Pendakian
Gunung Prau via Wates:
“Mengurai
Rindu Sabana Sembalun, Rinjani”
Oleh:
Heri
Telah
lama, saya mendengar cerita tentang keindahan Gunung Prau. Tetapi tak ada
sedikit minatpun untuk mencobanya.
Bukannya sombong. Tidak sama sekali bermaksud pamer. Karena selama ini, saya
memang biasa mendaki gunung-gunung dengan ketinggian 3.000 mdpl ke atas. Saya
memiliki alasan sendiri kenapa lebih senang mendaki gunung-gunung yang seperti
itu. Pertama, karena masih mampu.
Kendati usia tidak lagi muda, tetapi saya terpola untuk menjaga kemampuan fisik
dengan rajin berolah raga. Kedua,
lebih menantang. Ketiga, lebih sepi
atau tepatnya lebih hening. Alasan ketiga ini, merupakan alasan terfavorit.
Karena sekarang ini, untuk menemukan keheningan gunung sudah menjadi pengalaman
langka. Kemudahan jaman membawa orang tidak memiliki kemampuan menikmati
harmoni nyanyian alam.
Bermodalkan
serpihan info yang tidak lengkap membawaku untuk meluncur menuju TKP. Awalnya,
setahuku lokasi base camp gunung Prau
ada di sekitar Dieng. Maka, saya pun berencana untuk mencarinya dengan titik
tuju adalah wisata Dieng. Sabtu, 15 April 2017 dari Solo, saya bersama isteri
dengan satu motor memulai petualangan sederhana. Sesampainya di Parakan,
Temanggung saya mulai bertanya akses paling mudah untuk ke Dieng. Saya berpikir
pasti akan lewat Wonosobo. Ternyata, tidak.
Dari info
yang kuperoleh, saya ditunjukkan jalan tercepat menuju Prau. Tidak perlu lewat
Wonosobo, juga tidak perlu melewati Dieng. Tetapi langsung menuju Wates,
Wonoboyo, Temanggung. Yang katanya, jalurnya masih alami. Ada trek hutan,
padang ilalang dan yang tidak kalah penting adalah luasnya sabana dengan
tanjakan yang landai. Cukup ditempuh 4 jam. Saya pun putar haluan, mengikuti
info yang baru saja kudapat. Dengan harapan rindu untuk melangkah tertatih
dalam waktu yang lama akan terobati. Namanya juga ndaki gunung, masak hanya 1-2
jam saja.
Tidak
sampai 45 menit, dari Parakan tibalah kami di base camp Wates.
Base camp
Base camp Wates gampang dikenali,
ada banyak papan penunjuk arah. Selain tulisan “Base Camp”, penanda lain yang
gampang dikenali adalah kerumunan orang dengan perlengkapan mendaki, seperti
tas kerier yang super gede juga tas selempang yang gemerincing dengan
aksesorisnya. Selain itu, ada juga yang petugas base camp yang berjaga
mengarahkan para pendaki untuk melapor dan melakukan regristrasi serta membayar
retribusi.
Base camp merupakan bangunan
sederhana yang mampu menampung motor sekitar 40-50 motor. Sedangkan tempat
parkir mobil berada di sepanjang pinggir jalan sekitar base camp.
Beberapa
hal istimewa bila melalui jalur ini adalah, pertama
jika rombongan cukup banyak, maka pihak pengelola menyediakan jasa guide gratis sampai ke puncak. Kedua, bila membawa anak kecil, usia 1-4
th, pengelola juga menyediakan jasa gendong gratis sampai puncak. Kekurangan
dari base camp Wates adalah minimnya warung makan, namun bisa memesan makanan
pada warga atau pengelola. Sedangkan warung kelontong juga masih sangat
sederhana.
Setelah
mendaftar dan membayar biaya retribusi, pengunjung akan memperoleh peta dan
peraturan dalam pendakian. Cukup lama saya dan isteri beristirahat di base
camp. Dari sore hingga malam. Sengaja, saya akan mendaki malam dengan beberapa
pertimbangan, yaitu udara lebih sejuk, tidak panas dan pasti akan mengurangi
jumlah pemakaian air minum. Tepat pukul 22.00, kami memulai pendakian serta
petualangan sederhana menapaki setapak Prau via Wates.
Base Camp – Pos 1 (Blumbang
Kodok)
Udara malam terasa dingin menusuk
tulang. Dalam situasi yang seperti ini, rasa kantuk menjadi godaan untuk
memilih rabah nyaman di pembaringan. Namun, tekat telah bulat. Kaki harus
melangkah. Langit begitu cerah, bulan dan bintang gemerlapan memberi harap akan
cerahnya cuaca. Melangkah pelan dan tenang, kami hanya berdua menikmati
panorama perkebunan di terangi temaram cahaya rembulan. Nan jauh di sana,
gemerlapan cahaya lampu kota berpadu harmoni dengan taburan lentera bima sakti.
Asik. Bikin semangat kian membara. Hingga tidak terasa, tepat 45 menit kami
malangkah, tibalah di selter yang tak beratap bertuliskan Pos 1 Blumbang Kodok.
Sebenarnya,
perjalanan dari base camp menuju Pos 1 ada jasa ojek yang ongkosnya 20.000. Niat
hati mau hiking ya jalani aja dengan
gembira. Tidak lama kok, hanya 45 menit. Setelah istirahat sejenak. Hanya
sekedar mengatur nafas, kami pun melanjutkan langkah.
Pos 1 (Blumbang Kodok) – Pos 2 (Cemaran)
Pos 1
merupakan batas lading dan hutan.
Selepas selter Pos 1, jalan setapak banyak yang telah tertutup semak. Wajar
lah, jalur ini baru buka tanggal 5 April, setelah ditutup 3 bulan untuk
mengembalikan vegetasi. Jalur dari Pos 1 menuju ke Pos 2 merupakan jalur yang
tertutup vegetasi cukup rapat, nyaman untuk berjalan siang hari. Sebuah wilayah
hutan yang terlihat masih alami dan lama tidak terbakar. Hal ini, ditandai
dengan masih banyaknya pohon-pohon besar yang ditumbuhi lumut serta anggrek
hutan. Jalur ini tidak terlalu terjal bahkan cenderung landai.
Jalan
setapak yang terkadang tertutup semak membuat kami harus berhati-hati agar
tidak tersandung sesuatu. Cuaca malam masih tetap sama. Cerah. Bahkan anginpun
enggan berhembus. Tidak berapa lama, sekitar 20 menit tibalah kami di Pos 2.
Kami tidak beristirahat. Hanya berhenti sejenak demi mengatur nafas.
Pos 2 – Pos 3 (Sudung Dewo)
Perjalanan
dari base camp sampai di Pos 2, kami belum berjumpa dengan pendaki lainnya.
Namun, sayub terdengar suara-suara dikejauhan akan adanya pendaki lainnya.
Dengan bergegas, kembali kami melangkah. Sekitar 10 menit meninggalkan Pos 2,
kami berjumpa dengan 2 pendaki yang tertatih. Mereka berjalan teramat pelan.
Kami pun mendahului mereka. Terus melangkah dengan keadaan yang sama. Hutan
lebat. Cuaca bersahabat. Hingga tepat pukul 23.15, kami telah tiba di Pos 3. Di
sini, kami berjumpa dengan rombongan pendaki yang cukup banyak. Mereka dari
temanggung. Rombongan ini bersama dengan guide
setempat sebagai fasilitas pengelola (bila rombongan minimal 10 orang, maka
akan diberi fasilitas 1 guide secara
cuma-cuma). Mereka berhenti dan berisitirahat sambil menunggu 2 pendaki yang
ternyata temannya.
Untuk beberapa saat kami
beristirahat. Sambil berbagi pengalaman dan cerita. Saya dan isteri
beristirahat sambil berdiri. Kami memiliki pola, kalau memang niatnya
beristirahat lama ya sekalian dirikan tenda, masak dan tidur. Sekitar 15 menit
kami bergabung untuk berbagi kisah. Lalu, kembali kami melangkah.
Pos 3 – Tangga Cinta
Selepas Pos 3, hutan telah tiada. Pepohonan yang lebat berganti
dengan padang ilalang. Perjalanan malam menjadikan setapak dan perdu telah
basah, sehingga udara kian menusuk. Angin juga berhembus dengan santai. Tanpa
penghalang menjadikan udara merayu untuk mengeluh. Tetapi di langit sungguh
memaparkan panorama yang tak terbahsakan. Keindahan yang tak bisa dibahasakan.
Kendati
jalan kami pelan, namun masih penuh daya dan tenaga. Keindahan alam berupa
hamparan perbukitan yang malu-malu bersembunyi di balik tipisnya kabut. Pelan
dan pasti, kami terus melangkah. Di kejauhan terlihat barisan tenda-tenda
dengan lampu-lampu manja. Makin menggugah asa untuk segera menemukan tempat
yang nyaman.
Tangga Cinta – Pelawangan
Tangga cinta berlalu, kami tidak juga berhenti. Terus
melaju. Di sini, keadaan sedikit membaik. Karena masih ada pepohonan yang
tersisa. Tanjakan tetap landai bahkan cenderung datar. Semangat kian membara,
karena barisan tenda seolah sudah dekat di mata. Namun, saya tahu kalau itu
masih jauh di kaki.
Plawangan –
Camp Area
Sedikit
informasi bahwa pelawangan didominasi oleh sabana yang sesekali terlihat pohon
cemara di ujung ruang pandang. Terbelah oleh jalan setapak yang cukup licin dan
sempit, diapit oleh rerumputan yang membelai kaki ketika melintasinya. Di area
ini, berjalan harus ekstra hati-hati, karena sepatu seolah tidak bisa menapak.
Bagaikan air di atas kaca. Untuk menyiasati keadaan, kami memutuskan untuk
membuat jalur sendiri. Mengikuti setapak tetapi tidak melangkah di setapak yang
sudah ada. Mlipir tipis-tipis.
Kami melihat di camp area
jalur Wates ini, hanya ada 2 tenda. Maka, kami putuskan untuk terus melangkah.
Tujuan kami adalah camp area puncak
Prau, yaitu bukit teletubis. Tidak butuh waktu lama, kami pun tiba dan
menemukan tempat yang cocok. Mengacu pada bintang malam, sengaja saya
mendirikan tenda menghadap ke timur. Berharap esok pagi bisa menikmati
keindahan sun rise dari tenda.
Menikmati Malam
Sekitar 2 jam 15 menit,
kami telah menyusuri setapak dari base camp sampai di puncak Prau. Tenda telah
berdiri megah. Suasana malam makin asik untuk dinikmati. Namun, apa daya udara
memang kian tak peduli terus menusuk tulang sampai menggigil. Dingin. Udara
yang dingin memaksa untuk segera bersembunyi dihangatnya tenda. Memasak dan
membuat minuman hangat sebagai kegiatan.
Malam kian larut, lelah raga memaksa
kami untuk meninggalkan segala keindahan alam dan berpaling pada lelap. Namun, sayang
keheningan malam pegunungan kini menjadi barang langka. Ternyata, ada beberapa
tenda yang memutar musik dengan pengeras suara portable. Lalu, beberapa pendaki
ikutan bernyanyi, berkaroke dengan suara yang jauh dari merdu. Hening gunung
dengan alunan melodi alam tak mampu nyenyakan mimpi.
Selain bising suara, udara
mala mini memang amat sangat menyengat. Hingga sayapun terjaga. Sambil merenung
menemukan makna baru arti sebuah pendakian yang berubah bersama perkembangan
jaman. Kunikmati setiap celotehan dari tenda-tenda tentangga. Mereka asik
bercerita, membagikan petualangan demi petualangan, menjelajahi tiap jengkal
setapak di gunung-gunung tinggi seantero negeri. Sambil menguap, kukerdilkan
diri. Ternyata, saya hanyalah yunior, seorang pemula di dunia pendakian.
Sedangkan isteriku amat sangat nyenyak tidurnya. Mungkin, ia mendengar cerita
tetangga tenda sebagai dongeng penghantar mimpi.
Menikmati Golden Sun Rise
Malam merangkak menyambut fajar.
Temaram merah di ujung timur telah mulai membuka jendela malam. Cahaya fajar
selalu mengundang decak kagum. Kegaduhan gunung
makin menjadi dengan teriakan euphoria suka cita. Saya hanya bernalar
untuk memahami mungkin untuk mereka ini, sun rise yang menakjubkan ini adalah pengalaman
pertama mereka. Jadi, wajarlah. Namun, saya menangkap ini bukan lagi sebuah
euphoria tetapi kampungan. Hingga akhirnya, dari dalam tenda saya terpaksa
nyletuk dengan keras, “Dasar kampungan, ndeso”.
Aneh, teriakanku membawa efek. Orang-orang tidak lagi teriak narsis yang wagu.
Kemudian mereka perlahan mengekspresikan kebahagiaanya dengan cara elegan.
Saya
melongok ke luar tenda. Pintu tenda tepat menghadap ke timur, sehingga kami
dapat menikmati suasana golden sun rise
dari dalam tenda bersama dekapan sleeping bag.
Sambil
bercengkerama dengan keindahan alam kusisihkan waktu untuk mebuat minuman
hangat dan sarapan. Target, pagi ini tepat jam 7 mesti sudah melangkah turun.
Pulang.
Perjalanan Pulang
Setelah packing dan semua peralatan telah masuk
rapi ke dalam tas carrier. Tepat pukul 7.15 kami memulai perjalanan turun. Beban cukup berkurang dan badan yang telah segar
menjadikan perjalan turun gunung terasa ringan.
Banyak
orang yang masih menikmati pemandangan alam yang indah. Sebenarnya, sayang
untuk dilewatkan. Tetapi isteriku tidak nyaman menikmati kegaduhan gunung.
Keindahan alam pegunungan berganti dengan perlombaan gaya foto ternasis. Ketika
kami lewat, banyak yang terheran dan bertanya, “Masih pagi kok udah turun. Sayang
lho, pemandangannya keren”. Saya sembari tersenyum menjawab, “perjalanan kami
masih jauh”.
Setelah
melewati kerumunan pendaki yang berjubel. Sepi. Tidak ada pendaki lainnya.
Situasi ini baru menggugah selera isteriku untuk mengabadikan beberapa moment
perjalanan. Menuruni bukit sembari berfoto-foto ala kadarnya. Di sinilah, imajinasiku melayang menembus kenangan pada luasnya sabana Sembalun gunung Rinjani. sejauh mata memandang yang terlihat hanya hijaunya rerumputan dan semak. Berlatar permadani alam, kami banyak mengabadikan kisa dengan asik berfoto-ria. Sebenarnya, kami
pun tidak kalah narsis. Tapi mungkin tidak terlalu lebay. Hehe...
Tidak
terasa, perjalanan turun ini telah menghantar kami di batas hutan dan ladang.
Berarti telah tiba di Pos 1. Tanpa istirahat, kami terus berjalan. Hingga tepat
pukul 9.00 kami telah tiba di base camp
dengan selamat. Saatnya laporan.
Penutup: menemukan makna dari setiap perjalanan
Demikianlah sekedar berbagi
pengalamaan. Tiap orang pasti berbeda dalam menjalani dan melakoni tiap kisahnya.
Setapak bisa sama, namun makna dan pembelajaran hidup yang diperolehnya tidak
akan pernah sama. Merajut kisah di gunung Prau via Wates menorehkan bingkai
hidup bahwa alam adalah guru. Perjalanan ini mengajariku untuk tidak pernah
tunduk pada masa lalu. Hidup mesti bergerak dan bertumbuh. Hidup mesti terus
melangkah. Hidup yang layak disebut hidup adalah hidup yang terus berupaya
memberikan diri pada yang dicintainya. Kerelaan berkorban bagi yang dinta
itulah hidup. Terimakasih Prau. Terimakasih semesta. Terimakasih Tuhan.
Terimakasih isteriku. Terimakasih waktu
dan padamu kami selalu berharap untuk bisa melukis kisah hidup, kisah untuk
membuktikan dan mewujudkan cinta.
Thanks for sharing, sukses terus..
BalasHapusKunjungi juga http://bit.ly/2EmXnmM
86
Hapus