CATATAN
PERJALANAN: PUNCAK ARGOPURO LASEM
Oleh: Heri
Berawal
dari informasi yang hanya sepenggal saat berselencar di dumay. Naluri menjelajah mungkin telah mendarah-daging dalam
jiwaku. Setiap saat ada rasa rindu untuk berpetualang dan memasuki daerah yang
selama ini asing bagiku. Oleh karena itu, jika memiliki waktu longgar, aku
sering berselancar, main internet hanya sekedar mencari artikel tentang tempat
wisata yang baru. Bagiku keindahan bukan “menurut definisi” atau “menurut kata
orang”. Banyak orang berargumentasi tetang sebuah keindahan tempat, namun saat
dikunjungi ternyata tidak sebagaimana yang dimaksudkan. Berbekal dari
pengalaman, akhirnya aku berani mengambil kesimpulan bahwa tempat yang bagus/
indah sangat tergantung pada subyek yang menikmatinya. Sedangkan subyek
tersebut sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya. Di teras rumah pun, jika hati
sedang dalam keadaan senang maka akan merasa di tempat yang terindah. Intinya, hati
yang senang adalah kunci untuk menemukan tempat yang terindah di bumi ini.
Hasil bongkar-bongkar dumay, membawaku pada satu informasi
bahwa di daerah pantura ada gunung yang keren.
Tidak hanya gunung Muria Kudus yang terkenal dengan julukan “Puncak 29 atau
Puncak Sapto Renggo” nya. Pada suatu
waktu, gunung ini juga pernah mengundangku untuk bercumbu dengannya. Hingga
akupun rindu untuk kembali memeluknya. Namun, untuk saat ini rasa penasaranku
tertambat pada informasi tentang gunung di kabupaten Rembang yaitu gunung Lasem
yang terkenal dengan sebutan “Puncak Argopuro Lasem”.
Gunung Lasem, dengan puncak Argopuronya,
merupakan sebuah gunung kecil yang terletak di sebelah timur kota Lasem
kabupaten Rembang. Membujur di antara Pegunungan Kapur di sebelah selatan hingga ke pesisir laut
Jawa di sebelah utara. Gunung ini mempunyai ketinggian sekitar 806 meter
dpl. Tidak terlalu tinggi, aku membayangkan. Namun pengalaman saat mendaki
Gunung Cermai via Linggarjati yang dimulai dari titik 700 mdpl, membuatku tidak
boleh meremehkannya. Aku juga belum tahu start pendakian gunung Lasem ini dari
ketinggian berapa? Misalnya dari titik 0 mdpl, bisa dibayangkan dahsyatnya kan?
Meskipun tidak terlalu tinggi, puncak
ini cukup ramai dikunjungi oleh para pecinta alam yang umumnya berasal dari
Rembang, Pati, Blora dan Tuban. Bahkan menurut informasi bahwa gunung ini akan
penuh dengan pengunjung pada saat-saat tertentu, misalnya pada malam pergantian
tahun dan liburan sekolah. Melihat beberapa foto dan juga vidio-vidio yang
beredar di internet,kukira gunung ini cukup menarik untuk dikunjungi. Hingga
akhirnya, kuputuskan untuk membuka lembaran baru tahun 2016 dengan menyelami
gunung ini.
Saatnya berpetualang.
Petualangan ini
sebenarnya adalah bagian dari rangkaian touring
awal tahun di daerah pantura Jateng. Bagiku, gunung ini rasanya spesial dan
sayang kalau diceritakan bersamaan dengan tempat-tempat yang kami kunjungi.
Maka, sengaja aku penggal dan bagikan secara terpisah.
Aku adalah Heri Jimanto
dan tentunya dengan teman setiaku, yaitu isteri tercinta, Regina Nunuk kembali
mencoba mewarnai hidup. Jumat, 1 Februari 2016 kami menetapkan langkah untuk
berkeliling daerah pantura dengan sepeda motor. Salah satu tujuan kami adalah
mendaki gunung Lasem. Rembang-Solo, tentunya bukan jarak yang pendek untuk
ditempuh dengan motor dan berboncengan, belum lagi full muatan siap tempur.
Saat pagi menjelang, kami pun meninggalkan rumah dan secara perlahan mengarah
ke tujuan.
Rute yang kami pilih
adalah Solo-Purwodadi-Blora-Rembang. Dua kabupaten terakhir, yaitu Blora dan
Rembang buatku merupakan tempat yang asing. Sering mendengar ceritanya, tetapi
belum pernah melewatinya. Kami bukanlah petulangan modern yang biasa
mengandalkan GPS. Bagi kami, bertanya bila tersesat atau ragu-ragu merupakan
keharusan. Setelah mengais informasi dengan rajin bertanya, akhirnya kami telah
tiba dipertigaan Nyode, kecamatan Pancur, sekitar 6 km dari kecamatan Pamotan
dan sekitar 5-6 km dari kecamatan Lasem. Dari pertigaan ini, belok ke kanan
atau ke arah deretan perbukitan di
sebelah timur.
Dari sini perjalanan
mulai menantang. Sebenarnya jalanan telah diaspal, namun keadaan jalanan yang
sempit, berkelok dan kadang menanjak dan menurun. Sekitar 8 km dari pertigaan
Nyode kami menuju pos pendakian yaitu desa Ngroto, kecamatan Pancur kabupaten Rembang. Untuk
sampai di desa ini, sebenarnya ada panduan alami, yaitu barisan tower-tower
pemancar. Dari kejauhan selalu terlihat, kadang tenggelam di balik perbukitan,
saat kebingungan kembali melihat deretan tower tersebut dan yakinlah bahwa itu
arah yang benar. Menjelang sampai di taman tower tersebut, kami berbelok ke
kiri, keluar dari jalanan beraspal untuk meniti jalan makadam atau jalan cor.
Menempuh jalan makadam sekitar 1-1,5 km, tibalah kami di ujung desa Ngroto
dengan penanda sebuah masjid besar. Di samping masjid ini lah, salah satu rumah
penduduk sebagai tempat base camp dan
warung yang sekaligus sebagai tempat penitipan sepeda motor.
ini sedikit gambaran tetang hutan puncak argo |
Sekitar jam 14.00, kami
tiba di base camp. Kami pun beristirahat dan sejenak ngobrol dengan beberapa
penduduk asli yang sedang berada di warung. Dari obrolan tersebut, aku menjadi
tahu bahwa Lasem memiliki hasil durian yang terbaik. Durian Lasem tidak pernah
bisa keluar daerah, karena selalu habis diburu pembeli dan dimakan di tempat.
Jadi kepengin, hehe. Cukup lama, aku dan isteriku menghabiskan waktu dengan
ngobrol-ngobrol santai, karena rencananya jam 16.00, kami baru akan memulai pendakian.
Buatku, bisa ngobrol dan berbagi pengetahuan serta pengalaman hidup dengan
penduduk asli adalah hal yang luar biasa. Perjumpaan yang memberi kesempatan menimba
ilmu hidup, informasi dan pengetahuan.
megap-megap mas bro |
Kami dipersilahkan untuk mengisi buku
tamu. Setelah itu, kami pun melakukan cecking peralatan dan perbekalan. Rencana kami
akan mendirikan tenda dan nge-camp di
puncak, sambil menikmati panorama alam kala malam. Tentu akan memberi warna
yang lain dalam hidup. Setelah semua kami rasa beres, saatnya untuk memulai pendakian.
isteriku jg menggos-menggos. tp masih bisa tersenyum |
Ini merupakan perjalanan pertamaku
tentang pendakian gunung dengan ketinggian di bawah 1.000 mdpl (meter dari
permukaan laut). Berbekal segala informasi mengenai jalanan, tikungan dan tentu
beberapa tempat yang dihormati, serta disakralkan oleh penduduk menjadi modal
awal untuk memulai ekspedisi sederhana ini. Pada mulanya kami menapaki jalan makadam
sekitar 100 m. kemudian kami melewati jalanan perkebunan, yaitu jalan tanah
liat, batu gunung yang licin dan kadang dihiasi kotoran sapi yang teronggok
indah. Setelah sekitar 500 meter, area perkebunan pun berakhir. Ada
persimpangan, kami harus memilih ke arah kiri, yang mengarah pada jalan
punggungan bukit. Karena inilah rute yang benar.
sing sabar mas bro |
Terbiasa mendaki gunung-gunung
tinggi, buatku ini merupakan tantangan besar. Baru berjalan sekitar 20 menit
namun rasanya badan bagai terbakar. Begitu panas. Mandi keringat. Terasa sangat
menguras tenaga. Lemas.
Padahal kalau mendaki gunung-gunung
yang tinggi dengan awalan cuaca dingin, buatku pribadi perjalanan kalau masih
di bawah tiga jam, itu belum terasa apa-apa. Tapi ini, perjalanan yang baru 20
menit namun terasa telah mendaki gunung selama 6 jam. Belum lagi ketika mencoba
istirahat sejenak untuk menghela nafas, nyamuknya langsung berbondong-bondong
menyerang. Seketika badan menjadi bentol-bentol. Segera kukeluarkan
perlengkapan P3K untuk mengambil obat nyamuk lotion. Karena badan terus mengucurkan keringat, maka lotion pun
tidak bertahan lama. Serangan kembali. Semprot lagi.
Pendakian ini, buatku adalah hal yang
sangat-sangat baru. Berdasarkan pengalaman mendaki dan menjelajah berbagai
gunung tinggi, dalam situasi seperti ini aku harus memposisikan diri sebagai
pemula. Berhadapan dengan gunung rendah yang notabene aku belum punya pengalaman. Maka, segala pengalaman gunung
tinggi sejenak aku tanggalkan. Bermodal prinsip survival sederhana bahwa selama
kaki masih mau melangkah sejauh apapun tujuan pasti akan tercapai. Alon-alon waton klakon ae lah. Setapak demi setapak kaki aku langkahkan.
Berharap semoga ragaku cepat menyesuaikan dengan keadaan. Karena adaptasi
dengan suhu setempat adalah modal yang sangat menentukan dalam suksesnya sebuah
pendakian.
capek yo istirahatlah,, |
Prinsip umum dalam dunia pendakian
tentang “Jangan anggap remeh”, selalu aku dengungkan dalam kepalaku, supaya aku
tidak lepas kendali dan menjadi sombong di hadapan alam semesta. Maka,
kerendahan hati menjadi kunci di setiap tempat dengan harapan mampu
menghormati segala yang ada.
Kendati terik mentari tidak
menyilaukan bumi, awan cukup tebal untuk menyembunyikannya, namun rasanya tetap
panas. Dengan demikian, track gunung
ini cukup membuat aku ngos-ngosan. Sebenarnya, perjalanan standar pendakian dari
jalur Ds.Ngroto Kec. Pancur sekitar 2,5jam santai. Namun, rasanya sangat-sangat
lama.
hutannya dpt buat obat lelah |
Selepas batas perkebunan dan hutan,
jalur menanjak cukup terjal. Untungnya, kanan-kiri jalur terlindung hutan yang
cukup lebat. Kebanyakan tanaman keras adalah buah-buahan, seperti durian,
nangka, petai dan mlinjo. Menurut penduduk, bila pendaki menemukan buah yang
sudah masak, pendaki dipersilahkan untuk menikmatinya. Dengan catatan tidak
boleh dibawa pulang. Buatku ini adalah sebuah kearifan lokal yang sudah sulit
dicari.
Sekitar 45 menit, sampailah kami di
pos I. di sini hanya sebidang tanah datar, yang tidak ada papan penunjuknya.
Tempat ini menandai tanjakan yang telah mereda. Dan berganti dengan track datar, hanya berkelak-kelok
mengelilingi punggungan-punggungan bukit. Sekitar 45 menit perjalanan akan
melewati jalur landai namun menantang, karena banyak jurang di sana-sini
ditambah pepohonan yang rimbun sepanjang jalan terutama rotan yang berbahaya
karena duri-duri yang bisa membuat luka. Berakhirnya medan datar, biasa disebut
dengan Pos II. Di sini juga tidak ada keterangan apa-apa. Hanya sebidang tanah
datar yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.
hutannya lebat coy |
Kembali jalur menanjak. Antara Pos II
ke Puncak sekitar 30 menit. Sepanjang jalur, kami melihat adanya vegetasi yang
didominasi oleh semak belukar dan pohon berukuran sedang dengan diameter
rata-rata 40-60 cm, hanya sedikit pohon bediameter besar. Jenis rotan, kopi,
dan tumbuhan akasia banyak terdapat di sini. Menurut penduduk setempat, jika
beruntung masih akan ketemu dengan beberapa satwa, misalnya kucing hutan, babi
hutan dan lutung. Saat kami turun, aku masih melihat burung elang (jenis bido) melintas di langit kawasan
pegunungan.
Menjelang sampai Puncak Argo, jalur
sudah sedikit terbuka. Sehingga bisa melihat gugusan perbukitan dengan
keindahan panorama yang ditawarkannya. Aku merasa tubuhku telah sempurna
beradaptasi, maka dengan tenang aku melenggang. Hingga tepat dua jam kami telah
sampai di Puncak Argo.
di sana tu laut Jawa ya mas bro |
laut Jawa dr puncak argo |
barisan guugsan bukit-bukit dari puncak argo |
Kami pun bertegur sapa dengan
beberapa rombongan yang telah mendahului kami. Karena sebelumnya, sepanjang
perjalanan, kami hanya bertemu dengan satu orang yang tercecer dari
rombongannya, ia berasal dari Tuban. Jalur pendakian gunung ini, tidak
sebagaimana gunung-gunung di sekitar Yokyakarta, yang ramai, sehingga setiap
saat bisa bertemu dengan pendaki lainnya.
Segera kami pun mencari lokasi tenda.
Dengan harapan dapat memandang keindahan alam yang tersaji luar biasa. Sejenak
berdecak kagum. Lalu tanpa menunda waktu, segera mendirikan tenda. Sedikit
informasi bahwa untuk area camping, di puncak Argo terdapat bidang tanah yang
sempit kira-kira hanya mampu menampung 100 pendaki. Selain itu ada beberapa
titik yang agak berjauhan, namun bisa dijadikan tempat nge-camp.
tenda kami yg berasa hotel berbintang |
Puncak Argo menawarkan view yang
beragam, diantaranya adalah sunrise
dan sunset lengkap dengan atmosfer
khas pegunungan berupa kabut dingin dan pemandangan kota-kota di bawah dengan
kerlap-kerlip lampunya. Dari sini kita bisa melihat laut jawa dengan jelas.
Suasana malam di tempat ini juga mengesankan dengan hamparan langit luas dan
jutaan bintang terbebas dari polusi cahaya dan hingar bingar lampu kota. Di
pagi harinya kita akan disambut oleh riuh segerombolan lutung yang mulai
beraktifitas mencari makan.
Malam mulai merangkak, terang
berganti gelap udara sejuk khas pegunungan dekat laut pun terasa. Angin terus
berhembus dengan sesekali membawa awan dari lautan dan tidak menunggu lama,
hujan pelanpun turun dengan anggunnya. Di sini, sering terjadi hujan laut.
Karena dari sisi utara langsung menghadap laut Jawa. Sehingga akan mudah sekali
terjadi hujan. Kabut tipis pun tidak henti-hentinya datang dan pergi.
Saat badan mulai menggigil, kiranya
kenyamanan tenda menjadi jawaban. Masuk tenda, memasak dan menikmati makan
malam ala anak gunung. Lelah raga setelah melakukan perjalanan jauh dari
Solo-Rembang, dilanjutkan hiking
dengan jarak tempuh yang lumayan ditambah perut yang kenyang, menjadikan mata
langsung merapat. Isteriku pun dengan segera bersiap-siap untuk lelap.
Sedangkan aku sendiri, menyempatkan diri untuk sejenak bercengkerama dengan
keindahan alam kala malam. Dan sesekali berbagi kisah dan pengalamaan dengan pendaki
lainnya.
Setelah merasa cukup bercengkerama
dengan keindahan alam puncak Argo gunung Lasem, aku pun merebahkan diri untuk
mendulang energy. Agar besok bisa melanjutkan kisah. Pagi pun menjelang, badan telah segar, namun keindahan mentari
terbit tidak menyambut kami. Tidak apalah, mungkin ini jadi PR kami yang akan
mengundang kami untuk kembali datang ke sini.
puncak argo |
Kami pun dengan segera membuat menu
pagi. Sarapan. Bongkar tenda. Saatnya turun. Kembali menikmati dan menjalani
rutinitas hidup.
selamat tinggal puncak argo, dan kami selalu rindu untuk kembali |
Trimakasih Argopuro Lasem, damaimu
telah mengisi hati kami. Hingga kami pun bisa belajar untuk saling mengisi
hidup dengan satu prinsip kerendahan hati. Semangat rendah hati adalah cara
terbaik untuk membawa diri dalam segala situasi. Rendah hati adalah cara
terbaik untuk mengubah hidup menjadi semakin baik. Dengan demikian, semangat
rendah hati lah yang akan menghantar hidup kami dipenuhi dengan kedamaian,
sukacita dan bahagia.
Insya Allah habis lebaran tahun ini mau mudik, sekalian muncak Argopuro, saya ssudah dua kali muncak lewat jalur Kajar dan Ngroto, terakhir tahun 1995, karena membaca tulisan Mas Heri jadi kangen juga... ke Argopuro.
BalasHapusbernostalgia dg alam, unt meneukan serpihan kisah yg telah abadi dlm jiwa. monggo2
BalasHapuspengen muncak meneh reeek.... 😃
BalasHapusayo budal. gass, ndan..
HapusAda mitos2 atau cerita misteri ga di argopuro ?
BalasHapusSabtu mau otw ni kesana
BalasHapushehe maaf, saya asal komen ya
pertamakali muncak ni, dan kelengkapan g semua ada
Mantap ceritanya pak
BalasHapusmakasih
Hapusalhamdulillah langkah kaki sudah pernah nyampai disana.. Dan view dari atas keren abis.. Langsung pemandangan laut ��
BalasHapusjempol, pol-polan
HapusPernah sekali ke argo dan hari ini tgl 23 desember kali kedua aku muncak ke argo, moga masih inget jln kesana. 😂
BalasHapusgmn kbrnya puncak argo?
HapusArgo lasem emang deh😂
BalasHapusmantul
HapusKeren Pak, oh iya Solo nyah mana Pak? Siapa tau kalau pas main ke Solo bisa shareing.. hehe 😅
BalasHapussolo pinggiran (colomadu) hehe
HapusSaranku jangan tidur di jam 11.00- 02.00, bakal ketinggalan kerlip indah lampu jalur pantura, kalo gak berkabut siihh, hehehe
BalasHapusSaranku jangan tidur di jam 11.00- 02.00, bakal ketinggalan kerlip indah lampu jalur pantura, kalo gak berkabut siihh, hehehe
BalasHapus