Rabu, 30 Maret 2016

CATATAN PERJALANAN: SOLO HIKING MERBABU VIA SELO

SOLO HIKING: MERBABU VIA SELO
Oleh: Heri
 
Views dr puncak kenteng 9 merbabu
Jaman terus bergerak dan berubah. Begitu pula dalam dunia pendakian. Tidak bermaksud untuk membandingkan juga tidak ada niat untuk bernostalgia. Karena memang sesungguhnya jaman yang bergerak serta merta harus diimbangi dengan perubahan. Bahkan yang menandai keberadaan manusia adalah perubahan itu sendiri. Hanya manusia yang mau berevolusilah yang akan bertahan. Kendati perubuhan merupakan hukum alamiah, namun tidak serta merta hati merasa nyaman dalam menerima perubahan tersebut.
Di sini, saya mau membagikan sekelumit tentang pengalaman dalam dunia pendakian. Saya merupakan generasi pemula (= biasa untuk menyebut “Pendaki muka lama”). Saya tidak berani menyebut sebagai generasi pencinta alam kawakan. Karena kegiatan pendakian yang saya geluti hanyalah hoby. Kegiatan mendaki memang sudah cukup lama saya geluti. Lebih dari sepuluh tahun. Namun, tidak serta merta jumlah pendakian yang saya lakukan ikutan banyak. Hanya beberapa kali mendaki.
Sekitar tiga tahun terakhir, antara 2013-2015, setiap kali menjelang malam liburan, misalnya hari Sabtu-Minggu, hampir dapat dipastikan bahwa gunung-gunung populer akan ramai oleh pendaki. Setiap jalur akan dilewati lebih dari 300 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Tentu akan membawa dampak sebuah keadaan atau suasana yang sangat ramai, riuh dan berisik. Suasana ini, sangat berbeda dengan situasi pendakian di tahun 2000-2010 yang lebih sepi dan lengang. Sering saya alami ketika mendaki dari mulai hingga pulang, dari base camp-puncak-base camp, tidak berjumpa dengan rombongan lain. Hening.
Kembali ke prinsip awal, bahwa saya tidak ingin membandingkan. Hanya mencoba untuk menerima kenyataan tentang perubahan, terutama perubahan dalam iklim pendakian. Dulu, ketika mendaki tujuannya adalah untuk menemukan ketenangan dan kedamaian. Ada pula yang mencoba menyelami dirinya, merenungkan diri dan intropeksi. Banyak juga yang mencoba menghayati imannya, bahwa mendaki adalah menziarahi hidup demi berjumpa dengan Sang Pencipta. Intinya, mendaki menjadi media untuk lebih bisa mengenal diri, dan menghantar diri berjumpa dan bertemu dengan Tuhan Pencipta.
sepi, view dr sabana 2 merbabu

Kalau sekarang saya tidak tahu. Saya tidak berani menghakimi dan menilai. Yang jelas, ditelingaku para pendaki yang “kekinian” lebih ramai, ribut serta sibuk dengan atribut dan dengan segala aksesoris yang trendi dan modis. Sehingga yang terlihat hanyalah kebisingan dan keramaian. Mendaki bukan lagi mencari keheningan. Namun, mencari yang lain dan saya tidak berani mengatakan, “Apakah itu?”
Jaman terus berkembang. Maka, untuk sementara saya menyimpulkan bahwa orientasi mendaki gunung juga berkembang. Dan itu sah-sah saja. Setiap orang bebas menentukan tujuan hidupnya. Begitu pula dengan mendaki.
Sebagai pendaki yang sudah pernah mengalami keheningan gunung dengan segala efek-spiritualnya, saya kadang sangat rindu untuk mengalami suasana itu. Saya kira, suasana gunung yang sepi masih ada. Tetapi tidak di malam-malam hari libur. Sayangnya, saya kurang bisa mengaminya. Dunia kerja tidak memberi kesempatan kepadaku. Saya hanya bisa mendaki pada hari-hari menjelang libur nasional, seringnya ya malam Minggu.
Kerinduan itu membuncah dan tidak bisa dibendung. Akhirnya, saya beranikan diri untuk mengambil cuti. Tentu dengan alasan yang tidak sesungguhnya. Rabu, 23 Maret 2016, saya tetapkan untuk mengurai rindu itu. Target pendakian adalah gunung Merbabu via Selo. Sekalian bernostalgia.
Sengaja, saya merencanakan untuk solo-hikking, mendaki seorang diri. Tentu dengan segala konsekwensinya. Saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada. Mendaki untuk mencari ketenangan diri, mencari keheningan agar menemukan kedamaian. Keributan dan kesibukan kerja telah lama mengasingkan dan mengeringkan jiwa.
Kendati saya mendaki seorang diri, tidak serta merta saya mengabaikan perlengkapan-safety. Persiapan dan perlengkapan full telah tersedia. Tinggal tenanga dan semangat untuk bisa memanggulnya. Saya bukanlah seorang pendaki lulusan dari DIKLATSAR. Namun, beberapa kali melakukan pendakian telah menghantar saya untuk mengerti prinsip-prinsip yang tidak bisa ditawar sebagai seorang pendaki. Setiap kali mendaki dan berjumpa dengan para pendaki hasil didikan dari organisasi-organisasi resmi “Pencinta Alam”, saya mencoba membuka diri untuk menimba ilmu sebanyak mungkin.
Kuakui bahwa usiaku tidak lagi muda. Memang semangat masih bergelora. Namun, kenyataan tidak dapat disangkal. Untuk menyiasati usia yang tidak muda lagi tersebut, persiapan mutlak perlu. Seminggu sebelum hari yang ditunggu, saya menyempatkan diri untuk jogging dan olah raga ringan. Fisik saya siapkan, mental juga demikian. Tinggal belanja logistik.
Saya telah memiliki daftar ceklist terkait dengan perlengkapan dan logistik yang mutlak harus ada. Maka, tidak membutuhkan waktu lama segala perlengkapan siap tempur telah masuk ke dalam kerier.
dg barang bbawaan yg waow

Saatnya petualangan.
Rabu, 23 Maret 2016 cuaca terlihat sangat bersahabat. Semangat pun kian bergelora. Tepat jam 11.30, saya meninggalkan kota Solo untuk menuju base camp Merbabu, Selo. Perjalanan lancar-lancar saja. Menjelang masuk kota Boyolali, terlihat mendung begitu menghitam di sisi barat. Benarlah ketika masuk kota, hujan turun dengan sangat deras. Saya pun berteduh, menunggu reda. Sekitar jam 14.00, hujan mulai menipis. Saya putuskan untuk lanjut. Jalan pelan-pelan karena jalanan antara Cepogo-Selo, rusak parah. Medan yang penuh dengan tanjakan-turunan dan kelokan, diperparah dengan lubang-lubang yang menganga siap menerkam. Maka prinsip ke hati-hatian dan waspada mutlak diperlukan. “Alon-alon waton kelakon”.
Tepat pukul 14.45, saya tiba di base camp. Kang Bari dan Isterinya, menyambut hangat kedatangan saya. Sudah lama saya tidak ke sini. Namun, mereka masih mengingat. Kami pun mengobrol dengan sangat akrab. Sekitar setengah jam, kami bercengkerama, berbagi kisah hidup. Kang Bari, yang dulu sangat sederhana, kini telah memiliki banyak hal, semua itu karena animo dalam dunia pendakian gunung yang tinggi. Saya pun melihat bahwa rumah-rumah yang bertuliskan base camp telah bertebaran. Ada sekitar 6 rumah. Mantap. Berarti memang jalur Selo sudah sangat ramai.
Menurut, pendaki yang turun (dari Bekasi), bahwa ada 4 rombongan yang mendaki. Dengan demikian, saya berarti urutan ke-5. Harapan untuk menikmati pendakian dalam keheningan akan tercapai. Kelakon, pikirku. Kulirik arlojiku, tepat pukul 15.15, saya melangkah meninggalkan rumah kang Bari untuk menyusuri setapak Merbabu.  
Pendakian solo gunung Merbabu via Selo merupakan pendakian pertama. Namun bagiku, untuk pengalaman mendaki sendiri ini bukanlah hal baru. Beberapa kali saya telah melakukannya. Mendaki solo, bagiku bukan untuk gaya-gayaan, apalagi hanya sekedar mencari pengakuan dan pujian. Kembali ke prinsip awal bahwa mendaki adalah jalan terjal menuju keheningan batin, jiwa dan roh. Mental yang telah tertempa serta merta tidak boleh menjebakku untuk jatuh dalam kesombongan, maka kehati-hatian dan waspada untuk selalu mawas diri menjadi sangat penting.
Sepanjang perjalanan, saya mencoba untuk berkomunikasi dengan diriku sendiri, mencoba menyelami lorong-lorong sukmaku. Secara manusiawi ada kebanggaan yang luar biasa, ketika mendengar komentar, “Hebat. Mendaki seorang diri dengan bawaan yang super”. Saya mencoba untuk selalu merendah. Agar tidak jatuh ke jurang kesombongan. Pantangan terbesar dan terberat bagi seorang pendaki adalah kesombongan, untuk membuktikan diri sebagai yang lebih dalam banyak hal.
Jalur Selo merupakan jalur yang masih memiliki hutan lebat. Antara base camp-Pos I, akan disuguhi panorama hutan dengan segala keindahannya. Kurang lebih 15 menit, saya berjalan, saya bertemu dengan dua orang (bapak dengan anak dari Bekasi), saya pun menyempatkan diri untuk ngobrol. Mereka terlihat sempoyongan dan berencana hanya akan sampai di Pos I. Saya pun melaju. Masih berjalan sendirian. Kemudian saya berpapasan dengan rombongan besar dari kota Solo (sekota), anak-anak kampus. Komentar ini sempat mebuatku goyah dan hampir jatuh dalam godaan “sombong”, “Mendaki sendiri? Kalau aku mending tidur di rumah. Enggak lah mendaki sendirian. Jangan sampai”.
Sepanjang perjalanan, saya masih mendengar kicauan berbagai jenis burung. Sangat menarik sehingga perjalanan sendirian terasa mendamaikan. Menjelang Pos I, terdengar suara percakapan beberapa orang (campuran dari beberapa kota). Kami pun bertegur sapa. Mereka rombongan besar, yang sebagian telah menunggu di Pos I. Saya pun pelan-pelan terus melangkah. Hingga tepat satu jam saya telah tiba di Pos I. Masih standar.
Cukup lama, saya ngobrol di Pos I. Kembali godaan itu menyerangku. Pujian demi pujian dan pengakuan akan diriku yang luar biasa, semakin membuatku waspada. Demi menjaga tekad untuk mendaki seorang diri, saya pun berpamitan untuk kembali meneruskan langkah. Mereka mencoba mencegah dan menawarkan jasa untuk meringankan beban. “Terimakasih”, tolakku dengan senyuman. Tepat pukul 16.30, saya meninggalkan Pos I.
Selepas Pos I, saya agak terburu-buru. Saya agak memaksa diri untuk mengejar target. “Saya mesti sampai di Pos IV, Sabana I sebelum gelap”.
Dalam kesendirianku, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pohon-pohon besar yang bergoyang. Jelas ini bukan karena tiupan angin. Sayapun meningkatkan kewaspadaan. Ternyata, pasukan lutung hitam. Spesies langka. Baru kali ini, saya melihat lutung Merbabu. Terimaksih alam atas kesempatan ini.
view dr pos ii

Setelah terkesima dengan atraksi tim lutung Merbabu, sayapun melanjutkan perjalanan. Kendati nafas terengah-engah, saya terus melangkah. Meskipun raga telah bermandi keringat, saya tidak juga berhenti. Terus melaju. Pelan namun pasti. Tiba di pos II Pandean, saya bertemu dengan rombongan anak-anak kuliah dari Jogja (komunitas Toraja). Mereka menyemangati dan tidak henti-hentinya memuji. Dari pada saya semakin larut dalam buaian pujian yang menyenangkan dan akan menjebakku dalam kesombongan, segera saya pun berpamitan.
Sebentar kemudian saya pun telah sampai di Pos III Batu Tulis, di sini saya juga bertemu dengan rombongan Jogja. Tetapi mereka akan turun. Setapak masih terlihat. Nafas makin kian tidak beraturan.  Perut mulai keroncongan. Tenaga juga tinggal sisa-sisa. Dengan semangat yang membara, kuterus melangkah. Tertatih-tatih. Pelan dan kian gontai. Hal ini, makin diperparah dengan harus menghajar medan Batu Tulis – Sabana I, yang terjal dan licin. Menjelang sampai Sabana I, saya bertemu dengan ceceran dari rombongan Jogja (campuran dari berbagai golongan). Lalu, kami pun berjalan bersama-sama sebagai saudara yang dipertemukan karena misi pendakian.
Syukur pada Tuhan, tepat pukul 18.15, saya tiba. Perjalanan yang luar biasa dan ini adalah pendakian tercepatku. Antara base camp – Sabana I hanya 3 jam. Pada hal pendakian terakhir, saya tempuh 8 jam (berhubung ada teman yang tepar 3 kali).
Saatnya mendirikan tenda, masak dan makan.
dlm tenda seorang diri

Di sabana ini, ternyata sudah ada dua buah tenda yang berdiri. Saya berpikir ini adalah hotel yang didirikan oleh pasukan Jogja (Piyungan, Bantul). Mendirikan tenda seorang diri dengan iringan angin yang lumayan gede, membuatku kerepotan juga. Segenap keterampilan kukeluarkan. Tidak berapa lama, tenda pun berdiri dengan gagah. Saatnya masuk. Tenda terlihat sangat longgar. Wajarlah, karena saya membawa tenda untuk kapasitas 3 orang, sedangakan saya sendirian. Tidak menunda-nunda, segera saya pun berkarya untuk membuat minuman dan makanan hangat. Di luar terdengar nyanyian alam yang mempesona. Raga yang lelah menjadikan hidangan ala kadarnya terasa istimewa dan nikmat.
Usai makan dan sejenak menikmati minuman hangat di dalam tenda. Saya merasakan tanda-tanda bahwa malam akan ada badai. Benarlah prediksiku, tidak menunggu lama, tendaku telah dihajar angin. Syukur tidak lama. Namun, tanda-tanda badai susulan akan datang. Maka,  kupaksakan diri untuk keluar dari kenyamanan tenda. Mencari lokasi. Tenda pun saya pindah. Setelah tenda berdiri di tempat yang kedua dengan gagah, saya sempatkan diri untuk berkeliling mencari teman ngobrol guna berbagi cerita. Rasanya sayang, bila mendaki gunung hanya ditinggal tidur. Karena waktu memang masih cukup panjang, baru jam 20.00.
Kulihat di beberapa tenda yang ada, semua masih sibuk dengan segala aktifitasnya. Saya pun nongkrong seorang diri di bawah pepohonan sabana. Setelah badan terasa dingin, tiba-tiba rombongan bapak dan anaknya tiba. Hebat. Masih bisa memaksa untuk sampai di pos ini. “Luar Biasa”, kataku meneguhkan gelora semangatnya.
Kemudian, saya membantu mereka berdua untuk menemukan lokasi dan mendirikan tenda. Saya tahu rasanya, pada saat raga lelah, perut lapar, terpaan angin yang menyiutkan nyali karena dingin namun tenda tidak juga berdiri. Saya yang telah beristirahat dan tentu telah makan, memiliki tenaga yang lebih. Segera kubantu sampai selesai.
Kemudian, saya pun berpamitan untuk menuju tenda privatku. Ingin tidur. Tapi cuaca di luar begitu bagus. Terang bulan dengan taburan bintang yang menyinari gugusan perbukitan dan lembah-lembah. Di kejauhan kerlap-kerlip lampu kota nampak memanjakan mata.  Akhirnya, saya pun keluar lagi dan membawa matras untuk duduk-duduk. Kemudian rombongan Jogja ikut meramaikan hingga pukul 23.30. Saatnya istirahat. Karena agenda pagi akan menuju puncak. Melihat keindahan Merbabu dari sudut yang lainnya.
Setelah sejenak terlelap, saya pun terjaga. Udara begitu dingin menusuk tulang. Tidak seperti pendakian yang lalu-lalu. Saya merupakan salah satu orang yang bisa menikmati udara dingin pegunungan. Rasanya nyaman. Tetapi tidak dengan kali ini, ragaku menggigil tidak karuan. Mungkinkah karena ini, saya tidur seorang diri. Saya kira tidak lah demikian. Di luar badai menerjang. Untungnya, tendaku terlindung dari perdu. Sehingga masih aman. Namun udara tetap menyusup ke dalam tenda dan membekukan yang ada. Kupaksa diriku untuk kembali lelap. Tetapi udara memang sungguh punya misi untuk menyiutkan segala nyali. Saya membesarkan harapan agar menjelang pagi badai sudah mereda.
Tepat pukul 03.30, saya pun berjaga. Kunyalakan kompor dalam tenda, berharap dapat mengurai dingin udara fajar. Sekaligus persiapan untuk  attack summit. Membuat minuman sereal adalah hal terpraktis, hangat, bergizi dan mengeyangkan. Tepat pukul 04.00, badai berhenti, badan mulai menghangat, perut terasa enak. Kubuka tenda, kuamati keadaan cuaca. Semua terlihat jelas, puncak Merbabu melambai indah, mengundang untuk bercumbu dengannya, cahaya bulan bersinar dengan lembutnya. Angin berhenti total. Cuaca sangat bersahabat. Kubulatkan tekat untuk melangkah. Masih berjalan seorang diri. Semua penghuni lainnya, masih nyaman dalam tenda. Sambil berjalan saya sengaja bersuara, “Monggo-monggo yang mau ke puncak. Saatnya nanjak”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Saya pun berjalan, pelan-pelan. Santai saja.
sudah ditunggu

Sesampainya di ujung bukit menjelang Sabana II, saya sengaja berhenti lama untuk beristirahat. Sambil menikmati panorama alam. Luar biasa indahnya. Pandanganku tertuju pada 2 nyala lampu senter di Sabana I. Bisa jadi, itu pendaki dari Pos III, tapi bisa juga pendaki yang bermalam di Sabana I. Sebentar-sebentar mereka terlihat ragu-ragu, maka kunyalakan senterku, sebagai kode. Memang dalam pendakian pagi ini, saya sengaja tidak menyalakan senter, karena penerangan cahaya rembulan bagiku sudah cukup. Mereka mencoba mengejarku, namun jarak sudah terlalu jauh. Saat mereka bingung, segera mereka menyorotkan senternya kepadaku. Saya, akhirnya berani mengambil kesimpulan bahwa dua pendaki itu, baru pertama kali mendaki Merbabu. Jadi wajar kalau mereka ragu-ragu. Setiap kali saya beristirahat untuk mengatur nafas, pasti saya nyalakan senter, sekaligus menegaskan jalur yang harus ditempuh.
Saya memang  sengaja untuk mendaki sendiri. Maka, saya tidak menunggunya (maaf ya). Niat hati untuk mendaki guna mencari keheningan tidak dalam suasana yang ramai agaknya akan terkabul. Di puncak juga tidak ada tanda-tanda kalau ada pendaki lainnya. Terus kaki ini, melangkah. Hingga tepat pukul 05.00, saya tiba di puncak Kenteng Songo Merbabu. Sendiri. Tidak menunggu lama, saya pun berdoa untuk mengucap syukur kepada Tuhan.
puncak serasa milik pribadi
Saatnya menikmati indahnya alam. Saya merasa seolah-olah Merbabu menjadi milik pribadi. Tidak ada pendaki lainnya. Dua pendaki yang menyusulku terlihat masih jauh di bawah. Saya terus memberi tanda dengan cahaya senter. Walau temaram cahaya merah di ufuk timur sudah terlihat. Hingga akhir, mereka tiba. Terlihat ekspresi kegembiraan dan kebanggaan yang luar biasa. Ternyata, mereka adalah pendaki dari Bekasi (Bapak dan anaknya). Kami pun berkenalan. Yang bapak bernama Sugeng, sedangkan anaknya bernama Bimo. Kami akhirnya bertiga menikmati keindahan sun rise di puncak Merbabu. Hanya kami bertiga. Tidak terasa, dua jam saya telah berada di puncak. Pak Sugeng dan Mas Bimo, masih ingin berlama-lama untuk bercengkerama dengan indah Merbabu. Saya pamit untuk turun, tepat pukul 07.00.
bersama pak sugeng

Turun juga sendirian. Melenggang kaki ringan melangkah. Seolah tanpa beban. Mungkin karena hatiku terlalu bahagia. Dahaga jiwaku telah terjawab oleh hening alam semesta. Kunikmati sungguh perjalanan turun ini. 45 menit cukup menghantarku sampai di tenda. Segera membuat sarapan guna memulihkan tenaga. Target, pagi ini maksimal pukul 09.30, saya harus mulai menuruni setapak meninggalkan Sabana I. Hal ini bukan tanpa alasan. Hari kemarin menurut informasi pukul 10.00 sudah turun hujan. Saya berharap untuk bergegas agar tidak kehujanan sepanjang perjalanan turun.
bersama mas bimo

Sarapan telah usai. Saatnya bongkar tenda. Packing. Turun.
Setelah berpamitan dengan para tetangga tenda, saya pun melangkah dengan mantap. Cuaca begitu bersahabat. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Kendati demikian saya tidak boleh lalai. Harus terus waspada. Perjalanan turun memang cenderung lebih cepat. Tepat pukul 10.00, saya telah tiba di Pos II. Istirahat sebentar. Melangkahkan kaki kembali. Di bawah Pos II, saya bertemu dengan rombongan dari Malang. Cukup lama saya berbagi pengalaman. Perjalanan turun sudah dapat lebih dari separo dan tanda-tanda hujan tidak terlihat. Maka, laju perjalananku mulai saya lambatkan. Lebih santai. Setiap ketemu pendaki yang naik, saya sempatkan untuk ngobrol. Semua memuji dan terkagum-kagum dengan solo-hikking yang kujalani. Saya tidak ingin jatuh dalam kesombongan, maka selalu saya usahakan untuk mawas diri dan merendah.
view dr sabana ii

Perjalanan dari Pos II-base camp, saya bertemu sekitar 6 rombongan. Semuanya dari luar propinsi. Perjalanan turun tidak terlalu terasa, hingga tepat pukul 11.30, saya telah tiba di base camp. Istirahat sebentar sambil berbagi pengalaman dengan dua orang yang akan estafet. Mereka sudah turun dari Merapi dan akan mendaki Merbabu. Mereka lebih hebat dari saya. Luar biasa. Tepat pukul 12.30, kustarter motor, pelan dan pasti menuju rumah tercinta. Sekitar pukul 14.30, saya telah tiba dengan selamat.
Kubuka pintu, kupejamkan mata. Hening dalam diam. Sejenak mengembara untuk menemukan makna perjalanan: Lewat setapak Merbabu seorang diri, sebenarnya saya menapaki lika-liku semak diri ini. Dengan solo-hikking saya semakin mengenal diri ini, dengan segala kelebihan juga kekurangan. Saya semakin mengerti batas kemampuan juga kelemahan. Berharap dengan semakin mengenal diri, maka akan lebih mudah untuk bisa menempatkan diri dan mengarahkan hidup. Sehingga hidup ini akan lebih mudah untuk menemukan celah guna merasakan suka-cita dan damai.
view yg dirindukan

Akhirnya, kuucapkan terimakasih untuk Merbabu. Terimakasih untuk teman-teman yang menyapa dan menyemangati sepanjang perjalanan dan terimakasih untuk isteriku yang mau mengerti dan mau memahami diriku, sehingga memberi kepercayaan kepadaku untuk melakukan peziarahan ini, solo-hikking yang amazing. Semoga dengan pengalaman ini, saya semakin bisa member diri, terus berjuang dalam semangat pengorbanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar