Kamis, 27 April 2017

Catatan Perjalanan, Pendakian Gunung Prau via Wates: “Mengurai Rindu Sabana Sembalun, Rinjani”

Pendakian Gunung Prau via Wates:
“Mengurai Rindu Sabana Sembalun, Rinjani”
Oleh: Heri


Telah lama, saya mendengar cerita tentang keindahan Gunung Prau. Tetapi tak ada sedikit minatpun untuk  mencobanya. Bukannya sombong. Tidak sama sekali bermaksud pamer. Karena selama ini, saya memang biasa mendaki gunung-gunung dengan ketinggian 3.000 mdpl ke atas. Saya memiliki alasan sendiri kenapa lebih senang mendaki gunung-gunung yang seperti itu. Pertama, karena masih mampu. Kendati usia tidak lagi muda, tetapi saya terpola untuk menjaga kemampuan fisik dengan rajin berolah raga. Kedua, lebih menantang. Ketiga, lebih sepi atau tepatnya lebih hening. Alasan ketiga ini, merupakan alasan terfavorit. Karena sekarang ini, untuk menemukan keheningan gunung sudah menjadi pengalaman langka. Kemudahan jaman membawa orang tidak memiliki kemampuan menikmati harmoni nyanyian alam.
Bermodalkan serpihan info yang tidak lengkap membawaku untuk meluncur menuju TKP. Awalnya, setahuku lokasi base camp gunung Prau ada di sekitar Dieng. Maka, saya pun berencana untuk mencarinya dengan titik tuju adalah wisata Dieng. Sabtu, 15 April 2017 dari Solo, saya bersama isteri dengan satu motor memulai petualangan sederhana. Sesampainya di Parakan, Temanggung saya mulai bertanya akses paling mudah untuk ke Dieng. Saya berpikir pasti akan lewat Wonosobo. Ternyata, tidak.
Dari info yang kuperoleh, saya ditunjukkan jalan tercepat menuju Prau. Tidak perlu lewat Wonosobo, juga tidak perlu melewati Dieng. Tetapi langsung menuju Wates, Wonoboyo, Temanggung. Yang katanya, jalurnya masih alami. Ada trek hutan, padang ilalang dan yang tidak kalah penting adalah luasnya sabana dengan tanjakan yang landai. Cukup ditempuh 4 jam. Saya pun putar haluan, mengikuti info yang baru saja kudapat. Dengan harapan rindu untuk melangkah tertatih dalam waktu yang lama akan terobati. Namanya juga ndaki gunung, masak hanya 1-2 jam saja.
Tidak sampai 45 menit, dari Parakan tibalah kami di base camp Wates.
Base camp
Base camp Wates gampang dikenali, ada banyak papan penunjuk arah. Selain tulisan “Base Camp”, penanda lain yang gampang dikenali adalah kerumunan orang dengan perlengkapan mendaki, seperti tas kerier yang super gede juga tas selempang yang gemerincing dengan aksesorisnya. Selain itu, ada juga yang petugas base camp yang berjaga mengarahkan para pendaki untuk melapor dan melakukan regristrasi serta membayar retribusi.
Base camp merupakan bangunan sederhana yang mampu menampung motor sekitar 40-50 motor. Sedangkan tempat parkir mobil berada di sepanjang pinggir jalan sekitar base camp.
Beberapa hal istimewa bila melalui jalur ini adalah, pertama jika rombongan cukup banyak, maka pihak pengelola menyediakan jasa guide gratis sampai ke puncak. Kedua, bila membawa anak kecil, usia 1-4 th, pengelola juga menyediakan jasa gendong gratis sampai puncak. Kekurangan dari base camp Wates adalah minimnya warung makan, namun bisa memesan makanan pada warga atau pengelola. Sedangkan warung kelontong juga masih sangat sederhana.
Setelah mendaftar dan membayar biaya retribusi, pengunjung akan memperoleh peta dan peraturan dalam pendakian. Cukup lama saya dan isteri beristirahat di base camp. Dari sore hingga malam. Sengaja, saya akan mendaki malam dengan beberapa pertimbangan, yaitu udara lebih sejuk, tidak panas dan pasti akan mengurangi jumlah pemakaian air minum. Tepat pukul 22.00, kami memulai pendakian serta petualangan sederhana menapaki setapak Prau via Wates.

Base Camp – Pos 1 (Blumbang Kodok)
Udara malam terasa dingin menusuk tulang. Dalam situasi yang seperti ini, rasa kantuk menjadi godaan untuk memilih rabah nyaman di pembaringan. Namun, tekat telah bulat. Kaki harus melangkah. Langit begitu cerah, bulan dan bintang gemerlapan memberi harap akan cerahnya cuaca. Melangkah pelan dan tenang, kami hanya berdua menikmati panorama perkebunan di terangi temaram cahaya rembulan. Nan jauh di sana, gemerlapan cahaya lampu kota berpadu harmoni dengan taburan lentera bima sakti. Asik. Bikin semangat kian membara. Hingga tidak terasa, tepat 45 menit kami malangkah, tibalah di selter yang tak beratap bertuliskan Pos 1 Blumbang Kodok.
Sebenarnya, perjalanan dari base camp menuju Pos 1 ada jasa ojek yang ongkosnya 20.000. Niat hati mau hiking ya jalani aja dengan gembira. Tidak lama kok, hanya 45 menit. Setelah istirahat sejenak. Hanya sekedar mengatur nafas, kami pun melanjutkan langkah.
Pos 1 (Blumbang Kodok) – Pos 2 (Cemaran)
Pos 1 merupakan batas  lading dan hutan. Selepas selter Pos 1, jalan setapak banyak yang telah tertutup semak. Wajar lah, jalur ini baru buka tanggal 5 April, setelah ditutup 3 bulan untuk mengembalikan vegetasi. Jalur dari Pos 1 menuju ke Pos 2 merupakan jalur yang tertutup vegetasi cukup rapat, nyaman untuk berjalan siang hari. Sebuah wilayah hutan yang terlihat masih alami dan lama tidak terbakar. Hal ini, ditandai dengan masih banyaknya pohon-pohon besar yang ditumbuhi lumut serta anggrek hutan. Jalur ini tidak terlalu terjal bahkan cenderung landai.

Jalan setapak yang terkadang tertutup semak membuat kami harus berhati-hati agar tidak tersandung sesuatu. Cuaca malam masih tetap sama. Cerah. Bahkan anginpun enggan berhembus. Tidak berapa lama, sekitar 20 menit tibalah kami di Pos 2. Kami tidak beristirahat. Hanya berhenti sejenak demi mengatur nafas.
Pos 2 – Pos 3 (Sudung Dewo)
Perjalanan dari base camp sampai di Pos 2, kami belum berjumpa dengan pendaki lainnya. Namun, sayub terdengar suara-suara dikejauhan akan adanya pendaki lainnya. Dengan bergegas, kembali kami melangkah. Sekitar 10 menit meninggalkan Pos 2, kami berjumpa dengan 2 pendaki yang tertatih. Mereka berjalan teramat pelan. Kami pun mendahului mereka. Terus melangkah dengan keadaan yang sama. Hutan lebat. Cuaca bersahabat. Hingga tepat pukul 23.15, kami telah tiba di Pos 3. Di sini, kami berjumpa dengan rombongan pendaki yang cukup banyak. Mereka dari temanggung. Rombongan ini bersama dengan guide setempat sebagai fasilitas pengelola (bila rombongan minimal 10 orang, maka akan diberi fasilitas 1 guide secara cuma-cuma). Mereka berhenti dan berisitirahat sambil menunggu 2 pendaki yang ternyata temannya.

Untuk beberapa saat kami beristirahat. Sambil berbagi pengalaman dan cerita. Saya dan isteri beristirahat sambil berdiri. Kami memiliki pola, kalau memang niatnya beristirahat lama ya sekalian dirikan tenda, masak dan tidur. Sekitar 15 menit kami bergabung untuk berbagi kisah. Lalu, kembali kami melangkah. 
Pos 3 – Tangga Cinta
Selepas Pos 3, hutan telah tiada. Pepohonan yang lebat berganti dengan padang ilalang. Perjalanan malam menjadikan setapak dan perdu telah basah, sehingga udara kian menusuk. Angin juga berhembus dengan santai. Tanpa penghalang menjadikan udara merayu untuk mengeluh. Tetapi di langit sungguh memaparkan panorama yang tak terbahsakan. Keindahan yang tak bisa dibahasakan.

Kendati jalan kami pelan, namun masih penuh daya dan tenaga. Keindahan alam berupa hamparan perbukitan yang malu-malu bersembunyi di balik tipisnya kabut. Pelan dan pasti, kami terus melangkah. Di kejauhan terlihat barisan tenda-tenda dengan lampu-lampu manja. Makin menggugah asa untuk segera menemukan tempat yang nyaman.

Tangga Cinta – Pelawangan
            Tangga cinta berlalu, kami tidak juga berhenti. Terus melaju. Di sini, keadaan sedikit membaik. Karena masih ada pepohonan yang tersisa. Tanjakan tetap landai bahkan cenderung datar. Semangat kian membara, karena barisan tenda seolah sudah dekat di mata. Namun, saya tahu kalau itu masih jauh di kaki.


Plawangan – Camp Area
Sedikit informasi bahwa pelawangan didominasi oleh sabana yang sesekali terlihat pohon cemara di ujung ruang pandang. Terbelah oleh jalan setapak yang cukup licin dan sempit, diapit oleh rerumputan yang membelai kaki ketika melintasinya. Di area ini, berjalan harus ekstra hati-hati, karena sepatu seolah tidak bisa menapak. Bagaikan air di atas kaca. Untuk menyiasati keadaan, kami memutuskan untuk membuat jalur sendiri. Mengikuti setapak tetapi tidak melangkah di setapak yang sudah ada. Mlipir tipis-tipis.

Kami melihat di camp area jalur Wates ini, hanya ada 2 tenda. Maka, kami putuskan untuk terus melangkah. Tujuan kami adalah camp area puncak Prau, yaitu bukit teletubis. Tidak butuh waktu lama, kami pun tiba dan menemukan tempat yang cocok. Mengacu pada bintang malam, sengaja saya mendirikan tenda menghadap ke timur. Berharap esok pagi bisa menikmati keindahan sun rise dari tenda.
Menikmati Malam
Sekitar 2 jam 15 menit, kami telah menyusuri setapak dari base camp sampai di puncak Prau. Tenda telah berdiri megah. Suasana malam makin asik untuk dinikmati. Namun, apa daya udara memang kian tak peduli terus menusuk tulang sampai menggigil. Dingin. Udara yang dingin memaksa untuk segera bersembunyi dihangatnya tenda. Memasak dan membuat minuman hangat sebagai kegiatan.

Malam kian larut, lelah raga memaksa kami untuk meninggalkan segala keindahan alam dan berpaling pada lelap. Namun, sayang keheningan malam pegunungan kini menjadi barang langka. Ternyata, ada beberapa tenda yang memutar musik dengan pengeras suara portable. Lalu, beberapa pendaki ikutan bernyanyi, berkaroke dengan suara yang jauh dari merdu. Hening gunung dengan alunan melodi alam tak mampu nyenyakan mimpi.
Selain bising suara, udara mala mini memang amat sangat menyengat. Hingga sayapun terjaga. Sambil merenung menemukan makna baru arti sebuah pendakian yang berubah bersama perkembangan jaman. Kunikmati setiap celotehan dari tenda-tenda tentangga. Mereka asik bercerita, membagikan petualangan demi petualangan, menjelajahi tiap jengkal setapak di gunung-gunung tinggi seantero negeri. Sambil menguap, kukerdilkan diri. Ternyata, saya hanyalah yunior, seorang pemula di dunia pendakian. Sedangkan isteriku amat sangat nyenyak tidurnya. Mungkin, ia mendengar cerita tetangga tenda sebagai dongeng penghantar mimpi.
Menikmati Golden Sun Rise
Malam merangkak menyambut fajar. Temaram merah di ujung timur telah mulai membuka jendela malam. Cahaya fajar selalu mengundang decak kagum. Kegaduhan gunung  makin menjadi dengan teriakan euphoria suka cita. Saya hanya bernalar untuk memahami mungkin untuk mereka ini, sun rise yang menakjubkan ini adalah pengalaman pertama mereka. Jadi, wajarlah. Namun, saya menangkap ini bukan lagi sebuah euphoria tetapi kampungan. Hingga akhirnya, dari dalam tenda saya terpaksa nyletuk dengan keras, “Dasar kampungan, ndeso”. Aneh, teriakanku membawa efek. Orang-orang tidak lagi teriak narsis yang wagu. Kemudian mereka perlahan mengekspresikan kebahagiaanya dengan cara elegan.

Saya melongok ke luar tenda. Pintu tenda tepat menghadap ke timur, sehingga kami dapat menikmati suasana golden sun rise dari dalam tenda bersama dekapan sleeping bag.
Sambil bercengkerama dengan keindahan alam kusisihkan waktu untuk mebuat minuman hangat dan sarapan. Target, pagi ini tepat jam 7 mesti sudah melangkah turun. Pulang.
Perjalanan Pulang
Setelah packing dan semua peralatan telah masuk rapi ke dalam tas carrier. Tepat pukul 7.15 kami memulai perjalanan turun.  Beban cukup berkurang dan badan yang telah segar menjadikan perjalan turun gunung terasa ringan.

Banyak orang yang masih menikmati pemandangan alam yang indah. Sebenarnya, sayang untuk dilewatkan. Tetapi isteriku tidak nyaman menikmati kegaduhan gunung. Keindahan alam pegunungan berganti dengan perlombaan gaya foto ternasis. Ketika kami lewat, banyak yang terheran dan bertanya, “Masih pagi kok udah turun. Sayang lho, pemandangannya keren”. Saya sembari tersenyum menjawab, “perjalanan kami masih jauh”.

Setelah melewati kerumunan pendaki yang berjubel. Sepi. Tidak ada pendaki lainnya. Situasi ini baru menggugah selera isteriku untuk mengabadikan beberapa moment perjalanan. Menuruni bukit sembari berfoto-foto ala kadarnya. Di sinilah, imajinasiku melayang menembus kenangan pada luasnya sabana Sembalun gunung Rinjani. sejauh mata memandang yang terlihat hanya hijaunya rerumputan dan semak. Berlatar permadani alam, kami banyak mengabadikan kisa dengan asik berfoto-ria. Sebenarnya, kami pun tidak kalah narsis. Tapi mungkin tidak terlalu lebay. Hehe...
Tidak terasa, perjalanan turun ini telah menghantar kami di batas hutan dan ladang. Berarti telah tiba di Pos 1. Tanpa istirahat, kami terus berjalan. Hingga tepat pukul 9.00 kami telah tiba di base camp dengan selamat. Saatnya laporan.


Penutup: menemukan makna dari setiap perjalanan

            Demikianlah sekedar berbagi pengalamaan. Tiap orang pasti berbeda dalam menjalani dan melakoni tiap kisahnya. Setapak bisa sama, namun makna dan pembelajaran hidup yang diperolehnya tidak akan pernah sama. Merajut kisah di gunung Prau via Wates menorehkan bingkai hidup bahwa alam adalah guru. Perjalanan ini mengajariku untuk tidak pernah tunduk pada masa lalu. Hidup mesti bergerak dan bertumbuh. Hidup mesti terus melangkah. Hidup yang layak disebut hidup adalah hidup yang terus berupaya memberikan diri pada yang dicintainya. Kerelaan berkorban bagi yang dinta itulah hidup. Terimakasih Prau. Terimakasih semesta. Terimakasih Tuhan. Terimakasih isteriku.  Terimakasih waktu dan padamu kami selalu berharap untuk bisa melukis kisah hidup, kisah untuk membuktikan dan mewujudkan cinta.

2 komentar: