SOLO HIKING:
MERBABU VIA TIMBOA
Oleh: Heri
Salam jumpa sobat petualang. Salam
lestari, salam persahabatan.
Telah lama, aku tidak menjelajahi
setapak untuk pertama kalinya. Maksutnya, lama tidak nanjak di jalur baru.
Bahasa kerennya adalah ekspedisi. Ya pendakian ekspedisi, melintasi jalur
pendakian untuk pertama kalinya dengan segala persiapan dan perbekalannya.
Tentu ada alasan tersendidri kenapa aku lama tidak melakukannya. Sebagaimana
para pekerja lainnya (kaum buruh) memang sulit untuk menyisihkan waktu demi
menikmati hobinya, terutama memuaskan hobi yang butuh waktu longgar ( sekitar
2-3 hari atau lebih).
Kendala utamaku adalah waktu. Untuk
menyiasati tantangan tersebut, maka aku berganti haluan. Aliran petualangan
yang aku tekuni adalah pendakian tiktokan
(bahasa kerennya adalah trail run). Sudah
sekitar dua tahun aku telah meggeluti petualangan dengan cara ini. Tetapi belum
berani untuk menapaki setapak perdana (ekspedisi). Selama ini solo trail run yang aku lakukan baru di
jalur-jalur yang aku pernah atau malah sering menapakinya (dengan metode
pendakian/ petualangan konvensional).
Kali ini, aku akan berbagi pengalaman solo trail run di gunung Merbabu via
Timboa.
Sekilas pandang Gunung Merbabu
Gunung Merbabu, Gunung dengan ketinggian
3.142 Mdpl. Terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Salatiga, Jawa
Tengah. Secara administratif gunung ini berada di
wilayah Kabupaten Magelang di
lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur dan selatan, Kabupaten
Semarang di lereng sebelah utara,
Provinsi Jawa Tengah.
Gunung
Merbabu adalah gunung api (dalam kondisi tidur) yang bertipe strato yang
terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT.
Gunung
Merbabu dikenal sebagai Gunung
Damalung atau Gunung
Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah
disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15.
Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata
"meru" (gunung) dan "abu" (=debu). Dengan demikian, gunung
Merbabu adalah gunung abu. Maka, bisa ditafsirkan, gunung ini merupakan gunung
berapi yang sering mengeluarkan abu. Atau malah gunung yang sering tertutup abu
oleh semburan dari material gunung tetangga (Gunung Merapi). Nama ini baru
muncul pada catatan-catatan Belanda.
Gunung Merbabu memiliki
tujuh puncak, antara lain adalah Puncak Watu Gubuk (2.729 Mdpl), Puncak Watu
Tulis/Pemancar (2.920 Mdpl), Pucak Geger Sapi (2.987 Mdpl), Puncak Syarif (3.142
Mdpl), Puncak Ondo Rante (3.110 Mdpl), Puncak Kenteng Songo (3.157 Mdpl), dan
Puncak Tringgulasih (3.122 Mdpl). Jalur yang paling memungkinakan untuk menapaki
ke 7 puncak ini adalah melalui jalur pendakian Thekelan (Kopeng, Salatiga)[1].
Gunung Merbabu Via Timboa
Gunung Merbabu via Timboa merupakan
jalur pendakian dari lereng Merbabu sisi timur laut. Berada di antara kota
Boyolali dan Salatiga. Base camp pendakian beralamat di Dusun Margomulyo, Desa Ngadirojo,
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Base camp berada di rumah salah satu
penduduk. Menurut informasi base camp dikelola oleh karang taruna di bawah
koordinasi dari Mas Gadek. Base camp merupakan rumah penduduk. Sebenarnya, jalur
ini bukan jalur resmi dari TNGM (Taman Nasional Gunung Merbabu). Jalur ini
adalah jalur para peziarah yang akan napak tilas kisah Mbah Syarif. Dengan
demikian, adanya jalur ini adalah demi menampung kepentingan para peziarah yang
akan melakukan perjalanan rohani.
Jalur ini sudah cukup tua (ancient rute). Sebagaimana diceritakan
oleh penduduk setempat, jalur ini pun tidak ada yang tahu persis adanya dimulai
semenjak kapan. Yang jelas, jalur ini akan ramai pada hari-hari khusus,
misalnya menjelang malam satu Suro (malam tahun baru penanggalan Jawa). Kendati
jalur ini masih merupakan jalur peziarah, pihak dusun mencoba memberi
papan-papan petunjuk di beberapa titik. Hal ini dilakukan demi meminimalisir
adanya korban. Mereka berharap jalur ini bisa berkembang menjadi salah satu
destinasi wisata desa. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan warga terutama
yang tinggal di sekitar base camp.
Sejauh aku amati, papan penunjuk jalur
cukup jelas dan banyak. Bahkan juga sudah ada pos-pos perhentian, sebagaimana
jalur pendakian pada umumnya. Jalur pendakian via Timboa ini langsung mengikuti
satu punggungan dan tidak bertemu dengan jalur pendakian lainnya. Jalur ini
langsung menuju Puncak Syarif. Menurutku karena ini bukan jalur resmi dari TNGM
dan merupakan jalur peziarah yang banyak memiliki nilai historisnya sebaiknya
digunakan sebagaimana mestinya. Bagi
sobat pendaki atau sobat petualang yang
tidak memahami, tidak mau mengerti, dan
tidak mau menghormati kearifan lokal juga agama asli, sebaiknya tidak mencoba
jalur ini.
Transportasi Menuju Base Camp Merbabu via Timboa
Secara umum, base camp pendakian
dapat dicapai dengan mudah bila menggunakan moda tranportasi pribadi. Sebaknya
tidak mengandalkan transportasi umum (karena pasti akan mengalami kesusahan/
kesulitan). Waktu aku mendaki bertemu satu rombongan dari Semarang yang
mencarter angkutan kota dari terminal Tingkir Salatiga. Aku sendiri menggunakan
sepeda motor. Untuk bisa sampai base camp, secara pribadi aku banyak dibantu
oleh Mas Jalak Timboa (nama aslinya aku belum tahu). Beliau dengan senang hati
memandu untuk bisa sampai di sana. CP nya adalah 082335387002. Atau bisa juga menghubungi
pihak pengelola base camp (085740004320).
Simaksi Pendakian Merbabu via Timboa
Jalur Merbabu Via Timboa masih terhitung
sederhana, maka simaksi hanya sebesar Rp 5.000. biaya parkir untuk sepeda motor
juga sebesar Rp 5.000. (total biaya yang aku keluarkan adalah Rp 10.000).
Ringkasan Waktu Perjalanan/ Pendakian Merbabu via
Timboa
Ringkasan waktu pendakian dengan metode
“Trail Run” ini tidak seperti pendakian “Konvensional”. Metode pendakian ini
tidak bisa santai. Ini namanya “Kebut Gunung”.
1.
Base
camp - Encuring Bacing (batas perkebunan-hutan): 40 menit
2.
Encuring
Bacing - Simpangan: 10 menit
3.
Pos
1. Simpangan - Pampong Seger: 10 menit
4.
Pos
2. Pampong Seger – Mainan: 35 menit
5.
Pos
3. Mainan - Ki Hajar Sampurna: 25 menit
6.
Pos
4. Ki Hajar Sampurna - Watu Tumpang: 40 menit
7.
Pos
5. Watu Tumpang - Jembatan Sirod: 10 menit
8.
Jembatan
Sirod - Puncak Syarif: 10 menit
9.
NB:
total waktu yang aku butuhkan untuk sampai puncak 4 jam (termasuk istirahatnya)
Keterangan titik koordinat[2]
pos-pos Merbabu via Timboa:
1.
Pintu
Gerbang Jalur Timboa (1514): S 07 25.535 dan E 110 27.803
2.
Encuring
Bacing (1848): S 07 25.802 dan E 110 27.803
3.
Pos
1. Simpangan (1971): S 07 25.936 dan E 110 27.413
4.
Pos
2. Pampong Seger (2109): S 07 26.086 dan E 110 27.338
5.
Pos
3. Mainan (2430): S 07 26.381 dan E 110 27.213
6.
Pos
4. Ki Hajar Sampurna (2614): S 07 26.512 dan E 110 27.002
7.
Pos
5. Watu Tumpang (2899): S 07 26.689 dan E 110 26.800
8.
Jembatan
Sirod (3070): S 07 26.819 dan E 110 26.632
9.
Puncak
Syarif (3124) : S 07 26.985 dan E 110 26.563
Sekelumit Kisah Pendakianku
Sabtu, 6 Juli 2019, sekitar pukul 06.00, kumulai petualangan
ini. Dari kota Solo pinggiran kumulai ekspedisi ini. Seorang diri kulajukan
sepeda motorku menuju arah barat, Ampel, Boyolali. Sesampainya di jembatan
kembar, kulihat ada plakat bertuliskan arah desa Ngadirojo. Maka kubelokkan
sepeda motorku ke arah kiri. Usai melewati jembatan, kulihat di sisi kanan ada
base camp Primapala, tetapi sepi. Niat hati mau menggali informasi di sini,
harus kandas, karena tiada orang.
Kususuri jalanan dengan keyakinan penuh,
bahwa “Timboa itu ada dan pasti bisa ditemukan”. Tidak ada petunjuk. Maka,
segera kubertanya pada warga. Informasi yang samar tetap kupercaya dan kuikuti.
Mentok di jalan buntu, tengah ladang. Tengak-tengok, tidak terlihat warga,
terpaksa balik arah. Ketemu warga segera kugali keterangan. Kulanjutkan
petualangan menyusuri jalan kampung khas daerah pegunungan, yang menanjak,
menikung tajam dan ada banyak turunan curam. Kalau aku merasa ragu-ragu,
bertanya dan bertanya lagi. Dari belokan setelah jembatankembar, kubertanya
sampai 4 kali, hingga akhirnya ketemu juga base campnya.
Sepi, tidak ada siapapun juga. Kulirik
arloji menunjuk waktu 07.00. Di pertigaan depan base camp, terlihat beberapa
warga. Aku pun mencari informasi, bahwa Mas Gadek selaku pengelola utama sedang
menghantar 9 tamu dari Perancis. Dari informasi ini aku malah menjadi semakin
bersemangat. Kalau jalur baru saja dilewati orang yang nanjak, itu lebih mudah untuk
dilacak jejak-rutenya.
Setelah memperoleh beberapa informasi
yang kubutuhkan, aku pun kembali ke base camp untuk persiapan selanjutnya.
Belum juga selesai aku berkemas-kemas, tiba-tiba ada satu anak muda yang
kelihatannya adalah bagian dari pengurus. Ngobrol-ngobrol sebentar, lalu aku
pun mencatatkan diri sebagai tamu yang akan nanjak seorang diri. Kulihat di
buku itu, memang jarang ada pendaki yang lewat jalur ini. Minimal aku melihat 2
minggu 1 kali ada tamu, kadang rombongan dengan banyak personil tetapi kadang
hanya tim kecil. Usai membayar simaksi. Tepat pukul 07.30, kumulai petualangan
ini.
Semangat membara menghantarku berjalan menapaki
jalan makadam. Tak berapa jauh dari base camp ada masjid yang sedang
direnovasi, sepanjang jalan makadam ini aku bebarengan dengan seorang kakek
yang akan ke ladang. Mengikuti langkahnya, nafasku mulai tersengal, sedangkan
sang kakek sembari menghisap rokok hasil karya sendiri tetap tenang melangkah.
Sekitar 500 meter menapaki jalan cor aku berpikir untuk menghentikan langkah
tidak berjalan lagi beriringan dengan sang kakek. Tetapi beliau menunggu dan
asik mengajak berbagi cerita. Akhirnya kendati tersengal aku pun terus
mengikuti sang kakek. Cerita demi cerita menemani langkah kami, sehingga sang
kakek telah sampai di kelokan yang akan menghantar beliau ke ladangnya.
Kulihat
batas ladang sudah di depan mata. Kukobarkan semangatku untuk tetap melangkah
dan kutetapkan tekat untuk beristirahat di sana. Benarlah perkiraanku, tepat 40
menit selepas base camp aku pun tiba di selter “Encuring Bancing”. Tempat yang
cukup rimbun. Tetapi tempat ini tidak cocok untuk mendirikan tenda. Kurang
lebih sekitar 5 menit, aku beristirahat di sini. Tempatnya rimbun, sejuk dan
masih banyak pepohonan. Usai merasa cukup beristirahat, kulanjutkan perjalanan.
Mengikuti setapak yang lumayan besar dan bagus yang ditandai dengan pipa
saluran air bersih. Sepanjang jalur, hutannya masih cukup rapat. Enak buat
jalan. Menurutku, jalur ini adalah jalur yang paling asik. 10 menit
meninggalkan Encuring Bancing, akupun tiba di Pos satu, “Simpangan”.
Pos ini lumayan cantik. Keren. Ada
tempat datar untuk mendirikan 2-3 tenda dum. Dekat mata air, juga bisa melihat
air terjun (khusus di musim hujan) di sebelah kanan. Pos ini dinamakan, “Simpangan”,
mungkin karena memang ada persimpangan. Arah kanan menuju air terjun/ mata air
yang dirawat oleh penduduk sebagai sumber air warga. Dari Pos 1 ini pendaki
harus belok ke kiri, naik menuju puncak.
10 menit aku menikmati keindahan dari
tempat ini. Suasana yang tercipta sungguh menyenangkan, menenangkan dan
membahagiakan. Kemudian kuteruskan langkah. Usai pos ini, keadaan setapak
berubah total. Bila tidak dibawah rindang pepohonan, setapak hilang tertutup semak.
Tetapi syukurlah, bila di atasnya terdapat lebat pepohonan maka setapak masih
terlihat jelas. Sepanjang jalur ini medannya paling landai dan masih asri
karena hutannya yang masih rapat. Jarak juga tidak terlalu jauh. Hanya di
beberapa tempat, setapak telah hilang tertutup semak-semak. Sekitar 10 menit, aku sudah sampai di Pos dua,
“Pampong Seger”.
setapaknya tdk terlihat
Di sini, area cukup datar dan luas, juga
sangat rindang. Tempatnya lumayan rata dan bisa untuk mendirikan 4-5 tenda. Aku
tidak berhenti di pos ini. Setelah mengambil beberapa foto, Aku pun melanjutkan
petualangan.
Sekitar 100 meter selepas pos 2, situasi
masih sama. Lebat pepohonan dengan rindang teduh cabangnya masih setia menemani
perjalanan. Setelah itu, medan tantangan menjadi sangat berbeda. Medan jelajah
terbuka luas tanpa perlindungan. Hamparan padang rumput setinggi dada telah
siap menyambut. Rute seperti ini akan menemani sampai pos 3. Kendati demikian, tidak serta
merta jalur ini sebagai jalur penderitaan. Membuka mata dan hati untuk
menangkap pesona alam adalah kunci kesejahteraan hati. Di sisi kanan ada jurang
yang menganga tetapi menawarkan pesonanya, ada barisan perbukitan dan padang
rumput itupun juga dihiasi bunga rumput yang setia menari manja. Serasa berada di adegan penari film-film
Bollywood.
Kondisi jalur yang agak terjal, sempit, di beberapa tempat semak
cukup padat-rapat menutup setapak sampai tidak kelihatan. Kondisi tanah yang
tidak terlalu sering dilalui, membuat jalur yang banyak tertutup oleh rumput
ini terasa licin. Untungnya treknya sudah dibuat zig-zag, sehingga kendati nanjak
tetapi terasa landai. Sekitar 35 menit, akhirnya sampai juga di pos 3,
“Mainan”.
Pos 3
Di pos 3 ini, aku beristirahat agak
lama, sekitar 10 menit. Istirahat ini, aku gunakan untuk memulihkan tenaga
dengan menikmati perbekalan. Ada satu tenda, mungkin ini milik rombongan turis
Perancis. Aku menyapa, tetapi tidak ada jawaban, mungkin mereka sedang di atas.
Dari pos ini, trek jalur terlihat jelas sampai menjelang puncak (menurut info:
itu adalah puncak banyangan/ pos 5, Watu Tumpang). Di kejahuan terlihat
pantulan sinar matahari yang membentur pernak-pernik pendakian. Setelah kuamati
ternyata rombongan yang nanjak. Kelihatannya mereka sudah turun, aku
menyimpulkan demikian karena ini pukul 09.30. Melihat ada sesama pendaki di
kejahuan yang masih samar-samar, mendadak harapan dan semangatku kembali
berkobar untuk segera menyelesaikan petualangan ini.
Di pos ini, terdapat area camping yang
cukup luas. Tempatnya terlindung oleh semak-semak, bahkan seolah-olah area ini
dipagari oleh perdu. Udaranya cukup hangat, karena angin tidak langsung bebas
lewat. Ada juga banyak batang kayu kering sisa-sisa kebakaran, sehingga kalau
dalam keadaan darurat bisa membikin api unggun secara gampang.
Setelah lelahku terurai, aku pun bangkit
untuk meneruskan petualangan. Tetapi badanku terasa gontai. Lunglai. Medan
setapak dari pos 3 ke pos 4, lumayan landai, juga tidak terselubungi oleh
semak-semak. Terlihat baru saja terjadi kebakaran di sepanjang jalur. Sehingga
setapak terlihat jelas. Tidak butuh waktu lama, dalam keadaan badan yang kurang
prima, sekitar 10 menit aku pun tiba di pos 4, “Ki Hajar Sampurna”.
Area ini hanya berupa setapak. Tidak ada
tanda-tanda sebagai tempat yang layak untuk mendirikan tenda. Mungkin sudah
tertutup perdu dan semak. Aku merasa badanku kian lemas. Tenagaku terkuras.
Anehnya, aku tidak berpapasan dengan rombongan pendaki yang aku lihat
samar-samar dari pos 3. Mungkinkah aku berhalusinasi. Bahaya. Salah satu
hantu dari petualang adalah halusinasi, yang berarti telah mengalami kelelahan
tingkat dewa. Akupun berhenti. Menghela nafas. Kutepuk-tepuk pipiku. Masih
sadar. Masih waras.
Sambil menghela nafas, kudongakan kepala
mencoba menatap gundukan puncak PHP yang masih terlihat jauh. Aku mencoba untuk
menemukan kesegaran, tenaga dan berharap bisa mengurai lelahku. Mendadak di
celah semak dan pepohonan, samar-samar kulihat lambaian tangan. Aku pun
membalas. Dan kudengar teriakan, “Semangat Om”. Suara itu lembut terdengar,
berarti jaraknya masih jauh. Kucoba amati dan ternyata ada serombongan orang
yang masih berjuang untuk mendaki. Semangatku kembali berkobar.
mencoba tetap tersenyum
Semangatku tidak sejalan dengan tenagaku.
Maka aku pun kembali ke prinsip yang kuterapkan dalam menggunakan metode trail run, yaitu nanjak tidak boleh
melewati pukul 12.00. Pada titik ini adalah saat aku harus memulai perjalanan
turun. Tidak ada toleransi. Jam 12 berarti aku harus kembali. Maka, tujuan dari
model pendakian solo trail run yang
kuterapkan acuannya bukan puncak atau titik tuju tetapi waktu. Ukuran target
adalah jam. Pertengahan hari adalah acuannya. Alasannya kalau turun dimulai
pukul 12.00 berarti sekitar pukul 16.00 sudah sampai base camp (batasan yang
kuterapkan adalah: maksimal pukul 16.00 harus sudah tiba di base camp).
Sehingga ada waktu untuk beristirahat sebelum meneruskan perjalan ke tempat
asal. Sejauh aku mengamati dan mengenal diriku, aku membutuhkan separo waktu
dari perjalanan naik. Bila nanjak 4 jam, berarti aku butuh 2 jam untuk turun.
Kulirik arlojiku yang menunjuk waktu
09.30, berarti aku masih memiliki waktu 2,5 jam untuk bisa sampai puncak. Ini
sudah di pos 4, maka sepelan-pelannya aku berjalan kiranya toleransi waktu 2,5
jam, masih cukup longgar. Kembali kubulatkan tekat, pelan dan pasti aku
melangkah. Gontai langkahku. Seluruh alur jalur yang berakhir di puncak 5
terlihat amat jelas (seperti pose naga yang meliuk-liuk). Membentang sangat
jauh dan itu, menguji nyaliku.
Aku terus melangkah dengan
tertatih-tatih. Terlihat rombongan di depan semakin dekat. Hingga akhirnya aku
bisa menyusulnya. Ternyata, mereka rombongan dari Perancis berjumlah 7 orang, 2
penerjemah dan 1 sebagai guide dan porter (Mas Gadek).
Dengan bahasa yang terbatas, kami pun
terlibat pembicaraan. Yang intinya mereka memuji kecepatanku dalam mendaki.
Mereka memulai pendakian pukul 01.00 dari base camp sedangkan aku memulai
pendakian pukul 07.30. Aku berhasil menyusul mereka sekitar 300 meter selepas
pos 4. Sembari kami ngobrol, aku mencoba menyesuaikan dengan ritme baru. Tetapi
aku merasa pendakian ini akan menjadi lambat sehingga targetku tidak bisa
tercapai.
Kuputuskan untuk tidak lagi bebarengan
dengan mereka. Lalu, dengan sopan kusampaikan untuk mendahului. Jalur yang dibuat
zig-zag, dengan beberapa titik setapak untuk potong kompas sangat membantu
kelancaran perjalanan. Aku beberapa kali mengambil jalur potong kompas.
Terutama untuk memudahkan mendahului 10 pendaki yang ada di depanku. Setelah
berhasil melewati rombongan Perancis (yang
masih berstatus mahasiswa: 2 cowok dan 5 cewek) dan jauh meninggalkan
mereka, tenagaku terasa habis sama sekali.
Kupaksa diriku untuk semakin menjauh
dari rombongan. Dari pengalamanku selama ini, kalau aku merasa lemas itu
dikarenakan lapar (tetapi lapar yang tidak terasa lapar). Sambil mencari tempat
yang nyaman untuk beristirahat, pandanganku tertuju pada pohon kantigi yang
agak besar dan rindang. Segera kugali sisa-sisa tenagaku untuk segera sampai di
situ. Saatnya istirahat dan menikmati perbekalan.
Dari tempat ini kulihat lereng merbabu
dengan mahaluasnya sabana yang seolah tiada bertepi. Terlalu indah untuk
dikisahkan (bentangannya mirip dengan jalur Sindoro via Bansari antara pos
5-6). Sekitar 10 menit aku beristirahat. Suara dari rombongan turis sayup-sayup
di bawah. Berarti mereka jalannya semakin lambat. Kurasa tenagaku telah pulih.
Akupun bangkit, dan mulai berjalan lagi. Tidak berapa jauh aku meninggalkan tempat
istirahatku, kulihat dan kutapaki jalan yang tidak seperti sebelumnya. Aku
melewati gundukan-gundukan yang seolah-olah hasil dari karya manusia. Aku
melewati beberapa setapak yang berupa tumpukan batu. Artinya, aku telah
melewati pos 5. “Kok aku tidak melihat plakatnya. Mungkinkah sudah hilang? Atau
pos 5 memang tidak berplakat?”.
Semangatku kian membara. Benarlah
setelah berada di puncak PHP aku melihat adanya jembatan Sirod. Sebuah setapak
yang tidak luas dengan diapit jurang di kedua sisinya. Gairahku makin bergelora
lagi. Cuaca mendadak berkabut. Sesekali terpampang jelas bahwa puncak Syarif
tidak lagi jauh. Usai melewati jembatan Sirod medan landai sebagai bonus atas
perjuangan dahsyat. 5 menit kemudian sampailah aku di puncak Syarif. Kulirik
jam tanganku dengan senyum ia menunjuk angka 11.30. Tepat 4 jam. 5 menit
terakhir menuju puncak Syarif ini, pemandangan yang disuguhkan sangat bagus,
luar biasa. Adanya cuma kata, “Keren”.
Rasa syukurku tiada terkira, bahwa aku
masih bisa menembus petualangan ini selama 4 jam. Aku duduk di bawah pohon
kantigi menikmati sejuk udara gunung dengan panorama alam yang terbentang
seolah tak bertepi. Tak berapa jauh puncak Kenteng Songo dan Triangulasi
melambai-lambai untuk disambangi. Tetapi aku tidak tergoda, mengingat bahwa dua
hari yang lalu aku baru saja dari sana. Kesadaran ini menjadikanku semakin
bersyukur atas karunia kesehatan yang luar biasa. Hari Rabu aku trail run Merbabu via Selo dan hari
Sabtu berikutnya di minggu yang sama, aku sudah melakukan trail run di gunung yang sama pula, hanya beda jalur.
Sekitar satu jam aku sungguh-sungguh
memuaskan diri untuk mereguk makanan jiwa dari keindahan alam Merbabu. Dari
puncak Syarif ini, kunimati dengan cara hening. Selama satu jam juga tidak ada
pendaki yang menjejakkan kaki di sini. Rombongan turis Perancis juga belum
tiba. Akhirnya kuputuskan tepat pukul 12.30 kumulai perjalanan turun. Berharap
pukul 14.30 (sekitar 2 jam) aku bisa sampai di base camp.
Rombongan Perancis saat menyeberangi jembatan Sirod
Dalam perjalanan turun ini, aku bertemu
dengan rombongan Perancis yang baru menyeberangi jembatan Sirod. Setelah
menyampaikan kata perpisahan, aku terus berjalan, tidak berhenti dan bahkan
sempat beberapa kali terpeleset. Kurasakan lututku kian kelu. Rasanya ngilu.
Istirahat sejenak di pos 3, menikmati makan dan minum, lanjut lagi. Istirahat
sejenak di pos 1 untuk menghabiskan perbekalan dan menyisakan setengah botol
kecil air minum (perbekalan terakhir). Kembali aku melaju hingga yang aku targetnya tercapai. Ngobrol-ngobrol
sebentar di base camp dengan beberapa relawan-pengelola. Tepat pukul 15.00, aku
meninggalkan base camp dan menuju rumah (Solo).
nyampe ladang lagi
Akhir kata
Pada setapak Merbabu via Timboa
kutemukan diriku bukanlah apa-apa. Tidak ada yang layak aku sombongkan. Di atas
langit selalu ada langit. Selalu ada orang-orang hebat (yang tentu memiliki
kekuarangan). Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Ada kelebihan
di satu sisi, tetapi tentu juga ada kekurangan di sisi lainnya. Kusadari bahwa
aku harus terus menempa diri agar menjadi semakin baik dan terutama menjadi
semakin rendah hati. Terimakasih Merbabu, padamu aku boleh mereguk kesejukan
hati, kedamaian jiwa dan kelegaan rasa. Semoga karunia bahagiamu, membawaku
untuk semakin berani bersandar pada Sang Pemberi yang utama. Biarkan jiwaku
sementara berbaring dalam dekap hangatmu. Terimakasih untuk semua orang yang
aku jumpai dalam petualangan ini. Biarkan senyum ketulusan itu mengalir dan
menjumpai semakin banyak orang. Terimakasih untuk isteriku yang mengijinkanku
untuk menimba damai dan tenang di kesunyianmu, Merbabu.
mantap maseh... sangat informatif dan bermanfaat... semoga sy bisa juga...sdg nimbang nimbang mau lewat mana dan melihat kemungkinan lintas tembus thekelan... salam kenal mas...sy Djuwartono, wong solo3 tinggal di Serang, Banten
BalasHapus