SOLOHIKING: LAWU VIA SINGOLANGU
JALUR KLASIK (“PENDAKIAN YANG SPIRITUAL”)
Oleh: Heri
Salam Rimba, Salam Petualang, Salam Lestari,
Salam Persahabatan.
Selamat berjumpa dalam sebuah kisah. Kisah
yang sederhana. Hanya sebuah catatan perjalanan. Kali ini, aku akan berbagi
sepenggal jejak dalam torehan waktu pada
setapak gunung Lawu via Singolangu.
Zaman terus merangkak, berbenah dan berubah,
namun pengalaman tetaplah personal. Pengalaman dalam mengais informasi, bagiku
tetap akurat dari taburan kata. Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini orang
lebih mudah merekam dan meninggalkan jejak digital dan visual. Video blog
(vlog) bertaburan tak karuan. Namun belum cukup menggambarkan situasi dan
kondisi di lapangan. Informasi yang disampaikan dalam bentuk rekaman video atau
film, belum mampu memenuhi ruang imajinasi pada situasi yang belum terjamah.
Minimnya informasi tertulis di internet
tentang jalur gunung Lawu via Singolangu (sampai pada pendakianku belum ada
satu pun rekam jejak petualangan dalam sebuah “catatan perjalanan”). Hal inilah
yang mengusik hatiku untuk mencoba membagikan sepercik kisah, pengalaman
singkat dalam menapakinya. Inilah kisahnya, ….
dari pos 5
Gunung Lawu via Singolangu
Gunung Lawu via Singolangu, desa Sarangan, kecamatan
Plaosan, kabupaten Magetan belumlah sebagai jalur resmi. Ijin dari TNGL masih
dalam proses. Kendati demikian, jalur ini merupakan jalur peziarahan yang
paling tua. Menurut informasi jalur ini diyakini sebagai jalan spiritual dari
Raja Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir). Tidak mengherankan bila disepanjang
jalur terdapat banyak petilasan, yang masing-masing memiliki kisah dengan
kearifan lokal yang menyertainya. Jalur ini dulunya pernah ramai untuk umum.
Namun, karena adanya peristiwa na’as menjadikan
jalur ini pelan-pelan ditinggalkan dan menjadi sepi. Jalur ini hanya ramai oleh
para peziarah.
depan pos 3
Kerinduan untuk mengangkat jalur pendakian Singolangu
kembali mengundang untuk segera dijawab. Hingga pada akhirnya, para pemuda
Singolangu beserta warga yang tergabung dalam paguyuban kelompok masyarakat “Sanggar
Margo Lawu” berinisiatif untuk menata jalur peziarah agar semakin layak dan dapat
menjamin keselamatan pendaki (jalur dibikin lebih safety). Setelah jalur dirasa layak untuk dijadikan sebagai jalur
pendakian (untuk umum bukan untuk minat khusus) kemudian jalur ini
disosialisasikan kepada khalayak umum, khusunya bagi komunitas-komunitas pencinta
alam. Sosialisasi itu diadakan dalam sebuah event pendakian masal pada tanggal
4-5 Mei 2019. Usai sosialisasi, pihak pengelola (“Sanggar Margo Lawu”) mendapat banyak masukan dari berbagai kalangan
(terutama dari peserta penmas tersebut). Kemudian, jalur ditata dan
diperbaiki lagi. Setelah lebaran 2019 jalur kembali dibuka untuk umum.
Transportasi
menuju Basecamp Gunung Lawu via Singolangu
Hari ini, Sabtu 10 Agustus 2019, aku berangkat sendirian dari Solo,
Jawa Tengah. Aku memulai perjalanan pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.00. Aku
menggunakan sepeda motor. Dari informasi
yang kukumpulkan mengerucut pada satu titik bahwa lokasi base camp dari arah
Solo adalah setelah base camp pendakian Lawu via Cemoro Sewu. Kendati hari
masih dini, namun kondisi jalanan sudah cukup ramai. Sehingga perjalananku
tidak begitu lancar. Satu jam berkendara membawa aku sampai di sekitaran
tanjakan setelah Tawangmangu. Mataku mulai menyelidik setelah base camp Cemoro
Sewu.
Pikirku jarak antara Cemoro Sewu dan
Singolangu itu berdekatan, ternyata cukup jauh. Menurut sepidometerku menunjuk
perkiraan antara 9-10 km. Sebenarnya cukup mudah untuk menemukan lokasi base
camp pendakian Lawu via Singolangu. Tanda pastinya yaitu setelah melewati
Cemoro Sewu, lurus menuju wisata telaga sarangan. Acuannya adalah swalayan
Alfamart (satu-satunya) yang berada di sebelah kanan jalan. Dari swalayan
tersebut, sekitar 100 m akan melihat pertigaan (di sebelah kiri) yang telah
terpampang banner (semacam baliho,
karena cukup besar) bertuliskan jalur pendakian Lawu via Singolangu.
Keluar dari jalur utama Tawangmangu-Magetan,
menyusuri jalan khas perkampungan di area pegunungan yang tidak begitu luas, menanjak,
banyak simpangan dan ada tikungan tajam. Dari pertigaan jalan besar, hanya
sekitar 1 km. Base camp tepat berada di sebelah kiri jalan.
Apa bila pendaki akan menggunakan transportasi
umum, aku kurang tahu. Tetapi kalau masih bingung silahkan
menghubungi nomor pengelola. Base camp Lawu via Singolangu
082141817515 (a.n. Bayu) atau “Sanggar Margo Lawu” 085257273587 (a.n. Dedi) atau bisa DM dan mengikuti IG @lawuviasingolangu
Simaksi
pendakian Gunung Lawu via Singolangu
- Tiket pendakian = Rp. 15.000/orang
- Parkir sepeda motor = Rp. 5.000/orang
- NB: tarif ini tidak bersifat tetap. Ada kemungkinan akan mengalami perubahan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu
Ringkasan waktu Perjalanan
Mohon maaf, informasi tentang perkiraan waktu tempuh yang
aku tuliskan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Berbeda dengan yang
disampaikan oleh pengelola. Sekali lagi mohon maaf, karena bagiku waktu tempuh
pendakian itu seutuhnya tergantung pada tenaga, stamina, perbekalan, metode,
dan pengalaman pendaki itu sendiri. Kali ini, aku mendaki dengan metode trail
run (namun, saat ini masih lebih popular desebut tik-tok. Kendati itu
sebenarnya sangat berbeda).
- Base camp – Pos 1 (Kerun-Kerun) = 25 menit (jarak tempuh 1,8 km)
- Pos 1 (Kerun-Kerun) – Pos 2 (Banyu Urip) = 30 menit (jarak tempuh 2,7 km)
- Pos 2 (Banyu Urip) – Pos 3 (Hutan Cemara) = 45 menit (jarak tempuh 1,3 km)
- Pos 3 (Hutan Cemara) – Pos 4 (Taman Edelweis) = 45 menit (jarak tempuh 1,1 km)
- Pos 4 (Taman Edelweis) – Pos 5 (Cokro Paningalan) = 30 menit (jarak tempuh 0, 5 km)
- Pos 5 (Cokro Paningalan) – Puncak = 1.30 menit (jarak tempuh 1, 1 km)
- NB: Sumber air ada di Pos 2 (jarak tempuh Pos 2 - Mata Air sekitar 150 m). Sumber air yang kedua ada di Sendang Drajat (kering pada musim kemarau panjang).
dari puncak bukit ilalang
Sekelumit Kisah Pendakianku
Sebut saja aku adalah Jimanto. Seseorang yang bukan
siapa-siapa. Aku hanya bagian dari segelintir manusia yang selalu rindu untuk
bertemu. Perjumpaan dengan liyan, pertemuan dengan segala mahkluk
merupakan penenang jiwaku. Telah lama aku mendengar cerita tentang jalur
pendakian gunung Lawu via Singolangu, namun tak kunjung juga
waktu membantu mengurai penasaranku. Hingga pada hari Sabtu, 10 Agustus 2019
aku memperoleh kesempatan untuk menjawabnya.
Berbekal serpihan informasi yang
berserakan di kepala, kuberanikan untuk berpetualang seorang diri. Ekspedisi
dengan metode trail run. Berlari di medan gunung yang baru pertama kujejak. Pagi
merekah bersama sejuta harapan, bersama kuda besi kumulai petualangan ini. Usai
melewati base camp Cemoro Sewu, mataku baru nanar mencari petunjuk untuk
menentukan arah. Hingga akhirnya kusempatkan untuk beberapa kali bertanya.
Syukurlah sekitar pukul 07.30 aku telah berada di base camp.
gerbang pendakian singolangu
Obrolan demi obrolan
mengalir seolah antara aku dan pengurus base camp telah lama bersua. Pada hal
ini baru perjumpaan pertama. Kupaksa untuk menghentikan obrolan karena waktu
telah berdiri kokoh di titik 08.00. Berarti ini saatnya untuk melakukan
pendakian. Simaksi dengan ongkos Rp 15.000 serta parkir Rp 5.000 kuselesaikan.
Hari ini, hanya ada satu rombongan sebanyak 6 anggota. Mereka berasal dari
Purwodadi (Grobogan) yang telah memulai pendakian semenjak pukul 07.00. Selama
satu minggu ini, baru rombongan yang di depanku yang nanjak. Mengetahui bahwa
ada teman lain di petualangan ini, aku pun bergairah untuk menikmatinya dengan
segera.
rute jalur
a)
Basecamp Menuju Pos 1
(Kerun-Kerun)
Antara base camp dan gerbang
pendakian tidaklah berjarak. Karena memang berdekatan. Usai melewati gerbang
pendakian, jalan besar berupa batu yang tertata. Lurus melewati perkebunan yang
bersanding dengan mata air yang di bawahnya ada kolam ikan. Sekitar seratus
meter meninggalkan gerbang, jalur pendakian masih tetap lebar dengan dinaungi perkebunan
bambu yang begitu sejuk dan rindang-menyegarkan. Ujung dari perkebunan bambu
ini menggiring untuk bertemu dengan pertigaan pertama, arah jalur harus memilih
yang kanan. Berjalan terus lurus melewati jembatan pendek, lalu bertemu dengan
pertigaan kedua, harus memilih kiri.
kebun bambu telah menyambut
Dari pertigaan kedua ini lah,
jalur mulai menanjak syahdu. Situasi setapak yang menanjak landai tidak begitu
terasa karena bernaung di bawah lebat hutan pinus. Jalur antara base camp-pos 1
banyak sekali percabangan. Banyak setapak yang akrab digunakan warga (mungkin
sebagai jalur perambah hutan atau ada perkebunan di sisi yang lainnya). Kendati
banyak persimpangan, tidak perlu khawatir, karena pengelola telah membuatkan
papan petunjuk yang mudah dilihat dan tentu terpercaya.
pertigaan pertama, pilih lurus (kanan)
pertigaan ke 2 belok kiri
Usai menapaki tanjakan manja,
medan akan melandai. Pada titik ini, di bawah naungan pohon pinus yang lebat
sekaligus digunakan untuk perkebunan (tanaman tumpang sari). Setapak melandai
sampai di bumper “Kiteran Camp Ground”. Terlihat bahwa tempatnya sudah ditata
sedemikian bagusnya. Sehingga bila mendirikan tenda maka akan berlantai datar.
Sudah ada kamar mandi (MCK) permanen (berjumlah 4). Yang jadi menu utama dari bumper ini
adalah pemandangan yang menatap keindahan perkebunan di sekitar Telaga Sarangan
juga keindahan kota Magetan (terutama views di malam hari).
camping ground kiteran
Jalur yang dominan landai
mendorongku untuk berlari-lari ringan. Sekitar 500 m dari bumper, aku berjumpa
dengan rombongan pendaki yang berjumlah 6. Ternyata mereka belum sampai pos 1.
Sedikit basa-basi, tegur sapa, aku pun berpamitan meninggalkan mereka. Sampai
di titik ini, aku telah bertemu dengan beberapa warga, mereka menyapa akrab,
khas sapaan penduduk desa yang tulus.
sebelum pos 1, ada banyak persimpangan. tp tenang, ada penunjuk arah
Aku terus melaju, hingga
bertemu dengan tanjakan landai yang membelah jalur menjadi 2. Ternyata ini
menjadi penanda bahwa pos 1 sudah di depan mata. Pos 1 Kerun-Kerun merupakan
sebuah area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Bisa sampai 5 tenda dum.
Selternya juga cukup besar, bisa untuk berteduh 40 orang. Aku tidak berhenti
lama di pos ini, hanya mengatur nafas, kemudian bergerak lagi.
pos 1 kerun-kerun
b)
Pos 1 (Kerun-Kerun) Menuju Pos
2 (Banyu Urip)
Selepas pos 1, keadaan jalur
masih sama, yaitu landai. Hutan mulai variatif. Ada banyak jenis tanaman,
pepohonan dan tumbuhan. Intinya, vegetasi yang
ada tidak hanya dominan pohon pinus. Sekitar 500 m meninggalkan pos 1, jalur
akan menggiring kemampuan untuk menyeberangi sungai kecil (saat ini sedang
kering. Kalo musim hujan akan ada air yang mengalir). Karena vegetasi lebih
variatif, maka keadaan setapak tentunya semakin rindang. Seolah sinar matahari
tidak mampu menembus celah dedaunan dan pepohonan. Sekitar 1 km selepas pos 1,
jalur akan menanjak tajam kemudian turun landai agak panjang dan akan berakhir
di jembatan.
Setelah menyeberangi jembatan,
keadaan setapak masih sama, hutan lebat, padat dan rindang, serta landai.
Sekitar 500 m dari jembatan, pendaki akan bertemu dengan salah satu “Petilasan”
Prabu Brawijaya V berupa batu (Watu Lapak)
yang saat ini masih dipakai untuk ritual-spiritual. Aku hanya mengabadikannya,
berdoa sejenak, lanjut lagi. Setapak masih datar. Kemudian akan bertemu
tanjakan yang lumayan tajam. Ada beberapa alternatif jalur (lama dan baru).
Jalur baru cenderung dibuat landai, berkelok dan panjang. Sedangkan jalur lama,
sempit dan terjal-menanjak. Selepas jembatan hampir tidak ada persimpangan
jalan. Kalau pun ada, itu hanya persimpangan jalur lama dan baru, yang akan
bermuara pada titik yang sama.
watu lapak
Bila sudah bertemu
tanjakan-manja berarti akan sampai di pos 2. Benarlah yang kuperkirakan. Tepat
pukul 09. 00, aku tiba di Pos 2 “Banyu Urip”. Di pos ini terdapat selter yang
cukup longgar, bisa memuat sekitar 30 orang. Dari pos ini juga merupakan
satu-satunya pos yang bisa untuk mengambil air (selain di Sendang Derajat).
Walau harus turun sekitar 150 m (PP = 300 m). Di pos 2 ini terdpat beberapa
titik untuk mendirikan tenda. Bila ditotal bisa memuat sekitar 7 tenda dum. Di
pos ini, aku juga tidak berhenti lama. Aku hanya mengatur nafas dan lanjut.
pos 2
c)
Pos 2 (Banyu Urip) Menuju Pos 3
(Hutan Cemara)
Dari pos 2 ini, ada 2
alternatif jalur. Bila langsung melewati punggungan bukit dan setapaknya kecil
bahkan cenderung tidak terlihat, itu adalah jalur lama. Jalur ini akan bertemu
di beberapa titik dengan jalur baru yang lebih lebar dan landai. Jalur ini akan
kembali utuh semenjak bertemu dengan petilasan (tidak ada nama/ keterangan. Aku
tidak melihat nama dari petilasan ini). Terlihat petilasan ini sepintas mirip
tugu batu atau lingga. Di dekat petilasan benda bersejarah ini, terlihat ada persimpangan.
Aku melihat jalur baru yang bercabang/ bertemu dengan jalur lama ditutup dan
pendaki diarahkan lewat jalur lama/ peziarah. Kenapa hal itu dilakukan atau ada
apa di balik jalur yang ditutup itu, aku tidak tahu. Bagiku jarak tempuh yang
kembali menghubungkan titik pertemuan jalur yang ditutup itu dengan jalur baru
cukup jauh.
petilasan tak bernama
Perjalanan dari pos 2 menuju
pos 3 ini, situasi keadaan hutannya kian rapat dan sangat padat. Betul-betul
merasakan sensasi hutan belantara. Mulai dari pos 2 tanjakan demi tanjakan
terus berganti variasi kemiringannya. Ada yang curam tetapi ada juga yang
landau. Perjalanan pendakiain yang beratapkan lebat dedaunan hutan mulai
membuka diri kendati masih rapat adalah setelah melewati “Cemara Lawang”.
Sebuah setapak yang melewati semacam pohon cemara-kembar. Pohon yang cukup
besar dengan suasanan mistis yang sangat kuat. Menurut info, di area ini
merupakan gerbang menuju dunia gaib.
cemoro lawang
Usai melewati gerbang cemara,
setapak mulai melandai hingga bertemu dengan jalur yang bercabang, bertuliskan
“Jalur Brawijaya”. Ada kesan, jalur lama mau sengaja dimatikan. Setelah tulisan
itu, setapak dibuat lebar dan tanjakan juga cukup bersahabat. Sampai di sini,
aku mulai bertanya-tanya, “Mana ini pos 3?” Dalam dunia pendakian bila sang
petualang mulai bertanya seperti ini, artinya ia sedang mengalami kelelahan dan
stress.
suasana hutan yg masih asri
jalur baru, jalur Brawijaya
Tanjakan tidak juga melandai.
Tenaga dan raga kian koyak. Namun, semangatku untuk menyelesaikan misi masih
berkobar. Dalam lelahku, mataku kembali berbinar saat melihat ada selter di
kejahuan. Artinya, sebentar lagi akan sampai di pos 3. Dan benarlah demikian.
Keadaan yang menanandai bahwa akan sampai di pos 3 adalah setapak yang di
kanan-kiri jalur ditumbuhi ilalang dan tanjakan cenderung landai bahkan datar.
jalan mulai landai n ada ilalangnya
Pos 3 Hutan Cemara memiliki
selter yang lebih kecil dari pos-pos sebelumnya. Kendati demikian, mungkin
masih bisa menampung sekitar 15-20 orang. Di sekitaran pos medannya cukup
landai dan sudah disiapkan (dirancang) sebagai camping ground. Dari
pengamatanku, di sini, kira-kira dapat dipergunakan untuk camp secara nyaman. Ada
beberapa tempat yang disiapkan untuk mendirikan tenda/ selter secara aman dan
nyaman. Dari pos ini views area bawah juga sudah terlihat sangat bagus dan indah.
Kalaupun pendkaian hanya sampai di pos ini, tidak usah kecewa atau timbul sesal
hati. Karena dari tempat ini sudah mampu untuk menikmati keindahan “Negeri Atas
Awan”.
selter pos 3
Aku tiba di pos 3 tepat pukul
10.00. Lumayan cepat. Istirahat 15 menit, sambil menikmati perbekalan. Kurasa
tenagaku mulai memulih. Aku pun kembali mencoba untuk meneruskan petualangan.
Jalan lagi. Tentu, tertatih-tatih lagi.
views dari pos 3 (di dpn selter)
d)
Pos 3 (Hutan Cemara) Menuju Pos
4 (Taman Edelweis)
Meninggalkan pos 3 jalur kian
sadis. Tanjakan dahsyat siap menyambut dan menemani. Tidak ada ampun. Bahkan di
titik awal “Tanjakan Penggik” pun telah diberi peringatan, “Apabila ragu-ragu
lebih baik kembali”. Sedangkan di sisi lain juga di plakat yang sama, memberi
peringatan dengan nada bercanda, “Gunakan gigi satu!”. Awalnya ketika aku
membaca tulisan-tulisan tersebut, spontan aku tertawa dan tersenyum. Namun saat
melangkahkan kaki melewati urutan anak tangga darurat yang bikin ngilu lutut.
Bergetarrr!
peringatan ini, sekitar 200 m setelah pos 3
Pihak pengelola cukup bijak,
karena di beberapa titik telah dipersiapkan tempat untuk camp. Di samping
setapak yang menanjak hebat disediakan area yang mungkin hanya bisa menampung 1
atau 2 tenda. Sehingga pendaki tidak usah khawatir bila tidak kuat. Langsung
saja buka lapak di pinggir tanjakan.
sebidang tanah datar di samping tanjakan. ada bbrp
Tidak perlu terlalu merisaukan
tanjakan karena musim kemarau di jalur ini merupakan surga. Sepanjang jalur
dihiasi bunga edelweiss. Aromanya yang begitu harum mampu membangkitkan gelora
jiwa untuk terus berkobar. Maka tidak mengherankan bila Pos 4 diberi nama Taman
Edelweis. Menjelang sampai di pos 4, tanjakan mulai melandai. Setapak juga
tidak lagi berada di punggungan bukit yang kanan-kirinya berupa jurang.
tantangan d dpn
surga d belakang
Pos 4 ini berupa sebidang tanah
datar yang dapat menampung sekitar 5-6 tenda. Di sekitar pos 4 ini tanaman
edelweiss seolah-olah memang dirancang semesta. Aromanya bikin bentah. Sekitar
pukul 11.20 aku sampai di pos ini. Setelah disambut dengan tanjakan super
ganas, lututku kian ngilu. Seolah-olah tenagaku sudah habis dan jadi ambyar
berantakan. Untuk mengembalikan tenaga kubuka bekal dan kunikmati kue coklat. 10
menit aku rasa cukup. Saatnya melanjutkan petualangan.
e)
Pos 4 (Taman Edelweis) Menuju
Pos 5 (Cokro Paningalan)
Meninggalkan Pos 4 jalur mulai
bersahabat. Cukup variatif, ada tanjakan yang tidak begitu tajam, ada pula
medan datar. Jalur ini juga menyuguhkan panorama yang beragam. Ada “Bukit
Ilalang” suatu tempat yang melandai penuh dengan rerumputan, seperti sabana
tetapi tidak begitu luas. Juga akan melewati “Bukit Family”, sebidang tanah
datar yang dipenuhi rerumputan hijau. Sangat cocok buat camping ceria. Dari
lokasi ini, pemandangan lepas ke penjuru bawah telah dapat dinikmati. Gugusan
bangunan rumah-rumah terlihat dikejahuan, menandakan bila malam hari pasti akan
menjadi bukit bintang. Di bawah ada taburan lampu-lampu kota sedangkan di atas
cakrawala membentang taburan berjuta bintang menemani.
bukit ilalang
bukit family
Tenagaku kian koyak. Sepanjang
jalur “Tanjakan Penggik” aku telah dihadapkan pada badai yang tiada henti.
Badanku ngedrop sampai kedinginan. Untungnya masih sesekali dilindungi oleh
semak-perdu yang rimbun. Karena bagian bawah kakiku hanya berbalut legging maka
dingin itu tembus sampai ke tulang. Tidak mengherankan bila akhirnya aku harus
terkena kram kaki. Bagiku bila kaki kram adalah pantangan untuk berhenti.
Petualangan harus dilanjutkan walaupun kian pelan dan tertatih.
pos 5 dikerumuni edelweis
Perjuanganku membuahkan hasil.
Di sebidang tanah yang datar, kubaca papan bertuliskan Pos 5 “Cokro
Paninggalan”. Hatiku lega. Bangga. Di ujung bukit kulihat ada beberapa tenda
dum yang berjajar memamerkan warna-warninya. Seolah mereka melambai-mengundang
untuk segera bergegas bahwa di titik itu lah “Sendang Drajat” berada.
di pos 5
Kakiku yang kram telah pulih,
tenagaku pun telah kembali. Cuaca pun membaik, badai berhenti dan berganti
dengan semilir angin sepoi-sepoi manja. Semangat membara untuk segera
menuntaskan misi bergelora. Namun, ketika kulirik arlojiku, jarum jam telah
menunjuk angka 12.00. ini berarti aku harus menghentikan petualangan. Tidak ada
lagi langkah untuk menanjak yang diteruskan. Sudah menjadi prinsipku, bila
menggunakan metode trail run untuk mendaki gunung,”waktu adalah acuannya”.
Titik tujuku adalah waktu, yaitu pukul 12.00 (Artinya, aku harus finis. Selesai).
d pos 5
Aku diambang kebimbangan. Ada pertarungan
ego, antara ingin menyelesaikan misi tetapi terbentur juga dengan prinsip.
Menimbang tenaga dan kemampuan fisik serta mental aku masih punya, tetapi waktu
tidak mungkin aku tawar. Tidak realistis bila aku terus melangkah karena akan
tiba di rumah jauh melebihi waktu target. Ketepatan waktu pulang adalah
kelegaan bagi yang menunggu di rumah. Sedangkan kemoloran atau pulang tidak
tepat waktu akan membawa kegelisahan, kecemasan serta kekhawatiran bagi orang
yang mencinta. Akhirnya, dengan tegas kuputuskan untuk menyudahi petualangan
ini. Masih ada hari esok untuk melunasinya.
dr pos 5
f)
Pos 5 (Cokro Paningalan) Menuju
Puncak Lawu Hargo Dumilah
Demikianlah, petualanganku
dalam menapaki jalur Lawu via Singolangu. Memang belum tuntas karena baru
sampai Pos 5. Sebenarnya, menurut keterangan dan juga berdasarkan gambar dalam
peta, jarak dari Pos 5 menuju puncak tinggal 1,1 Km. Tidak jauh lagi.
Sepelan-pelannya orang mendaki, aku pastikan maksimal hanya tinggal 1,5 jam.
Namun, prinsipku tidak bisa ditawar lagi. Aku harus kembali.
dr pos 5
g)
Pos 5 (Cokro Paningalan) Menuju
Base Camp
Dari Pos 5 ini, pemandangannya
sungguh luar biasa. Bentangan semesta seolah menyambut dan ingin memeluk. Garis
cakrawala yang memisahkan biru langit dengan hijau daratan membentang sejauh
mata memandang. Di sekitar selter pos 5 ini juga bertaburan dan bertebaran
aneka bunga edelweiss. Ada yang berbunga warna merah (tepatnya pink), kuning
berpadu hitam, juga ada yang berwarna putih kekuningan. Dari pos ini seolah
berada di tengah hamparan taman edelweiss.
di belakang beda dg yg di dpn
30 menit kuhabiskan waktuku di
pos ini. Kunikmati lagi perbekalanku dan kusisakan sedikit untuk berjaga-jaga.
Tenagaku yang telah utuh dan lama beristirahat serta semangat yang berkobar,
kuyakinkan dan kubulatkan tekat untuk menembus perjalanan turun maksimal 2 jam.
Pukul 14.30 maksimal aku harus
tiba di base camp, istirahat sebentar dan langsung pulang ke Solo. Karena pukul
16.00, aku ada acara lain. Di rumah aku telah ditunggu dengan cinta oleh
belahan jiwaku.
Maka, tepat pukul 12.30 kumulai
perjalanan turun ini. Metode down hill dalam dunia lari pun aku gunakan.
Melesat aku seolah bagai cetah yang menyeruak belukar dengan gagah dan percaya
diri. Dalam sekejab pos 4 terlewati. Meluncur terus menuruni “Tanjakan
Penggik”. Tidak mengalami kesulitan berarti aku telah sampai di Pos 3. Di pos
ini, aku kembali bertemu dengan rombongan Purwodadi.
di atas pos 4
Mereka mengais informasi.
Terlihat di wajah masing-masing kelelahan yang kian mendera. Mendengar keluhan
mereka, keyakinanku kian pasti. Mereka bercerita tidak akan pulang di jalur
yang sama. Mereka akan melewati Cemoro Sewu. Mereka bilang terlalu berat jalur
ini. Berat karena hutan belantara yang tidak mampu ditembus sinar matahari.
Bayang-bayang dunia ghaib serta mistis. Aku berpikir, “Mungkin di antara mereka
ada yang punya indra ke 6”. Ah, sudahlah. Kutetapkan tegar hati, tegar pikir,
dan tegar mentalku.
sepanjang jalur pos 3-5
Sekitar 10 menit aku ngobrol
dengan mereka. Aku anggap sekalian istirahat. Kemudian aku berpamitan untuk
meneruskan langkah. Kembali kujejakkan langkah, melompat, menerjang lincah
seperti cetah. Menembus belantara hutan, terus bergerak, berlari. Hingga
sampailah aku di Pos 2, kulirik jam tepat pukul 13.30. Kuputuskan untuk
menghela nafas barang sejenak, sambil meluruskan kaki, mereguk air perbekalan.
10 menit berlalu, kembali aku
berlari, menari di antara semak, hutan yang membentang. Medan dari pos 2 sampai
menjelang base camp memang cenderung landai, sangat cocok untuk berlarian. Pos
1 telah terlewati, aku tidak berhenti terus bergerak, berlari, melompat,
menerjang. Hingga tidak terasa bila telah tiba di base camp. Kulihat arlojiku,
waktu tepat berada di titik 14.20. Sesuai target. Aku disambut penuh keheranan
oleh para pengelola base camp. Karena memang dirasa sangat cepat. Kami pun
segera terlibat dalam obrolan sederhana. Hal ini kumanfaatkan sambil istirahat barang
sebentar.
hutannya asik
Kusadahi obrolan dan kembali
aku berkemas. Persiapan untuk berganti medan petualangan. Kini, aku berada di
atas punggung kuda besi. Saatnya untuk menari di atas jalanan antara Telaga
Sarangan-Solo. Tepat pukul 16.00, kubuka pagar rumah dan senyum ceria isteriku
menyambut ceria. Ia siap mendengar kisah petualanganku hari ini.
Akhirnya,
Pada akhirnya, setiap petualangan
harus meninggalkan makna. Inti dari adventure adalah “adanya pembelajaran” dari
setiap kisah yang ditorehkan. Medan petualangan yaitu bisa setapak, aspal,
gunung, hutan, pantai, laut maupun gua hanyalah sebuah sarana. Medan
petualangan hanyalah sebuah cermin. Kaca
Benggala kehindupan. Menapaki medan petualangan di gunung Lawu via
Singolangu sesungguhnya adalah cara menapaki diri. Lorong-lorong setapak,
menerobos hutan, semak-belukar, perdu, pepohonan, bunga-kembang gunung,
menyeberangi sungai, dan selokan di gunugn Lawu ini, semestinya memantulkan
realita diri yang bersangkutan.
Aku pun merasa dengan petualangan ini
terbantu untuk semakin mengenal diri, mengolahnya dan memperbaikinya. Dalam
dunia pendakian, aku termasuk kukuh untuk menggapai titik tertinggi dalam
setiap pendakian. Kali ini aku harus meluruhkan segenap egoku, karena aku
dimampukan untuk memikirkan orang lain. Aku hidup tidak hanya untuk diriku
saja. Tetapi aku hidup bersama dan membangun relasi yang sehat dengan sesama.
Oleh karena itu, aku beranikan memangkas hasratku demi orang lain.
Terimakasih Lawu via Singolangu,
bersamamu kudewasakan diriku. Terimaksih untuk semua orang yang aku jumpa dan
untuk semua orang yang membantu kelancaran dalam petualangan ini. Terimaksih
semesta, atas naunganmu dan pembelajaranmu. Terimakasih untuk isteriku yang
masih memberi ruang kepadaku sehingga aku masih bisa bercengkerama dengan alam.
Syukur Tuhan atas segala berkat dan perlindunganMu. Semoga aku masih bisa
mengulang petualangan ini. Amin.
Salut untuk solohiking nya mas bro...kebetulan saya juga menyukai petualangan seorang diri...
BalasHapusmakasih. smoga bisa jumpa dlm satu setapak, hehe
Hapusada file gpx nya gk om ????
BalasHapusmaaf, blom bisa rekam trek perjalanan (alatnya blom punya, haha)
Hapushaloo mas. terimakasih informasinya. memang masih minim ya tentang info singolangu. btw, ada file gpx nya ga mas? boleh di share kalau berkenan. terimakasih.
BalasHapushehe, maaf, blom bisa ngrekam trek perjalanan (alatnya jg blom punya, haha)
Hapusamin. nuwun atas dukungan n doanya.
BalasHapusTrimakasih infonya mas... Pengen nyoba
BalasHapusmonggo. klo sdh dibuka, langsung eksekusi saja. dijamin mantap
HapusMohon info tranportasi dari solo ke singolangu ? Saya dari surabaya. Sebaiknya lewat mana ? Trims
BalasHapuscoba hubungi nomor pengelola yg saya sertakan di artikel
Hapus