COUPLE-RIDER:
Jelajah Wisata Kebumen
Oleh: Heri
Pantai Menganti
Aku hanyalah manusia biasa. Manusia yang berdimensi manusiawi, punya
keingian yang beragam. Ada yang realistis tetapi kebanyakan adalah menginginkan
sesuatu yang di luar jangkauan. Supaya hidup ini tetap berpijak pada tanah,
tempat aku berdiri, maka segala keinginan itu harus ditempatkan dalam porsiku.
Hidup dengan pilihan sesuai dengan kemampuan akan lebih nyaman untuk dinikmati.
Ada pepatah mengatakan, “Nikmatilah yang kamu miliki, maka hidupmu akan
dipenuhi suka cita”.
Kali ini, aku akan berbagi pengalaman sederhana
tentang petualangan. Ah, terlalu memaksa. Lebih tepatnya hanya jalan-jalan (=
motoran). Sebut saja aku (Heri Jimanto) dan isteriku (Regina Nunuk) pada hari Jumat-Sabtu,
3-4 Januari 2020 melakukan perjalanan sederhana. Hanya menyusuri jalanan dari
Solo-Yogjakarta-Wates-Purworejo-Kebumen. Niat hati hanya menikmati turing jarak menengah.
Kami berdua, aku dan isteriku kerap mengais nutrisi semesta dengan cara
berkendara. Beberapa anak motor menjuluki kami sebagai couple-rider. Bagi kami julukan ini terlalu keren, karena kami
hanya beberapa kali menyusuri keindahan alam dengan berkendara. Tidak sering,
hanya beberapa kali saja.
Kali ini, kami melakukan perjalanan
ke arah barat. Kami yang selama ini sering melakukan perjalanan ke arah
timur. Kalaupun ke arah barat mentok di sekitaran Kulon Progo, kabupaten paling
barat dari Yogjakarta. Kendati jarak tempuhnya tidak seberapa tetapi perjalanan
ini bagi kami merupakan ekspedisi. Ya ekspedisi, karena baru pertama kami
berkendara di area ini.
Perjalanan ini aku awali dengan membaca
beberapa refrensi tentang jalanan dan terutama tempat-tempat yang bisa
disinggahi selama peziarahan ini. Beberapa penggal informasi yang tidak utuh
ini, menjadi modal petualangan yang mendebarkan, menantang, dan menyenangkan. Pagi-pagi
sekitar pukul 06.00, kami memulai kisah ini.
Angkasa kelabu dengan mendung yang mendayu-dayu
merangkak, seolah akan menciptakan prahara. Memang beberapa hari ini, cuaca
sedang ektrims. Di beberapa tempat, hujan lebat disertai bencana tanah longsor
dan banjir. Bukannya tidak peduli kepada mereka. Tidak sama sekali. Petualangan
ini kupersembahkan untuk mereka yang menjadi korban bencana alam. Berhadapan
dengan keajaiban dan misteri alam, maka hati akan selalu bersenandung
memanjatkan doa tiada berkesudahan.
Pelan dan pasti, kami yang bertunggangkan kuda
besi terus melaju menuju barat, selepas keluar dari Klaten, situasi jalanan
makin ramai padat-merayap. Keju rasa tangan, lapar merayu untuk menyantap menu.
Sesampainya Prambanan, kuhentikan peziarahan barang sebentar untuk mendulang energi.
Saatnya sarapan.
Tenaga yg memulih seolah ambyar lagi ketika
berhadapan dengan kemacetan Jogja. Maklum masih musim libur. Setelah terbebas
dari kemacetan, kami melaju dengan nyaman kea rah barat. Wates terlewati. Udara
pagi yang membius hati mengajak untuk
selalu mampu menikmati keluasaan semesta. Menjelang perbatasan wates-Purworejo,
hujan turun dengan lebatnya. Wajar karena ini memang musim penghujan.
Berteduh. Menunggu. Tak kunjung reda. Pakai mantol.
Lanjut.
Purworejo terlewati, meliuk mengikuti jalanan
yang sungguh mempesona. Tak terasa Kutoarjo telah terlewati. Udara panas menyengat, karena bagian barat tidak
hujan. Lepas mantol. Lanjut. Hingga hati bergejolak gembira, saat mata menatap
Tugu Walet. Artinya kami telah berada di tengah kota Kebumen. Lanjut terus arah
barat.
Lega rasa hati ketika
melihat beberapa keterangan bertuliskan Gombong. Berarti perjalananku sudah
akan mencapai titik petualangan. Sebagai penikmat perjalanan, kadang menetapkan
tujuan itu perlu sehingga memiliki kompas petualangan. Memasuki kota kecil
Gombong, hati berbinar saat menatap tulisan penunjuk arah ke Benteng Van Der
Wicjk. Dari arah timur (Semarang/ Yogjakarta) mesti berbelok kanan, ke arah
komplek pelatihan angkatan darat. Hanya sekitar 1 km dari jalan utama, kami
telah tiba di lokasi. Sebagai penanda agar tidak kelewatan (kebablasen). Usai melewati Gereja, dan
bertemu perempatan pertama, langsung belok kanan/arah timur. Dari perempatan
ini, gerbang benteng sudah terlihat gagah. Kami pun langsung menuju tempat
parkir. Biaya parkir Rp 3.000, sedangkan tiket masuk seharga Rp 25.000 (agak
sedikit mahal karena tiket tersebut untuk masuk ke kawasan benteng dan juga
kolam renang).
Benteng Van Der Wijck
Sedikit informasi, bahwa Benteng Van der Wijck beralamat di Jalan Sapta Marga No. 100, Sidayu,
Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
Sebelum masuk ke benteng, aku sangat tertarik dengan sebuah
papan pengumuman yang bertuliskan, “Sebelum masuk benteng sebaiknya
Anda berdoa sejenak menurut kepercayaan masing-masing”. Aku berpikir
positif, bahwa pengunjung diingatkan untuk selalu tahu diri, sebagai tamu
dengan segala etika yang harus dimiliki.
Benteng ini dibangun oleh
Belanda sekitar tahun 1818. Benteng ini dimaksudkan sebagai tempat pertahanan
di eks-Karesidenan Kedu Selatan. Benteng ini memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan
dengan benteng-benteng peninggalan Belanda yang lain. Benteng ini dibangun 2
lantai dengan bentuk segi delapan berwarna merah bata. Tinggi benteng mencapai
10 meter dan luasnya sekitar 7.170 meter persegi. Lantai 1 merupakan barak bagi
peristirahatan tentara Belanda. Selain itu juga difungsikan sebagai tempat menyimpan
bahan makanan dan persenjataan. Sedangkan lantai satu multi-fungsi, salah satunya
sebagai penjara. Hal unik lainnya adalah atap benteng yang kokoh karena
difungsikan sebagai pertahanan sekaligus pengintaian.
Pengunjung bisa mengekplorasi keseluruhan benteng. Ada dua
fasilitas kereta kelinci untuk memudahkan pengunjung agar tidak terlalu capek.
Pertama di lantai bawah (gratis, include
tiket masuk), yang kedua berada di atap dengan membayar Rp 10.000. Saat ini, hampir
seluruh ruangan-ruangan sudah tidak berfungsi seperti pada awal dibangun.
Terlihat sepintas seperti akan dialihfungsikan sebagai museum karena isinya
foto-foto benteng sebelum dan sesudah dipugar juga foto-foto pahlawan Nasional.
Waktu kami tiba di lokasi benteng, bebarengan dengan jam istirahat. Maka,
dengan sendirinya kami tidak bisa mengais informasi sebanyak-banyaknya.
Usai berimajinasi menjadi tentara Belanda yang siap, sigap
mengamankan kawasan-wilayah kekuasaan. Kami memutuskan untuk meneruskan kisah.
Kembali motor meliuk menghantar kami menyususri jalanan. Tetap ke arah barat.
Setelah ke luar dari batas kota Gombong, tibalah di pertigaan yang bertuliskan
arah wisata Goa Jatijajar. Kami pun berbelok arah kiri, menyusuri jalanan yang
cukup bagus dengan papan penunjuk arah yang cukup lengkap, hingga kami pun tiba
di lokasi goa.
Goa
Jatijajar
Goa Jatijajar beralamat di Jl. Jatijajar, Palamarta, Jatijajar, Ayah, Kebumen, Jawa Tengah. Info lebih lanjut bisa
menghubungi kontak (0287) 381988. Usai kami membayar tiket masuk sebesar Rp
12.500 (include parkir). Kami mencari
makan siang. Karena memang sudah waktunya. Jam menunjuk angka 12.30. Menghela
nafas untuk mengurai penat raga. Menatap semesta yang bergairah suka.
Sayangnya, birunya langit bersembunyi, karena bergelayut mendung hitam.
Sedangkan di kejahuan sisi utara terlihat kelambu langit, artinya hujan deras.
Sedangkan di sekitaran goa cuaca panas menyengat. Kendati banyak pepohonan,
tetapi terasa gerah. Banyak warung makan dan toko-toko souvenir di sekitaran
area parkir dan pintu masuk. Usai istirahat sambil makan siang, saatnya
bereksplorasi.
goa dempok
Sedikit informasi, Goa Jatijajar berderetan
dengan Goa Dempok. Setelah membayar tiket, kemudian mengikuti lorong antrian
dan langsung masuk ke Goa Dempok. Kemudian keluar mengikuti jalan makadam yang
di sekitarnya banyak pedagang. Ikuti terus jalan itu yang sudah lengkap dengan
papan penunjuk. Kemudian melewati ikon Goa Jatijajar, yaitu sungai berair
bening yang melewati mulut Dinosaurus. Taman ini, juga menjadi penanda bahwa
pintu Goa Jatitijajar sudah dekat. Setelah melewati anak tangga yang cukup
banyak. Sampailah di pintu goa.
anak tangga terakhir sebelum masuk goa jatijajar
Goa Jatijajar merupakan situs geologi di
Kebumen yang terbentuk dari proses alami. Goa ini terbentuk dari batuan kapur
dengan panjang kurang lebih 200 meter. Menurut sejarah, goa ini pertama kali
ditemukan oleh seorang petani. Goa Jatijajar juga sering
disebut sebagai tempat berpetualang di perut bumi. Hal ini tak lepas dari jarak
gua yang memiliki panjang 250 meter. Goa ini memiliki tinggi rata-rata 12 meter
dengan lebar 15 meter. Jalur di dalam gua sudah di beton dan dilengkapi
lampu-lampu penerangan. Sehingga tak perlu keterampilan dan peralatan khusus
untuk menelusuri gua ini.
Menurut cerita, Goa Jatijajar diyakini sebagai
tempat bersemedi Raden Kamandaka. Kisah tentang Raden Kamandaka ini di kemudian
hari dikenal sebagai legenda Lutung Kasarung. Di dalam goa terdapat diorama
yang menggambarkan legenda Lutung Kasarung. Selain diorama, di dalam gua
terdapat hal lain yang tak kalah menarik. Hal tersebut adalah stalagtit dan
stalagmit yang menghiasi sepanjang goa. Stalagtit dan stalagmit merupakan
batuan alami yang terbentuk di dalam goa.
Di dalam gua ini juga terdapat sungai bawah tanah yang mengalir. Jumlah
sendang ini ada 7 buah, dimana hanya 4 sendang yang bisa dijangkau. Keempat
sendang ini adalah : Sendang Jombor, Puser Bumi, Mawar dan Kanthil. Ada 2
sendang yang menjadi favorit para pengunjung, yaitu Sendang Mawar dan Sendang
Kanthil.
Sepanjang tahun air dari Sendang Mawar dan Sendang Kanthil tidak pernah
kering. Aliran dari kedua sendang bertemu di satu titik dan keluar melalui
mulut patung dinosaurus di depan goa. Sementara Sendang Jombor dan Puser Bumi
dibiarkan alami dengan keadaan jalan yang licin.
Goa Petruk
Usai menjelajahi dan mengagumi keindahan Goa Jatijajar,
mendadak mendung menggulung hitam disertai gledek dan Guntur yang menggebu.
Ciut nyali seketika. Rencana akan segera bercengkerama dengan keindahan Goa
Petruk harus bersabar untuk sementara. Berkat semesta itu nyata, hanya gerimis
dan langit mebuka cerianya. Aku pun segera mengajak isteriku untuk meneruskan
kisah. Perjalanan dari Goa Jatijajar ke Goa Petruk tidak membutuhkan waktu
lama, hanya sekitar 15 menit.
Usai parkir sepeda motor, kami pun membeli tiket seharga Rp
18.000 (termasuk biaya parkir). Bersama pemandu lokal yang sangat ramah, kami
pun bergerak menuju pintu goa. Jarak dari loket ke pintu goa sekitar 300 m
dengan melewati 350 anak tangga. Butuh stamina prima.
Wisata Goa Petruk merupakan salah satu tempat wisata yang
berada di Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah, Kebumen, Jawa Tengah. Wisata Goa
Petruk merupakan tempat wisata yang sangat alami. Pihak pengelola sengaja
membiarkan keadaan tetap seperti pada awal ditemukan. Tidak ada penerangan. Keadaan
goa yang gelap, ada aliran air, ada juga kelelawar. Panjang goa sekitar 700
meter. Jadi pengunjung harus ditemani oleh pemandu lokal yang akan membawa
penerangan berupa lampu petromaks. Wisata goa ini cukup ramai pada hari biasa
maupun hari libur. Tempat ini sangat indah dan bisa memberikan sensasi yang
berbeda. Tips untuk pemandu tidak ada tarif resmi (sesuai dengan kerelaan hati).
keluar goa
Pantai Ayah/ Logending
Usai menikmati Goa Petruk, kami pun
bergegas melanjutkan perjalanan. Meliuk kami menikmati keindahan alam di atas
kuda besi. Kami disarankan untuk mencari penginapan di kecamatan Ayah, yaitu di
Hotel Sinar MR. Peinginapan yang masih belum final. Masih dalam tahap
pengembangan. Ada berbagai pilihan kamar. Kami memlih harga Rp 180.000 dengan
fasilatas AC, TV, Kamar mandi dalam dan double bed.
Setelah menaruh barang bawaan, kami
pun menuju Pantai Logending. Dari hotel hanya sekitar 3 km. Keindahan sepanjang
jalan menjadi kenikmatan tersendiri.
Tiba di lokasi pantai, kami agak sedikit kebingungan, karena loket sudah tutup.
Akhirnya kami putuskan untuk masuk tanpa tiket. Suasana sore dengan semburat
jingga mentari yang lelah menjadi magnet anak-anak muda untuk berlama-lama di
pantai ini.
Rute Pantai Ayah sangatlah mudah. Wisatawan yang berasal dari
arah Yogyakarta bisa menggunakan jalur pantai selatan. Dimana, jalur ini
terdapat banyak sekali pantai-pantai menarik yang bisa dikunjungi. Bila
pengunjung datang dari arah Kebumen, jaraknya kurang leih 53 km. Waktu tempuh
kurang lebih 1 jam perjalanan. Jalan menuju ke pantai ini cukup menantang.
Sedikit berkelok-kelok, naik-turun. Lebih baik berhati-hati dan waspada.
Gelap merayap menyelimuti keindahan pantai. Di sudut pantai
terdapat satu rumah makan yang cukup ramai, warung sea food bu Nanang. Kami pun
bergegas menuju ke sana. Pesan makanan. Dan hujan pun turun dengan lebatnya.
Bersama nyanyian kucuran air hujan besereta bunyi-bunyian serangga, kami
menikmati suasana pantai sembari mendulang energi. Kenyang perut, kenyang hati.
Hujan sedikit mereda, kami pun bergegas menuju penginapan.
Belum juga sampai hujan kembali mengguyur. Segera masuk kamar, mandi,
cerita-cerita, dan istirahat. Berharap esok pagi bangun dengan tenaga yang
lebih prima guna meneruskan petualangan.
Pantai Menganti
Pagi merekah dengan sejuta
harapan. Mentari pagi menyelinap ke celah jendela membelai raga yang memulih
setelah istirahat sepanjang malam. Bangun. Mandi. Packing. Lanjut.
Selepas penginapan, kembali
kami melewati Pantai Ayah. Terus mengikuti kelokan jalanan yang naik turun
dengan kanopi rimbun pepohonan yang sangat nyaman. Udara hutan berpadu dengan udara pantai sungguh memberi kenikmati
petualangan yang maha asik. Sekitar 30 menit meninggalkan hotel, kami pun telah
tiba. Sedikit informasi, untuk melibas jalanan antara Pantai Ayah-Menganti
dibutuhkan keterampilan berkendara yang mumpuni. Karena banyaknya kelokan,
tanjakan dan sempitnya medan.
Pantai ini terletak di daerah
Karang Duwur, Kecamatan Ayah, Kebumen, Jawa Tengah. Di sepanjang jalan yang
dilewati menuju Pantai Menganti, akan disuguhi pemandangan yang indah karena
terdapat banyak perbukitan. Selain itu, hawa sejuk daerah ini akan memanjakan
jiwa raga yang haus akan kenyamanan dan ketenangan. Usai membayar tiket Rp
12.000 per orang, kami pun melaju menuju lokasi pantai.
Pantai ini tergolong objek wisata yang masih baru karena
resmi dibuka untuk umum sekitar tahun 2011. Letaknya berada di sepanjang pantai
selatan yang memiliki ombak cukup ganas. Konsep wisata pantai ini sebenarnya
cukup unik, karena memadukan beberapa konsep wisata pantai. Ada tebing, bukit,
bumper, menara suar yang bisa dipanjat, pantai pasir putih dan aneka spot selfy,
serta pusat jajanan kuliner khas laut. Untuk dapat menikmati keseluruhan sisi
indah dari pantai ini, bisa seharian penuh. Kami berdua juga tidak mampu
menikmati kesemuanya. Ada keterbatasan. Kami hanya menikmati beberapa sisi
indah dari pantai ini, yang kemudian kami akhiri dengan makan sup ikan kerapu.
Mantap.
jembatan merah
Pantai Watu Bale
Setelah lelah terbayar dan tenaga telah memulih, kami pun
kembali melaju menikmati alam di atas motor. Kembali meliuk-liuk, menari
mengikuti kontur jalanan yang masih sama, naik-turun, kelokan tajam dan
menembus hutan dan lembah. Sekitar 5 km meninggalkan pantai Menganti, kami
melihat papan penunjuk arah menuju lokasi wisata Pantai Watu Bale.
Kami yang baru pertama kali berkunjung ke Kebumen merasa
asing dengan wisatanya, tertantang untuk berkunjung. Dari jalan utama hanya
membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit. Tiket masuk Rp 12.000 perorang
dengan tambahan parkir sebesar Rp 3.000. Konsep wisata pantai ini hampir sama
dengan Menganti. Ada berbagai keindahan yang bisa dinikmati. Di samping tempat
parkir, langsung gerbang pantai yang menyuguhkan hutan kelapa. Di bawah payung
rimbun dedaunan kelapa, wisatawan bisa menikmati deburan dan keindahan ombak
yang saling bekerjaran. Di sisi agak jauh dari pantai utama, ada banyak kapal
yang sandar. Sedangkan di sisi kiri, di sebuah bukit tersedia aneka spot selfy
yang hampir semua geratis, tidak dipungut biaya.
Aku pribadi merasa dibuat terpukau dengan tempat ini, dengan
leluasa dapat menikmati bentangan laut yang membiru. Deburan ombaknya seolah
menjadi musik penyambutan kedatanganku. Dari atas bukit, pantai terlihat hijau
yang menjauh menjadi biru. Warna laut yang indah bergandengan dengan pepohonan
dan perbukitan di kanan kirinya. Seolah perbukitan
itu membentengi area pantai. Ditambah lagi tebing – tebing tinggi yang siap
menghalau hantaman ombak. Pantai ini tidak berpasir putih, pantai memiliki pasir kecokelatan yang hangat
dan lembut, siap memanjakan di setiap pijakan. Pantai ini memiliki
keunikan yang tidak semua pantai memilikinya. Yaitu adanya topografi pantai
dengan tebing dan karang yang memukau. Ini menambah spot foto di lokasi semakin
indah.
Bila cuaca sedang cerah, langit biru menghampar dengan indah.
Seolah menaungi keindahan yang ada di bawahnya. Berpadu dengan birunya laut dan
hijaunya perbukitan. Pantai Watu Bale memiliki kontur yang landai, dan diapit
dengan perbukitan Panduruan. Dari kejauhan, pengunjung dapat melihat indahnya
Samudera Hindia.
Pantai
Karang Bolong
Rasa hati seolah tak mau pergi, tetapi
petualangan harus diselesaikan. Kembali bergerak, meliuk-menari di atas motor
mengikuti kontur jalanan. Arah peziarahan masih menyususri bentangan pantai
selatan. Dengan mengikuti jalan penghubung warisan penjajah (Dendeles) ke arah
timur. Hingga kami pun bertemu lokasi wisata berikutnya yaitu Pantai Karang Bolong.
Pantai ini berlamat di Desa Karang Bolong, Kec Buayan,
Kebumen, Jawa Tengah. Usai membayar tiket sebesar Rp 12.000, kami langsung
menggeber kuda besi untuk selanjutnya bercengkerama dengan pesonanya.
Pantai ini memiliki keunikan tersendiri dengan
adanya karang yang berlubang. Besarnya deburan ombak dan hamparan pasir putih
keabu-abuan menyajikan pemandangan alam yang mempesona. Keindahan pantai berpadu
harmoni dengan adanya bukit-bukit tinggi di sekelilingnya seolah membangun lukisan
semesta. Deretan pohon kelapa dengan nyiurnya yang melambai juga menambah
eksotisme pemandangan.
Di pantai ini juga dapat duduk-duduk santai
menikmati suasana alam pantai sambil menyantap hidangan kuliner di
warung-warung sekitar. Aktivitas lainnya yang dapat dilakukan di pantai ini adalah
memancing ikan.
Pantai
Suwuk
Siang hari udara kian menyengat, namun
semangat tak boleh kendor. Petualangan masih harus diselesaikan. Meninggalkan
Pantai Karang Bolong, mengikuti jalanan hingga ketemu batas dengan jalan
Dendeles. Di pertigaan ini juga sekaligus merupakan pintu masuk ke wisata Pantai
Suwuk. Sebenarnya pantai ini tepat berada di seberang Pantai Karang Bolong. Kedua pantai hanya terpisahkan oleh sungai
yang cukup lebar. Maka untuk jalan pun dibuat melingkar lumayan jauh.
Pantai ini berada di Desa Suwuk, Kecamatan
Puring, Kebumen, Jawa Tengah. Kalau dari Kota Kebumen, jarak yang harus
ditempuh sekitar 50 kilometer. Sedangkan dari Gombong hanya berjarak sejauh 25
kilometer saja. Daratan Pantai Suwuk ini sangatlah luas.
Meskipun warna pasirnya tidak putih seperti pantai-pantai lain, namun tetap
saja memukau. Sebagai perbandingan adalah Pantai Parang Tritis Yogyakarta.
Sejauh mata memandang hanya bertemu dengan luasnya bibir pantai, membentang
seolah tak bertepi.
warung2 yg langsung menghadap laut
Permukaan daratan pasir yang luas ini dapat dimanfaatkan untuk mencoba
pengalaman baru berupa offroad atau ATV. Tarif penyewaannya juga masih masuk
akal, yaitu sekitar 50 ribu rupiah per jamnya. Di sebelah barat, tepatnya di
deretan Pantai Karang Bolong terdapat pemandangan perbukitan. Deretan
bukit-bukit di Pantai Suwuk ini berupa kapur tapi subur dan berwarna hijau yang
mampu menyejukkan mata.
Di pantai ini juga sekaligus menjadi pusat kuliner sea food. Ada banyak
sekali warung-warung yang menjajakan aneka masakan khas laut. Sangat menggoda
dan menggiurkan. Ada aneka oleh-oleh khas laut,
seperti aneka gorengan dari hasil lautan. Misalkan udang goreng, cumi goreng,
kepiting goreng, dll yang hampir kesemuanya digoreng krispi. Selain pusat
kuliner di pantai ini juga tergarap dengan baik sebagai taman dengan hutan
kelapanya. Sangat sejuk dan mendamaikan.
Mendung mendadak menggulung menyelimuti matahari yang sedang
garang-garangnya. Kami memutuskan untuk menyudahi eksplorasi. Sekitar pukul
13.30 kami melaju ke arah timur, menyususri jalan Dendeles, seolah-olah melaju
di atas jalan tol. Sungguh lengang, sepi dan halusnya jalan menjadikan bermotor
seolah terbang di atas awan. Kami terus melaju arah timur, meninggalkan
Purworejo, memasuki Wates dan meninggalkan Yogyakarta. Hingga akhirnya, kembali
dengan selamat sampai di rumah, Solo tercinta.
Menutup Kisah
Segala yang bermateri tidak ada yang
abadi. Raga ini hanya sementara, tetapi kisah dan pengalaman akan abadi bersama
cerita. Sekelumit kisah hidup ini, hanyalah sebuah cara agar hidup kami tidak
using tanpa cerita. Tidak mewah juga tidak luar biasa. Tetapi buat kami,
perjalanan ini sungguh luar biasa. Semoga petualangan demi petualangan semakin
mengabadikan kisah cinta ini. Biarkan alam Kebumen mengikat hati kami makin
erat, menyatu sebagai kekasih. Terimakasih untuk setiap orang yang kami jumpai,
terimakasih untuk semesta yang tiada henti selalu memberi dan terimakasih untuk
Tuhan atas segala berkat dan perlindunganNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar