SOLO HIKING:
MERBABU VIA SELO
Oleh: Heri
Jaman terus bergerak dan berubah. Begitu pula dalam dunia
pendakian. Tidak bermaksud untuk membandingkan juga tidak ada niat untuk
bernostalgia. Karena memang sesungguhnya jaman yang bergerak serta merta harus
diimbangi dengan perubahan. Bahkan yang menandai keberadaan manusia adalah
perubahan itu sendiri. Hanya manusia yang mau berevolusilah yang akan bertahan.
Kendati perubuhan merupakan hukum alamiah, namun tidak serta merta hati merasa
nyaman dalam menerima perubahan tersebut.
Di sini, saya mau membagikan sekelumit tentang pengalaman dalam
dunia pendakian. Saya merupakan generasi pemula (= biasa untuk menyebut “Pendaki
muka lama”). Saya tidak berani menyebut sebagai generasi pencinta alam kawakan.
Karena kegiatan pendakian yang saya geluti hanyalah hoby. Kegiatan mendaki
memang sudah cukup lama saya geluti. Lebih dari sepuluh tahun. Namun, tidak
serta merta jumlah pendakian yang saya lakukan ikutan banyak. Hanya beberapa
kali mendaki.
Sekitar tiga tahun terakhir, antara 2013-2015, setiap kali
menjelang malam liburan, misalnya hari Sabtu-Minggu, hampir dapat dipastikan
bahwa gunung-gunung populer akan ramai oleh pendaki. Setiap jalur akan dilewati
lebih dari 300 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Tentu akan membawa dampak
sebuah keadaan atau suasana yang sangat ramai, riuh dan berisik. Suasana ini,
sangat berbeda dengan situasi pendakian di tahun 2000-2010 yang lebih sepi dan
lengang. Sering saya alami ketika mendaki dari mulai hingga pulang, dari base camp-puncak-base camp, tidak berjumpa dengan rombongan lain. Hening.
Kembali ke prinsip awal, bahwa saya tidak ingin membandingkan.
Hanya mencoba untuk menerima kenyataan tentang perubahan, terutama perubahan
dalam iklim pendakian. Dulu, ketika mendaki tujuannya adalah untuk menemukan
ketenangan dan kedamaian. Ada pula yang mencoba menyelami dirinya, merenungkan
diri dan intropeksi. Banyak juga yang mencoba menghayati imannya, bahwa mendaki
adalah menziarahi hidup demi berjumpa dengan Sang Pencipta. Intinya, mendaki
menjadi media untuk lebih bisa mengenal diri, dan menghantar diri berjumpa dan
bertemu dengan Tuhan Pencipta.
sepi, view dr sabana 2 merbabu |
Kalau sekarang saya tidak tahu. Saya tidak berani menghakimi dan
menilai. Yang jelas, ditelingaku para pendaki yang “kekinian” lebih ramai, ribut
serta sibuk dengan atribut dan dengan segala aksesoris yang trendi dan modis.
Sehingga yang terlihat hanyalah kebisingan dan keramaian. Mendaki bukan lagi
mencari keheningan. Namun, mencari yang lain dan saya tidak berani mengatakan,
“Apakah itu?”
Jaman terus berkembang. Maka, untuk sementara saya menyimpulkan
bahwa orientasi mendaki gunung juga berkembang. Dan itu sah-sah saja. Setiap
orang bebas menentukan tujuan hidupnya. Begitu pula dengan mendaki.
Sebagai pendaki yang sudah pernah mengalami keheningan gunung
dengan segala efek-spiritualnya, saya kadang sangat rindu untuk mengalami
suasana itu. Saya kira, suasana gunung yang sepi masih ada. Tetapi tidak di
malam-malam hari libur. Sayangnya, saya kurang bisa mengaminya. Dunia kerja
tidak memberi kesempatan kepadaku. Saya hanya bisa mendaki pada hari-hari
menjelang libur nasional, seringnya ya malam Minggu.
Kerinduan itu membuncah dan tidak bisa dibendung. Akhirnya, saya
beranikan diri untuk mengambil cuti. Tentu dengan alasan yang tidak
sesungguhnya. Rabu, 23 Maret 2016, saya tetapkan untuk mengurai rindu itu.
Target pendakian adalah gunung Merbabu via Selo. Sekalian bernostalgia.
Sengaja, saya merencanakan untuk solo-hikking, mendaki seorang
diri. Tentu dengan segala konsekwensinya. Saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu
yang ada. Mendaki untuk mencari ketenangan diri, mencari keheningan agar
menemukan kedamaian. Keributan dan kesibukan kerja telah lama mengasingkan dan
mengeringkan jiwa.
Kendati saya mendaki seorang diri, tidak serta merta saya
mengabaikan perlengkapan-safety.
Persiapan dan perlengkapan full telah tersedia. Tinggal tenanga dan semangat
untuk bisa memanggulnya. Saya bukanlah seorang pendaki lulusan dari DIKLATSAR.
Namun, beberapa kali melakukan pendakian telah menghantar saya untuk mengerti
prinsip-prinsip yang tidak bisa ditawar sebagai seorang pendaki. Setiap kali
mendaki dan berjumpa dengan para pendaki hasil didikan dari
organisasi-organisasi resmi “Pencinta Alam”, saya mencoba membuka diri untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin.
Kuakui bahwa usiaku tidak lagi muda. Memang semangat masih
bergelora. Namun, kenyataan tidak dapat disangkal. Untuk menyiasati usia yang
tidak muda lagi tersebut, persiapan mutlak perlu. Seminggu sebelum hari yang
ditunggu, saya menyempatkan diri untuk jogging
dan olah raga ringan. Fisik saya siapkan, mental juga demikian. Tinggal belanja
logistik.
Saya telah memiliki daftar ceklist
terkait dengan perlengkapan dan logistik yang mutlak harus ada. Maka, tidak
membutuhkan waktu lama segala perlengkapan siap tempur telah masuk ke dalam
kerier.
![]() |
dg barang bbawaan yg waow |
Saatnya petualangan.
Rabu, 23 Maret 2016 cuaca terlihat sangat bersahabat. Semangat pun
kian bergelora. Tepat jam 11.30, saya meninggalkan kota Solo untuk menuju base
camp Merbabu, Selo. Perjalanan lancar-lancar saja. Menjelang masuk kota
Boyolali, terlihat mendung begitu menghitam di sisi barat. Benarlah ketika
masuk kota, hujan turun dengan sangat deras. Saya pun berteduh, menunggu reda. Sekitar
jam 14.00, hujan mulai menipis. Saya putuskan untuk lanjut. Jalan pelan-pelan
karena jalanan antara Cepogo-Selo, rusak parah. Medan yang penuh dengan
tanjakan-turunan dan kelokan, diperparah dengan lubang-lubang yang menganga
siap menerkam. Maka prinsip ke hati-hatian dan waspada mutlak diperlukan. “Alon-alon waton kelakon”.
Tepat pukul 14.45, saya tiba di base camp. Kang Bari dan
Isterinya, menyambut hangat kedatangan saya. Sudah lama saya tidak ke sini.
Namun, mereka masih mengingat. Kami pun mengobrol dengan sangat akrab. Sekitar
setengah jam, kami bercengkerama, berbagi kisah hidup. Kang Bari, yang dulu
sangat sederhana, kini telah memiliki banyak hal, semua itu karena animo dalam
dunia pendakian gunung yang tinggi. Saya pun melihat bahwa rumah-rumah yang
bertuliskan base camp telah bertebaran. Ada sekitar 6 rumah. Mantap. Berarti
memang jalur Selo sudah sangat ramai.
Menurut, pendaki yang turun (dari Bekasi), bahwa ada 4 rombongan
yang mendaki. Dengan demikian, saya berarti urutan ke-5. Harapan untuk
menikmati pendakian dalam keheningan akan tercapai. Kelakon, pikirku. Kulirik arlojiku, tepat pukul 15.15, saya
melangkah meninggalkan rumah kang Bari untuk menyusuri setapak Merbabu.
Pendakian solo gunung Merbabu via Selo merupakan pendakian
pertama. Namun bagiku, untuk pengalaman mendaki sendiri ini bukanlah hal baru.
Beberapa kali saya telah melakukannya. Mendaki solo, bagiku bukan untuk
gaya-gayaan, apalagi hanya sekedar mencari pengakuan dan pujian. Kembali ke
prinsip awal bahwa mendaki adalah jalan terjal menuju keheningan batin, jiwa
dan roh. Mental yang telah tertempa serta merta tidak boleh menjebakku untuk
jatuh dalam kesombongan, maka kehati-hatian dan waspada untuk selalu mawas diri
menjadi sangat penting.
Sepanjang perjalanan, saya mencoba untuk berkomunikasi dengan
diriku sendiri, mencoba menyelami lorong-lorong sukmaku. Secara manusiawi ada
kebanggaan yang luar biasa, ketika mendengar komentar, “Hebat. Mendaki seorang
diri dengan bawaan yang super”. Saya mencoba untuk selalu merendah. Agar tidak
jatuh ke jurang kesombongan. Pantangan terbesar dan terberat bagi seorang
pendaki adalah kesombongan, untuk membuktikan diri sebagai yang lebih dalam banyak
hal.
Jalur Selo merupakan jalur yang masih memiliki hutan lebat. Antara
base camp-Pos I, akan disuguhi panorama hutan dengan segala keindahannya.
Kurang lebih 15 menit, saya berjalan, saya bertemu dengan dua orang (bapak
dengan anak dari Bekasi), saya pun menyempatkan diri untuk ngobrol. Mereka
terlihat sempoyongan dan berencana hanya akan sampai di Pos I. Saya pun melaju.
Masih berjalan sendirian. Kemudian saya berpapasan dengan rombongan besar dari
kota Solo (sekota), anak-anak kampus. Komentar ini sempat mebuatku goyah dan
hampir jatuh dalam godaan “sombong”, “Mendaki sendiri? Kalau aku mending tidur
di rumah. Enggak lah mendaki sendirian. Jangan sampai”.
Sepanjang perjalanan, saya masih mendengar kicauan berbagai jenis
burung. Sangat menarik sehingga perjalanan sendirian terasa mendamaikan.
Menjelang Pos I, terdengar suara percakapan beberapa orang (campuran dari
beberapa kota). Kami pun bertegur sapa. Mereka rombongan besar, yang sebagian
telah menunggu di Pos I. Saya pun pelan-pelan terus melangkah. Hingga tepat
satu jam saya telah tiba di Pos I. Masih standar.
Cukup lama, saya ngobrol di Pos I. Kembali godaan itu menyerangku.
Pujian demi pujian dan pengakuan akan diriku yang luar biasa, semakin membuatku
waspada. Demi menjaga tekad untuk mendaki seorang diri, saya pun berpamitan
untuk kembali meneruskan langkah. Mereka mencoba mencegah dan menawarkan jasa
untuk meringankan beban. “Terimakasih”, tolakku dengan senyuman. Tepat pukul
16.30, saya meninggalkan Pos I.
Selepas Pos I, saya agak terburu-buru. Saya agak memaksa diri
untuk mengejar target. “Saya mesti sampai di Pos IV, Sabana I sebelum gelap”.
Dalam kesendirianku, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pohon-pohon besar
yang bergoyang. Jelas ini bukan karena tiupan angin. Sayapun meningkatkan
kewaspadaan. Ternyata, pasukan lutung hitam. Spesies langka. Baru kali ini,
saya melihat lutung Merbabu. Terimaksih alam atas kesempatan ini.
view dr pos ii |
Setelah terkesima dengan atraksi tim lutung Merbabu, sayapun
melanjutkan perjalanan. Kendati nafas terengah-engah, saya terus melangkah.
Meskipun raga telah bermandi keringat, saya tidak juga berhenti. Terus melaju.
Pelan namun pasti. Tiba di pos II Pandean, saya bertemu dengan rombongan
anak-anak kuliah dari Jogja (komunitas Toraja). Mereka menyemangati dan tidak
henti-hentinya memuji. Dari pada saya semakin larut dalam buaian pujian yang
menyenangkan dan akan menjebakku dalam kesombongan, segera saya pun berpamitan.
Sebentar kemudian saya pun telah sampai di Pos III Batu Tulis, di
sini saya juga bertemu dengan rombongan Jogja. Tetapi mereka akan turun.
Setapak masih terlihat. Nafas makin kian tidak beraturan. Perut mulai keroncongan. Tenaga juga tinggal
sisa-sisa. Dengan semangat yang membara, kuterus melangkah. Tertatih-tatih.
Pelan dan kian gontai. Hal ini, makin diperparah dengan harus menghajar medan
Batu Tulis – Sabana I, yang terjal dan licin. Menjelang sampai Sabana I, saya
bertemu dengan ceceran dari rombongan Jogja (campuran dari berbagai golongan). Lalu,
kami pun berjalan bersama-sama sebagai saudara yang dipertemukan karena misi
pendakian.
Syukur pada Tuhan, tepat pukul 18.15, saya tiba. Perjalanan yang
luar biasa dan ini adalah pendakian tercepatku. Antara base camp – Sabana I
hanya 3 jam. Pada hal pendakian terakhir, saya tempuh 8 jam (berhubung ada
teman yang tepar 3 kali).
Saatnya mendirikan tenda, masak dan makan.
![]() |
dlm tenda seorang diri |
Di sabana ini, ternyata sudah ada dua buah tenda yang berdiri. Saya
berpikir ini adalah hotel yang didirikan oleh pasukan Jogja (Piyungan, Bantul).
Mendirikan tenda seorang diri dengan iringan angin yang lumayan gede, membuatku
kerepotan juga. Segenap keterampilan kukeluarkan. Tidak berapa lama, tenda pun berdiri
dengan gagah. Saatnya masuk. Tenda terlihat sangat longgar. Wajarlah, karena
saya membawa tenda untuk kapasitas 3 orang, sedangakan saya sendirian. Tidak
menunda-nunda, segera saya pun berkarya untuk membuat minuman dan makanan
hangat. Di luar terdengar nyanyian alam yang mempesona. Raga yang lelah
menjadikan hidangan ala kadarnya terasa istimewa dan nikmat.
Usai makan dan sejenak menikmati minuman hangat di dalam tenda.
Saya merasakan tanda-tanda bahwa malam akan ada badai. Benarlah prediksiku, tidak
menunggu lama, tendaku telah dihajar angin. Syukur tidak lama. Namun,
tanda-tanda badai susulan akan datang. Maka,
kupaksakan diri untuk keluar dari kenyamanan tenda. Mencari lokasi.
Tenda pun saya pindah. Setelah tenda berdiri di tempat yang kedua dengan gagah,
saya sempatkan diri untuk berkeliling mencari teman ngobrol guna berbagi
cerita. Rasanya sayang, bila mendaki gunung hanya ditinggal tidur. Karena waktu
memang masih cukup panjang, baru jam 20.00.
Kulihat di beberapa tenda yang ada, semua masih sibuk dengan
segala aktifitasnya. Saya pun nongkrong seorang diri di bawah pepohonan sabana.
Setelah badan terasa dingin, tiba-tiba rombongan bapak dan anaknya tiba. Hebat.
Masih bisa memaksa untuk sampai di pos ini. “Luar Biasa”, kataku meneguhkan
gelora semangatnya.
Kemudian, saya membantu mereka berdua untuk menemukan lokasi dan
mendirikan tenda. Saya tahu rasanya, pada saat raga lelah, perut lapar, terpaan
angin yang menyiutkan nyali karena dingin namun tenda tidak juga berdiri. Saya
yang telah beristirahat dan tentu telah makan, memiliki tenaga yang lebih.
Segera kubantu sampai selesai.
Kemudian, saya pun berpamitan untuk menuju tenda privatku. Ingin
tidur. Tapi cuaca di luar begitu bagus. Terang bulan dengan taburan bintang
yang menyinari gugusan perbukitan dan lembah-lembah. Di kejauhan kerlap-kerlip
lampu kota nampak memanjakan mata.
Akhirnya, saya pun keluar lagi dan membawa matras untuk duduk-duduk.
Kemudian rombongan Jogja ikut meramaikan hingga pukul 23.30. Saatnya istirahat.
Karena agenda pagi akan menuju puncak. Melihat keindahan Merbabu dari sudut yang
lainnya.
Setelah
sejenak terlelap, saya pun terjaga. Udara begitu dingin menusuk tulang. Tidak
seperti pendakian yang lalu-lalu. Saya merupakan salah satu orang yang bisa
menikmati udara dingin pegunungan. Rasanya nyaman. Tetapi tidak dengan kali
ini, ragaku menggigil tidak karuan. Mungkinkah karena ini, saya tidur seorang
diri. Saya kira tidak lah demikian. Di luar badai menerjang. Untungnya, tendaku
terlindung dari perdu. Sehingga masih aman. Namun udara tetap menyusup ke dalam
tenda dan membekukan yang ada. Kupaksa diriku untuk kembali lelap. Tetapi udara
memang sungguh punya misi untuk menyiutkan segala nyali. Saya membesarkan harapan
agar menjelang pagi badai sudah mereda.
Tepat
pukul 03.30, saya pun berjaga. Kunyalakan kompor dalam tenda, berharap dapat
mengurai dingin udara fajar. Sekaligus persiapan untuk attack summit. Membuat minuman sereal adalah
hal terpraktis, hangat, bergizi dan mengeyangkan. Tepat pukul 04.00, badai
berhenti, badan mulai menghangat, perut terasa enak. Kubuka tenda, kuamati
keadaan cuaca. Semua terlihat jelas, puncak Merbabu melambai indah, mengundang
untuk bercumbu dengannya, cahaya bulan bersinar dengan lembutnya. Angin
berhenti total. Cuaca sangat bersahabat. Kubulatkan tekat untuk melangkah.
Masih berjalan seorang diri. Semua penghuni lainnya, masih nyaman dalam tenda. Sambil
berjalan saya sengaja bersuara, “Monggo-monggo yang mau ke puncak.
Saatnya nanjak”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Saya pun berjalan,
pelan-pelan. Santai saja.
sudah ditunggu |
Sesampainya di ujung bukit menjelang
Sabana II, saya sengaja berhenti lama untuk beristirahat. Sambil menikmati
panorama alam. Luar biasa indahnya. Pandanganku tertuju pada 2 nyala lampu
senter di Sabana I. Bisa jadi, itu pendaki dari Pos III, tapi bisa juga pendaki
yang bermalam di Sabana I. Sebentar-sebentar mereka terlihat ragu-ragu, maka
kunyalakan senterku, sebagai kode. Memang dalam pendakian pagi ini, saya
sengaja tidak menyalakan senter, karena penerangan cahaya rembulan bagiku sudah
cukup. Mereka mencoba mengejarku, namun jarak sudah terlalu jauh. Saat mereka
bingung, segera mereka menyorotkan senternya kepadaku. Saya, akhirnya berani
mengambil kesimpulan bahwa dua pendaki itu, baru pertama kali mendaki Merbabu.
Jadi wajar kalau mereka ragu-ragu. Setiap kali saya beristirahat untuk mengatur
nafas, pasti saya nyalakan senter, sekaligus menegaskan jalur yang harus
ditempuh.
Saya memang sengaja untuk mendaki sendiri. Maka, saya
tidak menunggunya (maaf ya). Niat hati untuk mendaki guna mencari keheningan
tidak dalam suasana yang ramai agaknya akan terkabul. Di puncak juga tidak ada
tanda-tanda kalau ada pendaki lainnya. Terus kaki ini, melangkah. Hingga tepat
pukul 05.00, saya tiba di puncak Kenteng Songo Merbabu. Sendiri. Tidak menunggu
lama, saya pun berdoa untuk mengucap syukur kepada Tuhan.
![]() |
puncak serasa milik pribadi |
Saatnya menikmati indahnya alam. Saya merasa
seolah-olah Merbabu menjadi milik pribadi. Tidak ada pendaki lainnya. Dua
pendaki yang menyusulku terlihat masih jauh di bawah. Saya terus memberi tanda
dengan cahaya senter. Walau temaram cahaya merah di ufuk timur sudah terlihat.
Hingga akhir, mereka tiba. Terlihat ekspresi kegembiraan dan kebanggaan yang
luar biasa. Ternyata, mereka adalah pendaki dari Bekasi (Bapak dan anaknya).
Kami pun berkenalan. Yang bapak bernama Sugeng, sedangkan anaknya bernama Bimo.
Kami akhirnya bertiga menikmati keindahan sun rise di puncak Merbabu.
Hanya kami bertiga. Tidak terasa, dua jam saya telah berada di puncak. Pak
Sugeng dan Mas Bimo, masih ingin berlama-lama untuk bercengkerama dengan indah
Merbabu. Saya pamit untuk turun, tepat pukul 07.00.
bersama pak sugeng |
Turun juga sendirian. Melenggang kaki
ringan melangkah. Seolah tanpa beban. Mungkin karena hatiku terlalu bahagia.
Dahaga jiwaku telah terjawab oleh hening alam semesta. Kunikmati sungguh
perjalanan turun ini. 45 menit cukup menghantarku sampai di tenda. Segera
membuat sarapan guna memulihkan tenaga. Target, pagi ini maksimal pukul 09.30,
saya harus mulai menuruni setapak meninggalkan Sabana I. Hal ini bukan tanpa
alasan. Hari kemarin menurut informasi pukul 10.00 sudah turun hujan. Saya
berharap untuk bergegas agar tidak kehujanan sepanjang perjalanan turun.
![]() |
bersama mas bimo |
Sarapan telah usai. Saatnya bongkar
tenda. Packing. Turun.
Setelah berpamitan dengan para tetangga
tenda, saya pun melangkah dengan mantap. Cuaca begitu bersahabat. Tidak ada
tanda-tanda akan turun hujan. Kendati demikian saya tidak boleh lalai. Harus
terus waspada. Perjalanan turun memang cenderung lebih cepat. Tepat pukul
10.00, saya telah tiba di Pos II. Istirahat sebentar. Melangkahkan kaki
kembali. Di bawah Pos II, saya bertemu dengan rombongan dari Malang. Cukup lama
saya berbagi pengalaman. Perjalanan turun sudah dapat lebih dari separo dan
tanda-tanda hujan tidak terlihat. Maka, laju perjalananku mulai saya lambatkan.
Lebih santai. Setiap ketemu pendaki yang naik, saya sempatkan untuk ngobrol.
Semua memuji dan terkagum-kagum dengan solo-hikking yang kujalani. Saya tidak
ingin jatuh dalam kesombongan, maka selalu saya usahakan untuk mawas diri dan
merendah.
view dr sabana ii |
Perjalanan dari Pos II-base camp, saya
bertemu sekitar 6 rombongan. Semuanya dari luar propinsi. Perjalanan turun
tidak terlalu terasa, hingga tepat pukul 11.30, saya telah tiba di base camp.
Istirahat sebentar sambil berbagi pengalaman dengan dua orang yang akan
estafet. Mereka sudah turun dari Merapi dan akan mendaki Merbabu. Mereka lebih
hebat dari saya. Luar biasa. Tepat pukul 12.30, kustarter motor, pelan dan
pasti menuju rumah tercinta. Sekitar pukul 14.30, saya telah tiba dengan
selamat.
Kubuka pintu,
kupejamkan mata. Hening dalam diam. Sejenak mengembara untuk menemukan makna
perjalanan: Lewat setapak Merbabu seorang diri, sebenarnya saya menapaki
lika-liku semak diri ini. Dengan solo-hikking saya semakin mengenal diri ini,
dengan segala kelebihan juga kekurangan. Saya semakin mengerti batas kemampuan
juga kelemahan. Berharap dengan semakin mengenal diri, maka akan lebih mudah
untuk bisa menempatkan diri dan mengarahkan hidup. Sehingga hidup ini akan lebih
mudah untuk menemukan celah guna merasakan suka-cita dan damai.
view yg dirindukan |
Akhirnya, kuucapkan terimakasih untuk Merbabu. Terimakasih untuk
teman-teman yang menyapa dan menyemangati sepanjang perjalanan dan terimakasih
untuk isteriku yang mau mengerti dan mau memahami diriku, sehingga memberi
kepercayaan kepadaku untuk melakukan peziarahan ini, solo-hikking yang amazing. Semoga dengan pengalaman ini,
saya semakin bisa member diri, terus berjuang dalam semangat pengorbanan.