COUPLE
RIDER:
MENEMUKAN BIJAK SEPANJANG SOLO NUSA
PENIDA BALI
Oleh: Heri
Pada mulanya…
Waktu berlalu,
dan jaman terus bergeser, bergerak. Tak ada yang abadi. Begitupun “cara”
menyampaikan kisah. Dewasa ini, manusia perlahan-lahan mulai meninggalkan
penyampaian cerita melalui tulisan. Orang lebih suka “melihat” dari pada
membaca. Menonton menjadi sarana cepat untuk memperoleh informasi. Vlog
sekarang lebih popular dari blog. Chanel
you tube lebih menggairahkan dari link
berita tulis.
Sempat ragu-ragu
untuk menuliskan sepenggal cerita hidup ini. Kisah yang terlalu sederhana dan
remeh. Serbuan vlog yang kian gencar, dari yang apik penuh muatan sinematografi
ataupun dari yang sangat amatir memenuhi ruang medsos. Jadi gamang untuk
merangkai kata (walau saya pribadi juga tidak produktif membuat tulisan di blog
pribadi). Tetapi bila mengamati diriku sendiri yang masih sangat menikmati
“membaca kisah”. Sejelek apapun tulisan seseorang mengenai kisah hidup, aku
suka. Semiskin apapun diksi yang digunakan, aku tetap bisa menikmatinya. Ketika
membaca kisah, ada imajinasi yang mengalir. Membaca kisah menjadikan diriku
lebih hidup.
Dari pengalaman
ini lah, kuberanikan dan kutekadkan untuk setia menulis kisah. Ada pengandaian
bahwa tipikal orang beragam, dan mungkin ada yang sama dengan diriku, “lebih
suka membaca kisah dari pada menonton kisah”.
Pada Jarak 1.533
Km, dalam Waktu 7 Hari: Kubercermin
Telah beberapa
kali aku dan isteriku mengisi waktu luang untuk sejenak menikmati semesta.
Sudah menjadi komitmen kami bahwa adanya keterbatasan tidak boleh menjadi
penghalang. Demi menekan biaya, kami terbiasa untuk bermotor ria. Hingga dalam
beberapa kesempatan kami disebut couple
rider. Sebenarnya kami tidak layak juga disebut seperti itu. Kalau secara
harafiah ya memang benar kami sebagai pasangan suami isteri sering berkendara.
Tetapi apakah demikian yang dimaksudkan sebagai couple rider.
Ah, terserahlah.
Kami tidak mau terjebak pada sebuah definisi. Yang jelas dalam beberapa
kesempatan, kami sering mengisi waktu untuk berpetualang dengan sepeda motor.
Bagi kami, petualangan adalah sumber sukacita dan bahagia hidup. Maka, kami
sering meluangkan waktu untuk berkelana, menjelajahi tempat, budaya yang selama
ini belum kami kunjungi. Perjumpaan dengan sesama, situasi, lingkungan, dan tradisi
yang “beda” merupakan makanan jiwa.
Perjalanan kali
ini ada kaitannya dengan petualangan tahun lalu. Pada waktu itu, secara tidak
sengaja kami berjumpa dengan couple rider
yang sangat senior. Kami bertemu di deck ferry penyeberangan dari Labuan Bajo
menuju Sape. Kami sama-sama dari sejenak menikmati pesona pulau Flores.
Sepanjang perjalanan itu lah jalinan
hati mulai terajut. Hingga kami merasa telah menjadi saudara. Lebih tepatnya
ikatan antara anak dan orang tua. Mereka asli Bali dan tinggal di sana. Tahun
ini mereka mengundang kami untuk berkunjung.
Bu Dhe Made n Isteriku
Maka, perjalanan
kali ini bisa disebut sebagai petualangan silahturami. Di satu sisi berkunjung
pada saudara, di sisi lain tetap menentukan daerah yang kami belum pernah
singgah. Kami menetapkan tujuan untuk berkunjung ke tiga nusa di Bali, yaitu
Penida, Lembongan, dan Ceningan.
Sabtu, 1 Juni
2019 tepat pukul 05.00, kami memulai perjalanan. Biasanya, kami naik motor dari
Solo-Ketapang, Banyuwangi membutuhkan waktu sekitar 10-12 jam. Berharap semoga
perjalanan lancar sehingga malam sudah bisa berjumpa sahabat di sana. Kendati
ada rencana, namun kami juga terbiasa fleksibel. Ada target tetapi tetap
realistis pada peristiwa. Sehingga, kami sangat biasa menerima berbagai
peristiwa yang terjadi dalam setiap petualangan.
Arus mudik pada
tahun ini memang beda dengan tahun-tahun yang lalu. Situasi jalan raya cukup
terkendali-lancar. Sehingga tepat pukul 16.30 kami tiba di pelabuhan
penyeberangan Ketapang, Banyuwangi. Registrasi dengan sistem e-money sangat
membantu terurainya kemacetan (NB: membayar dengan uang tunai masih tetap
dilayani). Pukul 17.00 kami mulai menyeberang. Ombak agak sedikit meninggi.
Goncangan begitu terasa. Niat hati mau sedikit rebah agar tenaga pulih menjadi
percuma. Teriakan histeris dari para penumpang menjadikan aku tak bisa lelap.
“Ah, wajar. Mungkin mereka baru pertama mengalami situasi seperti ini”.
Situasi yang
tidak memungkinkan untuk tidur sejenak menjadikanku terkenang dengan beberapa
peristiwa yang menarik untuk dimaknai. Sepanjang perjalanan Solo-Banyuwangi ada
kejadian-kejadian yang akhirnya bisa mengisi hidup. Pertama, tersesat. Lebih dari 4 kali, aku melewati jalan
Mojokerto-Mojosari yang selanjutnya akan ke Pasuruan dan seterusnya. Karena
lebih dari 4 kali itulah serta merta menjadikan diriku tidak waspada. Yang
seharusnya aku memilih belok ke kanan tetapi malah lurus sehingga aku malah
sampai di Sidoarjo. Kami sempat berseteru karena peristiwa ini. Bagiku, pengalaman
seperti ini dalam dunia adventure merupakan bumbu. Secara tidak sengaja,
akhirnya aku pernah menikmati pesona jalanan kota Sidoarjo.
Kedua, dua kali mengalami hampir mati (jika
terjadi crush). Dua kali
terselamatkan dari peritiwa yang nyaris tabrakan. Peristiwa pertama saat keluar
dari Bangil menuju Pasuruan, sebuah bus ¾ dari pinggir jalan tanpa aba-aba dan
tidak ada lampu sein menyala
tiba-tiba masuk ke tengah jalan. Pada hal aku berada tepat di belakangnya.
Direm jelas tidak mungkin, maka tindakan yang bisa aku pilih adalah banting
kiri, keluar aspal mengisi ruang yang tadinya diisi bus. Cukup berat aku
menyeimbangkan sepeda motor yang full muatan (1 boncenger dan tiga box dengan
isinya) di jalanan luar aspal dengan kecepatan 60-70 km/jam.
Peristiwa hampir
tabrakan yang kedua adalah pada saat keluar dari Probolinggo menuju Paiton.
Dari arah berlawanan sebuah angkot belok ke kanan memotong jalan tanpa memberi
tanda. Pada hal waktu itu kecepatanku sekitar 90 km/jam. Apa daya, banting kiri
tidak mungkin, banting kanan juga. Terpakasa rem total. Motorku sampai
meliuk-liuk dahsyat. Nyaris. Tinggal 30 cm banku berhenti tepat di samping body
angkot. “Puji Tuhan. Masih selamat”. Sudah jadi prinsipku dalam tiap
petualanganku, “Apapun peristiwa buruknya, tidak boleh mengumpat. Mboten pareng misuh”.
Di tengah
syukurku karena masih diberi keselamatan, ferry telah berlabuh. Saatnya turun.
Tepat pukul 20.00, kami tiba di Gilimanuk, Bali. Sebelum keluar dari ferry, aku
memeriksa motorku dan ternyata side box sebelah kanan engsel tutupnya telah
lepas. Pasti terpental saat ada gelombang besar. Ini bukan peristiwa pertama.
Jadi tidak heran. Setelah menyiasati tutup box, kami melanjutkan petualangan.
Situasi jalan di
seputaran pelabuhan masih cukup ramai para pemudik. Perantau yang di Bali pada
mau pulang kampung. Tetapi antara arus yang masuk dan keluar Bali tidak
seimbang. Sehingga para pengendara yang dari arah berlawanan cenderung “arogan”.
Beberapa kali aku harus mengalah demi selamat. Bebeapa kali harus rela turun
dari jalan aspal. Raga yang tidak lagi kokoh dengan keadaan lalu lintas yang
demikian menggiring isteriku menyampaikan ide, “untuk segera mencari
penginapan”.
Sekitar 30 km
dari Gilimanuk sampailah kami di Negara. Pandanganku membagi konsentrasi, di
satu sisi fokus melihat jalan dan di sisi lain mencari plakat bertuliskan
penginapan/ home stay. Tidak berapa lama, sebelum hujan turun, kami telah
memperoleh penginapan dengan harga ramah di kantong. Hotel dengan fasilitas doble bad, kamar mandi dalam, tv,
almari, teras dengan seperangkat meja kursi, tempat parkir luas, dan taman
hanya 100 ribu.
Segera berkemas,
mandi, dan keluar lagi untuk mencari makan. Usai makan malam, kami kembali ke
hotel. Setelah sejenak menyesuaikan diri dengan lingkungan, cuaca, dan udara
kami pun lelap dalam istirahat.
***
Di temani rintik
hujan lembut sepanjang malam, kami pun dapat tidur pulas. Bangun dengan segar.
Sayangnya cuaca masih mendung dan cenderung akan hujan lagi. Kami sejenak
malas-malasan untuk segera beranjak melanjutkan kisah. Melihat cuaca yang tidak
memberi tanda-tanda akan cerah berbinar-binar, kami pun memaksa diri untuk
terus dengan prinsip, “Hujan, ya istirahat. Berteduh. Lagian misi kami hari ini
hanya menemukan rumah saudara dan saling berbagi kisah serta mengisi hidup”.
Sekitar pukul
08.00, kami meninggalkan hotel. Baru keluar dari kota Negara, hujan turun
dengan sendu. Terlihat dari arah berlawanan semua telah memakai jas hujan. Aku
putuskan untuk mencari tempat berteduh sekaligus bisa untuk mencari sarapan.
Tidak begitu jauh, kami pun menemukan warung khas Bali, segera kami pun
merapat. Sarapan di temani hujan di tengah hamparan sawah yang menghijau. Dipadu
dengan aroma air laut. Sungguh kenikmatan yang tiada tara.
Jalanan antara
Negara-Tabanan adalah surgaku. Bagiku keindahan yang ditawarkan telah menampung
kebutuhan seorang raider-petualang. Ada tanjakan, turunan, kelokan tajam, halus
dan sedang. Ada medan lurus dengan hamparan sawah dengan hijaunya pepadian,
menembus hutan-hutan kecil, melewati kebun karet, menyisir pinggiran pantai
dengan alunan deburan ombak dan angin yang menaburkan aroma lautan, lembah,
dedaunan, dan aroma tanah basah. Melintasi jembatan panjang maupun pendek untuk
nyeberangi sungai-sungai dengan bening air gemericiknya.
Sekitar 60 km
surga telah terlampui. Sebelah kiri kulihat terminal Mengwi, berarti sebentar
lagi akan bertemu dengan pertigaan yang memisahkan arah Denpasar atau arah
utara (Bedugul/ Singaraja). Rumah saudara yang ingin kami tuju berada di
lintasan antara Denpasar-Bedugul. Karena kami memang belum pernah ke sana, jadi
wajarlah bila harus konsentrasi untuk menemukannya. Sekitar 5 km dari Mengwi,
sampailah kami.
Dengan
kehangatan bagaikan keluarga lama yang tidak jumpa, kami disambut.
Dipersilahkan masuk dan dijamu. Obrolan demi obrolan mengalir mengisi jiwa
kami. Sore telah lewat, merambat melewati malam. Sekitar pukul 21.00, kami
sudahi obralan hati untuk beristirahat. Karena besok kami, akan melanjutkan kisah.
di taman sederhana milik Pak Dhe
***
Pagi menjelang,
sarapan telah tersedia. Tak lupa kami mandi dan packing ulang. Saat kami
berpamitan, tidak terasa air mata tuan rumah mengalir. Perpisahan yang haru.
Kami pun berjanji untuk datang lagi. Dengan harapan hati yang telah terikat
akan menjadi semakin lekat.
Target hari ini
adalah sampai Nusa Panida. Untuk bisa menyeberang ke pulau tersebut, kami harus
lewat Padang Bai. Sebuah pelabuhan yang bisa menghantar penumpang dengan
armadanya. Di pelabuhan ini, ada fasilitas ferry, sehingga penumpang bisa
sekaligus membawa kendaraannya. Untuk sampai di pelabuhan, kami memilih rute
Ubud-Gianyar-Klungkung-Padang Bai. Sengaja kami memilih jalur ini, karena rute
ini merupakan jalur wisata Bali. Ada banyak spot wisata yang bisa disinggahi.
Sambil melintas sekaligus mengisi jiwa dengan keindahan semesta. Tepat pukul
11.30, kami tiba di pelabuhan. Membeli tiket dan antri.
Sekitar pukul
12.30, ferry meninggalkan Bali. Penumpang rata-rata adalah pelancong, baik lokal
maupun manca. Ada juga penduduk setempat dan pedagang. Ferry tidak terlalu
penuh. Menurut perkiraan, lama penyeberangan hanya 1 jam. Kudengar di
kanan-kiriku banyak yang berbincang tentang petualang-petualangan seru dalam mengarungi
keindahan-keindahan Nusantara. Ada beragam tempat yang disebutkan dan
diceritakan. Aku enggan ambil bagian karena aku hanya pengembara sederhana.
Pengelana sepeda motor yang hanya sesekali memuaskan dahaga hati dengan
berkelana. Kehadiran kami seolah-olah tidak ada. Hal itu mungkin karena segala
atribut dan aksesoris yang aku dan isteriku pakai tidak menunjukan hal-hal yang
bernuansa seorang petualang.
Sekitar pukul 14.00, kami mendarat di Sauna,
Nusa Penida. Sekarang kami berada di daratan, tempat, situasi dan lingkungan
yang baru. Kerendahan hati untuk tidak mengunakan tolok ukur personal mutlak perlu.
Saatnya menanggalkan segala konsep dan pengalaman tentang “yang indah” agar
bisa mengalami, menikmati, dan meresapi segala yang ada. Acuan dan gambaran
tentang yang baik harus ditinggalkan. Keindahan merupakan keberhasilan dari
“cara menikmati”. Bukan yang terpampang di hadapan mata, tetapi yang bisa
ditangkap hati yang selanjutnya mampu mengisi relung-relung jiwa.
Petualangan hari
ini aku mulai dari sisi timur menuju selatan. Keluar dari pelabuhan kubelokkan
motor ke arah kiri. Saatnya menari di atas motor, meliuk, menikuk, meluncur
lurus, merambat pelan saat nanjak tajam, melesat terkendali saat menuruni
perbukitan. Hamparan semesta dari paduan bentangan biru lautan di sisi kiri
jalan dan gundukan-gundukan perbukitan yang menghijau permai. Hembusan segarnya
udara pantai selatan menghantar untuk semakin hanyut dalam dekapan mesra
semesta.
Sepanjang jalan
ini, banyak bungalow, resto, kafe dan home stay yang rata-rata dihuni oleh tamu
manca. Wisatawan domistik langka ada. Sambil mematri keindahan alam ini dalam
sanubari, mendadak perutku berontak.
Kode keras. Segera aku dan isteriku mencari resto yang ada wisatawan
domestiknya, tetapi tidak juga kutemukan. Akhirnya asal masuk saja. Resto yang
didesain sangat privat dan natural. Dari jalan hanya terlihat tulisan. Ketika
masuk ke lokasi, langsung kita disuguh panorama biru lautan dengan kesegaran
udaranya. Sepanjang kami beristirahat dan menikmati makan siang menjelang sore
ini, tak ada satupun tamu domestik. Kami serasa asing di negeri sendiri.
Seluruh pengunjung adalah wistawan asing.
Sedikit ngobrol
dengan pengelola resto, akhirnya kami memperoleh gambaran sekilas tentang pulau
ini dengan segala keindahan alam dan keunikan budayanya. Sekitar pukul 15.30,
kami meneruskan petualangan tanpa target. Sasaran kami adalah waktu. Mengalir
mengikuti alur jalanan hingga kami tiba di keindahan pantai Atuh. Karena baru
pertama ke tampat ini, maka yang kami lewati adalah jalur yang tidak popular.
Kami tidak melewati jalur yang sekaligus dapat sampai di pantai Diamond, dan
Tree House.
Setelah puas
menyegarkan dahaga jiwa, saatnya kembali ke arah awal. Kami belum mencari
tempat berteduh. Sepanjang jalan sambil menikmati yang ada, berharap untuk
menemukan penginapan yang ramah di kantong. Akhirnya kami tiba kembali di
Suana (Suane). Ada banyak pilihan home stay. Kami memilih home stay Dewi. Dengan tarif
200 ribu, kami memperoleh fasilitas keramahan yang tiada tara, wi-fi, kamar AC
super dingin, gede, TV, 2 almari, sarapan, kebebasan membuat minuman sendiri,
ada dapur, mesin cuci dan tempat menjemur. Semua itu tidak ada sesalnya bila
hanya mendapat kekurangan kamar mandi bersama (ada 2). Home stay ini memiliki 5
kamar dan satu-satu tamu domestik hanya kami. Bahkan ada tamu yang menginap
lebih dari 1 bulan.
Malam berlalu
menggiring hati untuk memaknai hari dengan segala keindahannya. Sebelum mata terlelap kusyukuri perjumpaanku
dengan satu keluarga yang pagi tadi menitikan air mata. Sebuah rahmat yang luar
biasa, selain kekayaan hidup yang mereka bagikan, ada juga tawaran seni hidup
yang tidak pernah memadamkan api harapan. Kerasnya perjuangan hidup akan
menjadi sia-sia bila tanpa ada harapan yang sejalan dengan kedamaian hati.
Kesuksesan hidup mesti diukur dengan kemampuan untuk berdamai dengan segala
peristiwa yang terjadi.
***
Pagi merekah,
saatnya mengisi lembaran hidup dengan seni petualangan. Kali ini, kami menuju
ke barat, melewati Ped, Toya Pakeh (mengalami kemacetan sejauh 3 km), terus ke
barat (Cristal beach, Gamat, dan Klingking). Wisata Nuspen sisi barat ternyata
lebih ramai dari pada sisi Timur (wisatawan pun lebih beragam). Beberapa titik
mengalami kemacetan. Wajar, karena jalannya sempit dan di beberapa titik rusak
parah (aspalnya hancur lebur).
Pertengahan hari,
kami telah tiba di parkiran air terjun Seganing. Sebuah wisata religi sekaligus
adrenalin yang tidak terlalu populer. Tempat yang sangat asik. Sungguh mengisi
jiwa. Di sini, kami berjumpa dengan pengelola warung yang merangkum beberapa
budaya dalam darahnya (Jawa, Bali, Lampung dan Nuspen). Beliau masih sangat
muda, ramah dan menarik. Ada banyak informasi yang bisa kami dapat. Bahkan
beliau menawarkan ikatan persaudaraan untuk singgah di rumahnya. Bila nanti
kami berkunjung lagi, kami diminta untuk menginap di rumahnya, “jangan nginap
di hotel”.
Dari ketinggian
tebing nam curam kami mampu memotret keindahan semesta dengan jiwa dan hati.
Kemudian kami menuruni jalur peziarah. Di bawah tebing ada air terjun langsung
dari mata air, ada kolam dan pura. Tidak banyak wisatawan yang berani turun ke
bawah. Kami menantang diri untuk menguji
batas kekuatan, keberanian, ketakutan dan nyali. Beberapa kali isteriku
menyerah untuk tidak melanjutkan. Beberapa kali pula aku harus mendukungnya.
Akhirnya kami bersama-sama tiba di mata air. Langsung minum sepuasnya dan mandi
serta berendam. Segarnya luar biasa. Sambil berendam kami menikmati tarian
deburan ombak dan lukisan riak-riak air yang bekejaran menepi. Di kejahuan
bentangan batas horizon tersenyum manja, seolah-olah menyelamati keberhasilan
perjuangan kami.
mata air yg akhirnya njatuh sbg air terjun seganing
Perjuangan yang
tidak kalah seru adalah naik kembali ke titik perjuangan. Berpamitan dengan
pemilik warung. Lanjutkan petualangan. Sasaran kami adalah menikmati sun set di
Broken Beach (Angel-Billabong). Situasi jalanan tidak ada bedanya, semuanya
masih menantang nyali, menguji adrenalin. Target kami tercapai. Saatnya
bercengkerama dengan santapan jiwa.
Sebelum terang
menjemput gelap, kami pun berpamitan dengan pesona alam yang seolah tidak akan
pernah tuntas. Tak berapa lama gelapun menyelimuti. Jalanan di tengah hutan,
bukit, lembah, tanpa aspal, tanpa lampu jalan melengkapi adventure kali ini.
Kulihat banyak wisatawan baik manca maupun domestik (yang menggunakan sepeda
motor rental) mengandalkan GPS tampak kebingungan. Sebenarnya, tidak
mengherankan bila mereka sering berhenti dipinggir jalan demi menunggu sinyal
yang terbawa angin, agar GPS menjadi akurat. Kubersyukur dikaruniai kemampuan
“orientasi medan” yang lumayan baik. Kendati hanya bermodalkan selembar peta,
jarang kami tersesat.
Tidak terasa,
kami telah tiba di Toya Pakeh. Daerah yang cukup ramai. Malam ini adalah malam
takbiran karena besok adalah hari raya idul fitri. Ada persiapan pawai
takbiran. Menurut informasi di Toya Pakeh, memang ada komunitas muslim yang
cukup besar. Sebelum tiba di penginapan, kami menyempatkan diri untuk makan
malam. Sekitar pukul 20.00, kami telah sampai di penginapan dengan selamat
bersama segala kenangan petualangan.
Malam ini
terlalu ceria. Ada taburan bitang yang merona cerah. Angin pantai berhembus
dengan lembut membawa kesejukan hati. Sayang bila hanya dilewati dengan tidur
pulas. Kulihat di sekitar penginapan ada beberapa kafe dan resto yang isinya
adalah tamu asing. Mereka sungguh-sungguh penikmat suasana.
Segelas kopi
hitam menemaniku di pojok ruang. Segelas kopi menjadi kunci menemukan cara
sebagai “penikmat suasana”. Segelas kopi menghantarku untuk leluasa mencumbui
malam, merambati kisah, dan berselancar mengarungi ombak hati. Hingga aku
bertemu dengan remah-remah hidup yang mesti aku olah lagi.
Dua hari di
Nuspen, aku tidak melihat adanya plat kendaraan selain “DK”. Mungkin, hanya
motorku yang dari luar Bali. Selama dua hari ini, kutemukan satu keyakinan
bahwa beda orang beda cara untuk menikmati keindahan serta cara mengekspresikan
dirinya. Ada yang cukup berswafoto, ada pula yang sungguh menyatu dengan
keindahan itu, ada pula yang hanya duduk bengong sambil ditemani segelas kopi.
Bisa jadi, caraku menikmati dinilai tidak berarti oleh orang lain. Maka, aku
juga tidak boleh mengadili dan menilai bahwa cara orang menikmati keindahan itu
buruk dan tidak cocok. Diriku ya diriku, diri orang lain ya milik mereka dengan
segala keunikannya.
***
Rangkaian makna
hidup menghantar lelap tidurku hingga pagi merekah. Mentari bersinar dengan
gagah, membuyarkan rasa malas yang melekat. Hari ini, kami akan berkunjung ke
Nusa Lembongan dan Ceningan. Selepas sarapan, kami segera menuju ke arah barat.
Sekitar 10 km dari penginapan, kami tiba di Toya Pakeh. Penyeberangan dengan
sped boat dari tempat ini. Setelah parkir sepeda motor, kami pun segera naik ke
speed boat. Penyeberangan hanya sekitar 10 menit. 5 menit selepas dari Toya Pakeh,
bentangan jembatan kuning (Yellow Bridge)
yang menghubungkan Lembongan-Ceningan terlihat gagah mengundang datang.
Kami mendarat
dengan selamat dan membayar 25 ribu/orang. Setelah itu, aku bernegosiasi untuk
menentukan kesepakatan harga sewa rental sepeda motor. Untuk setengah hari
(sampai pukul 12.00), 60 ribu aku mendapat motor matic 150 cc. Tidak
menyia-nyiakan waktu, kami segera merambati keindahan Nusa Lembongan, dari satu
tempat wisata menuju wisata yang lainnya. Hingga akhirnya, kami telah berhasil
mengelilingi pulau ini. Lalu kami pun melewati jembatan kuning untuk menengok
keindahan semesta di Nusa Ceningan.
nyelfi di yellow bridge
Dari tiga nusa
yang ada, Ceningan merupakan pulau terkecil. Sehingga tidak membutuhkan waktu
lama untuk bisa mengelilinginya. Usai puas menikmati gugusan keindahan di dua
nusa, kami pun mengembalikan motor sesuai kesepakatan. Lalu menyeberang balik ke
Penida. Masih ada separo hari. Padahal kami telah menuntaskan misi mengelilingi
dua pulau. Lalu, kami memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat yang belum
sempat kami singgahi.
Kunjungan
pertama, kami memilih mencari tempat makan siang yang menyuguhkan panorama laut
beserta semilirnya angin dan aroma laut. Akhirnya, kami memilih menyusuri sisi
timur dari Nuspen yang memang masih sepi. Resto telah kami temukan saatnya
makan. Kembali terulang, hanya kami wisatawan lokal, lainnya adalah tamu manca.
Kembali kami meneruskan kisah, hingga sampai di Pantai Diamond.
Untuk bisa
mencapai Diamond Beach, membutuhkan
nyali yang cukup. Karena jalan turun cukup terjal. Sudah dibikin tangga, tetapi
belum semuanya. Menjelang pantai, tangga dari tatahan tebing batu belum selesai
(semoga segera diselesaikan, sehingga pengunjung merasa nyaman). Pantainya sangat
cocok untuk bermalas-malasan, sejuk dan berpasir putih, serta tidak terpapar
sinar matahari langsung (kalau sore). Pantai ini hanya dipisahkan tebing bukit
dari pantai Atuh. Maka, pantai ini sangat cocok untuk menikmati sun rise.
Sore menjemput,
kami pun melanjutkan cerita kembali ke penginapan. Bersih diri. Ke luar lagi
untuk mencari makan malam. Sejenak menghabiskan malam dengan duduk manis di
pojok kafe. Hingga malam kian larut, membawa sejuk hati untuk mengurai lelah.
sempitnya tangga ke diamond
***
Hari terakhir di
Nuspen. Pagi kami bangun, sarapan. Tepat pukul 07.30, kami meninggalkan
penginapan. Antrian yang cukup panjang dengan layanan yang cenderung lambat
tidak menghambat niat hati untuk mendapatkan tiket menuju Padang Bai. Sekitar
pukul 09.30, akhirnya bisa duduk di bangku fery. Sambil menunggu fery
berangkat, kami sempat berbagi kisah dengan beberapa penumpang. Ada banyak info
yang saling memperkaya hidup. Sekitar pukul 10.30, fery mulai bergerak.
Kulirik jam
tanganku, saat waktu berada pada tepat pukul 12.00, kami tiba di dermaga Padang
Bai. Tidak menunda waktu, kami langsung tancap gas. Berharap sebelum gelap
sudah sampai di Ketapang. Harapan kami terkabul, 4 jam perjalanan yang diselingi
makan siang telah menghantar kami hingga berada di bangku fery penyeberangan
Gilimanuk-Ketapang. Penyeberangan lancar. Pukul 16.00 WIB kami langsung geber
gas, target kami bila raga mampu menopang akan berlabuh di Probolinggo. Namun
apadaya, raga yang lelah tak mampu bekerjasama. Akhirnya, kami memutuskan untuk
mencari penginapan di sekitar Pantai Pasir Putih, Situbondo. Pukul 18.30, kami
telah memperoleh kamar, mandi, mencari makan dan istirahat.
Pagi merekah,
semangat membara. Kami bergegas meninggalkan hotel pagi-pagi sekali. Sekitar
pukul 07.00, kami pun telah tiba di Pasuruan. Segera mencari sarapan, sekaligus
istirahat. Setelah raga terpuaskan dengan asupan nutrisi dan istirahat, kami
pun melanjutkan perjalananan. Tengah hari, kami telah sampai di Nganjuk,
istirahat di Pom Bensin. Ada banyak teman seperjalanan (walau beda asal dan
tujuan) yang sedang istirahat. Kami pun dengan rela berbagi pengalaman hidup.
Sekitar pukul 14.00, kami tiba di hutan Mantingan, saatnya mencari makan siang.
Lanjut lagi dan tepat pukul 16.30, kami tiba kembali di rumah tercinta, Solo
(dengan selamat dan bahagia).
Pada Akhirnya, …
Cerita ini
hanyalah kumpulan serpihan-serpihan kisah dalam perjalanan, petualangan dan
peziarahan yang kami lakukan. Tidak ada detil peristiwa yang mampu dituliskan. Namun,
kenangan akan abadi dalam ingatan. Tepat tujuh hari enam malam, kami (aku dan
isteriku) meninggalkan rumah untuk sejenak melakukan perjalanan ke timur dan
berhenti di Nusa Penida lalu kembali lagi ke Solo. Dari perjalanan singkat ini,
ada banyak makna hidup yang kutemukan. Selama melakukan petualangan dengan
bermotor ria ada banyak cerita yang bisa kami lukiskan. Kami berharap
petualangan ini mampu mengikat hati kami sebagai suami isteri agar semakin
dalam. Hingga kami semakin mampu saling memahami, mengisi, memberi, dan menerima.
Semoga dengan kegiatan ini, kami tidak hanya berhenti pada suka cita permukaan
tetapi akan bermuara pada pendewasaan diri.
Perjalanan yang tentu saja menyenangkan, meskipun hanya menggunakan motor. Namun tetap Nusa Penida menjadi idola bagi semua wisatawan. Semoga bisa terus memberikan keindahan untuk semua wisatawan. Jangan takut untuk yang punya waktu sedikit coba aja one day trip Nusa penida atau tour nusa penida 1 hari
BalasHapus