Pengalaman
(Cerita) Mistis II:
“Penampakan
3 Pendaki di Gunung Lawu Via Cemoro Kandang”
Oleh:
Heri Jimanto
aku yg pakai sorjan
Salam
jumpa sobat petualang dalam sebuah kisah.
Kali ini, aku akan berkisah tentang hal “aneh” dalam
pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang. Pengalaman ini sudah lama aku simpan
dalam ingatan. Awalnya aku hanya berbagi dengan satu atau dua orang yang memang
pengin banget mengerti tentang adanya hal “aneh” dalam dunia pendakian.
Kisah ini bagiku cukup “aneh” walau mungkin untuk
kebanyakan orang merupakan hal biasa. Semoga kisah ini menambah perbendaharaan
dan varian dari kisah-kisah misitis atau kisah horror gunung, khususnya cerita
mistis di gunung Lawu. Adanya banyaknya kisah “aneh” menandai bahwa hidup ini
diselimuti oleh barbagai misteri. Dalam hidu ini ada yang memang sudah sangat
jelas, tetapi ada pula yang masih berupa rahasia alam.
Samar ingatku kembali pada masa lalu. Di penghujung
November 2007. Sudah cukup lama. Ya, sekitar 13 tahun. Namun, pengalaman ini
begitu kuat dalam ingatan. Bahkan seolah-olah baru saja terjadi kemaren sore.
Aku lupa tanggalnya, tetapi ingat harinya, yaitu Sabtu malam Minggu.
Pada waktu itu aku sempat magang di Solo, hingga dalam
beberapa bulan ketemu teman-teman yang gemar mendaki. Tentu, pada tahun-tahun
ini penggemar kegiatan ini belumlah sebanyak sekarang (2020). Sengaja kami,
memilih hari malam libur nasional, karena berharap bisa ketemu atau bareng
dengan rombongan lain.
Sesuai hari yang disepakati, kami berlima cowok semua
(sengaja aku tidak sebutkan nama-nama mereka). Awalnya kami berencana 7 orang.
Tetapi pada hari yang ditentukan yang bisa start bareng hanya 5 orang,
sedangkan yang 2 akan menyusul.
Jam 15.00, kami telah berkumpul di terminal Tirtonadi. Hidup ini kadang penuh kejutan. ada hal-hal yang tak terduga dan tak mampu diprediksi. Ternyata, hari ini banyak bus yang mogok kerja karena menuntut kenaikan tarif. Bahkan seluruh bus jurusan Tawangmangu tak ada satu pun yang jalan. Tak ada rotan, akarnya pun jadi. Kami berpikir mencari alternatif, kami naik angkutan jurusan yang sama. Hal ini tentu akan butuh waktu lebih lama, karena angkutan cenderung lebih sering untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Angkutan bergerak pelan menuju
timur dengan mantap menjemput tiap rejeki yang berjajar di sepanjang jalan
Solo-Tawangmangu. Baru sampai Karangpandan, ban angkotan pecah. Demi mengejar waktu, kami pun ganti angkutan. Tibalah kami di
terminal sekitar pukul 17.00. Segera kami mencari angkutan ke Telaga Sarangan.
Sayang, waktu sudah terlalu senja sehingga minim penumpang. Menunggu
terkumpulnya penumpang tak juga kunjung. Akhirnya kami memutuskan mencharter
angkutan tentu dengan harga yang lebih mahal.
Mentari telah berlalu dari tugasnya. Angkutan merangkak
meniti kelokan jalan yang banyak naiknya dari pada turunan. Hingga akhirnya
angkutan yang kami charter tak kuasa menyelesaikan misi. Gagah penampilan, tak
berdaya di mesinnya. Masih seperempat perjalann menuju beskem Cemoro Kandang.
Tantangan ini tak menyurutkan nyali, kami putuskan untuk jalan kaki, sekalian
pemanasan. Terlihat di sepanjang pinggir jalan tertandai bekas hujan yang cukup
deras. Berarti setapak Lawu agak becek yang tentunya akan lebih licin.
Akhirnya, kaki kami bisa mendarat di sekitaran beskem.
Kami mencari warung makan dulu guna menyiapkan diri, membekali dengan asupan
gizi yang cukup. Saatnya makan dan menikmati segelas kopi panas. Mantap.
Obrolan bercampur candaan ikut menghabiskan suasana
sekitaran Cemoro Kandang yang dingin syahdu. Bergegas kami packing ulang. Setelah
dirasa semuanya telah siap, tepat waktu berada pada angka 21.00, kami pun
memulai petualangan ini. Target bisa menikmati sun rise di puncak Lawu.
Tantangan dari beskem sampai Pos 1 tidak terlalu terasa.
Istirahat sebentar. Lanjut lagi. Begitu pula antara Pos 1 - Pos 2 juga berjalan
aman dan lancar. Hati makin mantap untuk bisa menginjakkan kaki sebelum
matahari bekerja di atas puncak. Selepas Pos 2, saat merambati tebing jurang
yang di sisi kiri berpengaman pagar kawat hal “aneh” mulai terasa.
Karena ini merupakan pendakian perdanaku pada setapak Gunung
Lawu, maka aku pun bertanya, “Kenapa ada pagar kawat?” (pagar dari besi yg tdk
terlalu besar. Sekarang sisa-sia pagar ini masih ada, cuma sudah banyak yang
roboh). Temanku menjelaskan bahwa dulu pernah ada pendaki yang tergelincir ke
jurang sisi kiri dan meninggal. Entah kenapa ketika tahu penyebab dipasangnya
pagar tersebut, bulu kudukku langsung berdiri. Aku nikmati dan biarkan pertanda
alami itu. Setelah itu, aku tidak merasa ada sesuatu yang aneh dengan diriku. Semuanya
kembali berjalan sewajarnya.
Setelah mengitari perbukitan yang berpagar kawat medan landai
membentang (sekarang berdiri pos selter setelah pos 2). Sekitar pukul 01.00,
kami memulai pendakian yang cenderung datar penuh kelak-kelok. Sebenarnya medan
ini cenderung enak, hanya membutuhkan kesabaran karena memang penuh lika-liku. Keanehan
itu justeru terjadi pada salah satu temanku. Sebentar-sebentar meminta
berhenti. Ia tidak bercerita apa-apa. Aku hanya melihat kalau ia sangat
kepayahan. Terlihat teramat sangat berat untuk melangkah. Metode 5-10 pun kami
terapkan. Berjalan 5 menit dan beristirahat 10 menit. Untuk yang masih prima
metode ini justeru akan menguras tenaga. Tetapi bagi yang sudah sempoyongan,
metode ini cukup mumpuni untuk terus bergerak mencapai tujuan.
Hingga akhirnya tepat pukul 04.00, kami tiba di Pos 3. Karena
hanya rombongan kami yang mendaki, jelaslah kalau selter kosong, tidak ada orang.
Segera aku bukakan matras dan kukeluarkan SB. Temanku yang kepayahan segera aku
minta untuk masuk SB dan rebahan. Udara di dalam selter sebenarnya sudah cukup
hangat. Namun, karena ada teman yang ngedrop,
aku pun segera merakit peralatan masak, rebus air dan siap-siap membuat minuman
hangat. Sambil menunggu air mendidih kunyalakan perapian. Di selter ini, sudah
tersedia kayu kering, sisa-sisa dari pendaki lain. Api menyala, kami segera
merapat mengelilingi api unggun.
Kuracik minuman hangat berupa teh panas yang manis
(=kesukaan orang Solo). Aku yang terbiasa membawa peralatan masak dengan
logistiknya serta peralatan pendukungnya, segera kusiapkan gelas plastik tumpuk.
Saat kuhitung teman-temanku yang harusnya hanya ada 5 termasuk diriku. Mendadak
ada 8 orang. Artinya ada tambahan 3 pendaki lain yang ikut berdiang di sekitar
api unggun. Kami tidak ada yang bicara, hanya diam sambil menahan kantuk. Aku juga
tidak menanyakan kedatangan ketiga rombongan pendaki yang ikut bergabung dengan
kami tanpa permisi. Aku berpikir setelah minuman jadi, sambil menyodorkan
minuman itu nanti sekalian bertanya walau hanya sekedar basa-basi keakraban.
Saat minuman siap aku tawarkan ke teman-teman. Tiba-tiba
salah satu temanku bertanya, “Kok banyak sekali buatnya. Kita kan hanya 5
kenapa buat 8?” Pertanyaan ini tak sempat aku jawab, karena perhatianku segera
teralihkan untuk menghitung ulang ketiga pendaki yang ikut berdiang di sekitar
api. Dan memang mereka tidak ada. Hanya kami berlima. Bulu kuduku tanpa
dikomando langsung berdiri tegak. Selter di pos 3 ini hanya ada satu pintu dan
itu terhalang olehku. Sebenarnya, kalau aku berpikir jernih dari awal, jelas
tidak akan ada pendaki yang bisa masuk ke selter tanpa aku ketahui (karena
sebelum sampai perapian harus melewatiku, artinya aku pasti melihatnya).
Demi prinsip dalam sebuah pendakian gunung bila berjumpa dengan hal-hal “aneh” sebaiknya
simpan saja sampai turun ke bawah dan ceritakan setelah beberapa hari. Aku pun
diam sejenak dan mencari alasan yang bisa diterima, “Biarlah, aku kan haus 1
gelas tidak cukup”. Untung temanku tidak mengejar lebih jauh. Aman rasanya. Sekitar
45 menit, temanku yang tepar terdengar mendengkur dan terpaksa kami bangunkan
untuk minuman hangat, agar kondisi tubuh makin prima. Sekitar pukul 05.00,
remang-remang cahaya pagi telah menyingkap gelap malam. Temanku ternyata telah
bugar. Belum kami beranjak dari pos tiga guna meneruskan langkah. Mendadak ada
teriakan dari bawah memanggil-manggil nama kami. Tak berapa lama, 2 orang pun
muncul dan itu adalah teman-teman kami yang memang akan menyusul.
Bertujuh kami pun meneruskan petualangan ini. Lancar. Tidak
ada kendala yang berarti. Puncak pun dapat kami gapai bersama dan kemudian
turun bersama-sama juga. Sekitar pukul 14.00, kami telah sampai di beskem
Cemoro Sewu. Istirahat sebentar, mencari makan siang dan menikmatinya. Lanjut naik
angkot, ganti Bus jurusan Solo dari terminal Tawangmangu. Sambil terkantuk-kantuk
di dalam bus, kembali aku teringat dengan ciri-ciri tiga pendaki yang ikut
berdiang bersama. Ah, mungkin itu hanya ilusiku karena memang lelah ragaku. Semalaman
tidak tidur dan rasa kantuk teramat ganas, hanya karena demi kesetiakawanan aku
abaikan kantuk itu.
Terimakasih
untuk kisah perjalanan dan petualangan ini bahwa aku pernah merambati setapak
Lawu lintas jalur Cemoro Kandang-Sewu dengan segala misteri dan keindahannya. Semoga
kisah dan pengalaman ini akan selalu menjadi guru dan pelita hidup dalam
petualangan-petualangan berikutnya. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar