Senin, 05 November 2018

Catatan Perjalanan: Gunung Tambora sebagai Pendakian Terjauh


Catatan Perjalanan: Gunung Tambora sebagai Pendakian Terjauh
Oleh: Heri
puncak tambora berkabut tebal
Setiap manusia memiliki sejarah hidupnya. Tiap peristiwa akan menjadi sebuah kisah. Oleh karena itu, tiap manusia pasti akan memiliki kisah yang berbeda. Setapak boleh sama. Tujuan hidup boleh sama. Namun kisah yang dimiliki pasti tidak akan pernah sama.
Catatan  perjalanan ini merupakan kisah dari salah satu petualangan yang kumiliki. Peristiwa ini terjadi di tahun 2018. Aku memang bukan seorang pendaki yang memiliki jam terbang tinggi. Setahun satu kali bisa mendaki gunung saja sudah luar biasa. Mungkin, pendakianku ini buat kebanyakan orang terlalu remeh. Namun, lain denganku. Bagiku pendakian ini merupakan pendakian terhebat.
Bagaimana tidak terhebat? Aku yang selama ini bila mendaki agak sedikit jauh dari tempat tinggal selalu menggunakan moda transportasi umum (biasanya nge-bus, sekali-kali naik kereta). Tapi beda dengan pendakian kali ini, aku mengendarai sepeda motor dari kota Solo ke Sumbawa. Aku hanya berdua dengan isteriku. Pendakian yang hebat dan luar biasa, karena aku berpetualang dari kota Solo sampai ke puncak  Tambora. Satu armada dengan dua kehidupan. Satu sepeda motor dengan dua penumpang. Tanpa teman, tanpa kenalan. Memasuki daerah baru dengan hanya mengandalkan peta pulau Sumbawa dan mengandalkan kebaikan orang bila aku bertanya.
sabana tambora
Di tulisan ini, aku hanya ingin bercerita tentang pendakian ke Gunung Tambora yang menjadi salah satu gunung dengan diameter kawah yang cukup besar. Sedangkan kisah sebagai pengendara tunggal dari Solo sampai Labuhan Bajo (PP), akan aku ceritakan dalam kisah yang berbeda.

Hari 1
Sabtu, 16 Juni 2018
Aku sebut ini adalah hari pertama, karena hari ini aku juga isteriku tiba di base camp Tambora via Pancasila. Tetapi kalau dihitung mulai start keberangkatan dari kota Solo, ini hari yang keempat. Kumulai kisah hari ini saat pagi menjelang. Sekitar pukul 07.00 wita, aku meninggalkan hotel di kecamatan Empang (aku lupa nama hotelnya), Sumbawa Besar. Karena hotel sederhana, maka wajar bila tidak menyediakan sarapan. Sepanjang jalur perjalanan mataku berburu warung. Syukur tidak begitu jauh dari hotel telah kudapati rumah makan yang sudah siap.
Ngobrol dengan pemilik rumah makan, kami pun mendapatkan banyak informasi terkait tujuan yang hendak dicapai. Ternyata, dari Empang sampai Pancasila, Tambora masih cukup lama. Bagi orang yang kenal medan dan tahu jalan masih sekitar 4 jam. Untuk orang baru yang belum tahu apa-apa tentang seluk-beluk jalan, tikungan, tanjakan, belokan, persimpangan dan minimnya papan penunjuk jalan, bisa tembus 6 jam itu sudah luar biasa. Berarti perjalanku minimal masih sekitar 6 jam. Lumayan juga, hehe.
Tidak membuang waktu, sekitar pukul 09.00, kami mulai bergerak menuju dukuh Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu. Jalanan meliuk, naik turun, menikung dan menukik. Suguhan alam yang menghibur mata, mengobati raga yang lelah dan lunglai. Hijau pegunungan dan lebatnya hutan belantara serta birunya laut dan tenangnya ombak lautan luas tersuguh sepanjang perjalanan.
Bukit, lembah, hutan, ladang jagung, serta pantai, terus silih berganti menghibur diriku sepanjang perjalanan. Sesekali ketemu dengan perkampungan sederhana dan kecil (ini adalah persepsiku yang membandingkan dengan perkampungan di pulau Jawa, yang rata-rata padat dan besar/ramai). Karena di sini rata-rata perkampungannya kecil, berarti aku berulang-kali betemu dengan perkampungan yang sebenarnya ramai (mencoba melihat dari sudut pandang situasi yang ada di sana).
Sepanjang perjalanan, kami juga disambut dengan sekelompok penari ekor panjang. Mereka (kera-kera ekor panjang) seolah menjadi penguasa jalanan. Mereka dengan santai, bebas bermain di tengah jalan. Selain kera ekor panjang, kami juga disambut dengan barisan kebau atau sapi dengan jumlah besar. Ini tidak hanya sekali. Tetapi berkali-kali. Bila mereka sedang menyeberang jalan maka seolah merekalah yang punya jalan. Kita hanyalah tamu.
Sekitar pukul 11.00, kami telah tiba di luasnya sabana Tambora (Doro Ncanga). Sabana yang maha luas. Sabana yang yang sangat indah. Karena kami disuguhi dengan munculnya gerombolan kuda liar, juga sapi, kerbau dan kambing.  Sabana di sini dijadikan kawasan peternakan liar. Sistem peternakan yang menggabungkan kearifan lokal dengan peternakan modern. Di sabana ini, aku sempat menghayal seolah berada di Afrika. Tetapi, bagiku: di sini lebih indah, karena di sisi kiri terlihat hamparan laut. Birunya laut bersanding harmoni dengan luasnya hijau rerumputan. Tak ada kata yang cukup menggambarkan pesona keindahannya.
menertawakan keadaan
Selepas sabana Doro Ncanga, kami melihat tugu selamat datang pendaki Gunung Tambora. Di sebalah kiri jalan, loket informasi kosong. Mungkin belum buka, masih tutup karena masih libur lebaran. Secercah harapan muncul dari penjaga warung sederhana, kami pun memperoleh keterangan. Bahwa jalur pendakian Tambora ya di sini ini. Kami sempat curiga, karena selepas jalan raya langsung berhadapan dengan sabana yang luas. Ibu warung menegaskan bahwa motor bisa dibawa ke atas untuk diparkir.
Motorku yang standar pabrik harus berhadapan dengan medan sabana (asli: off road). Bukan jalan setapak, apalagi makadam, bukan pula jalan aspal. Aku semakin ragu-ragu akan setapak itu, tetapi sepanjang jalur berdiri kokoh papan penunjuk “jalur pendakian”. Kendati ragu-ragu tetapi motorku terus aku geber pelan untuk menyusuri sabana tersebut. Motor standar-full muatan-boncengan, dipakasa off road. Tegang hati, tegang pikir, tegang tangan, hingga bertemu dengan papan penunjuk “selamat datang di jalur off road Tambora via Doro Ncanga”.
Keraguanku terbukti, bahwa ini bukan jalur Tambora via Pancasila. Segera kuputar motor dengan susah payah dan kembali ke arah semula. Pengalaman tersesat yang paling mendebarkan, tetapi mengasikan (tidak sengaja: pernah mencoba jalur off road Tambora).
Lega hati setelah ketemu jalan aspal. Kuteruskan perjalanan. Sambil mencari warung, kumatapkan tekat, bahwa dukuh Pancasila pasti akan kutemukan sebelum malam. Warung kudapat, mengisi energi dan mendapatkan informasi bahwa yang saya cari masih sekitar 30 km. tinggal sebentar lagi. Kukobarkan semangat untuk segera menemukan dukuh tersebut.
Menyusuri jalan dengan warna yang sama. Rasa bosan datang menyusup. Ini musuh terbesar bagi seorang petualang. Untunglah bau wangi dan segar kembang kopi menembus hidung. Aku yakin ini sudah sampai di desa Tambora yang terkenal dengan kopinya. Keyakinanku semakin kuat ketika melihat sepanjang pinggir jalan, banyak biji kopi yang dijemur. Hingga aku sampai di ujung lapangan dan di pinggirnya kubaca sebuah papan penunjuk “Jalur Pendakian Tambora via Pancasila. Tepat pukul 16.00, kami tiba. Lega rasanya.
Tapi kelegaan itu harus tertunda, karena pagar dari rumah base camp (rumah bang Ipul) tertutup. Aku panggil-panggil, tak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk mencari info di warung yang bersebelahan dengan base camp, sekalian istirahat. 
base camp tambora masih tutup
Sekitar pukul 17.00, pengelola base camp terlihat, segera aku mendatanginya untuk menyampaikan salam dan permisi. Sebagai tamu yang baik, memperkenalkan diri dan permisi merupakan sebuah ritual wajib. Kami bertemu dan disambut oleh bang Ipul sendiri. Kami mendapatkan informasi bahwa di base camp tidak ada tempat untuk menginap. Tetapi di sediakan penginapan di depan rumahnya untuk disewa para pendaki dengan harga sewa per malam Rp 100.000. Penginapan ini bentuknya seperti rumah panggung betawi, ada kasur dan listrik di dalamnya. Cukup nyaman.
di belakang papan nama adl penginapan

Hari 2
Minggu, 17 Mei 2018
            Malam untuk melepas dan mengurai lelah telah berlalu. Kini hari baru dengan harapan baru merekah. Segala harapan menuntut untuk diwujudkan. Pagi-pagi benar kami bangun dengan tenaga penuh. Segera mencari sarapan dan menikmatinya.
Setelah re-packing perlengkapan pendakian, kami pun siap bercengkerama dengan pesona setapak Tambora. Dengan pertimbangan untuk mengirit waktu pendakian dan tenaga, kuputuskan untuk menggunakan jasa ojek dari base camp sampai pos portal (pos yang berada di tengah kebun kopi). Jarak antara base camp ke puncak Tambora sekitar 27 km. Kalau menggunakan jasa ojek, lumayan kepotong 4 km. Dengan demikian, masih punya tanggungan untuk jalan kaki sejauh 23 km.
Tepat pukul 08.00, aku dan isteriku memulai start pendakian yang diawali dengan ng-ojek.
Sudah 4 hari, tidak ada pendaki yang nanjak. Hanya ada satu rombongan dari Perancis (2 orang dengan 3 porter). Hari ini sebenarnya ada satu rombongan pendaki asing (2 turis dengan 3 porter), tetapi jadwal keberangkatan tidak pasti. Dengan demikian, hari ini hanya ada satu rombongan pendaki lokal, yaitu aku dan isteri, tanpa porter juga tanpa guide. Inilah petualangan. Sepasang suami-isteri melakukan expedisi Tambora via Pancasila.
Perjalanan menuju pos portal merupakan jalan tanah yang naik turun. Itu pun bukan jalan yang rata. Tetapi bergelombang penuh lobang. Jalur ini bisa disebut sebagai jalan offroad. Lumayanlah untuk pemansan, sport jantung.
Sedikit informasi kalau ojek di sini menggunakan motor bebek biasa yang dimodif roda-nya menjadi ban offroad. Dengan demikian cukup menjadi media untuk wisata-adrenalin. Menantang dan mendebarkan. Ngeri-ngeri sedap.
Setelah menumpang ojek selama 30 menit sampailah kami di pos portal. Sejenak beristirahat.

(Pos Portal,  pukul 08.30)
Pos portal merupakan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Ada satu bangunan/ selter seperti gazebo yang dapat digunakan untuk berbaring bahkkan untuk tidur. Sambil menikmati suasana pos portal, tiba-tiba muncul rombongan sepasang pendaki asing dengan 3 porter. Keder melihatnya, mereka berjalan seperti dikejar setan. Sangat cepat. Kuputuskan untuk mengikuti jejaknya saja. Jelas tidak mungkin bila kami mau mengimbangi kecepatan turis Eropa dengan para porternya. Minimal kami bisa menyisir jejaknya saja, bagiku sudah cukup untuk memberi petunjuk arah langkah pandakian.
hutannya masih rapat
Tanpa menunda waktu, aku dan isteriku mulai berjalan meninggalkan pos portal untuk menuju pos satu. Sebenarnya dari pos portal, jalannya sudah dibangun bagus. Terlihat dikerumunan semak-semak, ada pembatas jalan/ pagar besi. Dulu, kelihatannya bukan setapak tetapi jalan yang disemen. Tetapi sekarang telah menjadi setapak. Perdu dan semak sudah menutup jalan semen dengan pembatasnya.
Sekitar 25 menit kami menyusuri setapak yang sempit, dengan belukar dan semak di kanan-kiri jalur. Sesekali harus mengatasi halangan pohon tumbang dan harus punya strategi mengatur nafas untuk menghadapi tanjakan yang landai tetapi tanpa jeda. Hingga akhirnya, kami bertemu pertigaan jalur bagus yang terdapat tanda-tanda bisa dilewati sepeda motor. Kemudian kami mengikuti jalan setapak yang lebar dan bagus, karena jejak sepeda motor  lewat. Kelihatannya ini adalah jalur ilegal loging atau mungkin jalur khusus untuk evakuasi. Bisa juga kedua-keduanya. Sekitar 20 menit kami menyusuri setapak enak ini. Hingga kami melihat atap selter. Berarti sebentar lagi kami tiba di pos satu.
pos i
(Pos 1,  pukul 09.1)
Setelah berjalan selama 45 menit dari pos portal, kami tiba di pos 1.  Di pos 1 ada shelter yang cukup nyaman. Ada dua bangunan sederhana yang mirip gazebo, tetapi yang satu sudah agak rusak. Pos 1 ini sangat rimbun dengan pepohonan. Di sekeliling shelter banyak suara burung dan monyet.  Jadi, pos 1 ini seolah-olah berada di tengah belantara dengan pohon yang besar-besar.  Misalkan mau nge-camp di pos ini juga disarankan karena tempatnya luas dan datar. Juga ada mata air. Dengan demikian, kalau hanya sekedar ingin happy camp, pos ini sangat rekomended.

Di pos ini, kami bertemu rombongan sepasang bule. Mereka sudah siap-siap berangkat lagi. Sebelum berangkat, aku sempat mengais informasi dari porter yang sekaligus sebagai guide nya. Bahwa mereka akan meneruskan perjalanan menuju pos 2, memasak dan makan siang di sana. Baru lanjut menuju pos 3, dan akan bermalam di sana. Tengah malam baru lanjut untuk attack summit.
Aku mengambil keputusan untuk istirahat di pos 1, kemudian lanjut santai, setibanya di pos 2 kami akan buka bekal, tidak perlu masak, tinggal makan. Dengan demikian, waktu start menuju pos 3 akan bisa bersamaan dengan rombongan turis Eropa tadi. Sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari petunjuk dan penanda setapak yang benar.
Aku dan isteriku untuk sementara menikmati suasana yang menenteramkan di pos 1.



(Pos 2,  pukul 11.00)
Sebelum meninggalkan pos 1, serombongan pendaki turun. Ternyata mereka rombongan turis Perancis yang telah 4 hari menikmati Tambora. Dari guide-nya aku dapat info, kalau di atas sama sekali tidak ada pendaki lain, selain 1 rombongan yang baru saja lewat. Kepastian informasi ini menjadi penyemangat untuk bisa menyusul rombongan di depanku. Tidak menunda waktu, tepat pukul 09.30, kembali aku dan isteriku melangkahkan kaki menuju pos 2.

Selepas pos 1, medan setapak dominan datar, sangat panjang tetapi datar. Ketika berjumpa dengan tanjakan, juga panjangnya tidak terkira. Untungnya kanan kiri masih lebat pepohonan. Aneka jenis pohon tumbuh dengan subur, ada yang kecil tetapi ada juga yang sebesar kerbau. Jadi, udara sangat segar, sejuk, yang memancing untuk berimajinasi jelajah hutan-rimba peradapan megantropus.
Selepas tanjakan panjang, kami kembali disuguhi medan datar nan panjang dengan semak setinggi dada. Belukarnya masih rapat. Setapaknya sudah ada. Tapi belukar dan perdu menutup di bagian atas. Jalur Tambora itu jarang ada papan penunjuk jalan. Beruntung kami, kerena baru saja ada 1 rombongan turun dan yang naik, anggap saja mereka sebagai “pembuka jalur”. Cukup meringankan kaki. Menurut perkiraanku, tengah-tangah antara pos 1-2, ada selter cadangan (pos bayangan). Sayangnya terlihat kusam. Mungkin jarang pendaki yang mampir untuk beristirahat di selter ini.
betul-betul masuk hutan
Sekitar 1,5 jam kami berjalan, kami mendengar suara manusia yang bercanda. Pasti pos 2 sudah dekat. Benarlah perkiraanku, dan akhirnya kami tiba tepat pukul 11.00. Kami kembali bertemu dengan rombongan turis Eropa. Mereka tidak jadi memasak di pos ini. Mereka akan masak di pos 3 sekalian mendirikan tenda.
Di pos 2 ini terdapat shelter seperti di pos 1 dan juga terdapat aliran sungai yang bisa dimanfaatkan untuk mengisi air minum. Menurut informasi, pos ini banyak dihuni pacet. Makanya, aku putuskan untuk tidak mengambil air. Lagian cadangan air yang kubawa masih cukup untuk sampai di pos 3.
pos 2
Tak berapa lama, rombongan Eropa itu pun melaju. Terlihat wajah mereka kurang nyaman dengan kehadiran kami. Biasalah wisatawan kaya dan elit. Beda dengan kami. Mereka meneruskan langkah. Aku putuskan untuk tidak tergantung pada mereka. Yang penting, aku telah banyak mengumpulkan informasi untuk bisa menikmati petualangan-ekspedisi Tambora ini. Mereka berlalu, aku dan isteriku merebahkan raga barang sejenak di selter.
Setelah mereka tidak terlihat, aku bermaksut mengisi perut dengan bekal yang kubawa. Nasi dan telur dadar. Tidak usah repot masak tapi ada asupan energi yang lezat. Tas aku bongkar, aku cari-cari dan yang kucari tidak juga kutemukan. Ternyata, bekal yang kubeli tidak dimasukkan kedalam tas. Ya sudahlah. Untuk mengobati kecewa, makan biskuit kering saja.
maem dulu, nyam-nyam

(Pos 3,  pukul 13.00)
Agak lama kami beristirahat di pos 2. Sekitar pukul 11.30, kembali kami melanjutkan perjalanan. Dari selter, kami menyeberangi sungai dan kemudian tanjakan sadis siap menghadang, belum lagi di beberapa tempat ada pohon tumbang, terpaksa harus merangkak. Perjalan menuju pos 3 ini cukup melelahkan, jalurnya berubah drastis yang sebelumnya dari pos 1 ke 2 dominan landai.
Medan pos 2 ke pos 3 lebih variatif, ada tanjakan curam yang seolah-olah tidak ada hentinya. Ada pula turunan, tikungan. Menyelinap di antara pepohonan yang rapat. Untungnya, kami masih bertubuh ramping sehingga lebih mudah dalam menghadapi halang-rintang belantara Tambora. Sebenarnya, kondisi hutan menuju pos 2 ini, masih sama seperti sebelumnya yang dominan pohon besar dan pohon tumbang.  Wajar bila terkadang kami harus merangkak dan terkadang harus melompati batang kayu yang rebah, juga harus menyusup ke  lorong yang terbentuk dari semak-belukar.
sinar matahari tak mampu menembus
Sempat muncul rasa bosan, ketika hanya menyusuri hutan dengan setapak datar. Hingga akhirnya, kami dihadapkan pada turunan yang panjang. Selepas menikmati turunan yang mengasikan, kemudian kami menyusuri medan datar dengan kanan-kiri yang ditumbuhi pakis dan suplir. Dikejahuan terdengar suara. Kupastikan itu adalah suara dari rombongan turis Eropa. Kali ini, aku mengambil keputusan “tidak akan beristirahat di sekitar mereka”. Biar si bule tetap nyaman. Benarlah yang aku perkirakan. Kami tiba di pos 3 tepat pukul 13.00
kabut tipis menyelimuti
Pos 3 merupakan tanah lapang berukuran 2 kali lapangan badminton, sekiranya cukup untuk mendirikan lebih dari 10 tenda dome dan di sini terdapat pos shelter yang cukup nyaman untuk beristirahat. Kusempatkan untuk mencari informasi pada para porter tentang arah mengambil air, juga arah menuju pos 4 serta ke pos 5 dan juga yang tidak kalah penting adalah berapa perkiraan waktu tempuhnya.
pos 3
Kulihat mereka sedang memasak nasi juga sayur. Di sini, porter sekaligus sebagai guide dan koki. Jadi, tamu tinggal terima beres.
Tidak membuang waktu, segera aku mengambil air sesuai dengan penunjuk arah yang terpampang di pohon. “Mata Air 200 Meter”. Pos 3 berada di punggungan bukit, sedangkan mata air berada di lembah. Dengan sendirinya, setapak menuju mata air turun tajam dan curam. Harus hati-hati. Mata air tidak berupa genangan banyak tetapi hanya kecil. Berupa saluran dari pipa air yang mengalir pelan. Harus sabar untuk menunggu 1 botol dapat terisi penuh. Untungnya saya sekalian membawa botol agak banyak. Saya mengambil air sekitar 7 liter dan sebelum naik ke pos, aku puas-puaskan minum langsung dari mata air tersebut.
kulkas 2 pintu tampak belakang
 Sesampainya di pos, kulihat rombongan sedang persiapan makan siang yang terlihat lumayan mewah dan lengkap. Aku pun segera packing ulang, karena beban di punggung bertambah 3 botol x 1,5 liter. Kami sadar bahwa diri ini sudah tidak lagi muda. Kami sudah melakukan perjalanan yang lumayan cepat dengan jarak tempuh yang panjang. Menyadari bahwa raga sudah tidak gagah, pasti perjalan berikutnya tidak akan secepat di perjalanan sebelumnya.
Kami putuskan untuk mendahului berjalan, mohon pamit kepada rombongan porter yang menemani pendaki bule. Aku melihat ekspresi wajah “Si Bule” sangat tidak senang dan terkesan malah tersinggung. Seumur-umur ketika mendaki dan berjumpa dengan orang asing, baru kali ini menemukan pendaki bule yang memiliki mentalitas yang beda. Tidak seperti biasanya. Ya sudahlah.
pos 4

(Pos 4,  pukul 14.45)
Sekitar pukul 13.30, kami memulai lagi perjalanan. Raga telah usang hingga tenaga seolah tak berdaya. Bersyukur, kami masih memiliki semangat dan tekat membara untuk mencapai pos 5 sebelum gelap. Menurut info, dari pos 3 sampai di pos 4, masih membutuhkan waktu 1 jam perjalanan tanpa membawa beban tas keril. Jalur menuju pos 4 cukup menanjak dan rapat oleh tumbuhan. Selepas pos 3 ini, medan didominasi tanjakan terjal. Tanjakan sadis tanpa ampun. Selain itu, mulai dari pos 3 ke atas ini, di kanan-kiri setapak didominasi oleh Jelatang. Jelatang merupakan tumbuhan yang sepintas mirip daun ganja dan tetapi ada yang seperti daun talas.
awas jelantang
Di sekujur batang dan daun jelantang tumbuh duri-duri yang kalo terkena kulit rasanya pedih dan panas. Saya yang sudah berpakaian rapet dari atas sampai ke bawah tetap tembus, alhasil paha dan betis serasa pedih dan panas. Di Argopuro (Jatim) Jelatang disebut Jancukan. Sepanjang setapak mesti waspada melihat kanan-kiri, karena jelantang ada dimana-mana. Maka, di jalur ini tidak disarankan untuk model pendaki seksi (yang biasa pakai celana pendek juga kaos tanpa lengan).
Nafas terengah. Tenaga seolah sudah tidak ada. Medan makin nanjak tidak ketulungan. Kesabaran dan ketabahan dicampur dengan semangat mesti terus diseduh agar raga kembali punya nyali untuk kembali menapak. Di jalur ini, pepohonan mulai jarang tetapi besar-besar. Hingga akhirnya kami tiba di pos 4 sekitar pukul14.45. Di pos 4 ini tidak ada shelter seperti yang di pos - pos sebelumnya. Pos 4 hanya ditandai dengan tanah lapang yang cukup luas dan papan penanda di pohon (aku melihatnya sudah di bawah. Mungkin pakunya lepas).
Belum juga sempat duduk istirahat. Tiba-tiba dari belakang ada suara pergerakan di lorong semak-semak. Takutnya rombongan babi hutan. Ternyata “Si Bule” yang disusul 3 porter dibelakangnya. “Gila. Cepat sekali. Pakai tenaga apa ini?”, komentarku. Karena memang pas aku dan isteriku berlalu meninggalkan pos 3, mereka baru mulai makan siang.
bonus, datar
Sambil terheran-heran, akhirnya aku beselorok di tanah dengan santainya. Tidak ambil pusing dengan “Si Bule”. Dua porter yang paling belakang tiba-tiba ikutan berhenti dan duduk di sampingku. Lalu, berkomentar, “Gila. Ini adalah pengalaman terberat. Selama mendampingi tamu asing tidak ada yang secepat ini dan rencananya juga berubah-ubah. Gara-gara, abang berdua jalan duluan tadi, “Si Bule” tidak jadi makan dan langsung ngajak terus, pada hal semula berencana akan mendirikan tenda di pos 3. Dia gak bawa barang, jadi enak-enak saja. Kami ini, butuh asupan tenaga”. Aku hanya tersenyum dalam hati, Bule kok panas dengan pendaki lokal yang udah usang, haha. Lalu, aku sampaikan permohonan maaf kepada para porter tersebut. Mereka pun mengakui bahwa kami juga tergolong pendaki hebat. Terimakasih atas pujiannya.

(Pos 5,  pukul 16.00)
Sekitar pukul 15.00, kembali kami melangkah. Terseok-seok. Raga yang tak lagi tegak, terpaksa bergesekan dengan jelantang. Sepanjang jalur masih rapat si jelantang menghiasi setapak. Jalur menuju pos 5 tidak beda dengan jalur sebelumnya, didominasi oleh tumbuhan jelatang serta tanjakan yang lumayan curam. Namun, masih ada bonus jalan landai di beberapa titik.
pos 5
Kendati aku sendiri merasa capek dan lelah, namun aku berlaku munafik untuk memberi motivasi kepada isteriku yang juga hampir tumbang. Kami terus melangkah, kendati sangat pelan, terus berjalan. Berharap untuk segera sampai pos 5, mendirikan tenda dan istirahat.
Harapan kami menjadi nyata, sayub-sayub terdengar ada suara di kejahuan, itu pasti rombongan “Si Bule” . Kupaksa  dengan sisa  tenaga untuk terus melangkah. Dan sampailah kami di pos 5, sekitar pukul 16.00. Pos 5 ini ditandai dengan plakat bertuliskan “pos 5” yang terpampang di pohon besar. Di pos ini, ada  2 tempat yang bisa untuk mendirikan tenda. Satu berada di sekitar pohon dengan papan bertuliskan “pos 5”. Satunya lagi berada di kanan jalur yang kurang lebih hanya cukup untuk 4 tenda dome.
Kami pun segera mendirikan tenda tepat berada di sebelah tenda “Si Bule”. Isteriku segera masuk tenda. Aku mencari kayu bakar untuk membuat api unggun. Kayu siap, segera kubuat api. Lalu aku memasak, isteriku malah keluar tenda dan menikmati api unggun. Sekitar pukul 18.00, makanan siap, segera kami menikmati makan malam.
tendaku

tenda teman seperjalanan "si bule"

Usai makan malam, aku menikmati malam dengan duduk santai di depan tenda. Isteriku segera menyiapkan diri untuk istirahat. Aku sengaja membikin api unggun gede dan bertahan untuk istirahat agak malam karena takutnya ada serangan babi hutan, sebagaimana diceritakan. Dalam waktu sekejap isteriku telah nyenyak dalam mimpi. Hal ini ditandai dengan suara dengkuran yang sangat keras.
Karena dengkuran ini dinilai “Si Bule”  sebagai pengganggu, maka ia minta para porter untuk memindahkan lokasi tenda, menjauh dari kebisingan dengkuran. Dalam hati aku hanya tersenyum, wajarlah pendaki kaya dan elit. Sekitar pukul 21.00, kumatikan api dan siap-siap istirahat untuk mendulang tenaga, agar esok hari bisa bangun dengan tenaga segar.  

Hari ke 3
Senin, 18 Juni 2018
 (Puncak Kaldera Tambora,  pukul 08.00)
Sengaja kusetel alarm pukul 03.00. Di tengah lelapku yang nyaman, penanda waktu berbunyi dengan semangat. Sejalan dengan gairahku. Segera kusingkapkan separo sleeping bag yang telah menghangatkan ragaku. Kunyalakan kompor untuk menyiapkan susu hangat. Niat hati, tepat pukul 04.00, akan kami mulai perjuangan menuju puncak. Dalam waktu sekejap air telah mendidih. Segera kuracik susu hangat untuk menemani biscuit sebagai pengganjal perut serta menghangatkan badan dari dalam.
Kubangunkan isteriku dari tidur nyenyaknya. Kami berdua pun, tanpa menunda waktu segera bergegas menghangatkan raga dengan hidangan sederhana yang terasa mewah. Usai menikmati hidangan dini, niat hati akan segera berkemas dan harus bongkar tenda. Karena memang di Tambora tidak boleh meninggalkan tenda. Kecuali kalau rela dirusak babi hutan. Sudah banyak buktinya dan aku tidak mau menambah.
Akupun keluar tenda, mencoba mendeteksi kemugkinan terbaik. Angit bertiup cukup kencang. Di atas juga terdengar sama. Mendadak raga menciut karena udara yang memang benar-benar dingin. Selain itu, keadaan juga masih gelap. Belum pernah aku membongkar tenda dan packing dalam keadaaan gelap. Akhirnya kuputuskan untuk kembali nenda. Asik bercerita dengan isteri, sambil menunggu cuaca meremang.
Sekitar pukul 05.00 remang-remang cahaya fajar mulai menggeliat. Lumayan bisa membantu untuk berkemas. Tidak menunda waktu segera kubongkar tendaku, packing ulang. Setelah semua barang sudah masuk ke dalam tas kerier (kecuali yang akan dibawa untuk ke puncak), aku bergegas mencari pohon untuk mengikat tas tersebut. Tidak jauh dari camp terdapat pohon yang tidak terlalu tinggi tapi nyaman dan pastinya aman untuk mengikat tas.
Setelah yakin akan keaman tas kerier beserta isinya dari ancaman babi hutan, kami pun bergegas melangkah. Tepat pukul 05.30, kami memulai misi menuju puncak Tambora.
Dari tempat camp, jalur mesti dan harus ambil kanan. Selanjutnya menyeberangi sungai yang mulai kering. Banyak genangan yang airnya berwarna hijau. Bila musim hujan air di sungai ini biasa digunakan untuk masak dan minum.
Selepas menyeberangi sungai, setapak langsung menanjak tajam. Yang kemudian disusul trek landai. Lumayan sebagai bonus kaki. Pepohonan mulai menjarang dan pucuk Tambora  juga telah menyeringai. Bagiku menambah semangat. Tetapi beda dengan isteriku, ia mulai mengeluh dan menyampaikan satu hal bahwa “kliatane aku gak kuat. Mamas naik aja. Aku tak nunggu di sini saja”.
keindahan di belakang kami
Ungkapan dari isteriku yang seperti ini, pernah ia sampaikan waktu mendaki Semeru. Bedanya, di Semeru,  puncak sudah tidak lama lagi akan tercapai. Tetapi ini, masih amat jauh sudah mengeluh dan mau menyerah. Apakah aku akan mampu men-sport sebuah pendakian yang masih panjang. Aku mencoba bertahan dengan pemikiran yang positif. Kendati pepohonan mulai bisa dihitung, namun setapak menyuguhkan bonus. Jalan datar.
Hingga kami tiba di pos makam. Semangat masih ada. Cuaca pertanda baik. Karena di belakang kami, terlihat keindahan panorama pulau Sumbawa sisi barat. Deretan hijau hutan-bukit, membentang biru lautan yang diputus oleh paulau Moyo dan Satondae. Gugusan awan putih yang bagaikan domba juga berarak manja, menghias biru langit.
Usai melewati pos makam, kami bertemu penanda satu pohon cemara tunggal yang cukup besar. Ini juga penanda bahwa setapak datar mulai berubah drastis menjadi tanjakan tajam. Dari medan tanah berganti  pasir dan batu. Mulai merosot dan terengah dahsyat.
mencoba mencari kekuatan dr semesta
Baru sekali menyelesaikan tanjakan tajam, isteriku terlihat pucat dan sempoyongan. Langkah kakinya mulai goyah. Aku masih berpikir positif. “wajarlah karena medan pasir yang lembut dan juga karena terpaan angin yang mulai kencang-membahana”.
Dugaanku keliru, isteriku tiba-tiba terhuyung dan hampir jatuh. Dengan sigap, aku langsung menangkapnya dan memapahnya untuk mencari perlindungan dari terpaan badai. Kembali isteriku menyerah dan tidak akan melanjutkan perjalanan. Aku hanya terdiam. Cukup pendakianku sampai di sini saja. Segera kurespon keluhannya, “Kalau berhenti ya sekalian turun. Kamu tidak terus aku juga tidak. Mari kita turun saja”.
mencoba bertahan dg asa yang koyak-parah
Isteriku hanya diam. Kemudian ia menangis. Aku tidak mengerti maunya. Aku hanya mencoba menduga. Telah puluhan kali, aku mendaki bersama isteriku, tetapi aku tidak pernah mengalami kecemasan yang sebesar ini. Aku sangat kawatir. Tetapi tidak ingin menunjukkan kekawatiran itu.
Tiba-tiba isteriku meneruskan langkah untuk menuju puncak. Kendati terhuyung-huyung, ia terus melangkah. Matanya masih menitikkan air mata. Aku makin binggung dan tidak mengerti. Kekhawatiranku juga semakin menjadi. Aku minta berhenti dan tidak meneruskan pendakian. Tetapi ia tidak menggubris. Aku minta penjelasan. Tetapi tidak ada jawab.
Aku hanya mencoba menebak, mungkin ia menyanyangkan sebuah pendakian dari tanah Jawa (Solo) tetapi tidak sampai puncak. Sebuah ekspedisi yang tidak boleh gagal.
Akhirnya aku memutuskan untuk menemani isteriku. Tidak kubiarkan ia berjalan terhuyung. Maka, aku memapahnya. Sebuah pendakian yang tidak mudah. Dengan medan tanjakan tajam berpasir-kerikil, dengan hempasan badai yang tidak kunjung berhenti. Aku menggandeng dan memapah isteriku yang jalannya sempoyongan. Sebentar-sebentar harus berhenti untuk mengatur nafas dan tenaga.
Kembali isteriku mempersilakan aku terus dan ia mau berhenti. Aku pun kukuh dengan prinsipku, “Kalau berhenti ya sekalian turun. Berhenti di medan gunung, pada setapak yang terbuka dengan tiupan angin kencang adalah pantangan. Dalam waktu sekejap tubuh yang awalnya panas, hangat akan mendadak menjadi dingin. Keadaaan yang seperti ini sangat berbahaya.
Anehnya, setiap kali aku minta turun, isteriku tidak merespon. Ia hanya diam. Dan kembali air matanya keluar. Beberapa kali, aku tawari untuk kugendong. Tetapi ia menolak. Akhirnya, aku pun hanya diam. Saat isteriku melangkah, aku segera sigap untuk memapahnya dan menemani langkahnya untuk terus menggapai puncak.
Aku hanya berpikir, “Isteriku mungkin sangat mengenaliku, sebuah kekecewaan bila pendakian tidak sampai puncak. Apa lagi isteriku tahu kalau tenagaku masih berlimpah-limpah”. Terimakasih isteriku, atas pengenalanmu akan diriku ini.
memaksa tersenyum di tengah pilu hati
Setapak demi setapak. Selangkah demi selangkah. Akhirnya, di sela-sela gulungan kabut yang tebal. Kami bisa melihat bibir kaldera. Bagiku, cukup menghantar isteriku untuk sampai bibir kaldera. Ini juga puncak.
Sayang, cuaca amat kurang bersahabat. Kabut muncul dengan tebal. Kawah tidak terlihat. Sepintas dan samar, kawah terlihat, pinggiran kaldera terlihat tersenyum. Kibaran bendera sebagai penanda puncak ternyata hanya sekitar 100 meter lagi. Isteriku sudah terlihat segar. Mungkin targetnya telah tercapai. Dia pun mempersilahkan aku untuk terus sampai ke puncak Tambora. Karena tinggal 100 meter dan aku merasa tenagaku masih prima, maka aku putuskan untuk meninggalkan isteriku. Dengan berlari kuingin segera menggapai puncak dan bila sudah sampai, aku hanya ingin berdoa di sana kemudian akan kembali berlari untuk segera turun menemani isteriku.
kendati tertatih tetapi terus melangkah
Baru sekitar 30 m aku berlari, kutengok kebelakang isteriku pelan-pelan kembali berjalan. Mungkin ia juga akan menuju puncak. Kupelankan lariku dan sesekali kembali menengok dan menunggu, memastikan isteriku masih berjalan. Dalam samar kabut gunung, saat isteriku kedati pelan ia masih mampu berjalan. Kutunggu. Bila ia dekat, kembali aku berjalan. Sekarang, tidak perlu lagi berlari. Cukup dengan jalan santai. Kutunggu lagi. Ia menyusul lagi. Hingga akhirnya, kami berdua boleh bersama menginjakkan kaki di tanah tertinggi pulau Sumbawa, puncak Tambora.
sekarang bisa tersenyum
Dengan hati gembira dan bahagia, kami hanya bisa bersyukur dan berterimaksih pada Tuhan sang pencita. Tidak ada kata-kata yang mampu mewakili suasana hati ini. Aku hanya terdiam. Isteriku tersenyum dan kembali air matanya meleleh. Tetapi kali ini, aku yakin tangisnya pasti beda dengan yang sebelumnya.

Tidak sampai 5 menit kami menikmati kebanggaan atas pencapaian ini. Cuaca masih kurang bersahabat. Badai belum juga mereda. Kabut masih tebal menyelimuti semua area. Sekitar pukul 08.35, kami mulai bergerak turun. 20 menit meninggalkan puncak, kami telah tiba di Pos Makam. Kami memutuskan untuk menghabiskan perbekalan sekalian istirahat. Di sini lebih terlindung dari angin, cuaca mulai membaik. Kabut berlalu. Di depan mata, kami disuguhi panorama batas pulau dengan biru laut, hijau bukit dan hutan. Menyegarkan.
alam yang ceria
Setelah dirasa raga telah prima, kembali kami melangkah, menuruni setapak. Lega hati, saat mata melihat kelokan sungai. Ini berarti, sebentar lagi sampai di Pos 5.
surga itu nyata 

(Pos 5,  pukul 09.50) 
Tepat pukul 09.50, kami tiba di Pos 5. Tidak menunda waktu, segera aku mengecek tas kerir yang kuikat di pohon. Aman dengan keadaan masih utuh seperti waktu aku tinggalkan. Kami, memutuskan untuk istirahat sejenak. Meluruskan kaki dan  merebahkan badan. Sebentar lagi pundak ini, akan bermuatan ganda. Satu orang membawa perkakas pendakian dua orang. Dibikin asik saja. Tepat pukul 10.00, kembali kami melangkah.
lupa usia 
(Pos 4,  pukul 10.30)

Udara terasa kering menyengat. Untungnya, hutan masih lebat dengan pepohonan yang rindang-rapat. Perjalanan terbantu untuk sementara. Kering udara dan terik mentari sedikit teralihkan. Sehingga tidak langsung menyengat kulit dan melahirkan peluh. Kanan-kiri setapak masih lebat jelantang mengancam. Lelah raga, menjadikan langkah kaki tidak seperti yang diharapkan. Maka, tidak jarang kulit harus terpaksa bercengkerama dengan tajam duri jelantang yang terasa gatal-panas. Sekitar 30 menit kami berjalan dan sampailah di Pos 4. Kami memutuskan untuk lanjut, tanpa istirahat.


(Pos 3,  pukul 11.00)
Separo perjalan dari pos 4 menuju pos 3, kulihat gelagat yang tidak enak. Isteriku terlihat kurang nyaman dengan barang bawaan. Aku sungguh mengenalnya, biasanya penyakit di pundaknya kumat. Ia pernah salah urat di bagian pundak. Maka dengan memaksa, kuminta tas ransel kecilnya. Hingga akhirnya, semua beban perlengkapan untuk kami berdua, total pindah kepundakku (pada saat seperti ini, rasa dan jiwa lelakiku muncul. Ada kebanggan. Aku bukan menantang maut dengan membawa beban berat di punggung. Tetapi karena aku sungguh tahu batas kemampuanku. Jam terbang mengajariku banyak hal, soal cara membawa barang bawaan yang super banyak). Dalam lelahku, aku masih bisa berbangga karena, mampu berkorban demi orang yang dicintai. Separo nyawaku menjadi tanggunganku. Hingga tidak terasa, kami pun tiba di Pos 3, tepat pukul 11.00.
rehat dulu

(Pos 2,  pukul 13.00)

            Kami, memutuskan untuk istirahat agak panjang dan lama. Di sini, kami bertemu satu rombongan dari Jawa yang mengaku diri gabungan dari berbagai komunitas. Mereka berjumlah 6. Sebelumnya, kami sempat bertemu mereka saat menjelang puncak. Mereka sudah siap-siap turun. Sedangkan kami memutuskan baru mau memulai istirahat. Aku pun packing ulang agar, beban barang bawaan dua orang menjadi enak untuk aku bawa sendirian. Aku putuskan untuk membawa semua properti pendakian sampai selesai pendakian ini. Biarlah isteriku berjalan tanpa beban. Agar, tenaga dan kekuatannya seimbang denganku (Tidak ada sedikitpun niat untuk menyombongkan diri atau pamer. Semoga pengalaman ini, menginspirasi para lelaki yang mengidamkan pasangan petualang). Setelah kami merasa siap dan raga juga sudah kembali segar, tepat pukul 11.30, kami melanjutkan kisah.
calon porter
            Raga yang tidak lagi muda memang tidak perkasa lagi. Kendati pelan, namun kami terus melangkah. Menyusuri setapak di tengah lebat belukar-hutan yang seolah tak ada ujung  menjadi hiburan tersendiri. Suguhan keunikan pesona hutan yang masih terjaga, ternyata tidak mampu menopang raga yang renta. Beban di badan terasa kuat menekan. Pundaku seolah-olah terasa patah. Rasanya berat sekali. Tetapi aku tidak boleh mengeluh. Anggap aja, pura-pura berlatih menjadi porter Tambora. Selepas pos 3 menuju pos 2, kami beberapa kali bertemu rombongan pendaki. Agaknya hari ini, pendakian mulai ramai. Setiap kali berjumpa dengan rombongan pendaki lain, mendadak tenaga menjadi berlimpah. Kembali bergairah. Suara pendaki lain lenyap, begitu pula gairah itu juga meluruh.
Pelan kami melangkah, karena tenaga memang hanya sisa. Benarlah kata orang bijak, “sejauh apapun tujuan yang akan dicapai, selama kaki masih mau melangkah, pasti akan sampai”. Hingga tidak terasa langkah kaki telah mendekati ujung setapak, kami mendengar obrolan yang ramai. Kami yakin sebentar lagi akan tiba di Pos 2. Benarlah dugaan kami, tepat pukul 13.00, kaki usang dan lemah ini, sampai juga di pos.
porter ya
Lega rasanya.
Di pos 2 ini, kami bertemu dengan banyak rombongan yang akan melanjutkan petualangannya. Ternyata, semua rombongan ditemani oleh porter (yang sekaligus sebagai guide). Semua rombongan menyampaikan apresiasinya atas keberanian kami. Terimakasih kawan.

(Pos 1,  pukul 15.00)
Setengah jam berlalu. Kami menikmati istirahat. Tenaga telah memulih dan penat raga telah mengurai. Sejenak meletakkan beban, lumayan mujarap untuk mengembalikan semangat dan tenaga. Tepat pukul 13.30, kami meninggalkan Pos 2 untuk menuju Pos 1.
rapat hutan
Sebenarnya jalurnya dominan landai, hampir tidak ada tanjakan maupun turunan curam. Hanya karena raga memang lelah, maka seolah perjalanan mendadak sangat jauh. Seolah-olah setapak tiada ujung. Terseok, kami terus melangkah. Hingga atap selter pos terlihat dengan samar. Hal ini menjadikan kami sedikit bernafsu untuk segera tiba. Di pos 1, kami berhenti cukup lama. Kebetulan ada beberapa rombongan pendaki lokal yang akan nge-camp di sini. Sehingga suasana menjadi lebih ceria.
asik hutannya
Takut gelap melanda dan menutupi pandang. Selain itu kami juga telah membuat perjanjian dengan tukang ojek agar dijemput pukul 16.30. Ya, janji adalah utang. Supaya kami tidak berhutang maka segera kami pun dengan penat melanda-sangat beranjak meninggalkan pos.

(Pos Portal,  pukul 16.30)
Bermodal sisa tenaga dan semangat membara karena perjalanan turun tinggal sebentar lagi. Bergegas kami bergerak dengan jingkrak. Raga yang renta tidak kami pedulikan. Berjalan dan terus berjalan. Persimpangan pertama, kami harus ambil jalur kanan telah lewat. Turunan agak landai namun lebar menghantar kami melenggang dengan nyaman. Persimpangan kedua, kami harus belok kiri, meninggalkan jalur evakuasi dan pembalakan liar yang lebar dan tertata untuk masuk area setapak hutan. Di jalur ini kami masih bertemu dengan dua rombongan pendaki yang  masing-masing dari Jakarta lengkap dengan teman-porter. Hingga akhirnya kami tiba di pos portal tepat pukul 16.30. Dua tukang ojek yang kami pesan telah menunggu. Mereka tersenyum bangga. Tepat waktu. Kamipun merasa gembira dan ada kelegaan yang mendalam.

(Base Camp, pukul 17.00)
Tanpa menunda waktu. Ingin segera kami tiba di peradaban dan bisa beristirahat dengan nikmat. Berharap untuk segera bertemu dengan pembaringan yang nyaman. 30 menit kembali motor meliuk membawa kami dengan tenang. Tepat pukul 17.00, kami tiba di base camp. Lega. Bang Ipul menyambut kami dengan hangat. Segera kami dipersilahkan untuk meracik sendiri teh atau kopi panas. 
Sejenak kami pun berbagi pengalaman. Syukur tiada terkira karena kami boleh kembali dengan selamat, dengan cerita dan dengan pengalaman yang tidak bisa diulang. Kebetulan juga ada 2 rombongan yang esok hari akan nanjak Tambora. Namun lelah raga membatasi kami untuk terus berbagi pengalaman. Kamipun pamit untuk membersihkan diri, memesan makan langsung kepada isteri dari bang Ipul. Berharap setelah mandi makan malam siap. Langsung santap dan lanjut istirahat.

Hari ke 4
Selasa, 19 Juni 208
            Malam merayap dengan damai, manaburkan ketenangan dan membagikan kuasa penyembuhan bagi jiwa yang retak. Sepanjang malam kami telah beristirahat dengan baik. Hingga saat pagi merekah, kami bangun dengan ceria. Ada tenaga dan semangat yang baru. Hari ini, kami mesti melanjutkan petualangan. Kami akan kembali menyusuri pulau Sumbawa yang memiliki berbagai pesona. Berharap sore nanti, kami telah tiba di Sape. Pelabuhan ujung timur Sumbawa yang untuk selanjutnya kami akan menyeberang ke Labuhan Bajo, Flores. Di sana, petualangan baru siap menanti.
            Setelah sarapan, kami pun pamitan. Ada beberapa rombongan yang akan nanjak hari ini. Mereka meminta untuk foto bersama, demi kenang-kenangan. Terimakasih atas apresiasinya.
di sana ada puncak, td udh dr sana

Penutup
            Menutup catatan pendakian ini, ku hanya ingin mengucapkan syukur kehadirat Tuhan. aku boleh menikmati barisan surga di negeri sendiri. Ada gugusan keindahan yang membentang sepanjang jalur pendakian Tambora. Selain itu aku juga boleh mengalami perjumpaan dengan kebaikan. Aku boleh mengalami kebersamaan dengan sesama yang masih mau menaburkan keramahan, kesahajaan dan kebaikan. Syukur pula atas waktu sehingga aku boleh mengisi peziarahan bahtera rumah tanggaku dengan petualangan yang mendebarkan-menggairahkan, mencemaskan-membanggakan, mengkhawatirkan-melegakan. Sehingga aku boleh semakin merasakan dan meberi cinta. Terimakasih untuk isteriku, teman sehati-sepetualangan. Semoga ada hari-hari yang masih boleh kita lewati untuk menikmati surga-nusantara.






Estimasi Waktu Pendakian Gunung Tambora :

Basecamp - Pos Portal     : 30 Menit (dengan jasa ojek)
Pos Portal - Pos 1            : 45 Menit
Pos 1 - Pos 2                    : 1,5 Jam
Pos 2 - Pos 3                    : 1,5 Jam
Pos 3 - Pos 4                    : 45 Menit
Pos 4 - Pos 5                    : 1 Jam
Pos 5 - Puncak Kaldera   : 2 Jam (tanpa membawa keril)

Perincian Biaya (sewaktu - waktu bisa berubah):

Ojek sampe portal            : Rp.      75.000
Pendaftaran                      : Rp.        5.000 per hari
Penginapan Basecamp     : Rp.    100.000 per hari

NB: informasi paling akurat silahkan menghubungi Bang Ipul 082340693138 (pengelola base camp pendakian yang sangat ramah.
kartu nama bang ipul

Perlu dicatat, pada waktu saya mendaki, sinyal HP baru jalan-jalan. Di base camp saja tidak ada, apa lagi di jalur pendakian, pastinya zonk. Semoga menara pemancaranya sudah diperbaiki).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar