabu dalam suasana fajar dengan
keindahan matahari terbitnya.
Malam masih berjaga. Tapat pukul 03.00, aku terjaga
dan segera menyiapkan minuman hangat (sereal dan susu coklat). Rencana pagi
ini, kami akan attact summit sekitar
pukul 03.30. Raga yang masih malas-malasan terpaksa menawar target. Akhirnya
kami berangkat tepat pukul 04.00.
Banyak pendaki yang memburu sambutan sang fajar di
ketinggian Merbabu. Cuaca pagi ini diwarnai dengan angin yang lembut. Panorama
fajar yang sangat cerah hanya bisa kukagumi dengan syukur. Barisan awan dengan
warna emas karena mentari akan terbit, mengundang untuk tidak henti-hentinya
memuji tuhan sang pencipta. Isteriku pun begitu. Ia terlihat sangat bahagia.
Senyumnya terus mengembang, menebarkan kecantikannya yang luar biasa.
di bawah puncak triangulasi |
Medan jalur dari Pos III menuju puncak didominasi oleh
sabana dengan tetap menyusuri punggungan bukit. Bulan ini merupakan bulan
terindah dalam menikmati hijaunya sabana Merbabu. Seolah-olah berada di
hamparan permadanai warna hijau. Sejauh mata memandang hanya dimanjakan oleh
tarian rerumputan yang berpadu harmoni dengan gugusan pegunungan di kejauhan.
Ada gunung Merapi, Sumbing, Sindoro, perbukitan Prau juga Slamet. Sedangkan
disisi timur, gunung Lawu dengan cantik tersenyum mengundang untuk ke sana.
Isterikupun mengekspresikan kebahagiaanya seperti penari India, yang dengan
santai rebahan di hamparan permadani alam. Sungguh ajib. Keren habis.
menatap bayang puncak merbabu, dari kenteng 8 |
Hingga
akhirnya, target untuk menikmati sun-rise di puncak pun, kami batalkan.
Isteriku dengan santainya berkata, “sun-rise
ki udah biasa. Tapi indahnya sabana ini lho. Eman-eman kalau dibiarkan”. Saya hanya bisa nyengir. Semoga
keceriaannya bisa menyembuhkan lengannya. Dan benarlah. Kebagiaan adalah obat
paling mujarab untuk mengatasi segala penyakit. Ia sembuh.
romantis kan? hehe |
Belum juga hati merasa terpuaskan, namun perjalanan
juga perlu dituntaskan. Kuputuskan untuk meninggalkan sejenak keindahan sabana
Merbabu jalur swanting ini. “Ayo, lanjut dulu. Entar dari puncak kita
nyantai-nyantai lagi di sini”, pintaku. Insteriku dengan berat mengiyakan. Kami
pun melanjutkan kembali pendakian. Hingga tepat
pukul 05.45 kami tiba di puncak Triangulasi. Lima menit kemudian, kami tiba di puncak Kenteng Songo (3.142 Mdpl). Syukur Tuhan
atas penyertaan-Mu. Di sini kami bertemu dengan banyak pendaki yang sedang
menikmati euphoria, kegembiraan karena mencapai puncak.
berdua kita bisa nyampai puncak merbabu |
Pelan
dan pasti, matahari bersinar dengan indahnya.
Seolah-olah membuka rahasia pesona Merbabu. Mentari
pagi ini, seolah mengajak kami untuk
lebih lama berada di sini. Tetapi jelas hal ini tidak mungkin. Hingga kami pun
memutuskan untuk kembali mengayunkan langkah turun.
Sepanjang perjalanan melewati deretan sabana Merbabu
via Swanting ini, hati hanya bergetar, terkagum-kagum, terpana dan terkesima.
Hamparan sabana yang begitu luas membawa aku secara pribadi berimajinasi ke
alam yang tidak terbahasakan. Kami banyak berjumpa dengan pendaki lain yang
menuju puncak. Ada beberapa yang saya kenal. Namun ada pula yang beru bertemu.
Ada pula yang mengajak berfoto, “Moga besok kami bisa seperti bapake, muncak
bareng karo bojone”[5].
Amin.
ketemu anak-anak AGMM Magelang. saudara baru |
Sekitar 45 menit kami turun dan sampailah di tenda
tercinta (Pos III). Segera kami pun membuat sarapan untuk memulihkan energi
agar perjalanan turun kembali bertenaga.
Bernaung
di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar tenda
dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah pulang. Tepat pukul 09.00 kami meninggalkan Pos III. Melangkahkan kaki
dengan gembira karena pengalaman yang mempesona. Namun
perjalanan belum lah berakhir. Masih ada tantangan berikutnya.
Menyusuri setapak yang menurun-sempit,
licin dan rapuh-mudah longsor, kami harus ekstra hati-hati.
Satu per satu selter telah terlewati. Hingga tepat
satu jam, kami telah sampai di Pos II. Sekitar 30 menit kami beristirahat,
sambil menikmati perbekalan yang masih buanyak. Perut yang terisi menjadikan
tenaga pulih. Kembali kami pun melangkah. Sekitar 40 menit, kami telah tiba di
Pos I. Kembali kami mencoba menghabiskan perbekalan. Namun apa daya, perut
punya daya tampung maksimal. Hingga akhirnya kami putuskan untuk segera turun
ke base camp. Beristirahat di sana lalu pulang ke rumah.
Jadi waktu tempuh yang dibutuhkan untuk perjalanan
turun dari Pos III sampai base camp sekitar 2 jam 40 menit. Cukup singkat.
Tetapi itu semua tergantung pada kemampuan fisik para pendakinya.
Sesampainya di base camp, kami disambut oleh
pengelola. Ada penerimaan yang sangat bersahabat. Kami pun banyak berbagi
pengalaman. Mereka juga meminta masukan. Tujuannnya agar pengelolaan jalur ini
semakin professional. Sekitar 60 menit kami ngobrol. Lalu kami pun berpamitan
untuk meneruskan perjalanan. Meliuk kembali motorku di jalan beraspal dan tepat
pukul 16.00, kami telah kembali tiba di rumah tercinta. Saatnya beristirahat
untuk memulihkan tenaga. Agar besok bisa kembali menekuni rutinitas dengan
segar.
Terimakasih Merbabu via Swanting, setapakmu telah
mengajari banyak hal tentang arti hidup dan cara mengisinya. Bersama indah
parasmu, kami mampu mengambil makna untuk mewarnai hari-hari perkawinan.
Bersama teduh dan rindang pepohonanmu, kami bisa meneguhkan tekat untuk saling
member perlindungan, dekapan dan saling mengayomi. Untuk mencapai sesuatu indah
dibutuhkan pengorbanan, perjuangan, persiapan dan strategi. Biarlah petualangan
ini menuntun kami untuk memadukan segala perbedaan kami berdua, hingga bisa
menciptakan harmoni, seperti indahmu, Merbabu. Semoga, kami dapat kembali untuk
belajar pada setapak yang sama, pada medan yang sama. Karena setiap petualangan
akan member pelajaran yang sama. Setapak
dan jalur boleh sama, tetapi pengalaman akan selalu berbeda. Itulah yang akan
membimbing untuk menjadi pribadi yang semakin berani berkorban, berani untuk
selalu mengalah dan berani untuk selalu memberi. Semoga.
NB:
untuk lebih detail tentang rute Merbabu via Swanting dari base camp dan
mengenai keterangan nama-nama tempat, info lebih lanjut dapat menghubungi Mas Dwi Indriyanto: cp 087839230300 WA
085727189769 pin BB 584DOC80 atau Mas
Nugroho (Ambon): cp 087834306869 pin BB 5AD2D4CB (anggota Kapalla)
[1] Waktu aku turun ada satu
pendaki yang jatuh ke jurang dan mengalami patah tulang. Pihak pengelola pun
segera mengevakuasi secara professional. Sungguh bukti akan tanggungjawab yang
luar biasa.
[2] Kendati ini adalah
pendakianku yang kedua, namun saya lupa tidak menanyakan apa yang dimaksud
dengan “Lemba”. Apakah itu maksudnya Lembah (karena salah penulisan) ataukah
istilah khas dari dukuh ini.
[3] Pos baru, pos yang berada
di puncak bukit. Di pos ini, terdapat area yang cukup luas untuk mendirikan
tenda. Di pos ini menyajikan panorama yang luar biasa keren. Kota Magelang
terlihat samar. Mungkin kalau malam hari, pemandangan lampu-lampu kota akan sangat
memukau.
[4] Di selter ini dapat digunakan untuk mendirikan tenda sekitar 3-4. Cukup
terlindung dari sinar matahari dan angin kencang. Namun disarankan untuk tidak
mendirikan tenda di selter ini. Menurut penduduk setempat, Lemba Manding
merupakan gerbang dunia gaib. Maka, disarankan untuk menghormati kepercayaan
lokal (local wisdom).
[5] Untuk saat ini, mendaki
bersama kekasih atau pujaan hati menjadi sebuah impian idial banyak pendaki.
Dari beberapa pendakian yang aku lakukan
bersama isteri, mengundang banyak komentar, yang rata-rata pengin mengalami hal
serupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar