COUPLE
RIDER:
MENEMBUS SURGA DI TANAH BALI-LOMBOK
Oleh: Heri
Menantang Kemapanan dan
Kenyamanan Diri
Seiring
dengan perjalanan waktu, usia pun ikut menua. Raga yang usang akan kian merapuh
dan seabrek penyakit pun siap menemaninya. Maka tidak mengherankan bila semakin
berumur, manusia akan cenderung untuk nyaman dalam kemampanan. Segala aktifitas
yang menjadikan dirinya nyaman akan mengabadi, melekat tak teruraikan.
Sebagai
pribdaipun, aku juga tidak bisa mengingkari hal tersebut. Bersama waktu yang menghantar ragaku menua,
aku pun punya kecenderungan untuk nyaman dalam rutinitas harian. Mudahnya
adalah nyaman di rumah, nyaman di tempat tidur, nyaman dengan kegiatan-kegiatan
yang tidak menantang dan sangat nyaman dengan kegiatan-kegiatan anti resiko.
Sedangkan
di sisi yang lain, aku juga tak dapat memungkiri bahwa kenyamanan hiduplah yang
menjadikan jiwa manusia kerdil, tidak berkembang dan yang lebih teragis adalah
kemapanan menggiring untuk menutup diri, tidak mau belajar.
Oleh
karenanya, aku memiliki kebiasaan untuk selalu menantang kenyamanan diriku.
Bagiku pengalaman dan perjumpaan adalah cara untuk memperkaya diri. Harapannya
adalah diri ini tidak mandek, tetapi
selalu bertumbuh, menjadi pribadi yang terbuka untuk menjadi lebih dewasa.
Ada
banyak cara dan varian yang aku pilih demi menantang kenyamananku itu. Salah
satunya adalah menjelajah atau memasuki situasi dan tempat yang asing. Eksplorasi, kata banyak orang. Saat ini,
karena statusku telah menikah maka aku punya teman setia yaitu isteriku.
Sebut
saja aku adalah Heri Jimanto dan isteri saya adalah Regina Nunuk. Biar agak
sedikit keren, kami akan menyebut diri sebagai couple-adventure, hehe. Kata adventure
mau menegaskan bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah
memasuki daerah, situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah
kami datangi.
Tantangan
bagi kami yang telah menua adalah bayang-bayang rasa lelah-capek yang akan
mendera, ketakutan dan kekhawatiran pada banyak hal (bingung, kejahatan
jalanan, kerusakan kendaraan, tidak dapat penginapan, kehujanan, dll).
Sedangkan kekuatan kami adalah Tuhan sang penyelenggara hidup, pengalaman yang
beda, perjumpaan yang akan mengubah dan keindahan alam.
Kali
ini, kami akan menantang diri dengan mengunjungi serta mengelilingi pulau Bali
dan Lombok. Bagi kebanyakan orang, kegiatan kami begitu remeh dan sepele. Namun
bagi kami, kegiatan ini sangat luar biasa. Pengalaman berkendara sejauh 2.378
km untuk memasuki daerah yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Inilah
kisah petualangan-ekspedisi sederhana kami. Semoga bisa menginspirasi.
Hari I, Jumat 23 Juni
2017: Mengunjungi Api Biru Kawah Ijen
Perjalanan
jauh yang sekaligus bernuansa petualangan membutuhkan persiapan yang maksimal,
menyangkut kendaraan, perbekalan (peta perjalanan, logistik, P3K, tenda, alat
masak dan pakaian ganti), fisik maupun mental. Jauh-jauh hari kami telah
membangun persiapan secara bertahap agar tidak ada yang tercecer. Setelah
merasa segala sesuatunya telah siap. Saat fajar menyingsing, jumat 23 juni 2017
tepat pukul 04.30, kami meninggalkan rumah.
Tempat
tinggal kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan kota Solo.
Kami mencoba membuat rute perjalanan sederhana, yaitu Solo – Bondowoso (Kawah
Ijen) – Banyuwangi – Bali (Gilimanuk – Tabanan – Padang Bai) – Lombok (Lembar –
Mataram – Lombok Utara – Timur – Selatan – Tengah – Barat – Lembar) – Bali
(Padang Bai – Amlapura – Singaraja – Gilimanuk) – Banyuwangi - Mojokerto –
Kediri (Pohsarang) – Nganjuk – Solo.
Semangat
yang membara mengobarkan gairah untuk menikmati petualangan. Gelap suasana
fajar tidak menyurutkan nyali, cuaca kemarau dengan sepoi angin menurunkan
suhu, dingin tak terasakan. Kendati di musim arus mudik, namun keadaan jalan
masih lengang. Dengan lancar meninggalkan kota Solo, menembus Sragen dan
melenggang memasuki Ngawi. Keadaan jalan mulai ramai-lancar. Motor tunggangan
kami masih melaju damai menghantar ke kota Caruban. Saatnya sarapan dan
istirahat.
Setelah
badan terasa segar, perut kenyang, tepat pukul 08.00, kami pun melanjutkan
kisah. Ada perbedaan mencolok arus kendaraan, jalur yang kami lewati menuju
timur cenderung sepi sedangkan yang menuju barat terlihat padat merayap.
Perjalanan masih lancar. Kami sejenak beristirahat di Jombang untuk mengisi
bahan bakar tunggangan. Lanjut lagi.
Memasuki
kota Mojokerto, kami agak sedikit mengalami kebingungan karena ada banyak
pengalihan arus kendaraan. Beberapa kali memaksa kami harus mengais informasi
terkait arah yang benar untuk menuju Pasuruan dan Probolinggo. Jalan utama
telah ditemukan. Lega rasa hati.
Kegembiraan
tak mampu mengingkari kalau raga juga perlu nutrisi, selepas kota Probolinggo,
kami pun mencari warung. Makan siang dan beristirahat. Sekitar pukul 15.00,
kami meneruskan perjalanan. Memasuki kota Besuki mata menjadi lebih waspada
untuk menemukan arah menuju Bondowoso. Dari Besuki arah Bondowoso, jalanan
begitu asik. Lebar penuh dengan tikungan. Sebuah hiburan. Targetku sebelum
malam harus sudah ketemu jalur menuju Kawah Ijen.
Menjelang
gelap jalur menuju target pertama telah ditemukan. Gelap memasuki hutan tanpa
teman merupakan tantangan yang luar biasa. Sekitar 50 km, kami memasuki area
hutan tanpa lampu penerangan, badan yang capek memicu untuk semakin stress.
Namun harapan dan asa tidak boleh ikut padam. Menjelang memasuki kawasan Ijen,
udara kian menusuk tulang. Dingin. Berr.
Akhirnya,
sekitar pukul 19.30 kami telah memasuki area pendakian menuju Kawah Ijen.
Sayang, kami tidak mendapat ijin untuk bermalam di sekitar puncak kawah Ijen.
Ada kekhawatiran soal racun dari kawah. Para pendaki hanya diperbolehkan
mendaki tetapi tidak boleh bermalam di sekitar puncak.
Setelah
memperoleh informasi terkait pendakian fajar esok hari. Kami segera mendirikan
tenda. Cuaca terasa amat dingin, tidak biasanya aku mengalami kedinginan di
area pegunungan. Mungkin ragaku sudah terlalu capek. Malam harusnya bisa
mendulang tenaga karena istirahat yang nyaman tidak kualami. Sepanjang malam
aku mengalami kegelisahan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mebuat penghangat
di dalam tenda melalui kompor. Syukur, walau sejenak bisa terlelap. Yang
kualami beda dengan isteriku, dia terlihat amat sangat lelap dan nyaman dalam
istirahatnya.
Hari II, Sabtu 24 Juni
2017: Menyaksikan Blue Fire dan Sun Rise Ijen
Suara
gaduh bergemuruh dari banyak pendaki. Kulirik jam tanganku yang baru menunjuk
angka 00.00. Pintu pendakian baru akan dibuka pukul 02.00, namun antusias
pemburu blue fire telah berdatangan.
Rata-rata adalah turis asing. Sedangkan wisatawan domestik tidak terlalu banyak.
Suasana
yang riuh oleh berbagai obrolan dengan berbagai bahasa menjadikan suasana malam
semacam di negeri antah berantah. Ada bahasa Inggris, Perancis, Malaysia,
Korea, Cina, dll. Untuk lelap kembali sudah tidak memungkinkan. Maka, akupun
memutuskan untuk membuat minuman hangat sebagai bekal untuk trecking menuju kawah dan puncak Ijen.
Pukul
02.00, kami keluar dari tenda, membeli tiket seharga 7.500/org lalu pelan-pelan
melangkah. Ada banyak pendaki yang didominasi oleh pendaki manca. Mereka
ditemani guide lokal. Sekitar pukul 03.30, kami telah tiba di bibir kawah. Kami
diharuskan menyewa masker dengan filter oksigen seharga 25.000. Bau belerang
amat sangat menyengat dapat teratasi oleh masker tersebut. Sekitar pukul 03.45
kami telah sampai di titik terdekat yang dijinkan guna menikmati panorama alam
yang unik yaitu api biru, blue fire
(menurut informasi di dunia ini hanya ada dua tempat salah satunya di kawah
Ijen).
Setelah
puas dengan pesona alam api biru, kami pun bergerak naik menuju puncak Ijen
guna menikmati pesona matahari terbit. Dari bibir kawah, kami masih harus
berjalan menyisir plawangan bibir kawah sekitar 45 menit ke arah timur. Tepat
sebelum mentari pagi memulai sinarnya, kami telah berdiri di tempat yang paling
baik guna menikmatinya.
Setelah
puas dengan pesona keindahan mentari pagi, kami pun memulai perjalanan turun.
Ada pemandangan yang unik, banyak turis yang mengalami kelelahan pendakian,
kemudian mereka menyewa troli. Untuk penduduk lokal, mereka menyebutnya sebagai
taxi Ijen. Pendaki yang cidera atau kecapaian tinggal naik kereta tarik. Tidak
perlu repot-repot.
Sesampainya
di tenda, segera kami membersihkan diri. Mandi. Packing. Sarapan. Melanjutkan perjalanan untuk menuju Banyuwangi.
Jalur dari Ijen-Banyuwangi didominasi hutan dengan jalanan yang berkelok dengan
turunan tajam. Teduh dan menantang adrenalin. Asik aja. Sekitar pukul 13.00,
kami telah tiba di pelabuhan. Jarak Ijen-Ketapang sekitar 43 km. Saatnya
menyeberang dan sekaligus beristirahat.
Penyeberangan
Ketapang-Gilimanuk lancar. Tidak perlu mengantri lama. Setelah sejenak agak
kebingungan karena mengalami prosedur penyeberangan yang baru pertama kali kami
alami. Intinya, untuk memasuki Bali harus lengkap surat-surat baik STNK, SIM
dan juga KTP. Semua diperiksa. Memasuki pulau Bali kami ingin mengawali dengan
berdoa, berserah diri pada Sang Pencipta. Maka, petualngan pertama adalah
mencari tempat berdoa yang sesuai dengan keyakinan kami.
Sekitar
17 km dari Gilimanuk kami bertemu dengan papan penunjuk jalan menunjuk
keterangan Goa Maria, maka segera kami belokkan motor untuk menemukannya.
Sekitar pukul 15.30, kami telah sampai di kawasan Goa Maria Palasari. Di sini
kami menjumpai inkulturasi antara budaya Bali dan tradisi Katolik. Saatnya
mencari teduh di bawah perlindungan Tuhan.
Mendung
bergulung hitam. Telah kami pahami bahwa cuaca pulau-pulau kecil tidaklah sama
dengan pulau besar. Dengan demikian cuaca antara Bali dan Jawa pasti berbeda.
Segera kamipun bergegas untuk meneruskan perjalanan. Kota Negara telah
terlewati. Gerimis turun. Terlihat semua pengendara dari arah berlawanan telah
mengenakan jas hujan. Berarti di seberang telah turun hujan.
Kami
berhenti sejenak untuk melihat situasi membaik. Berharap untuk tidak kehujanan.
Sambil beristirahat, tidak lupa kami pun mendulang tenaga, membeli makan. Masih
gerimis. Kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sesampainya di
persawahan tanpa rumah-rumah, hujan turun dengan lebatnya. Kami berteduh di
gubug sederhana. Menunggu hujan reda. Keadaan masih temaram, pertanda malam
belum bertandang.
Setelah
hujan mereda, kami pun melanjutkan perjalanan. Namun, tidak berapa lama, hujan
kembali mendera dengan lebat. Kami berhenti untuk mengenakan jas hujan. Perjalanan
pun kami lanjutkan. Hujan begitu lebatnya. Sampai-sampai jarak pandang begitu
dekat. Waspada dan hati-hati adalah modal utama.
Cuaca
senja berpadu merdu dengan rintik hujan yang telah mereda, menghantar kami
untuk melihat papan penunjuk Goa Maria Gumrih. Kami berpikir untuk sejenak
berwisata rohani, sambil menunggu meredanya hujan, kami putuskan untuk singgah
dan berdoa. Di sini kami memperoleh keterangan bahwa Tabanan masih sekitar 60
km lagi. Malam mengusir terang. Gelap dan hujan juga tidak mereda, kami
teruskan perjalanan. Tikungan, tanjakan, genangan air menemani petualngan ini.
Hingga akhirnya, kami terpaksa mengalami kebingunan saat sampai di pertigaan
Tabanan-Denpasar.
Dengan
raga yang dipenghujung tenaga, capek mendera, di tempat yang asing, tidak ada
sauadara juga kenalan. Lengkap sudah stres yang terasa. Namun, kami mencoba
bertahan dengan tetap membakar harapan dan asa jangan sampai kandas. Di tengah
situasi yang seperti ini, memaksa kami untuk berpikir cerdas dan teringatlah
kami akan satu mantan muridku yang telah menjadi sahabat sepetualangan dalam
dunia pendakian Gunung.
Kami
pun mengontak Yoga, ia dengan antusias menunjukkan arah dan memandu kami untuk
sampai di rumahnya, di sekitar Mengwi, Tabanan. Sesampainya di rumah Yoga,
hujan telah reda. Keluarganya menerima hangat dan sangat akrab, kami berbagi
cerita dan dipersilahkan untuk berteduh di rumah mereka. Tidak boleh mencari
penginapan. Mereka juga telah menyediakan hidangan makan malam. Bahkan pagi
harinya mereka mengajak kami untuk sejenak mensyukuri hidup dalam ekaristi
kudus.
Tawaran
kebaikan hati itu kami sambut dengan rasa syukur yang tiada terkira.
Kebahagiaan atas kebaikan keluarga Yoga itu menghantar istirahat malam kami
dengan lelap.
Hari III, Minggu 25 Juni
2017: yang Rohani yang Manusiawi
Pagi
merekah dengan segala harapan baik. Raga yang renta tak mapu mendulang tenaga
setelah istirahat sepanjang malam. Namun, pagi ini kami akan mengawali dengan
mempersembahkannya kepada Tuhan dalam ekaristi. Di langit masih menghitam,
mendung siap mencurahkan air matanya. Bergegas kami mandi dan menyiapkan diri.
Pukul 08.00, kami mengikuti misa di gereja Abianbase, Tabanan. Lain tempat
tentu lain pula tradisinya, ada sedikit perbedaan cara peribadatan di Bali
dengan di Jawa. Namun semuanya hanya bersifat tambahan bukan yang pokok.
Ekaristi berjalan dengan khusuk ditemani hujan yang begitu lebat.
Kami
pulang ke rumah keluarga Yoga. Cuaca belum bersahabat, mendung masih bergelayut
hitam dan gelap. Kami mengisi waktu yang ada dengan berbagi cerita dan kisah
hidup. Hingga tak terasa waktu telah berada pada titik 12.00. Lalu, mamanya
Yoga mendukung kami untuk melanjutan petualangan ke arah utara, menembus
Tabanan menuju Singaraja.
Kali
ini, kami ditemani Yoga, petualangan kami menjadi bertiga. Kami akan
mengunjungi tempat doa di pertapaan Karmel sekitar Bedugul dan Goa Maria Air
Sanih. Kami masing-masing belum tahu tempat yang akan kami tuju. Bermodalkan
informasi yang sepenggal-sepenggal kami pun berpetualang untuk berwisata
rohani.
Pukul
14.00, kami telah tiba di Karmel. Berdoa sejenak. Pukul 14.30 kami pun menuju
Air Sanih. Sekitar pukul 15.30, kami pun tiba. Berdoa sejenak. Mencari makan.
Dan kembali pulang.
Selepas
Bedugul menuju Tabanan, hujan turun dengan amat sangat deras. Menjelang pukul
20.00, kami telah sampai di rumah Yoga. Kembali kami pun berbagi kisah dengan
cerita-cerita hidup. Sungguh akrab persaudaraan yang terjalin. Hingga malam
menghantar kami untuk masing-masing kembali berbaring mendulang tenaga, agar
esok bisa melanjutkan kisah. Saatnya istirahat.
Hari IV, Senin 26 Juli
2017: Menjaga Asa agar tak Padam
Pagi
menjelma sendu. Langit masih berselimutkan mendung. Terlihat awan bergelayut,
menandakan langit masih doyan hujan. Seolah langit mau mewakili rasa hati kami.
Pagi ini, usai sarapan, kami akan bergegas melanjutkan perjalanan dan
petualangan. Namun, kembali lagi ke suasana kekeluargaan yang tercipta, kami
asik berbagi cerita. Seolah-olah kami anggota keluarga yang lama berpisah
sehingga lembaran sejarah mau kami bentang untuk dibagikan. Keakraban yang
sungguh dalam. Berat rasa hati untuk meninggalkan suasana ini.
Sekitar
pukul 08.30, kami memaksa diri untuk berpamitan. Kendati hati tidak rela. Yoga
menghantar kami sampai pada penghujung jalan untuk selanjutnya akan menyisir
jalan Gatot Subroto hingga sampai di pelabuhan Padang Bai. Belum juga lama kami
berkendara, langit menangis, hujan turun dengan dahsyat. Berhenti dan
mengenakan jas hujan. Tiga hari di Bali, selalu ditemani air hujan. Perjalanan
lancar jaya. Hingga tepat pukul 11.00 kami telah tiba di pelabuhan. Segera
membeli tiket dan masuk ke ferri.
Kami
belum beruntung, karena mendapat ferri yang telah tua dan kecil. Pertanda
penyeberangan akan lama. Belum lagi masih sepi penumpang. Akhirnya, ferri
menunda penyeberangan. Jam 13.00, ferri mulai bergerak meninggalkan Padang Bai
menuju Lembar, Lombok. Saatnya istirahat.
Penyeberangan
yang jauh dengan ferri yang tidak terlalu besar menjadikan kapal bergoyang
dahsyat. Tidak bisa istirahat. Menikmati goyangan ferri. Di sinilah aku belajar
satu hal bahwa di ferri tidak ada kelas sosial. Siapa datang duluan ia berhak
mendapat tempat strategis, sedangkan yang datang belakangan akan medapat tempat
yang tidak memadai.
Sekitar
pukul 17.00 kami telah tiba di Lembar. Sebelum keluar dari ferri kami bertemu
dengan rombongan touring anak-anak Jakarta yang akan mendaki Tambora. Mereka
terkagum-kagum mengetahui bahwa kami hanya sendirian. Touring antar propinsi
lintas pulau tanpa teman seperjalanan.
Meninggalkan
Lembar, mengarah pada kota Mataram. Menurut informasi penginapan yang
terjangkau ada di sekitar Cakranegara. Maka, kami berharap sebelum gelap telah
tiba dan mendapatkan penginapan. Tetapi apa daya, ini pertama kali kami masuk
ke kota Mataram. Asing.
Kami
putuskan untuk menikmati makan malam, sambil mencari informasi tempat
penginapan. Di sinilah kami belajar tentang satu hal, sering kali orang
memanfaatkan ketidakberuntungan orang lain. Pedagang yang mengetahui bahwa kami
orang asing, tidak tanggung-tanggung memberi harga mahal untuk makan kami yang
sederhana. Untuk dua piring nasi lauk ayam goreng dan dua gelas teh hangat,
kami harus mengeluarkan 150.000. ini harga restoran bukan warung kaki lima.
Ah,
sudahlah.
Hati
kami belum tenang karena belum mendapatkan penginapan yang sesuai dengan isi
kantong. Menyusuri jalan sambil menebar pandang untuk menemukan penginapan.
Tidak terasa kami telah sampai di Mataram kota. Dari informasi yang kami
peroleh, kami mesti memutar arah untuk menemukan penginapan yang terjangkau.
Sekitar 10 km kami telah melewati daerah penginapan yang dimaksudkan.
Raga
yang lelah, malam yang gelap, daerah yang asing membuat kami hampir putus asa.
Namun, harapan harus terus dibakar. Mata yang sayu kami paksa untuk menemukan
penginapan. Akhirnya sekitar pukul 20.00, kami telah menemukannya di daerah
Cakranegara dengan harga yang cocok di kantong.
Saatnya
beristirahat. Agar esok bisa segar dan kembali melanjutkan petualangan.
Hari V, Selasa 27 Juni 2017: Membayar Mahal di Negeri
Sendiri
Pagi
menjelang, cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat
membuncah dan bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, dan packing. Meliuk menyusuri jalanan kota
Mataram. Di persimpangan jalan kami sengaja memilih jalan yang berada di sisi
laut. Mengikuti alur jalanan yang berkelok, naik turun di sekitar pantai memang terasa luar biasa.
Perbukitan, hutan yang berpadu harmoni dengan lukisan pasir berhias birunya
lautan. Keren.
Diri
ini sadar bahwa belum sarapan. Niat hati adalah mencari menu khas daerah Lombok
yang bisa kami dapatkan di daerah pantai Senggigi. Sesampainya di tempat yang
kami tuju, maka segera kami berhenti memesan makanan dan menikmatinya sambil
memandang lautan lepas.
Setelah
raga mengurai lelah dengan istirahat dan sarapan, kami pun meneruskan
perjalanan. Target kami adalah pelabuhan Bangsal. Kami berencana untuk
menyeberang ke Gili Terawangan, mencoba menengok keindahan pesonanya yang telah
mendunia.
Menyusuri
jalan beraspal bagus, berkelok, naik dan turun. Di sebelah kiri terbentang
birunya lautan yang membentang luas. Sesekali tenggelam bersembunyi di balik
rimbunnya pepohonan. Sedangkan di sisi kanan berderet perbukitan yang menghijau
permai. Sungguh perjalanan yang memanjakan mata.
Sekitar
pukul 10.30, kami telah tiba di pelabuhan Bangsal. Suasana yang sangat ramai.
Ada wisatawan domestik dan juga wisatawan manca. Ada yang terlihat sangat elit,
namun banyak juga yang berpenampilan gembel. Setelah mendapatkan tempat parkir
yang aman, segera kami ikut mengantri untuk mendapatkan tiket penyeberangan ke
Gili Terawangan. Karena begitu banyaknya antrian, isteriku meminta untuk ganti
haluan pindah berkunjung ke Gili Air, yang loketnya terlihat sepi. Segera aku
iyakan. Kami membeli tiket ke Gili Air. Sekitar pukul 12.30, kami menyeberang.
Tidak lama, hanya sekitar 20 menit. Saatnya eksplorasi pulau kecil yang
menawan. Di sini tidak ada kendaraan bermesin. Maka udara terbebas dari polusi.
Di pulau ini, ada penyewaan sepeda, ada pula kereta kuda. Namun, kami memilih
berjalan sambil menikmati pesona alam yang menakjubkan.
Di
tengah keterpesonaanku pada semesta, ada sepercik kegalauan dan penyesalan.
Dari sekian usaha di sektor wisata bahari dan perhotelan, kafe serta bar, hanya
segelintir yang dikelola oleh pengusaha domestik. Kebanyakan dimiliki serta
dikelola oleh asing. Penduduk lokal hanya sebagai pekerja dan kebanyakan adalah
pekerja kasar.
Sekitar
dua jam kami berkeliling mengitari Gili Air. Sebelum menyeberang ke Lombok,
kami sejenak menikmati es krim sambil beristirahat. Di sini tidak ada harga
murah. Semua mahal. Istirahat kami rasa cukup. Saatnya membeli tiket dan
menyeberang kembali.
Sesampainya
di pelabuhan Bangsal, dengan segera kami pun melanjutkan perjalanan ke arah
Tanjung, kabupaten Lombok Utara. Memasuki Lombok sisi utara mulai dari Tanjung,
keadaan mulai membeda. Rumah-rumah mulai menjarang. Jalanan bagus tetapi
cenderung sepi. Keluar dari Tanjung, sebenarnya masih benderang, baru sekitar
pukul 16.00. Kami sedikit santai untuk menikmati perjalan. Kendati demikian,
toh kami harus menemukan penginapan guna bermalam. Sesampainya di kecamatan Gondang,
kami mencari informasi tentang penginapan terdekat.
Berharap
dapat informasi yang menyegarkan hati. Tetapi yang kami dapatkan justru cukup
mencengangkan, karena kami diminta untuk kembali ke Tanjung. Penginapan
terakhir berada di sana. Lagian kalau terus ke arah timur akan lebih banyak
menjumpai hutan bukannya perkampungan. Di sisi lain adalah rawannya tindak
kejahatan, sering terjadi pembegalan di tengah jalan.
Kendati
hati berat karena telah menempuh jarak sekitar 10 km, namun apa daya, kami
memang orang baru, di tempat yang baru dengan segala situasi yang tidak kami
pahami. Maka, saran tersebut kami terima dengan lapang hati. Putar balik.
Sesampainya di pasar Tanjung, penunjuk hotel pun terlihat. Jalannya tidak
meyakinkan. Jelek. Tetapi saat menemukan hotelnya. Nyaliku menjadi ciut. Hotel
yang megah, menawan dengan berlatar langsung menghadap laut, ada kolam renang
dan taman. Pasti mahal. Bukan kelasku. Tetapi apa daya, ini mesti kami terima.
Lebih mencengangkan ketika ada kesempatan ngobrol dengan bell boy, ternyata hotel tersebut bukan milik orang Lombok tetapi
milik orang asing. Orang lokal hanya sebagai tenaga rendahan. Inilah neo-kapitalisme. Penjajahan dengan wajah
baru. Kami harus membayar mahal untuk menikmati keindahan alam di negeri
sendiri.
Ah
sudahlah.
Sore
menjelang, eksotisme sun set langsung
terbentang di hadapan mata. Wajar kalau hotel ini mahal. Malam merangkak
berpayung pesona semesta yang memang luar biasa indahnya. Kendati raga telah
lunglai, namun sayang bila kami tidur terlalu cepat. Kami terundang untuk
menikmati panorama yang telah memaksa-mengeringkan kantong yang memang tidak
tebal.
Hari VI, Rabu 28 Juni
2017: Menjaring Surga di Tanah Asing
Kembali
pagi merekah bersama sejuta harapan dan semangat. Istirahat malam telah
mengembalikan tenaga dan asa. Saatnya bergegas untuk persiapan perjalanan dan
petualangan berikutnya. Tujuan kami hari ini adalah melanjutkan misi menyisir
pinggiran Lombok sisi utara mengarah ke timur yang selanjutnya akan menyisir
pulau Lombok bagian timur menuju selatan mentok di Tanjung Ringgit yang ada
pantai Pink. Salah satu fenomena alam yang langka.
Keluar
dari hotel bergegas motor meliuk kembali menyusuri jalanan menuju timur.
Sesampainya di kecamatan Gangga, kami membelokan motor untuk menengok karya
Tuhan di air terjun Tiu Pupus dan Tiu Pituq. Tidak berapa lama sampailah kami
di Tiu Pupus. Suasana masih sangat sepi. Seolah-olah air terjun ini milik kami
berdua. Tidak ada pengunjung lain. Tiket retribusi juga belum buka. Sampai kami
selesai berkunjung juga masih tutup.
Bergegas
kami melanjutkan petualangan menuju Tiu Pituq, medan kian menanjak dahsyat. Di
sinilh motorku terasa trobel. Rantai seolah-olah melompat-lompat. Aku berpikir,
mungkin rantainya kendor, wajarlah karena perjalanan jauh. Entar saat kembali,
kalau menemukan bengkel, akan aku kencangkan.
Sesampainya
di Tiu Pituq, rasa hati ingin mandi. Di sini ada banyak kolam-kolam alami yang
sangat cocok untuk menyegarkan raga. Di ujung mata memandang akan disuguhi
bentangan laut sisi utara Lombok yang menghampar indah.
Kami
pun melanjutkan perjalanan. Rantaiku kian terasa tidak nyaman. Saat sampai di
Gangga, sengaja kupelankan motor berharap segera menemukan bengkel. Ternyata,
rantaiku putus sebelah. Untung tidak putus di tengah hutan dan di tengah
tanjakan. Syukur Tuhan.
Setelah
tunggangan dirasa sehat, kami pun meneruskan kisah dengan terus menyusuri
pinggiran pantai sisi utara Lombok. Keren. Eksotis.
Kami
lebih banyak berjumpa hutan dari pada pemukiman. Untung jalannya sudah sangat
bagus. Membikin hati nyaman. Kendati suasana jalan hampir selalu lengang.
Target kami adalah kecamatan Bayan yang selanjutnya akan menuju desa Senaru. Di
sana kami akan mengunjungi dua air terjun, yaitu Tiu Sendang Gile dan Tiu
Kelep.
Dua
air terjun ini lebih terkenal dan ramai pengunjung. Tidak hanya wisatawan domestik
tetapi juga manca. Mungkin karena berdekatan dengan pintu masuk pendakian
gunung Rinjani yang menjadi idola turis-turis asing. Tetapi memang dua air
terjun ini luar biasa indahnya. Karena berada di tengah hutan yang masih sangat
lebat. Teduh. Bersih dan airnya sangat-sangat jernih serta menyegarkan.
Sekitar
pukul 14.00, kami melanjutkan petualangan. Selepas Bayan, jalan makin dominan
oleh pemandangan hutan, tanpa pemukiman. Terasa sepi dan asing. Namun, soal
keindahan alamnya tidak dapat diragukan dan tak dapat dilukiskan dengan kata.
Luar biasa. Keren.
Raga
yang capek penat seolah tidak terasa. Kalah oleh kegembiraan dan hati yang
berbinar. Hingga sekitar pukul 15.30 kami telah tiba di Khayangan. Berarti kami
telah tiba di ujung timur pulau Lombok. Kami pun segera mencari informasi untuk
sampai di pantai Pink. Bermodalkan informasi yang terbatas, kami terus berburu.
Ternyata jarak dari Khayangan ke pantai Pink masih cukup jauh. Kami diberi
semangat juga peringatan agar jangan sampai kemalaman di jalan, bahaya, banyak
begal.
Informasi
negatif ini menyurutkan nyali hingga penat raga kian terasa dan tidak
tertahankan. Apa lagi saat bertemu dengan jalan yang masih berupa batuan dan
tanah. Tidak meyakinkan. Tetapi kami banyak bertemu dari arah berlawanan wisatawan
asing dan domestik. Semakin menguatkan bahwa ini jalur yang benar.
Stress
tak tertahankan menyusuri jalan rusak seolah tidak habis-habis. Di penghujung
hari, raga memang telah koyak, habis tenaga. Berharap agar asa tidak ikut
meredup. Akhirnya sekitar pukul 17.00, kami telah tiba di pantai Pink. Segera
bertanya tempat penginapan. Ternyata sekitar pantai tidak ada penginapan. Lemas
rasanya. Lunglai. Hari menjelang sore dan sebentar lagi gelap. Gambaran jalanan
yang sepi dengan hantu begal. Di sisi lain raga meang telah tak berdaya. Kami
kalau mau menemukan hotel harus kembali ke daerah Kuta, dengan perjalanan
sekitar 2 jam. Mati.
Di
tengah situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Satu keluarga dari Klaten
yang menikah dengna orang setempat menawarkan selasar warungnya untuk bisa
dipakai. Yang paling menyejukan hingga kami berani memutuskan bermalam di
pantai Pink adalah, para penjaga warung tetap tinggal di situ untuk menjaga
dagangannya.
Senang
dan gembira yang tak terbahasakan. Malam ini bisa beristirahat secara tenang
karena merasa aman. Setelah menitipkan barang-barang dan motor dengan Pak
Segeng pedagang dari Klaten, terlihat semburat jingga menandai akan menyuguhkan
pesona sun set pantai Pink. Segera
kami berburu untuk menyambut suguhan alam. Semoga bisa mengurai penat hati,
penat raga dan memulihkan harapan yang hampir pupus.
Hati
hanya bisa berdecak kagum pada pesona sun
set pantai Pink. Keren.
Sebelum
gelap menjelma, kami kembali ke warung dan memesan makan malam. Saatnya
menikmati suasana pantai di waktu malam dengan kesederhanaan. Namun pesona alam
tetap memukau hati untuk selalu mengaguminya.
Raga
yang lelah segera menghantar kami untuk lelap.
Hari VII, Kamis 29 Juni
2017: Mengais Asa untuk tidak Menyerah
Kembali pagi menjelang. Udara pantai yang menari manja
berhembus semilir membangkitkan harapan untuk menyongsong hari. Tenaga telah
pulih. Kendati demikian kami tidak dapat memungkiri kalau penat raga tak
gampang terurai. Namun, harus tetap semangat. Semburat warna jingga merona
fajar menyiratkan akan munculnya golden
sun rise. Segera aku bangkit dari tempat tidur untuk mendaki bukit yang
tidak terlalu tinggi demi mendapatkan energi mentari pagi. Isteriku tak mau
beranjak, mungkin masih amat lelah. Biarlah ia melanjutkan istirahat.
Para penjaga warung pun mulai bergeliat bersama harapan,
bahwa hari ini akan ada banyak pengunjung sehingga dagangan akan mengisi
pundi-pundi rumah tangga. Aku asik bercengkerama dengan pesona mentari pagi.
Moment yang langka, pesona sun rise
pantai Pink.
Setelah
puas dengan pesona sun rise, saatnya
untuk sarapan, kembali packing dan
meneruskan petualangan. Target hari ini adalah menyeberang ke Bali. Jadi
maksimal pukul 14.00 harus sudah tiba di pelabuhan Lembar. Patokan waktu menjadi
penanda batas keinginan karena Lombok memang surganya pesona alam. Setiap kali
bertemu dengan pemandangan yang mempesona, kami hentikan motor dan
menikmatinya. Sambil beristirahat.
Menyususri
jalanan dari ujung selatan bagian Lombok Timur di Tanjung Ringgit, kami akan
mengarahkan motor menuju Lombok Tengah. Sepanjang jalur berjajar deretan
pantai-pantai yang luar biasa indahnya. Ada yang sudah dibuka namun ada pula
yang belum terjamah.
Hingga
akhirnya, kami membelokkan motor ke kawasan wisata jelajah alam, trecking, camp
dan off road untuk menikmati kawasan wisata hutan lindung Gunung Tunak di
perbatasan antara Lombok Timur dan Tengah. Untuk menikmati pesona alam di
wilayah ini dibutuhkan kendaraan yang prima, nyali dan mental, juga sedikit
keberanian untuk nekat. Benar-benar menantang.
Usai
terperanjat dan terkesima serta menikmati pesona wisata sekitar Gunung Tunak,
kami pun beranjak kembali menyusuri setapak yang menantang. Menjelang 50 meter
di pintu masuk kawasan, di turunan yang terakhir, ban motorku yang menapak di
jalanan berbatu, terpaksa terpental karena batu sebagai pijakan ban telah
longsor. Motor berguling, otomatis kami yang menungganginya juga ikut solider.
Ada
banyak kerusakan. Kemudi sedikit bengkok, box pecah hingga barang bawaan
berhamburan, cover engine patah dan
harus kutinggalkan, kulit lututku harus menjadi souvenir pada ujung batu.
Ternyata medan di sini tidak hanya butuh nyali, tidak hanya motor yang prima,
tetapi skill dan konsentrasi yang
harus dijaga mutlak perlu, tidak bisa ditawar.
Akhirnya
kami sejenak mengatur nafas, kembali mengais mental untuk meneruskan
perjalanan. Untungnya penjaga tiket masuk melihat dan segera membantu.
Istirahat sejenak kembali berbenah. Aku pun nekat dengan luka parah di lutut
yang pura-pura tidak aku rasakan karena perjalanan memang harus diselesaikan.
Isteriku kendati kesakitan tetapi juga berpura-pura tegar. Mental telah pulih.
Motor aku coba masih bisa dipaksa. Petualangan pun kami lanjutkan.
Malang,
slebor belakangku pecah dan menempel di ban sehingga menimbulkan bunyi yang
berisik. Syukur tidak begitu lama, ketemu dengan bengkel. Akhirnya slebor
belakang aku potong demi menghilangkan bising. Menyusuri jalan yang bagus
akhirnya menghantar kami ketemu dengna jalur utama bandara, berarti telah
sampai di pusat keramaian. Lututku kian nyeri, apalagi kain celana melekat
lengket dengan luka. Bila menghentikan kendaraan, otomatis kaki jadi kaku
karena luka tersangkut kain celana. Aku pun nekat untuk melepas dengan paksa,
sambil meringis dan dalam hati menangis menahan sakit.
Sepanjang
jalan berkwalitas internasional antara bandara dan kota Mataram, ada banyak
pedagang yang menjajakan semangka Lombok. Kami pun menikmatinya, sambil
beristirahat. Kalau datang ke Lombok jangan lupa untuk mencoba semangka Lombok.
Dijamin ketagihan.
Perjalananku
masih panjang, maka tidak berapa lama kami pun terus melaju. Bertanya sana-sini
demi mengais informasi yang valid agar bisa sampai di Lembar dengan aman dan
lancar. Akhirnya, tepat pukul 12.00 kami pun tiba di pelabuhan.
Sayangnya,
antrian begitu panjang. Panas terik siang hari menemani perih luka kaki dan ini
harus kunikmati selama dua jam. Tepat pukul 14.00, kami bisa masuk ke ferri.
Tinggal menunggu keberangkatan. Bersyukur karena kami mendapat ferri yang cukup
besar dan bagus. Dengan demikian penyeberangan akan lebih cepat. Pukul 16.00,
ferri bergerak.
Kami
pun menikmatinya. Sebelum ferri berangkat kami sempat membeli nasi bungkus.
Saatnya makan. Dan istirahat.
Senja
merangkak, mengusir terang. Suasana mulai gelap, tetapi pelabuhan masih samar
terlihat di kejauhan. Hingga akhirnya, tepat pukul 19.30 kami telah tiba di
Padang Bai. Kami masih berkomitmen untuk mengitari pulau Bali. Maka, dari
Padang Bai kami tidak menuju Tabanan, tetapi memilih arah timur, menuju kota
Amlapura, kabupaten Karangasem.
Target
kami adalah menemukan penginapan di sana. Yang membedakan Bali dan Lombok
adalah keamanan dan keyamanan. Dimanapun tempatnya, pulau Bali lebih terjamin
keamanannya. Kendati kami baru pertama kali menyusuri jalan sisi timur Bali, hati
tetap teguh dan yakin tidak ada apa-apa. Jalanan dominan gelap. Ada lampu
penerangan tetapi karena banyak tikungan, tanjakan dan turunan tajam, maka
jalan banyak yang gelap.
Kami
tetap mantap menyusuri jalan. Sekitar 25 km jarak yang kami tempuh dari Padang
Bai ke Almapura. Hingga akhirnya sekitar pukul 21.00, kami pun menemukan
penginapan yang nyaman di kantong.
Saatnya
istirahat.
Hari VIII, Jumat 30 Juni
2017: Mendulang Sabar
Tujuh hari berkendara dengan jarak tempuh yang tidak
pendek memang sungguh penat terasa. Sehingga istirahat sepanjang malam tidak
juga mampu mengurai lelah. Ingin rasanya berlama-lama di atas pembaringan untuk
bermalas-malasan. Namun, perjalanan dan petualangan harus diselesaikan. Lututku
yang sudah tidak berkulit memaksa semalam untuk demam yang mengakibatkan
istirahat tidak sempurna.
Mata yang masih lengket dan badan yang seolah menyatu
dengan pembaringan, kami paksa untuk bangkit. Mandi. Kembali berkemas. Harapan
dan asa harus dikobarkan. Target kami hari ini adalah menyeberang ke Jawa dan
akan memaksa diri sampai di Mojokerto guna mencari pembaringan di sana.
Dari ujung timur pulau Bali, di kota Amlapura selanjutnya
akan kami arahkan menuju utara, menyisiri pinggiran pantai timur Bali, mengarah
ke utara, melengkung ke arah barat menuju Singaraja yang selanjutnya menuju
Gilimanuk. Ujung timur Bali mengarah ujung utara dan selanjutnya berakhir di
ujung barat, perjalanan sekitar 200 km. Harus semangat.
Jalanan sepi. Meliuk motor mengikuti alur jalanan. Terasa
berada dalam surga. Terus melaju motor meninggalkan satu perkampungan menuju
perkampungan berikutnya. Bagian timur dan utara Bali memang cenderung sepi bila
dibandingkan dengan suasana Bali bagian tengah dan selatan. Di sekitar Air
Sanih, perut pun minta diisi. Melihat ada satu rumah makan yang langsung
menghadap pantai, mengundang kami untuk beristirahat dan memesan makanan.
Sekitar dua jam kami berada di sini. Asik, tenang dan damai.
Kembali motorku pun melaju. Usai melewati daerah
Singaraja, jalan seolah hanya milik kami. Sangat sepi. Seolah tanpa ada
pengendara. Dari Amlapura-Singaraja-Gilimanuk, aku hanya melihat 6 mobil dan 2
motor berplat luar Bali. Sekitar pukul 12.00, kami telah tiba di Gilimanuk.
Saatnya menyeberang. Kami bertemu dengan beberapa komunitas motor yang habis
touring di Bali bagian selatan. Semua mengapresisasi atas keberanian kami
berdua touring tanpa teman dan tanpa kenalan serta di tempat yang masih asing.
Akhirnya, pukul 13.00, kami tiba di Ketapang. Tanpa
menunda waktu langsung lanjut. Berharap keadaan jalan masih sepi tidak ramai,
sehingga perjalanan akan lancar. Meninggalkan Banyuwangi dengan lancar.
Selanjutnya menembus hutan Baluran juga lancar. Memasuki kota Situbondo, masih
lancar. Namun raga tak mampu mengingkari diri yang lelah dan capek. Sekitar
kawasan Pantai Putih, Situbondo kami pun beristirahat. Menjelang sore cuaca
yang tidak lagi panas, keadaan jalan berubah menjadi padat merayap. Kedua sisi
penuh dengan kendaraan. Mulai kawasan Paiton, perjalanan mulai merangkak. Pegal
tangan mengimbangi lutut yang luka.
Sore menyambut
semua pengendara. Hingga gelap kami belum juga keluar dari Probolinggo.
Jelas perjalanan akan sangat melambat dan tertunda. Ragaku sudah diujung lelah.
Namun isteriku masih bertahan. Ia terus memotivasi untuk sampai di Mojokerto.
Sesampainya di Pasuruan, aku mengajaknya untuk mencari penginapan dan besok
baru lanjut. Tetapi ia kukuh dengan pendiriannya.
Diriku yang kelelahan, stress berat menjadi tantangan
tersendiri dalam menguasai emosi untuk terus fokus pada prinsip, “Safety fisrt”. Sempat mengalami konflik
karena mencari persimpangan menuju Mojokerto yang tidak ketemu-ketemu. Bertanya
sana-sini, namun hati yang lelah menjadi seolah-olah teramat sulit menemukan
jalur yang benar.
Hingga
akhirnya kami telah sampai di daerah Mojosari. Besar harapanku untuk segera
sampai di Mojokerto. Kembali bersemangat. Sepanjang jalan kami fokus untuk
menemukan penginapan. Ternyata banyak pengemudi yang mengalami kelelahan di
sekitar Mojokerto. Akibatnya hotel telah penuh. Sambil terus berharap dan
sambil menyususri jalan kami berharap untuk segera menemukan penginapan.
Sampai
pukul 21.00, penginapan juga tak kami temukan. Hari ini, dari Amlapura, Bali
jarak tempuhku telah sampai pada angka 578 km. Ini adalah jarak terjauh yang
pernah kujalani dalam bermotor. Akhirnya kami putuskan untuk beristirahat
sambil mencari makan. Perut yang kenyang akan membantu tenang agar penginapan
segera ditemukan. Usai makan, bermodal informasi pengurus rumah makan kami pun
menemukan penginapan di perbatasan antara Mojokerto-Jombang.
Senang
rasanya. Lega. Saatnya istirahat.
Hari IX, Sabtu 01 Juli
2017: Mempersembahkan Pengalaman pada Tuhan
Pagi kembali merekah bersama hari. Kendati raga tak lagi
utuh bertenaga, tetapi harapan yang menggunung mampu mendongkrak enegi. Hari
terkhir dalam masa petualangan dan pengembaraan. Sore nanti atau malam hari,
kami akan tiba di rumah tercinta kota Solo. Ada harapan menggebu yang membakar
asa untuk kembali bersemangat.
Segera aku melompat dari pembaringan, mandi,
berkemas-kemas dan sarapan. Begitu pula dengan isteriku. Dari Mojokerto arah
Jombang dan selanjutnya arah Nganjuk. Tetapi sesampainya di Jombang, kami
membelokkan arah menuju Kediri. Maksud hati adalah untuk menemukan titik teduh
bersama Bunda Maria di Pohsarang, Kediri. Meliuk motor mengikuti alur jalanan
yang belum begitu padat. Hingga sekitar pukul 10.00, kami telah tiba di tempat
peziarahan.
Saatnya
untuk berdoa, berserah dan bersyukur atas segala kesempatan dan pengalaman
hidup yang boleh kami lewati. Cukup lama kami menikmati suasana teduh. Ya
sekalian istirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Sekitar
pukul 13.00, kami meninggalkan Pohsarang, Kediri menuju Nganjuk. Sesampainya di
Nganjuk situasi jalan sudah padat merayap. Memang ini masa arus balik. Wajar.
Harus sabar. Untungnya, ban sepeda motorku dual
purpose sehingga aman-aman saja saat harus turun keluar dari aspal.
Sekitar
pukul 15.00, tibalah kami di Ngawi, istirahat. Kemudian lanjut lagi. Situasi
jalan masih sama. Ramai-lancar. Hingga tepat pukul 17.30, kami telah tiba di
rumah. Tiba di Solo dengan selamat. Puji Tuhan.
Pada Akhirnya, …
Demikian
lah sekelumit catatan perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Ya,
mungkin bagi kebanyakan orang, kisah kami begitu remeh. Tetapi tidak bagi kami.
Ini adalah kisah petualangan yang medebarkan dan menantang serta teramat sangat
berkesan. Dengan waktu 9 hari 8 malam, dengan jarak sejauh 2.378 km dan
menghabiskan bahan bakar tepat seharga Rp 470.000. Kami telah melukis kisah hidup
untuk sejenak menjelajahi dan menikmati karya Tuhan di secuil wilayah Jatim,
Bali serta Lombok. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini. Terimakasih Isteriku
yang setia untuk menjadi co-rider
yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai. Terimakasih untuk sesamaku
yang masih mau menghadirkan kebaikan. Semoga pengembaraan ini mendewasakan kami
untuk lebih mengenal diri. Sehingga semakin barani untuk menekan ego, berani berbagi,
selalu berharap dan selalu bersemangat untuk menggapai cita. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar