Selasa, 09 Februari 2016

COUPLE-RIDER: SOLO-PANTAI PELANG, RUTE YG DAMAI

COUPLE-RIDER:
SOLO-PANTAI PELANG, RUTE YG DAMAI
Oleh: Heri

           

            Manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah mengenal istilah “cukup”. Selalu berulang untuk memiliki dan bahkan membangun asa untuk selalu “lebih”. Ada upaya yang selalu dikejar. Manusia memang sungguh-sungguh pribadi berdimensi jamak. Ada berbagai pertentangan yang berkecamuk dalam diri. Hingga menuntun manusia untuk terus bergerak. Tidak cukup untuk berdiam diri. Ada yang selalu dicari dan harus ditemukan. Ruang dalam kalbu manusia begitu luas, sehingga segala “kepemilikan” tidak akan pernah mampu untuk mengisinya. Ruang kalbu manusia terbagi dalam beberapa tahapan. Dari tataran yang rendah, yaitu hanya sekedar kepemilikan benda-benda duniawi, hingga ke tataran yang sangat dalam, yaitu pengalaman batiniah, pengalaman karena tindakan kasih.
            Oleh karena itu, manusia akan terus bergerak-berjuang untuk mengisi dirinya tersebut. Namun, tidak semua manusia menyadari dan tahu tentang gerak alami ini. Banyak manusia yang digerakan oleh sinyal-sinyal spontanitas. Sehingga, tidak jarang manusia jatuh dalam situasi “banyak aksi namun semakin miskin”. Dinamika manusia yang tanpa kesadaran justeru akan “memiskinkan”. Sepintas terlihat banyak aktifitas, banyak berkarya, banyak kegiatan namun semakin merasa “kurang”.
Oleh karena itu, penyadaran terhadap setiap aktifitas menjadi mutlak perlu. Menginginkan serta merencanakan sebuah kegiatan hingga akhirnya menjadi sebuah tindakan dengan tujuan yang jelas merupakan langkah sederhana menuju ke “penyadaran aktifitas”. Sebenarnya, dalam kehidupan manusia tidak ada yang instan. Maka, untuk sampai pada tataran “kesadaran dalam setiap tindakan” perlulah setiap hari hal ini dilatih secara tekun dan setia.
            Secara pribadi, saya (Heri Jimanto) dan isteri (Regina Nunuk) pada hari Minggu-Senin, 7-8 Februari 2016 melakukan perjalanan sederhana. Hanya menyusuri jalanan dari Solo-Wonogiri-Pacitan-Trenggalek. Namun, sebenarnya rencananya telah matang jauh-jauh hari. Awalnya kami merencanakan untuk melakukan perjalanan selama tiga hari. Akan tetapi musim penghujan yang datang terlambat menjadikan kami urung niat. Hari Sabtu, 6 Februari 2016 rencana awal kami akan memulai perjalanan. Selepas pulang kerja, persiapan dan berangkat. Namun apa daya, ternyata alam kurang berpihak. Kami belum mendapat restu. Yang ada, hari Sabtu justeru hujan teramat lebat. Sampai malam pun kami masih mangu untuk meneruskan rencana. Hingga tengah malam, kami sepakat, jika pagi cuaca mendukung maka kami akan lanjut.
            Alam pun berpihak. Sesuai dengan yang dirindukan hati. Minggu, 7 Februari setelah kami berdoa, sekitar jam 08.00, kami pun meninggalkan Solo. Lengkap dengan bekal siap tempur. Wajarlah, karena armada yang kami miliki hanyalah sepeda motor yang sedikit kami modifikasi, agar lebih nyaman untuk membawa perlengkapan. Maklum, kami terbiasa solo-touring. Maka, segala perlengkapan mesti siap sedia demi anti-sipasi segala kemungkinan. Sebenarnya, kami bukanlah anak-touring. Kami hanya sekedar terbiasa bercengkerama dengan alam. Demi memudahkan perjalanan, maka touring menjadi andalan. Mungkin, kami lebih tepat disebut sebagai couple-rider, sepasang kekasih yang senang berkendara jauh demi menyatukan hati dengan alam.

             Merangkak pelan kuda besi memanjakan sang tuan. Perlahan, kami melaju di jalanan. Hingga sekitar pukul 10.00, kami tiba di Pracimantoro. Di sini aku sengaja mengajak isteriku untuk mengenal dan tahu tentang Geo-Park. Sebuah museum tempat pembelajaran tentang pegunungan karst. Mengenal, memahami sejarah serta karakter dari sebagian tanah Jawa bagian selatan kiranya cukup memperkaya wawasan. Isteriku seolah terkesima dengan yang dikoleksi, menyangkut banyak ilmu dan juga miniatur berbagai lukisan alam yang memahat-ukirannya pada gunung-gunung gamping. Keren

            Sekitar pukul 11.30, kembali motor melaju pelan meninggalkan Pracimantoro menuju Pacitan. Pemandangan banyak didominasi oleh pegunungan, perbukitan dan hutan. Di beberapa lembah terdapat berbagai tanaman pangan. Seolah mata kami dimanja oleh hijaunya alam. Sungguh pemandangan yang maha-keren. Bagi yang suka keindahan alam di sinilah surganya.
            Sebelum memasuki perbatasan Pacitan-Wonogiri, kami disambut hujan. Cukup lebat. Ada tiga prinsip yang kami pegang dalam upaya menikmati perjalanan. Pertama, jika bingung, bertanyalah. Kedua, jika lelah, istirahatlah. Ketiga, jika lapar, makanlah. Dalam situasi darurat, kami menambahkan satu hal lagi yaitu: jika hujan, mantolan-lah. Hujan tidak menyurutkan tekat hati yang telah membaja. Bagi kami, inilah petualangan. Jalanan masih penuh dengan tanjakan, tikungan dan turunan. Jalan yang basah ditambah guyuran hujan yang tidak juga reda membimbing hati untuk lebih waspada dan hati-hati.

            Menjelang sampai pantai Teleng Ria, Pacitan, hujan mulai mereda dan perutpun memberi tanda untuk mendulang energi. Sambil beristirahat kami pun memesan makanan. Sembari menunggu hujan benar-benar reda. Sambil menunggu makanan siap, tiba-tiba ada mobil yang menghampiri kami. Dalam hati aku berpikir, “salah apakah aku ini?” Setelah jendela dibuka dan mendengar sapaan yang cukup akrab, hati pun merasa lega. Ternyata datang dari tetangga rumah yang juga sedang berliburan. Setelah sedikit bertegur sapa, kami pun berpisah. Kembali melukis kisah hanya bersama isteri tercinta.
            Udara berbisik semilir menyingkap kelam awan yang menghitam, berganti cerah sang surya. Badan terasa segar, tenaga telah memulih dan semangat kembali bergelora untuk melanjutkan cerita hidup. Menyusuri jalanan kota Pacitan yang baru pertama aku telusuri, ada keraguan dan ketakutan. Maka, kewaspadaan menjadi kunci. Meningkatkan konsentrasi, mengamati segala tanda dan arah. Agar tujuan ke Trenggalek tidak luput. Setiap perjalanan dengan segala ketidaktahuan, buatku selalu menghadirkan sensasi tersendiri. Ada kepuasan batin yang tidak terbahasakan dan sulit untuk diceritakan. Yang hanya bisa dialami. Bukan dikisahkan.

            Berkelok motor meninggalkan Pacitan, penunjuk arah telah memandu kami untuk menikmati panorama alam sepanjang perjalanan. Lukisan Pencipta telah memanjakan mata dan menyegarkan dahaga jiwa. Bukan tujuan yang menjadi penghiburan, tetapi cara menikmati perjalanan itulah yang menjadi ukiran kisah indah. Tiap saat mata terpesona dan terkagum. Jiwa yang terbuka akan mudah menangkap hal-hal yang remeh dan biasa menjadi sentuhan kalbu menembus ke sukma terdalam. Yang ada hanya soal damai.

            Kecamatan Kebon Agung telah berlalu, kini kami memasuki kecamatan Telukan. Panorama alam masih sama. Di sepanjang jalur ini, pemandangan mulai diwarnai dengan keindahan lautan. Saat motor bertengger di puncak bukit atau di punggungan ketinggian, maka mata akan terkesima dengan keindahan gugusan bukit yang berpadu harmoni dengan biru lautan. Riak-riak ombak yang menghantar bibir pantai, menandai gradasi warna yang menggores natural. Sejenak motorpun kuhentikan untuk bercengkerama dengan kedasyatan karya Sang Pencipta. Hingga kami pun memutuskan untuk berhenti di salah satu pantai yang masih jarang pengunjung. Saatnya menikmati pantai Pidakan.
            Pantai Pidakan sedikit berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya. Di sini didominasi oleh batuan blondos, batuan sungai. Biasanya pantai dihiasi dengan serpihan karang dan pasir. Namun di Pidakan hal itu tidak terlalu terlihat. Mata akan fokus untuk menikmati panorama gugusan batuan bulat yang seolah ditata manusia. Pada hal itu adalah karya alam. Pantai ini cukup luas untuk memanjakan raga. Ada barisan hutan kelapa yang sangat rindang. Bahkan sinar matahari pun berjuang keras untuk bisa menembusnya. Hati sebenarnya belum terpuaskan oleh indah pantai Pidakan. Tetapi perjalanan mesti dilanjutkan.

Kembali si kuda besi yang kami tungganig menghantar-setia untuk berjumpa dengan keindahan-keindahan lainnya. Dan tidak berapa lama, tibalah kami di pantai Soge. Pantia ini merupakan salah satu ikon Pacitan. Keren. Pantai ini juga menjadi surga bagi para pe-touring. Ada berbagi komunitas yang sedang menikmati. Yang salah satunya adalah berfoto-ria disekitaran jembatan biru. Mungkin tidak afdol bila berkunjung ke Soge tanpa mengabadikan kisah di jembatan ini. Namun kami berdua, hanya sekedar duduk manis untuk membiarkan hati berpetualang dalam imaji tentang tanah surgawi.

Hari mulai sore, kami pun meneruskan kisah. Jalanan masih dengan panorama yang sama. Tanjakan, tikungan, turunan yang menghiasi barisan perbukitan dan hutan, serta lembah-lembah dengan aneka tanaman pangan. Hingga tidak terasa, kami pun tiba di PLTU, sebuah proyek kebanggan kota Pacitan. Dari ketinggian bukit di atas PLTU, kami bisa sepuasnya untuk menikmati lukisan alam. Keren.

Lelah raga pun berlalu setelah tersiram oleh kekaguman demi kekaguman. Hati terus berdecak. Terus melambungkan syukur atas kesempatan untuk sejenak keluar dari rutinitas dan menyirami dahaga batin. Memasuki kawasan hutan Trenggalek, pepohonan menjadi lebih bervariatif. Perbukitan yang tidak seberapa tinggi, namun telah berselimutkan kabut dan awan. Pesona alam yang unik. Tidak perlu mendaki gunung jika hanya sekedar untuk menikmati negeri di atas awan. Berkunjunglah ke JLS (Jalan Lintas Selatan) antara Pacitan-Trenggalek. Terkadang harus bermain mata, jika ingin mengintip goresan alam ditepian samudera. Perjumpaan gelombang lautan dengan bentangan barisan hutan menghias pesona bumi.
Hatiku tetap tenang kendati jarang bertemu dengan pengendara lain. Apa lagi motor? Teramat sangat jarang. Kalau pun ada hanya beberapa penduduk setempat yang membawa rumput. Berbicara keahlian penduduk setempat dalam mengendarai kuda besi, mereka teramat jago. Bahkan aku melihat seorang ibu-ibu yang mungkin begitu hafal dengan tikungan dan tanjakan serta turunan, ia melanggang dengan sangat tenang bahkan cenderung ngebut. Hebat.
Tidak terasa setelah sekian waktu melenggak-lenggok di atas jalanan aspal yang diselimuti hutan, aku telah tiba di kecamatan Panggul, Trenggalek. Berarti tujuan hampir tercapai yaitu pantai Pelang. Hati begitu bergirang setelah melihat baleho yang bertuliskan “Selamat Datang Di Pantai Pelang Trenggalek”. Dari jalan Pacitan-trenggalek masih sekitar 3 km. bunyi gemuruh ombak menguatkan yakin bahwa bibir pantai akan segera menyambut. Benarlah, kami tiba tepat pukul 16.00. masih cukup terang untuk mencari lokasi nge-camp, sambil mencari informasi mengenai situasi keamanan di sekitar pantai.

Ternyata, lokasi parkir dengan camp area cukup jauh dan terhalang oleh bukit kapur. Hati makin ragu saat tahu bahwa tidak ada penjaga parkir. Sedangkan kalau malam, semua pedagang akan pulang. Aku pun was-was, kawatir kalau terjadi apa-apa dengan motor tersayang. Sambil mengumpulkan nyali kamipun sempatkan diri untuk menikmati air terjun di bibir pantai sebagai andalan tempat ini. Di sisi seberang gelora ombak dahsyat dengan gemuruh suaranya yang sangat keras. Dari pengalaman mengunjungi pantai-pantai pulau Jawa, bagiku tempat ini memiliki gelegar suara yang terdahsyat. Ada sensasi tersendiri saat mendengarnya.

Satu jam kami berkeliling menikmati segala yang ada. Aku sebenarnya ingin melanjutkan kisah dengan menyusuri jalanan Trenggalek untuk menemukan pantai lainnya, yang mungkin bisa untuk mendirikan tenda dengan jaminan keamanan yang lebih baik. Namun, terlihat isteriku sudah sangat letih dan tidak ada gairah untuk kembali meliuk di atas motor. Untuk mengatasi keadaan ini, kuberanikan diri untuk meminta ijin kepada penjaga warung, “bolehkah kami membawa motor ke lokasi camp. Karena waktu telah senja, pengunjung telah mereda. Maka, penjaga warung itu pun memberi ijin. Lega rasanya. Segera gas aku puntir lagi membawa kami untuk segera menemukan tempat mendirikan tenda. Tidak menunda waktu, kami pun mendirikan hotel terindah. Sebuah tenda yang berdiri gagah dengan latar hutan dan rerumputan yang menghijau. Di sebelah terdengar harmoni nyanyian gemuruh ombak. Sedangkan disisi lainnya merdu mengalun gemericik air terjun. Menjadikan tenda kali ini, sebagai tempat peristirahatan yang paling nyaman. Bagaikan berada di hotel papan atas.

Malam pun merangkak mengundang lelah raga untuk segera mendulang tenaga. Memasak ala petualang, menu sederhana dengan kandungan nutrisi yang memenuhi syarat. Di luar tenda taburan bintang menghiasi malam. Tanda-tanda akan cerah sepanjang malam. Usai menikmati hidangan malam, isteriku tidak menunggu untuk segera menyiapkan diri rebah nyaman-beristirahat. Bagiku teramat sayang, bila suguhan alam yang begitu mempesona hanya ditinggal tidur. Kendati raga lelah, masih kusempatkan diri untuk bercengkerama dengan pesona malam di pantai Pelang.
Saat fajar, niat hati mau bangun pagi-pagi, mandi di bawah air terjun. Namun, niat kami tidak direstui, hujan turun dengan lebatnya. Terpaksa menunda rencana. Tidur lagi. Jam 06.00, tanda-tanda hujan reda tidak juga memberi isyarat. Kami pun memutuskan untuk nekat hujan-hujannan sambil mandi di bawah air terjun. Seolah-olah menjadi taman pribadi. Hanya kami berdua yang mandi di bawah guyuran sejuk air terjun. Disyukuri saja.

Sekitar pukul 07.00 usai kami mandi, namun pertanda hujan mereda juga tidak akan terjadi. Menunggu sambil menikmati minuman hangat, itulah yang kami lakukan. Namun, apa daya perut belum terisi, maka suasana kurang begitu ternikmati. Jam delapan pertanda hujan tidak juga reda. Malah makin lebat. Kuputuskan untuk nekat bongkar tenda. Target jam 09.00 harus sarapan dan meneruskan perjalanan. Karena ada harapan jangan sampai malam kami tiba di rumah tercinta.
Di bawah guyuran hujan, aku pun nekat bongkar tenda, segera packing. Segala perlengkapan telah siap diajak melanjutkan kisah. Meninggalkan pantai Pelang dengan penuh kenangan. Syukur di area parkir telah banyak warung yang buka, kami pun merapat sambil menunggu hujan reda. Memesan makanan. Lalu sarapan. Tetapi, yang ditunggu-tunggu juga tidak memberi pertanda, masih hujan. Nekat adalah keputusan yang tidak dapat ditawar. Sebenarnya kami berencana untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata Trenggalek. Tetapi karena cuaca yang kurang mendukung, kami memutuskan untuk pulang ke Solo. Tepat pukul 09.30, kami meninggalkan pantai untuk melukis kisah hidup berikutnya.

Kembali berkelok motor dengan kehati-hatian yang meningkat 200%, karena jalanan yang super licin. Di sana-sini masih banyak aliran air bahkan di beberapa tempat jalan menjadi aliran sungai. Tanjakan, turunan dan tikungan dengan cuaca hujan menjadi tantangan tersendiri. Ini lah petualangan yang sesungguhnya. Asik aja. Dinikmati. Hingga tidak terasa, kami pun telah tiba di pertigaan Ngadirojo, Pacitan. Kami memutuskan untuk melewati jalur beda, agar memberi sedikit warna-rasa perjalanan. Kami tidak melewati jalur JLS tetapi melewati Ngadirojo-Telukan-Pacitan. Medan masih sama, yaitu tanjakan, tikungan dan turunan. Hujan masih setia menemani perjalanan. Hati-hati menjadi keharusan. Di penghujung gunung yang kami lalui, mata membelalak karena alam menyuguhkan keindahan kota Pacitan yang dipeluk oleh teluk Teleng Ria. Hijau perbukitan dan pegunungan yang dihiasi dengan tarian awan-awan, menjadikan perjalanan ini sungguh eksotis. Perjalanan sederhana namun menemukan berjuta makna dan kisah. Kami pun berhenti sejenak untuk menikmati sungguhan alam.

Kembali motor meliuk membawa kami menuju ke lokasi berikutnya. Pantai Teleng Ria adalah target kami. Karena di sana terdapat kuliner seafood yang cukup murah. Pesan makanan, menikmatinya, belanja oleh-oleh sambil sejenak mengurai lelah dengan tiupan sepoi angin pantai. Segar raga, tenaga pun berlipat, semangat kembali berkobar dan yang sangat penting adalah hujan telah reda. Saatnya melanjutkan perjalanan.

Menari kami di atas kuda besi tercinta, hingga tidak terasa telah sampailah kami di Wonogiri. Penat raga tidak dapat kami sembunyikan. Istirahat sejenak. Energi yang terkuras menjadikan konsentrasi dan nyali kian ciut. Maka, kecepatan pun  kian kami lambatkan agar keamanan lebih bisa ditingkatkan. Hingga tepat pukul 16.00, kami telah tiba di rumah tercinta dengan selamat dan membawa berjuta arti hidup.
Syukur kepada Tuhan Sang Teman Sejati yang telah menaungi perjalanan dan kisah ini. Sehingga kami beroleh keselamatan dan kisah yang mematri dalam hati. Dari perjalanan sederhana ini, aku hanya mau menegaskan: hati yang terbuka akan memudahkan untuk bisa menangkap segala peristiwa sederhana menjadi penyejuk dahaga hati, dahaga sukma dan dahaga jiwa. Semoga kisah sederhana kami ini, bisa menjadi inspirasi untuk yang lainnya, bahwa untuk menemukan kedamaian hati tidak selalu melalui peristiwa-peristiwa hebat. Hanya sebuah panorama sepanjang perjalanan yang dinikmati dengan hati menjadi penghiburan yang luar biasa, membawa hati untuk sejenak merasakan sukacita, kedamaian dan kebahagiaan.

2 komentar: