COUPLE-RIDER:
SOLO-PANTAI PELANG, RUTE YG DAMAI
Oleh:
Heri
Manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah mengenal istilah “cukup”.
Selalu berulang untuk memiliki dan bahkan membangun asa untuk selalu “lebih”.
Ada upaya yang selalu dikejar. Manusia memang sungguh-sungguh pribadi
berdimensi jamak. Ada berbagai pertentangan yang berkecamuk dalam diri. Hingga
menuntun manusia untuk terus bergerak. Tidak cukup untuk berdiam diri. Ada yang
selalu dicari dan harus ditemukan. Ruang dalam kalbu manusia begitu luas,
sehingga segala “kepemilikan” tidak akan pernah mampu untuk mengisinya. Ruang
kalbu manusia terbagi dalam beberapa tahapan. Dari tataran yang rendah, yaitu
hanya sekedar kepemilikan benda-benda duniawi, hingga ke tataran yang sangat
dalam, yaitu pengalaman batiniah, pengalaman karena tindakan kasih.
Oleh
karena itu, manusia akan terus bergerak-berjuang untuk mengisi dirinya tersebut.
Namun, tidak semua manusia menyadari dan tahu tentang gerak alami ini. Banyak
manusia yang digerakan oleh sinyal-sinyal spontanitas. Sehingga, tidak jarang
manusia jatuh dalam situasi “banyak aksi
namun semakin miskin”. Dinamika manusia yang tanpa kesadaran justeru akan
“memiskinkan”. Sepintas terlihat banyak aktifitas, banyak berkarya, banyak
kegiatan namun semakin merasa “kurang”.
Oleh karena itu, penyadaran terhadap setiap
aktifitas menjadi mutlak perlu. Menginginkan serta merencanakan sebuah
kegiatan hingga akhirnya menjadi sebuah tindakan dengan tujuan yang jelas
merupakan langkah sederhana menuju ke “penyadaran aktifitas”. Sebenarnya, dalam
kehidupan manusia tidak ada yang instan. Maka, untuk sampai pada tataran “kesadaran
dalam setiap tindakan” perlulah setiap hari hal ini dilatih secara tekun dan
setia.
Secara pribadi, saya (Heri Jimanto) dan isteri (Regina Nunuk) pada hari
Minggu-Senin, 7-8 Februari 2016 melakukan perjalanan sederhana. Hanya menyusuri
jalanan dari Solo-Wonogiri-Pacitan-Trenggalek. Namun, sebenarnya rencananya
telah matang jauh-jauh hari. Awalnya kami merencanakan untuk melakukan
perjalanan selama tiga hari. Akan tetapi musim penghujan yang datang terlambat
menjadikan kami urung niat. Hari Sabtu, 6 Februari 2016 rencana awal kami akan
memulai perjalanan. Selepas pulang kerja, persiapan dan berangkat. Namun apa
daya, ternyata alam kurang berpihak. Kami belum mendapat restu. Yang ada, hari
Sabtu justeru hujan teramat lebat. Sampai malam pun kami masih mangu untuk
meneruskan rencana. Hingga tengah malam, kami sepakat, jika pagi cuaca
mendukung maka kami akan lanjut.
Alam
pun berpihak. Sesuai dengan yang dirindukan hati. Minggu, 7 Februari setelah
kami berdoa, sekitar jam 08.00, kami pun meninggalkan Solo. Lengkap dengan
bekal siap tempur. Wajarlah, karena armada yang kami miliki hanyalah sepeda
motor yang sedikit kami modifikasi, agar lebih nyaman untuk membawa
perlengkapan. Maklum, kami terbiasa solo-touring.
Maka, segala perlengkapan mesti siap sedia demi anti-sipasi segala kemungkinan.
Sebenarnya, kami bukanlah anak-touring. Kami hanya sekedar terbiasa
bercengkerama dengan alam. Demi memudahkan perjalanan, maka touring menjadi
andalan. Mungkin, kami lebih tepat disebut sebagai couple-rider, sepasang kekasih yang senang berkendara jauh
demi menyatukan hati dengan alam.
Merangkak pelan kuda besi memanjakan sang
tuan. Perlahan, kami melaju di jalanan. Hingga sekitar pukul 10.00, kami tiba
di Pracimantoro. Di sini aku sengaja mengajak isteriku untuk mengenal dan tahu
tentang Geo-Park. Sebuah museum tempat pembelajaran tentang pegunungan karst.
Mengenal, memahami sejarah serta karakter dari sebagian tanah Jawa bagian
selatan kiranya cukup memperkaya wawasan. Isteriku seolah terkesima dengan yang
dikoleksi, menyangkut banyak ilmu dan juga miniatur berbagai lukisan alam yang
memahat-ukirannya pada gunung-gunung gamping. Keren.
Sekitar pukul 11.30, kembali motor melaju pelan meninggalkan
Pracimantoro menuju Pacitan. Pemandangan banyak didominasi oleh pegunungan,
perbukitan dan hutan. Di beberapa lembah terdapat berbagai tanaman pangan.
Seolah mata kami dimanja oleh hijaunya alam. Sungguh pemandangan yang
maha-keren. Bagi yang suka keindahan alam di sinilah surganya.
Sebelum
memasuki perbatasan Pacitan-Wonogiri, kami disambut hujan. Cukup lebat. Ada
tiga prinsip yang kami pegang dalam upaya menikmati perjalanan. Pertama, jika bingung, bertanyalah. Kedua, jika lelah, istirahatlah. Ketiga, jika lapar, makanlah. Dalam situasi
darurat, kami menambahkan satu hal lagi yaitu: jika hujan, mantolan-lah. Hujan tidak menyurutkan tekat hati yang telah
membaja. Bagi kami, inilah petualangan. Jalanan masih penuh dengan tanjakan,
tikungan dan turunan. Jalan yang basah ditambah guyuran hujan yang tidak juga
reda membimbing hati untuk lebih waspada dan hati-hati.
Menjelang
sampai pantai Teleng Ria, Pacitan, hujan mulai mereda dan perutpun memberi
tanda untuk mendulang energi. Sambil beristirahat kami pun memesan makanan.
Sembari menunggu hujan benar-benar reda. Sambil menunggu makanan siap,
tiba-tiba ada mobil yang menghampiri kami. Dalam hati aku berpikir, “salah
apakah aku ini?” Setelah jendela dibuka dan mendengar sapaan yang cukup akrab,
hati pun merasa lega. Ternyata datang dari tetangga rumah yang juga sedang
berliburan. Setelah sedikit bertegur sapa, kami pun berpisah. Kembali melukis
kisah hanya bersama isteri tercinta.
Udara
berbisik semilir menyingkap kelam awan yang menghitam, berganti cerah sang
surya. Badan terasa segar, tenaga telah memulih dan semangat kembali bergelora
untuk melanjutkan cerita hidup. Menyusuri jalanan kota Pacitan yang baru
pertama aku telusuri, ada keraguan dan ketakutan. Maka, kewaspadaan menjadi
kunci. Meningkatkan konsentrasi, mengamati segala tanda dan arah. Agar tujuan
ke Trenggalek tidak luput. Setiap
perjalanan dengan segala ketidaktahuan, buatku selalu menghadirkan sensasi
tersendiri. Ada kepuasan batin yang tidak terbahasakan dan sulit untuk
diceritakan. Yang hanya bisa dialami. Bukan dikisahkan.
Berkelok
motor meninggalkan Pacitan, penunjuk arah telah memandu kami untuk menikmati
panorama alam sepanjang perjalanan. Lukisan Pencipta telah memanjakan mata dan
menyegarkan dahaga jiwa. Bukan tujuan yang menjadi penghiburan,
tetapi cara menikmati perjalanan itulah yang menjadi ukiran kisah indah.
Tiap saat mata terpesona dan terkagum. Jiwa yang terbuka akan mudah menangkap
hal-hal yang remeh dan biasa menjadi sentuhan kalbu menembus ke sukma terdalam.
Yang ada hanya soal damai.
Kecamatan
Kebon Agung telah berlalu, kini kami memasuki kecamatan Telukan. Panorama alam
masih sama. Di sepanjang jalur ini, pemandangan mulai diwarnai dengan keindahan
lautan. Saat motor bertengger di puncak bukit atau di punggungan ketinggian,
maka mata akan terkesima dengan keindahan gugusan bukit yang berpadu harmoni
dengan biru lautan. Riak-riak ombak yang menghantar bibir pantai, menandai
gradasi warna yang menggores natural. Sejenak motorpun kuhentikan untuk
bercengkerama dengan kedasyatan karya Sang Pencipta. Hingga kami pun memutuskan
untuk berhenti di salah satu pantai yang masih jarang pengunjung. Saatnya
menikmati pantai Pidakan.
Pantai
Pidakan sedikit berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya. Di sini didominasi
oleh batuan blondos, batuan sungai. Biasanya pantai dihiasi dengan serpihan
karang dan pasir. Namun di Pidakan hal itu tidak terlalu terlihat. Mata akan
fokus untuk menikmati panorama gugusan batuan bulat yang seolah ditata manusia.
Pada hal itu adalah karya alam. Pantai ini cukup luas untuk memanjakan raga. Ada
barisan hutan kelapa yang sangat rindang. Bahkan sinar matahari pun berjuang
keras untuk bisa menembusnya. Hati sebenarnya belum terpuaskan oleh indah
pantai Pidakan. Tetapi perjalanan mesti dilanjutkan.
Kembali si kuda besi yang kami tungganig
menghantar-setia untuk berjumpa dengan keindahan-keindahan lainnya. Dan tidak
berapa lama, tibalah kami di pantai Soge. Pantia ini merupakan salah satu ikon
Pacitan. Keren. Pantai ini juga menjadi surga bagi para pe-touring. Ada berbagi
komunitas yang sedang menikmati. Yang salah satunya adalah berfoto-ria
disekitaran jembatan biru. Mungkin tidak afdol bila berkunjung ke Soge tanpa
mengabadikan kisah di jembatan ini. Namun kami berdua, hanya sekedar duduk
manis untuk membiarkan hati berpetualang dalam imaji tentang tanah surgawi.
Hari mulai sore, kami pun meneruskan kisah.
Jalanan masih dengan panorama yang sama. Tanjakan, tikungan, turunan yang
menghiasi barisan perbukitan dan hutan, serta lembah-lembah dengan aneka
tanaman pangan. Hingga tidak terasa, kami pun tiba di PLTU, sebuah proyek
kebanggan kota Pacitan. Dari ketinggian bukit di atas PLTU, kami bisa sepuasnya
untuk menikmati lukisan alam. Keren.
Lelah raga pun berlalu setelah tersiram oleh
kekaguman demi kekaguman. Hati terus berdecak. Terus melambungkan syukur atas
kesempatan untuk sejenak keluar dari rutinitas dan menyirami dahaga batin. Memasuki
kawasan hutan Trenggalek, pepohonan menjadi lebih bervariatif. Perbukitan yang
tidak seberapa tinggi, namun telah berselimutkan kabut dan awan. Pesona alam
yang unik. Tidak perlu mendaki gunung jika hanya sekedar untuk menikmati negeri
di atas awan. Berkunjunglah ke JLS (Jalan Lintas Selatan) antara
Pacitan-Trenggalek. Terkadang harus bermain mata, jika ingin mengintip goresan
alam ditepian samudera. Perjumpaan gelombang lautan dengan bentangan barisan
hutan menghias pesona bumi.
Hatiku tetap tenang kendati jarang bertemu
dengan pengendara lain. Apa lagi motor? Teramat sangat jarang. Kalau pun ada
hanya beberapa penduduk setempat yang membawa rumput. Berbicara keahlian
penduduk setempat dalam mengendarai kuda besi, mereka teramat jago. Bahkan aku
melihat seorang ibu-ibu yang mungkin begitu hafal dengan tikungan dan tanjakan
serta turunan, ia melanggang dengan sangat tenang bahkan cenderung ngebut.
Hebat.
Tidak terasa setelah sekian waktu
melenggak-lenggok di atas jalanan aspal yang diselimuti hutan, aku telah tiba
di kecamatan Panggul, Trenggalek. Berarti tujuan hampir tercapai yaitu pantai
Pelang. Hati begitu bergirang setelah melihat baleho yang bertuliskan “Selamat
Datang Di Pantai Pelang Trenggalek”. Dari jalan Pacitan-trenggalek masih
sekitar 3 km. bunyi gemuruh ombak menguatkan yakin bahwa bibir pantai akan
segera menyambut. Benarlah, kami tiba tepat pukul 16.00. masih cukup terang
untuk mencari lokasi nge-camp, sambil
mencari informasi mengenai situasi keamanan di sekitar pantai.
Ternyata, lokasi parkir dengan camp area cukup
jauh dan terhalang oleh bukit kapur. Hati makin ragu saat tahu bahwa tidak ada
penjaga parkir. Sedangkan kalau malam, semua pedagang akan pulang. Aku pun
was-was, kawatir kalau terjadi apa-apa dengan motor tersayang. Sambil
mengumpulkan nyali kamipun sempatkan diri untuk menikmati air terjun di bibir
pantai sebagai andalan tempat ini. Di sisi seberang gelora ombak dahsyat dengan
gemuruh suaranya yang sangat keras. Dari pengalaman mengunjungi pantai-pantai pulau
Jawa, bagiku tempat ini memiliki gelegar suara yang terdahsyat. Ada sensasi
tersendiri saat mendengarnya.
Satu jam kami berkeliling menikmati segala yang
ada. Aku sebenarnya ingin melanjutkan kisah dengan menyusuri jalanan Trenggalek
untuk menemukan pantai lainnya, yang mungkin bisa untuk mendirikan tenda dengan
jaminan keamanan yang lebih baik. Namun, terlihat isteriku sudah sangat letih
dan tidak ada gairah untuk kembali meliuk di atas motor. Untuk mengatasi
keadaan ini, kuberanikan diri untuk meminta ijin kepada penjaga warung,
“bolehkah kami membawa motor ke lokasi camp.
Karena waktu telah senja, pengunjung telah mereda. Maka, penjaga warung itu pun
memberi ijin. Lega rasanya. Segera gas aku puntir lagi membawa kami untuk
segera menemukan tempat mendirikan tenda. Tidak menunda waktu, kami pun
mendirikan hotel terindah. Sebuah tenda yang berdiri gagah dengan latar hutan
dan rerumputan yang menghijau. Di sebelah terdengar harmoni nyanyian gemuruh
ombak. Sedangkan disisi lainnya merdu mengalun gemericik air terjun. Menjadikan
tenda kali ini, sebagai tempat peristirahatan yang paling nyaman. Bagaikan
berada di hotel papan atas.
Malam pun merangkak mengundang lelah raga untuk
segera mendulang tenaga. Memasak ala petualang, menu sederhana dengan kandungan
nutrisi yang memenuhi syarat. Di luar tenda taburan bintang menghiasi malam.
Tanda-tanda akan cerah sepanjang malam. Usai menikmati hidangan malam, isteriku
tidak menunggu untuk segera menyiapkan diri rebah nyaman-beristirahat. Bagiku
teramat sayang, bila suguhan alam yang begitu mempesona hanya ditinggal tidur.
Kendati raga lelah, masih kusempatkan diri untuk bercengkerama dengan pesona
malam di pantai Pelang.
Saat fajar, niat hati mau bangun pagi-pagi,
mandi di bawah air terjun. Namun, niat kami tidak direstui, hujan turun dengan
lebatnya. Terpaksa menunda rencana. Tidur lagi. Jam 06.00, tanda-tanda hujan
reda tidak juga memberi isyarat. Kami pun memutuskan untuk nekat hujan-hujannan
sambil mandi di bawah air terjun. Seolah-olah menjadi taman pribadi. Hanya kami
berdua yang mandi di bawah guyuran sejuk air terjun. Disyukuri saja.
Sekitar pukul 07.00 usai kami mandi, namun
pertanda hujan mereda juga tidak akan terjadi. Menunggu sambil menikmati
minuman hangat, itulah yang kami lakukan. Namun, apa daya perut belum terisi, maka
suasana kurang begitu ternikmati. Jam delapan pertanda hujan tidak juga reda.
Malah makin lebat. Kuputuskan untuk nekat bongkar tenda. Target jam 09.00 harus
sarapan dan meneruskan perjalanan. Karena ada harapan jangan sampai malam kami
tiba di rumah tercinta.
Di bawah guyuran hujan, aku pun nekat bongkar
tenda, segera packing. Segala
perlengkapan telah siap diajak melanjutkan kisah. Meninggalkan pantai Pelang
dengan penuh kenangan. Syukur di area parkir telah banyak warung yang buka,
kami pun merapat sambil menunggu hujan reda. Memesan makanan. Lalu sarapan. Tetapi,
yang ditunggu-tunggu juga tidak memberi pertanda, masih hujan. Nekat adalah
keputusan yang tidak dapat ditawar. Sebenarnya kami berencana untuk mengunjungi
beberapa lokasi wisata Trenggalek. Tetapi karena cuaca yang kurang mendukung,
kami memutuskan untuk pulang ke Solo. Tepat pukul 09.30, kami meninggalkan pantai
untuk melukis kisah hidup berikutnya.
Kembali berkelok motor dengan kehati-hatian
yang meningkat 200%, karena jalanan yang super licin. Di sana-sini masih banyak
aliran air bahkan di beberapa tempat jalan menjadi aliran sungai. Tanjakan,
turunan dan tikungan dengan cuaca hujan menjadi tantangan tersendiri. Ini lah
petualangan yang sesungguhnya. Asik aja. Dinikmati. Hingga tidak terasa, kami
pun telah tiba di pertigaan Ngadirojo, Pacitan. Kami memutuskan untuk melewati
jalur beda, agar memberi sedikit warna-rasa perjalanan. Kami tidak melewati
jalur JLS tetapi melewati Ngadirojo-Telukan-Pacitan. Medan masih sama, yaitu
tanjakan, tikungan dan turunan. Hujan masih setia menemani perjalanan.
Hati-hati menjadi keharusan. Di penghujung gunung yang kami lalui, mata
membelalak karena alam menyuguhkan keindahan kota Pacitan yang dipeluk oleh
teluk Teleng Ria. Hijau perbukitan dan pegunungan yang dihiasi dengan tarian
awan-awan, menjadikan perjalanan ini sungguh eksotis. Perjalanan sederhana
namun menemukan berjuta makna dan kisah. Kami pun berhenti sejenak untuk
menikmati sungguhan alam.
Kembali motor meliuk membawa kami menuju ke
lokasi berikutnya. Pantai Teleng Ria adalah target kami. Karena di sana
terdapat kuliner seafood yang cukup
murah. Pesan makanan, menikmatinya, belanja oleh-oleh sambil sejenak mengurai
lelah dengan tiupan sepoi angin pantai. Segar raga, tenaga pun berlipat,
semangat kembali berkobar dan yang sangat penting adalah hujan telah reda.
Saatnya melanjutkan perjalanan.
Menari kami di atas kuda besi tercinta, hingga
tidak terasa telah sampailah kami di Wonogiri. Penat raga tidak dapat kami
sembunyikan. Istirahat sejenak. Energi yang terkuras menjadikan konsentrasi dan
nyali kian ciut. Maka, kecepatan pun
kian kami lambatkan agar keamanan lebih bisa ditingkatkan. Hingga tepat
pukul 16.00, kami telah tiba di rumah tercinta dengan selamat dan membawa
berjuta arti hidup.
Syukur kepada Tuhan Sang Teman Sejati yang
telah menaungi perjalanan dan kisah ini. Sehingga kami beroleh keselamatan dan
kisah yang mematri dalam hati. Dari perjalanan sederhana ini, aku hanya mau
menegaskan: hati yang terbuka akan
memudahkan untuk bisa menangkap segala peristiwa sederhana menjadi penyejuk
dahaga hati, dahaga sukma dan dahaga jiwa. Semoga kisah sederhana kami ini,
bisa menjadi inspirasi untuk yang lainnya, bahwa untuk menemukan kedamaian hati
tidak selalu melalui peristiwa-peristiwa hebat. Hanya sebuah panorama sepanjang
perjalanan yang dinikmati dengan hati menjadi penghiburan yang luar biasa,
membawa hati untuk sejenak merasakan sukacita, kedamaian dan kebahagiaan.
Josss!!!!!
BalasHapusAku bagikan kepada Saint Paul Riders ya, Mas.... .
monggo
BalasHapus