Sabtu, 20 Juni 2020

Pengalaman (Cerita) Mistis III: “Penampakan Makhluk Gaib Gunung Arjuno-Welirang”


Pengalaman (Cerita) Mistis III:
“Penampakan Makhluk Gaib Gunung Arjuno-Welirang”
Oleh: Heri Jimanto
pos perijinan Tretes
 Salam jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
         Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam pendakian Gunung Welirang sekalian Arjuno dan melintasi Kembar 1 dan 2 (estafet 4 gunung). Titik start lewat jalur Tretes dengan target pertama adalah Gunung Welirang, lanjut melintasi kembar 1 dan 2, serta diakhri puncak Arjuno dan turun lewat Lawang. Pengalaman tentang hal “aneh” ini sudah terlalu lama nyaman dalam ingatan (hanya ada beberapa orang yang pernah mendengarnya). Saat pandemi C-19 masih berkuasa ini, lebih baik aku bagikan agar semakin banhyak orang yang bisa mengambil hikmah dari padanya.
            Samar ingatku kembali pada masa lalu. Ya iyalah, namanya juga mengenang, tentu itu terjadi di masa silam (menandakan kalau sudah tidak lagi muda, wkwkwk). Pengalaman ini terjadi di pertengahan Juli 2007. Sudah cukup lama. Ya, sekitar 14 tahun lah. Aku pikir waktu akan mengubur kenangan kisah “aneh” pada saat itu. Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Oleh karenanya aku bagikan siapa tahu bisa menghibur atau bisa jadi guru atau pengetahuan dalam hidup.
            Aku lupa harinya, tetapi tidak pada tanggalnya. 11 Juli 2007, usai merapikan skripsi karena telah selesai aku revisi begitu pula dengan temanku. Hati yang gembira karena pendadaran berjalan lancar, skripsi juga sudah terjilid dengan rapi, moment ini semestinya dirayakan. Beda orang beda cara mengungkapkan gembiranya. Aku dan juga temanku memang telah beberapa kali menghabiskan waktu di setapak-setapak gunung. Bolehlah peristiwa ini kami syukuri dengan cara medaki sebagai media peziarahan menuju batin yang lebih murni.
Kami hanya berdua (cowok semua tapi bukan gay), dari Yogjakarta (kota dimana aku mengais pendidikan). Samar terlintas dalam ingatanku, sekitar pukul 22.00, kami menaiki Bus Sumber Kencono (sebelum ganti nama semacam transformer) dari bawah jembatan layang Janti. Setelah membayar, langsung lelap, tidur dalam buaian mimpi (naik permadani terbang kayak Aladin). Bangun-bangun sudah di terminal Purabaya. Aku merasa masih berat meninggalkan alam mimpiku, sehingga aku juga tidak terlalu mengerti proses berikutnya. Setengah sadar tanganku ditarik temenku sambil berbisik, “Angkat kerrirmu, kita pindah bus ganti jurusan”. Aku hanya mengikut saja.
Remang-remang fajar (mungkin sekitar jam 5.00) bus telah sampai di terminal (kelihatannya terminal Pandaan). Kantukku masih kuat hinggap. Temanku kembali berbisik, “Ayo turun, sudah sampai”. Aku nurut saja. Gendong kerrir melipir mencari kamar mandi untuk cuci muka. Sedikit segar dan nyawaku pelan-pelan telah kembali. Lalu, kami didatangi sopir dan menanyakan tujuan kami, jelas langsung ditebak akan mendaki ke Welirang. Kami mengangguk. Kemudian bapak sopir itu memberi informasi kalau angkutannya yang mendapat giliran pertama jalan arah beskem Tretes. Kami dipersilahkan sarapan atau rebahan, entar kalau sudah mendapat penumpang lain, akan dikabari.
Kami pun langsung berburu makan. Saatnya sarapan, tidak lupa untuk tetap menikmati segelas kopi di pagi hari. Mantap. Sekitar pukul 06.00 kami masuk angkutan dan lanjut. Lancar, hanya 30 menit telah sampai di jalan menuju beskem. Turun, jalan kaki sebentar dan sampailah. Beskem sepi, hanya ada satu penjaga. Tidak ada pendaki yang menginap baik yang mau jalan atau pun yang sudah turun. Kami pun permisi dan langsung mendapat informasi bahwa jalur sudah tutup selama 2 hari. Hal ini dikarenakan ada pendaki yang hilang dan sedang dilakukan penyisiran. Bila hari ini, ada kabar baik maka jalur bisa dibuka.
Datang jauh-jauh, mendengar keterangan tersebut, langsung lemas.
Kami pun disarankan untuk istirahat sekalian menunggu kabar baik. Bergegas kami rebahan yang membawa kilaf, kami lelap dalam tidur yang sangat nyenyak. Jam 10.00, kami terjaga, beskem masih sepi. Tidak ada tim basarnas yang membantu pencarian, penyisiran masih ditangani pihak pengelola dan relawan (relasi dan teman-teman dari pendaki yang hilang). Untuk mengusir kekalutan, kami pun menikmati kegembiraan bersamaan dengan kawanan rusa yang di kandang dekat beskem.
kandang rusa dekat dengan pos perijinan
Lagi asik mengamati rusa yang bermain-main, tiba-tiba terdengar beskem jadi riuh. Aku dan temanku segera bergegas mencari tahu. Ternyata, 2 pendaki yang hilang telah ditemukan dalam keadaan sehat bugar. Mereka hanya tersesat, tetapi perlengkapan dan perbekalan masih cukup. Sejenak kami ikut merasakan euphoria suka cita dari suasana ini. Sempat juga kami ngobrol dan foto bersama dengan mereka.
Sekitar jam 12.00, kami diberitahu pengelola beskem bahwa pendakian dibuka kembali dan kami diijinkan untuk melakukan kegiatan. Lega rasanya. Suenenge puoll.
dg 2 pendaki yg tersesat

12 Juli 2007: Bayangan Makhluk Ghaib
Tanpa menunda waktu, kami bedua pun bergegas langsung jalan. Menyusuri jalan makadam yang disambung dengan jalan lebar dengan tatanan batu yang ada lobang di sana-sini. Target kami adalah Pos 2. Terus bergerak, hanya sesekali menghela nafas untuk kembali mengumpulkan tenaga yang koyak. Semangat masih bertahan untuk terus bergerak. Pos 1 Pet Bocor hanya kami singgahi sesaat saja. Lanjut lagi, terus bergerak, mengatur nafas dan jalan lagi. Hingga akhirnya, sekitar pukul 15.00, kami pun tiba di Pos 2 Kop-Kopan. Saatnya istirahat, sambil memasak dan menikmatinya. Kami sengaja memilih pos ini, karena ada sumber air, tanah lapang dengan pepohonan yang masih rindang. Nyaman.
Tak terasa waktu terus merangkak, hingga kami tersadarkan bahwa hampir setengah lima. Bergegas kami packing ulang dan siap-siap bergerak. Target kami adalah Pos 3 Pondokan. Kami akan mendirikan tenda di sana dan bermalam. Tepat pukul 16.30, kami meneruskan petualangan ini. Kami bertemu 1 rombongan, sejenak saling tegur sapa. Senang rasanya ketemu rombongan pendaki lainnya. Lanjut.
Tak sampai 100 meter kami bertemu dengan hartop pembawa belerang yang turun. Kami bersyukur, kendati nanti akan berjalan dalam gelap toh ada penanda jejak roda. Hati makin mantap untuk meneruskan petualangan. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar menjadikan cahaya senja tak kuasa mendarat di tanah. Gelap lebih awal. Baru juga pukul 17.30, tetapi udah gelap. Segera kami mengeluarkan headlamp. Baru juga melangkah kami mendengar ada suara-suara yang makin mendekat. Benarlah, ternyata ada satu rombongan yang turun. Mereka memberi informasi  bahwa, “Pondokan masih jauh dan di sana tidak ada penambang, semuanya turun. Tetapi tenang saja, di sana ada satu rombongan pramuka yang menginap. Mereka tidak ke puncak. Hanya kemping ceria”.
salam kenal dlm kenangan mas2nya

Ciutan rombongan pendaki yang kami jumpa pelan menuju senyap. Kini hilang berganti sunyi, dan sepi. Lagu dendang semesta gunungpun mengalun harmonis bersama derap langkah kaki lelahku. Remang caha senter tak menyurutkan para penyanyi alam untuk terus bersenandung. Bayang-bayang pohon besar berpadu dengan sepoi angin yang dingin menusuk tulang perlahan meminggirkan nyali.
Dalam remang sinar senter kumerasa ada sosok besar yang bergerak mengikuti. Seolah melompat dari pohon berpindah ke pohon lainnya. Bersembunyi dari balik belukar pindah ke rimbunnya dedaunan pohon. Ah, ini hanya perasaanku saja. Kalaupun itu benar-benar ada pasti terdengar suara yang dihasilkannya. Tetapi ini tidak. Aku masih mantap mengikuti langkah temanku yang memang beda ritme. Temanku mantap terus mengikuti alur jalan yang hangat tertandai jejak ban hartop.
Kadang alur jalan terterangi penunggu langit, sinar rembulan dan bintang berkuasa atas celah dedaunan yang pohonnya menjarang. Terkadang setapak berada di lingkungan yang terbuka karena pohon-pohonnya jarang. Sesekali aku masih melihat samar sosok besar itu terus mengikuti. Aku masih berusaha untuk terus berpikir rasional. Tidak mungkin makhluk sebesar itu bergerak tanpa suara, juga tidak ada semak yang bergerak karenanya.
Aku mencoba mantap, tetapi tetap saja nyali ciut bila banyang-bayang besar itu terlihat begitu dekat, hanya sekitar 3 meter di sisi setapak. Kualihkan pandanganku pada temanku, yang masih mantap melangkah. Mungkinkah hanya aku yang merasa. Tak berani kutanyakan. Kuikuti temanku dengan cara makin kudekatkan diri. Hingga kadang kakiku tersandung pada kakinya.
Rasah cepet-cepet, dinikmati ae”, komentar temanku. Seolah ia tidak melihat apa-apa. Ia tetap tenang melangkah. Aku ambil jarak. Suasana hutan bukannya semakin bersahabat. Terasa dendang harmoni hutan berganti dendang kematian. Mencekam. Merinding bulu kudukku. Ciut nyaliku. Makhluk itu masih saja mengikuti. Bila aku melihatnya, setengah aku berlari mendekat pada temanku yang masih sama, begitu tenangnya. Aku tersadar lagi bila kakiku terantuk pada kaki temanku. Kembali teguran itu kudengar sebagai pengingat untuk normal.
Sekitar 30 menit perasaanku dimainkan, suasana hatiku tak kuasa aku kondisikan tetap stabil. Ada gelombang cemas, was-was, juga takut. Hal itu muncul terutama bila bayang-bayang hitam besar itu terlihat (walau hanya samar-samar).
Rasa hatiku mendadak girang tiada terkira, saat sayub kudengar riuh orang berbincang. Awalnya aku agak ragu. Tapi kuyakinkan diri kalau itu benar-benar suara manusia karena suaranya dari sumber yang tetap. Makin jauh kami melangkah, suara itu semakin jelas terdengar, dan terlihat kerlap-kerlip cahaya. Bergegas aku kejar temanku dan kusampaikan pemikiranku, “Pos Pondokan sudakan deket ki”. “Iyo, kae tandane cah pramuka kemah”, sahut temanku. Girang hati tiada terkira. Aku merasa ada yang kembali normal, mulai saat aku mendengar riuh suara orang-orang itu, dan setelah itu tak kulihat lagi bayang-bayang besar seperti manusia raksasa itu.
Tak berapa lama, tibalah kami di Pos 3 Pondokan. Kami sempatkan mendatangi rombongan pramuka yang membuat tenda seperti perkampungan. Lalu, kami disarankan untuk mendirikan tenda tak jauh dari mereka. Kami pun mengiyakan. Lega rasanya. Hati terasa sangat-sangat longgar, setelah lama dicekam ketidakjelasan rasa. Bongkar tas, mendirikan tenda, ambil air, masak, makan, dan saatnya istirahat.
nikmatnya

13 Juli 2007: Keracunan dan Disorientasi
            Usai malam merajut harapan dan semangat hidup, pagi pun membuka hari dengan ceria. Saatnya bangun dari kemalasan. Aktifitas pagi adalah masak memasak. Sudah jadi kebiasaanku dan temanku, bila mendaki gunung di jalur yang ada sumber air, pasti kami membawa logistik melimpah. Memasak dan menikmatinya adalah bagian dari seni petualangan gunung. Sungguh asik dan mendatangkan suka cita yang tak ada bandingnya.
lengkap

asik tenan

            Usai makan kenyang, raga ingin bermalas-malasan. Tetapi petualangan mesti diselesaikan. Maka, segera kami pun bergegas untuk membereskan perlengkapan. Semua peralatan kami bawa, karena kami akan menyelesaikan misi estafet 4 puncak gunung. Mengisi air sebanyak-banyaknya (mumpung masih ketemu) karena di jalujr kami tidak tahu. Dan menurut info di pos ini adalah tempat terakhir bisa menemukan sumber air.
pondokan 
salam kenal, salam pramuka

            Sekitar pukul 10.00, kami kembali melangkah. Target terdekat kami hari ini adalah puncak Welirang. Kami ikuti jalur penambang belerang. Jalurnya cukup jelas, hal ini terlihat dari setapak yang ada garisnya, bekas gerobak kayu tanpa roda untuk membawa hasil tambang. Jalur masih dipayungi lebatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan.
hutannya asik

Sekitar 2 jam kami berjalan, akhirnya kami tiba di pertigaan yang tidak terlalu jelas. Di sini hutan pinus sudah tiada, tersisa pepohonan kantigi dan edelweiss. Puncak Welirang sudah terlihat jelas di sisi kanan, sedang di sisi kiri terlihat gagah puncak Kembar 1. Karena nanti akan kembali ke jalur ini, kami putuskan untuk menyembunyikan tas kerrir di balik semak belukar. Kami membawa tas selempang dengan masing-masing membawa air 1 botol. Kemudian kami susuri setapak menuju puncak Welirang.
keren kn?
            Sesampainya di pertigaan antara puncak atau kawah (jalur penambang), kalau mau ke puncak harusnya lurus (atau ambil kanan), bila belok kiri maka akan sampai di kawah. Kami yang penasaran dengan kawah yang menghasilkan belerang, maka kami putuskan untuk belok kiri, menyusuri setapak menuju tambang. Aroma menyengat mengunci paru-paru. Kami terus bergerak untuk bergegas sampai kawah. Setelah sampai, sejenak kami menikmati keindahan lukisan belerang yang baru keluar dari dalam perut bumi. Keren.
kawah belerang

            Tak berapa lama kemudian, angin berhenti bertiup. Kawah menjadi pekat penuh asap. Kami yang tidak terbiasa dengan situasi ini, bukannya cepat-cepat untuk berlalu tetapi malah menikmatinya. Al hasil, paru-paru kami terkunci, hampir tidak bisa bernafas, tenggorokan menjadi kaku, sulit sekali untuk bernafas. Derita yang luar biasa. Temanku juga sama. Kami terbatuk-batuk dengan kesakitan yang teramat. Segera kami keluarkan air minum, seteguk tak melegakan, 2 teguk juga sia-sia. Satu botol tenggak semuanya, hasilnya nihil. Dan kami lupa kalau perjalanan belum sampai puncak.
awal mula keracunan

            Kulirik temanku, masih menyisakan sedikit airnya, segera kami pun bergegas untuk cepat-cepat meninggalkan kawah. Lalu air yang tinggal sedikit itu, kami tuangkan di sleyer masing-masing untuk segera menutup hidung. Nafas lumayan lega, tetapi tenggorakan masih sangat kering dan terasa sangat gatal. Kubongkar kotak P3K, kutemukan madu. Minum madu, masih gatal. Ada susu sacet, minum lagi, lega sebentar dan kembali lagi. Dalam kepanikan itu, kucoba hisap premen “Antangin”. Premen yang sebenanrnya untuk cadangan akhir, bila air sudah benar-benar limit. Ternyata, sangat melegakan tenggorkan. Terimakasih pembuat jamu, racikanmu menyelamatkanku. Aku pun segera menawarkan pada temanku. Hal sama pun terjadi. Senang rasanya. Lega hati setelah sejenak mau mati.
            Dari kawah puncak tidak berapa jauh, kami putuskan untuk tidak kembali kejalur awal. Kami potong kompas, langsung nanjak mengikuti punggungan gunung, karena tanpa vegetasi langsung tembus puncak yang terlihat sangat jelas. Sampailah puncak. Menikmatinya.
puncak welirang dg sandal jepit

            Senja pun datang. Bergegas kami tinggalkan puncak dengan segala keindahannya. Sekejap kami pun sampai ke pertigaan, mengambil tas, lalu meniti setapak yang tidak terlalu jelas mengarah pada puncak Kembar 1. Sampailah di puncak saat keindahan sun set sempurna. Sejenak terkesima. Namun, perjalanan masih panjang. Kami pun bergegas. Menuruni punggungan untuk menuju puncak Kembar 2. Sebelum sampai lembah, kabut datang dengan sangat tebal, kilau cahaya senja telah habis sama sekali, tinggal kegelapan tak bertepi. Kami pun kehilangan orientasi untuk mengarahkan langkah menuju puncak Kembar 2.
Semenjak meninggalkan Pondokan, kami tak berjumpa orang. Maka, jelas tidak mungkin berharap bisa berjumpa pendaki lain untuk mengais informasi. Akhirnya, kami putuskan untuk tidak lanjut. Segera mencari tempat datar. Bongkar tas, mendirikan tenda, masak dan makan. Sebelum terlelap dalam tidur, aku syukuri hidupku yang masih dijaga oleh Tuhan Allah. Bila ridho-Nya tidak turun, aku yakin hidup kami telah selesai. Terimakasih Tuhan, atas ijin-Mu sehingga nyawa ini masih boleh bertahan dalam raga yang hina dan renta ini. Keindahan malam pun akhirnya membuai tidur malam ini.
14 Juli 2007:  Riuh Suara Pendaki itu Ternyata tidak Nyata
            Hangat sinar mentari menyusup dalam tenda, pertanda hari harus diisi. Temanku masih asik dalam dengkurnya. Segera kusiapkan peralatan masak dan memakainya. Temanku pun kupaksa bangun. Sarapan telah selesai. Saatnya packing lagi dan melangkah lagi. Hari masih panjang untuk dibiarkan berlalu dalam kemalasan. Sebelum melangkah tersadarlah kami, bahwa air masing-masing tinggal 1 botol besar. Ini masih berada di lokasi antah berantah, tetapi air tinggal 2 botol. Harus dikawal ekstra keras agar cukup.
tenda di antah berantah krn disorientasi

            Kami tepat berada d lembah antara Kembar 1 dan 2. Kami mulai petualangan ini, langsung trabas, potong kompas dengan menyisir punggungan gunung yang lebih mudah ditapaki, tujuan kami adalah puncak Kembar 2, dan berharap dari ketinggian bisa lebih mudah untuk menemukan jalur yang benar. Puncak tergapai. Prediksi kami benar, dari sini ketiga puncak semua terlihat jelas. Puncak Kembar 1 dan Welirang sudah selesai, kini kami tepat berpijak di Kembar 2, dan di depan ada puncak Arjuno yang melambai-lambai.
menjelang puncak kembar 2
sabana di bawah lh yg kami tuju

            Dari puncak terlihat sabana tepat berada di lembah antara Kembar 2 dan Arjuno. Kami putuskan untuk menuju ke sana dan menggapainya. Kami masih menggunakan metode trabas potong kompas, karena mencari jalur setapak tak juga ketemu. Tentu dengan tetap meniti punggungan gunung sebagai medan yang paling aman. Tak berapa lama kami pun tiba di lembah (sabana 2). Lalu rebahan bahagia, karena menemukan pohon bertuliskan “Puncak” dan setapak yang lumayan jelas. Artinya, kami telah menemukan jalur yang benar.
            Hampir saja kami terlelap, tiba-tiba ada suara dari sayub lama makin jelas menuju kami. Benarlah, ada 3 orang yang selesai mendaki Arjuno. Mereka akan turun. Kemudian mereka memberi tahu kalau di sekitar situ ada mata air. Mereka sangat baik, menghantar kami sampai ke sumber. Lumayan, kami memperoleh 3 botol, kendati agak keruh tidak mengapa kan bisa dimasak. Masih ada 1, 5 botol tersisa air bersih. Mantaplah.
terimakasi ya

            Mereka turun, kami lanjut naik. Hari ketiga tenaga bukannya makin bertambah, tetapi semakin payah. Sebentar-sebentar istirahat, melangkah lagi, lelah lagi, istirahat lagi dan seterusnya. Hingga senja dengan kilau keemasan sun set menyambut kami menjelang puncak. Sebenarnya dari tempat kami berada, puncak ogal-agil sudah terlihat, namun kami lebih memilih untuk menikmati suasana senja menjelang puncak dengan barisan awan di bawah. Sungguh panorama yang luar biasa indah. Sampai gelap menutup pandangan, kami pun kembali melangkah. Menurut 3 pendaki yang kami jumpai, di puncak ogal-agil tidak ada tempat untuk mendirikan tenda, tetapi sebelumnya malah ada tempat datar, cukup longgar bisa menampung 10 tenda.

sun set menjelang puncak arjuno

            Saat kaki lepas dari tanjakan ganas yang menguras tenaga dan menjumpai medan datar, hati lega. Segera kami pun bergegas bongkar tas, mendirikan tenda, dan bernaung di dalamnya. Sebenarnya, kami merasa lelah yang teramat sangat, namun kami paksa untuk memasak dulu dan makan agar tidur malam bisa nyenyak. Usai makan, mata sudah sangat lengket dan ingin segera lelap. Tetapi temanku dapat gangguan pencernaan yang ganas, sehingga kentut sepanjang malam. Bila bau menyengat, aku pun terjaga. Tentu hanya setengah terjaga, dan tentunya setengah sadar. Dalam situasi yang seperti itu, ada satu peristiwa yang kuingat. Awalnya aku mendengar derap langkah kaki, seolah-olah dari rombongan pendaki yang berjumlah lebih dari 5. Mereka mondar-mandir di sekitar tendaku, lalu aku pun memberi petunjuk, “Mas, kalau mau mendirikan tenda di sebelahku saja, tempatnya datar, cukup nyaman”. Tidak ada balasan. Ketika kusapa, suara langkah-langkah kaki itu malah makin jauh dari tenda tetapi kemudian muncul suara pendaki, seolah sedang berdiskusi untuk mencari tempat mendirikan tenda.
            Bila langkah kaki itu menjauh dari tenda, lalu terdengar suara-suara pendaki yang riuh semacam diskusi. Intinya, bila suara diskusi itu hilang, suara langkah-langkah kaki itu sangat jelas-mendekat. Begitu sebailknya. Ini berulang dan berulang. Akhirnya aku simpulkan ini pasti peristiwa “aneh”. Dari pengalamanku, mencari tempat mendirikan tenda tidak akan seribet itu, bila lelah melanda dapat tempat datar seukuran tenda pun, pasti akan langsung gelar.
            Setelah aku mengambil kesimpulan seperti itu, suara langkah-langkah kaki dan diskusi hilang. Belum lama menikmati suasa sunyi malam di puncak gunung, kembali temanku mengeluarkan gas dengan ledakannya, temanku tetap bersembunyi dalam SB-nya dan hanya bilang, “Sorry, wertengku loro”. Tidurku tidak sempurna, ada kegelisahan yang menyelinap, tetapi karena lengketnya mata tetap aku coba lelapkan. Di tengah sadar dan tidak, aku melihat tendaku bergoyang dan jelas itu hanya mungkin terjadi karena digerakkan oleh manusia. “Mas, hati-hati”, ucapku dari dalam tenda. Tak ada jawaban.
15 Juli 2007: Berjumpa dengan Aneka Kebaikan
            Pagi ini, aku berencana untuk menikmati proses  sun rise secara utuh, dari gelap dengan langit yang awalnya ditaburi bintang, pelan-pelan menjadi remang-remang, dan kemudian muncul semburat merah di ufuk timur, bermula dari hanya cahaya merah, pelan-pelan muncul mataharinya dan mulai merangkak naik dan berganti cahaya perak. Kalau benar-benar mengikuti proses sunrise secara utuh bisa sampai sekitar 2 jam.
            Pukul 04.30 alarm berbunyi. Segera aku bangun. Segera kuraih kompor dan kunyalakan, merebus air dan sereal pun siap. Kubuka pintu tenda, masih gelap. Kunikmati taburan berjuta bintang, tetapi fajar kali ini angin berhembus dengan semangat, aku pun jadi kedinginan. Kembali kutup tendaku. Kini kunikmati serealku. Temanku masih nyaman dalam SB-nya, dan sudah tidak ada lagi ledakan. Aman.
            Dari dalam tenda remang cahaya fajar terlihat. Kubuka pintu tenda separonya dan ternyata tendaku tepat menghadap ke arah matahari terbit. Sebenarnya di dalam tendapun mata sudah terpuaskan, tetapi tidak demikian denganku. Rasanya ada yang kurang kalau menikmati sun rise tidak dipadu dengan terpaan angin pagi yang menggigilkan tulang. Kubangunkan temanku, sapa tahu ia juga mau menikmatinya. Lalu aku keluar. Dalam remang cahaya fajar ternyata tendaku tepat berada di samping deretan gundukan tanah semacam kuburan dengan tuliskan “in memoriam”.
tepat di depan tenda

            Tertegun dan terhenyak aku untuk sementara. Lalu, aku mencoba berpikir tenang. Kuabaikan was-wasku, kini mentari telah bersinar utuh, kawasan puncak terlihat jelas. Aku mencari-cari rombongan yang diskusi pengin mendirikan tenda. Tidak kutemukan. Satu-satunya tenda yang berdiri di puncak Arjuno hanyalah tendaku. Aku hanya membatin, “Apakah ada kaitannya antara tempat tendaku dengan peristiwa “Aneh” ini?”
sun rise arjuno
Aku tak berusaha untuk mengaitkannya, segera aku pun berdoa, kusebutkan jiwa-jiwa mereka yang meninggal di pendakian Arjuno agar beroleh pengampunan dan dapat diterima-Nya.
            Setelah puas menikmati suasana pagi di puncak, kami pun bergegas membuat sarapan, makan dan ngopi. Bongkar tenda telah selesai, packing juga. Sebelum kaki kami menuju puncak ogal-agil yang tinggal 50 meter, tiba-tiba ada suara pendaki dari arah jalur Tretes. Ada 2 pendaki asing dengan 1 guide. Mereka menyapa kami dan sejenak kami pun foto bersama. Dari guide itu kami dapat informasi arah turun menuju beskem Lawang. Kami sama-sama menuju puncak ogal-agil.
bersama turis perancis d puncak arjuno

Setelah beberapa saat menikmati keindahan dari puncak.
puncak ogal-agil arjuno

Mereka kembali ke arah awal, sedangkan kami menuju sebaliknya. Belum sampai 30 meter kami melangkah, ada serombongan dari arah yang akan kutuju. Kami pun saling bertegur sapa, mereka akan turun lewat Tretes, berkebalikan dengan kami.
mantap

            Bergegas kami pun melangkah, terus dan terus, hutan cemoro sewu (alas lali jiwo) telah terlewati. Hati makin mantap, terus melangkah hingga telah meninggalkan pos 3. Di pertengahan menuju pos 2, kami bertemu dengan 2 orang perambah hutan. Mereka ponakan dan pamannya. Kemudian mereka menawari agar kami mengikuti langkah mereka agar tidak usah ragu-ragu lagi dalam melangkah. Selepas pos 3 memang setapak makin samar. Kami pun mantap mengikuti mereka. Kaki lelah kami harus memaksa ekstra demi bisa mengikuti orang setempat. Sepanjang jalan, bapaknya banyak bercerita. Hingga sampailah kami di kebun teh Lawang.

            Bapaknya, memaksa kami berdua untuk singgah di rumahnya. Ia sebagai pekerja kebun teh. Jadi kami hanya belok sedikit dari jalur dan sudah sampai di rumahnya. Kami putuskan untuk menyambut tawaran tulus itu. Kami dipersilahkan masuk rumahnya yang sangat sederhana, dipersilahkan mandi dan istirahat. Lalu, kami disuguh makan nasi jagung, sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mantap. Kami ganas menyantapnya. Kebaikan yang bapaknya berikan tidak hanya itu, ia masih memaksa kami untuk mau dihantar dengan motor bututnya sampai di jalan raya. Haru rasanya. Hingga akhirnya, seluruh isi dompetku hanya aku ambil 100 k, sisanya aku berikan. Bapaknya menolak tetapi aku memaksanya.
terimakasih bapak, lemah teles nggih

              Lalu, kami mengarah ke Malang dan akan mengawali petualangan-petualangan yang lainnya.
         Terimakasih untuk segala cerita yang boleh aku ukir di setapak 4 puncak. Semoga segala pendewasaan terus bertahan dan berkembang. Terimakasih untuk setiap hal yang boleh aku jumpa, hingga akhirnya makin memekarkan diri untuk selalu bergembira, optimis dan semangat. Salam.

2 komentar: