Tampilkan postingan dengan label refleksi pendakian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label refleksi pendakian. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Januari 2020

pemaknaan atas 100 kali mendaki gunung


MENEMPA DIRI BERSAMA SETAPAK GUNUNG:
“Sebuah Refleksi atas 100 Kali Pendakian Gunung”
Oleh: Heri Andreas
trail run style

Salam jumpa sobat petualang, kali ini aku akan berbagi sebuah refleksi. Ya hanya sebuah renungan atas pengalaman sederhana. Tidak istimewa, karena hanya refleksi atas pengalaman mendaki gunung.
 Roda hidup terus bergerak meninggalkan satu titik menuju titik berikutnya. Waktu pula yang menjadikan sebuah ide-gagasan menjadi kenyataan. Putaran waktu terus melaju membawaku dari satu kisah menuju kisah berikutnya. Ada kisah yang sesuai rencana, tetapi kebanyakan adalah kisah spontan yang mengalir terjadi begitu saja. Tetapi kisah tanpa pernah termaknai hanya akan menjadi cerita kosong, tak berarti. Oleh karena itu, perlulah aku meluangkan waktu untuk membingkai kisah hidup, agar aku bisa mengambil makna dari padanya.
Di sela sibukku, sejenak kusisihkan waktu untuk tunduk-merenung. Hamparan setapak  memori kutelusuri seperti labirin tak berakhir. Di tiap sudut labirin-memoriku ada banyak kisah untuk dikenang. Dari sekian milyar cerita hidup kupilih satu hal yang memang menjadi salah satu kesukaanku, yaitu dunia petualangan, khususnya “Mendaki Gunung”.
setelah duguyur hujan, merbabu via grenden

Bagi sebagian orang pengalaman mendaki gunung bukanlah “sesuatu banget”, bukan peristiwa yang hebat, apa lagi membanggakan. Tetapi untuk sebagian orang mendaki gunung merupakan pengalaman yang menantang, mencekam, sekaligus menyenangkan. Intinya, beda orang beda pula dalam menilai kegiatan ini. Akupun memiliki penilaian tersendiri. Aku sadari bahwa aku telah banyak kali mendaki tetapi aku tidak pernah merasa bosan. Bahkan ada dua gunung yang masing-masing pernah aku daki lebih dari 30 kali. Di penghujung tahun 2019, tepatnya tanggal 30-31 Desember, pendakianku telah lebih dari 100 kali (yang hampir kesemuanya di atas 3.000 mdpl). Sebuah pengalaman yang terus berulang dan terulang. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa dari kegiatan ini, maka kuputuskan untuk merenungkannya secara lebih mendalam lagi.
puncak Garuda, Merapi (sebelum erupsi 2010)

Dalam refleksi kali ini, aku akan membingkai dari tiga hal yang berbeda. Pengelompokan ini aku buat, agar lebih sistematis, mudah ditangkap dan dipahami. Tiga hal tersebut adalah, sisi positif, sisi negatif, dan “ Ilmu hidup yang kupetik”. Aku mulai dari sisi positif atau hal-hal yang bermanfaat atau memperkaya hidup-batin.
1.      Menyenangkan, Menggembirakan, dan Membahagiakan
Mendaki gunung untuk orang-orang yang awam (= tidak mengerti atau belum pernah mendaki) sering menilai bahwa kegiatan mendaki gunung adalah sebuah kegiatan yang bodoh, sia-sia, buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Bayangkan jika kebanyakan orang bisa menikmati hidup dengan kenyamanan dan kemapanan, sedangkan para pendaki melakukan hal-hal yang berkebalikan. Misalkan, teman-temanku sedang asik tidur dalam dekapan selimut tebal di dalam kamar yang nyaman, sedangkan aku malah tengah malam bangun, menembus gelapnya malam, berteman dengan sepi di sepanjang jalur pendakian, merambati setapak terjal yang  kadang di kanan-kirinya menganga jurang dalam.
menjelang post 2, Merapi
Kendati demikian, toh nyatanya banyak orang yang senang mendaki. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia bisa mencapai jutaan anak muda yang melakukan itu. Bayangkan kalau di salah satu base-camp jalur pendakian saja bisa mencapai 1.500 pendaki, sedangkan satu gunung bisa lebih dari dua jalur. Artinya, setiap malam menjelang libur nasional (umumnya Sabtu-Minggu) seluruh gunung yang ada di Indonesia bisa dipadati lebih dari 20.000 pendaki.
Aku hanyalah salah satu dari sekian juta orang tersebut. Tiap orang pasti beda pengalaman, beda orientasi pendakiannya. Aku hanya merasa, tiap kali mendaki selalu ada rasa yang mendadak muncul dan itu asik. Baru tiba di area base camp (belum mendaki) saja sudah berbunga-bunga. Ada rasa gembira yang menyelinap dalam hati. Ada rasa senang yang datang.
mengawal pendakian perdana
Pada saat mendaki, bila cuaca dan semesta mengijinkan maka akan berjumpa dengan panorama alam yang luar biasa indah. Dengan sendirinya, hal-hal yang elok-indah akan menghadirkan rasa suka-cita yang mendalam. Maka, ketika aku mendaki lebih banyak bahagianya dari pada susahnya. Hal ini bisa jadi karena untuk mendapatkan atau untuk bisa menyaksikan keindahan alam-gunung harus dicapai dengan proses yang tidak gampang.
2.      Tenang dan Damai
Alam gunung berisikan hutan, air, dan batuan. Ada ragam jenis pepohonan dan perdu, juga semak. Mereka dijajar dan ditata oleh semesta dengan karya seni yang ajaib. Sehingga menciptakan keindahan yang luar biasa. Dengan demikian, alam gunung yang didominasi hutan dengan sendirinya memiliki suasana sepi. Kalaupun ada suara itu kebanyakan berasal dari penghuni hutan tersebut, yaitu hewan, dan serangga.
post 2 Merapi
Suara-suara yang mereka keluarkan seolah mengalun menjadi harmoni, menjadi musik terindah dan termerdu. Harmoni suasana hutan yang sepi dengan iringan semesta dari nyanyian para binatang dan serangga juga berpadu dengan bunyi angin, dan suara-suara dari alam raya merupakan kesempurnaan suasana. Hal demikian ini lah yang bagiku mampu menghadirkan hati yang tenang dan damai.
3.      Ekonomis
Setiap manusia membutuhkan cara untuk menyeimbangkan hidupnya. Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk menikmati. Ada waktu untuk mendapatkan, ada waktu untuk menghabiskan. Sebagai pekerja, aku juga membutuhkan keseimbangan hidup. Di tengah kesibukan dunia kerja, bila ada waktu luang aku pun berupaya untuk sejenak rekreasi, sejenak mengisi jiwa yang dahaga. Demi kesegaran jiwaku akupun memiliki cara yaitu mendaki gunung.
cah turing, nyampe puncak Tambora

Dari berjuta cara untuk mengisi jiwa, bagiku mendaki gunung masih tergolong murah dan ekonomis. Harga tiket masih terjangkau. Untuk gunung-gunung di Jateng rata-rata masih di bawah Rp 20.000. Tidak dapat dipungkiri, di beberapa gunung memang terkenal mahal karena retribusi dihitung per hari.
Kalaupun ada yang bilang “Mendaki gunung adalah hobi yang mahal”, itu lantaran peralatan yang digunakan. Sebenarnya tidak semua perlengkapan harus punya. Sekarang, sudah banyak yang menyediakan jasa, “Persewaan alat-alat mendaki”, harga yang ditawarkan juga sangat terjangkau. Dari pengalaman pribadi, kalau aku mendaki gunung hanya 2H1M tidak pernah lebih dari Rp 100.000 (sudah mencakup: tiket masuk, bekal-logistik, dan sekali atau 2 kali makan di sekitaran base camp).
post 4 Lawu via Kandang
4.      Menyehatkan
Mendaki gunung merupakan aktifitas olahraga yang cukup berat. Supaya pendakian memberikan dampak positif harus ditopang dengan fisik yang mumpuni. Aku sendiri selalu berolahraga rutin, agar setiap saat ada keinginan mendaki, fisikku telah siap. Aku terbiasa berolah raga agar badan tetap bugar. Yang paling sering aku lakukan adalah  jogging, kadang lari jarak jauh, dan sering juga hanya sekedar aerobik ringan.  
Seminggu sebelum aku mendaki, aku melakukan aktifitas fisik yang melebihi biasanya. Bahkan bila aku akan mendaki dengan metode trail run, aku mempersiapkan diri dengan berlari jarak jauh (sekitar 5-10 km).
Dalam dunia pendakian, seringkali terjadi khasus pendaki yang kelelahan, kedinginan, kram, dan sampai hipotermia. Menurut analisaku (ini murni pendapat pribadi) itu karena fisiknya tidak siap, mentalnya tidak siap, properti tidak mendukung dan perbekalan yang dibawa juga ala kadarnya. Aku yakin, bila seseorang memiliki kemampuan fisik yang baik dengan perlengkapan, dan perbekalan yang memadai, maka mendaki gunung akan sangat minim resiko.
pernah juga makan mewah di atas gunung

Sejauh aku tahu bahwa “mendaki gunung merupakan kumpulan dari seluruh aktifitas olah raga”. Jelas bahwa mendaki gunung  mengandaikan bisa berlari, kuat lutut untuk berjalan naik-turun, punya kelenturan (fleksibelitas) dan daya tahan karena melakukan aktifitas fisik dengan durasi waktu berjam-jam. Dengan demikian, bila mengikuti prinsip yang benar maka dengan sendirinya seorang pendaki pasti memiliki kesehatan fisik yang bisa diandalkan. Memiliki hobi mendaki (seharusnya) akan memiliki kesehatan yang bisa dibanggakan.
solo trail run Lawu via Singo Langu
5.      Mendapat Teman (Sahabat/Saudara) Baru
Satu hal lagi yang bagiku cukup positif adalah mendapat teman/sahabat/saudara baru. Ketika aku mendaki, kadang hanya bertemu beberapa orang/ rombongan. Bahkan kadang tidak bertemu siapa-siapa. Maka, tidak mengherankan bila di jalur pendakian atau di post peristirahatan bertemu sesama pendaki yang sudah turun maupun yang baru menanjak, akan sangat mudah akrab. Kondisi saling membutuhkan, saling menguatkan, dan saling mendukunglah yang menyebabkan para pendaki lebih mudah akrab.
Pernah suatu kali pada saat mendaki, sudah hari kedua, aku belum bertemu dengan manusia lain. Ketika hari ketiga, aku mendengar. Ya baru mendengar suara manusia rasanya sudah sangat senang. Ada suka-cita yang membeludak. Pada hal itu belum ketemu dengan manusianya, baru suaranya. Diri ini yang awalnya begitu kecil di hadapan lingkungan hutan belantara-gunung mendadak menjadi kokoh, menjadi lebih berani, dan menjadi lebih percaya diri. Maka, secara umum para pendaki lebih mudah bergaul dengan orang-orang baru, lebih mudah membangun komunikasi dan dialog. Dengan demikian akan lebih mudah membangun dan mendapatkan kenalan atau sahabat baru.
dg teman baru, puncak Merbabu via Selo

Banyak hal menarik dari tiap kali mendaki. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Lelah, Letih, dan Capek
Sebagaimana aku definisikan di atas bahwa mendaki gunung merupakan ramuan dari banyak aktifitas olah raga yang dilakukan dalam jangka waktu berjam-jam (dengan durasi yang lama). Maka, dengan sendirinya akan sangat menguras tenaga yang pada akhirnya berakibat pada raga yang lelah, letih, dan capek. Bagiku amat sangat tidak benar bila ada pendaki yang bilang, “Mendaki kok lelah. Mendaki tidak boleh ada lelahnya”. Pernyataan demikian adalah bohong besar. Tidak ada pendaki yang tidak merasakan kelelahan, kecapean, dan keletihan. Semua pendaki pasti mengalami raga yang ambyar.
Kendati raga koyak dihajar oleh tanjakan, turunan, dan terjalnya setapak hutan-gunung, namun hati tidak serta merta mengalami hal yang sama. Sering kali berbalikan, lelah raga, tetapi hati dan jiwa menjadi tegar-segar, bersemangat, dan bergairah. Ambyar-nya raga menjadi sumber nutrisi bagi jiwa yang koyak. Intinya, kelelahan selama pendakian menjadi sarana untuk memiliki jiwa dan hati yang terisi, berseri, dan berenergi. Bisa dikatan raga yang ambyar karena mendaki menjadi cara agar memiliki hati, jiwa yang lebih kokoh, bakoh.
dg istriku, segara anak, Rinjani

2.      PHP (Jalur tidak seperti yang dibayangkan/diinginkan)
Setiap kali mendaki gunung dengan jalur baru (yang lebih keren disebut pendakian expedisi, karena baru pertama kali lewat jalur tersebut), aku biasa mengais informasi mengenai keadaan jalur dari temen atau internet. Kerap kali gambaran yang aku peroleh tidak sama dengan kenyataan. Bersyukur bila lebih menguntungkan, misalkan menurut info jalurnya ganas, tetapi ketika kujelajahi jalurnya biasa saja. Tetapi kadang jengkel, bila gambaran yang didapat adalah jalur yang enak-landai, tetapi ketika ditapaki jalurnya ganas, nanjak luar biasa.
Cikasur, Argopuro
3.      Horror, Mencekam, dan Seram
Sejujurnya aku tidak memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal ghaib. Aku tidak memiliki indera keenam. Aku hanyalah pendaki biasa yang tidak berbakat dalam dunia mistis. Maka, suasana horror, mencekam, dan seram lebih pada suasana hutan dan gunung. Beberapa kali aku menjadi pendaki solo atau solois atau solo-hikker. Dari pengalamaan mendaki sendirian inilah yang menjadikanku berani untuk menuliskan suasana horror, mencekam, dan seram dari sisi non-mistis.
Horror karena lebat belukar yang tebal dengan setapak yang samar. Beberapa kali aku pernah mengalami situasi pendakian yang sangat horror, karena setapak yang tidak jelas. Jalur pendakian yang hilang atau tertutup perdu ataupun semak, bagiku merupakan hantu terendiri. Ketika menghadapi situasi yang seperti ini, mendadak rasa takut itu menyusup. Biasanya aku akan menggunakan prinsip, terus saja dulu. Bila sampai 30 menit setapak makin lebat tak tembus berarti jalur telah mati, atau dialihkan. Maka, harus kembali ketitik awal agar bisa menemukan setapak/ jalan yang benar.
menghela nafas, Merbabu via Swanting
Aku mengalami situasi mencekam yaitu bila dihadapkan pada cuaca ektrim. Seringnya mendaki tidak serta merta menjadikanku anti-cemas. Ketika berhadapan dengan cuaca entrim, maka dengan sendirinya aku ciut nyali. Pernah berhadapan dengan badai ganas, dengan kabut tebal. Udara mendadak dingin sampai menusuk tulang belulang. Pernah juga dihadapkan pada hujan lebat dengan iringan petir. Bahkan aku merasa seolah-olah aku diikuti oleh tarian lidah api dari kilat-kilat guntur. Aku juga pernah dihadapkan pada situasi hutan yang terbakar. Mendaki di musim kemarau, dari base camp aman jaya, tetapi dari jalur lain ada kasus kebakaran hutan. Sehingga aku pernah dikepung oleh api yang memaksaku untuk membuat jalur baru guna menghindari arah pergerakan angin untuk menghindari perkembangan api.
mengawal penmas, puncak Lawu via Kandang
Sedangkan situasi seram kerap aku alami mana kala aku mendaki sendirian dan harus bermalam di area yang masih hutan lebat. Dalam tidurku aku mendengar suara-suara alam yang bermacam, sehingga menimbulkan imajinasi-imajinasi tanpa batas. Sering pula selama bermalam dalam tenda sendirian sampai pagi tidak bertemu dan juga tidak mendengar suara manusia. Sehingga segala suara yang keluar dari penghuni hutan memaksaku untuk lebih waspada dan berhati-hati.
senja, Merbabu via Wekas
4.      Properti yang Rusak
Dalam dunia petualangan hal-hal atau peristiwa yang tidak diinginkan/diharapkan kerap terjadi. Akupun pernah mengalami itu. Salah satunya adalah frame tenda yang patah. Sedangkan bentuk tenda sangat ditentukan oleh frame. Bila frame patah maka bentuk tenda menjadi tidak sempurna, bahkan kadang tidak bisa digunakan sama sekali. Sedangkan di sisi lain, cuaca sedang gawat. Pada waktu itu hujan badai, aku berada dalam tenda. Karena angin bertiup dengan kencang dan aku malas memperkuat tenda dengan tali. Maka, di tengah cucaca hujan, frame patah. Suasana dalam tenda menjadi kacau balau. Isitirahat idak lagi nyaman dan segala aktifitas dalam tenda terganggu seketika.
setelah semalam2an dihajar badai dg tenda patah frame
Hal kedua yang pernah aku alami adalah kompor gas yang macet. Salah satu hiburan terbesar dalam dunia pendakian adalah masak-memasak. Bagiku memasak dan menikmati hasil masakan pada saat camp merupakan kepuasan tersendiri. Mendaki, camp dan memasak adalah satu kesatuan sebagai hiburan jiwa. Tetapi pada waktu itu tenda berdiri dengan gagah, berharap untuk segera bisa menikmati minuman hangat juga makanan tetapi kompornya ngadat, macet tidak mau menyala, karena gas tidak mau keluar.
jd nya bakar ikan, bkn goreng ikan
5.      Disepelekan, Dipandang Remeh, dan Tidak Dihargai
Aku mendaki lebih dari 100 kali itu karena usiaku yang sudah tidak muda lagi. Dalam dunia pendaki sering disebut dengan istilah “Pemula” (= pendaki muka lama). Kendati aku tergolong pendaki kawakan tetapi tidak serta merta aku memiliki banyak kenalan. Aku tidak punya komunitas atau grup pendaki. Aku adalah pendaki free land, mendaki bila ada waktu. Tidak terikat oleh janji dan kesepakatan. Ada waktu, ada niat, ada keinginan langsung aku tancap-nanjak. 
tiktokan Merapi
Tempat tinggalku adalah Surakarta yang biasa dikenal dengan sebutan Solo. Maka, gunung yang paling sering aku daki adalah gunung Lawu, Merbabu, dan Merapi. Bahkan beberapa kali aku yang awalnya hanya sekedar pengin nongkrong di base camp, kemudian muncul keinginan nanjak. Ya akhirnya nanjak juga.
Oleh karena itu bila aku nanjak hanya dengan bermodal westbag dan bersandal jepit, banyak pendaki yang nyinyir dan mencemooh. Komentar “Ndak safety” sering dilontarkan kepadaku. Bila bersandal jepit dan hanya memakai weist bag bagiku wajar bila dikomentari seperti itu. Tetapi aneh bila aku menggunakan property trail run juga dikomen sama.
sandal jepit, puncak Welirang
Oh ya, perlu aku sampaikan bahwa aku mendaki gunung tidak hanya menggunakan satu model tetapi banyak. Sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Dari mendaki model konvensional yang membawa kulkas dua pintu siap mengembara di hutan selama dua minggu, bisa juga dengan metode konvensional dengan tas kerir standar (tidak seperti membawa kulkas dua pintu), kadang aku juga hanya tiktokan (mendaki kebut tanpa tenda, tetapi dengan property standar demi safety), tetapi kadang juga mendaki model atlit marathon yang biasa dikenal dengan trail run (dari base camp-puncak-base camp tidak lebih dari 6 jam). Kadang aku mendaki seorang diri, kadang aku mendaki dengan 1 atau 2 teman, tetapi aku juga pernah mengawal rombongan di atas 20 orang sebagai tim besar.
mengawal, pendakian keluarga, pos 2 Lawu via Sewu
Aku sering mengalami cercaan atau dipandang sebelah mata bila menggunakan metode trail run. Bisa jadi, karena metode ini tergolong baru atau tidak popular di Indonesia. Pada hal di luar negeri, metode ini sudah sangat familiar. Bila aku diremehkan, aku hanya tersenyum dan mencoba merendah dengan bertanya, “Yang safety itu seperti apa ya?” Kemudian mereka akan antusias menjelaskan, seolah-olah aku ini orang yang tidak ngerti sama sekali tentang dunia pendakian. Ya aku terima saja dan kuucapkan terima kasih kepada mereka.
tiktokan solois, pasar bubrah, Merapi

Adapun beberapa keutamaan-keutamaan hidup “yang kupelajari” dari kegiatan mendaki gunung adalah sebagai berikut:
1.      Pengorbanan
Nilai hidup pertama yang kupelajari adalah pengorbanan. Hal ini mungkin terdengar klise, biasa. Paling-paling ya itu-itu. Tetapi buatku nilai yang kuperoleh dari setiap kegiatan itu beda. Sama-sama nilai pengorbanan, tetapi yang dirasakan oleh hati dari kegiatan yang berbeda terasa tidak sama. Dalam kegiatan “mendaki gunung” pengorbanan merupakan syarat mutlak untuk bisa mencapai titik-titik tinggi dari sebuah gunung yang didaki. Ada egoisme yang harus ditanggalkan, ada kenyamanan yang harus diasingkan, ada batas-batas diri yang mesti dilampaui. Dengan ini, aku hanya menegaskan bahwa nilai pengorbanan yang pertama adalah untuk diri sendiri.
Sedangkan nilai pengorbanan yang kedua adalah demi orang lain, demi tim atau demi kesuksesan bersama, juga bisa demi keselamatan sesama. Tidak jarang aku menemui pendaki yang mengalami kesusahan di tengah pendakian. Ada yang kekurangan logistik, ada yang kram, ada yang terkilir, dan ada pula yang kehilangan semangat. Ketika berjumpa dengan situasi orang lain yang memang membutuhkan pertolongan, maka dengan mudah serta rela hati, aku pun membantu sejauh bisa. Kadang hanya membagikan seteguk air yang kubawa, tetapi sangat berarti untuk pendaki yang kehausan.
bkn porter, Raung
2.      Menjadi Lebih Sabar
Keutamaan yang kedua adalah kesabaran. Mendaki gunung secara pelan-pelan akan memandu yang melakoninya menjadi lebih mampu mengendalikan dirinya. Sejauh yang kualami, di beberapa gunung memiliki aturan kalau mendaki gunung di situ memiliki syarat-syarat yang menggiring untuk lebih bisa mengontrol dirinya. Diantaranya adalah tidak boleh mengeluh, tidak boleh sombong, tidak boleh berkata jorok/kasar/mengumpat, dll. Maka dengan sendirinya, mendaki merupakan saranan untuk lebih bisa mengolah diri, mengendalikan diri, dan menempa diri untuk menjadi semakin dewasa.
Dengan kata lain, mendakai dapat dikatakan sebagai kawah candradimuka. Mendaki gunung akan lebih mudah menjadikan seseorang dewasa. Walau ada pepatah yang mengatakan, “Tua adalah pasti, Dewasa adalah pilihan”, artinya menjadi dewasa merupakan sebuah hasil dari kesadaran, pilihan dan proses hidup. Mendaki gunung bisa saja tidak memberi daya dan efek apa-apa. Ketika aku mendaki kumerasa sedang  bermati raga, untuk menziarahai hati dan diri. Mendaki menjadi sarana menelusuri lorong-lorong diri agar bisa berbenah, dan memilih cara hidup yang benar.
bkn porter, Merapi

3.      Solidaritas
Keutamaan yang ketiga adalah solidaritas. Keutamaan untuk berbela rasa. Keutamaan untuk mengalahkan kepentingan diri demi orang lain. Solidaritas yang paling sering aku lakukan adalah mengalahkan ritme pribadi demi kebersamaan. Biasanya hal ini lebih terasa dalam pendakian dalam sebuah tim. Sebagaimana aku ceritakan di atas, kalau aku mendaki gunung dengan aneka metode. Kadang sendiri, kadang lari, kadang juga hanya sekedar rekreasi. Bila dalam tim, maka dengan sendirinya aku akan menyesuaikan dengan ritme kelompok. Pernah aku membandingkan lama waktu menapaki jalur gunung yang sama, antara mendaki sendiri dengan tim, selisih waktunya amat sangat jauh. Saat aku mendaki sendiri pernah tembus 4 jam, tetapi saat mendaki bersama kelompok menjadi 12 jam.
membuat nyaman teman seperjalanan, pos 4 Merbabu via Selo

4.      Menyatu dengan Alam
Alam gunung merupakan tempat yang paling banyak memiliki varian cuaca.  Kadang dari udara begitu terik, tiba-tiba menjadi dingin luar biasa. Kadang cuaca panas menyengat, dalam waktu sekejab berubah gelap tertutup mendung (yang kadang juga mendadak menjadi hujan). Tidak jarang di sepanjang jalur pendakian diselimuti kabut tebal, tetapi kadang juga cerah tanpa awan. Berhadapan dengan misteri alam gunung yang sulit bahkan tidak bisa ditebak itulah, maka keutamaan yang harus dimiliki oleh seorang pendaki adalah menyatu dengannya.
pahamilah gunung seperti kekasih

Kemampuan menyatu dengan alam akan membawa seseorang selalu bisa menerima apa yang diberikan olehnya. Menerima peristiwa akan terasa nyaman dalam kehidupan. Petualangan dalam dunia pendakian yang cuacanya tidak tetap akan mudah dinikmati bila mampu menerima segala peristiwa yang terjadi.  Kemampuan menyatu dengnan alam pula yang menjadikan seseorang akan bisa menempatkan diri untuk bertindak, bersikap, dan berbuat pada semesta. Seseorang yang menyatu dengan alam akan membimbingnya untuk berlaku bijak pada semesta. “Berani menerima karunia alam, seharusnya berani pula untuk memberi yang baik pada alam itu sendiri. Tidak hanya melulu menerima, tetapi juga akan menggiringnya untuk berani berbuat/ memberi pada alam.
turun dr tiktokan adalah mulung sampah (sekuatnya)

Sobat petualang, pengalamanku yang sederhana ini menegaskan bahwa manusia bisa berkembang melalui pengalaman yang telah terlewati asal mau memaknainya. Bersama pendakianku yang lebih dari 100 kali ini aku merasa bahwa semesta telah menghantarku untuk berjumpa dengan banyak hal. Hingga akhirnya aku pun boleh belajar dari padanya. Selanjutnya aku akan lebih membuka hati untuk pengalaman-pengalaman lainnya. Semoga dengan banyaknya kisah-petualangan hidup, diri ini semakin menjadi utuh, terus berkembang menjadi pribadi yang mampu menemukan dan mengalami suka cita, kedamaian dan kebahagiaan.

Senin, 20 Januari 2014

Kesalahan Mendaki, Nyawa Melayang



RENUNGAN SELAMA MENDAKI:
Kesalahan Mendaki, Nyawa Melayang
Oleh: Heri
Waktu terus menjulur, merambat pelan menuju titik tertingginya. Dalam perjalan waktu terus membantu aku untuk mengabadikan kisah dan terutama sejarah hidup. Salah satu serpihan-serpihan kisah yang ingin kubingkai dalam catatan sederhana ini adalah hasil pengamatan yang tidak sengaja. Mungkin malah bisa dikatakan sebagai penemuan. Bukan barang. Bukan pula edelweiss atau kembang hutan lainnya. Tidak juga ranting-ranting kayu langka. Yang kutemukan adalah beberapa tindakan pendaki yang kurang tepat.
Ini lah beberapa tindakan pendaki yang salah dan dapat berakibat fatal. Bahkan bisa kehilangan jiwanya:
1.      Mendaki Gunung hanya Sekedar Mengikuti Tren
Sekitar awal tahun 2000 sampai 2007, saat mendaki gunung sering kujumpai medan yang sepi dan jarang kutemui dengan pendaki lainnya. Bahkan sering pula mendaki hanya dengan teman satu rombongan. Dari berangkat sampai puncak lalu kembali lagi ke basecamp tidak ketemu dengan pendaki lainnya. Tapi sekarang, setiap kali mendaki selalu ketemu dengan rombongan lain. Sekarang tidak lagi mengalami suasana gunung yang tanpa pendaki lainnya (hanya bebrapa kali pendakian saja aku tidak berjumpa dengan pendaki lain, Sindoro jalur Bansari dan Lawu jalur Cetho).
Dengan demikian, aku berani menyimpulkan bahwa saat ini, kegiatan mendaki gunung telah menjadi tren. Banyak remaja dan anak-anak muda yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan mendaki. Mereka beramai-ramai ikut merayakan tahun baru di puncak-puncak gunung. Bahkan aku sempat tercengang ketika melihat daftar yang najak sampai 300 hingga 500. Jumlah yang sangat fantastis. Menguntungkan pengelola, member peluang untuk mengais rejeki penduduk lokal dan membuka kesempatan usaha bagi para produser. Tetapi memprihatinkan bagi tanah dan detapak, karena menjadi tidak nyaman untuk dilihat, penuh dengan barang-barang yang tidak bisa terurai.
Yang perlu disayangkan adalah banyak diantara mereka mendaki yang tanpa persiapan dan kemampuan teknis yang cukup. Bahkan ada yang mendaki hanya sekedar untuk hura-hura, membawa bekal logistiknya bukan ala pendaki tetapi gaya orang pesta. Ada pula yang dengan bangganya malah mencoreti batu, mengukir nama di pohon serta meninggalkan sampah.
2.      Membuka Jalur Baru
Sering kubertanya pada pendaki yang tiba-tiba muncul di depanku, pada hal tidak ada persimpangan. Ternyata mereka membuka jalur baru.  Alasan yang mereka sampaikan juga sama yaitu mencari tantangan. Maka mereka berani mencari jalur di luar yang resmi. Seandainya mereka dilengkapi peralatan yang mendukung, buatku sih tidak masalah. Seringkali mereka melakukannya tanpa kemampuan navigasi yang baik. Mereka tidak membawa GPS, tidak juga membawa peta topografi, bahkan yang paling dasarpun juga tidak dibawa, yaitu kompas.
Maka tidak mengherankan bila banyak yang tersesat dan petualangan mereka pun berakhir di dasar jurang atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit bahkan ada yang mati kedinginan di lembah.
Perlu dipahami bahwa membuka jalur baru itu berarti merusak konservasi. Mengganggu kehidupan liar dan ekosistem. Sejauh aku tahu, para pendaki berpengalaman tidak akan melakukannya selain untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
3.      Tidak Mampu Mengepak Barang
Saat mendaki, sering kulihat para pendaki yang membawa barang bawaan tetapi di luar tas kerir. Terlihat berantakan. Tidak rapi. Pating crentel.  Seolah-olah melihat tukang rongsok. Menggelikan saat melihat ada panci digantung ke ransel. Tangan mereka kadang juga menenteng  sleeping bag atau jaket. Dapat disimpulkan kalau mereka tidak tahu cara mengepak barang bawaan. Kelihatannya sederhana, tetapi mengepak barang member efek yang luar biasa. Kalau bagus dan bias mengepak barang, maka barang bawaan yang berat bias terasa ringan. Tetapi kalau tidak mampu mengepak barang maka, bawaan yang ringan akan terasa sangat berat.
Packing atau mengepak barang dalam ransel adalah seni yang harus dikuasai pendaki gunung. Seluruh barang bawaan harus masuk ke dalam ransel. Karena medan sulit, tak boleh ada yang tergantung di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus bebas karena memegang walking stick (tongkat) atau berpegangan pada akar-akar pohon saat dibutuhkan.
Aku juga pernah melihat pendaki yang tas kerirnya tidak ada covernya. Pernah kubertanya, “Packing basah to mas?” “Packing basah itu apa to mas?” Berarti mereka tidak tahu. Dapat diambil kesimpulan kalau mereka asal memasukan barang dalam tasnya. Pakaian di dalam kerir tidak dilapisi plastik. Jika hujan, semua pakaian, jaket dan sleeping menjadi basah. Padahal sangat penting menjaga pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa mengakibatkan hipotermia. Ini juga bisa menjadi penyebab kematian seorang pendaki gunung.
4.      Tidak Memiliki Kemampuan Manajemen Logistik
Pernah kualami beberapa peristiwa yang menyedihkan. Mendaki baru sampai puncak tetap bekal telah habis. Ada pula yang lupa dengan teman pembawa logistik, yang lain nanjak sedangkan yang membawa logistic malah tidak sampai dan ditinggal. Ada juga kejadian pendaki yang ngemil mie instan. Saat kutanya alasannya mereka menjawab ringan, “Gak membawa kompor mas. Mendaki tanpa alat masak, lalu bagaimana mereka bias mendapatkan asupan nutrisi yang standar. Mungkin bekal rotinya banyak. Tetapi tubuh kan butuh asupan minuman atau makanan yang masih hangat. Agar lebih mudah mengatasi dinginnya cuaca.
Sebenarnya, mendaki gunung adalah kegiatan berat. Butuh kalori hingga 4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan aktivitas sehari-hari yang rata-rata hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari. Kebutuhan kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak, coklat dan karbohidrat. Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan malah menyerap air dalam tubuh.
Ada pula pendaki yang enggan makan. Mungkin karena bekal tidak sesuai selera. Kondisi tubuh yang capek juga menurunkan selera makan. Melihat makanan yang tak nikmat, lalu napsu makan pun berkurang. Makan hanya sedikit. Itu pun juga sejauh dipaksa. Padahal tubuh butuh banyak masukan untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat.
Tubuh yang kondisinya lemas dan lapar merupakan faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan, pingsan hingga kematian.
5.      Hipotermia Dikira Kesurupan
Banyak kulihat para pendaki yang najak tanpa ilmu/ bekal pengetahuan yang memadahi yang kulihat mereka sering hanya berbekal semangat dan tanpa perlengkapan memadai. Dapat dikatakan menanjak dengan modal nekat. Geli rasanya, saat ketemu dengan penderita hipotermia, korban yang menggigil dan kehilangan kesadaran, sehingga bicaranya ngelantur. Mereka nyerocos tidak karuan dan sukar diajak komunikasi, lalu dikira kesurupan. Teman-temannya, malah membacakan doa untuk mengusir setan.
Seharusnya, penderita segera ditolong. Berikan langkah pertolongan pertama yaitu mengganti pakaiannya dengan pakaian kering. Masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap hangat. Jika keadaan sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin jangan diberi kopi atau minuman keras.
6.      Mengejar Julukan “Pendaki Tercepat”
Saat ini, banyak pendaki berusia muda. Kakhasan dari anak muda adalah dinamika yang cepat. Mereka identik dengan selalu bergerak dengan cepat. Mereka terlihat tergesa-gesa. Akibatnya, mendaki gunung pun dianggap sama, mendaki seolah lomba lari ke puncak. Mereka malu menjadi yang paling belakang. Rasa superior mereka tidak mau dikatalahkan, sehingga mereka tidak mau dianggap sebagai yang terlemah. Biasanya mereka dapat mencapai puncak dengan lebih singkat/ cepat.
Saat pulang atau turun pola yang sama juga masih sering mereka pakai. Banyak diantara anak muda yang saat turun gunung dengan berlari. Akibat dari tindakan ini, mereka sering kehabisan tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan tidak jarang yang kehilangan arah/ tesesat.
            Beberapa penemuan ini, cukup menarik perhatianku. Semoga kesimpulan ini bukan kesimpulan sembarangan. Pengalaman lah yang membawaku untuk sampai pada titik ini bahwa mendaki gunung bukanlah kegiatan yang sembarangan. Ada persiapan, ada menegemen dan ada kewaspadaan serta kerendahan hati untuk mengandalkan kekuatan Tuhan menjadi tuntutan yang tidak tergantikan agar mendaki gunung sungguh menjadi kegiatgan yang menyenangkan bukan menyusahkan. Berharap dengan mendaki gunung bisa memperoleh kebahagiaan bukan air mata. Semoga.