Pengalaman
(Cerita) Mistis III:
“Penampakan
Makhluk Gaib Gunung Arjuno-Welirang”
Oleh:
Heri Jimanto
pos perijinan Tretes
Salam
jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam
pendakian Gunung Welirang sekalian Arjuno dan melintasi Kembar 1 dan 2 (estafet
4 gunung). Titik start lewat jalur Tretes dengan target pertama adalah Gunung
Welirang, lanjut melintasi kembar 1 dan 2, serta diakhri puncak Arjuno dan
turun lewat Lawang. Pengalaman tentang hal “aneh” ini sudah terlalu lama nyaman
dalam ingatan (hanya ada beberapa orang yang pernah mendengarnya). Saat pandemi
C-19 masih berkuasa ini, lebih baik aku bagikan agar semakin banhyak orang yang
bisa mengambil hikmah dari padanya.
Samar ingatku kembali pada masa lalu. Ya iyalah, namanya
juga mengenang, tentu itu terjadi di masa silam (menandakan kalau sudah tidak
lagi muda, wkwkwk). Pengalaman ini terjadi di pertengahan Juli 2007. Sudah
cukup lama. Ya, sekitar 14 tahun lah. Aku pikir waktu akan mengubur kenangan
kisah “aneh” pada saat itu. Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Oleh karenanya
aku bagikan siapa tahu bisa menghibur atau bisa jadi guru atau pengetahuan
dalam hidup.
Aku lupa harinya, tetapi tidak pada tanggalnya. 11 Juli
2007, usai merapikan skripsi karena telah selesai aku revisi begitu pula dengan
temanku. Hati yang gembira karena pendadaran berjalan lancar, skripsi juga
sudah terjilid dengan rapi, moment ini semestinya dirayakan. Beda orang beda
cara mengungkapkan gembiranya. Aku dan juga temanku memang telah beberapa kali
menghabiskan waktu di setapak-setapak gunung. Bolehlah peristiwa ini kami
syukuri dengan cara medaki sebagai media peziarahan menuju batin yang lebih
murni.
Kami
hanya berdua (cowok semua tapi bukan gay),
dari Yogjakarta (kota dimana aku mengais pendidikan). Samar terlintas dalam
ingatanku, sekitar pukul 22.00, kami menaiki Bus Sumber Kencono (sebelum ganti
nama semacam transformer) dari bawah jembatan layang Janti. Setelah membayar,
langsung lelap, tidur dalam buaian mimpi (naik permadani terbang kayak Aladin).
Bangun-bangun sudah di terminal Purabaya. Aku merasa masih berat meninggalkan
alam mimpiku, sehingga aku juga tidak terlalu mengerti proses berikutnya.
Setengah sadar tanganku ditarik temenku sambil berbisik, “Angkat kerrirmu, kita
pindah bus ganti jurusan”. Aku hanya mengikut saja.
Remang-remang
fajar (mungkin sekitar jam 5.00) bus telah sampai di terminal (kelihatannya
terminal Pandaan). Kantukku masih kuat hinggap. Temanku kembali berbisik, “Ayo
turun, sudah sampai”. Aku nurut saja. Gendong kerrir melipir mencari kamar
mandi untuk cuci muka. Sedikit segar dan nyawaku pelan-pelan telah kembali.
Lalu, kami didatangi sopir dan menanyakan tujuan kami, jelas langsung ditebak
akan mendaki ke Welirang. Kami mengangguk. Kemudian bapak sopir itu memberi
informasi kalau angkutannya yang mendapat giliran pertama jalan arah beskem
Tretes. Kami dipersilahkan sarapan atau rebahan, entar kalau sudah mendapat
penumpang lain, akan dikabari.
Kami
pun langsung berburu makan. Saatnya sarapan, tidak lupa untuk tetap menikmati
segelas kopi di pagi hari. Mantap. Sekitar pukul 06.00 kami masuk angkutan dan
lanjut. Lancar, hanya 30 menit telah sampai di jalan menuju beskem. Turun,
jalan kaki sebentar dan sampailah. Beskem sepi, hanya ada satu penjaga. Tidak
ada pendaki yang menginap baik yang mau jalan atau pun yang sudah turun. Kami
pun permisi dan langsung mendapat informasi bahwa jalur sudah tutup selama 2
hari. Hal ini dikarenakan ada pendaki yang hilang dan sedang dilakukan
penyisiran. Bila hari ini, ada kabar baik maka jalur bisa dibuka.
Datang
jauh-jauh, mendengar keterangan tersebut, langsung lemas.
Kami
pun disarankan untuk istirahat sekalian menunggu kabar baik. Bergegas kami
rebahan yang membawa kilaf, kami lelap dalam tidur yang sangat nyenyak. Jam
10.00, kami terjaga, beskem masih sepi. Tidak ada tim basarnas yang membantu
pencarian, penyisiran masih ditangani pihak pengelola dan relawan (relasi dan
teman-teman dari pendaki yang hilang). Untuk mengusir kekalutan, kami pun
menikmati kegembiraan bersamaan dengan kawanan rusa yang di kandang dekat
beskem.
kandang rusa dekat dengan pos perijinan
Lagi
asik mengamati rusa yang bermain-main, tiba-tiba terdengar beskem jadi riuh. Aku
dan temanku segera bergegas mencari tahu. Ternyata, 2 pendaki yang hilang telah
ditemukan dalam keadaan sehat bugar. Mereka hanya tersesat, tetapi perlengkapan
dan perbekalan masih cukup. Sejenak kami ikut merasakan euphoria suka cita dari
suasana ini. Sempat juga kami ngobrol dan foto bersama dengan mereka.
Sekitar
jam 12.00, kami diberitahu pengelola beskem bahwa pendakian dibuka kembali dan
kami diijinkan untuk melakukan kegiatan. Lega rasanya. Suenenge puoll.
dg 2 pendaki yg tersesat
12
Juli 2007: Bayangan Makhluk Ghaib
Tanpa
menunda waktu, kami bedua pun bergegas langsung jalan. Menyusuri jalan makadam
yang disambung dengan jalan lebar dengan tatanan batu yang ada lobang di
sana-sini. Target kami adalah Pos 2. Terus bergerak, hanya sesekali menghela
nafas untuk kembali mengumpulkan tenaga yang koyak. Semangat masih bertahan
untuk terus bergerak. Pos 1 Pet Bocor hanya kami singgahi sesaat saja. Lanjut
lagi, terus bergerak, mengatur nafas dan jalan lagi. Hingga akhirnya, sekitar
pukul 15.00, kami pun tiba di Pos 2 Kop-Kopan. Saatnya istirahat, sambil memasak
dan menikmatinya. Kami sengaja memilih pos ini, karena ada sumber air, tanah
lapang dengan pepohonan yang masih rindang. Nyaman.
Tak
terasa waktu terus merangkak, hingga kami tersadarkan bahwa hampir setengah
lima. Bergegas kami packing ulang dan
siap-siap bergerak. Target kami adalah Pos 3 Pondokan. Kami akan mendirikan
tenda di sana dan bermalam. Tepat pukul 16.30, kami meneruskan petualangan ini.
Kami bertemu 1 rombongan, sejenak saling tegur sapa. Senang rasanya ketemu
rombongan pendaki lainnya. Lanjut.
Tak
sampai 100 meter kami bertemu dengan hartop pembawa belerang yang turun. Kami
bersyukur, kendati nanti akan berjalan dalam gelap toh ada penanda jejak roda.
Hati makin mantap untuk meneruskan petualangan. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon
besar menjadikan cahaya senja tak kuasa mendarat di tanah. Gelap lebih awal.
Baru juga pukul 17.30, tetapi udah gelap. Segera kami mengeluarkan headlamp. Baru juga melangkah kami
mendengar ada suara-suara yang makin mendekat. Benarlah, ternyata ada satu
rombongan yang turun. Mereka memberi informasi
bahwa, “Pondokan masih jauh dan di sana tidak ada penambang, semuanya
turun. Tetapi tenang saja, di sana ada satu rombongan pramuka yang menginap.
Mereka tidak ke puncak. Hanya kemping ceria”.
salam kenal dlm kenangan mas2nya
Ciutan
rombongan pendaki yang kami jumpa pelan menuju senyap. Kini hilang berganti sunyi,
dan sepi. Lagu dendang semesta gunungpun mengalun harmonis bersama derap langkah
kaki lelahku. Remang caha senter tak menyurutkan para penyanyi alam untuk terus
bersenandung. Bayang-bayang pohon besar berpadu dengan sepoi angin yang dingin
menusuk tulang perlahan meminggirkan nyali.
Dalam
remang sinar senter kumerasa ada sosok besar yang bergerak mengikuti. Seolah
melompat dari pohon berpindah ke pohon lainnya. Bersembunyi dari balik belukar
pindah ke rimbunnya dedaunan pohon. Ah, ini hanya perasaanku saja. Kalaupun itu
benar-benar ada pasti terdengar suara yang dihasilkannya. Tetapi ini tidak. Aku
masih mantap mengikuti langkah temanku yang memang beda ritme. Temanku mantap
terus mengikuti alur jalan yang hangat tertandai jejak ban hartop.
Kadang
alur jalan terterangi penunggu langit, sinar rembulan dan bintang berkuasa atas
celah dedaunan yang pohonnya menjarang. Terkadang setapak berada di lingkungan
yang terbuka karena pohon-pohonnya jarang. Sesekali aku masih melihat samar
sosok besar itu terus mengikuti. Aku masih berusaha untuk terus berpikir
rasional. Tidak mungkin makhluk sebesar itu bergerak tanpa suara, juga tidak
ada semak yang bergerak karenanya.
Aku
mencoba mantap, tetapi tetap saja nyali ciut bila banyang-bayang besar itu
terlihat begitu dekat, hanya sekitar 3 meter di sisi setapak. Kualihkan
pandanganku pada temanku, yang masih mantap melangkah. Mungkinkah hanya aku
yang merasa. Tak berani kutanyakan. Kuikuti temanku dengan cara makin
kudekatkan diri. Hingga kadang kakiku tersandung pada kakinya.
“Rasah cepet-cepet, dinikmati ae”,
komentar temanku. Seolah ia tidak melihat apa-apa. Ia tetap tenang melangkah.
Aku ambil jarak. Suasana hutan bukannya semakin bersahabat. Terasa dendang
harmoni hutan berganti dendang kematian. Mencekam. Merinding bulu kudukku. Ciut
nyaliku. Makhluk itu masih saja mengikuti. Bila aku melihatnya, setengah aku
berlari mendekat pada temanku yang masih sama, begitu tenangnya. Aku tersadar
lagi bila kakiku terantuk pada kaki temanku. Kembali teguran itu kudengar
sebagai pengingat untuk normal.
Sekitar
30 menit perasaanku dimainkan, suasana hatiku tak kuasa aku kondisikan tetap
stabil. Ada gelombang cemas, was-was, juga takut. Hal itu muncul terutama bila
bayang-bayang hitam besar itu terlihat (walau hanya samar-samar).
Rasa
hatiku mendadak girang tiada terkira, saat sayub kudengar riuh orang
berbincang. Awalnya aku agak ragu. Tapi kuyakinkan diri kalau itu benar-benar
suara manusia karena suaranya dari sumber yang tetap. Makin jauh kami melangkah,
suara itu semakin jelas terdengar, dan terlihat kerlap-kerlip cahaya. Bergegas
aku kejar temanku dan kusampaikan pemikiranku, “Pos Pondokan sudakan deket ki”.
“Iyo, kae tandane cah pramuka kemah”, sahut temanku. Girang hati tiada terkira.
Aku merasa ada yang kembali normal, mulai saat aku mendengar riuh suara
orang-orang itu, dan setelah itu tak kulihat lagi bayang-bayang besar seperti
manusia raksasa itu.
Tak
berapa lama, tibalah kami di Pos 3 Pondokan. Kami sempatkan mendatangi
rombongan pramuka yang membuat tenda seperti perkampungan. Lalu, kami
disarankan untuk mendirikan tenda tak jauh dari mereka. Kami pun mengiyakan.
Lega rasanya. Hati terasa sangat-sangat longgar, setelah lama dicekam
ketidakjelasan rasa. Bongkar tas, mendirikan tenda, ambil air, masak, makan,
dan saatnya istirahat.
nikmatnya
13
Juli 2007: Keracunan dan Disorientasi
Usai malam merajut harapan dan semangat hidup, pagi pun membuka
hari dengan ceria. Saatnya bangun dari kemalasan. Aktifitas pagi adalah masak
memasak. Sudah jadi kebiasaanku dan temanku, bila mendaki gunung di jalur yang
ada sumber air, pasti kami membawa logistik melimpah. Memasak dan menikmatinya
adalah bagian dari seni petualangan gunung. Sungguh asik dan mendatangkan suka
cita yang tak ada bandingnya.
lengkap
asik tenan
Usai makan kenyang, raga ingin bermalas-malasan. Tetapi
petualangan mesti diselesaikan. Maka, segera kami pun bergegas untuk
membereskan perlengkapan. Semua peralatan kami bawa, karena kami akan
menyelesaikan misi estafet 4 puncak gunung. Mengisi air sebanyak-banyaknya
(mumpung masih ketemu) karena di jalujr kami tidak tahu. Dan menurut info di
pos ini adalah tempat terakhir bisa menemukan sumber air.
pondokan
salam kenal, salam pramuka
Sekitar pukul 10.00, kami kembali melangkah. Target
terdekat kami hari ini adalah puncak Welirang. Kami ikuti jalur penambang
belerang. Jalurnya cukup jelas, hal ini terlihat dari setapak yang ada
garisnya, bekas gerobak kayu tanpa roda untuk membawa hasil tambang. Jalur
masih dipayungi lebatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan.
hutannya asik
Sekitar
2 jam kami berjalan, akhirnya kami tiba di pertigaan yang tidak terlalu jelas.
Di sini hutan pinus sudah tiada, tersisa pepohonan kantigi dan edelweiss.
Puncak Welirang sudah terlihat jelas di sisi kanan, sedang di sisi kiri
terlihat gagah puncak Kembar 1. Karena nanti akan kembali ke jalur ini, kami
putuskan untuk menyembunyikan tas kerrir di balik semak belukar. Kami membawa
tas selempang dengan masing-masing membawa air 1 botol. Kemudian kami susuri
setapak menuju puncak Welirang.
keren kn?
Sesampainya di pertigaan antara puncak atau kawah (jalur
penambang), kalau mau ke puncak harusnya lurus (atau ambil kanan), bila belok
kiri maka akan sampai di kawah. Kami yang penasaran dengan kawah yang
menghasilkan belerang, maka kami putuskan untuk belok kiri, menyusuri setapak
menuju tambang. Aroma menyengat mengunci paru-paru. Kami terus bergerak untuk
bergegas sampai kawah. Setelah sampai, sejenak kami menikmati keindahan lukisan
belerang yang baru keluar dari dalam perut bumi. Keren.
kawah belerang
Tak berapa lama kemudian, angin berhenti bertiup. Kawah
menjadi pekat penuh asap. Kami yang tidak terbiasa dengan situasi ini, bukannya
cepat-cepat untuk berlalu tetapi malah menikmatinya. Al hasil, paru-paru kami
terkunci, hampir tidak bisa bernafas, tenggorokan menjadi kaku, sulit sekali
untuk bernafas. Derita yang luar biasa. Temanku juga sama. Kami terbatuk-batuk
dengan kesakitan yang teramat. Segera kami keluarkan air minum, seteguk tak
melegakan, 2 teguk juga sia-sia. Satu botol tenggak semuanya, hasilnya nihil.
Dan kami lupa kalau perjalanan belum sampai puncak.
awal mula keracunan
Kulirik temanku, masih menyisakan sedikit airnya, segera
kami pun bergegas untuk cepat-cepat meninggalkan kawah. Lalu air yang tinggal
sedikit itu, kami tuangkan di sleyer masing-masing untuk segera menutup hidung.
Nafas lumayan lega, tetapi tenggorakan masih sangat kering dan terasa sangat
gatal. Kubongkar kotak P3K, kutemukan madu. Minum madu, masih gatal. Ada susu sacet,
minum lagi, lega sebentar dan kembali lagi. Dalam kepanikan itu, kucoba hisap
premen “Antangin”. Premen yang sebenanrnya untuk cadangan akhir, bila air sudah
benar-benar limit. Ternyata, sangat melegakan tenggorkan. Terimakasih pembuat
jamu, racikanmu menyelamatkanku. Aku pun segera menawarkan pada temanku. Hal
sama pun terjadi. Senang rasanya. Lega hati setelah sejenak mau mati.
Dari kawah puncak tidak berapa jauh, kami putuskan untuk
tidak kembali kejalur awal. Kami potong kompas, langsung nanjak mengikuti
punggungan gunung, karena tanpa vegetasi langsung tembus puncak yang terlihat
sangat jelas. Sampailah puncak. Menikmatinya.
puncak welirang dg sandal jepit
Senja pun datang. Bergegas kami tinggalkan puncak dengan
segala keindahannya. Sekejap kami pun sampai ke pertigaan, mengambil tas, lalu
meniti setapak yang tidak terlalu jelas mengarah pada puncak Kembar 1. Sampailah
di puncak saat keindahan sun set
sempurna. Sejenak terkesima. Namun, perjalanan masih panjang. Kami pun
bergegas. Menuruni punggungan untuk menuju puncak Kembar 2. Sebelum sampai
lembah, kabut datang dengan sangat tebal, kilau cahaya senja telah habis sama
sekali, tinggal kegelapan tak bertepi. Kami pun kehilangan orientasi untuk
mengarahkan langkah menuju puncak Kembar 2.
Semenjak
meninggalkan Pondokan, kami tak berjumpa orang. Maka, jelas tidak mungkin berharap
bisa berjumpa pendaki lain untuk mengais informasi. Akhirnya, kami putuskan
untuk tidak lanjut. Segera mencari tempat datar. Bongkar tas, mendirikan tenda,
masak dan makan. Sebelum terlelap dalam tidur, aku syukuri hidupku yang masih
dijaga oleh Tuhan Allah. Bila ridho-Nya tidak turun, aku yakin hidup kami telah
selesai. Terimakasih Tuhan, atas ijin-Mu sehingga nyawa ini masih boleh
bertahan dalam raga yang hina dan renta ini. Keindahan malam pun akhirnya
membuai tidur malam ini.
14
Juli 2007: Riuh Suara Pendaki itu
Ternyata tidak Nyata
Hangat sinar mentari menyusup dalam tenda, pertanda hari
harus diisi. Temanku masih asik dalam dengkurnya. Segera kusiapkan peralatan
masak dan memakainya. Temanku pun kupaksa bangun. Sarapan telah selesai.
Saatnya packing lagi dan melangkah lagi. Hari masih panjang untuk dibiarkan berlalu
dalam kemalasan. Sebelum melangkah tersadarlah kami, bahwa air masing-masing
tinggal 1 botol besar. Ini masih berada di lokasi antah berantah, tetapi air
tinggal 2 botol. Harus dikawal ekstra keras agar cukup.
tenda di antah berantah krn disorientasi
Kami tepat berada d lembah antara Kembar 1 dan 2. Kami
mulai petualangan ini, langsung trabas, potong kompas dengan menyisir punggungan
gunung yang lebih mudah ditapaki, tujuan kami adalah puncak Kembar 2, dan
berharap dari ketinggian bisa lebih mudah untuk menemukan jalur yang benar.
Puncak tergapai. Prediksi kami benar, dari sini ketiga puncak semua terlihat
jelas. Puncak Kembar 1 dan Welirang sudah selesai, kini kami tepat berpijak di
Kembar 2, dan di depan ada puncak Arjuno yang melambai-lambai.
menjelang puncak kembar 2
sabana di bawah lh yg kami tuju
Dari puncak terlihat sabana tepat berada di lembah antara
Kembar 2 dan Arjuno. Kami putuskan untuk menuju ke sana dan menggapainya. Kami
masih menggunakan metode trabas potong kompas, karena mencari jalur setapak tak
juga ketemu. Tentu dengan tetap meniti punggungan gunung sebagai medan yang
paling aman. Tak berapa lama kami pun tiba di lembah (sabana 2). Lalu rebahan
bahagia, karena menemukan pohon bertuliskan “Puncak” dan setapak yang lumayan
jelas. Artinya, kami telah menemukan jalur yang benar.
Hampir saja kami terlelap, tiba-tiba ada suara dari sayub
lama makin jelas menuju kami. Benarlah, ada 3 orang yang selesai mendaki
Arjuno. Mereka akan turun. Kemudian mereka memberi tahu kalau di sekitar situ
ada mata air. Mereka sangat baik, menghantar kami sampai ke sumber. Lumayan,
kami memperoleh 3 botol, kendati agak keruh tidak mengapa kan bisa dimasak.
Masih ada 1, 5 botol tersisa air bersih. Mantaplah.
terimakasi ya
Mereka turun, kami lanjut naik. Hari ketiga tenaga
bukannya makin bertambah, tetapi semakin payah. Sebentar-sebentar istirahat,
melangkah lagi, lelah lagi, istirahat lagi dan seterusnya. Hingga senja dengan
kilau keemasan sun set menyambut kami
menjelang puncak. Sebenarnya dari tempat kami berada, puncak ogal-agil sudah
terlihat, namun kami lebih memilih untuk menikmati suasana senja menjelang
puncak dengan barisan awan di bawah. Sungguh panorama yang luar biasa indah.
Sampai gelap menutup pandangan, kami pun kembali melangkah. Menurut 3 pendaki
yang kami jumpai, di puncak ogal-agil tidak ada tempat untuk mendirikan tenda,
tetapi sebelumnya malah ada tempat datar, cukup longgar bisa menampung 10
tenda.
sun set menjelang puncak arjuno
Saat kaki lepas dari tanjakan ganas yang menguras tenaga
dan menjumpai medan datar, hati lega. Segera kami pun bergegas bongkar tas,
mendirikan tenda, dan bernaung di dalamnya. Sebenarnya, kami merasa lelah yang
teramat sangat, namun kami paksa untuk memasak dulu dan makan agar tidur malam bisa
nyenyak. Usai makan, mata sudah sangat lengket dan ingin segera lelap. Tetapi
temanku dapat gangguan pencernaan yang ganas, sehingga kentut sepanjang malam.
Bila bau menyengat, aku pun terjaga. Tentu hanya setengah terjaga, dan tentunya
setengah sadar. Dalam situasi yang seperti itu, ada satu peristiwa yang
kuingat. Awalnya aku mendengar derap langkah kaki, seolah-olah dari rombongan
pendaki yang berjumlah lebih dari 5. Mereka mondar-mandir di sekitar tendaku,
lalu aku pun memberi petunjuk, “Mas, kalau mau mendirikan tenda di sebelahku
saja, tempatnya datar, cukup nyaman”. Tidak ada balasan. Ketika kusapa, suara langkah-langkah
kaki itu malah makin jauh dari tenda tetapi kemudian muncul suara pendaki,
seolah sedang berdiskusi untuk mencari tempat mendirikan tenda.
Bila langkah kaki itu menjauh dari tenda, lalu terdengar
suara-suara pendaki yang riuh semacam diskusi. Intinya, bila suara diskusi itu
hilang, suara langkah-langkah kaki itu sangat jelas-mendekat. Begitu sebailknya.
Ini berulang dan berulang. Akhirnya aku simpulkan ini pasti peristiwa “aneh”.
Dari pengalamanku, mencari tempat mendirikan tenda tidak akan seribet itu, bila
lelah melanda dapat tempat datar seukuran tenda pun, pasti akan langsung gelar.
Setelah aku mengambil kesimpulan seperti itu, suara
langkah-langkah kaki dan diskusi hilang. Belum lama menikmati suasa sunyi malam
di puncak gunung, kembali temanku mengeluarkan gas dengan ledakannya, temanku
tetap bersembunyi dalam SB-nya dan hanya bilang, “Sorry, wertengku loro”. Tidurku
tidak sempurna, ada kegelisahan yang menyelinap, tetapi karena lengketnya mata
tetap aku coba lelapkan. Di tengah sadar dan tidak, aku melihat tendaku
bergoyang dan jelas itu hanya mungkin terjadi karena digerakkan oleh manusia.
“Mas, hati-hati”, ucapku dari dalam tenda. Tak ada jawaban.
15
Juli 2007: Berjumpa dengan Aneka Kebaikan
Pagi ini, aku berencana untuk menikmati proses sun
rise secara utuh, dari gelap dengan langit yang awalnya ditaburi bintang,
pelan-pelan menjadi remang-remang, dan kemudian muncul semburat merah di ufuk
timur, bermula dari hanya cahaya merah, pelan-pelan muncul mataharinya dan
mulai merangkak naik dan berganti cahaya perak. Kalau benar-benar mengikuti
proses sunrise secara utuh bisa
sampai sekitar 2 jam.
Pukul 04.30 alarm berbunyi. Segera aku bangun. Segera
kuraih kompor dan kunyalakan, merebus air dan sereal pun siap. Kubuka pintu
tenda, masih gelap. Kunikmati taburan berjuta bintang, tetapi fajar kali ini angin
berhembus dengan semangat, aku pun jadi kedinginan. Kembali kutup tendaku. Kini
kunikmati serealku. Temanku masih nyaman dalam SB-nya, dan sudah tidak ada lagi
ledakan. Aman.
Dari dalam tenda remang cahaya fajar terlihat. Kubuka
pintu tenda separonya dan ternyata tendaku tepat menghadap ke arah matahari
terbit. Sebenarnya di dalam tendapun mata sudah terpuaskan, tetapi tidak
demikian denganku. Rasanya ada yang kurang kalau menikmati sun rise tidak dipadu dengan terpaan angin pagi yang menggigilkan
tulang. Kubangunkan temanku, sapa tahu ia juga mau menikmatinya. Lalu aku
keluar. Dalam remang cahaya fajar ternyata tendaku tepat berada di samping
deretan gundukan tanah semacam kuburan dengan tuliskan “in memoriam”.
tepat di depan tenda
Tertegun dan terhenyak aku untuk sementara. Lalu, aku
mencoba berpikir tenang. Kuabaikan was-wasku, kini mentari telah bersinar utuh,
kawasan puncak terlihat jelas. Aku mencari-cari rombongan yang diskusi pengin
mendirikan tenda. Tidak kutemukan. Satu-satunya tenda yang berdiri di puncak
Arjuno hanyalah tendaku. Aku hanya membatin, “Apakah ada kaitannya antara
tempat tendaku dengan peristiwa “Aneh” ini?”
sun rise arjuno
Aku
tak berusaha untuk mengaitkannya, segera aku pun berdoa, kusebutkan jiwa-jiwa
mereka yang meninggal di pendakian Arjuno agar beroleh pengampunan dan dapat diterima-Nya.
Setelah puas menikmati suasana pagi di puncak, kami pun
bergegas membuat sarapan, makan dan ngopi. Bongkar tenda telah selesai, packing
juga. Sebelum kaki kami menuju puncak ogal-agil yang tinggal 50 meter,
tiba-tiba ada suara pendaki dari arah jalur Tretes. Ada 2 pendaki asing dengan
1 guide. Mereka menyapa kami dan sejenak kami pun foto bersama. Dari guide itu
kami dapat informasi arah turun menuju beskem Lawang. Kami sama-sama menuju
puncak ogal-agil.
bersama turis perancis d puncak arjuno
Setelah
beberapa saat menikmati keindahan dari puncak.
puncak ogal-agil arjuno
Mereka
kembali ke arah awal, sedangkan kami menuju sebaliknya. Belum sampai 30 meter
kami melangkah, ada serombongan dari arah yang akan kutuju. Kami pun saling
bertegur sapa, mereka akan turun lewat Tretes, berkebalikan dengan kami.
mantap
Bergegas kami pun melangkah, terus dan terus, hutan cemoro
sewu (alas lali jiwo) telah terlewati. Hati makin mantap, terus melangkah
hingga telah meninggalkan pos 3. Di pertengahan menuju pos 2, kami bertemu
dengan 2 orang perambah hutan. Mereka ponakan dan pamannya. Kemudian mereka
menawari agar kami mengikuti langkah mereka agar tidak usah ragu-ragu lagi
dalam melangkah. Selepas pos 3 memang setapak makin samar. Kami pun mantap
mengikuti mereka. Kaki lelah kami harus memaksa ekstra demi bisa mengikuti
orang setempat. Sepanjang jalan, bapaknya banyak bercerita. Hingga sampailah
kami di kebun teh Lawang.
Bapaknya, memaksa kami berdua untuk singgah di rumahnya. Ia
sebagai pekerja kebun teh. Jadi kami hanya belok sedikit dari jalur dan sudah
sampai di rumahnya. Kami putuskan untuk menyambut tawaran tulus itu. Kami dipersilahkan
masuk rumahnya yang sangat sederhana, dipersilahkan mandi dan istirahat. Lalu,
kami disuguh makan nasi jagung, sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mantap. Kami
ganas menyantapnya. Kebaikan yang bapaknya berikan tidak hanya itu, ia masih
memaksa kami untuk mau dihantar dengan motor bututnya sampai di jalan raya. Haru
rasanya. Hingga akhirnya, seluruh isi dompetku hanya aku ambil 100 k, sisanya
aku berikan. Bapaknya menolak tetapi aku memaksanya.
terimakasih bapak, lemah teles nggih
Lalu, kami mengarah ke Malang dan akan mengawali petualangan-petualangan yang lainnya.
Terimakasih untuk segala cerita yang boleh aku ukir di
setapak 4 puncak. Semoga segala pendewasaan terus bertahan dan berkembang. Terimakasih
untuk setiap hal yang boleh aku jumpa, hingga akhirnya makin memekarkan diri
untuk selalu bergembira, optimis dan semangat. Salam.
Wuiih jik imut
BalasHapusPantesan pepeng tahbisan ra diganggu neng dalam soal e
itu sebuah pesona
Hapus