Jumat, 07 Juli 2017

catatan perjalanan bermotor dari Solo ke Bali dan Lombok

COUPLE RIDER:
MENEMBUS SURGA DI TANAH BALI-LOMBOK
Oleh: Heri


Menantang Kemapanan dan Kenyamanan Diri
Seiring dengan perjalanan waktu, usia pun ikut menua. Raga yang usang akan kian merapuh dan seabrek penyakit pun siap menemaninya. Maka tidak mengherankan bila semakin berumur, manusia akan cenderung untuk nyaman dalam kemampanan. Segala aktifitas yang menjadikan dirinya nyaman akan mengabadi, melekat tak teruraikan.
Sebagai pribdaipun, aku juga tidak bisa mengingkari hal tersebut.  Bersama waktu yang menghantar ragaku menua, aku pun punya kecenderungan untuk nyaman dalam rutinitas harian. Mudahnya adalah nyaman di rumah, nyaman di tempat tidur, nyaman dengan kegiatan-kegiatan yang tidak menantang dan sangat nyaman dengan kegiatan-kegiatan anti resiko.
Sedangkan di sisi yang lain, aku juga tak dapat memungkiri bahwa kenyamanan hiduplah yang menjadikan jiwa manusia kerdil, tidak berkembang dan yang lebih teragis adalah kemapanan menggiring untuk menutup diri, tidak mau belajar.
Oleh karenanya, aku memiliki kebiasaan untuk selalu menantang kenyamanan diriku. Bagiku pengalaman dan perjumpaan adalah cara untuk memperkaya diri. Harapannya adalah diri ini tidak mandek, tetapi selalu bertumbuh, menjadi pribadi yang terbuka untuk menjadi lebih dewasa.
Ada banyak cara dan varian yang aku pilih demi menantang kenyamananku itu. Salah satunya adalah menjelajah atau memasuki situasi dan tempat yang asing. Eksplorasi, kata banyak orang. Saat ini, karena statusku telah menikah maka aku punya teman setia yaitu isteriku.
Sebut saja aku adalah Heri Jimanto dan isteri saya adalah Regina Nunuk. Biar agak sedikit keren, kami akan menyebut diri sebagai couple-adventure, hehe. Kata adventure mau menegaskan bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah memasuki daerah, situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah kami datangi.

Tantangan bagi kami yang telah menua adalah bayang-bayang rasa lelah-capek yang akan mendera, ketakutan dan kekhawatiran pada banyak hal (bingung, kejahatan jalanan, kerusakan kendaraan, tidak dapat penginapan, kehujanan, dll). Sedangkan kekuatan kami adalah Tuhan sang penyelenggara hidup, pengalaman yang beda, perjumpaan yang akan mengubah dan keindahan alam.
Kali ini, kami akan menantang diri dengan mengunjungi serta mengelilingi pulau Bali dan Lombok. Bagi kebanyakan orang, kegiatan kami begitu remeh dan sepele. Namun bagi kami, kegiatan ini sangat luar biasa. Pengalaman berkendara sejauh 2.378 km untuk memasuki daerah yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Inilah kisah petualangan-ekspedisi sederhana kami. Semoga bisa menginspirasi.


Hari I, Jumat 23 Juni 2017: Mengunjungi Api Biru Kawah Ijen
Perjalanan jauh yang sekaligus bernuansa petualangan membutuhkan persiapan yang maksimal, menyangkut kendaraan, perbekalan (peta perjalanan, logistik, P3K, tenda, alat masak dan pakaian ganti), fisik maupun mental. Jauh-jauh hari kami telah membangun persiapan secara bertahap agar tidak ada yang tercecer. Setelah merasa segala sesuatunya telah siap. Saat fajar menyingsing, jumat 23 juni 2017 tepat pukul 04.30, kami meninggalkan rumah.
Tempat tinggal kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan kota Solo. Kami mencoba membuat rute perjalanan sederhana, yaitu Solo – Bondowoso (Kawah Ijen) – Banyuwangi – Bali (Gilimanuk – Tabanan – Padang Bai) – Lombok (Lembar – Mataram – Lombok Utara – Timur – Selatan – Tengah – Barat – Lembar) – Bali (Padang Bai – Amlapura – Singaraja – Gilimanuk) – Banyuwangi - Mojokerto – Kediri (Pohsarang) – Nganjuk – Solo.
Semangat yang membara mengobarkan gairah untuk menikmati petualangan. Gelap suasana fajar tidak menyurutkan nyali, cuaca kemarau dengan sepoi angin menurunkan suhu, dingin tak terasakan. Kendati di musim arus mudik, namun keadaan jalan masih lengang. Dengan lancar meninggalkan kota Solo, menembus Sragen dan melenggang memasuki Ngawi. Keadaan jalan mulai ramai-lancar. Motor tunggangan kami masih melaju damai menghantar ke kota Caruban. Saatnya sarapan dan istirahat.

Setelah badan terasa segar, perut kenyang, tepat pukul 08.00, kami pun melanjutkan kisah. Ada perbedaan mencolok arus kendaraan, jalur yang kami lewati menuju timur cenderung sepi sedangkan yang menuju barat terlihat padat merayap. Perjalanan masih lancar. Kami sejenak beristirahat di Jombang untuk mengisi bahan bakar tunggangan. Lanjut lagi.
Memasuki kota Mojokerto, kami agak sedikit mengalami kebingungan karena ada banyak pengalihan arus kendaraan. Beberapa kali memaksa kami harus mengais informasi terkait arah yang benar untuk menuju Pasuruan dan Probolinggo. Jalan utama telah ditemukan. Lega rasa hati.
Kegembiraan tak mampu mengingkari kalau raga juga perlu nutrisi, selepas kota Probolinggo, kami pun mencari warung. Makan siang dan beristirahat. Sekitar pukul 15.00, kami meneruskan perjalanan. Memasuki kota Besuki mata menjadi lebih waspada untuk menemukan arah menuju Bondowoso. Dari Besuki arah Bondowoso, jalanan begitu asik. Lebar penuh dengan tikungan. Sebuah hiburan. Targetku sebelum malam harus sudah ketemu jalur menuju Kawah Ijen.
Menjelang gelap jalur menuju target pertama telah ditemukan. Gelap memasuki hutan tanpa teman merupakan tantangan yang luar biasa. Sekitar 50 km, kami memasuki area hutan tanpa lampu penerangan, badan yang capek memicu untuk semakin stress. Namun harapan dan asa tidak boleh ikut padam. Menjelang memasuki kawasan Ijen, udara kian menusuk tulang. Dingin. Berr.
Akhirnya, sekitar pukul 19.30 kami telah memasuki area pendakian menuju Kawah Ijen. Sayang, kami tidak mendapat ijin untuk bermalam di sekitar puncak kawah Ijen. Ada kekhawatiran soal racun dari kawah. Para pendaki hanya diperbolehkan mendaki tetapi tidak boleh bermalam di sekitar puncak.
Setelah memperoleh informasi terkait pendakian fajar esok hari. Kami segera mendirikan tenda. Cuaca terasa amat dingin, tidak biasanya aku mengalami kedinginan di area pegunungan. Mungkin ragaku sudah terlalu capek. Malam harusnya bisa mendulang tenaga karena istirahat yang nyaman tidak kualami. Sepanjang malam aku mengalami kegelisahan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mebuat penghangat di dalam tenda melalui kompor. Syukur, walau sejenak bisa terlelap. Yang kualami beda dengan isteriku, dia terlihat amat sangat lelap dan nyaman dalam istirahatnya.

Hari II, Sabtu 24 Juni 2017: Menyaksikan Blue Fire dan Sun Rise Ijen
Suara gaduh bergemuruh dari banyak pendaki. Kulirik jam tanganku yang baru menunjuk angka 00.00. Pintu pendakian baru akan dibuka pukul 02.00, namun antusias pemburu blue fire telah berdatangan. Rata-rata adalah turis asing. Sedangkan wisatawan domestik tidak terlalu banyak.
Suasana yang riuh oleh berbagai obrolan dengan berbagai bahasa menjadikan suasana malam semacam di negeri antah berantah. Ada bahasa Inggris, Perancis, Malaysia, Korea, Cina, dll. Untuk lelap kembali sudah tidak memungkinkan. Maka, akupun memutuskan untuk membuat minuman hangat sebagai bekal untuk trecking menuju kawah dan puncak Ijen.
Pukul 02.00, kami keluar dari tenda, membeli tiket seharga 7.500/org lalu pelan-pelan melangkah. Ada banyak pendaki yang didominasi oleh pendaki manca. Mereka ditemani guide lokal. Sekitar pukul 03.30, kami telah tiba di bibir kawah. Kami diharuskan menyewa masker dengan filter oksigen seharga 25.000. Bau belerang amat sangat menyengat dapat teratasi oleh masker tersebut. Sekitar pukul 03.45 kami telah sampai di titik terdekat yang dijinkan guna menikmati panorama alam yang unik yaitu api biru, blue fire (menurut informasi di dunia ini hanya ada dua tempat salah satunya di kawah Ijen).

Setelah puas dengan pesona alam api biru, kami pun bergerak naik menuju puncak Ijen guna menikmati pesona matahari terbit. Dari bibir kawah, kami masih harus berjalan menyisir plawangan bibir kawah sekitar 45 menit ke arah timur. Tepat sebelum mentari pagi memulai sinarnya, kami telah berdiri di tempat yang paling baik guna menikmatinya.

Setelah puas dengan pesona keindahan mentari pagi, kami pun memulai perjalanan turun. Ada pemandangan yang unik, banyak turis yang mengalami kelelahan pendakian, kemudian mereka menyewa troli. Untuk penduduk lokal, mereka menyebutnya sebagai taxi Ijen. Pendaki yang cidera atau kecapaian tinggal naik kereta tarik. Tidak perlu repot-repot.

Sesampainya di tenda, segera kami membersihkan diri. Mandi. Packing. Sarapan. Melanjutkan perjalanan untuk menuju Banyuwangi. Jalur dari Ijen-Banyuwangi didominasi hutan dengan jalanan yang berkelok dengan turunan tajam. Teduh dan menantang adrenalin. Asik aja. Sekitar pukul 13.00, kami telah tiba di pelabuhan. Jarak Ijen-Ketapang sekitar 43 km. Saatnya menyeberang dan sekaligus beristirahat.
Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk lancar. Tidak perlu mengantri lama. Setelah sejenak agak kebingungan karena mengalami prosedur penyeberangan yang baru pertama kali kami alami. Intinya, untuk memasuki Bali harus lengkap surat-surat baik STNK, SIM dan juga KTP. Semua diperiksa. Memasuki pulau Bali kami ingin mengawali dengan berdoa, berserah diri pada Sang Pencipta. Maka, petualngan pertama adalah mencari tempat berdoa yang sesuai dengan keyakinan kami.
Sekitar 17 km dari Gilimanuk kami bertemu dengan papan penunjuk jalan menunjuk keterangan Goa Maria, maka segera kami belokkan motor untuk menemukannya. Sekitar pukul 15.30, kami telah sampai di kawasan Goa Maria Palasari. Di sini kami menjumpai inkulturasi antara budaya Bali dan tradisi Katolik. Saatnya mencari teduh di bawah perlindungan Tuhan.

Mendung bergulung hitam. Telah kami pahami bahwa cuaca pulau-pulau kecil tidaklah sama dengan pulau besar. Dengan demikian cuaca antara Bali dan Jawa pasti berbeda. Segera kamipun bergegas untuk meneruskan perjalanan. Kota Negara telah terlewati. Gerimis turun. Terlihat semua pengendara dari arah berlawanan telah mengenakan jas hujan. Berarti di seberang telah turun hujan.
Kami berhenti sejenak untuk melihat situasi membaik. Berharap untuk tidak kehujanan. Sambil beristirahat, tidak lupa kami pun mendulang tenaga, membeli makan. Masih gerimis. Kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sesampainya di persawahan tanpa rumah-rumah, hujan turun dengan lebatnya. Kami berteduh di gubug sederhana. Menunggu hujan reda. Keadaan masih temaram, pertanda malam belum bertandang.
Setelah hujan mereda, kami pun melanjutkan perjalanan. Namun, tidak berapa lama, hujan kembali mendera dengan lebat. Kami berhenti untuk mengenakan jas hujan. Perjalanan pun kami lanjutkan. Hujan begitu lebatnya. Sampai-sampai jarak pandang begitu dekat. Waspada dan hati-hati adalah modal utama.

Cuaca senja berpadu merdu dengan rintik hujan yang telah mereda, menghantar kami untuk melihat papan penunjuk Goa Maria Gumrih. Kami berpikir untuk sejenak berwisata rohani, sambil menunggu meredanya hujan, kami putuskan untuk singgah dan berdoa. Di sini kami memperoleh keterangan bahwa Tabanan masih sekitar 60 km lagi. Malam mengusir terang. Gelap dan hujan juga tidak mereda, kami teruskan perjalanan. Tikungan, tanjakan, genangan air menemani petualngan ini. Hingga akhirnya, kami terpaksa mengalami kebingunan saat sampai di pertigaan Tabanan-Denpasar.
Dengan raga yang dipenghujung tenaga, capek mendera, di tempat yang asing, tidak ada sauadara juga kenalan. Lengkap sudah stres yang terasa. Namun, kami mencoba bertahan dengan tetap membakar harapan dan asa jangan sampai kandas. Di tengah situasi yang seperti ini, memaksa kami untuk berpikir cerdas dan teringatlah kami akan satu mantan muridku yang telah menjadi sahabat sepetualangan dalam dunia pendakian Gunung.
Kami pun mengontak Yoga, ia dengan antusias menunjukkan arah dan memandu kami untuk sampai di rumahnya, di sekitar Mengwi, Tabanan. Sesampainya di rumah Yoga, hujan telah reda. Keluarganya menerima hangat dan sangat akrab, kami berbagi cerita dan dipersilahkan untuk berteduh di rumah mereka. Tidak boleh mencari penginapan. Mereka juga telah menyediakan hidangan makan malam. Bahkan pagi harinya mereka mengajak kami untuk sejenak mensyukuri hidup dalam ekaristi kudus.
Tawaran kebaikan hati itu kami sambut dengan rasa syukur yang tiada terkira. Kebahagiaan atas kebaikan keluarga Yoga itu menghantar istirahat malam kami dengan lelap.
Hari III, Minggu 25 Juni 2017: yang Rohani yang Manusiawi
Pagi merekah dengan segala harapan baik. Raga yang renta tak mapu mendulang tenaga setelah istirahat sepanjang malam. Namun, pagi ini kami akan mengawali dengan mempersembahkannya kepada Tuhan dalam ekaristi. Di langit masih menghitam, mendung siap mencurahkan air matanya. Bergegas kami mandi dan menyiapkan diri. Pukul 08.00, kami mengikuti misa di gereja Abianbase, Tabanan. Lain tempat tentu lain pula tradisinya, ada sedikit perbedaan cara peribadatan di Bali dengan di Jawa. Namun semuanya hanya bersifat tambahan bukan yang pokok. Ekaristi berjalan dengan khusuk ditemani hujan yang begitu lebat.

Kami pulang ke rumah keluarga Yoga. Cuaca belum bersahabat, mendung masih bergelayut hitam dan gelap. Kami mengisi waktu yang ada dengan berbagi cerita dan kisah hidup. Hingga tak terasa waktu telah berada pada titik 12.00. Lalu, mamanya Yoga mendukung kami untuk melanjutan petualangan ke arah utara, menembus Tabanan menuju Singaraja.
Kali ini, kami ditemani Yoga, petualangan kami menjadi bertiga. Kami akan mengunjungi tempat doa di pertapaan Karmel sekitar Bedugul dan Goa Maria Air Sanih. Kami masing-masing belum tahu tempat yang akan kami tuju. Bermodalkan informasi yang sepenggal-sepenggal kami pun berpetualang untuk berwisata rohani.

Pukul 14.00, kami telah tiba di Karmel. Berdoa sejenak. Pukul 14.30 kami pun menuju Air Sanih. Sekitar pukul 15.30, kami pun tiba. Berdoa sejenak. Mencari makan. Dan kembali pulang.

Selepas Bedugul menuju Tabanan, hujan turun dengan amat sangat deras. Menjelang pukul 20.00, kami telah sampai di rumah Yoga. Kembali kami pun berbagi kisah dengan cerita-cerita hidup. Sungguh akrab persaudaraan yang terjalin. Hingga malam menghantar kami untuk masing-masing kembali berbaring mendulang tenaga, agar esok bisa melanjutkan kisah. Saatnya istirahat.
Hari IV, Senin 26 Juli 2017: Menjaga Asa agar tak Padam
Pagi menjelma sendu. Langit masih berselimutkan mendung. Terlihat awan bergelayut, menandakan langit masih doyan hujan. Seolah langit mau mewakili rasa hati kami. Pagi ini, usai sarapan, kami akan bergegas melanjutkan perjalanan dan petualangan. Namun, kembali lagi ke suasana kekeluargaan yang tercipta, kami asik berbagi cerita. Seolah-olah kami anggota keluarga yang lama berpisah sehingga lembaran sejarah mau kami bentang untuk dibagikan. Keakraban yang sungguh dalam. Berat rasa hati untuk meninggalkan suasana ini.
Sekitar pukul 08.30, kami memaksa diri untuk berpamitan. Kendati hati tidak rela. Yoga menghantar kami sampai pada penghujung jalan untuk selanjutnya akan menyisir jalan Gatot Subroto hingga sampai di pelabuhan Padang Bai. Belum juga lama kami berkendara, langit menangis, hujan turun dengan dahsyat. Berhenti dan mengenakan jas hujan. Tiga hari di Bali, selalu ditemani air hujan. Perjalanan lancar jaya. Hingga tepat pukul 11.00 kami telah tiba di pelabuhan. Segera membeli tiket dan masuk ke ferri.
Kami belum beruntung, karena mendapat ferri yang telah tua dan kecil. Pertanda penyeberangan akan lama. Belum lagi masih sepi penumpang. Akhirnya, ferri menunda penyeberangan. Jam 13.00, ferri mulai bergerak meninggalkan Padang Bai menuju Lembar, Lombok. Saatnya istirahat.
Penyeberangan yang jauh dengan ferri yang tidak terlalu besar menjadikan kapal bergoyang dahsyat. Tidak bisa istirahat. Menikmati goyangan ferri. Di sinilah aku belajar satu hal bahwa di ferri tidak ada kelas sosial. Siapa datang duluan ia berhak mendapat tempat strategis, sedangkan yang datang belakangan akan medapat tempat yang tidak memadai.

Sekitar pukul 17.00 kami telah tiba di Lembar. Sebelum keluar dari ferri kami bertemu dengan rombongan touring anak-anak Jakarta yang akan mendaki Tambora. Mereka terkagum-kagum mengetahui bahwa kami hanya sendirian. Touring antar propinsi lintas pulau tanpa teman seperjalanan.
Meninggalkan Lembar, mengarah pada kota Mataram. Menurut informasi penginapan yang terjangkau ada di sekitar Cakranegara. Maka, kami berharap sebelum gelap telah tiba dan mendapatkan penginapan. Tetapi apa daya, ini pertama kali kami masuk ke kota Mataram. Asing.
Kami putuskan untuk menikmati makan malam, sambil mencari informasi tempat penginapan. Di sinilah kami belajar tentang satu hal, sering kali orang memanfaatkan ketidakberuntungan orang lain. Pedagang yang mengetahui bahwa kami orang asing, tidak tanggung-tanggung memberi harga mahal untuk makan kami yang sederhana. Untuk dua piring nasi lauk ayam goreng dan dua gelas teh hangat, kami harus mengeluarkan 150.000. ini harga restoran bukan warung kaki lima.
Ah, sudahlah.
Hati kami belum tenang karena belum mendapatkan penginapan yang sesuai dengan isi kantong. Menyusuri jalan sambil menebar pandang untuk menemukan penginapan. Tidak terasa kami telah sampai di Mataram kota. Dari informasi yang kami peroleh, kami mesti memutar arah untuk menemukan penginapan yang terjangkau. Sekitar 10 km kami telah melewati daerah penginapan yang dimaksudkan.
Raga yang lelah, malam yang gelap, daerah yang asing membuat kami hampir putus asa. Namun, harapan harus terus dibakar. Mata yang sayu kami paksa untuk menemukan penginapan. Akhirnya sekitar pukul 20.00, kami telah menemukannya di daerah Cakranegara dengan harga yang cocok di kantong.
Saatnya beristirahat. Agar esok bisa segar dan kembali melanjutkan petualangan.
Hari V, Selasa  27 Juni 2017: Membayar Mahal di Negeri Sendiri
Pagi menjelang, cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat membuncah dan bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, dan packing. Meliuk menyusuri jalanan kota Mataram. Di persimpangan jalan kami sengaja memilih jalan yang berada di sisi laut. Mengikuti alur jalanan yang berkelok, naik turun  di sekitar pantai memang terasa luar biasa. Perbukitan, hutan yang berpadu harmoni dengan lukisan pasir berhias birunya lautan. Keren.

Diri ini sadar bahwa belum sarapan. Niat hati adalah mencari menu khas daerah Lombok yang bisa kami dapatkan di daerah pantai Senggigi. Sesampainya di tempat yang kami tuju, maka segera kami berhenti memesan makanan dan menikmatinya sambil memandang lautan lepas.
Setelah raga mengurai lelah dengan istirahat dan sarapan, kami pun meneruskan perjalanan. Target kami adalah pelabuhan Bangsal. Kami berencana untuk menyeberang ke Gili Terawangan, mencoba menengok keindahan pesonanya yang telah mendunia.
Menyusuri jalan beraspal bagus, berkelok, naik dan turun. Di sebelah kiri terbentang birunya lautan yang membentang luas. Sesekali tenggelam bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Sedangkan di sisi kanan berderet perbukitan yang menghijau permai. Sungguh perjalanan yang memanjakan mata.
Sekitar pukul 10.30, kami telah tiba di pelabuhan Bangsal. Suasana yang sangat ramai. Ada wisatawan domestik dan juga wisatawan manca. Ada yang terlihat sangat elit, namun banyak juga yang berpenampilan gembel. Setelah mendapatkan tempat parkir yang aman, segera kami ikut mengantri untuk mendapatkan tiket penyeberangan ke Gili Terawangan. Karena begitu banyaknya antrian, isteriku meminta untuk ganti haluan pindah berkunjung ke Gili Air, yang loketnya terlihat sepi. Segera aku iyakan. Kami membeli tiket ke Gili Air. Sekitar pukul 12.30, kami menyeberang. Tidak lama, hanya sekitar 20 menit. Saatnya eksplorasi pulau kecil yang menawan. Di sini tidak ada kendaraan bermesin. Maka udara terbebas dari polusi. Di pulau ini, ada penyewaan sepeda, ada pula kereta kuda. Namun, kami memilih berjalan sambil menikmati pesona alam yang menakjubkan.

Di tengah keterpesonaanku pada semesta, ada sepercik kegalauan dan penyesalan. Dari sekian usaha di sektor wisata bahari dan perhotelan, kafe serta bar, hanya segelintir yang dikelola oleh pengusaha domestik. Kebanyakan dimiliki serta dikelola oleh asing. Penduduk lokal hanya sebagai pekerja dan kebanyakan adalah pekerja kasar.

Sekitar dua jam kami berkeliling mengitari Gili Air. Sebelum menyeberang ke Lombok, kami sejenak menikmati es krim sambil beristirahat. Di sini tidak ada harga murah. Semua mahal. Istirahat kami rasa cukup. Saatnya membeli tiket dan menyeberang kembali.

Sesampainya di pelabuhan Bangsal, dengan segera kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Tanjung, kabupaten Lombok Utara. Memasuki Lombok sisi utara mulai dari Tanjung, keadaan mulai membeda. Rumah-rumah mulai menjarang. Jalanan bagus tetapi cenderung sepi. Keluar dari Tanjung, sebenarnya masih benderang, baru sekitar pukul 16.00. Kami sedikit santai untuk menikmati perjalan. Kendati demikian, toh kami harus menemukan penginapan guna bermalam. Sesampainya di kecamatan Gondang, kami mencari informasi tentang penginapan terdekat.
Berharap dapat informasi yang menyegarkan hati. Tetapi yang kami dapatkan justru cukup mencengangkan, karena kami diminta untuk kembali ke Tanjung. Penginapan terakhir berada di sana. Lagian kalau terus ke arah timur akan lebih banyak menjumpai hutan bukannya perkampungan. Di sisi lain adalah rawannya tindak kejahatan, sering terjadi pembegalan di tengah jalan.
Kendati hati berat karena telah menempuh jarak sekitar 10 km, namun apa daya, kami memang orang baru, di tempat yang baru dengan segala situasi yang tidak kami pahami. Maka, saran tersebut kami terima dengan lapang hati. Putar balik. Sesampainya di pasar Tanjung, penunjuk hotel pun terlihat. Jalannya tidak meyakinkan. Jelek. Tetapi saat menemukan hotelnya. Nyaliku menjadi ciut. Hotel yang megah, menawan dengan berlatar langsung menghadap laut, ada kolam renang dan taman. Pasti mahal. Bukan kelasku. Tetapi apa daya, ini mesti kami terima. Lebih mencengangkan ketika ada kesempatan ngobrol dengan bell boy, ternyata hotel tersebut bukan milik orang Lombok tetapi milik orang asing. Orang lokal hanya sebagai tenaga rendahan. Inilah neo-kapitalisme. Penjajahan dengan wajah baru. Kami harus membayar mahal untuk menikmati keindahan alam di negeri sendiri.

Ah sudahlah.
Sore menjelang, eksotisme sun set langsung terbentang di hadapan mata. Wajar kalau hotel ini mahal. Malam merangkak berpayung pesona semesta yang memang luar biasa indahnya. Kendati raga telah lunglai, namun sayang bila kami tidur terlalu cepat. Kami terundang untuk menikmati panorama yang telah memaksa-mengeringkan kantong yang memang tidak tebal.

Hari VI, Rabu 28 Juni 2017: Menjaring Surga di Tanah Asing
Kembali pagi merekah bersama sejuta harapan dan semangat. Istirahat malam telah mengembalikan tenaga dan asa. Saatnya bergegas untuk persiapan perjalanan dan petualangan berikutnya. Tujuan kami hari ini adalah melanjutkan misi menyisir pinggiran Lombok sisi utara mengarah ke timur yang selanjutnya akan menyisir pulau Lombok bagian timur menuju selatan mentok di Tanjung Ringgit yang ada pantai Pink. Salah satu fenomena alam yang langka.
Keluar dari hotel bergegas motor meliuk kembali menyusuri jalanan menuju timur. Sesampainya di kecamatan Gangga, kami membelokan motor untuk menengok karya Tuhan di air terjun Tiu Pupus dan Tiu Pituq. Tidak berapa lama sampailah kami di Tiu Pupus. Suasana masih sangat sepi. Seolah-olah air terjun ini milik kami berdua. Tidak ada pengunjung lain. Tiket retribusi juga belum buka. Sampai kami selesai berkunjung juga masih tutup.

Bergegas kami melanjutkan petualangan menuju Tiu Pituq, medan kian menanjak dahsyat. Di sinilh motorku terasa trobel. Rantai seolah-olah melompat-lompat. Aku berpikir, mungkin rantainya kendor, wajarlah karena perjalanan jauh. Entar saat kembali, kalau menemukan bengkel, akan aku kencangkan.
Sesampainya di Tiu Pituq, rasa hati ingin mandi. Di sini ada banyak kolam-kolam alami yang sangat cocok untuk menyegarkan raga. Di ujung mata memandang akan disuguhi bentangan laut sisi utara Lombok yang menghampar indah.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Rantaiku kian terasa tidak nyaman. Saat sampai di Gangga, sengaja kupelankan motor berharap segera menemukan bengkel. Ternyata, rantaiku putus sebelah. Untung tidak putus di tengah hutan dan di tengah tanjakan. Syukur Tuhan.
Setelah tunggangan dirasa sehat, kami pun meneruskan kisah dengan terus menyusuri pinggiran pantai sisi utara Lombok. Keren. Eksotis.
Kami lebih banyak berjumpa hutan dari pada pemukiman. Untung jalannya sudah sangat bagus. Membikin hati nyaman. Kendati suasana jalan hampir selalu lengang. Target kami adalah kecamatan Bayan yang selanjutnya akan menuju desa Senaru. Di sana kami akan mengunjungi dua air terjun, yaitu Tiu Sendang Gile dan Tiu Kelep.

Dua air terjun ini lebih terkenal dan ramai pengunjung. Tidak hanya wisatawan domestik tetapi juga manca. Mungkin karena berdekatan dengan pintu masuk pendakian gunung Rinjani yang menjadi idola turis-turis asing. Tetapi memang dua air terjun ini luar biasa indahnya. Karena berada di tengah hutan yang masih sangat lebat. Teduh. Bersih dan airnya sangat-sangat jernih serta menyegarkan.

Sekitar pukul 14.00, kami melanjutkan petualangan. Selepas Bayan, jalan makin dominan oleh pemandangan hutan, tanpa pemukiman. Terasa sepi dan asing. Namun, soal keindahan alamnya tidak dapat diragukan dan tak dapat dilukiskan dengan kata. Luar biasa. Keren.
Raga yang capek penat seolah tidak terasa. Kalah oleh kegembiraan dan hati yang berbinar. Hingga sekitar pukul 15.30 kami telah tiba di Khayangan. Berarti kami telah tiba di ujung timur pulau Lombok. Kami pun segera mencari informasi untuk sampai di pantai Pink. Bermodalkan informasi yang terbatas, kami terus berburu. Ternyata jarak dari Khayangan ke pantai Pink masih cukup jauh. Kami diberi semangat juga peringatan agar jangan sampai kemalaman di jalan, bahaya, banyak begal.

Informasi negatif ini menyurutkan nyali hingga penat raga kian terasa dan tidak tertahankan. Apa lagi saat bertemu dengan jalan yang masih berupa batuan dan tanah. Tidak meyakinkan. Tetapi kami banyak bertemu dari arah berlawanan wisatawan asing dan domestik. Semakin menguatkan bahwa ini jalur yang benar.
Stress tak tertahankan menyusuri jalan rusak seolah tidak habis-habis. Di penghujung hari, raga memang telah koyak, habis tenaga. Berharap agar asa tidak ikut meredup. Akhirnya sekitar pukul 17.00, kami telah tiba di pantai Pink. Segera bertanya tempat penginapan. Ternyata sekitar pantai tidak ada penginapan. Lemas rasanya. Lunglai. Hari menjelang sore dan sebentar lagi gelap. Gambaran jalanan yang sepi dengan hantu begal. Di sisi lain raga meang telah tak berdaya. Kami kalau mau menemukan hotel harus kembali ke daerah Kuta, dengan perjalanan sekitar 2 jam. Mati.
Di tengah situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Satu keluarga dari Klaten yang menikah dengna orang setempat menawarkan selasar warungnya untuk bisa dipakai. Yang paling menyejukan hingga kami berani memutuskan bermalam di pantai Pink adalah, para penjaga warung tetap tinggal di situ untuk menjaga dagangannya.

Senang dan gembira yang tak terbahasakan. Malam ini bisa beristirahat secara tenang karena merasa aman. Setelah menitipkan barang-barang dan motor dengan Pak Segeng pedagang dari Klaten, terlihat semburat jingga menandai akan menyuguhkan pesona sun set pantai Pink. Segera kami berburu untuk menyambut suguhan alam. Semoga bisa mengurai penat hati, penat raga dan memulihkan harapan yang hampir pupus.
Hati hanya bisa berdecak kagum pada pesona sun set pantai Pink. Keren.

Sebelum gelap menjelma, kami kembali ke warung dan memesan makan malam. Saatnya menikmati suasana pantai di waktu malam dengan kesederhanaan. Namun pesona alam tetap memukau hati untuk selalu mengaguminya.
Raga yang lelah segera menghantar kami untuk lelap.

Hari VII, Kamis 29 Juni 2017: Mengais Asa untuk tidak Menyerah
            Kembali pagi menjelang. Udara pantai yang menari manja berhembus semilir membangkitkan harapan untuk menyongsong hari. Tenaga telah pulih. Kendati demikian kami tidak dapat memungkiri kalau penat raga tak gampang terurai. Namun, harus tetap semangat. Semburat warna jingga merona fajar menyiratkan akan munculnya golden sun rise. Segera aku bangkit dari tempat tidur untuk mendaki bukit yang tidak terlalu tinggi demi mendapatkan energi mentari pagi. Isteriku tak mau beranjak, mungkin masih amat lelah. Biarlah ia melanjutkan istirahat.

            Para penjaga warung pun mulai bergeliat bersama harapan, bahwa hari ini akan ada banyak pengunjung sehingga dagangan akan mengisi pundi-pundi rumah tangga. Aku asik bercengkerama dengan pesona mentari pagi. Moment yang langka, pesona sun rise pantai Pink.

Setelah puas dengan pesona sun rise, saatnya untuk sarapan, kembali packing dan meneruskan petualangan. Target hari ini adalah menyeberang ke Bali. Jadi maksimal pukul 14.00 harus sudah tiba di pelabuhan Lembar. Patokan waktu menjadi penanda batas keinginan karena Lombok memang surganya pesona alam. Setiap kali bertemu dengan pemandangan yang mempesona, kami hentikan motor dan menikmatinya. Sambil beristirahat.

Menyususri jalanan dari ujung selatan bagian Lombok Timur di Tanjung Ringgit, kami akan mengarahkan motor menuju Lombok Tengah. Sepanjang jalur berjajar deretan pantai-pantai yang luar biasa indahnya. Ada yang sudah dibuka namun ada pula yang belum terjamah.

Hingga akhirnya, kami membelokkan motor ke kawasan wisata jelajah alam, trecking, camp dan off road untuk menikmati kawasan wisata hutan lindung Gunung Tunak di perbatasan antara Lombok Timur dan Tengah. Untuk menikmati pesona alam di wilayah ini dibutuhkan kendaraan yang prima, nyali dan mental, juga sedikit keberanian untuk nekat. Benar-benar menantang.

Usai terperanjat dan terkesima serta menikmati pesona wisata sekitar Gunung Tunak, kami pun beranjak kembali menyusuri setapak yang menantang. Menjelang 50 meter di pintu masuk kawasan, di turunan yang terakhir, ban motorku yang menapak di jalanan berbatu, terpaksa terpental karena batu sebagai pijakan ban telah longsor. Motor berguling, otomatis kami yang menungganginya juga ikut solider.

Ada banyak kerusakan. Kemudi sedikit bengkok, box pecah hingga barang bawaan berhamburan, cover engine patah dan harus kutinggalkan, kulit lututku harus menjadi souvenir pada ujung batu. Ternyata medan di sini tidak hanya butuh nyali, tidak hanya motor yang prima, tetapi skill dan konsentrasi yang harus dijaga mutlak perlu, tidak bisa ditawar.
Akhirnya kami sejenak mengatur nafas, kembali mengais mental untuk meneruskan perjalanan. Untungnya penjaga tiket masuk melihat dan segera membantu. Istirahat sejenak kembali berbenah. Aku pun nekat dengan luka parah di lutut yang pura-pura tidak aku rasakan karena perjalanan memang harus diselesaikan. Isteriku kendati kesakitan tetapi juga berpura-pura tegar. Mental telah pulih. Motor aku coba masih bisa dipaksa. Petualangan pun kami lanjutkan.
Malang, slebor belakangku pecah dan menempel di ban sehingga menimbulkan bunyi yang berisik. Syukur tidak begitu lama, ketemu dengan bengkel. Akhirnya slebor belakang aku potong demi menghilangkan bising. Menyusuri jalan yang bagus akhirnya menghantar kami ketemu dengna jalur utama bandara, berarti telah sampai di pusat keramaian. Lututku kian nyeri, apalagi kain celana melekat lengket dengan luka. Bila menghentikan kendaraan, otomatis kaki jadi kaku karena luka tersangkut kain celana. Aku pun nekat untuk melepas dengan paksa, sambil meringis dan dalam hati menangis menahan sakit.
Sepanjang jalan berkwalitas internasional antara bandara dan kota Mataram, ada banyak pedagang yang menjajakan semangka Lombok. Kami pun menikmatinya, sambil beristirahat. Kalau datang ke Lombok jangan lupa untuk mencoba semangka Lombok. Dijamin ketagihan.
Perjalananku masih panjang, maka tidak berapa lama kami pun terus melaju. Bertanya sana-sini demi mengais informasi yang valid agar bisa sampai di Lembar dengan aman dan lancar. Akhirnya, tepat pukul 12.00 kami pun tiba di pelabuhan.
Sayangnya, antrian begitu panjang. Panas terik siang hari menemani perih luka kaki dan ini harus kunikmati selama dua jam. Tepat pukul 14.00, kami bisa masuk ke ferri. Tinggal menunggu keberangkatan. Bersyukur karena kami mendapat ferri yang cukup besar dan bagus. Dengan demikian penyeberangan akan lebih cepat. Pukul 16.00, ferri bergerak.
Kami pun menikmatinya. Sebelum ferri berangkat kami sempat membeli nasi bungkus. Saatnya makan. Dan istirahat.

Senja merangkak, mengusir terang. Suasana mulai gelap, tetapi pelabuhan masih samar terlihat di kejauhan. Hingga akhirnya, tepat pukul 19.30 kami telah tiba di Padang Bai. Kami masih berkomitmen untuk mengitari pulau Bali. Maka, dari Padang Bai kami tidak menuju Tabanan, tetapi memilih arah timur, menuju kota Amlapura, kabupaten Karangasem.
Target kami adalah menemukan penginapan di sana. Yang membedakan Bali dan Lombok adalah keamanan dan keyamanan. Dimanapun tempatnya, pulau Bali lebih terjamin keamanannya. Kendati kami baru pertama kali menyusuri jalan sisi timur Bali, hati tetap teguh dan yakin tidak ada apa-apa. Jalanan dominan gelap. Ada lampu penerangan tetapi karena banyak tikungan, tanjakan dan turunan tajam, maka jalan banyak yang gelap.
Kami tetap mantap menyusuri jalan. Sekitar 25 km jarak yang kami tempuh dari Padang Bai ke Almapura. Hingga akhirnya sekitar pukul 21.00, kami pun menemukan penginapan yang nyaman di kantong.
Saatnya istirahat.

Hari VIII, Jumat 30 Juni 2017: Mendulang Sabar
            Tujuh hari berkendara dengan jarak tempuh yang tidak pendek memang sungguh penat terasa. Sehingga istirahat sepanjang malam tidak juga mampu mengurai lelah. Ingin rasanya berlama-lama di atas pembaringan untuk bermalas-malasan. Namun, perjalanan dan petualangan harus diselesaikan. Lututku yang sudah tidak berkulit memaksa semalam untuk demam yang mengakibatkan istirahat tidak sempurna.
            Mata yang masih lengket dan badan yang seolah menyatu dengan pembaringan, kami paksa untuk bangkit. Mandi. Kembali berkemas. Harapan dan asa harus dikobarkan. Target kami hari ini adalah menyeberang ke Jawa dan akan memaksa diri sampai di Mojokerto guna mencari pembaringan di sana.
            Dari ujung timur pulau Bali, di kota Amlapura selanjutnya akan kami arahkan menuju utara, menyisiri pinggiran pantai timur Bali, mengarah ke utara, melengkung ke arah barat menuju Singaraja yang selanjutnya menuju Gilimanuk. Ujung timur Bali mengarah ujung utara dan selanjutnya berakhir di ujung barat, perjalanan sekitar 200 km. Harus semangat.
            Jalanan sepi. Meliuk motor mengikuti alur jalanan. Terasa berada dalam surga. Terus melaju motor meninggalkan satu perkampungan menuju perkampungan berikutnya. Bagian timur dan utara Bali memang cenderung sepi bila dibandingkan dengan suasana Bali bagian tengah dan selatan. Di sekitar Air Sanih, perut pun minta diisi. Melihat ada satu rumah makan yang langsung menghadap pantai, mengundang kami untuk beristirahat dan memesan makanan. Sekitar dua jam kami berada di sini. Asik, tenang dan damai.

            Kembali motorku pun melaju. Usai melewati daerah Singaraja, jalan seolah hanya milik kami. Sangat sepi. Seolah tanpa ada pengendara. Dari Amlapura-Singaraja-Gilimanuk, aku hanya melihat 6 mobil dan 2 motor berplat luar Bali. Sekitar pukul 12.00, kami telah tiba di Gilimanuk. Saatnya menyeberang. Kami bertemu dengan beberapa komunitas motor yang habis touring di Bali bagian selatan. Semua mengapresisasi atas keberanian kami berdua touring tanpa teman dan tanpa kenalan serta di tempat yang masih asing.
            Akhirnya, pukul 13.00, kami tiba di Ketapang. Tanpa menunda waktu langsung lanjut. Berharap keadaan jalan masih sepi tidak ramai, sehingga perjalanan akan lancar. Meninggalkan Banyuwangi dengan lancar. Selanjutnya menembus hutan Baluran juga lancar. Memasuki kota Situbondo, masih lancar. Namun raga tak mampu mengingkari diri yang lelah dan capek. Sekitar kawasan Pantai Putih, Situbondo kami pun beristirahat. Menjelang sore cuaca yang tidak lagi panas, keadaan jalan berubah menjadi padat merayap. Kedua sisi penuh dengan kendaraan. Mulai kawasan Paiton, perjalanan mulai merangkak. Pegal tangan mengimbangi lutut yang luka.
            Sore menyambut  semua pengendara. Hingga gelap kami belum juga keluar dari Probolinggo. Jelas perjalanan akan sangat melambat dan tertunda. Ragaku sudah diujung lelah. Namun isteriku masih bertahan. Ia terus memotivasi untuk sampai di Mojokerto. Sesampainya di Pasuruan, aku mengajaknya untuk mencari penginapan dan besok baru lanjut. Tetapi ia kukuh dengan pendiriannya.
            Diriku yang kelelahan, stress berat menjadi tantangan tersendiri dalam menguasai emosi untuk terus fokus pada prinsip, “Safety fisrt”. Sempat mengalami konflik karena mencari persimpangan menuju Mojokerto yang tidak ketemu-ketemu. Bertanya sana-sini, namun hati yang lelah menjadi seolah-olah teramat sulit menemukan jalur yang benar.
Hingga akhirnya kami telah sampai di daerah Mojosari. Besar harapanku untuk segera sampai di Mojokerto. Kembali bersemangat. Sepanjang jalan kami fokus untuk menemukan penginapan. Ternyata banyak pengemudi yang mengalami kelelahan di sekitar Mojokerto. Akibatnya hotel telah penuh. Sambil terus berharap dan sambil menyususri jalan kami berharap untuk segera menemukan penginapan.
Sampai pukul 21.00, penginapan juga tak kami temukan. Hari ini, dari Amlapura, Bali jarak tempuhku telah sampai pada angka 578 km. Ini adalah jarak terjauh yang pernah kujalani dalam bermotor. Akhirnya kami putuskan untuk beristirahat sambil mencari makan. Perut yang kenyang akan membantu tenang agar penginapan segera ditemukan. Usai makan, bermodal informasi pengurus rumah makan kami pun menemukan penginapan di perbatasan antara Mojokerto-Jombang.
Senang rasanya. Lega. Saatnya istirahat.

Hari IX, Sabtu 01 Juli 2017: Mempersembahkan Pengalaman pada Tuhan
            Pagi kembali merekah bersama hari. Kendati raga tak lagi utuh bertenaga, tetapi harapan yang menggunung mampu mendongkrak enegi. Hari terkhir dalam masa petualangan dan pengembaraan. Sore nanti atau malam hari, kami akan tiba di rumah tercinta kota Solo. Ada harapan menggebu yang membakar asa untuk kembali bersemangat.
            Segera aku melompat dari pembaringan, mandi, berkemas-kemas dan sarapan. Begitu pula dengan isteriku. Dari Mojokerto arah Jombang dan selanjutnya arah Nganjuk. Tetapi sesampainya di Jombang, kami membelokkan arah menuju Kediri. Maksud hati adalah untuk menemukan titik teduh bersama Bunda Maria di Pohsarang, Kediri. Meliuk motor mengikuti alur jalanan yang belum begitu padat. Hingga sekitar pukul 10.00, kami telah tiba di tempat peziarahan.
Saatnya untuk berdoa, berserah dan bersyukur atas segala kesempatan dan pengalaman hidup yang boleh kami lewati. Cukup lama kami menikmati suasana teduh. Ya sekalian istirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 13.00, kami meninggalkan Pohsarang, Kediri menuju Nganjuk. Sesampainya di Nganjuk situasi jalan sudah padat merayap. Memang ini masa arus balik. Wajar. Harus sabar. Untungnya, ban sepeda motorku dual purpose sehingga aman-aman saja saat harus turun keluar dari aspal.
Sekitar pukul 15.00, tibalah kami di Ngawi, istirahat. Kemudian lanjut lagi. Situasi jalan masih sama. Ramai-lancar. Hingga tepat pukul 17.30, kami telah tiba di rumah. Tiba di Solo dengan selamat. Puji Tuhan.

Pada Akhirnya, …
Demikian lah sekelumit catatan perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Ya, mungkin bagi kebanyakan orang, kisah kami begitu remeh. Tetapi tidak bagi kami. Ini adalah kisah petualangan yang medebarkan dan menantang serta teramat sangat berkesan. Dengan waktu 9 hari 8 malam, dengan jarak sejauh 2.378 km dan menghabiskan bahan bakar tepat seharga Rp 470.000. Kami telah melukis kisah hidup untuk sejenak menjelajahi dan menikmati karya Tuhan di secuil wilayah Jatim, Bali serta Lombok. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini. Terimakasih Isteriku yang setia untuk menjadi co-rider yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai. Terimakasih untuk sesamaku yang masih mau menghadirkan kebaikan. Semoga pengembaraan ini mendewasakan kami untuk lebih mengenal diri. Sehingga semakin barani untuk menekan ego, berani berbagi, selalu berharap dan selalu bersemangat untuk menggapai cita. Semoga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar