COUPLE
RIDER:
MENGUKIR HIDUP SEPANJANG SOLO-LABUAN
BAJO
Oleh: Heri
Salam jumpa
sobat petualang. Kembali berjumpa dalam kisah. Saat ini, aku ingin berbagi
kisah petualangan sederhana. Ya sederhana. Buat sebagian orang malah kisah kami
ini terlalu remeh dan sepele. Apa sih kisah petualangannya? Yuk, simak saja
yang berikut ini.
Sebut saja aku,
Heri Jimanto dan isteriku adalah Regina Nunuk. Biar agak sedikit keren, kami
akan menyebut diri sebagai couple-adventure,
hehe. Kata adventure mau menegaskan
bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah memasuki daerah,
situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah kami datangi.
Bagi kami,
petualangan tidak hanya sekedar tahu tempat, tahu budaya, tahu kehidupan
masyarakat atau tahu daerah lain. Tetapi lebih pada itu, yaitu “cara
mendewasakan”. Petualangan adalah seni menjelajahi diri. Melalui perjalanan,
perjumpaan dan kekaguman. Dari keterpanaan, dari yang terpesona sampai pada
rasa bingung, tidak tahu apa-apa, ketakutan serta kekhawatiran, kami semakin
mengerti diri ini. Hingga secara tidak sadar kami perlahan bertumbuh menjadi
pribadi yang kian manusiawi.
Kali ini, kami
akan menantang diri dengan mengunjungi serta mendaki gunung Tambora, Sumbawa. Walau
pada akhirnya, kami sampai di tanah kadal raksasa, pulau Komodo, NTT.
Hari I, Rabu 13
Juni 2018: mengejar matahari terbit di pulau Lombok
Perjalanan jauh
yang sekaligus bernuansa petualangan membutuhkan persiapan yang maksimal, menyangkut
kendaraan (sepeda motor), perbekalan (peta perjalanan, logistik, P3K,
tenda, alat masak dan pakaian ganti), fisik maupun mental. Jauh-jauh hari kami
telah membangun persiapan secara bertahap agar tidak ada yang tercecer.
Setelah merasa
segala sesuatunya telah siap. Saat fajar menyingsing, pada hari Rabu 13 Juni
2018 tepat pukul 05.00, kami meninggalkan rumah.
Tempat tinggal
kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan kota Solo. Kami
mencoba membuat rute perjalanan sederhana, yaitu Solo – Bali – Lombok – Sumbawa
(Tambora) – Labuan Bajo (bila masih memungkinkan) - Sumbawa – Lombok – Bali –
Solo.
Awal
petualangan, di hari pertama hati masih dipenuhi dengan gairah dan semangat.
Lelah belum terkumpul dan stress belum juga menindih, maka perjalanan terasa
nyaman, menyenangkan dan menggairahkan. Semburat cahaya merah di ujung timur, manandai
hari yang cerah. Sudah beberapa minggu tidak turun hujan, cuaca kemarau dengan
sepoi angin menurunkan suhu, dingin udara terasakan mengiringi hati yang damai.
Hari ini adalah
lebaran H-2. Suasana dan keadaan jalan terasa lengang. Pembangunan jalan tol
kendati belum terhubung antara Solo-Mojokerto, cukup membantu mengurai
kemacetan jalan. Kami pun, dengan lancar meninggalkan kota Solo, menembus Sragen
dan melenggang memasuki Ngawi. Keadaan jalan mulai ramai-lancar. Motor
tunggangan kami masih melaju damai menghantar ke kota Nganjuk. Kami pun
memutuskan untuk istirahat sejenak sekaligus mencari sarapan.
Setelah badan
terasa segar, perut kenyang, tepat pukul 08.00, kami pun melanjutkan petualangan.
Meninggalkan
Nganjuk, melewati Jombang, menyusul Mojokerto, semua berjalan lancar dan aman.
Tantangan berikutnya adalah menyususri labirin jalan perkotaan Bangil (Pasuruan)
dan Probolinggo yang cenderung macet. Panas siang yang menyengat menjadi
penyebab riuhnya jalan berkurang. Sehingga perjalan kami pun lancar. Sekitar
pukul 12.30, kami telah sampai di pantai Bentar Probolinggo. Kami memutuskan
untuk sejenak beristirahat sekalian makan siang. Sambil menikmati semilirnya
angin pantai yang sepoi-sejuk mendamiakan, penat raga menghilang. Suasana
jalanan masih terlihat sama: ramai-lancar.
Setelah raga
terasa pulih-segar dan semangat masih membara, kami melanjutkan perjalanan.
Target hari ini, malam sekitar jam 00.00, kami mesti sampai pelabuhan Padang Bai,
Bali. Menyeberang ke Lombok sekalian istirahat.
Sekitar pukul 14.00,
kami meneruskan perjalanan. Melewati kota Situbondo lancar. Sebentar lagi
menyusuri kelokan hutan Baluran. Sayangnya, jalanan sekitar hutan Baluran
banyak lubang dan penuh dengan tambalan aspal. Perjalanan agak sedikit pelan.
Mungkin juga karena raga yang sudah payah, sehingga beberapa kali sepeda
motorku masuk lobang. Untungnya masih bertengger gagah melibas jalan. Tidak
terjadi apa-apa.
Batas kabupaten Situbondo telah terlewat. Tinggal
sekitar 30 km, kami akan menyeberang. Saat ini, waktu baru menunjuk angka
16.30. Sebelum gelap, kami pasti bisa menyeberang ke Gilimanuk. Masih sesuai
dengan rencana. Kami memutuskan untuk mengisi bahan bakar sebelum sampai pelabuhan
Ketapang. Sambil mengurai lelah raga, tiba-tiba kami disapa oleh seseorang yang
samar aku pernah berkenalan dan ngobrol banyak.
Benarlah, ia
adalah Kang Bagus (@nmax_ampibi). Seseorang yang memiliki jam terbang tinggi
dalam dunia touring. Beliau memiliki
segudang pengalaman menapaki dan menjelajahi jalanan Negeri. Beliau meminta
kami, untuk sejenak istirahat dan ngobrol sambil menjalin tali silahturahmi.
Istilah para peturing, kami ini sedang diportal. Kami berdua ditraktir
sambil menikmati keindahan senja di pantai Boom Banyuwangi.
Kang Bagus
Kami asik
ngobrol. Hingga lupa agenda dan target. Baru sekitar pukul 19.00, kami
menyudahi obrolan dan berbagi pengalaman. Beliau melanjutkan perjalanan ke Alas
purwa, sedangkan aku dan isteriku lanjut menyeberang ke Bali. Tidak perlu antri
lama untuk sekedar masuk ferry dan langsung jalan. Yang lama adalah antri untuk
nyandar. Hingga sekitar pukul 21.00, kami baru mendaratkan kaki di Gilimanuk.
Setelah melewati
pengecekan identitas diri, kami melanjutkan perjalan. Raga sudah sangat lelah.
Mata mulai mengantuk. Isteriku beberapa kali terasa terhuyung. Sehingga
mempengaruhi keseimbangan sepeda motor. Selain itu suasana jalan yang
berbanding terbalik. Dari arah berlawanan dominan ramai dan sangat ramai. Orang
mau mudik ke Jawa, meninggalkan Bali dengan rombongan besar. Sedangkan dari
arahku cenderung sepi, sehigga aku harus sering mengalah memberi jalan pada
rombogan-rombongan besar. Mereka cenderung arogan mengabaikan kepentingan
pengguna jalan dari arah berlawanan.
Kuputuskan untuk
segera mencari penginapan. Sayangnya, selepas kabupaten Negara, penginapan
menjadi sesuatu yang langka. Ketika melihat pom bensin yang sekaligus sebagai
tempat rest area, kubelokkan
kendaranku untuk rebah sejenak dan mungkin akan sampai pagi. Sayangnya,
isteriku tidak secuek diriku. Dalam sekejap aku bisa lelap, sedangkan dia tidak
mampu terlelap. Lalu ia membangunkan dan memaksa melanjutkan perjalan. Berharap
untuk sesegera mungkin memeproleh penginapan dan istirahat.
prepare lg
Untungnya, tidak
sampai 30 menit, kami telah menemukan hotel. Penginapan Inn. Posisinya sebelum
masuk kota Tabanan. Masih dipinggiran dengan suasana yang alami, dekat dengan
area persawahan dan pantai. Sungguh tempat peristirahatan yang nyaman. Tepat
pukul 02.00, kami akhirnya rebah untuk mendulang tenaga.
Hari II, Kamis 14
Juni 2018: Merajut Persaudaraan Anak Rantau
Fajar
menyingsing dengan gairah dan semangat pagi. Kelelahan tak juga terurai dengan
istirahat yang tidak lama. Namun, perjalanan mesti dilanjutkan. Kendati penat
masih memenjara, tetapi niat tidak boleh kalah. Sekitar pukul 08.00, kami telah
siap meninggalkan penginapan. Meliuk motor menyusuri jalur selatan Bali.
Kelokan dengan tanjakan dan turunan mesra menemani hasrat petualang hari ini.
Baru sekitar 25 menit kami telah tiba di kota Tabanan. Maka, kami pun
memutuskan untuk mencari sarapan.
Perut yang telah
terisi, tenaga yang memulih dan semangat kian berkobar menjadi kekuatan untuk
melanjutkan kisah. Sekitar pukul 10.00, kembali kami melaju. Target kami adalah
Padang Bai. Perjalanan lancar, sehingga kami bisa tiba di pelabuhan sekitar
pukul 11.30, segera membeli tiket dan menyandarkan motor di deck bawah ferry
penyeberangan. Keadaan masih sepi. Kami segera mencari tempat yang nyaman untuk
melanjutkan istirahat. Minimal bisa berbaring. Biasanya kalau ferry masih sepi
cenderung lama, menunggu agak penuh. Perkiraan kami benar. Akhirnya ferry berangkat
sekitar pukul 14.00. Dapat dipastikan kami akan tiba di Lembar, Lombok pasti
sudah gelap.
berusaha unt istirahat
Seni
berpetualang adalah mendapatkan teman dan saudara dengan gampang dan mudah.
Disepanjang penyeberangan, kami bertemu dengan pendeta Hindu, bapak Mahendra
Wijaya. Banyak percakapan dan obrolan. Sehingga segudang ilmu turun kepada kami
yang masih belia ini. Jam 18.00 ferry belum sandar. Segera aku kontak teman
kuliah yang bertahun-tahun tidak bertemu. Kusampaikan bahwa aku mau berkunjung
sekalian ikut meluruskan kaki di
tempatnya. Tanggapan positif aku terima.
Sekitar pukul
19.00, kami telah mendarat di tanah Lombok. Kami disambut dengan riuh suara
takbir, karena besok hari raya idul fitri. Peristiwa ini, mengingatkan pada
peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat hendak mendaki gunung Rinjani. Suasana
jalanan begitu ramai. Seolah menyambut kedatangan kami. Setelah sejenak
bertanya di beberapa tempat, akhirnya kami menemukan rumah temanku.
Sekitar pukul
20.00, tibalah aku di rumah sahabat lama. Ia telah memiliki satu momongan.
Sepanjang malam, kami asik bernostalgia, bercerita dan berbagi pengalaman
hidup. Kuputuskan untuk menyudahi obrolan pada titik waktu 23.30. Saatnya
istirahat.
Hari III, Jumat 15
Juni 2018: Terasing di Negeri Sendiri
Pagi merekah
dengan segala harapan baik. Raga yang usang tak mapu mendulang tenaga setelah
istirahat sepanjang malam. Namun, kehangatan sambutan keluarga dari temanku
mampu membangkitkan daya baru. Sahabatku masih menahan untuk tidak buru-buru
meninggalkan tempatnya. Beliau mengingatkan bahwa kota Mataram akan macet total
karena akan serentak melakukan shalat Id. Alasan yang wajar, sekalian aku juga
mesti mewujudkan rasa empati dan solider. Toleransi mesti menjadi yang utama.
Tepat pukul 09.30, aku pun berpamitan untuk menuju pelabuhan Khayangan yang
selanjutnya akan menyeberang ke Poto Tano, Sumbawa.
bersama kluarga temanku
Sebelum sampai
di Khayangan, kami sempatkan diri untuk mengisi perut. Perut yang kenyang akan
menenteramkan pikiran dan mendamaikan hati. Sekitar pukul 11.30, kami sudah
bisa menyeberang. Sepanjang penyeberangan, aku terlelap. Tidak mampu menikmati
suguhan alam antara Lombok-Sumbawa.
Tepat pukul
14.00, kami telah mendarat di bumi Sumbawa. Tidak menyia-nyiakan waktu segera
kami pun melaju di jalan yang sebelumnya tidak pernah kami lewati. Medan baru,
petualangan baru. Membangun harapan optimis dan sikap positif menjadi
kewajiban. Lintas Sumbawa memang beda dengan jalan-jalan sebelumnya. Dominan
lengang dan sepi. Perkampungan yang jarang dengan kanan-kiri hutan, bukit, laut
dan lembah hijau. Cukup menyegarkan mata.
menjelang pelabuhan khayangan
Tidak terasa,
kami telah tiba di kabupaten Sumbawa Besar sekitar pukul 16.00. Raga yang lelah
terus aku paksa, karena Tambora masih jauh di depan. Suasana senja merayap
gelap. Penerangan jalan langka, karena medan yang kami lewati memang didominasi
hutan dan sabana, lembah dan perkebunan. Untungnya, kami telah mendapat
informasi bahwa lintas Sumbawa masih aman dari tindak kriminal. Yang
mengkwatirkan adalah bila ada masalah dengan kendaraan, misalkan pecah atau
bocor ban, kehabisan bahan bakar. Karena jarak antara perkampungan memang
sungguh jauh.
keluar dari pelabuhan pototano
Sesampainya kami
di kecamatan Empang, masih wilayah Sumbawa Besar, kami mendapat info bahwa di
depan akan semakin jauh untuk mendapatkan penginapan juga warung makan. Sambil
memulihkan tenaga dengan membeli makan malam, kami mendapat informasi tentang
penginapan terdekat. Hingga sekitar pukul 21.00, kami pendapatkan penginapan
dengan harga terjangkau. Saatnya istirahat.
Hari IV, Sabtu 16
Juli 2018: Sabana Tambora
Pagi merekah
membawa senyum ceria. Langit memancar cerah. Pertanda hari yang baik. Pagi ini,
petualangan masih setia menunggu untuk dituntaskan. Menjelajah di tanah asing.
Kendati ini adalah Negeriku, namun senyatanya aku tidak tahu apa-apa. Hanya
sekedar cerita tetapi tak pernah menjamahnya. Kesempatan kali ini menantangku
untuk menyelaminya.
Segera kami
membereskan perlengkapan, meninggalkan penginapan dan sesegera mungkin untuk
menemukan warung makan guna mencari sarapan. Sekitar 200 meter meninggalkan
hotel, kami menemukan rumah makan yang cukup besar dan kebetulan juga sudah
buka. Sambil menunggu makanan siap, aku secara pribadi banyak mengais informasi
terkait tujuan dan arah petualangan hari ini.
Sambil menikmati
sarapan, kami berjumpa dengan serombongan petualang dari Lombok yang
menggunakan mobil. Mereka dari arah kebalikan, mereka selepas berkunjung dari
rumah saudara yang ada di Dompu. Ternyata mereka memiliki segudang pengalaman
terkait dunia pendakian dan penjelajahan Nusantara. Dari mereka lah kami
memiliki cukup informasi untuk menemani perjalanan hari ini. Mereka juga
memberikan bekal, makanan tradisional yang mampu bertahan beberapa hari, mereka
berpesan, bahwa agak sulit mencari warung, semoga pemberian mereka dapat
membantu. Terimakasih ya, atas kebaikannya.
Sarapan pun
usai, kami pun siap untuk kembali berpetualang, menjelajah Nusantara, negeri
tercinta, Indonesia.
Sekitar pukul 07.30,
kami perlahan meninggalkan Empang menuju Dompu, tepatnya sebelum kotanya.
Sepanjang perjalanan mata dimanja dengan pesona alam yang luar biasa indah.
Deretan perbukitan yang hijau berpadu elok dengan ladang jagung yang
membentang, seolah tanpa batas. Hal ini masih bersanding manis dengan kelokan
teluk-teluk kecil bibir pantai yang bernyanyi dengan riak gelombang lembutnya.
Jalanan propinsi, lintas Sumbawa yang naik turun, berkelok kiri-kanan menyuguhkan
kepuasan hati yang tidak terkirakan.
setiap perhentian adalah wilayah rekreasi
Beberapa kali,
kami menyempatkan diri untuk berhenti sejenak guna menikmati keindahan alam.
Sekaligus juga istirahat. Tidak terasa mentari terus merangkak naik. Hingga
sekitar pukul 09.00, kami tiba di pertigaan kota kecil (aku lupa namanya).
Artinya kami harus belok kiri, karena arah kanan akan menuju Dompu, yang
selanjutnya Bima dan Sape.
Dari petigaan
ini, suasana masih sama. Namun, di sini pemilik jalan lebih dominan berlalu
lalang. Mereka adalah sapi, kerbau, kambing, sesekali muncul gerombolan monyet
ekor panjang dan juga kambing balap. Sekitar 20 km, kami melintas dan alam pun
menyuguhkan surga Sumbawa, yaitu savanna yang maha luas. Menurut sepido meter
motorku panjangnya sekitar 30 km. Di sisi kanan melintas sabana sampai batas
mata tak mampu mendeteksi sedangkan di sisi kiri membentang biru laut juga
tanpa batasan. Sepanjang perjalanan, hati hanya berdecak kagum, terkesima
dengan savanna Ndoro Ncanga, Dompu.
tu di dpn, kudanya nyebrang
Siang menghantar
kami untuk sejenak beristirahat, sambil mengisi tenaga, juga mengais informasi
arah tujuan kami, yaitu desa Tambora. Karena kami memang bertujuan untuk
menikmati keindahan alam Tambora dengan mendakinya. Sekitar pukul 16.30, kami
tiba di base camp pendakian. Sayangnya masih tutup. Mungkin baru ada keperluan.
Istirahat sejenak dan tidak berapa lama Bang Saiful (pengelola base camp) pun muncul, menyambut kami
dengan ramah, menyuguhkan segelas teh hangat. Kami pun menyewa kamar penginapan
dan saatnya beristirahat. Besok berharap ada tenaga untuk pendakian.
Hari Minggu- Senin 17-18 Juni 2018: Mendaki Tambora (dalam kisah
yang berbeda)
Hari V, Selasa 19 Juni 2018: dari Ujung Barat Daya sampai
Ujung Timur Sumbawa, dari Ndoro Canga sampai Sape
Hari kelima
sebagai hari naik motor. Setelah raga dihajar tanjakan gunung Tambora, kembali
lagi raga ini akan melanjutkan kisah berkendara di hari kelima. Sedangakan hari
petualangan sudah menginjak hari yang ketujuh. Sengaja aku menulis dan aku
ceritakan kisah petualangan hari kelima. Kisah pengembaraan dalam upaya mengais
suka cita di atas putaran roda sepeda motor.
savana ndoro ncanga
Pagi menjelang,
cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat membuncah dan
bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, dan packing. Kemudian, meliuk menyusuri
jalanan meninggalkan base camp Tambora.
Cuaca hari ini
sangat bersahabat. Mendung dan cenderung diiringi angin sepoi-semilir. Sejuk
dan segar. Hal seperti ini mampu mengurangi rasa capek, penat, dan bosan.
Meliuk motor menyusuri jalan yang cenderung lengang. Hingga sampai di luasnya
sabana Tambora. Kulihat gunung Tambora tertutup rapat oleh mendung yang hitam
dan gelap. Pasti di atas hujan deras.
istirahat skalian narsis
Aku tidak juga
beristirahat. Terus melaju meliuk manikmati tiap tikungan, tiap tanjakan dan
tiap turunan. Sepi jalan menjadi kenikmatan yang tidak terbahasakan. Ada gairah
yang bertubi-tubi terpapar pesona semesta. Hingga sekitar pukul 12.00, kami
telah tiba Dompu. Saatnya istirahat dan memulihkan tenaga. Saatnya mencari
nutrisi. Sekaligus informasi mengenai arah tujuan kami, yaitu Bima yang
selanjutnya adalah Sape.
narsis lg
Sekitar dua jam
kami beristirahat dan merasa tenaga telah memulih. Maka, tepat pukul 14.00,
kembali kami melaju pelan. Segala yang terpampang di depan mata adalah gugusan
surga. Semuanya adalah keindahan dan kebahagiaan. Sekitar pukul 15.00, kami
telah sampai di kota Bima. Kami hanya beristirahat sebentar menikmati keindahan
pantai pinggir kota. Tidak membuang waktu, kembali lagi motor melaju pelan.
liat kerbau mandi
Bagiku sepanjang
jalan dari Bima-Sape adalah Surga. Hanya keindahan dan keindahan. Raga yang
renta dan lelah seolah hilang. Yang adanya hanyalah gairah untuk terus
bercengkerama dengan keindahan. Hingga akhirnya, sekitar pukul 17.00, kami
telah tiba di Sape, pelabuhan ujung timur Sumbawa yang akan menghantar kami
menuju pulau Flores. Target kami terpenuhi, mencapai Sape sebelum gelap. Hari
ini kami telah menempuh perjalanan sekitar 350 km.
menikmati pesona mentari
Sejenak kami
menikmati keindahan pelabuhan Sape sambil mencari informasi mengenai jadwal
penyeberangan ferry. Kami beruntung, karena esok pagi ada kapal yang berangkat.
Sehingga waktu menjadi efektif. Kemudian kami mencari penginapan. Tidak jauh
dari pelabuhan, kami memperoleh penginapan dengan harga yang sangat bersahabat.
100 ribu, dapat kamar dengan fasilitas kamar mandi dalam tanpa AC. Buat kami
ini sudah lebih dari pada mewah. Segera mandi. Mencari makan malam dan sejenak
kami menghabiskan malam untuk menikmati sepoi angin pantai di ujung dermaga
pelabuhan. Hingga sekitar pukul 21.00 kami beranjak untuk rebah istirahat dan
berharap esok pagi dapat bangun dengan tenaga prima.
Hari VI, Rabu 20
Juni 2018: Menjaring Surga dalam Bentangan Semesta antara Sumbawa-Labuhan Bajo
Kembali pagi
merekah bersama sejuta harapan dan semangat. Istirahat malam telah
mengembalikan tenaga dan asa. Saatnya bergegas untuk persiapan perjalanan dan
petualangan berikutnya. Tujuan kami hari ini adalah melanjutkan misi menuju
pulau kadal raksasa. Dari informasi yang kami peroleh bahwa fery akan berangkat
pukul 09.00 dan membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk sampai Labuhan Bajo.
Pukul 07.00, antrian sudah panjang padahal loket belum buka. Aku pun ikut
bergabung. Sedikit informasi. Di sini motor hanya dihitung dengan satu
pengendara. Sedangkan boncenger menambah ongkos sendiri. Tarif sepeda motor 160
ribu. Sedangkan tarif orang dewasa 60 ribu.
Pukul 08.00 kami
sudah berada di dek penumpang. Kami tiba di atas ternyata sudah penuh. Kami
hampir tidak dapat tempat duduk. Semua ruang yang kosong terisi oleh manusia.
Gila, ini seperti sistem angkutan pada jaman penjajahan. Semua masuk dari ayam
sampai sapi. Manusia dari berbagai kelas sosial. Campur aduk menjadi satu.
Pukul 09.00, kapal tidak ada tanda-tanda untuk berangkat. Pukul 10.00 pun belum
ada tanda. Penumpang masih berdatangan. Udara mulai pengap. Aku yakin
seyakin-yakinnya kalau ini jelas melebihi kapasitas muatan. Aku mencoba
mengurai udara yang pengap dengan jalan-jalan. Ternyata sampai dek paling atas
pun penuh dengan penumpang.
penuh sesak
Akhirnya pukul
11.00, kapal mulai bergerak. Jelas kapal ini tidak berani cepat. Amat sangat
pelan. Dari perjalan yang super santai inilah, aku bisa menikmati surga dari
gugusan kepulauan Komodo. Ternyata ada ratusan pulau-pulau kecil yang
membentang hijau, karena hanya padang rumput. Indah dan keren.
gugusan pulau-pulau
Karena kapal
yang pelan berlayar, kami tiba di pelabuhan Labuhan bajo pukul 17.00. hari
menjelang gelap. Di daerah yang baru, di tanah asing (pada hal ini, di negeri
sendiri). Prinsip pengembara adalah pertama mesti menemukan tempat berteduh dan
sumber energi. Sekitar satu jam kami berkeliling kota Labuhan bajo untuk menemukan
penginapan dengan tarif petualang. Sekitar pukul 18.00, belum juga kami
menemukan hotel dengan harga terjangkau. Kota kecil tetapi isinya hampir
sepenuhnya adalah turis asing, maka wajar bila semua bertarif internasional.
Akhirnya kami
berhenti sejenak sambil menikmati hiruk-pikuk kota pantai yang ramai tamu
asing. Kami berhenti di alun-alun yang penuh dengan pedagang kuliner khas laut.
Kami pun mampir ke warung (sengaja mencari wajah Jawa), agar kami bisa mengais
informsi dari sumber yang dapat dipercaya (solidaritas kedaerahan).
asli mantap
Pilihan kami
jatuh pada pedagang asal Banyuwangi yang telah puluhan tahun tinggal di sini,
karena memang telah memiliki isteri dan anak dari penduduk asli. Berbagai jenis
kuliner laut dijajakan. Warungnya sangat ramai. Banyak pelanggan. Masakannya
juga enak dan tentu murah. Akhirnya kami mendapat informasi tentang penginapan
yang ramah di kantong.
Segera kami pun
meluncur untuk mencarinya. Hotel kami temukan. Lumayan, kami mendapat hotel
dengan tarif 250 ribu, dengan fasilitas kamar mandi dalam tanpa AC, dan sarapan
pagi (= ala Eropa), tetapi sudah dengan wi-fi (gratis). Lumayan kami sejenak
bisa kontak dengan dunia. Semenjak meninggalkan Lombok, jaringan internet di HP
lumpuh total.
Di hotel ini,
kami memperoleh link untuk mencari armada yang menyediakan jasa trip Komodo.
Kami pun dipertemukan dengan pengelola trip singkat kelas backpacker. Trip satu hari dengan tujuan pulau Padar, Komodo,
pantai Pink dan Manta point dengan tarif 450 ribu, kami sudah mendapat sarapan
dan makan siang serta alat snorkeling dan minuman penghangat (kopi dan teh).
Setelah puas
berselencar dan kontak dengan dunia bersama sosmed, kami pun rebah dalam
pembaringan. Berharap besok bisa bangun dengan segar dan sehat. Sehingga bisa melanjutkan
petualangan yang seru dan mendebarkan.
Hari VII, Kamis 21
Juni 2018: Mengarungi Gugusan Surga Kepualaun Komodo
Kicauan burung bersaut menembus
kamar hotel, menandakan bahwa pagi telah lahir. Jam 04.30, kami telah berjaga.
Sebenarnya raga tak juga fit. Namun, semangat yang membara mengalahkan penat
raga. Kami segera mandi, karena pukul 05.00, utusan dari biro tour akan
menjemput. Sengaja kami tidak banyak membawa perbekalan, hanya sebotol air
mineral dan beberapa potong kue kering.
Biro yang
kelihatannya murah diongkos ternyata sangat professional. Mereka datang tepat
waktu. Kami dijemput dengan mobil Xenia. Di dalam mobil sudah terisi beberapa
turis asing. Kami dihantar sampai ke perahu yang akan menghantar keliling
Komodo. Kapal sederhana, kapal dari kayu. Namun, kami merasa ini adalah kapal
istimewa, karena kami menjadi asing di negeri sendiri. Dari 14 penumpang, hanya
aku dan isteriku sebagai penumpang lokal. Sedangkan yang lainnya adalah turis
asing. Mereka berkumpul atas nama backpacker
lintas Negara dan benua. Bagi mereka (turis asing) berlayar dengan perahu kayu
terbuka adalah sebuah petualangan mewah.
siap meluncur
Tepat pukul
05.30, perahu bergerak meninggalkan pelabuhan. Pagi ini, laut terlihat tenang.
Tanpa ombak. Semua terlihat gembira. Kendati aku tidak terlalu paham dengan
bahasa yang mereka percakapkan. Tetapi aku bisa menebak dari raut wajah. Untuk
menambah informasi, aku dan isteriku bergantian banyak cerita dan bertanya pada
operator perahu. Aku lupa menanyakan nama mereka (hanya dioperasikan 2 orang).
Tujuan pertama adalah pulau Padar. Sebuah pulau dengan panorama ketinggian yang
luar biasa ajib. Gila.
terasing di negeri sendiri
Sepanjang
perjalanan, aku hanya terkagum-kagum dengan barisan pulau-pulau kecil yang
menghijau-kuning. Ada imajinasi yang tak tergambarkan. Sekitar 2 jam perahu
berlayar dengan syahdu. Ujung pulau Padar sudah terlihat. Mendadak ombak meninggi
dan mengganas. Perahu hampir kemasukan air. Beberapa kali hempasan ombak
berhasil memasukan airnya. Lautan menyapa kami dengan sedikit membahasi raga
kami. Semua penumpang terlihat panik. Aku melirik abang-abang operator yang
terlihat sangat tenang. Aku berpikir positif, bahwa keadaan masih bisa
dikendalikan. Ternyata memang benar. Tidak berapa lama kembali laut tenang dan
seolah tanpa ombak.
pelabuhan padar
Sempat
kutanyakan pada abang operator, bahwa tadi memang melewati lautan dalam. Yang
pasti arusnya di bawah deras dan kencang. Maka, pasti akan menimbulkan ombak.
Perahu telah
merapat ke dermaga Padar. Saatnya tracking
dan menikmati surga. Kami hanya diberi waktu 1 jam.
turis sandal jepit
keindahan padar
Setapak yang
sudah tertata menghantar kami pada satu keindahan menuju pada keindahan yang
lainnya. Wisatawan lumayan ramai. Kendati demikian masing-masing masih bisa
menikmati keindahan dari pulau ini. Rombongan kami tepat waktu. Keuntungan
bersama dengan turis Eropa dan Amerika adalah ketepatan pada waktu dan
kesepakatan. Tidak menunda waktu, kami pun kembali bergerak untuk menuju pulau
Komodo.
pelabuhan komodo
Berlayar sekitar
30 menit telah menghantar kami tiba di dermaga Komodo. Saatnya, jalan-jalan
untuk melihat kadal raksasa. Kami beruntung, karena bareng dengan turis manca.
Maka, karena tegur-sapa yang kami tawarkan meluluhkan hati penjaga tiket. Kami
tidak merayu untuk memperoleh kemurahan. Tetapi mereka lah yang menawari kami,
bahwa segala ongkos kami dihitung dengan rombongan asing. Terimakasih untuk
saudara sepetualangan, yang aku tidak tahu nama-nama mereka.
menuju gerbang kadal raksasa
Kami mengambil
track pendek. Karena batasan waktu yang hanya satu jam (di sini ada track
medium juga panjang. Ada yang setengah hari. Ada pula yang satu hari penuh).
Setelah menemukan kadal raksa (bulan Juni-Juli adalah bulan kawin, maka
menemukan komodo dengan jumlah banyak adalah langka), kami pun bergegas untuk
berfoto ria dan kembali ke perahu.
Tujuan kami
selanjutnya adalah pink beach. Sembari menuju lokasi, kami menikmati perbekalan
makan siang (fasilitas dari biro).
narsis bareng komodo
Dari dermaga
pintu masuk wisata Komodo ke pantai pink tidak lah jauh. Karena memang masih
satu pulau. Sekitar 20 menit kami telah tiba. Sayang, ombak sore pertanda akan
mulai pasang menjadikan ombak menggulung tinggi. Aku pun hilang hasrat untuk
turun snorkeling. Aku hanya menikmati keindahan laut. Dari Abang operator, aku
memperoleh informasi bahwa hari-hari ini menjelang sore ombak mendadak besar.
Kemungkinan di manta point pun akan mengalami hal serupa.
Mereka
menawarkan untuk ganti tempat. Tetapi di perahuku dominan adalah turis asing
yang setia dengan schedule maka
mereka pun tetap pada tujuan awal. Ombak tidak terlalu tinggi, aku pun antusias
untuk snorkeling. Saat turun, arus bawah sangat kencang. Dalam waktu sekejab
aku terbawa arus. Tetapi aku masih bisa menguasai diri. Beda dengan isteriku
yang panik tidak karuan. Maka, aku hanya berupaya untuk meng-evakuasi-nya.
Dalam waktu hitungan menit, isteriku telah terbawa arus sekitar 40 meter
menjauh dari perahu. Segera aku berenang untuk meraihnya dan mendorongnya untuk
kembali ke perahu.
Melihat
peristiwa itu, para turis asing yang awalnya terlihat gagah-pemberani ikutan
ciut nyali dan tidak jadi snorkeling. Akhirnya, kami semua naik ke perahu.
Mencoba mengamati bawah air, siapa tahu ada manta yang melintas. Abang-Abang
operator menegaskan dalam situasi seperti ini, tidak mungkin manta akan muncul.
Kami pun memutuskan untuk kembali ke pelabuhan.
menjelang senja
Berlayar di
suasana senja merupakan keindahan yang tidak tergambarkan. Dari lokasi manta
point untuk sampai pelabuhan membutuhkan waktu tempuh antara 1,5-2 jam.
Sepanjang waktu itu aku menikmati keindahan gugusan pulau-pulau yang hijau
permai. Hingga saat gelap merayap, kami telah tiba di dermaga. Tepat pukul
18.00, kami tiba di hotel. Saatnya, mandi dan kembali ke alun-alun untuk
berburu kuliner jalanan penyedia menu see
food yang murah tetapi enak (rasa berkelas restoran hotel bintang lima).
Mantap.
sunset pelabuhan labuan bajo
Malam merayap
pelan meninggalkan segala kisah dan kenangan. Kendati hati dan jiwa dipenuhi
kepuasaan batin. Tetapi raga tidak bisa didustai. Raga yang senja telah
diambang batas kekuatan. Saatnya istirahat. Semoga besok bangun dengan tenaga
yang baru. Semangat.
kembali ke bajo
Hari VIII, Jumat
22 Juni 2018: Kembali Ke Barat (Menemukan Taburan Saudara)
Kembali pagi merekah. Sengaja, pagi
ini kami bangun agak malas-malasan. Kami telah memperoleh informasi bahwa
penyeberangan akan berangkat pukul 09.00 (dan selalu tidak tepat waktu. Mundur
satu jam adalah hal yang biasa). Setengah tujuh, kami baru bangun. Mandi.
Sarapan ala Eropa (roti tawar dengan selai yang dibakar dengan segelas kopi
pait atau teh manis). Packing.
Meninggalkan hotel. Membeli tiket. Tepat pukul 08.30, kami sudah berada di
kursi penumpang.
slamat tinggal bajo
Hari ini, kami
mendapat kapal ferry yang lebih besar dan bagus. Terlihat penumpang juga masih sepi. Mungkin,
tidak sebanyak waktu berangkat dari Sape. Tepat pukul 09.00, pengumuman
peringatan agar pedagang asongan meninggalkan kapal. Berarti ini akan tepat
waktu. Benarlah dugaanku, tepat pukul 09.30, kapal mulai meninggalkan
pelabuhan. Selamat tinggal Labuan Bajo. Semoga semesta mempertemukan kita lagi.
Kapal mulai
bergerak. Ada waktu yang cukup longgar. Kulihat dek kapal tidak sepenuh waktu
lalu. Maka, kuniatkan untuk jalan-jalan, menyoba menemukan saudara-sepetualangan.
Ada beberapa anak-anak motor yang kujumpa. Sempat ngobrol dengan 3 biker asal
Madiun. Mereka baru menyelesaikan misi, “ngaspal” sampai Ruteng. Sebenarnya
keberangkatan mereka sama dengan kami. Tujuan mereka adalah danau Kelimutu,
Ende. Mereka tidak berniat untuk keliling Komodo. Tetapi kendala waktu dan isi
dompet. Mereka mengurungkan niat untuk sampai ke Kelimutu. Mereka berkisah soal
jam terbang petualangan di atas roda motor. Angkat topi bagi mereka. (Kembali
aku pada kelemahanku yaitu tidak mudah untuk menanyakan nama).
Berikutnya, aku
berjumpa dengan sepasang pengendara vespa yang sudah tidak lagi muda. Umur
mereka sekitar 60 dan 65. Mereka couple-biker
dari Bali yang habis menyelesaikan misi sampai di penghujung Maumere. Bersama
mereka lah, kami banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol sambil menikmati
segala yang ada. Mereka sudah ada kencan dengan para biker Bima. Maka, mereka
akan menginap di sana. Mereka juga menawari kami untuk gabung dengan mereka.
Tetapi sudah kuniatkan untuk menikmati perjalanan ini berdua. Maka, dengan
halus kami menolak tawaran mereka.
Kutetapkan
tekat, bila sampai Sape, masih di bawah pukul 17.00, aku akan lanjut dan
mencari penginapan di Dompu. Tepat pukul 17.00, kapal telah bersandar. Segera
kugeber kuda besi. Melaju pelan sambil menikmati segala situasi dan keadaan
alam yang luar biasa indah. Sekitar pukul 18.00, kami telah melewati Bima.
Istirahat sejenak sambil menikmati suasana sun
set di pantai pinggir kota. Gelap telah menyergap, jalanan yang penuh
dengan tantangan, tikungan, tanjakan dan turunan, aku libas pelan. Berharap
sebelum pukul 20.00, kami sudah menemukan penginapan.
yg punya kawasan
Berkat Tuhan
nyata, niat kami terkabul. Kami mendapat penginapan di tengah kota Dompu dengan
tarif ramah di kantong. Harga 100 ribu dengan fasilitas kamar mandi dalam,
dobel bed dan kipas angin. Kakmi pun istirahat sejenak, mandi dan berburu
kuliner di tengah kota Dompu. Usai mendulang energi kami pun bergegas menuju
penginapan untuk beristirahat. Berharap esok bisa bangun dengan semangat dan tenaga
yang lebih prima.
Hari IX, Sabtu 23
Juni 2018: Menguji Batas Kekuatan Fisik dan Psikis
Sinar fajar belum juga merekah.
Namun, harapan yang membentang menjadikan kami penuh gairah. Tepat pukul 04.00,
kami bangun dan segera mandi. Pagi ini kami berharap, untuk segera meninggalkan
Dompu guna mencapai titik tuju berikutnya. Harapan kami sederhana, target kami
adalah Bali. Gambaran suasana fajar di tanah kelahiran tidak kutemukan. Di
Jawa, pukul 04.30, aktifitas manusia sudah mulai padat merayap, terutama di
daerah perkotaan. Di beberapa pusat keramaian dan perbelanjaan, di pasar-pasar
tradisional geliat kehidupan sudah tumpah ruah. Lain tempat lain pula cara
hidupnya.
Tepat pukul 04.30, kami meninggalkan
Dompu. Suasana masih sangat sepi. Sangat lengang. Seolah tiada kehidupan.
Motorku meliuk melukis jalan dengan sorot lampu tunggal. Tidak membutuhkan
waktu lama, kami telah tiba di pertigaan, yang artinya kami harus belok kiri,
mengambil arah menuju Sumbawa Besar. Keadaaan masih sunyi. Semburat fajar mulai
remang bercahaya, membantu mata untuk sejenak rileks. Sekitar pukul 05.00, kami
tepat berada di bukit yang maha indah. Dari sini, kami berhenti sejenak untuk
menikmati panorama fajar. Memandang laut biru dari temaramnya sinar matahari
yang samar. Gelap malam mulai hilang, kembali motorku meliuk mengikuti lekukan
jalan yang mempesona.
sun rise pinggir jln
Menaiki bukit,
menuruninya, berkelok, meliuk menyusuri jalan perbukitan yang hijau asri. Di
sisi lain kami disuguhi birunya laut yang seolah tidak berjarak. Tepat
dikelokan punggungan bukit, saat mata melirik arah timur, tanda-tanda sun rise akan merekah. Maka, kami
hentikan perjalanan dan menikmati karunia Tuhan yang luar biasa. Untuk sejenak
kami hanya terpesona. Terimakasih Tuhan.
Setelah beberapa
jam melakukan aktifitas tanpa sarapan, mendadak perutpun memberi tanda untuk
diperhatikan. Target kami berikutnya adalah kecamatan Empang, dimana kami
pernah sarapan di sana. Pertimbangan kami adalah rumah makan itu buka pagi-pagi
sekali dan tentu harga murah dengan rasa yang nikmat. Maka kami pun berlalu
meninggalkan segala keindahan. Kendati hati masih terpikat. Maka, kami paksa
untuk menitipkan serpihan hati di titik surga itu.
yg punya wilayah
Setengah jam
berlalu, kami akhirnya menemukan rumah makan. Kami pun segera memesan makanan,
menu ikan kerapu goreng dengan lalapan. Kami juga sengaja beristirahat agak
lama. Target kami berikutnya adalah Sumbawa Besar, di sana kami akan mencari
bengkel guna servis dan ganti oli. Biar tunggangan tetap prima, sekaligus
mengurangi rasa was-was akan kemampuan dan ketahanan tunggangan. Biar semakin
yakin dan mantap.
Pukul 08.00,
kami meninggalkan kecamatan Empang. Waktu kami datang, kami tidak bisa
menikmati keindahan sepanjang perjalanan, karena waktu itu pas malam. Kini
saatnya kami membayar hutang. Meliuk motor membawa kami dalam kekaguman karena
lukisan yang kuasa. Allah telah meninggalkan serpihan surga di tanah ini. Di
beberapa titik jalan sedang mengalami perbaikan (artinya rusak total, banyak
lobang. Awas hati-hati). Hingga, sekitar pukul 10.00, kami telah tiba di
Sumbawa Besar. Segera mencari bengkel motor resmi tunggangan. Sekalian
istirahat. Karena antrian yang lumayan panjang.
Tepat pukul
12.00, kami meninggalkan Sumbawa Besar. Suasana jalan masih sama, asri dan
mengasikkan. Tepat di ujung jalan yang berseberangan dengan pulau terpadat di
dunia, pulau Bungin, kami memutuskan untuk membeli makan sekaligus istirahat.
Ada warung tepat pinggir pantai dengan hidangan sea food yang super murah, segar dan dengan rasa yang luar biasa
lezat. Dari sini, kami sekaligus menikmati panorama laut. Sebelum kami
melanjutkan perjalanan, kami membeli oleh-oleh madu Sumbawa. Kami yakin
seyakin-yakinnya kalau madu yang dijual itu asli karena kami melihat sendiri
cara penyulingan yang masih sangat tradisional dengan masih dikerumuni ribuan
lebah.
liat pulau bungin dr jauh
Ternyata, 30
menit meninggalkan rumah makan tersebut, kami telah sampai di pelabuhan Pototano.
Sayangnya, antrian begitu panjang. Kami tiba tepat pukul 15.00 dan baru bisa
masuk ke Ferry sekitar pukul 17.00 (arus balik dari Sumbawa yang akan menuju
Lombok terutama Mataram sudah sangat ramai). Saat antri inilah, kami
dipertemukan dengan petouring vespa senior asal Bali. Kali ini, kami lebih
banyak ngobrol sambil berbagi kisah. Hingga aku tahu nama mereka, yaitu Made
Jaya. Mereka memiliki bengkel vespa di Denpasar. Kami pun diundang untuk
singgah dirumahnya.
Sekitar pukul
19.00, kami telah tiba di pelabuhan Khayangan, Lombok. Dari pelabuhan ini, kami
bersama meliukan motor menyususri jalanan yang masih ramai padat-lancar. Gila,
ternyata pak jaya masih sangat gesit. Aku sampai sempoyongan mengejar beliau.
Memang beliau sangat hafal dengan jalanan pulau Lombok. Beda dengan diriku.
Hingga akhirnya, aku tidak mampu mengimbangi keahlian beliau. Aku pun
tertinggal. Saat kugeber motorku, aku malah kelewat kencang, hingga kami pun
terpisah. Kami berkontak lewat telpon, berjanji bertemu di Lembar dan nanti bersama-sama
menuju Denpasar.
tombo kesel
Tiga kali aku
mengunjungi Lombok, tidak serta merta aku menguasai medan di sini. Hingga
sekitar pukul 22.00, aku baru tiba di pelabuhan. Bapak Made Jaya tepat sepuluh
meter di depanku. Antrian masih sangat panjang. Pada hal ini sudah sangat
malam. Keberuntungan ada pada beliau. Saat aku berada di depan, aku kena
portal. Maka, terpaksa kami berpisah dan tidak bisa satu kapal dalam
penyeberangan. Kami kontak telpon dan beliau akan menunggu kami di Denpasar.
Kami harus mampir.
Antrian yang
cukup panjang, hingga sekitar pukul 23.30, kami baru bisa masuk ferry dan tepat
pukul 00.00, ferry meinggalkan Lombok, selamat tinggal kenangan. Di kapal,
suasana penuh sesak tanpa aturan. Yang bisa masuk dulu berebut tempat dengan
arogan. Karena masing-masing berencana menyeberang sambil istirahat. Maka harus
berbaring dan tiduran. Niat hati ku pun sama. Tetapi harus menerima kenyataan.
Harus mencari lantai yang sedikit longgar. Kami beruntung karena bareng dengan
sepasukan tentara AD, mereka dengan tegas meminta seluruh penumpang untuk tidak
arogan. Semua memiliki hak yang sama dengan ongkos yang sama. Maka, banyak
penumpang yang awalnya berbaring dan tidur langsung bangkit. Satu penumpang
satu kursi. Kendati aku terpaksa berpisah dengan isteriku, minimal kami
masing-masing mendapat tempat duduk dan bisa bersandar untuk sejenak
beristirahat. Terimakasih Pak Tentara.
tombo kesel 2
Di kapal ini,
aku bertemu kembali dengan biker asal Madiun, mereka terlambat satu hari dari
target perjalanan. Karena kena portal saudara biker Lombok. Kapal
pelan menyeberangi lautan, karena ombak lagi besar. Goncangan begitu terasa.
Hingga niat hati untuk tiduran berganti
menjadi kesiap sediaan-waspada. Aku bersyukur, kulihat isteriku bisa leluasa
istirahat. Ia mendapat dua kursi. Aku terpaksa meninggalkan kursi dan memilih
berbaring di lantai. Saat kapal menghantam ombak besar, dalam posisi tidur aku
merasa berguling-pindah posisi. Terlelap-berjaga, terus menerus bergantian
mewarnai penyeberanganku kali ini. Sebisa mungkin, aku berupaya untuk bisa
menikmatinya. Ini lah seni petualangan.
Hari X, Minggu 24
Juni 2018: Terdampar di Surga-Saudara Jalanan
Tepat pukul 04.30, kami mendaratkan
kaki di tanah Dewata, Padang Bai. Suasana masih gelap. Apalagi di langit
menggulung mendung hitam penuh kilat dan bergemuruh suara Guntur. Pertanda akan
hujan. Cuaca kepulauan memang agak sedikit rumit. Mudah hujan tetapi juga mudah
panas-terik. Sekitar 20 menit mininggalkan pelabuhan, hujan turun dengan lebat.
Dalam suasana masih gelap, aku putuskan untuk mencari tempat perlindungan. Aku
berpikir, dari kemarin pagi hingga pagi ini, aku belum isitirahat dengan benar.
Semuanya istirahat atau tidur dalam posisi curian. Tidak sengaja istirahat atau
tertidur. Semua karena kondisi raga yang capek hingga mudah terlelap dimana
saja.
tombo kesel 3
Dalam keadaan raga yang seperti ini,
tidak baik bila kena air hujan. Kami berteduh sampai sekitar pukul 05.00
sekalian menunggu terang cahaya pagi. Remang cahaya fajar sesudah diguyur hujan
deras beberapa saat menyejukkan udara menemani perjalanan kami selanjutnya.
Kami memutuskan untuk tidak mampir ke Denpasar. Target kami, hari ini harus
menyeberang ke tanah Jawa.
Selepas Denpasar, sekitar kecamatan Mengwi kembali
langit menurunkan berkatnya. Hujan rintik-sedang kembali mengguyur. Kami
putuskan untuk berteduh sekaligus istirahat di rumah teman. Kebetulan kami
sedang melintas di dekat rumah mereka. Hitung-hitung sekalian silahturahmi.
Sengaja kami tidak mencari penginapan, pertimbangan kami bila hujan reda kami
akan langsung lanjut. Langit tidak juga berhenti menurunkan rahmatnya. Hujan
pelan masih lanjut. Dalam situasi seperti ini, teman kami sengaja menahan kami
untuk belama-lama di rumahnya. Hal ini sekaligus membentangkan kisah kami
masing-masing. Kami asik berbagi kisah dan pengalaman hidup. Istirahat yang
kami lakukan tidak tiduran tetapi asik berbincang.
istirahat dulu
Sekitar pukul
12.30, langit membuka senyumnya. Biru angkasa memberkati perjalanan kami
selanjutnya. Masih sekitar 90 km, kami menempuh perjalanan menuju Gilimanuk.
Situasi jalan super padat. Hingga perjalanan pun menjadi super lambat. Tepat
pukul 15.30, kami tiba di pelabuhan. Tidak berapa lama, kami sudah di atas
kapal dan menyeberang. Ombak masih cukup besar. Hingga akhirnya tunggangan kami
harus berguling bersama motor-motor yang lain. Menjelang merapat ke dermaga
Ketapang, tiba-tiba ombak bergemuruh meninggi sekitar 3 meter, maka dengan
sendirinya ferri menukik tajam, hingga yang berada di atasnya banyak yang
tumbang.
Tepat pukul
16.00 (sekarang sudah WIB), kami mendaratkan diri di tanah Jawa. Seolah-olah
kami berada di daerah sendiri. Tingkat kenyamanan mendadak naik berlipat-lipat.
Sore ini, kami ditunggu saudara-jalanan (kami dipertemukan di jalan dalam kegiatan
touring dengan tujuan yang beda). Kang Bagus, dengan sigap memandu kami melalui
seluler. Sebenarnya dari Ketapang hanya butuh waktu 45 menit. Berhubung, kami
belum tahu daerah yang dituju, maka dengan sendirinya perjalanan banyak
kendala. Kami akhirnya berhenti di pasar Srono, sekitar 3 km dari rumah Kang
Bagus. Lalu, kami pun dijemput dan kemudian bersama-sama menuju rumahnya.
Sekitar pukul
18.00, kami telah tiba. Kami disambut keluarganya dengan ramah. Isteriku
mendadak akrab dengan salah satu keponakannya (Kalinga, si bocah cerdas yang
cerewet). Kami meluangkan waktu untuk mandi, mencuci seabrek pakain kotor dalam
petualangan yang hampir 2 minggu. Selepas makan malam, kami banyak berbagi
cerita dan kisah. Sekitar pukul 22.00, kami pamit untuk beristirahat. Sebelum
tidur, kami mendapat pesan untuk diiklaskan istirahatnya. Saatnya membayar
hutang. Tidur sepuasnya.
Hari XI, Senin 25
Juni 2018: Menembus Surga Hutan Magrove
Udara Banyuwangi sisi barat memang
masih sangat bersih, sejuk, dan segar. Hingga malam pun mapu menidurkan aku
dengan lelap. Begitu pula dengan isteriku. Sekitar pukul 08.00, kami baru
bangun. Segera mandi. Dan tuan rumah telah menyediakan sarapan. Sambil mengisi
energi raga, kami banyak bercerita berbagi pengalaman hidup, melanjutkan kisah
yang semalam tertunda karena lelah. Hingga tidak terasa waktu telah bertengger
pada titik 10.30. Saatnya persiapan
untuk petualangan berikutnya.
menuju bedul
Hari ini, Kang
Bagus akan memandu kami menikmati kawasan hutan lindung-kawasan konservasi
khusus mangrove daerah Bedul. Tepat pukul 11.00, kami pun meluncur menuju
lokasi. Perjalanan sekitar 30 menit. Di mana kami telah melewati kawasan hutan
yang masih asri dan menyegarkan. Kami pun menikmati pesona hutan mangrove. Kami
juga sempatkan diri untuk menyeberang di kawasan hutan lindung, bagian dari
Alas Purwa yang menyatu dengan hutan bakung.
Menurut cerita
dari Kang Bagus, hutan bakung beserta lebatnya hutan heterogen Alas Purwa yang
kami kunjungi adalah warisan dari ayah beliau. Yang pada waktu ia masih kecil,
ayahnya adalah pimpinan perhutani di kawasan tersebut. Jadi, kami sekaligus
bersilahturami pada kenangan masa lalu. Beberapa kawasan dan beberapa pohon
merupakan hasil tanaman dari Kang Bagus.
pohon yg besar
Di seberang
hutan yang padat mempesona, kami disuguhkan panorama lautan dengan pasir hitam
bercampur putih yang membentang sejauh mata memandang tidak terhalang batuan
karang. Pantai yang melengkung. Sangat indah dan keren. Di kawasan ini, banyak
dihuni oleh kera ekor panjang yang kebanyakan nakal, suka mencuri (=merampok)
bekal dari pengunjung.
Setelah puas
menikmati panorama alam Bedul, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, kami
berkunjung ke rumah dari kakak Kang bagus yang merupakan “penguasa” daerah
tersebut. Kami banyak mendengar kiprah-peran dari keluarga Kang Bagus di daerah
tersebut.
menikmati bedul
Sore menjelang
gelap, akhirnya kami pamitan. Kang Bagus pun menghantar kami untuk istirahat
sejenak dan sekaligus berziarah di kawasan taman doa Bunda Maria Gapuraning Sih. Sejenak aku dan isteriku
pun memanjatkan doa-syukur atas segala yang boleh kami alami. Kemudian kami
banyak ngobrol di kawasan tersebut. Banyak hal yang bisa ditimba dan dipetik
sebagai buah pelita hidup.
saatnya bersama Tuhan
Kemudian, dalam
suasana gelap kami melanjutkan perjalanan
menembus hutan (yang aku tidak tahu namanya). Hingga akhirnya sekitar
pukul 21.00, kami tiba di rumah. Saatnya membersihkan diri dan istirahat.
Semoga besok bangun dengan tenaga baru. Karena kami akan melanjutkan perjalanan
pulang menuju Solo tercinta.
Hari XII, Selasa
26 Juni 2018: Menyambung Surga Pulau Merah sampai Gumitir
Pagi merekah dengan sejuta harapan.
Semangat hari ini karena kai akan bergerak menuju barat, Solo. Sekitar jam
tujuh pagi, aku sudah mengemas semua perbekalan dalam sepeda motor. Berharap
tepat pukul 08.00, bisa meninggalkan Banyuwangi. Namun sungguh di luar dugaan.
Kalingga, si bocah nakal, menggemaskan tiba-tiba ngambek tidak karuan. Ia tidak
mau dipamiti. Segala bujuk rayu tidak mempan. Ia
tidak mau ditinggalkan terutama oleh isteriku, yang ia panggil “Anti”. Seluruh
penghuni rumah berupaya membujuknya. Namun tetap saja tidak bisa. Sampai waktu
menunjuk angka 10.00, kami tak juga mampu mempengaruhinya.
byson cs nmax
Akhirnya, aku
memutuskan untuk mengubah rencana, hari ini kami berjanji masih akan
melanjutkan jalan-jalan. Besok baru meneruskan perjalanan jauh. Kalingga pun
luluh dengan masih berharap bisa berkumpul lagi. Karena sudah siang, tidak
mungkin aku akan langsung menembus Solo. Maka, hari ini, kami mengunjungi
wisata Pulau Merah. Dari siang sekitar pukul 14.00 sampai senja kami menikmati
pantai.
menutup petualangan d pulau merah
Keindahan suasana
sun set Pulau Merah begitu mempesona.
Saat waktu menunjuk angka 19.00, kami bergerak menuju Genteng. Sesampainya di
pertigaan Genteng, kami sempatkan diri untuk makan malam. Lalu, aku dan
isteriku berpamitan dengan Kang Bagus dan Bang Sam. Mereka bergerak ke timur.
Sedangkan aku ke barat. Melewati perkebunan kopi yang selanjutnya hutan
Gumitir. Melewati hutan ini, sungguh akan disuguhkan wisata adrenalin yang luar
biasa. Hutan yang masih lebat tanpa penerangan. Jalanan penuh tikungan tajam,
turunan dan tanjakan. Ngeri-ngeri sedap.
Selepas melewati
Gumitir, kami terus melaju menuju kota Jember. Target kami adalah mencari
penginapan di sana. Hingga akhirnya, tepat pukul 22.00, kami telah memperoleh
penginapan dengan harga bersahabat. 100 ribu dengan fasilitas kamar mandi
dalam, TV, dengan AC. Kondisi badan yang lelah menjadikan kami sejenak
beristirahat, ngobrol santai lalu tidur.
Hari XIII, Rabu 27
Juni 2018: Sampai Di Rumah, Surga yang Kami Punya
Tepat pukul 04.30, alarm berbunyi.
Kendati raga yang usang belum pulih mengais tenaga. Namun perjalanan harus
diselesaikan. Target kami hari ini adalah sesegera mungkin melanjutkan
perjalanan. Kami pun bergegas mandi dan siap-siap. Dalam keremangan fajar dan
suasana sepi kota, tepat pukul 05.00 kami melaju meniggalkan Jember. Keindahan
pagi di jalur ini sungguh menghibur. Pesona alam pedesaan-pertanian dan
perkebunan menjadi pemandangan sepanjang petualangan.
Tidak terasa
kami telah menembus Lumajang yang selanjutnya adalah Probolinggo. Sekitar pukul
07.00, kami telah membeli sarapan, istirahat dan meneruskan langkah. Meliuk
motor menari mengikuti kontur jalan, membawa kami terus menuju barat. Sekitar
pukul 11.00, kami telah tiba di kota Nganjuk. Kami putuskan untuk istirahat
agak lama, sambil makan siang. Perjalanan lancar menjadikan kami yakin bahwa
sebelum gelap kami akan tiba di Solo.
Tepat pukul
14.00, kembali kami melaju. Benarlah yang kami perkiraan, sekitar pukul 16.30
kami telah membuka pintu rumah tercinta. Selesailah petualangan sederhanan ini.
Pada Akhirnya
Demikianlah
sekelumit catatan perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Ternyata
tulisan ini tidak sepanjang petualagan yang terlewati. Sekitar tiga ribu kilo
meter kami melintasi jalan darat. Jalan laut tidak terhitung (karena kami hanya
duduk manis di dek kapal ferry). Dengan waktu tempuh 14 hari 13 malam, kami
telah melukis kisah hidup untuk sejenak menjelajahi dan menikmati karya Tuhan
di secuil wilayah timur Nusantara. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini. Terimakasih
Isteriku yang setia untuk menjadi co-rider
yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai. Terimakasih untuk sesamaku
yang masih mau menghadirkan kebaikan.
Semoga pengalaman
sederhana ini semakin mendewasakan kami. Berharap, semoga dengan peziarahan
ini, kami semakin lebih mengenal diri. Hingga pada akhirnya, kami semakin
barani untuk menekan ego, berani berbagi, selalu terbuka pada kebaikan sesama
untuk membangun persaudaraan di manapun kami singgah. Karena di situlah selalu mengalir
suka cita dan kebahagiaan.
Keren, Insyaallah akhir tahun saya juga touring Solo - Labuan Bajo... Kl waktu cukup dan tubuh fit lanjut Kalimutu.
BalasHapusmantap
Hapuskeren bro..
BalasHapusmakasih Bro
HapusAmazing... Sukses.... Mas broo.
BalasHapusmakasih Bro
HapusSama persis dengan rencana touring di bulan agustus 2021. Klo aku dari PATI - summit Gn Tambora - Lb Bajo. Salam kenal mas.
BalasHapusBtw cerita pendakian nya mana mas ?
Mantap. Sy sih cuma bisa Cirebon - Bali - Cirebon. 🙂
BalasHapusJoss..
BalasHapus