MENEMPA DIRI BERSAMA SETAPAK GUNUNG:
“Sebuah Refleksi atas 100 Kali Pendakian Gunung”
Oleh:
Heri Andreas
trail run style
Salam jumpa sobat petualang, kali ini aku akan berbagi
sebuah refleksi. Ya hanya sebuah renungan atas pengalaman sederhana. Tidak
istimewa, karena hanya refleksi atas pengalaman mendaki gunung.
Roda hidup
terus bergerak meninggalkan satu titik menuju titik berikutnya. Waktu pula yang
menjadikan sebuah ide-gagasan menjadi kenyataan. Putaran waktu terus melaju
membawaku dari satu kisah menuju kisah berikutnya. Ada kisah yang sesuai
rencana, tetapi kebanyakan adalah kisah spontan yang mengalir terjadi begitu
saja. Tetapi kisah tanpa pernah termaknai hanya akan menjadi cerita kosong, tak
berarti. Oleh karena itu, perlulah aku meluangkan waktu untuk membingkai kisah
hidup, agar aku bisa mengambil makna dari padanya.
Di sela sibukku, sejenak kusisihkan waktu untuk tunduk-merenung.
Hamparan setapak memori kutelusuri
seperti labirin tak berakhir. Di tiap sudut labirin-memoriku ada banyak kisah
untuk dikenang. Dari sekian milyar cerita hidup kupilih satu hal yang memang
menjadi salah satu kesukaanku, yaitu dunia petualangan, khususnya “Mendaki
Gunung”.
setelah duguyur hujan, merbabu via grenden
Bagi sebagian orang pengalaman mendaki gunung bukanlah
“sesuatu banget”, bukan peristiwa yang hebat, apa lagi membanggakan. Tetapi
untuk sebagian orang mendaki gunung merupakan pengalaman yang menantang,
mencekam, sekaligus menyenangkan. Intinya, beda orang beda pula dalam menilai
kegiatan ini. Akupun memiliki penilaian tersendiri. Aku sadari bahwa aku telah
banyak kali mendaki tetapi aku tidak pernah merasa bosan. Bahkan ada dua gunung
yang masing-masing pernah aku daki lebih dari 30 kali. Di penghujung tahun
2019, tepatnya tanggal 30-31 Desember, pendakianku telah lebih dari 100 kali (yang hampir kesemuanya di atas 3.000 mdpl).
Sebuah pengalaman yang terus berulang dan terulang. Aku merasa ada sesuatu yang
istimewa dari kegiatan ini, maka kuputuskan untuk merenungkannya secara lebih mendalam
lagi.
puncak Garuda, Merapi (sebelum erupsi 2010)
Dalam refleksi kali ini, aku akan membingkai dari tiga
hal yang berbeda. Pengelompokan ini aku buat, agar lebih sistematis, mudah
ditangkap dan dipahami. Tiga hal tersebut adalah, sisi positif, sisi negatif,
dan “ Ilmu hidup yang kupetik”. Aku
mulai dari sisi positif atau hal-hal yang bermanfaat atau memperkaya
hidup-batin.
1. Menyenangkan, Menggembirakan, dan Membahagiakan
Mendaki gunung untuk
orang-orang yang awam (= tidak mengerti atau belum pernah mendaki) sering
menilai bahwa kegiatan mendaki gunung adalah sebuah kegiatan yang bodoh,
sia-sia, buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Bayangkan jika kebanyakan orang
bisa menikmati hidup dengan kenyamanan dan kemapanan, sedangkan para pendaki
melakukan hal-hal yang berkebalikan. Misalkan, teman-temanku sedang asik tidur
dalam dekapan selimut tebal di dalam kamar yang nyaman, sedangkan aku malah
tengah malam bangun, menembus gelapnya malam, berteman dengan sepi di sepanjang
jalur pendakian, merambati setapak terjal yang kadang di kanan-kirinya menganga jurang dalam.
menjelang post 2, Merapi
Kendati demikian, toh
nyatanya banyak orang yang senang mendaki. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia
bisa mencapai jutaan anak muda yang melakukan itu. Bayangkan kalau di salah
satu base-camp jalur pendakian saja bisa mencapai 1.500 pendaki, sedangkan satu
gunung bisa lebih dari dua jalur. Artinya, setiap malam menjelang libur
nasional (umumnya Sabtu-Minggu) seluruh gunung yang ada di Indonesia bisa
dipadati lebih dari 20.000 pendaki.
Aku hanyalah salah satu dari
sekian juta orang tersebut. Tiap orang pasti beda pengalaman, beda orientasi
pendakiannya. Aku hanya merasa, tiap kali mendaki selalu ada rasa yang mendadak
muncul dan itu asik. Baru tiba di area base camp (belum mendaki) saja sudah berbunga-bunga.
Ada rasa gembira yang menyelinap dalam hati. Ada rasa senang yang datang.
mengawal pendakian perdana
Pada saat mendaki, bila
cuaca dan semesta mengijinkan maka akan berjumpa dengan panorama alam yang luar
biasa indah. Dengan sendirinya, hal-hal yang elok-indah akan menghadirkan rasa
suka-cita yang mendalam. Maka, ketika aku mendaki lebih banyak bahagianya dari
pada susahnya. Hal ini bisa jadi karena untuk mendapatkan atau untuk bisa
menyaksikan keindahan alam-gunung harus dicapai dengan proses yang tidak
gampang.
2. Tenang dan Damai
Alam gunung berisikan hutan,
air, dan batuan. Ada ragam jenis pepohonan dan perdu, juga semak. Mereka
dijajar dan ditata oleh semesta dengan karya seni yang ajaib. Sehingga
menciptakan keindahan yang luar biasa. Dengan demikian, alam gunung yang
didominasi hutan dengan sendirinya memiliki suasana sepi. Kalaupun ada suara
itu kebanyakan berasal dari penghuni hutan tersebut, yaitu hewan, dan serangga.
post 2 Merapi
Suara-suara yang mereka
keluarkan seolah mengalun menjadi harmoni, menjadi musik terindah dan termerdu.
Harmoni suasana hutan yang sepi dengan iringan semesta dari nyanyian para binatang
dan serangga juga berpadu dengan bunyi angin, dan suara-suara dari alam raya
merupakan kesempurnaan suasana. Hal demikian ini lah yang bagiku mampu
menghadirkan hati yang tenang dan damai.
3. Ekonomis
Setiap
manusia membutuhkan cara untuk menyeimbangkan hidupnya. Ada waktu untuk
mencari, ada waktu untuk menikmati. Ada waktu untuk mendapatkan, ada waktu
untuk menghabiskan. Sebagai pekerja, aku juga membutuhkan keseimbangan hidup.
Di tengah kesibukan dunia kerja, bila ada waktu luang aku pun berupaya untuk
sejenak rekreasi, sejenak mengisi jiwa yang dahaga. Demi kesegaran jiwaku
akupun memiliki cara yaitu mendaki gunung.
cah turing, nyampe puncak Tambora
Dari
berjuta cara untuk mengisi jiwa, bagiku mendaki gunung masih tergolong murah
dan ekonomis. Harga tiket masih terjangkau. Untuk gunung-gunung di Jateng
rata-rata masih di bawah Rp 20.000. Tidak dapat dipungkiri, di beberapa gunung
memang terkenal mahal karena retribusi dihitung per hari.
Kalaupun
ada yang bilang “Mendaki gunung adalah hobi yang mahal”, itu lantaran peralatan
yang digunakan. Sebenarnya tidak semua perlengkapan harus punya. Sekarang,
sudah banyak yang menyediakan jasa, “Persewaan alat-alat mendaki”, harga yang
ditawarkan juga sangat terjangkau. Dari pengalaman pribadi, kalau aku mendaki
gunung hanya 2H1M tidak pernah lebih dari Rp 100.000 (sudah mencakup: tiket
masuk, bekal-logistik, dan sekali atau 2 kali makan di sekitaran base camp).
post 4 Lawu via Kandang
4. Menyehatkan
Mendaki
gunung merupakan aktifitas olahraga yang cukup berat. Supaya pendakian
memberikan dampak positif harus ditopang dengan fisik yang mumpuni. Aku sendiri
selalu berolahraga rutin, agar setiap saat ada keinginan mendaki, fisikku telah
siap. Aku terbiasa berolah raga agar badan tetap bugar. Yang paling sering aku
lakukan adalah jogging, kadang lari jarak
jauh, dan sering juga hanya sekedar aerobik ringan.
Seminggu
sebelum aku mendaki, aku melakukan aktifitas fisik yang melebihi biasanya.
Bahkan bila aku akan mendaki dengan metode trail run, aku mempersiapkan diri
dengan berlari jarak jauh (sekitar 5-10 km).
Dalam
dunia pendakian, seringkali terjadi khasus pendaki yang kelelahan, kedinginan,
kram, dan sampai hipotermia. Menurut analisaku (ini murni pendapat pribadi) itu
karena fisiknya tidak siap, mentalnya tidak siap, properti tidak mendukung dan
perbekalan yang dibawa juga ala kadarnya. Aku yakin, bila seseorang memiliki
kemampuan fisik yang baik dengan perlengkapan, dan perbekalan yang memadai,
maka mendaki gunung akan sangat minim resiko.
pernah juga makan mewah di atas gunung
Sejauh
aku tahu bahwa “mendaki gunung merupakan kumpulan dari seluruh aktifitas olah
raga”. Jelas bahwa mendaki gunung
mengandaikan bisa berlari, kuat lutut untuk berjalan naik-turun, punya
kelenturan (fleksibelitas) dan daya tahan karena melakukan aktifitas fisik
dengan durasi waktu berjam-jam. Dengan demikian, bila mengikuti prinsip yang
benar maka dengan sendirinya seorang pendaki pasti memiliki kesehatan fisik
yang bisa diandalkan. Memiliki hobi mendaki (seharusnya) akan memiliki
kesehatan yang bisa dibanggakan.
solo trail run Lawu via Singo Langu
5. Mendapat Teman (Sahabat/Saudara) Baru
Satu
hal lagi yang bagiku cukup positif adalah mendapat teman/sahabat/saudara baru.
Ketika aku mendaki, kadang hanya bertemu beberapa orang/ rombongan. Bahkan
kadang tidak bertemu siapa-siapa. Maka, tidak mengherankan bila di jalur
pendakian atau di post peristirahatan bertemu sesama pendaki yang sudah turun
maupun yang baru menanjak, akan sangat mudah akrab. Kondisi saling membutuhkan,
saling menguatkan, dan saling mendukunglah yang menyebabkan para pendaki lebih mudah
akrab.
Pernah
suatu kali pada saat mendaki, sudah hari kedua, aku belum bertemu dengan
manusia lain. Ketika hari ketiga, aku mendengar. Ya baru mendengar suara
manusia rasanya sudah sangat senang. Ada suka-cita yang membeludak. Pada hal
itu belum ketemu dengan manusianya, baru suaranya. Diri ini yang awalnya begitu
kecil di hadapan lingkungan hutan belantara-gunung mendadak menjadi kokoh,
menjadi lebih berani, dan menjadi lebih percaya diri. Maka, secara umum para
pendaki lebih mudah bergaul dengan orang-orang baru, lebih mudah membangun
komunikasi dan dialog. Dengan demikian akan lebih mudah membangun dan
mendapatkan kenalan atau sahabat baru.
dg teman baru, puncak Merbabu via Selo
Banyak hal menarik dari tiap kali mendaki. Tetapi
tidak menutup kemungkinan akan adanya pengalaman-pengalaman yang tidak
mengenakan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Lelah, Letih, dan Capek
Sebagaimana
aku definisikan di atas bahwa mendaki gunung merupakan ramuan dari banyak
aktifitas olah raga yang dilakukan dalam jangka waktu berjam-jam (dengan durasi
yang lama). Maka, dengan sendirinya akan sangat menguras tenaga yang pada
akhirnya berakibat pada raga yang lelah, letih, dan capek. Bagiku amat sangat
tidak benar bila ada pendaki yang bilang, “Mendaki kok lelah. Mendaki tidak boleh
ada lelahnya”. Pernyataan demikian adalah bohong besar. Tidak ada pendaki yang
tidak merasakan kelelahan, kecapean, dan keletihan. Semua pendaki pasti
mengalami raga yang ambyar.
Kendati
raga koyak dihajar oleh tanjakan, turunan, dan terjalnya setapak hutan-gunung,
namun hati tidak serta merta mengalami hal yang sama. Sering kali berbalikan, lelah
raga, tetapi hati dan jiwa menjadi tegar-segar, bersemangat, dan bergairah. Ambyar-nya raga menjadi sumber nutrisi
bagi jiwa yang koyak. Intinya, kelelahan selama pendakian menjadi sarana untuk
memiliki jiwa dan hati yang terisi, berseri, dan berenergi. Bisa dikatan raga
yang ambyar karena mendaki menjadi cara agar memiliki hati, jiwa yang lebih
kokoh, bakoh.
dg istriku, segara anak, Rinjani
2. PHP (Jalur tidak seperti yang dibayangkan/diinginkan)
Setiap kali
mendaki gunung dengan jalur baru (yang lebih keren disebut pendakian expedisi,
karena baru pertama kali lewat jalur tersebut), aku biasa mengais informasi
mengenai keadaan jalur dari temen atau internet. Kerap kali gambaran yang aku
peroleh tidak sama dengan kenyataan. Bersyukur bila lebih menguntungkan,
misalkan menurut info jalurnya ganas, tetapi ketika kujelajahi jalurnya biasa
saja. Tetapi kadang jengkel, bila gambaran yang didapat adalah jalur yang
enak-landai, tetapi ketika ditapaki jalurnya ganas, nanjak luar biasa.
Cikasur, Argopuro
3. Horror, Mencekam, dan Seram
Sejujurnya
aku tidak memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal ghaib. Aku tidak memiliki
indera keenam. Aku hanyalah pendaki biasa yang tidak berbakat dalam dunia
mistis. Maka, suasana horror, mencekam, dan seram lebih pada suasana hutan dan
gunung. Beberapa kali aku menjadi pendaki solo atau solois atau solo-hikker.
Dari pengalamaan mendaki sendirian inilah yang menjadikanku berani untuk
menuliskan suasana horror, mencekam, dan seram dari sisi non-mistis.
Horror
karena lebat belukar yang tebal dengan setapak yang samar. Beberapa kali aku
pernah mengalami situasi pendakian yang sangat horror, karena setapak yang
tidak jelas. Jalur pendakian yang hilang atau tertutup perdu ataupun semak,
bagiku merupakan hantu terendiri. Ketika menghadapi situasi yang seperti ini,
mendadak rasa takut itu menyusup. Biasanya aku akan menggunakan prinsip, terus
saja dulu. Bila sampai 30 menit setapak makin lebat tak tembus berarti jalur
telah mati, atau dialihkan. Maka, harus kembali ketitik awal agar bisa menemukan
setapak/ jalan yang benar.
menghela nafas, Merbabu via Swanting
Aku
mengalami situasi mencekam yaitu bila dihadapkan pada cuaca ektrim. Seringnya
mendaki tidak serta merta menjadikanku anti-cemas. Ketika berhadapan dengan
cuaca entrim, maka dengan sendirinya aku ciut nyali. Pernah berhadapan dengan
badai ganas, dengan kabut tebal. Udara mendadak dingin sampai menusuk tulang
belulang. Pernah juga dihadapkan pada hujan lebat dengan iringan petir. Bahkan
aku merasa seolah-olah aku diikuti oleh tarian lidah api dari kilat-kilat
guntur. Aku juga pernah dihadapkan pada situasi hutan yang terbakar. Mendaki di
musim kemarau, dari base camp aman jaya, tetapi dari jalur lain ada kasus
kebakaran hutan. Sehingga aku pernah dikepung oleh api yang memaksaku untuk
membuat jalur baru guna menghindari arah pergerakan angin untuk menghindari
perkembangan api.
mengawal penmas, puncak Lawu via Kandang
Sedangkan
situasi seram kerap aku alami mana kala aku mendaki sendirian dan harus
bermalam di area yang masih hutan lebat. Dalam tidurku aku mendengar suara-suara
alam yang bermacam, sehingga menimbulkan imajinasi-imajinasi tanpa batas.
Sering pula selama bermalam dalam tenda sendirian sampai pagi tidak bertemu dan
juga tidak mendengar suara manusia. Sehingga segala suara yang keluar dari
penghuni hutan memaksaku untuk lebih waspada dan berhati-hati.
senja, Merbabu via Wekas
4. Properti yang Rusak
Dalam dunia
petualangan hal-hal atau peristiwa yang tidak diinginkan/diharapkan kerap
terjadi. Akupun pernah mengalami itu. Salah satunya adalah frame tenda yang
patah. Sedangkan bentuk tenda sangat ditentukan oleh frame. Bila frame patah
maka bentuk tenda menjadi tidak sempurna, bahkan kadang tidak bisa digunakan
sama sekali. Sedangkan di sisi lain, cuaca sedang gawat. Pada waktu itu hujan
badai, aku berada dalam tenda. Karena angin bertiup dengan kencang dan aku
malas memperkuat tenda dengan tali. Maka, di tengah cucaca hujan, frame patah.
Suasana dalam tenda menjadi kacau balau. Isitirahat idak lagi nyaman dan segala
aktifitas dalam tenda terganggu seketika.
setelah semalam2an dihajar badai dg tenda patah frame
Hal kedua
yang pernah aku alami adalah kompor gas yang macet. Salah satu hiburan terbesar
dalam dunia pendakian adalah masak-memasak. Bagiku memasak dan menikmati hasil
masakan pada saat camp merupakan kepuasan tersendiri. Mendaki, camp dan memasak
adalah satu kesatuan sebagai hiburan jiwa. Tetapi pada waktu itu tenda berdiri
dengan gagah, berharap untuk segera bisa menikmati minuman hangat juga makanan
tetapi kompornya ngadat, macet tidak mau menyala, karena gas tidak mau keluar.
jd nya bakar ikan, bkn goreng ikan
5. Disepelekan, Dipandang Remeh, dan Tidak Dihargai
Aku mendaki
lebih dari 100 kali itu karena usiaku yang sudah tidak muda lagi. Dalam dunia
pendaki sering disebut dengan istilah “Pemula” (= pendaki muka lama). Kendati
aku tergolong pendaki kawakan tetapi tidak serta merta aku memiliki banyak
kenalan. Aku tidak punya komunitas atau grup pendaki. Aku adalah pendaki free land, mendaki bila ada waktu. Tidak
terikat oleh janji dan kesepakatan. Ada waktu, ada niat, ada keinginan langsung
aku tancap-nanjak.
Tempat
tinggalku adalah Surakarta yang biasa dikenal dengan sebutan Solo. Maka, gunung
yang paling sering aku daki adalah gunung Lawu, Merbabu, dan Merapi. Bahkan
beberapa kali aku yang awalnya hanya sekedar pengin nongkrong di base camp,
kemudian muncul keinginan nanjak. Ya akhirnya nanjak juga.
Oleh karena
itu bila aku nanjak hanya dengan bermodal westbag dan bersandal jepit, banyak
pendaki yang nyinyir dan mencemooh. Komentar “Ndak safety” sering dilontarkan kepadaku. Bila bersandal jepit dan
hanya memakai weist bag bagiku wajar bila dikomentari seperti itu. Tetapi aneh
bila aku menggunakan property trail run juga dikomen sama.
sandal jepit, puncak Welirang
Oh ya,
perlu aku sampaikan bahwa aku mendaki gunung tidak hanya menggunakan satu model
tetapi banyak. Sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Dari mendaki model
konvensional yang membawa kulkas dua pintu siap mengembara di hutan selama dua
minggu, bisa juga dengan metode konvensional dengan tas kerir standar (tidak
seperti membawa kulkas dua pintu), kadang aku juga hanya tiktokan (mendaki
kebut tanpa tenda, tetapi dengan property standar demi safety), tetapi kadang
juga mendaki model atlit marathon yang biasa dikenal dengan trail run (dari
base camp-puncak-base camp tidak lebih dari 6 jam). Kadang aku mendaki seorang
diri, kadang aku mendaki dengan 1 atau 2 teman, tetapi aku juga pernah mengawal
rombongan di atas 20 orang sebagai tim besar.
mengawal, pendakian keluarga, pos 2 Lawu via Sewu
Aku sering
mengalami cercaan atau dipandang sebelah mata bila menggunakan metode trail
run. Bisa jadi, karena metode ini tergolong baru atau tidak popular di
Indonesia. Pada hal di luar negeri, metode ini sudah sangat familiar. Bila aku
diremehkan, aku hanya tersenyum dan mencoba merendah dengan bertanya, “Yang
safety itu seperti apa ya?” Kemudian mereka akan antusias menjelaskan,
seolah-olah aku ini orang yang tidak ngerti sama sekali tentang dunia
pendakian. Ya aku terima saja dan kuucapkan terima kasih kepada mereka.
tiktokan solois, pasar bubrah, Merapi
Adapun beberapa keutamaan-keutamaan
hidup “yang kupelajari” dari kegiatan mendaki gunung adalah
sebagai berikut:
1. Pengorbanan
Nilai hidup pertama
yang kupelajari adalah pengorbanan. Hal ini mungkin terdengar klise, biasa.
Paling-paling ya itu-itu. Tetapi buatku nilai yang kuperoleh dari setiap
kegiatan itu beda. Sama-sama nilai pengorbanan, tetapi yang dirasakan oleh hati
dari kegiatan yang berbeda terasa tidak sama. Dalam kegiatan “mendaki gunung” pengorbanan merupakan syarat
mutlak untuk bisa mencapai titik-titik tinggi dari sebuah gunung yang didaki.
Ada egoisme yang harus ditanggalkan, ada kenyamanan yang harus diasingkan, ada
batas-batas diri yang mesti dilampaui. Dengan ini, aku
hanya menegaskan bahwa nilai pengorbanan yang pertama adalah untuk diri sendiri.
Sedangkan nilai
pengorbanan yang kedua adalah demi orang lain, demi tim atau demi kesuksesan
bersama, juga bisa demi keselamatan sesama. Tidak jarang aku menemui pendaki
yang mengalami kesusahan di tengah pendakian.
Ada yang kekurangan logistik, ada yang kram, ada yang terkilir, dan ada pula yang
kehilangan semangat. Ketika berjumpa dengan situasi orang lain yang memang
membutuhkan pertolongan, maka dengan mudah serta rela hati, aku pun membantu
sejauh bisa. Kadang hanya membagikan seteguk air yang kubawa, tetapi sangat berarti
untuk pendaki yang kehausan.
bkn porter, Raung
2. Menjadi Lebih Sabar
Keutamaan yang kedua
adalah kesabaran. Mendaki gunung secara pelan-pelan akan memandu yang
melakoninya menjadi lebih mampu mengendalikan dirinya. Sejauh yang kualami,
di beberapa gunung memiliki aturan kalau mendaki gunung di situ memiliki
syarat-syarat yang menggiring untuk lebih bisa mengontrol dirinya. Diantaranya
adalah tidak boleh mengeluh, tidak boleh sombong, tidak boleh berkata
jorok/kasar/mengumpat, dll. Maka dengan sendirinya, mendaki merupakan saranan
untuk lebih bisa mengolah diri, mengendalikan diri, dan menempa diri untuk
menjadi semakin dewasa.
Dengan
kata lain, mendakai dapat dikatakan sebagai kawah candradimuka. Mendaki gunung
akan lebih mudah menjadikan seseorang dewasa. Walau ada pepatah yang
mengatakan, “Tua adalah pasti, Dewasa adalah pilihan”, artinya menjadi dewasa
merupakan sebuah hasil dari kesadaran, pilihan dan proses hidup. Mendaki gunung
bisa saja tidak memberi daya dan efek apa-apa. Ketika aku mendaki kumerasa
sedang bermati raga, untuk menziarahai
hati dan diri. Mendaki menjadi sarana menelusuri lorong-lorong diri agar bisa
berbenah, dan memilih cara hidup yang benar.
bkn porter, Merapi
3. Solidaritas
Keutamaan yang ketiga
adalah solidaritas. Keutamaan untuk berbela rasa. Keutamaan untuk mengalahkan
kepentingan diri demi orang lain. Solidaritas yang paling sering aku lakukan
adalah mengalahkan ritme pribadi demi kebersamaan. Biasanya hal ini lebih
terasa dalam pendakian dalam sebuah tim. Sebagaimana aku ceritakan di atas,
kalau aku mendaki gunung dengan aneka metode. Kadang sendiri, kadang lari,
kadang juga hanya sekedar rekreasi. Bila dalam tim, maka dengan sendirinya aku
akan menyesuaikan dengan ritme kelompok. Pernah aku membandingkan lama waktu
menapaki jalur gunung yang sama, antara mendaki sendiri dengan tim, selisih
waktunya amat sangat jauh. Saat aku mendaki sendiri pernah tembus 4 jam, tetapi
saat mendaki bersama kelompok menjadi 12 jam.
membuat nyaman teman seperjalanan, pos 4 Merbabu via Selo
4. Menyatu dengan Alam
Alam gunung merupakan
tempat yang paling banyak memiliki varian cuaca. Kadang
dari udara begitu terik, tiba-tiba menjadi dingin luar biasa. Kadang cuaca
panas menyengat, dalam waktu sekejab berubah gelap tertutup mendung (yang
kadang juga mendadak menjadi hujan). Tidak jarang di sepanjang jalur pendakian
diselimuti kabut tebal, tetapi kadang juga cerah tanpa awan. Berhadapan dengan
misteri alam gunung yang sulit bahkan tidak bisa ditebak itulah, maka keutamaan
yang harus dimiliki oleh seorang pendaki adalah menyatu dengannya.
pahamilah gunung seperti kekasih
Kemampuan menyatu
dengan alam akan membawa seseorang
selalu bisa menerima apa yang diberikan olehnya. Menerima peristiwa akan terasa
nyaman dalam kehidupan. Petualangan dalam dunia pendakian yang cuacanya tidak
tetap akan mudah dinikmati bila mampu menerima segala peristiwa yang
terjadi. Kemampuan menyatu dengnan alam
pula yang menjadikan seseorang akan bisa menempatkan diri untuk bertindak,
bersikap, dan berbuat pada semesta. Seseorang yang menyatu dengan alam akan
membimbingnya untuk berlaku bijak pada semesta. “Berani menerima karunia alam,
seharusnya berani pula untuk memberi
yang baik pada alam itu sendiri. Tidak hanya melulu
menerima, tetapi juga akan menggiringnya untuk berani berbuat/ memberi pada
alam.
turun dr tiktokan adalah mulung sampah (sekuatnya)
Sobat
petualang, pengalamanku
yang sederhana ini menegaskan bahwa manusia bisa
berkembang melalui pengalaman yang telah terlewati asal mau memaknainya.
Bersama pendakianku yang lebih dari 100 kali ini aku
merasa bahwa semesta telah
menghantarku untuk berjumpa dengan banyak hal. Hingga akhirnya aku pun boleh
belajar dari padanya. Selanjutnya aku akan lebih membuka hati untuk
pengalaman-pengalaman lainnya. Semoga dengan banyaknya kisah-petualangan hidup,
diri ini semakin menjadi utuh, terus berkembang menjadi pribadi yang mampu
menemukan dan mengalami suka cita, kedamaian dan kebahagiaan.
Mantap pak, suka sama tulisan2 njenengan 👍👍👍
BalasHapusmakasih ya. jadi semangat unt nulis cerita2 hidup lainnya. hehe
HapusMantap mz.brow.. webblog dn tulisannya. Lanjut dn teruskan 👏👏👏🙏
BalasHapussiap. makasih ya
Hapus