SOLO HIKING: LAWU VIA CETHO
Oleh:
Heri
Setiap manusia selalu punya cara untuk mengurai
kegelisahan dan beban hidupnya. Demikian pula dengan diriku. Ada banyak cara
yang bisa dipilih. Dari beragam pilihan untuk mengurai penat jiwa, aku lebih
cocok dengan kegiatan mendaki gunung. Kendati gunung yang sama namun aku tak
pernah bosan untuk kembali mencumbunya.
Kali ini, aku ingin berbagi kisah pendakian solo ke
gunung Lawu lewat Cetho. Sekalian bernostalgia. Aku pernah melewati jalur ini,
sekitar bulan Mei 2013. Sudah cukup lama. Tentu ada banyak perubahan. Waktu
yang kupilih adalah ingin menyambut puasa hari pertama di ketinggian Hargo
Dumilah, puncak tertinggi Lawu[1].
Pagi menjelang menyambut fajar
hari Jumat, 26 Mei 2017, raga dan mentalku telah siap untuk berpetualang
seorang diri. Bukan karena tidak punya teman. Tetapi memang inginnya sendiri.
Biasanya selama ini, isteriku setia menemani hari-hari pendakianku. Tetapi kali
ini, karena rutinitas kerja menjadikannya tidak bisa bersama. Buatku ijin serta
restunya saja sudah cukup menjadi kekuatanku. Aku yakin, doanya selalu akan
menemani perjuangan dan petualanganku. Semoga.
Pagi ini, aku sempatkan untuk sarapan bersama di rumah
dengan isteriku. Ia membuatkan bekal perjalanan, nasi dan telur dadar, agar di
tengah pendakian tidak perlu repot-repot memasak. Tinggal buka dan makan. Nasi
adalah sumber kekuatan utama. Sambil cerita-cerita tidak terasa waktu sarapan telah
usai. Saatnya melangkah meninggalkan rumah, isteriku menuju tempat kerja
sedangkan aku akan memulai petualangan mendaki sendirian. Lawu via Cetho.
Berangkat
dari Solo tepat pukul 07.30 menuju arah timur. Satu
jam perjalanan, sampailah di Karangpandan. Tidak
berhenti, tetap kulajukan sepeda motorku menuju Ngargoyoso yang selanjutnya
menuju candi Cetho, sekaligus beskem pendakian[2]. Hanya
butuh watu 30
menit untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan indahnya
luas perkebunan teh. Jalan yang berliku, bekelok, menanjak dengan tepian jalan
yang masih perawan, belum banyak rumah-rumah penduduk, menjadikan mata langsung
menatap landscape panorama hijau
hamparan perkebunan.
Terlalu pagi, mungkin aku tiba di parkiran pendaki.
Beskem Cetho masih sangat sepi. Namun,
banyak motor yang terparkir, mungkin yang nanjak hari kemarin cukup ramai.
Beskem dikelola oleh perhutani yang bekerjasama dengan
penduduk setempat. Beskem sendiri tidak terlalu luas. Namun, ada banyak rumah
penduduk untuk transit. Rata-rata rumah penduduk yang menyediakan jasa parkir
kendaraan sekaligus menjadi rumah transit, sebelum pendakian. Sehingga para pendaki
sejenak bisa mengistirahatkan tubuh yang capek
karena perjalanan. Kalau yang menghendaki makan juga bisa bekerjasama dengan penduduk setempat.
Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga parkir, tepat jam 09.50 aku memulai pendakian.
Mengawali pendakian
ini, kuawali dengan doa dan kumulai dengan
sangat santai,
menyisisr sebelah candi sekaligus mengaguminya.
Jalur ini, pada awalnya telah menyajikan
warisan budaya Majapahit yaitu candi
Cetho[3].
Candi Cetho ini, sampai sekarang masih dipergunakan untuk tempat sembahyang.
Waktu itu, aku masih mencium harum bau dupa-ratus dan kemenyan yang menghantar
sanubari untuk sejenak hening menyadari kekerdilan di hadapan Sang Pencipta.
keindahan bulak peperangan unt memompa tenaga |
Sekitar
10 menit meninggalkan candi
Cetho aku pun mensyukuri perjumpaan dengan
warisan budaya Majapahit yang lainnya yaitu, candi Ketek. Sejenak, akupun menyempatkan
diri untuk berfoto-foto, sebuah langkah sederhana untuk mensejarahkan
kehidupan. Dalam kagumku pada pesona
warisan budaya, mendadak kabut naik dengan sangat pekat. Seolah-olah akan
menyelimuti perjalananku. Beberapa hari ini, cuaca cukup panas. Bisa jadi ini
akan menjadi pertanda munculnya hujan. Maka, segera akupun berlalu untuk
melanjutkan perjalanan.
Menyisir
jalan setapak sebelah kiri candi Ketek, aku
bertemu dengan persimpangan menuju ladang penduduk. Kupilih jalur kanan.
Jalanan setapak sudah terlihat
jelas dengan papan penunjuk arah yang bertebaran.
Nafas mulai tersengal, karena tenaga ganda yang harus kukeluarkan, menopang
beban perbekalan dan sekaligus mengayunkan langkah. Tepat satu jam dari Cetho, aku tiba di pos satu. Pos I ini, hayalah sebuah
selter, perhentian sementara. Di sini ada bedeng sederhana, dari bekas spanduk. Namun tertata rapi dan terlihat mumpuni untuk
berteduh bila hujan mendera. Di depan pos I
lumayan untuk menikmati panorama alam, dengan catatan tidak ada kabut. Aku pun beristirahat sebentar dan
menikmati bekal seadanya.
Setelah nafas lega dan pundakpun sedikit longgar, segera
kumeninggalkan pos I.
Baru lima menit berjalan, perjumpaan
pertama dengan rombongan yang turun. Mereka semalam beristirahat di Pos III.
Maka, tidak mengherankan bila sepagi ini sudah sampai
Pos I. Menurut mereka, di
atas banyak pendaki tetapi rata-rata akan turun hari ini. Yang bergerak menuju
puncak hanya ada tiga rombongan. Pikirku, “lumayan lah di atas nanti akan ada
temannya”. Kuayunkan kakiku dengan santai, karena perjalanan memang masih
sangatlah jauh. Aku pun masih menikmati sensasi mendaki sendirian.
20 menit meninggalkan Pos I, aku melihat ada selter.
Kupikir ini Pos II, ternyata hanya tempat perhentian sementara. Namun, cukup
nyaman bila hujan mendera. Bisa untuk berteduh. Aku terus melaju untuk tidak
menyia-nyiakan waktu. Berharap sore sudah sampai puncak. Sehingga bisa
menikmati panorama sun set puncak
Lawu. Tetapi apa daya beban bawaan yang
menindih pundakku kian terasa berat, aku yakin berat tas kerirku sekitar 25 kiloan. Wajarlah, karena mendaki sendiri lengkap dengan
segala perlengkapan tempur dan juga bekal antisipasinya.
Akhirnya,
jam 11.30 aku tiba di pos II[4]. Untuk beberapa saat, aku beristirahat. Rasanya memang
lelah dan penat. Hampir aku terlelap. Namun, sayup terdengar riuh orang
bercanda di kejahuan. Berarti ada pendaki lain. Bisa saja mereka turun atau
mereka yang baru naik. Bergegas aku berlalu meninggalkan Pos II untuk kembali
melangkah.
Medan
pendakian semakin menanjak. Untungnya hutan masih terjaga, sehingga terasa
bagai dalam naungan payung keagungan
Tuhan pencipta. Keindahan itu diperkuat dengan taburan
bunga hutan warna-warni. Perdu, semak dan tanaman hutan lainnya tumbuh dengan
suburnya. Jalur ini benar-benar hutan
belantara. Rimbun dan teduh. Suara aneka burung juga masih asik terdengar
menghibur raga yang koyak-kelelahan.
Sekitar 300 meter meninggalakn Pos II aku telah
melihat satu rombongan beranggota 5 orang, 2 cowok dan 3 cewek. Awalnya, aku
mengikuti mereka. Hingga pada akhirnya tersusul juga. Kami pun bertegur sapa
dan saling memperkenalkan diri. Mereka gabungan dari Bandung dan Jakarta.
Pertama kali mereka mendaki di jalur ini. Melihat bekal yang menggantung di
pundak, terlihat penuh muatan. Lalu, kami pun berjalan bersama, saling berbagi
cerita dan pengalaman. Saling menguatkan dan memotivasi agar terus berjalan. Tak
dapat dipungkiri bahwa medan setapak di jalur ini memang sungguh dahsyat. Jalanan
yang samar karena kabut senatiasa menemani perjalanan dan juga rapat perdu-belukar
menutup setapak, dan licin.
Akhirnya, rasa lega memenuhi dada kami ketika samar-samar para-para terlihat. Ini bukan Pos III, menurut info, area ini masih 50
meter menjelang Pos III. Namun, di sini ada sumber air yang mengalir dari pipa.
Sehingga sangat cocok untuk beristirahat dan memasak. Di
sini juga cukup untuk mendirikan 2 – 3 tenda sehingga dapat beristirahat secara
nyaman.
hutan yg menaungi sumber air di bawah pos 3 |
Kami beristirahat cukup lama. Di selter ini, kami membuka
perbekalan. Sejenak kami melupakan raga yang telah habis tenaga. Di sini kami
mulai memasak. Makan singpun siap. Bekalku
belum kubuka, aku malah menikmati bekal pemberian dari teman baru rombongan
bandung-jakarta, sebungkus nasi goring dengan lauk telur dadar. Terimakasih
kawan. Mari makan…
Satu jam berlalu dengan kegiatan
masak-memasak juga waktu untuk menikmatinya
dan beristirahat. Saatnya
melanjutkan pendakian. Tidak berapa lama, tibalah kami di
Pos III (Cemoro Dowo). Di sini, kami berjumpa dengan dua rombongan yang
akan bermalam setelah dari puncak. Mereka mendirikan dua tenda. Pos III memang
sangat nyaman untuk tempat peristirahatan. Dengan kanopi lebatnya hutan
belantara dan dekat dengan sumber air.
Tak
berhenti lama, kami terus melangkah. Tanjakkan mulai
terasa makin berat dan curam. Keadaan hutan masih sama, lebat. Ada pohon cemara maupun
akasia hutan yang besar-besar kelihatan sangat gagah. Nafas mulai tersengal
kembali. Setiap nafas kami berburu oksigen, kami terhenti sejenak untuk
menikmati panorama jurang dan hutan di sisi kanan, terlihat sangat indah, agung
dan mempesona. Pos III menuju pos IV merupakan
trek terjauh dari pos-pos yang ada. Aku mulai merasa kecapaian, karena kelamaan
dan keseringan menunggu teman rombongan Jakarta-bandung ini. Namun, aku masih
bertahan untuk terus bersama dengan mereka. Akhirnya, kami
tiba di pos IV (Pengik)[5]. Senang rasanya. Kemudian kami
beristirahat selama 15 menit. Lanjut
lagi.
Ditemani
oleh mas Gerard, salah satu rombongan yang bareng denganku. Agaknya teman-teman
rombongan lain, kian jauh tertinggal. Pada hal medan selepas Pos IV cenderung
datar dan banyak bonusnya. Namun, mungkin tenaga memang benar-benar menipis.
Sehingga tidak juga muncul. Bentar-bentar kami berteriak untuk memberi tanda.
Mereka menyahut, kami tunggu, mereka tiba, kami jalan. Metode ini terus kami
pakai. Hingga akhirnya, suara mereka berempat tidak terdengar. Lalu mas Gerard
mempersilahkan aku untuk lanjut duluan. Ia tahu betul soal ritme pendaki tidak
bisa disamakan. Ia malah kasihan kepadaku, bila harus menyesuaikan dengan ritme
rombongannya.
Hingga akhirnya, dengan berat hati aku pun berpamitan
untuk mendahului. Kami berjanji untuk saling menunggu dan bila mungkin, kami
akan bertemu di warung Mbok Yem. Setelah aku memberikan sedikit petunjuk dengan
beberapa tanda dan tempat-tempat yang perlu diwaspadai, aku pun melaju. Namun,
apa daya tenagaku juga mulai koyak. Kendati medan diujung Pos IV menuju Pos V
cenderung datar. Tetapi hanya lemas yang kupunya. Keinginan tak sebanding
dengan tenaga yang kumiliki. Kendati terseok, aku terus melangkah. Melihat
hijaunya sabana, berharap ada tenaga yang merasuk. Harapan itu seolah
mimpi yang tak kan menjadi nyata.
Terus berjuang kendati seolah tak bisa melangkah,
hingga hati bergembira menemukan papan bertuliskan Pos
V (Bulak Peperangan). Di pos ini, aku sempatkan untuk beristirahat sambil menikmati bekal yang ada. Semburat
sinar jingga pertanda sun set akan
segera tiba, berhasil memompa semangatku. Karena targetku adalah menikmati
senja di puncak Lawu.
Semangat hanyalah semangat. Karena raga memang telah
kelelahan. Hati girang melihat papan bertuliskan “Gupakan Menjangan”. Lalu, aku
putuskan untuk lebih realistis. Ganti haluan tidak mengejar puncak tetapi cukup
di warung Mbok Yem. Mulai
pos ini, aku sudah tidak lagi menyempatkan diri untuk melirik arloji. Yang ada
dikepalaku hanyalah “segera tiba, mendirikan tenda, memasak dan istirahat”. Sejauh mata memandang hanyalah sabana dan sabana. Hanya padang
rumput yang terlihat. Sesekali diselingi tanjakan kecil. Hati makin ciut ketika
mata melihat dan menyadari
bahwa setapak seolah tidak
berujung. Perjalananku seolah-olah
masih
sangat-sangat jauh.
obat capek |
Selepas sabana dan memasuki area hutan, aku bertemu
dengan rombongan yang turun. Mereka memberitahu bahwa masih ada satu rombongan
terdiri 4 orang yang akan ke puncak. Cuaca mulai meremang. Pertanda hari akan
berganti malam. Ragaku makin sempoyongan. Tetapi aku tidak boleh kalah.
Targetku adalah melewati area “Pasar Dieng” sebelum benar-benar gelap. Pos
Pasar Dieng mengingatkanku pada pendakian yang lalu, bahwa timku pernah
kebingungan dan mengalami dis-orientasi
medan. Maka, segala sisa tenaga aku kerahkan.
Menjelang sampai Pasar Dieng, aku bertemu dengan
rombongan yang akan menuju puncak, mereka dari Madiun. Rombongan ini baru memasak
di tengah jalan. Karena satu anggotanya telah tak berdaya. Aku pun bertanya,
apakah mereka pernah melewati jalur ini. Jawabnya adalah, “belum”. Pengalamanku
yang lalu membuatku tidak tega membiarkan mereka kebingungan di Pasar Dieng.
Maka aku putuskan untuk bersama-sama dengan mereka dan aku tetap menjaga
rahasia bahwa aku pernah berputar-putar di sekitar Pasar Dieng.
Setelah rombongan dari Madiun ini memulihkan tenaga,
perlahan kami bergerak. Aku sungguh bersyukur dengan berhenti lama, karena
menunggu rombongan ini memasak hingga matang lalu menyantapnya, tenagaku pulih
kembali. Ternyata aku mengalami kelelahan akut. Niat hati solider dan membantu
rombongan lain, tetapi diriku juga tertolong. Membantu berbuah terbantu.
Pengalaman baru.
Tenaga yang pulih, mental yang kembali menguat dan di
dalam hati terus berdoa, aku pun dengan mantap mengayunkan langkah untuk
memasuki area Pasar Dieng. Suasana gelap, namun di langit bintang bertaburan,
pertanda cuaca cerah bersahabat. Hingga akhirnya, kami
sampai di pasar Dieng.
Tempat ini ditandai dengan hutan cantigi dan serakan bebatuan. Di sini juga ada
banyak tumpukan batu-batu yang tersusun rapi, bagaikan tugu-tugu kecil yang
menyerupai stupa. Di tempat ini, auranya
sangat
mistis. Hal ini ditandai dengan tangkai-tangkai bekas dupa
sesaji. Hal semacam ini menandai bahwa keyakinan lokal yaitu agama asli masih
hidup dan lestari. Aku hargai itu. Setiap orang punya cara berdoa untuk
berelasi dengan Allah penguasa jagat semesta.
teras menuju makan Prabu Brawijaya V |
Indahnya
panorama pegunungan di malam hari yang
terlihat remang-remang di bawah
naungan cahaya bintang
menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan
dengan seketika. Kami berlima
bergerak cepat meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang
ditandai dengan tali rafiah usang
dan papan-papan penunjuk arah.. Hingga akhirnya,
tepat pukul 18.30
kami tiba di puncak Hargo Dalem.
Suasana di warung Mbok Yem terlihat lengang. Mungkin
tutup, karena besok hari 1 puasa. Kuketok pintu dan ada jawaban. Lega rasanya.
Setelah sungkem dengan Mbok Yem, aku memutuskan mendirikan tenda di depan
warung. Keputusan ini, sengaja aku paksakan, karena bila aku menginap di
warung, maka bekal yang aku bawa tidak akan berkurang. Pasti aku akan memilih
untuk jajan. Berbeda dengan 4 teman dari Madiun, mereka memutuskan untuk
bemalam di warung.
Maka, segera kudirikan tenda dum kapasitas dua orang.
Memasukan barang dan mengaturnya. Saatnya memasak untuk memulihkan tenaga.
Belum juga selesai aku makan, ke-4 teman dari Madiun nimbrung di tendaku. Lalu
akhirnya, kami asik berbagi cerita, pengalaman dan petualangan. Bekal yang
kupunya menemani obrolan malam hingga larut. Tidak terasa waktu telah menunjuk
angka 23.00, kuputuskan untuk menghentikan sejenak obrolan, besok dilanjut
lagi. Saatnya istirahat, agar besok tenaga pulih dan bisa melanjutkan
perjalanan menuju puncak dan pulang kembali dengan semangat.
Menggapai Puncak Hargo Dumilah 3.265 Mdpl
Malam
telah berlalu meninggalkan kenangan karena istirahat yang menyegarkan. Pagi
tepat pukul 05.00 aku bangun untuk menyaksikan indah panorama sunrise. Namun, belum juga aku beranjak
dari kantung tidurku, kabut berarak
naik. Rencana
menikmati sun rise di depan warung
agaknya harus tertunda. Kabut makin menebal. Pertanda cuaca kurang baik. Maka,
kuputuskan untuk langsung menuju puncak. Kami berlima bersama meninggalkan
warung dan menuju puncak. Menjelang puncak, sejenak kabut berhenti dan memberi
ruang untuk mengintip matahari terbit. Sejenak menikmati sunrise sambil mengatur nafas. Kembali kabut menebal dan menutup keindahan fajar.
Tepat pukul 05.30 kami tiba di puncak Hargo Dumilah. Berdoa dan bersyukur. Hening sejenak. Menikmati
keindahan lukisan sang pencipta.
Tak banyak orang yang mendaki hari ini, hanya ada 7
orang, aku, rombongan dari Madiun 4 orang dan 1 rombongan beranggotakan 2
personil dari Solo. Hanya seperempat jam aku menikmati keindahan puncak, karena
kabut datang dan pergi. Tidak leluasa menikmatinya. Aku berpikir, mending segera turun, memasak, sarapan
sambil menikmati keindahan Lawu dari depan warung. Lalu aku turun sendirian.
Teman-teman yang lain masik asyik bercengkerama dengan pesona alam.
Di
langit tertutup mendung tipis, menyembunyikan panas mentari pagi. Tetapi batas
horizon menyuguhkan keindahan alam yang luar bisa. Lukisan galir-galir bukit
dan lembah serta ladang pertanian dan deretan perkampungan terlihat jelas dari
atas. Kunikmati lukisan Sang Pencipta ini sambil sarapan dari dalam tenda.
Asyik aja.
Saatnya Turun
Tepat pukul 08.00,
kubongkar tenda sebagai istana sementaraku dan
kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah. Berharap pukul 08.30 bisa memulai perjalanan turun. Semoga masih dapat
cuaca cerah. Feeling-ku mengatakan
bahwa hari ini akan turun hujan. Semoga perjalanan lancar, tidak kehujanan
sebelum sampai di beskem. Membayangkan licinnya setapak bila hujan mendera sebelum
sampai bawah. Genangan air yang terjebak di parit-parit setapak yang tidak
mudah menguap karena rimbunnya pepohonan hutan, akan memperparah tantangan
perjalanan turun.
Setelah semuanya siap, kulirik jam tanganku yang
menunjuk waktu pukul 08.30
aku bersama 4 teman dari Madiun
meninggalkan Hargo Dalem. Menyusuri setapak yang lebar, bersih dan jelas. Panorama sepanjang perjalanan dari Hargo Dalem, Pasar
Dieng dan sabana sampai Gupakan Menjangan sungguh luar biasa. Keren. Selepas
Pasar Dieng, kami bertemu dengan teman rombongan Bandung-Jakarta.
Sejenak bertegur sapa, saling menguatkan dan
meneguhkan, lalu lanjut lagi perjalanan. Sesampainya di Gupakan Menjangan,
salah satu teman kami dari Madiun muntah-muntah. Ternyata mereka berempat
sedang menjalankan puasa. Saliut untuk keempat sahabat baruku ini. Berbeda
denganku yang tidak puasa. Jelas bila ritme perjalananku diikuti oleh mereka
akan menjadi beban. Dengan berat hati kuputuskan untuk berpisah. Aku akan jalan
duluan, pelan-pelan dengan ritme yang berbeda.
Selamat berpisah kawan. Lain waktu semoga bisa
berjumpa. Salam dari dariku, pendaki solo.
Lalu, aku pun melenggang berjalan sendirian. Dari
Gupakan Menjangan, lanjut ke Pos V, Bulak Peperangan. Sejenak mengatur nafas.
Jalan lagi. Istirahat di Pos IV.
Jalan lagi tanpa bertemu seorangpun.
Masih semangat. Lanjut lagi.
Di kejahuan, samar terlihat atap selter Pos III, hati
senang. Sampai juga di Pos III. Di sini aku bertemu kembali dengan rombongan
dari Karangpandan, Solo berjumlah 4 orang. Semalam mereka ngekem di Pos V. Lanjutkan
lagi perjalanan. Bertemu dengan dua orang yang mau ke puncak. Jalan lagi hingga
ketemu dengan papan bertuliskan Pos II. Istirahat. Mengurangi bekal yang
tersisa. Tak berapa lama rombongan dari Solo menyusul. Ngobrol. Asyik. Bertemu
dengan dua pendaki dari Jogja yang akan ke puncak. Aku pamit duluan untuk
segera turun.
Kabut naik dengan tebalnya. Jarak pandang menciut.
Dugaanku akan segera turun hujan. Semangat menggelora. Berusaha untuk tidak
kehujanan. Aku setengah berlari karena masih ada banyak tenaga. Pos I telah
terlewati, bentar lagi sampai. Candi Ketek. Bentar lagi beskem. Sampai juga.
Tepat pukul 12.30, aku masuk ke rumah singgah untuk istirahat sementara dan tak
berapa lama hujan turun dengan derasnya.
Penutup: Membingkai Makna sebuah Kisah Perjalanan
Solo hiking, sebuah perjalanan yang
tidak biasa. Namun sudah banyak yang menjalaninya. Salah satunya adalah aku.
Perjalanan kali ini mengajariku tentang arti menziarahi diri. Solo hiking
hanyalah sebuah sarana untuk memasuki realitas diri. Melalui pendakian seorang
diri ada pengalaman baru, terutama untuk semakin mengenal “siapa aku?” Selain itu juga membimbingku untuk belajar
banyak hal. Tentang cara berbagi, tentang cara mengalah, tentang cara
meluruhkan target dan ego, tentang cara merendah, tentang cara mendukung dan
yang utama adalah tentang membuka diri akan persaudaraan, untuk selalu menyapa
dan tersenyum, untuk selalu membangun asa dan mendulang harapan, untuk selalu
percaya akan kebaikan sesama dan yang utama adalah untuk selalu percaya bahwa
Tuhan Allah akan selalu membimbing, menuntut, dan mendampingi serta melindungi.
Terimakasih Tuhan, terimakasih sahabat sepetualangan, terimakasih semesta,
terimakasih setapak Lawu via Cetho dan terimakasih untuk isteriku yang selalu
mendukung peziarahanku, sehingga aku bisa selalu bertumbuh untuk menjadi
manusia yang semakin utuh.
[1] Gunung ini ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan
ketinggian 3265 Mdpl, gunung ini sangat menantang untuk dijelajahi. Pendakian
Gunung Lawu dapat melewati beberapa jalur, antara lain jalur Cemoro Kandang,
Candi Cetho, Tambak ( Jawa Tengah ) serta Cemoro Sewu dan Jogorogo ( Jawa Timur
).
[2] Candi
Cetho terletak di ketinggian 1400 mdpl dan secara administratif berada di
Dukuh Cetho, Desa Gemeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Desa Gemeng memiliki potensi wisata
yang besar karena banyak terdapat candi dan juga pesona kebun teh yang memiliki
keunikan tersendiri.
[3] Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus
yang menjadi symbol Siwa. Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya
dan susunan batu berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama
berbentuk trapesium berada di teras paling atas.
[4] Pos II ini sering
disebut sebagai pos Brak Seng. Pendakian dari pos I menuju pos II ini, akan
menyusuri punggungan yang makin lama makin menanjak, walaupun tidak seberapa
terjal. Dengan dihiasi tanaman arbei hutan di sepanjang perjalanan. Hutan
dijalur ini semakin rapat sehingga perjalanan tidak terlalu panas. Pos II hanyalah
sebuah shelter yang mirip gubug yang terbuat dari bekas spanduk yang cukup nyaman buat beristirahat
dan kalau hujan juga bisa untuk berteduh. Pos II ini, di apit oleh dua buah pohon yang menjulang tinggi,
sehingga sangat rindang untuk beristirahat. Di sini, para pendaki dapat
mendirikan sekitar 2 -3 tenda.
[5] Di pos ini, telah dibangun dua
pondok sederhana dari terpal dan spanduk bekas. Terlihat
masih bagus dan dapat digunakan sebagai tempat bermalam jika pendaki tidak
membawa tenda. Di sekitar selter tersebut juga memungkinkan untuk didirikan 3-4
tenda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar