TRAIL RUN:
“Sebuah
Alternatif Pendakian untuk Mengurangi Sampah di Gunung”
Oleh:
Heri
sabana 1 merbabu
Salam jumpa sobat petualang. Salam
lestari. Salam persahabatan.
Kali ini, aku akan berbagi
pengalaman dalam menekuni metode pendakian “Trail
Run”. Aku merupakan pendaki yang mengalami hijrah dari satu “cara”
pendakian ke “cara” yang lainnya. Aku menyebut diri sebagai pendaki karena yang
aku pahami ketika seseorang sering mendaki gunung bisa disebut sebagai pendaki
(pendaki yang aku maksudkan mungkin tidak sama dengan gambaran atau definisi
dari para penggiat alam bebas). Aku pribadi juga belum memiliki segunung
pengalaman. Hanya beberapa kali pernah mendaki gunung di sekitar Jawa dan yang
paling sering aku daki adalah 3 gunung yang dekat dengan rumahku, yaitu
Merbabu, Lawu, dan Merapi.
pasar bubrah, merapi
Di sini, aku tidak ada maksud untuk
menggurui, atau merasa yang paling tahu. Tidak. Sama sekali tidak ada maksud
demikian, aku hanya berbagi pengalaman. Pertama kali aku mendaki gunung di
tahun 2001. Sampai hari ini, di tahun 2019 aku masih menekuninya. Aku
bersyukur, karena sampai hari ini masih bisa menyempatkan diri untuk
menuntaskan rinduku pada sejuk dan segar udara gunung. Minimal dalam setahun
aku mendaki 2 kali. Tidak sering, tetapi layak untuk disyukuri, “Masih bisa
mendaki”. Selama 19 tahun, aku banyak mengalami perjumpaan dengan berbagai
aliran dan metode pendakian. Dari orang-orang yang kujumpa itulah ilmu itu
menular dalam diriku.
puncak sindoro via kledung
Secara pribadi, aku memang senang
mencoba sesuatu yang baru. Bila aku melihat ada metode “yang beda” dan ada
kesempatan menggali informasi tentang
hal tersebut maka aku pun berkeinginan mencobanya. Khusus dalam dunia pendakian
gunung, biasanya yang aku inginkan, aku coba praktekan.
gunung kukusan, merbabu
Pertama kali mendaki gunung masih
terhitung sebagai pendaki “Nekat”.
Modalnya adalah tekat, karena pada tahun-tahun itu perlengkapan gunung
merupakan sesuatu yang mewah (sekaligus langka). Awal memasuki dunia pendakian,
aku tidak memiliki perlengkapan yang standar. Berhubung yang mengajakku telah
memiliki “jam terbang” tinggi dalam dunia pendakian, maka aku pun merasa “Yakin-Aman”.
Temanku ini adalah asli anak lereng gunung. Ia tinggal di tengah-tengah (daerah)
Merbabu-Merapi. Ia dari kecil terbiasa ikut leluhurnya untuk berziarah ke
gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah. Temanku ini bisa dibilang sebagai
peziarah gunung (tampilannya juga tidak seperti pendaki pada umumnya).
pos iv lawu via kandang
Ah, pada waktu itu memang perlengkapan masih sangat sederhana.
Bayangkan, mantol (jas hujan bat-man/
poncho) menjadi perlengkapan yang multi
fungsi. Mantol merangkap sebagai alas tidur/ matras, jadi selimut, dan jadi
pelindung/ selter darurat. Sarung adalah alat wajib karena memang serba guna. Logistik
yang tidak boleh tertinggal adalah gula Jawa. Awal-awal memasuki dunia
pendakian, ketemu pendaki lain adalah sesuatu yang istimewa. Bertemu pendaki
lain menjadi saat yang paling melegakan (karena memang langka).
puncak lawu
Dari satu pendakian ke pendakian
berikutnya menghantarku pada satu keyakinan bahwa aku memang menyukai kegiatan
ini. Ada damai yang kurasa. Ada bahagia yang tidak bisa kujelaskan. Ada
kepenuhan bagi dahagia jiwaku. Ada semangat yang berkobar kendati raga telah
lelah dihajar tanjakan. Bagiku mendaki gunung adalah saat menemukan oasis
hidup.
watu lumpang merbabu
Merasa bahwa mendaki gunung adalah salah
satu caraku mengurai gundah hidup. Maka, aku pun secara bertahap mencoba
membeli dan memiliki perlengkapan guna menopang kegiatan ini. Satu demi satu
alat-alat utama itu terpenuhi. Seingatku di pertengahan tahun 2005, saat mau
mendaki gunung Sindoro untuk pertama kalinya peralatan dasarku terpenuhi. Ada
kebanggaan yang luar biasa. Menabung dan membeli secara bertahap hingga semua
bisa kumiliki, dari tas carrier, jaket, tenda, sleeping bag, kompor, nesting, matras, sandal gunung (belum mampu
membeli sepatu), dan perlengkapan yang kecil-kecil lainnya.
bkn porter raung
Tahun 2005 aku mengalami hijrah untuk pertama
kali dari “pendaki darurat” menjadi “pendaki konvensional”. Pendaki yang siap
tempur. Dengan perlengkapan mandiri yang memenuhi standard pendakian (untuk
gunung-gunung di Jawa) menggiringku untuk mulai berani menjajaki pendakian
ekspedisi. Artinya, untuk pertama kalinya aku beserta teman rombongan memasuki
area tersebut. Satu rombongan belum memiliki atau pernah melewati jalur gunung
yang akan kami daki. Berbekal pengalamaan di pendakian sebelum-sebelumnya serta
ditopang dengan peralatan yang memenuhi syarat menghantarku menjelajahi
setapak-setapak gunung secara ekspedisi.
bkn porter rinjani
Waktu berjalan, menemaniku untuk
mengalami perjumpaan demi perjumpaan. Dinamika hidup pun ikut bergerak, berganti
dan berubah. Dunia kerja yang kugeluti menghantarku untuk berlaku cerdas. Aku
harus bisa memainkan waktu agar hobiku tetap jalan. Keterbatasan waktu tidak
menjadikanku berhenti dan menyerah untuk tidak “nanjak”. Sabtu usai kerja,
langsung ke base camp untuk melakukan pendakian. Pernah suatu kali, aku mendaki
lengkap dengan seperangkat alat tempur. Sampai atas sudah pagi. Berat-berat
membawa properti, yang pada akhirnya tidak terpakai (seutuhnya). Siap bermalam,
membawa tenda, sampai di penghujung gunung sudah benderang. Tenda tidak jadi
digelar. Situasi seperti ini, menggiringku untuk mencoba mendaki dengan model
“tik-tok”.
puncak hargo dumilah
Aliran baru yang kugeluti adalah
“tik-tok”, sebuah metode pendakian yang hanya membawa perlengkapan dasar, tetap
mengutamakan safety. Tetapi tidak memiliki tujuan untuk menginap (tidak membawa
tenda). Dengan metode ini, usai kerja aku langsung ke base camp, istirahat
dulu, bahkan tidur dulu. Tengah malam baru memulai pendakian. Sehingga tepat
saat menjelang sun rise, aku sudah
bertengger di puncak. Model pendakian ‘Tik-tokan” yang aku tekuni lebih cocok
untuk solo-hiking. Ritme disesuaikan dengan kemampuan personal. Target waktu
hampir selalu akurat.
watu lumpang merbabu
Model pendakian tiktok yang kugeluti
menghantarku pada pengalaman yang berbeda. Ringan di pundak, tetap safety
tetapi tidak bisa menginap. Keprihatinan ini menggiringku untuk mencoba aliran
pendakian yang lainnya, yaitu UL (ultralight).
UL merupakan salah satu metode pendakian yang memiliki tiga prinsip, yaitu:
safety, nyaman, dan ringan. Saat nanjak bisa ngacir, ringan dan tetap safety.
Segala perlengkapan “siap tempur” terbawa sehingga bisa cepat tetapi juga bisa
santai untuk menikmati alam dalam selter
di tengah alam. Metode tiktok dan UL lebih bersifat personal. Jadi, bisa
berangkat rombongan, tetapi perlengkapan digunakan secara perseorangan. Maka,
akupun lebih sering mendaki sendiri. Mau berangkat siang, atau malam atau pun
pagi, aku mendaki seorang diri (solo hiking).
pasar bubrah, merapi
Sebagai pendaki yang sering ber-solo hiking, aku jadi lebih longgar untuk
bergaul dan bergabung dengan sesama pendaki lainnya. Aku menjadi lebih terbuka
untuk memulai komunikasi/ pembicaraan dengan “liyan”. Pernah suatu kali, ketika
aku nanjak Merbabu (juga sendirian), ketemu rombongan yang menurutku “gila”.
Mereka nanjak hanya bermodalkan perlengkapan yang terbatas. Kulihat mereka
hanya menggunakan tas kecil, bahkan ada yg hanya memakai tas pinggang, kecil
pula. Yang semakin membuatku takjub adalah mereka berlari. Nanjak gunung tetapi
dengan berlari. Ketika ada kesempatan aku pun menggali informasi tentang metode
pendakian yang mereka gunakan. Ternyata mereka menggunakan metode trail run atau “kebut gunung” atau bisa
juga disebut “pelari gunung’.
menuju sabana 1 merbabu
Salah satu dari rombongan itu bercerita
bahwa untuk bisa menggunakan metode ini dibutuhkan beberapa syarat. Pertama, mental. Artinya punya kemampuan
untuk mengatasi segala kemungkinan negatif dari kegiatan ini. Punya kemampuan
orientasi medan yang mumpuni. Juga memiliki keterampilan untuk bertahan hidup
(survival). Semua itu bisa didapat dari “jam terbang”. Semakin seseorang sering
melakukan kegiatan di alam, ia akan semakin bisa menyatu dengannya. Kedua, adalah kekuatan dan daya tahan
fisik. Bila seseorang mampu berlari di daerah bawah sejauh 5 km tanpa berhenti,
ia sudah bisa mencoba metode trail run.
puncak swanting, merbabu
Dari informasi inilah, kemudian aku pun
tertantang untuk mencobanya. Pertama
yang kulakukan adalah melatih fisik dan daya tahan. Dari kemampuan lari sejauh
3 km, kemudian naik tingkat menjadi 3,5 km, terus naik sampai pada kemampuan 7
km. Latar belakang diriku sebagai pendaki konvensional yang telah memiliki
pengalaman menari di atas setapak-setapak gunung mendorongku untuk berani
mencoba metode pendakian trail run.
Ternyata, mencari teman yang memiliki waktu dan keinginan yang sama sangat lah
sulit. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merambah hobi baru ini secara
perseorangan. Kurang lebih sampai saat ini, aku sudah mencoba metode trail run sebanyak 15 kali. Tanpa
bimbingan dari mereka yang berpengalaman di bidan trail run, aku belajar secara otodidak. Informasi terus aku perkaya
dari sumber belajar di internet. Jam terbang (pengalaman pribadi) semakin
menyempurnakannya. Kendati demikian aku tetaplah masih amatir dalam dunia trail run. Aku terus harus belajar agar
menjadi semakin ahli dan terampil.
Seingatku kurang lebih sekitar 2 tahun,
aku menggeluti metode pendakian gunung dengan cara trail run. Kendati demikian, aku dlm beberapa kesempatan tetap
mendaki dengan metode yang lain ( = konvensional, tik-tok, maupun UL). Dari
pengalaman pribadi, kuberanikan diriku untuk mengambil kesimpulan bahwa metode trail run dalam dunia pendakian merupakan
metode yang paling sedikit membawa perlengkapan. Maka dengan sendirinya sisa
perbekalan yang tidak terpakai juga yang sedikit.
seluruh bekalku ada diranselku
Dewasa, ini dunia pendakian merupakan
kegiatan yang baru booming. Mendaki gunung
seolah-olah sudah menjadi bagian dari life
style remaja pada umumnya. Gaya hidup dari kalangan anak muda salah satunya
adalah “mendaki gunung”. Seolah-olah, bila anak muda belum pernah mendaki belum
layak/ sah disebut sebagai anak muda. Sayangnya, geliat untuk menekuni kegiatan
ini tidak diimbangi dengan kesadaran akan p[entingnya menjaga lingkungan
gunung. Hampir di setiap jalur pendakian yang kulewati, sampah gunung begitu
banyaknya. Kendati dari pihak pengelola base camp ataupun relawan yang
melakukan operasi bersih gunung, tetapi sampah gunung masih juga menumpuk.
pos iv lawu via kandang
Oleh karena itu mendaki dengan metode trail run bisa sebagai salah satu solusi untuk mengurangi jumlah
sampah di gunung. Aku berpikir, bila ada persiapan yang matang dalam banyak
hal, semua orang bisa menggunakan metode trail
run.
Bagi rekan petualang, dan sobat pendaki
yang masih belum memahami kegiatan ini. Pada kesempatan ini, aku mau berbagi tentang
metode ini.
Trail run atau mountain running merupakan olahraga yang terdiri dari running dan hiking. Kegiatan ini berbeda dari lari di jalan aspal dan hiking
biasa. Trail run dapat dijelaskan
sebagai kegiatan olah raga yang menggabungkan kegiatan “lari” dan “mendaki”.
Oleh karena itu trail run biasanya
dilakukan di daerah pegunungan. Trail run
adalah olah raga lari dengan medan gunung atau pegunungan. Sehingga medannya
tidak biasa, artinya pelari akan menemukan turunan dan tanjakan, serta jalanan setapak yang bervariasi antara tanah,
rumput, kerikil, batu, selokan, sungai, dan lain-lain.
Pada prinsipnya trail run
itu olah raga yang sama halnya dengan lari di jalan raya. Bedanya trail run berlari di jalur pendakian,
jalur setapak di kebun teh, perbukitan, atau jalur trail lainnya. Kegiatan trail run dapat dilakukan hampir di
semua gunung dengan mode trek yang memiliki tanjakan dan turunan seperti trek
gunung pada umumnya. Sedangkan untuk medan lari yang berlokasi di atas 2.000
mdpl biasanya disebut Sky Running.
Artinya jika cuaca mendukung, dari ketinggian tersebut pelari biasanya sudah
sejajar atau di atas awan.
Dalam melakukan trail run
diperlukan peralatan-peralatan khusus yang tentunya tidak sama dengan yang
dibawa ketika mendaki gunung. Peralatan dalam melakukan trail run relatif jauh lebih ringan dibandingkan dengan peralatan
yang dibawa ketika mendaki gunung. Beberapa perlengkapan wajib yang mesti
dibawa dalam pendakian dengan metode trail
run adalah sepatu, baju dan celana (pakaian), hydropack, waterblader, dan
P3K.
Sepatu yang digunakan dalam kegiatan trail run biasanya dirancang khusus dan memiliki sol agresif
menonjol yang umumnya lebih kaku dari sepatu lari biasa. Sepatu ini kurang
’empuk’ daripada sepatu yang dirancang untuk aspal. Selain itu, sepatunya lebih
rendah yang membuat stabilitas terbaik di medan tidak rata.
Saat melakukan trail run
sebaiknya pakaian yang dikenakan dapat menyerap keringat dengan baik namun
memiliki kemampuan kering yang lebih cepat. Maka pilihlah kaos dengan bahan quick dry, baik lengan pendek ataupun
panjang, begitupun untuk celana juga yang berbahan quick dry.
Tas ransel dalam trail run
tidak sama dengan tas ransel pada pendakian. Tas ransel untuk trail run merupakan tas ransel yang
kecil. Saat trail run biasanya
menggunakan tas ransel sepeda atau hydropack yang berukuran kecil. Tas ransel
ini berfungsi untuk menyimpan peralatan seperti air minum, makanan,
obat-obatan, dompet, handphone, dan lain-lain. Keperluan lain yang diperlukan
adalah aksesoris yang memiliki kegunaan tertentu, seperti topi, scarf/badana,
kacamata hitam, masker, running jacket, peluit, dan snack bar. Biasanya tas ini
juga didesain untuk membawa water blader
atau kantung air yang disesuaikan dengan kebutuhan (ukuran 1/1,5/2/3,5 liter).
Perbekalan
yang tidak boleh ketinggalan adalah P3K. Biasanya merupakan obat-obatan yang
pokok, misalnya bethadine, counterpine, koyok, plester, perban, paracethamol,
dan diapet. Satu hal lagi yang perlu dibawa adalah hypothermia blanket yang
terbuat dari aluminium, selimut ini biasa digunakan untuk pertolongan bagi
penderita hypothermia atau kehilangan panas tubuh[1].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar