Jumat, 02 Juni 2017

catatan perjalanan (solo hikking): Lawu via Cetho

SOLO HIKING: LAWU VIA CETHO
Oleh: Heri

Setiap manusia selalu punya cara untuk mengurai kegelisahan dan beban hidupnya. Demikian pula dengan diriku. Ada banyak cara yang bisa dipilih. Dari beragam pilihan untuk mengurai penat jiwa, aku lebih cocok dengan kegiatan mendaki gunung. Kendati gunung yang sama namun aku tak pernah bosan untuk kembali mencumbunya.
Kali ini, aku ingin berbagi kisah pendakian solo ke gunung Lawu lewat Cetho. Sekalian bernostalgia. Aku pernah melewati jalur ini, sekitar bulan Mei 2013. Sudah cukup lama. Tentu ada banyak perubahan. Waktu yang kupilih adalah ingin menyambut puasa hari pertama di ketinggian Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu[1].
            Pagi menjelang menyambut fajar hari Jumat, 26 Mei 2017, raga dan mentalku telah siap untuk berpetualang seorang diri. Bukan karena tidak punya teman. Tetapi memang inginnya sendiri. Biasanya selama ini, isteriku setia menemani hari-hari pendakianku. Tetapi kali ini, karena rutinitas kerja menjadikannya tidak bisa bersama. Buatku ijin serta restunya saja sudah cukup menjadi kekuatanku. Aku yakin, doanya selalu akan menemani perjuangan dan petualanganku. Semoga.
Pagi ini, aku sempatkan untuk sarapan bersama di rumah dengan isteriku. Ia membuatkan bekal perjalanan, nasi dan telur dadar, agar di tengah pendakian tidak perlu repot-repot memasak. Tinggal buka dan makan. Nasi adalah sumber kekuatan utama. Sambil cerita-cerita tidak terasa waktu sarapan telah usai. Saatnya melangkah meninggalkan rumah, isteriku menuju tempat kerja sedangkan aku akan memulai petualangan mendaki sendirian. Lawu via Cetho.

            Berangkat dari Solo tepat pukul 07.30 menuju arah timur. Satu jam perjalanan, sampailah di Karangpandan. Tidak berhenti, tetap kulajukan sepeda motorku menuju Ngargoyoso yang selanjutnya menuju candi Cetho, sekaligus beskem pendakian[2]. Hanya butuh watu 30 menit untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan indahnya luas perkebunan teh. Jalan yang berliku, bekelok, menanjak dengan tepian jalan yang masih perawan, belum banyak rumah-rumah penduduk, menjadikan mata langsung menatap landscape panorama hijau hamparan perkebunan.
Terlalu pagi, mungkin aku tiba di parkiran pendaki. Beskem Cetho masih sangat sepi. Namun, banyak motor yang terparkir, mungkin yang nanjak hari kemarin cukup ramai. Beskem dikelola oleh perhutani yang bekerjasama dengan penduduk setempat. Beskem sendiri tidak terlalu luas. Namun, ada banyak rumah penduduk untuk transit. Rata-rata rumah penduduk yang menyediakan jasa parkir kendaraan sekaligus menjadi rumah transit, sebelum pendakian. Sehingga para pendaki sejenak bisa mengistirahatkan tubuh yang capek karena perjalanan. Kalau yang menghendaki makan juga bisa bekerjasama dengan penduduk setempat.
            Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga parkir, tepat jam 09.50 aku memulai pendakian. Mengawali pendakian ini, kuawali dengan doa dan kumulai dengan sangat santai, menyisisr sebelah candi sekaligus mengaguminya. Jalur ini, pada awalnya telah menyajikan warisan budaya Majapahit yaitu candi Cetho[3]. Candi Cetho ini, sampai sekarang masih dipergunakan untuk tempat sembahyang. Waktu itu, aku masih mencium harum bau dupa-ratus dan kemenyan yang menghantar sanubari untuk sejenak hening menyadari kekerdilan di hadapan Sang Pencipta.
keindahan bulak peperangan unt memompa tenaga
Sekitar 10 menit meninggalkan candi Cetho aku pun mensyukuri perjumpaan dengan warisan budaya Majapahit yang lainnya yaitu, candi Ketek. Sejenak, akupun menyempatkan diri untuk berfoto-foto, sebuah langkah sederhana untuk mensejarahkan kehidupan. Dalam kagumku pada pesona warisan budaya, mendadak kabut naik dengan sangat pekat. Seolah-olah akan menyelimuti perjalananku. Beberapa hari ini, cuaca cukup panas. Bisa jadi ini akan menjadi pertanda munculnya hujan. Maka, segera akupun berlalu untuk melanjutkan perjalanan.

Menyisir jalan setapak sebelah kiri candi Ketek, aku bertemu dengan persimpangan menuju ladang penduduk. Kupilih jalur kanan. Jalanan setapak sudah terlihat jelas dengan papan penunjuk arah yang bertebaran. Nafas mulai tersengal, karena tenaga ganda yang harus kukeluarkan, menopang beban perbekalan dan sekaligus mengayunkan langkah. Tepat satu jam dari Cetho, aku tiba di pos satu. Pos I ini, hayalah sebuah selter, perhentian sementara. Di sini ada bedeng sederhana, dari bekas spanduk. Namun tertata rapi dan terlihat mumpuni untuk berteduh bila hujan mendera. Di depan pos I lumayan untuk menikmati panorama alam, dengan catatan tidak ada kabut. Aku pun beristirahat sebentar dan menikmati bekal seadanya.

Setelah nafas lega dan pundakpun sedikit longgar, segera kumeninggalkan pos I. Baru lima menit berjalan, perjumpaan pertama dengan rombongan yang turun. Mereka semalam beristirahat di Pos III. Maka, tidak mengherankan bila sepagi ini sudah sampai Pos I. Menurut mereka, di atas banyak pendaki tetapi rata-rata akan turun hari ini. Yang bergerak menuju puncak hanya ada tiga rombongan. Pikirku, “lumayan lah di atas nanti akan ada temannya”. Kuayunkan kakiku dengan santai, karena perjalanan memang masih sangatlah jauh. Aku pun masih menikmati sensasi mendaki sendirian.
20 menit meninggalkan Pos I, aku melihat ada selter. Kupikir ini Pos II, ternyata hanya tempat perhentian sementara. Namun, cukup nyaman bila hujan mendera. Bisa untuk berteduh. Aku terus melaju untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Berharap sore sudah sampai puncak. Sehingga bisa menikmati panorama sun set puncak Lawu. Tetapi apa daya beban bawaan yang menindih pundakku kian terasa berat, aku yakin berat tas kerirku sekitar 25 kiloan. Wajarlah, karena mendaki sendiri lengkap dengan segala perlengkapan tempur dan juga bekal antisipasinya.

Akhirnya, jam 11.30 aku tiba di pos II[4]. Untuk beberapa saat, aku beristirahat. Rasanya memang lelah dan penat. Hampir aku terlelap. Namun, sayup terdengar riuh orang bercanda di kejahuan. Berarti ada pendaki lain. Bisa saja mereka turun atau mereka yang baru naik. Bergegas aku berlalu meninggalkan Pos II untuk kembali melangkah.

Medan pendakian semakin menanjak. Untungnya hutan masih terjaga, sehingga terasa bagai dalam naungan payung keagungan Tuhan pencipta. Keindahan itu diperkuat dengan taburan bunga hutan warna-warni. Perdu, semak dan tanaman hutan lainnya tumbuh dengan suburnya. Jalur ini benar-benar hutan belantara. Rimbun dan teduh. Suara aneka burung juga masih asik terdengar menghibur raga yang koyak-kelelahan.
Sekitar 300 meter meninggalakn Pos II aku telah melihat satu rombongan beranggota 5 orang, 2 cowok dan 3 cewek. Awalnya, aku mengikuti mereka. Hingga pada akhirnya tersusul juga. Kami pun bertegur sapa dan saling memperkenalkan diri. Mereka gabungan dari Bandung dan Jakarta. Pertama kali mereka mendaki di jalur ini. Melihat bekal yang menggantung di pundak, terlihat penuh muatan. Lalu, kami pun berjalan bersama, saling berbagi cerita dan pengalaman. Saling menguatkan dan memotivasi agar terus berjalan. Tak dapat dipungkiri bahwa medan setapak di jalur ini memang sungguh dahsyat. Jalanan yang samar karena kabut senatiasa menemani perjalanan dan juga rapat perdu-belukar menutup setapak, dan licin. Akhirnya, rasa lega memenuhi dada kami ketika samar-samar para-para terlihat. Ini bukan Pos III, menurut info, area ini masih 50 meter menjelang Pos III. Namun, di sini ada sumber air yang mengalir dari pipa. Sehingga sangat cocok untuk beristirahat dan memasak. Di sini juga cukup untuk mendirikan 2 – 3 tenda sehingga dapat beristirahat secara nyaman.
hutan yg menaungi sumber air di bawah pos 3
    Kami beristirahat cukup lama. Di selter ini, kami membuka perbekalan. Sejenak kami melupakan raga yang telah habis tenaga. Di sini kami mulai memasak. Makan singpun siap. Bekalku belum kubuka, aku malah menikmati bekal pemberian dari teman baru rombongan bandung-jakarta, sebungkus nasi goring dengan lauk telur dadar. Terimakasih kawan. Mari makan…
            Satu jam berlalu dengan kegiatan masak-memasak juga waktu untuk menikmatinya dan beristirahat. Saatnya melanjutkan pendakian. Tidak berapa lama, tibalah kami di Pos III (Cemoro Dowo). Di sini, kami berjumpa dengan dua rombongan yang akan bermalam setelah dari puncak. Mereka mendirikan dua tenda. Pos III memang sangat nyaman untuk tempat peristirahatan. Dengan kanopi lebatnya hutan belantara dan dekat dengan sumber air.

            Tak berhenti lama, kami terus melangkah. Tanjakkan mulai terasa makin berat dan curam. Keadaan hutan masih sama, lebat. Ada pohon cemara maupun akasia hutan yang besar-besar kelihatan sangat gagah. Nafas mulai tersengal kembali. Setiap nafas kami berburu oksigen, kami terhenti sejenak untuk menikmati panorama jurang dan hutan di sisi kanan, terlihat sangat indah, agung dan mempesona. Pos III menuju pos IV merupakan trek terjauh dari pos-pos yang ada. Aku mulai merasa kecapaian, karena kelamaan dan keseringan menunggu teman rombongan Jakarta-bandung ini. Namun, aku masih bertahan untuk terus bersama dengan mereka. Akhirnya, kami tiba di pos IV (Pengik)[5]. Senang rasanya. Kemudian kami beristirahat selama 15 menit. Lanjut lagi.

            Ditemani oleh mas Gerard, salah satu rombongan yang bareng denganku. Agaknya teman-teman rombongan lain, kian jauh tertinggal. Pada hal medan selepas Pos IV cenderung datar dan banyak bonusnya. Namun, mungkin tenaga memang benar-benar menipis. Sehingga tidak juga muncul. Bentar-bentar kami berteriak untuk memberi tanda. Mereka menyahut, kami tunggu, mereka tiba, kami jalan. Metode ini terus kami pakai. Hingga akhirnya, suara mereka berempat tidak terdengar. Lalu mas Gerard mempersilahkan aku untuk lanjut duluan. Ia tahu betul soal ritme pendaki tidak bisa disamakan. Ia malah kasihan kepadaku, bila harus menyesuaikan dengan ritme rombongannya.

Hingga akhirnya, dengan berat hati aku pun berpamitan untuk mendahului. Kami berjanji untuk saling menunggu dan bila mungkin, kami akan bertemu di warung Mbok Yem. Setelah aku memberikan sedikit petunjuk dengan beberapa tanda dan tempat-tempat yang perlu diwaspadai, aku pun melaju. Namun, apa daya tenagaku juga mulai koyak. Kendati medan diujung Pos IV menuju Pos V cenderung datar. Tetapi hanya lemas yang kupunya. Keinginan tak sebanding dengan tenaga yang kumiliki. Kendati terseok, aku terus melangkah. Melihat hijaunya sabana, berharap ada tenaga yang merasuk. Harapan itu seolah mimpi yang tak kan menjadi nyata.
Terus berjuang kendati seolah tak bisa melangkah, hingga hati bergembira menemukan papan bertuliskan Pos V (Bulak Peperangan). Di pos ini, aku sempatkan untuk beristirahat sambil menikmati bekal yang ada. Semburat sinar jingga pertanda sun set akan segera tiba, berhasil memompa semangatku. Karena targetku adalah menikmati senja di puncak Lawu.

Semangat hanyalah semangat. Karena raga memang telah kelelahan. Hati girang melihat papan bertuliskan “Gupakan Menjangan”. Lalu, aku putuskan untuk lebih realistis. Ganti haluan tidak mengejar puncak tetapi cukup di warung Mbok Yem.    Mulai pos ini, aku sudah tidak lagi menyempatkan diri untuk melirik arloji. Yang ada dikepalaku hanyalah “segera tiba, mendirikan tenda, memasak dan istirahat”. Sejauh mata memandang hanyalah sabana dan sabana. Hanya padang rumput yang terlihat. Sesekali diselingi tanjakan kecil. Hati makin ciut ketika mata melihat dan menyadari bahwa setapak seolah tidak berujung. Perjalananku seolah-olah masih sangat-sangat jauh.
obat capek
Selepas sabana dan memasuki area hutan, aku bertemu dengan rombongan yang turun. Mereka memberitahu bahwa masih ada satu rombongan terdiri 4 orang yang akan ke puncak. Cuaca mulai meremang. Pertanda hari akan berganti malam. Ragaku makin sempoyongan. Tetapi aku tidak boleh kalah. Targetku adalah melewati area “Pasar Dieng” sebelum benar-benar gelap. Pos Pasar Dieng mengingatkanku pada pendakian yang lalu, bahwa timku pernah kebingungan dan mengalami dis-orientasi medan. Maka, segala sisa tenaga aku kerahkan.
Menjelang sampai Pasar Dieng, aku bertemu dengan rombongan yang akan menuju puncak, mereka dari Madiun. Rombongan ini baru memasak di tengah jalan. Karena satu anggotanya telah tak berdaya. Aku pun bertanya, apakah mereka pernah melewati jalur ini. Jawabnya adalah, “belum”. Pengalamanku yang lalu membuatku tidak tega membiarkan mereka kebingungan di Pasar Dieng. Maka aku putuskan untuk bersama-sama dengan mereka dan aku tetap menjaga rahasia bahwa aku pernah berputar-putar di sekitar Pasar Dieng.

Setelah rombongan dari Madiun ini memulihkan tenaga, perlahan kami bergerak. Aku sungguh bersyukur dengan berhenti lama, karena menunggu rombongan ini memasak hingga matang lalu menyantapnya, tenagaku pulih kembali. Ternyata aku mengalami kelelahan akut. Niat hati solider dan membantu rombongan lain, tetapi diriku juga tertolong. Membantu berbuah terbantu. Pengalaman baru.
Tenaga yang pulih, mental yang kembali menguat dan di dalam hati terus berdoa, aku pun dengan mantap mengayunkan langkah untuk memasuki area Pasar Dieng. Suasana gelap, namun di langit bintang bertaburan, pertanda cuaca cerah bersahabat. Hingga akhirnya, kami sampai di pasar Dieng. Tempat ini ditandai dengan hutan cantigi dan serakan bebatuan. Di sini juga ada banyak tumpukan batu-batu yang tersusun rapi, bagaikan tugu-tugu kecil yang menyerupai stupa. Di tempat ini, auranya sangat mistis. Hal ini ditandai dengan tangkai-tangkai bekas dupa sesaji. Hal semacam ini menandai bahwa keyakinan lokal yaitu agama asli masih hidup dan lestari. Aku hargai itu. Setiap orang punya cara berdoa untuk berelasi dengan Allah penguasa jagat semesta.
teras menuju makan Prabu Brawijaya V
Indahnya panorama pegunungan di malam hari yang terlihat remang-remang di bawah naungan cahaya bintang menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan dengan seketika. Kami berlima bergerak cepat meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang ditandai dengan tali rafiah usang dan papan-papan penunjuk arah.. Hingga akhirnya, tepat pukul 18.30 kami tiba di  puncak Hargo Dalem.
Suasana di warung Mbok Yem terlihat lengang. Mungkin tutup, karena besok hari 1 puasa. Kuketok pintu dan ada jawaban. Lega rasanya. Setelah sungkem dengan Mbok Yem, aku memutuskan mendirikan tenda di depan warung. Keputusan ini, sengaja aku paksakan, karena bila aku menginap di warung, maka bekal yang aku bawa tidak akan berkurang. Pasti aku akan memilih untuk jajan. Berbeda dengan 4 teman dari Madiun, mereka memutuskan untuk bemalam di warung.

Maka, segera kudirikan tenda dum kapasitas dua orang. Memasukan barang dan mengaturnya. Saatnya memasak untuk memulihkan tenaga. Belum juga selesai aku makan, ke-4 teman dari Madiun nimbrung di tendaku. Lalu akhirnya, kami asik berbagi cerita, pengalaman dan petualangan. Bekal yang kupunya menemani obrolan malam hingga larut. Tidak terasa waktu telah menunjuk angka 23.00, kuputuskan untuk menghentikan sejenak obrolan, besok dilanjut lagi. Saatnya istirahat, agar besok tenaga pulih dan bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak dan pulang kembali dengan semangat.
Menggapai Puncak Hargo Dumilah 3.265 Mdpl
Malam telah berlalu meninggalkan kenangan karena istirahat yang menyegarkan. Pagi tepat pukul 05.00 aku bangun untuk menyaksikan indah panorama sunrise. Namun, belum juga aku beranjak dari kantung tidurku, kabut berarak naik. Rencana menikmati sun rise di depan warung agaknya harus tertunda. Kabut makin menebal. Pertanda cuaca kurang baik. Maka, kuputuskan untuk langsung menuju puncak. Kami berlima bersama meninggalkan warung dan menuju puncak. Menjelang puncak, sejenak kabut berhenti dan memberi ruang untuk mengintip matahari terbit. Sejenak menikmati sunrise sambil mengatur nafas. Kembali kabut menebal dan menutup keindahan fajar. Tepat pukul 05.30 kami tiba di puncak Hargo Dumilah. Berdoa dan bersyukur. Hening sejenak. Menikmati keindahan lukisan sang pencipta.

Tak banyak orang yang mendaki hari ini, hanya ada 7 orang, aku, rombongan dari Madiun 4 orang dan 1 rombongan beranggotakan 2 personil dari Solo. Hanya seperempat jam aku menikmati keindahan puncak, karena kabut datang dan pergi. Tidak leluasa menikmatinya. Aku berpikir, mending segera turun, memasak, sarapan sambil menikmati keindahan Lawu dari depan warung. Lalu aku turun sendirian. Teman-teman yang lain masik asyik bercengkerama dengan pesona alam.
 Di langit tertutup mendung tipis, menyembunyikan panas mentari pagi. Tetapi batas horizon menyuguhkan keindahan alam yang luar bisa. Lukisan galir-galir bukit dan lembah serta ladang pertanian dan deretan perkampungan terlihat jelas dari atas. Kunikmati lukisan Sang Pencipta ini sambil sarapan dari dalam tenda. Asyik aja.

Saatnya Turun
Tepat pukul 08.00, kubongkar tenda sebagai istana sementaraku dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah. Berharap pukul 08.30 bisa memulai perjalanan turun. Semoga masih dapat cuaca cerah. Feeling-ku mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan. Semoga perjalanan lancar, tidak kehujanan sebelum sampai di beskem. Membayangkan licinnya setapak bila hujan mendera sebelum sampai bawah. Genangan air yang terjebak di parit-parit setapak yang tidak mudah menguap karena rimbunnya pepohonan hutan, akan memperparah tantangan perjalanan turun.

Setelah semuanya siap, kulirik jam tanganku yang menunjuk waktu pukul 08.30 aku bersama 4 teman dari Madiun meninggalkan Hargo Dalem. Menyusuri setapak yang lebar, bersih dan jelas. Panorama sepanjang perjalanan dari Hargo Dalem, Pasar Dieng dan sabana sampai Gupakan Menjangan sungguh luar biasa. Keren. Selepas Pasar Dieng, kami bertemu dengan teman rombongan Bandung-Jakarta. Sejenak bertegur sapa, saling menguatkan dan meneguhkan, lalu lanjut lagi perjalanan. Sesampainya di Gupakan Menjangan, salah satu teman kami dari Madiun muntah-muntah. Ternyata mereka berempat sedang menjalankan puasa. Saliut untuk keempat sahabat baruku ini. Berbeda denganku yang tidak puasa. Jelas bila ritme perjalananku diikuti oleh mereka akan menjadi beban. Dengan berat hati kuputuskan untuk berpisah. Aku akan jalan duluan, pelan-pelan dengan ritme yang berbeda.

Selamat berpisah kawan. Lain waktu semoga bisa berjumpa. Salam dari dariku, pendaki solo.
Lalu, aku pun melenggang berjalan sendirian. Dari Gupakan Menjangan, lanjut ke Pos V, Bulak Peperangan. Sejenak mengatur nafas.
Jalan lagi. Istirahat di Pos IV.
Jalan lagi tanpa bertemu seorangpun.
Masih semangat. Lanjut lagi.

Di kejahuan, samar terlihat atap selter Pos III, hati senang. Sampai juga di Pos III. Di sini aku bertemu kembali dengan rombongan dari Karangpandan, Solo berjumlah 4 orang. Semalam mereka ngekem di Pos V. Lanjutkan lagi perjalanan. Bertemu dengan dua orang yang mau ke puncak. Jalan lagi hingga ketemu dengan papan bertuliskan Pos II. Istirahat. Mengurangi bekal yang tersisa. Tak berapa lama rombongan dari Solo menyusul. Ngobrol. Asyik. Bertemu dengan dua pendaki dari Jogja yang akan ke puncak. Aku pamit duluan untuk segera turun.

Kabut naik dengan tebalnya. Jarak pandang menciut. Dugaanku akan segera turun hujan. Semangat menggelora. Berusaha untuk tidak kehujanan. Aku setengah berlari karena masih ada banyak tenaga. Pos I telah terlewati, bentar lagi sampai. Candi Ketek. Bentar lagi beskem. Sampai juga. Tepat pukul 12.30, aku masuk ke rumah singgah untuk istirahat sementara dan tak berapa lama hujan turun dengan derasnya.

Penutup: Membingkai Makna sebuah Kisah Perjalanan
            Solo hiking, sebuah perjalanan yang tidak biasa. Namun sudah banyak yang menjalaninya. Salah satunya adalah aku. Perjalanan kali ini mengajariku tentang arti menziarahi diri. Solo hiking hanyalah sebuah sarana untuk memasuki realitas diri. Melalui pendakian seorang diri ada pengalaman baru, terutama untuk semakin mengenal “siapa aku?”  Selain itu juga membimbingku untuk belajar banyak hal. Tentang cara berbagi, tentang cara mengalah, tentang cara meluruhkan target dan ego, tentang cara merendah, tentang cara mendukung dan yang utama adalah tentang membuka diri akan persaudaraan, untuk selalu menyapa dan tersenyum, untuk selalu membangun asa dan mendulang harapan, untuk selalu percaya akan kebaikan sesama dan yang utama adalah untuk selalu percaya bahwa Tuhan Allah akan selalu membimbing, menuntut, dan mendampingi serta melindungi. Terimakasih Tuhan, terimakasih sahabat sepetualangan, terimakasih semesta, terimakasih setapak Lawu via Cetho dan terimakasih untuk isteriku yang selalu mendukung peziarahanku, sehingga aku bisa selalu bertumbuh untuk menjadi manusia yang semakin utuh.




[1] Gunung ini ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan ketinggian 3265 Mdpl, gunung ini sangat menantang untuk dijelajahi.  Pendakian Gunung Lawu dapat melewati beberapa jalur, antara lain jalur Cemoro Kandang, Candi Cetho, Tambak ( Jawa Tengah ) serta Cemoro Sewu dan Jogorogo ( Jawa Timur ).
[2] Candi Cetho terletak di ketinggian 1400 mdpl dan secara administratif berada di Dukuh Cetho, Desa Gemeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Desa Gemeng memiliki potensi wisata yang besar karena banyak terdapat candi dan juga pesona kebun teh yang memiliki keunikan tersendiri.

[3] Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus yang menjadi symbol Siwa. Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya dan susunan batu berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama berbentuk trapesium berada di teras paling atas.
[4] Pos II ini sering disebut sebagai pos Brak Seng. Pendakian dari pos I menuju pos II ini, akan menyusuri punggungan yang makin lama makin menanjak, walaupun tidak seberapa terjal. Dengan dihiasi tanaman arbei hutan di sepanjang perjalanan. Hutan dijalur ini semakin rapat sehingga perjalanan tidak terlalu panas. Pos II hanyalah sebuah shelter yang mirip gubug yang terbuat dari bekas spanduk yang cukup nyaman buat beristirahat dan kalau hujan juga bisa untuk berteduh. Pos II ini, di apit oleh dua buah pohon yang menjulang tinggi, sehingga sangat rindang untuk beristirahat. Di sini, para pendaki dapat mendirikan sekitar 2 -3 tenda.

[5] Di pos ini, telah dibangun dua pondok sederhana dari terpal dan spanduk bekas. Terlihat masih bagus dan dapat digunakan sebagai tempat bermalam jika pendaki tidak membawa tenda. Di sekitar selter tersebut juga memungkinkan untuk didirikan 3-4 tenda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar