Pengalaman
(Cerita) Mistis IV:
“Penampakan
Makhluk Gaib Gunung Argopuro”
Oleh:
Heri Jimanto
Salam
jumpa sobat petualang. Bertemu kembali dalam sebuah kisah.
Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam
pendakian Gunung Argopuro. Samar ingatku kembali pada masa lalu. Mencoba
membolak-balik kenangan bersama cerita hidup. Adanya peristiwa “aneh” dalam
petualangan merupakan bumbu yang menguatkan rasa. Pengalaman ini terjadi di
penghujung Juli 2008. Aku tidak ingin menekankan tentang detail jalur karena tentu
ada banyak perbedaan dengan situasi yang sekarang. Namun, yang paling pokok
untuk aku kisahkan adalah adanya peristiwa-peristiwa “aneh” selama pendakian.
Argopuro
merupakan salah satu gunung yang terdapat di daerah Jawa Timur yang masuk di dalam deretan
pegunungan Hyang membentang antara kabupaten Probolinggo-Situbondo.
Gunung ini memiliki ketinggian 3.088 mdpl. Terdapat 2 puncak yang terkenal, yaitu
puncak Rengganis dan yang tertinggi adalah puncak Argopura. Gunung ini juga
terkenal dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa.
Samar
ingatanku pada tanggal 22 Juli 2008 sekitar pukul 22.00, aku dan temanku (hanya
berdua) meninggalkan Terminal Giwangan Yogjakarta untuk menuju Surabaya. Lelah
akibat aktifitas sepanjang hari menghantarku lelap di bangku belakang Bus
Sumber Rahayu. Kembali, pada kebiasaan bila bepergian dengan bus, aku hanya
mengandalkan teman. Ia membangunkan aku dan setengah menyeret karena masih
lengket mataku untuk pindah Bus AKAS jurusan Banyuwangi. Setengah sadar aku mendarat
di jok belakang. Tas aku letakkan untuk mengganjal kaki, lalu kembali aku
terlelap.
23
Juli 2008: “Susahnya menemukan danau Taman Hidup”
Pagi
menjelang, sinar mata hari masih malu-malu, kami telah tiba di terminal besar
Probolinggo. Setelah turun, kami mencari informasi untuk menuju Bremi. Di sini,
kami baru tahu bahwa kami salah turun, harusnya turun di terminal kecil. Kalau
tidak salah namanya Krakasan, dari sana nanti baru menuju Krucil. Lalu, kami
pun diarahkan untuk ikut angkot sampai ke Krakasan. Setibanya di terminal.
Terlihat suasana masih sangat sepi, karena memang terminalnya kecil. Lalu, kami
pun mencari informasi tentang bus yang akan menuju ke Krucil. Kami pun mendapat
info kalau bus paling pagi akan berangkat jam 7, tetapi tergantung penumpang,
kalau penumpang terlalu sedikit bisa saja akan molor.
Lalu,
kami putuskan untuk mencari sarapan di seberang jalan. Kiranya menu nasi rawon
akan terasa amat sangat nikmat. Mantap.
Usai
sarapan, bus yang kami tunggu belum ada tanda-tanda muncul dan suasana terminal
masih tetap sama, sepi. Satu jam berlalu, belum ada tanda. Rasa was-was mulai
menyusup, ada kekawatiran jangan-jangan bus nya tidak jalan dsb. Lalu sekitar
pukul 07.30, bus pun tiba. Tidak menunda waktu, kami pun bergegas menanyakan
kepastian jurusan dari bus tersebut, memang akan menuju ke Krucil. “Mo nanjak
ya?” Tanya kondektur. Biasanya ada temannya, tapi kelihatannya ini, hanya
masnya berdua. Lama menunggu, kami masing-masing menikmati rasa kantuk dan
penat perjalanan. Lalu sekitar pukul 08.30 bus pun jalan. Medan pegunungan yang
naik-turun dan ada kelokan-kelokan membuat mata tak betah nyaman dalam lelap.
Sekitar
pukul 11.30, kami pun tiba di Krucil. Turun dari bus Bermaksud meminta
perijinan ke polsek, tetapi tutup. Polseknya kosong, mungkin sedang shalat.
Lalu kami pun bertanya ke penduduk, ternyata polsek memang kosong tidak ada
petugasnya. Lalu kami diarahkan menuju beskem, yang tidak jauh dari polsek.
Setibanya di beskem, ternyata juga kosong. Pintu beskem tertutup rapat.
Padahal, kami berencana untuk istirahat, tidur-tidur nyenyak di beskem, baru
keesokannya nanjak.
beskem tutup
Untuk
mengatasi kepanikan dan keraguan, kami pun mencari informasi ke penduduk yang
terdekat dengan beskem. Lalu, kami pun menjadi tahu bahwa beskem memang sepi, jalur
Bremi masih jarang ada yang nanjak, kalaupun ada itu saat pulang. Kebanyakan
pendaki nanjak lewat Baderan-Besuki dan turun lewat Bremi. Sangat langka ada
pendaki yang memulainya dari Bremi, maka beskem sering ditinggalkan. Terlihat
pendaki terakhir yang turun sekitar 2 minggu yang lalu. Oleh penduduk yang kami
tanyai, kami disarankan untuk jalan saja, tidak usah ijin. Bila beruntung akan
bertemu dengan penduduk yang pergi atu pulang mancing di Taman Hidup.
trimakasih atas kemurahannya
Dari
penggalan informasi yang samar itu, aku berpikir, bahwa perjalanan ini akan
ramai. Karena banyak warga desa yang pergi memancing di Taman Hidup. Lalu, kami
putuskan untuk menyusuri setapak perkebunan. Setibanya di persimpangan, kami
agak ragu. Lalu kami putuskan untuk memasak dulu, karena sekitar beskem tidak
ada warung. Agar ada tenaga untuk melanjutkan pendakian. Sambil menunggu
penduduk yang lewat demi mendapat arah yang jelas, kami pun memasak untuk makan
siang. Makan telah usai, peking ulang dan yang ditunggu tak juga terlihat. Rasa
kantuk mulai menghampiri, tiba-tiba ada penduduk yang lewat. Lalu kami pun
memperoleh arah yang jelas.
masak di gubug, tengah ladang
Selepas
ladang, kami pun memasuki hutan damar. Setapak terlihat jelas, karena memang
banyak aktifitas warga. Lalu, kami memasuki hutan yang lebat. Setapak masih sangat
jelas, tetapi kami tidak bertemu siapapun. Harapan ketemu warga yang mancing
ternyata tidak terpenuhi. Kami terus jalan, kendati raga lelah karena memang
belum istirahat selepas perjalanan jauh. Pelan dan pasti kami terus merambati
setapak terjal yang menanjak. Hingga kami pun tiba di puncak bukit. Malam telah
menyelimuti hutan. Gelap. Untungnya setapak masih jelas terlihat. Lalu kami pun
menuruni bukit, menandakan sebentar lagi kami akan tiba di danau Taman Hidup.
Kami akan bermalam di sana.
kawasan hutan damar
Satu
jam meninggalkan puncak bukit, yang menurut informasi dari situ taman tidak
lagi jauh. Kami masih berlanjut jalan saja. Namun, pertanda taman tidak juga
terlihat. Kami pun mulai menyadari kalau ada yang kami lewatkan. Lalu, kami
putuskan untuk balik arah. Satu jam berlalu, belum juga ada tanda-tanda taman
ketemu. Balik lagi dan lagi tidak ketemu. Sekitar tiga jam kami hanya
bolak-balik untuk menemukan setapak menuju taman. Akhirnya, kami hanya
memusatkan perhatian pada kedalaman jiwa dan hati untuk kontak dengan Yang
Ilahi, lalu tiba-tiba persimpangan setapak terlihat, kami pun memilih ke jalur
yang belum kami tapaki dan hanya sekitar 200 m kami pun tiba di Taman Hidup.
Bongkar tas, mendirikan tenda, bikin minuman hangat, makan kue dan kami pun
lelap dalam kelelahan.
tenda ternaungi kabut
24
Juli 2008: “Keris menyala putih di atas danau Taman Hidup”
Belum
juga fajar menyingsing untuk bergilir jaga pada hari yang ranum, lama makin
mendekat suara makin jelas ada binatang yang mengendus. Mata masih lengket dan
badan seolah tak bertulang, lemas belum ada tenaga, namun karena suara dari
mahkluk asing terus berputar di sekeliling tenda, maka naluri waspada
mengalahkan segalanya. Ketika kami berjaga, suara-suara itu pun menjauh. Ketika
sejenak lelap, suara-suara itu muncul. Aku hanya menyimpulkan kalau suara-suara
itu berasal dari babi atau tikus hutan.
Suara
yang dating dan pergi itu bagiku membuat tak nyaman istirahatku. Maka, dinginnya
cuaca dini hari di Taman Hidup aku abaikan. Kubuka pintu tenda, sorot senter
aku tebar keseluruh sudut area. Tak terlihat binatang sebagai sumber suara. Tak
jauh dari tenda kulihat tumpukan kayu bekas api unggun. Naluri survival pun
muncul. Maka, aku pun bergegas ke luar tenda dan membuat api. Tak berapa lama,
api pun jadi, udara menjadi hangat dan pekat malam pun pudar. Lalu, aku kembali
dalam tenda dan nyenyak dalam dekapan damai Taman Hidup.
Saat
pagi menjelma, kami pun bangun dengan malu-malu. Ada lelah yang masih menguasai
raga, kami pun bangun dengan ragu. Kupaksa berjaga dan membuat sarapan, menu spesial
dengan bumbu rahasia menjelma menjadi aneka masakan. Segera makan dengan
suasana ternikmat. Perut telah kenyang, tenaga telah memulih, saatnya untuk
bongkar tenda, lalu peking.
makanan berlimpah
Sebelum
tas kerir kami angkat di pundak, tiba-tiba temanku bilang, “Rasane kok malas
banget ya. Gimana kalau tambah satu malam di sini. Sayangkan, suasana dan
keindahan alam sebaik ini bila langsung ditinggalkan. Lagian, kita memang belum
istirahat. Harusnya hari ini kita baru jalan dari beskem”. “Setuju”, sahutkan
antusias. Sambil tertawa-tawa dengan candaan kami bongkar lagi kerir dan mendirikan
ulang tenda di tempat yang sama. Dan kami pun melanjutkan kegiatan dengan
mimpi.
Siang
yang telah terlewati bersama tidur nyenyak menjadikan raga penuh tenaga.
Temanku masih nyaman dengan tidurnya. Ia memilih nyenyak di bawah naungan lebat
pepohonan pinggir danau sisi barat, tak jauh dari tenda. Raga yang bugar
menuntunku untuk beraktifitas. Kupilih untuk jalan keliling danau. Baru
sepertiga perjalanan mataku terbelalak, saat di balik rimbun semak terlihat
segerombolan celeng menatapku ganas,
mereka memamerkan taringnya yang tajam dan panjang siap merobek musuh. Aku
berpikir, “jangan-jangan diriku dikategorikan mangsa”, maka dengan segera aku
pun mundur alon-alon. Mau teriak
memanggil teman, jelas tidak mungkin karena jarak yang cukup jauh.
wedi ro celeng
Segera
aku bergegas mencari teman dan membangunkannya. Lalu aku ceritakan kalau habis
melihat segerombolan celeng sedang
minum di bibir danau. Di luar dugaanku, ia malah antusias untuk memburu celeng-celeng tersebut. “Wah, cocok itu,
bisa buat lauk dan bekal hari-hari berikutnya, ayo kita kejar”. Lalu, kami
berdua pun menuju ke arah celeng yang
sedang minum. Setibanya di tempat celeng-celeng
minum, mereka sudah tidak ada. Lalu kami lanjutkan jalan-jalan sore untuk
mengelilingi danau sampai tuntas, sampai kami kembali ke titik awal yaitu tenda tercinta.
bawa parang tebas
Terlihat
samar cahaya siang mulai meredup, pertanda sinar mentari telah lelah dan akan
berganti bintang untuk berjaga. Sebelum gelap menyergap, aku pun mencari kayu
bakar sebanyak-banyaknya, berharap api bisa menyala sepanjang malam karena ada
banyak binatang buas yang mengintai, salah satunya adalah celeng. Api unggun telah siap, sambil berdiang di depan tenda kami
pun menyiapkan makan malam dan menyantapnya. Malam begitu pelan merambat, tak
juga kantuk menyergap. Maka kami isi dengan obrolan ringan.
selter buat pemancing lokal
Malam
terus berjaga bersama tarian dan riuh harmoni nyanyian semesta. Seolah angin
menjadi konduktor atas seluruh serangga dan binatang malam untuk berdendang
menyanyikan lagu-lagu alam. Temanku pamit untuk lelap dalam dekap damai taman.
Aku masih berjaga, karena kantuk tak juga hinggap. Mendadak perhatianku ditarik
pada satu keanehan, tiba-tiba seluruh serangga dan biantang yang berdendang
berhenti. Tidak ada suara satu pun darinya, hanya desahan angin yang
sepoi-sepoi.
syahdu
Di
tengah curigaku, aku tingkatkan waspadaku. Maka aku tumpuk kayu di perapian
agar nyalanya makin besar. Tiba-tiba seberkas cahaya putih terang-benderang
muncul di depan mataku. Jelas ini peristiwa aneh. Aku terkesima, tetapi tetap
waspada. Lalu aku perhatikan berkas sinar itu yang bergerak horizon dan
ternyata yang mengeluarkan sumber cahaya itu adalah sebilah keris terbang. Sangat
indah. Lalu aku pun berucap dalam batinku, “Aku ke sini tidak ingin mencari
apa-apa, aku datang ke Argopuro hanya untuk menikmati panorama alam”.
Setelah
nembung dalam batin, keris itu pun
hilang bersama dengan sinar terangnya. Suasana danau pun kembali ke semula,
hening tetapi syahdu karena penuh dengan alunan symponi alam. Kantuk pun menghampiriku
dengan mesra, maka bergegas aku masuk tenda dan rebah dengan tenang.
Sebelum
mentari merekah, kami bangun dengan tenaga dan semangat baru. Segera kami pun
membuat sarapan serta memakannya, bongkar tenda dan peking. Setelah semuanya
siap, mendadak ada teriakan orang. Artinya ada pendaki lain. Hari ketiga baru
akan bertemu sesame manusia. Rasane
seneng bianget. Benarlah dugaan kami, tak berapa lama ada 2 orang pendaki
yang turun dari arah puncak. Mereka lintas dari Baderan-Bremi, kebalikan dengan
kami. Dari mereka berdualah kami mendapat banyak informasi termasuk ada
beberapa titik yang harus diwaspadai, misalnya jarak tempuh yang masih cukup
jauh, lebatnya belukar sampai tidak terlihat, juga ada rumpun-rumpun diancukan yang akan membakar kulit.
Setelah cukup bertegur sapa kami pun memulai langkah demi menuntaskan
petualangan.
hr ke 3 ketemu sesama
Menurut
dua pendaki tadi, jarak tempuh untuk sampai Cisentor sekitar 8 jam, tapi semuanya tergantung tenaga
dan mental setiap individu. Kami berencana untuk mendirikan tenda di sana,
kemudian saat fajar baru mengejar puncak. Sekitar pukul 09.00 kami meninggalkan
danau. Kegembiraan serta harapan menjadi kekuatan yang luar biasa, menjadikan
kami gagah melesat meninggalkan danau.
Sebenarnya,
kami sedikit tahu dengan setapak yang meninggalkan danau untuk menuju Cisentor,
karena hari pertama kami pernah bolak-balik, tidak tahu arah. Awal kami
melewati hutan yang rimbun tetapi tidak ada semaknya, kemudian masuk hutan dengan
pohon besar-besar dan banyak perdu serta semak. Kami terus menyusuri setapak
hutan yang kadang terlihat jelas, kadang hilang tertutup belukar. Bila ada
segerombolan lutung atau kera hitam, kera merah, kera ekor panjang yang
melintas bagai pemain sirkus melompat di antara tingginya pepohonan,kami pun
menghentikan langkah dan takjub olehnya. Sungguh merupakan hiburan yang luar
biasa. Terkadang, kami juga bertemu dengan aneka burung yang unik.
Sesekali
aku kaget bila mendengar suara merak yang sangat keras atau suara-suara dari
binatang lain dan belum aku tahu namanya. Tak jarang kami harus berjalan di
atas pohon yang tumbang dan melintasi sungai. Kami juga melewati hutan lebat
dengan lumut-lumut hijau yang eksotis. Ada beberapa area yang hutannya masih sangat
lebat, selalu berkabut dengan pohon-pohon yang besar hingga sinar matahari pun
kesulitan menembus lebatnya hutan dan menjadikan perjalanan ini cukup indah
tetapi sedikit mencekam.
Setelah
menembus lebat hutan lumut, jalur akan mulai samar karena ditutupi ilalang
setinggi paha orang dewasa. Jalur akan terus menanjak dan membuat kami terengah-engah,
tetapi kami selalu bikin asik. Kami kadang melambat tetapi kadang juga cepat, melambat
sangat pelan bila kami menjumpai tanaman penyengat atau biasa disebut tumbuhan jancukan (Jancuk). Secara umum, bila
orang terkena daunnya akan terasa seperti disengat lebah dan dengan spontan
akan mengumpat (orang sana biasa mengumpat
dengan kata Jancuk). Kami mempercepat
langkah bila ketemu medan datar dan jelas.
semak yg mantap
Sore
merambat, mengisyaratkan sebentar lagi gelap. Tetapi tanda-tanda pos
bertuliskan Cisentor belum juga terlihat. Saat gelap menemani petualangan, kami
telah sampai pada area yang dominan datar dan samar-samar banyak perdu, semak
dan pohon edelweiss. Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.00, kami telah sampai di
Cisentor, ada pondokan/ selter dan di dekatnya ada area sedikit terbuka untuk
mendirikan tenda. Kami pun bergegas membongkar tas, mendirikan tenda. Tepat di
depan tenda ada sungai dengan aliran air yang sangat-sangat jernih. Ketika aku akan mengambil air, mataku tertuju pada rimbun
dan lebatnya selada air. Saatnya masak
sayur segar. Bikin pecel dengan ikan asin bakar. Mantap.
hutannya mantap
Malam
merayu untuk segera lelap, karena sepanjang hari terus berjalan menyusuri
setapak hutan. Kami ingin segera tidur karena esok pagi kami juga berencana
untuk menuju puncak. Malam membuai mimpi lelap kami. Tengah malam aku terjaga
karena kebelet mau pipis. Temanku masik asik dengan dengkurnya. Aku pun keluar
tenda. Udara dingin dengan tiupan manja anginnya menyiutkan nyali. Dingin aku
abaikan demi mencari tempat untuk menyiram bumi.
masak-masak
Saat
akan kembali ke tenda, kulihat sesosok wanita yang sangat-sangat cantik.
Dandanan gadis itu mirip dengan lukisan Roro Kidul yang pernah aku lihat.
Sepanjang hidupku, mataku baru melihat ada sesosok wanita tercantik. Sangat dan
sangat cantik. Cantik yang melampuai definisi kesempurnaan fisk. Tak ada kata
yang mampu menggambarkannya. Ia menatapku, lalu tersenyum dan tangannya
melambai seolah mengundangku untuk mendekat. Namun, aku tetap bertahan dalam
logika. Pikirku jelas tidak mungkin ada wanita secantik ini, berada di tengah
hutan, serta tidak mungkin orang mampu bertahan dalam cuaca gunung yang sangat
dingin hanya berpakaian seperti itu.
Aku
pun mengabaikannya, dan kembali ke dalam tenda. Tetapi aku tidak bisa tidur
lagi. Sepanjang malam aku terbayang-bayang dengan seluruh pesona gadis itu.
Hingga waktu menunjuk pukul 04.00, aku belum juga bisa lelap. Wekerku
menjalankan tugasnya dengan mantap. Tetapi temanku hanya berujar, “ke puncaknya
menunggu saat pagi ya. Ayo tidur lagi”. Temanku pun kembali nyaman dalam dekap
SB dan aku pun mencoba mengikutinya.
26
Juli 2008: “Suara Kereta Kencana di Cikasur”
Malam berlalu meninggalkan kesegaran raga dan hati. Tepat
di depan tenda ada banyak sekali selada air, spontan ada lintasan imajinasi
untuk mengolahnya. Kini saatnya berkreasi. Aku dan temanku menyempatkan diri
untuk mandi, sarapan, peking dan siap lanjutkan misi.
kem d cisentor
Dengan yakinya, tanpa melihat penanda yang lain, kami
langsung menyeberangi sungai. Target kami hari ini adalah puncak Argo dan
Rengganis, turun dan nenda di Cikasur. Selepas sungai, kami menyusuri setapak
di tengah hutan. Awalnya kami tak curiga tetapi malah dibikin girang. Setapak yang
kami susuri menurun pelan, tidak ada tanjakan. Setelah satu jam perjalanan kami
pun meningkatkan kewaspadaan, kami mencari area terbuka yang ada kemungkinan di
pakai nenda, juga ada sumber airnya, artinya bila kami telah tiba di area itu,
kami telah tiba di Rawa Embik.
Menurut info yang kami dapat dari pendaki yang kami jumpa
di danau taman Hidup, jarak Cisentor-Rawa Embik sekitar 1 jam. Kami mulai
curiga, karena lorong hutan lebat tak juga usai. Kami mengamati penanda semacam
pal bertuliskan jarak. Ternyata angka jarak yang kami lewati semakin kecil,
artinya kami semakin jauh dari puncak. Kami pun memutuskan untuk putar arah,
kambali ke titik dimana semalam telah bermalam dan mendirikan tenda. Segera kami
pun menyembunyikan tas kerir. Lalu membawa tas selempang dengan bekal
secukupnya.
Bergegas kami melaju ke arah awal. Kami tidak memaki
tetapi menertawai peristiwa ini. Hingga akhirnya, kami tiba di tanah datar
bekas tenda, dan ternyata persimpangan antara Cisentor-Puncak-Cikasur berada di
belakang selter yang juga berada di belakang tenda kami. Kami pun masing-masing
memaki diri dan kemudian menertawainya. 3 jam pulang balik yang menempatkan
kami di titik awal petualangan hari ini. Segera tak menunda waktu, kami
bergegas mengarahkan langkah ke puncak.
Medan
yang dominan datar, di antara pohon-pohon besar, ada yang berdiri tetapi banyak
juga yang rebah, ada pula perdu-perdu edelweiss yang mengharumkan udara segar. Tak
berapa lama kami pun tiba di Rawa Embik. Di sini terdapat sungai berair jernih.
Sebuah padang rumput yang cukup luas. Konon katanya dulu banyak terdapat
kambing gunung yang mencari air, makanya sekarang kawasan ini dinamakan Rawa Embik.
Kami
hanya singgah untuk sementara. Lanjut lagi. Menyusuri hutan yang lebih lebat di
tengah lembah antara dua bukit di kiri dan kanan. Hutan berakhir di padang
rumput yang luas, ada pertigaan setapak, di sisi kiri ke puncak Rengganis dan ke
kanan adalah Puncak Argo. Kami putuskan untuk ke puncak Argo dulu. Tak berapa
lama kami pun tiba. Kami istirahat, menikmati perbekalan makan siang yang sudah
kami siapkan. Puncak Argo berupa hutan cemara yang tidak nyaman untuk menikmati
panorama area bawah. Hal ini karena tertutup rimbunnya vegetasi.
puncak argo pd wkt itu
Lalu,
kami turun lagi dan menuju ke puncak Rengganis. Dari puncak Argopuro ke puncak
Rengganis membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari puncak Rengganis pemandangan
bawah lumayan terlihat dengan jelas. Di kawasan puncak ini menyimpan cerita
legenda dari Majapahit tentang Dewi Rengganis, Konon juga terdapat arca
Rengganis tetapi tidak terlihat. Tak jauh dari puncak terdapat reruntuhan seperti
bangunan permanen atau mungkin ini bekas peninggalan Dewi Rengganis itu.
puncak Rengganis
Setelah
kami puas dengan keindahan puncak Rengganis, kami berencana untuk meneruskan
langkah. Kulirik jam tanganku jarumnya sedang menunjuk angka 4. Bergegas kami
pun melaju. Sesampainya di Rawa Embik, terdengar suara ribut manusia. Ternyata,
ada satu rombongan dari Jakarta berjumlah 10 orang dengan guide dan porter. Lalu,
kami banyak bercerita dan lupa bahwa cahaya matahari telah tiba saat untuk
istirahat. Sebelum gelap menutup pandang yang akan menambah kesulitan dalam
mendeteksi kayu-kayu yang rebah di sepanjang setapak. Kami bergegas melaju dan
berharap sampai Cisentor sebelum malam.
Harapan
hanya harapan, rapatnya dedaunan hutan menjadikan pandang terhalang karena
gelap lebih awal datang. Padahal senter ada di kerir. Akhirnya dan terpaksa
menggunakan senter HP (zaman masih pakai Nokia). Cisentor terlewati. Setapak yang
diselimuti pekat gelap malam menjadikan kami tertatih. Untungnya, pagi tadi kami
telah melewati setapak menuju Cikasur sudah 2 x, jadi agak sedikit hafal dengan
lekuk-liku setapak yang harus diwaspadai.
Tak
tahu lagi waktu, tak sempat melihat jam. Kami bergegas untuk segera menemukan
tempat pesembunyian kerir. Lega hati, karena tas masih aman di tempat. Segera kami,
gunakan head lamp dan tanpa menunda
waktu kami tancap gas menuju Cisentor.
Samar
dalam bimbingan sinar langit yang berpadu dengan terang cahaya senter, aku
melihat luasnya sabana. Angin bertiup syahdu dengan rayunya untuk menyiutkan
panas tubuh. Dingin malam dan lelah kami abaikan. Terus berjalan tanpa
istirahat. Untungnya setapak di medan datar, hingga akhirnya kami menemukan bekas
bangunan, yang artinya kami telah tiba di Cisentor. Segera kami buka tenda,
mengambil air, memasak, dan bermalam.
nenda-masak, mantap
Malam
kian larut. Temanku telah nyaman dalam tidurnya. Hatiku mendadak gelisah. Aku hanya
berpikir, mungkin ini karena malam terakhir didekap damai kawasan Argopuro. Lalu
kubuka sedikit pintu tenda untuk memandang langit dengan berjuta bintang. Sabana
Cikasur sungguh mantap dalam menyuguh pesona malam. Sekitar satu jam aku
menikkmati kesendirian dari balik tenda fokus memandang langit.
Ngantuk
tiba dengan manja, saat akan menutup mata terdengar seperti obrolan para
pendaki yang datang. Aku tunggu, samar terdengar obrolan yang diiringi ritmis bunyi
genta (=lonceng pendaki). Lama makin dekat, obrolan mereka jelas adalah obrolan
manusia. Setelah melewati tendaku, bunyi ritme genta dan obrolan itu makin
menjauh. Aku berpikir, jelas itu tidak mungkin pendaki. Kalau pendaki pasti
sasarannya adalah Cikasur untuk bermalam. Karena penasaran akupun kembali
membuka pintu tenda untuk sengaja melihat. Tidak ada apa-apa. Sabana Cikasur
tidak mungkin menyembunyikan kerlip lampu senter. Tetapi tidak ada siapa-siapa.
Kutepis
pikiran burukku, “ah, mungkin aku hanya berhalusinasi”. Kembali aku ingin
baringkan diri dalam lelap. Sebelum hilang sadarku, kembali kudengar suara,
kali ini pergerakkannya lebih cepat mendekat, kupastikan ini adalah suara
kereta kuda. Ada bunyi derit roda dan ringkikan kuda serta obrolan dari
suaranya adalah perempuan. Kali ini, aku tidak berani membuka pintu tenda. Aku tegarkan
hati, dan kupanjatkan doa untuk memohon lindungan Sang Pencipta. Hingga malam membuaiku
dalam lelap istirahat.
tenda d cikasus
27
Juli 2008: “Paduan Keindahan dengan Lelah Raga”
Damainya malam dalam dekap Cikasur tak juga sempurna
mengurai penatku. Pagi ini agak malas bangun. Kaget aku mendengar suara keras
sekali. Ternyata, itu berasal dari merak laki, kemudian kupaksa diriku keluar
dari tenda. Untuk sementara aku pun takjub dengan keindahan tiada terkira. Sabana
yang maha luas dan banyak dihiasi dengan burung merak yang sedang bermain-main.
Hanya ada satu tenda, yaitu tenda kami. Temanku masih nyenyak dalam tidurnya. Sejenak
aku pun berjalan-jalan hanya sekedar ingin menyapa embun di rerumputan dan menikmati
sensasi tulangku diciutkan oleh dinginnya udara.
Setelah puas bermain-main dengan imajinasi karena berada di keindahan yang luar biasa, kembali aku
ke tenda. Memasak bekal yang masih tersisa. Makananpun siap. Kubangunkan temanku.
Ada malas di hati kami berdua untuk meneruskan kisah. Tetapi akhir dari
petualangan harus diselesaikan. Kami tak lagi mampu menawar. Dengan berat hati
kami pun bergegas untuk sarapan, ngopi, bongkar tenda, peking, sedikit foto-foto
dan mulai melangkah.
Kami
berdua melangkah sambil menikmati keindahan alam. Ada banyak hal yang bisa kami
nikmati. Termasuk derita dari 9 bukit menangis. Hingga lelah kaki yang terus dipaksa
melangkah. Pada hal seolah tanpa ada tanda setapak berujung. Pernah kuhitung langkah
kaki ku hingga sampai pada angka 5.898, namun ujung setapak tak juga terlihat. Hingga
akhirnya, tibalah kami di batas perkebunan. Gembira hati. Semangatpun kembali
menyeruak. Tetapi jarak ternyata masih jauh. Kami terus melangkah dengan
terseok. Derita itu akhirnya selesai, sekitar pukul 17.00, kami tiba di beskem
Baderan-Besuki. Kami disambut hangat oleh pengelola.
lelah
sabana
Istirahat
sejenak. Bersih diri. Mencari makan. Ojek sudah siap menghantar sampai ke jalan
raya untuk berjumpa dengan AKAS. Malam yang larut dengan lelah raga membuai
dalam lelap istirahat, digoyang bus. Tak terasa telah tiba di Surabaya. Segera pindah
bus jurusan Yogjakarta.
habis sudah tenaga
28
Juli 2008: “Hilang Lelah dengan Penuh Cerita”
Pagi pun menyambutku di kota tempat naungku, Jogja. Sambil
menikmati makanan di pinggir jalan, kukenang dan kumaknai setiap langkah yang
tersirami ribuan tetes keringat. 5 hari
4 malam dalam dekap damai Argopuro menghantar aku untuk terus bertumbuh dalam
keterbukaan hidup. Tak ada derita yang abadi, tak ada cemas yang tak berarti. Hidup
menjadi lebih asik bila pernah mengami hal-hal di luar rencana. Kegembiraan,
senang, suka cita, dan tawa akan menemukan arti bila pernah mengalami tragedi,
kecemasan, ketakutan, dan kekawatiran.
Terimakasih Argopuro atas bijakmu, bila ada waktu dan
kesempatan kiranya engkau bisa membuyarkan rindu yang tiada berujung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar