COUPLE
RIDER:
JELAJAH JATIM
Oleh: Heri
isteriku yg memotret, tu kliatan bayangannya |
Pada Mulanya hanyalah
Ide untuk Mensyukuri Hidup dengan Bikepacker
Setiap
manusia memiliki kebebasan dalam mengukir sejarah hidupnya. Sebagai pasangan
suami-isteri, aku pun berjuang untuk menciptakan warna pelangi dalam kehidupan
rumah-tanggaku. Tidak setiap warna itu indah, tetapi rangkaian warna yang
dikemas harmoni itulah keindahannya. Dengan demikian semakin berani menciptakan
warna maka, semakin kaya pula harmoni yang akan tercipta.
Salah
satu kegiatan yang sesekali kami lakukan adalah jelajah ke tempat-tempat yang
belum pernah kami datangi. Eksplorasi,
kata banyak orang. Sedangkan kami ingin hadir dan menjadi bagian dari hukum
alam, yaitu bersinergi, saling mengisi. Sebagai orang yang bekerja mapan di
satu tempat, kadang begitu rindu untuk menginjakkan kaki di daerah yang belum
pernah kami datangi. Namun, keterbatasan waktu menjadikan kami jarang untuk
bisa menggapai itu.
Akhir-akhir
ini, banyak manusia yang mencoba me-refresh
hidupnya dengan cara yang beda. Mencoba menjadi diri yang tidak pada umumnya.
Namun, kebanyakan tetap mensyaratkan untuk mengalami perjalanan. Mengalami
perpindahan keadaan. Menjalani sesuatu yang tidak seperti biasanya. Inti dari
rekreasi adalah mengalami suasana, keadaan, tempat, situasi dan perjumpaan di
luar yang rutin. Rekreasi hanyalah soal mengalami yang beda.
salah satu sudut jln, JLS Malang |
Maka,
munculah berbagai definisi tentang kegiatan-kegiatan yang di luar kebiasaan, terutama
yang mesti dilakukan di tempat atau daerah lain. Seperti backpacker, bikepacker, traveler dan turis.
Agustinus
Wibowo dalam bukunya, “Titik Nol, Makna
Sebuah Perjalanan” mencoba membedah beda antara traveler dan turis.
“Katanya,
turis itu pasti menginap di hotel mahal sedangkan traveler di rumah penduduk lokal.
Turis bawa koper, traveler bawa ransel. Turis naik pesawat, traveler jalan
darat. Turis ikut tur terima jadi, traveler berpetualang sendiri. Turis suka
manja, traveler doyan derita. Turis banyak duit, traveler pada pelit. Turis
bawa buku panduan, traveler mengintil angin. Turis selalu bilang, I am traveler, si traveler bilang, Who care? Turis adalah traveler amatir,
traveler itu turis professional. Turis selalu berdebat beda antara turis dan
traveler, sementara si traveler cuma tertawa. Begawan traveler (atau turis?)
Paul Theroux bilang, turis tak ingat tempat mana yang sudah dikunjungi,
traveler malah tak tahu ke mana mau pergi”[i].
Sedangkan
yang ingin saya bagikan hanyalah pengalaman sederhana. Bukan sesuatu yang
hebat. Apakah kami termasuk backpacker,
bikepacker, traveler atau turis,
silahkan pembaca untuk menilainya.
Tanggal
09 Juli adalah hari ulang tahun perkawinan. Hampir empat tahun, kami telah
membangun bahtera rumah tangga dengan segala dinamikanya. Untuk merayakan
perjuangan kami dalam usaha menyatukan hati, jiwa, pikiran dan hidup itulah
kami berpetualang, menjelajah atau hanya sekedar jalan-jalan. Kali ini, kami
ingin mengenal lebih dekat daerah-daerah pesisir selatan-timur Jawa, khususnya
yang berada di daerah Jatim.
Sebut
saja saya adalah Heri Jimanto dan isteri saya adalah Regina Nunuk. Biar agak
sedikit keren, kami akan menyebut diri sebagai couple-adventure, hehe. Kata adventure
mau menegaskan bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah
memasuki daerah, situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah
kami datangi.
Hari I, Minggu 03 Juli
2016: Menghentikan Konsep
Naungan
kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan Solo. Sengaja
kami memilih rute perjalanan dari sisi selatan, yaitu Solo – Wonogiri – Ponorogo
– Trenggalek – Tulungagung – Blitar – Malang – Lumajang – Jember – Banyuwangi –
Situbondo – Probolinggo – Pasuruan – Mojokerto – Jombang – Kediri – Ngawi –
Sragen - Solo. Minggu, 03 Juli 2016, tepat pukul 05.30, kami memulai kisah ini.
Target hari pertama ini, kami akan bermalam di Pantai Prigi, Trenggalek.
menikmati keajaiban karya Tuhan |
Armada
yang kami naiki hanya sepeda motor. Oleh karenanya, persiapan dalam banyak hal
mutlak diperlukan. Motor telah kami percayakan kepada bengkel untuk perjalanan
jarak jauh, dengan medan yang cukup bervariasi, ada tanjakan, turunan,
tikungan, jalan mulus namun juga ada jalanan berbatu. Bengkel langganan tentu
tahu yang kami maksudkan.
Fisik
dan mental juga kami siapkan. Untuk fisik, satu minggu sebelum perjalanan, kami
menyempatkan diri untuk mendaki gunung Merbabu. Persiapan mental, kami mencoba
mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait medan dan juga tempat yang akan
kami kunjungi. Untuk perbekalan, kami
pun menyiapkan banyak hal, ada perlengkapan memasak, tenda, perlengkapan mandi,
baju ganti, kotak P3K dan logistik.
Perhentian
pertama adalah kota Ponorogo. Kota ini, seumur hidup baru kami lewati. Kota
yang tidak begitu jauh dari Solo. Namun, kami belum pernah berkunjung. Membuka
hati untuk menerima segala kekayaaan tradisi dan kebiasaan kota ini menjadi
sebuah kunci kenyamanan. Segala idialisme harus dihentikan sementara. Terbuka
untuk belajar. Tepat pukul 8.15, kami telah masuk kota ini. Kami pun memutuskan
untuk istirahat sejenak, menikmati kuliner yang ada (karena masih masa puasa,
banyak warung yang tutup).
Setelah
badan terasa segar, perut kenyang, bahan bakar kendaraan juga telah terisi, tepat
pukul 09.00, kami pun melanjutkan kisah untuk menuju Trenggalek. Tujuan kami,
adalah wisata pantai Trenggalek. Menyusuri jalanan yang baru pertama kami
lewati, ada berbagai pergulatan rasa. Ada ketakutan, was-was, khawatir,
ragu-ragu yang kesemuanya berpadu dengan panorama alam yang begitu mengasikkan.
Hamparan sawah berpadu harmoni dengan barisan perbukitan yang menghijau permai.
Motor kami, meliuk menari bahagia seperti penunggangnya.
Jam
11.00, kami pun singgah di ukiran alam pada Gua Lawa, Trenggalek. Sejenak
terpesona dengan guratan karya alam. Gua alami yang cukup besar dan penjang.
Setelah terpuaskan, kami pun meneruskan kisah menuju hutan mangrove Cengkrong,
Trenggalek. Sebenarnya perut sudah terasa lapar, namun tidak ada satu pun
warung yang buka. Mungkin perda di sini yang menjadikan demikian.
ini dlm gua. asik kn. |
Perjalanan
yang mengasikkan, dengan liukan jalan dan hijau perbukitan menjadi suguhannya.
Hingga tidak terasa, sekitar pukul 13.30, kami telah tiba. Kami pun berkeliling
menikmati pesona hijau hutan bakau dan segarnya udara pantai. Warung juga belum
ditemukan. Sementara menahan lapar. Setelah puas dengan panorama hutan mangrove,
kami pun pindah ke pantai Cengkrong. Di sini terlihat banyak warung yang masih
belum dibenahi. Tampak warung-warung berserakan, rusak parah. Menurut info ini
akibat dari gelombang pasang yang menggila. Kami pun menghampiri, satu-satunya
warung yang buka. Dia bercerita, “ini semua karena perda, takut digrebek dan
disita satpol PP”. Warung pun hanya menyediakan menu sederhana. “Tidak apa lah,
yang penting makan”, pikirku.
hutan magrove, cengkrong, trenggalek |
Ditemani
dengan hembusan angin laut dan diiringi harmoni deburan ombak, di bawah pohon
nan rindang kami menikmati menu sederhana, namun terasa sangat-sangat istimewa
dan nikmat. Niat hati malam ini, kami akan berteduh di bawah langit, berharap
ada taburan bintang yang menghiasi remang cakrawala. Bertenda di bibir pantai
Prigi, Trenggalek. Maka, kami sempatkan untuk berbelanja guna persiapan
memasak. Sebelum sampai di pantai Prigi, kami juga meluangkan waktu untuk
mengunjungi beberapa pantai di Trenggalek, ada pantai Asmara dan pantai Pasir
Putih. Semuanya masih berdekatan dengan pantai Prigi.
Senja
telah datang, kami juga telah selesai mendirikan hotel yaitu tenda pinjaman,
yang telah beberapa kali menaungi petualangan kami. Malam hampir menjelang,
kami pun bergegas untuk membersihkan diri. Istirahat di warung yang masih buka.
Suasana pantai Prigi sepi karena masih musim puasa. Hanya beberapa warung yang
buka dan menyediakan kuliner khas pantai. Kami pun memesan menu ikan bakar
special ukuran jumbo, porsi untuk 4 orang kami habiskan hanya berdua. Bayar
hutang, maklum hari ini kurang makan, hehe.
hotel yg bisa pindah-pindah unt selalu bercengkerama dg alam |
Malam
telah tiba, taburan bintang yang mempesona, mendadak lenyap berhamburan
terhalang oleh pekatnya mendung. Pertanda akan hujan, kami pun segera berteduh
dalam tenda. Benarlah, hujan turun dengan lebatnya. Raga yang telah lelah pun
segera meminta untuk rebah mendulang tenaga. Saatnya istirahat.
Hari II, Senin 04 Juli
2016: Masih Ada Kebaikan
Keindahan
pagi membisikan semangat dan tekat untuk segera bangkit. Nyanyian deru ombak
sepanjang malam telah berdendang menina bobokan kami hingga istirahat begitu
nyenyak. Pagi ini, kami pun segera membuat sarapan. Sejauh mata memandang tak ada
tanda-tanda geliat aktifitas warung yang akan buka. Santapan jasmani telah usai
saatnya mandi dan segera bergegas untuk kembali mengukir kisah. Tepat pukul
08.00, kami berpamitan dengan keramahan pesona Prigi dengan segala kenangan. Selamat
tinggal Prigi dan sampai bertemu lagi.
Meninggalkan
Trenggalek dengan hati bahagia. Kemudian jejak kamipun akan tinggalkan di Tulung
Agung. Memasuki gapura bertuliskan Tulung Agung serta merta menuntut
kewaspadaan. Terlihat perbedaan yang cukup kentara antara pengendara Trenggalek
dan Tulung Agung. Di sini saya tidak bermaksud menilai mentalitas cara berkendara
saudara-saudara Tulung Agung. Saya mencoba berpikir positif bahwa ini menjelang
lebaran, jadi segala aturan lalu lintas kadang tidak berlaku.
Di
sepanjang jalan daerah Tulung Agung, saya menjumpai begitu banyak orang –orang
sakti, yang kepalanya mungkin lebih kuat dari pada kerasnya aspal. Pengendara
motor, kebanyakan tidak memakai helm (sebagai perlengkapan berkendara juga
untuk keamanan), spion dilepas (seperti motor balap), lampu sein (lampu reting)
tidak kepakai, bila akan belok tidak ada kode sama sekali, tiba-tiba dan
mendadak langsung tekuk. Etika berkendara di jalan umum yang saya pahami,
seolah-olah tidak berlaku. Hanya kewaspadaan dan mencoba memahami cara orang
lain berkendara menjadi satu-satunya rambu keselamatan. Waspada, awas dan
perhatikan jalan mutlak tidak dapat ditawar.
obat capek |
Pengalaman
yang unik. Buatku, ini dibuat asik aja.
Tulung
Agung berlalu. Memasuki Blitar, sejenak mengabadikan saksi sejarah, Patung bung
Karno, sebagai Presiden pertama Negeri tercinta ini, Indonesia. Sejenak, ikutan
ngeksis. Biar kekinian.
Blitar
merupakan salah satu kota yang memanjakan para pengendara dengan kondisi jalan
yang halus, datar dan rata. Gapura selamat datang Malang telah terlewati, kini
medan jalan mendadak berubah. Rute Blitar-Kepanjen mengular penuh tikungan,
tanjakan dan turunan. Bagi para pengendara, “ini adalah surga”. Penat raga
tidak terasa, kami terus bergerak, berharap siang telah sampai barisan pantai
selatan Malang.
Sebelum
Kepanjen, peristiwa sakral yang biasa pun terjadi. Isteriku kedatangan tamu.
Rencana berubah total. Saya tidak lagi sebagai pemegang kendali. Tetapi
sepenuhnya, saya serahkan ke isteriku. Karena segala fenomena yang menyertai
masa menstruasi seorang wanita tidak pernah sama. Selalu berbeda. Kadang tidak
mengganggu kegiatan, namun seringnya membawa kerumitan karena derita yang
menyertainya. Aku hanya berharap, semoga yang terjadi adalah yang terbaik.
Rasa
lelah dan tertekan mulai merambat menyusup kedalam nadi harapan. Sehingga
kejenuhan pun melanda. Motor terus menari meliuk di atas jalanan yang mengular.
Aku mencoba terus membesarkan asa agar seni petualang kembali menjelma. Seorang
petualang selalu bisa menemukan keceriaan di tengah badai peristiwa yang tidak
diinginkan.
Keceriaan
mulai merasuk pelan. Namun mendadak, motorku mengalami trouble ringan. Dudukan visor ku patah. Harus mencari tukang las.
Kucoba bertahan untuk terus bersabar di atas jok yang mulai memanas. Samar di
kejauhan terlihat tugu selamat datang, “Kepanjen”.
Syukur
tiada terkira. Bahagia tiada tara. Kota Kepanjen ternyata cukup besar. Sambil
mencari tukang las, berharap untuk bisa mencari informasi lainnya terutama
tentang jalur menuju deretan pantai Malang. Pucuk
di cinta, ulam pun tiba. Tukang las kutemukan dan sekaligus memberi
informasi yang sangat detail tentang jalur serta medan untuk menikmati panorama
barisan pantai-pantai Malang.
40
km bukanlah jarak yang jauh. Namun, karena raga telah lelah jarak pendek pun
terasa lama tak juga terjangkau. Kulihat wajah isteriku masih bertahan. Kendati
saya tahu dia memaksa dan berjuang untuk tetap ceria. Membelah motorku di
jalanan yang sepi. Berkelok dan menanjak-turun, menembus hutan, ladang dan
kebun. Sungguh panorama yang lengkap. Di kejauhan membentang batas cakrawala.
Laut. Berarti tidak lama lagi tujuan akan tercapai. Benarlah, kita telah sampai
di wisata pantai pertama, Pantai Bale Kambang Malang.
Air
laut yang jernih, bentangan pasir putih yang maha luas, deburan ombak yang
menari tiada henti. Pemandangan pantai yang komplit. Di ujung barat terdapat
kafe yang bernuansa Bali, berpadu dengan musik etnik. Para pelancong
bergembira, bercengkerama dan bermain ombak serta pasir.
Sambil
menikmati panorama Balai Kambang, Saya serta isteriku memesan makanan, sambil
meneguk air kelapa muda. Usai penat raga terurai, melanjutkan langkah untuk
menengok ketenaran pantai ini yang dikisahkan sebagai Tanah Lot-nya Malang,
karena ada pura yang berdiri kokoh di batu karang sebrang pantai.
Pure di Bale Kambang Malang |
Misi
perjalanan ini masih jauh. Berharap hari ini dapat menuntaskan wisata Malang
dan tembus sampai kota Lumajang. Matahari terus menemani perjalanan kami. Cerah
alam bermandi sepoi angin pantai terus mengiringi kisah kami. Pantai-pantai pun
berlalu. Tidak menghitung berapa pantai yang telah kami singgahi. Ada pantai kami
datangi. Hingga di penghujung sore, kami telah tiba di pantai Sendang Biru,
Pulau Sempu. Namun, sayang hari ini karena lebaran H-1, maka tidak ada
pengunjung. Niat untuk bermalam dan menikmati keindahan pulau Sempu terpaksa
harus ditunda. Suatu saat semoga bisa bercengkerama dengan hening Sempu.
Motorku
pun masih setia menghantar kami untuk menjelajah. Malam mulai merangkak. Gelap
suasana mendukung uji adrenalin di jalanan lintas selatan yang didominasi
tikungan tajam tiada berkesudahan, tanjakan, turunan, hutan dan kebun. Tanpa
lampu jalan dan rumah penduduk yang jarang. Sungguh-sungguh ini merupakan media
untuk bercermin mengenal dan menguasai diri. Ada ketakutan, ada kecemasan juga
kekhawatiran namun sekaligus menumbuhkan harapan dan iman, selalu percaya bahwa
Tuhan akan berkarya. Yakin aman.
![]() |
menikmati keindahan jalanan |
Gelap
masih memayungi perjalanan antara Sendang Biru menuju pertigaan Turen, Malang.
Dari pertigaan ini, kami mengambil arah Lumajang. Suasana jalan masih sama.
Sepi, gelap, banyak tikungan, tanjakan dan turunan. Stres pun melanda. Kulirik
jam tanganku telah menunjuk waktu tepat pukul 20.00. Berharap situasi masih
aman terkendali.
Harapan
untuk segera bertemu dengan pemukiman yang ada tempat penginapan agaknya harus
terus dijaga. Agar kekuatan tetap ada. Karena raga yang begitu lelah, akhirnya
kami beristirahat. Aku lupa nama daerahnya. Yang pasti kami memperoleh
informasi bahwa penginapan terdekat ada di Lumajang dan itu masih harus
ditempuh selama dua jam. Tentu, ini merupakan kecepatan penduduk lokal yang
hafal jalan. Mungkin, kalau saya yang baru pertama kali lewat jalur ini, bisa
sampai 3-4 jaman.
Kendati
penginapan masih jauh, namun hati merasa tenang karena penduduk setempat
menyakinkan bahwa jalur ini cukup aman. Tidak ada tindak kriminal. Menenangkan.
Menenteramkan. Kutanya isteriku, apakah masih akan lanjut. “alon-alon ae, entar juga sampai”.
Pelan-pelan asal terus berjalan maka sejauh apapun perjalan pada akhirnya juga
akan terselesaikan.
Kembali
motorku pun meliuk. Hingga di samar gelap malam, kulihat baleho besar
bertuliskan “Wisata Air Terjun Tumpak Sewu Pronojiwo, Lumajang”. Lega rasanya.
Sampai juga di wilayah Lumajang. Kulihat ada warung. Mampir istirahat, nyari
informasi sekaligus mendulang energi. Kembali nyaliku terpaksa menciut. Dari
ibu warung menegaskan bahwa Lumajang masih jauh, masih butuh waktu 1,5 jam.
Padahal waktu telah bertengger di titik 21.00. Kupaksakan untuk meminta tolong
apakah ada rumah penduduk yang bisa dimintai kerelaannya untuk menginap. Ibu
itu merekomendasikan untuk meminta ijin ke Pak RT.
Semangat
kembali bergelora. Usai menebus hidangan malam. Segera aku bergegas menuju
rumah Pak RT. Sayang, rumahnya tutup. Lemas. Hingga akhirnya di area parkiran
wisata Goa Tretes Pronojiwa yang berdekatan dengan wisata Tumpak Sewu, boleh
dipakai untuk mendirikan tenda. Niat hati untuk mendirikan tenda dan segera
membaringkan raga, tiba-tiba salah satu penduduk menyapa dan menawarkan
rumahnya untuk menginap.
Rasanya
tidak enak karena merepotkan. Namun, kedua pasang suami-isteri itu sangat
antusias untuk menerima kami. Mereka segera menyiapkan kamar dan memaksa kami
untuk menginap di rumahnya. Aku sudah membongkar tas untuk mendirikan tenda,
namun beliau terus mengajak ngobrol dan tetap menawarkan kebaikan. Hingga, kami
pun memutuskan untuk menginap di rumahnya. Malam berlalu. Lelah raga terjawab dan
terurai oleh kebaikan sepasang kekasih. Terimakasih Bapak dan Ibu. Maaf, aku
lupa menanyakan nama Anda.
Hari III, Selasa 05
Juli 2016: Membaharui Arti Surga
Pagi
merekah dengan segala harapan baik. Terbuka mata penuh gairah dan tenaga yang
melimpah meneguhkan semangat. Udara pegunungan yang sejuk segar menjadi warna
khas yang kian sukar dicari. Tuan rumah telah menghidangkan segelas teh hangat. Di dapur kudengar suara minyak yang
telah memanggang hidangan. Benarlah, tidak berapa lama, si ibu menyapa dan
mempersilahkan kami untuk sarapan.
Segera
kurapikan tempat tidur, cuci muka dan sarapan. Sungguh nikmat. Surga itu
terjadi saat sebagai orang asing yang disambut, diperlakukan layaknya saudara
dekat, tanpa sekat, terbebas dari kecurigaan. Kami menghayati hidangan dari
kebaikan selalu terasa lebih mantap. Di sini, bukan masalah menu dan rasa,
tetapi soal hati. Kenikmatan tidak terletak pada lidah tetapi hati yang mampu
merasakan lebih dari sekedar racikan bumbu masakan.
Perut
telah kenyang, maka kami pun bergegas untuk menyambangi panorama alam, air
terjun Gua Tretes yang tersohor keindahannya. Menyusuri perkebunan kopi yang
berpadu dengan perkebunan salak. Menuruni tangga demi tangga. Setelah berjalan
sekitar 15 menit, tibalah kami di wisata Gua Tretes. Sebuah gua yang dihiasi
dan dialiri mata air yang jernih menawan. Di depan goa ini, aku berimajinasi
menembus kisaran memori tentang jejak para pendekar yang bertapa di kesunyian
hutan, tersembunyi di dalam goa dan terbungkus oleh air terjun. Menakjubkan.
keindahan ini berada d dpn gua. yg di dlm lebih keren |
Dari
depan gua ini, terlihat di kejauhan indahnya air terjun Tumpak Sewu. Air terjun
yang terkenal sebagai Niagara Indonesia. Tetapi karena isteriku enggan berkunjung,
saya pun mesti meninggalkan PR untuk suatu saat dapat ke sana.
Berat
hati untuk meninggalkan indah secuil sorga di Gua Tretes ini. Namun, agenda
perjalanan kami masih cukup jauh. Segera kami berlalu. Kembali ke rumah yang
menampung kami. Lalu, kami pun segera membersihkan diri. Packing. Pamitan. Terimakasih banyak. Maaf atas segala keterbatasan
kami.
Motorku
kembali siap dipacu. Melanggak-lenggok, menyususri jalanan pegunungan yang
naik-turun. Hingga kami bertemu dengan papan penunjuk jalan untuk menghantar
pada panorama alam yang hampir sama, yaitu air terjun Kabut Pelangi. Masih di
daerah yang sama, Pronojiwo, Lumajang. Hanya beda desa. Semangat membara
mendorong kami untuk kembali menyusuri jalan desa menuju pintu masuk wisata alam
ini.
Untuk
menikmati keindahan air terjun ini, kami mesti menyusuri jalan setapak yang
sangat variatif, dari cor, setapak hingga mesti menyusuri sungai. Akses
jalannya masih sangat sederhana. Sekitar 45 menit, kami pun tiba. Air terjun
yang lumayan tinggi dengan keunikan yang luar biasa. Bila mentari bersinar
cerah dan mengenai percikan air terjun, maka akan menyuguhkan keindahan
pelangi. Air terjun yang berselimutkan pelangi. Eksotis.
berdua, menyatu dg alam. kabut pelangi jd saksi |
Hanya
berdua kami menikmati lukisan Sang Pencipta. Terpana. Kami pun sedikit narsis
untuk mengabadikan peristiwa langka ini. Karena terlalu asik. Hingga akhirnya,
seluruh rekaman moment-moment indah itu lenyap bersama masuknya kamera pocket
ke dalam air. Sayang, dokumentasinya hilang. Namun, kami percaya bahwa memori
Tuhan lebih ajaib untuk mengabadikan petualangan
ini.
Setelah
dirasa cukup, kamipun kembali melanjutkan kisah. Target kami, hari ini dan
tepatnya sore nanti mesti sudah sampai di kota Jember. Kami akan bermalam di
sana. Sambil menikmati malam takbiran, malam kemenangan.
Sekitar
jam 12.00, kami kembali menunggangi kuda besi tercinta. Asik. Penat. Capek.
Lelah. Mempesona. Terkesima. Semua rasa bercampur aduk mengiringi perjalanan
sederhana kami.
Ternyata,
jarak antara Pronojiwo, Lumajang (kecamatan ujung barat) dengan kota Jember
cukup jauh. Hampir putus asa. Kapan sampainya? Pantat terasa terbakar. Menyala,
namun gerbang bertuliskan Jember kok tidak juga nampak. Hingga waktu tepat
pukul 16.30, kami telah memasuki kota Jember. Senang rasanya. Bahagia.
Tujuan
menginap kami adalah di kawasan Bukit Rembangan. Semacam kawasan puncaknya
Jember. Namun, sayang. Puncak bukit kembangan telah dikuasai oleh pengembang.
Telah menjadi hotel berbintang dengan tarif mahal. Jelas, ini bukan kelas kami.
Dengan hati kecewa, terpaksa kami kembali menuruni Bukit Rembangan menuju kota
Jember (24 KM yang sia-sia). Kami, bukanlah petualang sejati. Kami masih sering
kecewa. Dan belum mampu menikmati segala peristiwa menjadi sumber bahagia.
sbg obat kecewa, pantai bengkung, malang |
Bunyi
takbir telah berkumandang dari berbagai Masjid, mataku nanar mencari rumah
makan yang masih terbuka. Berharap untuk bisa mengais rejeki sekaligus mencari
informasi tempat penginapan yang murah. Sebelum memasuki kota Jember, kami melihat
rumah makan (satu-satunya yang buka) sangat ramai. Harus antri. Apa daya, demi
energi. Kami pun menunggu. Mungkin rumah makan ini, menjadi salah satu ikon
kota Jember. Karena aku melihat banyak pengunjung yang dengan bangganya berfoto
ria di depan rumah makan ini. Namun, kami tidak peduli, yang penting perut
terisi.
Dapat
meja, pesan makanan, menyantapnya, kenyang. Dapat informasi tentang hotel yang
murah, hotel Cenderawasih. 10 menit perjalanan dari rumah makan. Hotel melati
dengan tarif 100 ribu. Malam takbiran dengan harga segitu. Sangat terjangkau.
Segera
mandi. Mata sudah terlalu lelah. Hingga sulit untuk dibuka. Sebelum kami lelap
dalam buaian malam, saya sempatkan untuk menata beberapa perlengkapan agar
besok pagi, bangun langsung ready
guna melanjutkan kisah. Tidur seperti mati. Hingga cahaya fajar membangunkan
kami. Kembali bergegas untuk segera mandi. Target kami, sebelum solat Id
dimulai kami telah keluar dari dalam kota.
Hari IV, Rabu 06 Juli
2016: Semua Ada Maksudnya
Pukul
05.30, kami meninggalkan hotel. Lumayan, jalanan masih sepi. Namun, tidak
bertahan lama. Makin ke tengah kota, jalan mulai ramai dan penuh sesak. Sebelum
ke luar kota, kami telah menemukan ruas jalan yang ditutup. Pengalaman yang unik. Jalan normal saja kami
tidak tahu, karena baru pertama kali masuk kota Jember. Kini, harus bermesraan
dengan jalan-jalan kampung. Syukurlah, sebelum shalat Id dimulai, kami telah
berhasil ke luar dari labirin kota.
Dengan
perut kosong-lapar, kami terus melaju. Tidak ada warung yang buka. Wajarlah ini
kan lebaran hari I. Aku targetkan setelah perjalanan dua jam, baru akan
beristirahat. Dimanapun itu. Kami masih ada bekal roti. Tenang saja. Melaju
motor meninggalkan Jember menuju Banyuwangi. Hingga kami pun telah memasuki
kawasan hutan Gumitir. Sebuah tempat yang sangat menawan. Hutan lebat,
berhiaskan panorama perkebunan kopi dengan aroma khas kembangnya. Sungguh asik.
Suasana yang sejuk, jalan 4 jalur dengan kelokan yang tajam turun-naik. Sepi
lagi. Ini adalah surganya bagi yang suka keplek-miring.
Di
tengah perjalanan, ternyata masih ada orang yang mengais rejeki, buka warung
makan. Bakso. Segera kuhentikan motor. Pesan bakso ketupat dan segelas kopi
hitam. Matahari kian naik dan jalanan pun kian ramai. Ternyata arus balik dari
arah pulau Bali masih
berbondong-bondong. Jalur ini adalah jalur alternatif selatan. Hati makin
tenang, karena banyak teman seperjalanan.
![]() |
warung d hutan gumitir |
Perut
telah kenyang. Badan kembali segar. Saatnya melanjutkan kisah, mengukir sejarah
di tanah Banyuwangi. Suasana jalan masih sama, didominasi hutan, perbukitan dan
perkampungan. Hingga tidak terasa, bahan bakar pun ikut menyusut. Tidak ada POM
bensin yang buka. Semua masih shalat Id. Aku terus melihat sepidometer dan juga
mengamati pinggir jalan. Namun, barisan botol pertamax tidak juga terlihat.
Dari indikator bahan bakar yang telah berkedip, telah kutempuh jarak sekitar 60
KM, aku harus berhenti. Daripada mogok kehabisan bahan bakar. Tidak mampu
membayangkan harus mendorong motor dengan beban hampir 2 kwintal. Oh, my God.
Sekitar
pukul 09.00, aku melihat POM Bensin, terlihat ada tanda-tanda akan buka, sudah
ada yang mengantri walau belum ada yang menjaganya. Aku putuskan untuk ikutan
mengantri. Terasa lucu, POM belum buka tetapi sudah diantri. 1,5 jam menunggu,
akhirnya buka juga. Syukur Tuhan dapat nutrisi untuk si kebo.
Target
selanjutnya adalah pantai Grajagan. Sebuah pantai yang menjadi judul lagu.
Sebenarnya kami, belum pernah berkunjung ke Banyuwangi. Dengan demikian,
seluruh daerahnya adalah asing. Tidak tahu apa-apa. Tidak kenal siapa-siapa.
Namun, kami percaya bahwa dunia ini masih dipenuhi dengan orang-orang baik.
Lalu, kami pun berlaku sebagaimana dinasehatkan oleh para bijak, “Malu bertanya
sesat di jalan”. Tidak henti-hentinya kami bertanya, hingga sekitar pukul 10.
30, kami pun tiba. Sejenak melepas lelah dan bercengkerama dengan keindahan
pantai ini.
![]() |
pantai grajakan banyuwangi |
Dahaga
jiwa telah terpuaskan begitu pula dengan raga. Hati senang, perut juga telah
kenyang. Saatnya meneruskan perjalanan, target selanjutnya adalah pantai
Plengkung, G-Land. Yang terkenal
sebagai spot surving terbaik level
dunia. Sejauh kami tahu, pantai tersebut berada di kawasan hutan lindung Alas Purwa. Maka, kami segera melaju
untuk memburu waktu. Target sebelum malam harus selesai.
Di
luar dugaan dan di luar bayanganku, saya melihat papan penunjuk tentang Gua
Maria, berarti tempat peziarahan orang katholik. Saya berpikir, apakah mungkin
di sini ada orang katolik. Untuk mengurai penasaranku, kubelokkan sepeda motor
untuk menggapainya. Agak sedikit mentang,
keluar dari target utama. Benarlah, bahwa di Banyuwangi ada tempat peziarahan, yang
bernama Gua Maria Waluyaning Jatiningsih.
Sejenak kami pun menikmati oase rohani. Sejenak hening untuk bersyukur dan
berserah diri. Semoga tetap dilancarkan peziarahan ini.
![]() |
salah satu perhentian jln salib, ornamen jawa-bali |
Awalnya
saya berpikir kalau Alas Purwa itu
dekat, ternyata, kami mesti berulang kali menegaskan informasi bahwa jalan yang
kami lewati akan menghantar di sana. Jauh, seolah-olah tidak lekas tercapai. Stress. Selain tempatnya yang jauh,
akses jalannya juga tidak terlalu bagus, semi off road. Masuk hutan belantara. Tidak bertemu dengan perkampungan.
Namun, kami terus membangun harapan, yakin kalau jalan ini adalah benar. Hingga
hati makin berbunga ketika terlihat gapura selamat datang di wisata Alas Purwa, Banyuwangi.
![]() |
narsis di gerbang alas purwa |
Membayar
tiket. Dari pos penjagaan rute perjalan masih jauh membentang. Pertama, kami
disuguhi pura yang sangat tua. Pada waktu itu, ada banyak orang dari Bali yang
berdoa. Lalu, kami dihadapkan pada persimpangan untuk menuju sabana Sadengan yang ada banteng dan beberapa
satwa lainnya. Di sini kami dapat informasi, bahwa untuk menuju Pantai
Plengkung, kami mesti menyewa mobil tertutup, 4 x 4. Demi keamanan, karena
masih banyak binatang liar yang kadang menyerang pengunjung. Jarak 7 KM murni off road, bukan semi, tapi asli.
![]() |
sabana sadengan alas purwa banyuwangi |
Mengingat
target kami bahwa malam mesti tembus di Baluran, Situbondo. Maka, kami
memutuskan untuk menikmati beberapa pantai di lokasi Alas Purwa, yaitu pantai Triangulasi dan Pasir Putih saja.
![]() |
pantai triangulasi alas purwa, banyu wangi |
Tepat
pukul 15. 15, kami meninggalkan wisata Alas
Purwa untuk menuju kota Banyuwangi dan selanjutnya menuju target camp Baluran.
Antara
Alas Purwa dengan kota Banyuwangi
ternyata bukan jarak yang pendek. Sekitar pukul 17.00, kami baru tiba.
Sebenarnya hati was-was, karena memang kami sungguh tidak kenal medan. Kami
bulatkan tekad untuk terus melaju menuju Baluran. Selepas perbatasan
Banyuwangi-Situbondo, kami telah memasuki hutan Baluran. Namun, karena suasana
sudah mulai gelap, maka kami pun tidak juga menjumpai papan penunjuk arah
menuju Baluran. Hingga tidak terasa kami telah meninggalkan hutan Baluran.
Menyadari
bahwa kami telah tersesat, saatnya bertanya. Kemudian kucari warung yang buka.
Lebaran hari pertama, tidak banyak warung yang buka. Kami terus berjalan pelan-pelan
dan sambil terus mencari penjual energi. Akhirnya warung kami temukan, memesan
makanan dan saatnya santap malam. Di sini, kami memperoleh informasi bahwa Alas
Baluran telah jauh terlewati selain itu saat ini wisata Baluran sedang rawan
menjelang malam. Kami pun disarankan untuk mencari penginapan di Situbondo,
kalaupun mau berkunjung ke Baluran sebaiknya besok pagi saja. Tidak
tanggung-tanggung, baluran telah kelewat sejauh 70 KM, sedangkan untuk sampai kota
Situbondo tinggal 20 Km lagi.
![]() |
narsis dpn kamar hotel, situbondo |
Dengan
sedikit kecewa, akhirnya kami putuskan untuk terus ke Situbondo dan menunda
wisata Baluran. Demi keamanan dan juga kenyamanan. Lanjut lagi. Hingga tepat
pukul 21.00, kami tiba dan memperoleh kamar, yang tinggal satu-satunya. Saatnya
rebah untuk beristirahat. Berharap besok bangun dengan tenaga serta semangat
yang baru.
Hari V, Kamis 07 Juli
2016: Mengais Energi Mistis
Pagi
menjelang, cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat
membuncah dan bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, packing dan sarapan. Meliuk menyusuri
eksotisme jalanan Situbondo di sekitar pantai Pasir Putih memang luar biasa.
Perbukitan, hutan yang berpadu harmoni dengan lukisan pasir berhias birunya
lautan. Keren.
Hingga
tidak terasa, kami telah memasuki wilayah Probolinggo. Pantat telah penat. Saatnya
beristirahat. Lalu kami sempatkan diri untuk bercengkerama dengan lukisan alam
di pantai Bentar. Sebuah pantai nan asri karena masih diselimuti oleh hutan
mangrove yang cukup luas. Sejenak mengurai lelah. Menikmati semilirnya angin
pantai dengan memanjakan mata disapu hijuanya hutan bakung.
![]() |
pinggir pantai bentar probolinggo |
Setelah
sejenak istirahat, lanjut lagi. Target berikutnya adalah air terjun
Madakaripura. Meninggalkan Probolinggo dan menuju arah pegunungan Tengger.
Hingga tidak terasa, kami telah kelewat jalur sekitar 20 Km. ya namanya
perjalan pertama, sama-sama tidak tahu. Wajar bila kami sering salah jalan.
Putar lagi, hingga sekitar pukul 11.30, kami telah sampai di pintu masuk
kawasan wisata air terjun pertapaan Patih Gajah Mada.
![]() |
biar ketularan saktinya |
Saatnya
wisata rohani serta wisata sejarah. Membayangkan dan berimajinasi di jaman
Majapahit dengan keperkasaan serta kesaktian Sang Maha Patih. Memang eksotis. Luar
biasa, yang membikin hati berdecak kagum. Kekuatan jiwa-raga memang hasil dari
usaha. Tentunya bisa dimengerti bila pada waktu itu orang bisa menemukan daerah
yang tersembunyi dengan keindahannya. Sudah semestinya, orang yang mampu
menggapai tempat ini telah teruji sebagai pribadi yang bakoh-kokoh.
![]() |
air terjun madakaripura, probolinggo. brrrr.... |
Setelah
asik bermain di bawah guyuran air terjun. Tubuh mengigil dan kedinginan.
Saatnya kembali untuk membersihkan diri, makan siang dan melanjutkan
perjalanan. Target sebelum gelap kami mesti sampai di Penanjakan Bromo. Kami
akan bermalam sambil menikmati sejuknya hawa pegunungan Tengger. Di hening
gunung dengan penanda keagamaan Hindu, banyak ornament Pura akan menghantar
jiwa bertemu dengan Penguasa Semesta. Pada mulanya dan sampai sekarang
Penanjakan adalah tempat peribadatan, tempat pemujaan untuk Sang Pencipta. Saya
akan mencoba untuk mengalami peristiwa itu. Semoga tercapai.
Sekitar
jam 14.00, kami meninggalkan lokasi wisata air terjun. Sayang di tengah
perjalan kami dihajar hujan yang sangat lebat. Perut lapar, warung masih jarang
yang buka. Terpaksa kami berteduh dengan perut kosong. Hingga tidak terasa 1,5
jam kami menunggu. Hujan pun reda. Segera kami melaju. Sampai di terminal
Bromo, terlihat cuaca yang sangat cerah. Tidak ada hujan. Namun sayang, Bromo
lagi bereaksi. Hingga kami tidak berani mendaki ke kawah Bromo.
![]() |
berdua di bromo |
Istirahat
di terminal sambil menikmati pemandangan dan bakso. Nikmat.
Pukul
17.00, kami ber-off road di segoro wedi. Sebuah pengalaman yang
menantang, di mana antara ban depan dan ban belakang tidak sejalan. Isteriku
selalu menjerit histeris ketakutan. Sedangkan saya asik menikmati sebagai
wisata adrenalin. Ya begitulah bedanya laki-laki dan perempuan. Tidak bisa
disamakan. Aku menikmati, isteriku senam jantung. Melewati segoro wedi dengan lancar, saatnya membuktikan ketangguhan si kebo
menapaki tikungan dan tanjakan Penanjakan yang wow. Asik aja. Motor dengan gagah, aman dan nyaman. Lancar.
Isteriku menawar untuk camp di
Penanjakan III, tetapi saya memaksa untuk camp
di Penanjakan I, puncak dan akhir dari jalan aspal. Itulah puncak tertinggi
dari Penanjakan. Suasana sepi tetapi masih ada beberapa penjaga warung yang
merentangkan tangan untuk menyambut sumber kehidupan.
Tanya
punya tanya, kami diperkenankan untuk camp
di Penanjakan I. Sedangkan parkir diurus oleh penjaga warung. Sebelum gelap
tenda telah berdiri gagah. Angin bertiup kencang. Sejenak udara telah
menyiutkan nyali. Terasa amat sangat dingin. Di sini, kami bertemu satu orang
pengelana, single touring (aktif di Fulsar
Comunnity, namanya Mas Rony) dari Sukoharjo juga. Kami diikat oleh sedaerah
asal. Maka, kami pun cepat akrab. Sepanjang malam, kami asik banyak cerita.
Angin
tidak henti-hentinya bertiup. Udara menjadi sangat dingin. Suasana sangat sepi.
Hanya kami bertiga dengan dua tenda. Semua penjaga warung turun. Katanya akan
mulai ramai lagi sekitar pukul 03.00, banyak pengunjung untuk menikmati
keindahan sun rise. Dalam suasana
yang teramat sepi dengan dendang harmoni alam bersama orhestra tiupan angin
malam, saya menyempatkan untuk memejamkan mata. Dingin yang menembus tulang,
menjadikanku berulang terjaga.
Malam
mulai meregang memanggil sinar fajar. Saat kulirik jam menunjuk angka 02.00,
sayub terdengar suara. Yang kian lama mengubah suasana menjadi riuh.
Orang-orang berteriak kedinginan. Celoteh para pemandu memburai hening
Penanjakan. Kendati demikian, kami tetap asik di dalam tenda. Sambil menikmati
bisingnya pengunjung, kami membuat minuman hangat dan sarapan. Saat kubuka
tenda, Penanjakan menjadi lautan manusia. Kini, Bromo menjadi wisata elit
dengan tarif yang mahal.
![]() |
sun rise bromo bercampur dg lautan manusia |
Hari VI, Jumat 08 Juli
2016: Pulang ke Rumah
Sekitar
jam 08.00, pengunjung sudah pada banyak yang turun. Warung-warung juga mulai
tutup. Aku pun bergegas untuk bongkar tenda, packing dan siap-siap melakukan perjalanan jauh. Target hari ini,
kami mesti sampai Solo. Pulang ke rumah menjadi satu pengharapan terbesar.
Sejauh apapun perjalanan kembali pulang adalah akhir dari kisahnya.
Tepat
jam 09.00, kami meninggalkan Penanjakan dengan segala kisah dan kenangan.
Selamat berpisah dengan mas Roni yang menjadi teman berbagi. Berharap lain
waktu bisa melukis kisah bersama lagi.
Menyususri
jalanan demi jalanan. Santai namun terus
berjalan. Hingga sekitar pukul 11.00, kami telah memasuki kota Jombang.
Istirahat. Pantat sudah panas. Mengurai segala kekalutan dengan segelas air
kelapa muda. Terasa sangat segar. Saat waktu berada pada titik 12.30, kami
melanjutkan perjalanan. Biasa naik bis umum sekarang dengan mengendarai sepeda
motor, rasanya banyak juga yang asing. Modal bertanya selalu kami andalkan,
hingga akhirnya, sekitar pukul 14.30 kami telah tiba di kota Ngawi. Istirahat.
Mencari makan guna memulihkan tenaga.
Menjelang
sore, kami melihat bahwa jalanan mulai ramai dan antrian panjang juga terjadi
di beberapa titik. Hal ini terjadi karena bersamaan dengan arus balik. Di hutan
Mantingan kami terjebak kemacetan yang panjang. Ada yang 5 Km, ada pula yang
hanya 100 meter. Buatku dibikin asik saja. Setiap kali macet, motor kuturunkan
dari aspal, semi off road. Motor matic
dan bebek tidak ada yang berani mengikuti kami. Walaupun pelan yang penting
tetap berjalan. Alon-alon waton kelakon.
Yang lain macet, punyaku tetap lancar. Sekitar pukul 17.30, kami telah
meninggalkan kota Sragen. Sebentar lagi Solo. Hingga kami pun tiba di rumah
tercinta tepat pukul 18.00.
![]() |
teringat keindahan pagi hr ini. bromo |
Pada Akhirnya, …
Demikian
lah sekelumit perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Dengan
waktu selama 6 hari 5 malam, dengan jarak sejauh 1.520 Km dan menghabiskan
bahan bakar tepat seharga Rp 300. 000. Kami telah menorehkan kisah menjelajahi
dan menikmati karya Tuhan di wilayah Jatim. Sungguh ini menjadi peristiwa yang
mengasikkan, mendebarkan, menakutkan juga menghadirkan kecemasan, keraguan dan
membangun asa untuk selalu berharap. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini,
terimakasih Isteriku yang setia untuk menjadi co-rider yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai.
Terimaksih untuk setiap insan yang menginspirasi hidup ini. Semoga kisah ini
menumbuhkan kemanusiaan kami untuk selalu berbagi, berharap dan memberi. Hingga
kami, semakin mengerti dan mengalami kedamaian dan kebahagiaan hakiki. Semoga.