SOLO
HIKING: LAWU VIA CEMORO SEWU
Oleh: Heri
Bila
malam menjelang dengan segala pesonanya, di saat itu lah hati yang penat mulai
gundah. Setiap manusia punya persoalan dan dinamika hidup yang tidak sama. Ada
kalanya jiwa yang lelah dan penat karena pertarungan hidup, membutuhkan ruang
untuk sejenak relai. Dengan demikian setiap manusia dituntut untuk memiliki kemampuan untuk
mengenal dirinya, mengerti batas kemampuan dan daya juangnya. Namun yang utama
adalah memahami cara bagaimana mengurai segala kelelahan dalam hidupnya. Karena
dengan itu manusia akan terus mampu bertahan hidup. Kemampuan yang seperti itu
merupakan cara yang mujarab untuk terus bisa menikmati hidup dengan damai dan
bahagia.
Di
tengah bising segala pergumulan hidup itulah benakku melayang pada cara
sederhana untuk mengurainya. Aku sungguh mengenal diriku, bila beban hidup
terasa berat, gunung adalah sumber penghiburan. Aku adalah salah satu dari
berjuta orang yang suka mendaki gunung. Mungkin tepatnya adalah mencintai
setapak gunung. Bukan gunungnya, bukan pula panoramanya, bukan pula
tantangannya. Tetapi kesegaran udara dan lukisan cakrawala yang tidak akan
pernah sama.
Telah
berulang aku menapaki setapak gunung, namun aku tidak pernah bosan. Bahkan
cenderung untuk semakin mencintainya lebih dalam. Di tengah pergumulan hidup
itulah, segala memori tentang kedamian mengundangku untuk kembali
mencengkeramainya.
Kali
ini, kuingin ziarahi setapak Lawu via Cemoro Sewu. Beberapa kali aku mendaki
gunung Lawu lewat jalur ini, selalu bersama dengan teman-teman. Saat ini
kuingin mendaki seorang diri. Mendaki solo, bagiku bukan sesuatu yang baru,
namun mendaki Lawu sendirian, ini merupakan pengalaman pertama. Maka, aku harus
menyiapkan segalanya. Agar pendakian ini menjadi saat untuk sungguh berjumpa
dengan kedalaman hidupku, terutama untuk berjumpa dengan Aku Sejatiku.
Sabtu,
21 Mei 2016 aku mendapat kesempatan untuk mendampingi anak-anak SMA N 5
Surakarta dalam rekoleksi singkat. Sabtu, aku diberi kesempatan untuk mengisi
beberapa sesi. Acara berjalan lancar hingga sampai pukul 23.30. Waktu sesiku sudah selesai dan anak-anak
terlihat bahagia. Pendampingan sederhana namun mampu menghantar anak-anak
menyusuri hidupnya. Semoga rekoleksi ini bisa memupuk bibit-bibit kebaikan
dalam diri mereka.
Bukan
kebetulan tetapi memang sudah menjadi satu rencana. Rekoleksi tersebut
bertempat di Tawangmangu. Maka, jarak tempuh menuju base camp Cemoro Sewu tidak begitu jauh, hanya sekitar 6 km. Tepat
pukul 00.00, aku tiba di base camp
Cemoro Kandang, segera kuparkirkan motor. Sengaja aku memilih untuk parkir
kendaraan di base camp Cemoro
Kandang. Karena, aku berencana untuk turun lewat jalur ini. Selain itu, aku
juga telah akrab dengan beberapa sahabat AGL. Benarlah, mereka pun segera
menyambutku hangat, ngobrol sejenak, lalu aku pamitan untuk mencari asupan
nutrisi. Makan malampun usai. Tepat jarum jam bertengger di titik 01.00, aku
meninggalkan warung dan menuju base camp
Cemoro Sewu, dengan jalan kaki. Kupikir ini hitung-hitung sebagai pemanasan
sebelum pendakian.
Sesampainya
di base camp Cemoro Sewu, aku tidak
menunda-nunda waktu, segera regristrasi (tarif pendakian Rp. 10.000). Sebelum
mendaki aku sempatkan diri untuk
berbincang-bincang dengan beberapa orang yang asik ngobrol karena usai mendaki.
Mereka antusias untuk memberi petunjuk tentang jalur pendakian, aku dengan
rendah hati mendengarkannya. Kendati aku sedikit telah tahu jalur tersebut,
namun kerendahan hati adalah modal utama untuk tidak takkabur dan sombong.
Tepat
pukul 01.30, kumulai pendakian ini. Hatiku cukup tenang, cukup siap untuk
melakukan pendakian seorang diri.
Lengang
dan sunyi.
Melenggang
kakiku melangkah pelan dan pasti, menyusuri setapak yang jelas.
Temaram
sinar bulan yang hampir bulat penuh menemani peziarahanku. Hening malam
menghantarku untuk menyusuri relung-relung diriku. Hingga membawa kenangan
bahwa pendakian terakhirku di gunung Lawu ini adalah bersamaan dengan peristiwa
kebakaran hutan yang menyebabkan 7 korban meninggal. Hatiku pun bergetar. Lalu,
kuhentikan langkah. Berdiri sambil menundukkan kepala, kulambungkan doa untuk
kedamian arwah mereka yang telah berpulang dalam pendakian gunung ini.
Setelah
hatiku beroleh ketenangan dan kemantapan. Kembali aku pun melangkah. Nafas yang
tidak lagi muda memintaku untuk sejenak istirahat. Saat meredakan detak jantung
yang memburu kulihat di kejahuan terlihat samar ada cahaya senter. Kupastikan
bahwa itu adalah pendaki. Hanya satu orang. Mungkin, ia sama dengan diriku,
pendaki solo. Sesaat aku pun menunggu dan benarlah perkiraanku. Kami pun saling
menyapa. Kutahu ia seorang lelaki, mahasiswa jurusan sastra Arab, UGM, berasal
dari Bandung. Sayangnya aku tidak menanyakan namanya. (Salah satu kebiasaan ku yang buruk, tidak bertanya nama, tetapi ngobrol
seolah sudah saling kenal lama). Kami pun tanpa kesepakatan melaju saling
bertukar pengalaman dan menapaki setapak.
Kami
terus melangkah dalam dekapan berbagi kisah, hingga tidak terasa kami telah
tiba di Pos I[1].
Di sini kami beristirahat. Lalu, teman Bandung berpamitan melaju sendiri.
Mungkin, sudah niatnya untuk mendaki sendirian. Aku pun begitu. Maka, kupersilahkan.
Setelah istirahat beberapa menit. Hingga waktu menunjuk angka 02.15, aku pun
bangkit untuk kembali melukiskan kisah.
Hening
dan dingin malam masih setia menemaniku. Akupun dengan tenang melaju dengan
keterbukaan hati untuk terus merenungi dan merefleksikan berjuta pengalaman
hidup yang boleh aku lewati.
![]() |
birunya langit menjadi pendorong untuk terus naik |
Jalanan
kian menanjak, terjal dan berliku. Namun malam ini keindahan alam memang
disuguhkan bagi para pendaki karena temaramnya sinar rembulan membantu untuk
menikmati suasana dan pemandangan yang beda. Samar cahaya rembulan menimbulkan
dan memunculkan eksotisme panorama Lawu menjadi sangat menawan.
Selama
perjalanan dari Pos I menuju Pos II, aku berjumpa dengan dua rombongan turun
gunung dan satu rombongan yang masih berjuang untuk menuju puncak. Ada pula
satu rombongan yang sibuk mendirikan tenda, hingga saat kusapa mereka tidak
menjawab. Semoga mereka bukan hantu. Up, awas, jadi takut, …
Kurasa
tenagaku masih cukup prima, maka aku pun tiba di Pos II sekitar pukul 03.00[2]. Perjalanan
yang cukup cepat, dari base camp
sampai Pos II, hanya butuh waktu 1,5 jam. Akupun beristirahat sejenak. Di pos
ini, kembali aku berjumpa dengan pendaki dari Bandung. Lalu, kamipun meneruskan
pendakian. Sepanjang perjalanan ini, kami tidak lagi banyak bercerita. Mungkin
karena tenaga kami yang mulai pudar. Lalu, kupersilahkan dia duluan. Motivasi dan
harapan untuk menginjak puncak sebelum matahari menjadi pendorong yang
memampukan aku untuk terus melangkah. Kendati lelah, kaki ini masih mampu untuk
membawaku sampai di Pos III.
Namun,
kekuatan raga yang renta tidak lagi mau menopang. Kekuatan ada batasnya. Maka,
aku putuskan untuk sejenak beristirahat, sambil mendulang energi. Segera
kusiapkan peralatan masak. Mendidihkan air, menyiapkan minuman susu panas
ditemani dengan roti menjadi hidangan yang maha-nikmat.
![]() |
dulu pernah hijau |
Badan
kembali pulih, tenanga kembali melimpah. Segera kubereskan segala perlengkapan
perangku. Tepat pukul 04.00, aku kembali menyongsong harapan untuk
bercengkerama dengan panorama surya-fajar.
Masih
seorang diri.
Namun,
suasana tidak lagi sunyi dan sepi. Teriakan demi teriakan untuk membangkitkan
daya agar raga dari para pendaki yang koyak dapat dipicu untuk menggapai
puncak. Teriakan–teriakan motivasi saling bersambut. Aku yang tidak terbiasa
dengan berteriak-teriak hanya bisa geleng-geleng dan berusaha untuk bisa
menikmatinya.
Tenagaku
yang kembali utuh bahkan seolah belum terpakai, menjadikanku berjalan setengah
berlari. Semua pendaki yang melihat hanya terbengong-bengong dan
terheran-heran. Rata-rata mereka terlihat kelelahan dan sudah sempoyongan. Aku
berpikir positif saja, mungkin mereka baru pemula atau belum biasa atau mungkin
belum memiliki tenik mendaki yang benar. Namun, yang paling jelas adalah medan
pendakian yang curam, jalur antara pos III menuju pos IV adalah jalur yang
paling berat. Menanjak tajam.
Pukul
04.30, aku telah tiba di Pos IV. Dari pos ini, aku bersama dengan satu pendaki
yang tercecer dari rombongannya. Ia seorang cewek yang mengaku dari Purwodadi.
Ia paling duluan, karena teman-temannya masih jauh tertinggal di belakang. Ia
bercerita bahwa mereka memulai pendakian sekitar pukul 18.30. Saat ia tahu
bahwa aku memulai pendakian pukul 01.30, ia hanya berkomentar, “Ngapusi. Bohong. Gak mungkin”. Aku hanya
tersenyum. Tidak ada upaya untuk membela diri. Buat apa?
Laju
pendakianku berubah irama menjadi sangat-sangat lambat. Namun, karena kasihan,
aku pun bertekat untuk menghantar ia sampai ke puncak. Dengan langkah yang kian
gontai, aku yakin bahwa ia kelaparan dan kelelahan. Aku tidak berani
menanyakan, namun pengalaman menjadikanku berani mengambil kesimpulan.
Tepat
pukul 05.00, semburat merah telah menghiasi cakrawala, pertanda golden sun rise akan menjamu perjuangan
para pecinta ketinggian dan segarnya udara pegunungan. Kulihat di puncak Hargo
Dumilah, penuh sesak dengan para pendaki. Kupikir dari pada berjejal di puncak
dan tidak bisa menikmati keindahan secara hening dan khusuk, aku memilih untuk
menikmatinya di Sendang Drajat. Teman dari Purwodadi, aku tawari kalau mau
langsung ke puncak tinggal mengikuti setapak yang sudah terlihat dan tidak mungkin
keliru. Namun, mereka memutuskan mengikuti caraku untuk mencumbui surga pagi di
atas 3.000 mdpl.
![]() |
keren kan? |
Segera
kugelar matras, kusiapkan menu pagi spesial. Sambil menunggu datangnya cahaya mentari,
kami terus berbagi pengalaman untuk membangun persaudaraan. Tidak berapa lama,
menu spesialpun telah siap. Bersama surya pagi yang menghangatkan bumi, aku pun
menikmati dengan sarapan sederhana namun terasa begitu mewah. Akhirnya
terbukti, bahwa pendaki dari Purwodadi itu, tidak punya apa-apa, hingga mereka
pun ikut lahap menikmati bekal yang kupunya. Sebuah kebersamaan dalam bingkai
kekeluargaan terjalin secara alami tanpa rencana. Hal yang luar biasa.
Sang
surya pun mulai bergegas merangkak meninggalkan peraduan. Sesaat pun mengubah
cahaya kuning keemasan menjadi putih keperakan. Mentari pun makin tinggi melambung menatap
kami, sinarnyapun mulai mengusir dingin malam. Hangat terasa yang kian lama
terasa makin menyengat.
Maka,
kuputuskan untuk segera menyudahi kemesraan ini. Segera kukemasi perbekalan dan
segala perlengkapanku. Aku pun berpamitan dan tetap membuka diri mengajak
mereka agar tetap bersama. Namun, mereka berencana untuk mampir ke warung
tertinggi, warung pecel Mbok Yem di puncak Hargo Dalem. Kami pun berpisah di
pertigaan. Aku mengambil belokan ke kiri dan mereka berbelok ke kanan. Sampai
jumpa kawan, semoga waktu mempertemukan kita untuk kembali melukis kisah di
atas kanvas setapak Lawu.
Dari
titik ini, jalur pendakian menjadi sangat ramai. Ada yang turun, namun ada pula
yang masih berjuang menuju puncak. Saling tegur sapa menjadikan suasana akrab
dan penuh rasa persaudaraan. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.45, aku tiba di
puncak Hargo Dumilah. Kakiku berdiri di salah satu atap tinggi pulau Jawa,
3.265 mdpl.
Rasa
syukur yang tiada tara menguap dari dalam hati. Kulambungkan doa sujud syukur
kepada Tuhan, kumohonkan kedamiana arwah untuk yang meninggal dalam
pendakiannya ke Lawa dan kumohon rahmat untuk terus dilindungi dalam perjalanan
pulang. Sejenak kemudian, aku pun bercengkerama dengan Lawu.
Belum
juga puas bahagia dalam diri ini, namun mentari terasa sudah sangat menyengat.
Maka kuputuskan untuk bergerak turun, meninggalkan segala keindahan. Pukul 07.00,
aku pun berpamitan dengan Hargo Dumilah. Sepanjang perjalanan dari puncak
menuju Pos IV, aku tidak bertemu satu pendakipun. Hanya bertemu satu rombongan
besar yang baru persiapan menuju puncak.
Perjalanan
turun ini, diriku diwarnai dengan kepiluan hati. Bekas kebakaran kemarau lalu
masih dominan. Hutan-huntan yang menghitam, pohon dan perdu yang mengering,
cokelat. Gunung yang tidak lagi didominasi warna hijau tetapi hitam dan
cokelat. Besar harapanku untuk kembali mengalami hijaunya Lawu. Semoga
terwujud.
![]() |
kebakaran tanpa sisa. semua hangus |
Tidak
terasa, tepat pukul 08.00, aku telah tiba di Pos III. Perjalanan turun dari Pos
IV kembali aku mengalami suasana yang sunyi, tidak bertemu satu pendakipun.
Hanya di Pos III, aku bertemu dengan satu rombongan dari Klaten yang mengadakan
penmas. Tidak menunggu lama, kembali aku melangkah.
Setapak
dari Pos III benar-benar licin. Setelah semalam diguyur hujan, hutan yang mengering
dan hanya perdu menjadikan tanah masih becek. Hal ini diperparah dengan terhalangnya
sinar matahari karena punggungan Lawu. Beberapa kali aku hampir jatuh.
Terpeleset berulang kali. Maka, kuputuskan untuk mengurangi laju kecepatanku.
Pelan-pelan saja. Setapak bercabang-cabang. Para pendaki banyak yang membuat jalur
baru. Wajar karena setapak utama licin, hutan terbuka, tanpa adanya perdu, sehingga
orang bisa melihat keadaan di bawah. Lalu meutuskan untuk potong kompas. Demi
menyingkat perjalanan turun, maka meng-halal-kan terabas jalur. Buatku, ini memprihatinkan.
Perjalanan
yang sunyi cenderung memompa energi yang tidak kumengerti. Aku terus berjalan,
hingga tidak terasa, telah sampai di Pos II. Tidak bertemu atau berpapasan
dengan pendaki lain. Istirahat sejenak. Kembali kulangkahkan kakiku. Mendadak
perutku berontak. Segera kulobangi tanah, untuk menyembunyikan hal yang
terbuang. Lega. Lanjut lagi. Selepas Pos II, aku baru bertemu satu rombongan
yang akan happy camp di Pos II.
Rombongan yang cukup besar. Mereka ber-10 dan berasal dari Magetan.
![]() |
masih ada yg tersisa, hutan lebat yg hijau |
Sang
waktu berdiri di titik 09.30, dan aku juga telah berdiri di Pos I. Perjalanan
turun yang tidak terlalu cepat juga lambat. 2,5 jam dari puncak sampai di Pos
I. Di Pos ini, kulihat ada seorang bapak yang sedang menggelar dagangannya.
Kutahu bahwa pendakian jalur Cemoro Kandang kali ini sepi. Bermodal belas
kasihan, aku pun berhenti dan membeli beberapa potong gorengan. Sambil beristirahat kunikmati jajanan di Pos ini. Tepat
pukul 10.00, kembali kaki kulangkahkan. Melaju dengan gagah hingga tepat pukul
10.20, aku telah tiba di base camp
Cemoro Kandang.
Niat
hati, mau beristirahat sebentar, lalu meneruskan perjalanan pulang ke Solo,
harus tertunda. Teman-teman AGL malah mengajak ngobrol dan menyuguhkan segelas
teh hangat. Keakraban dengan semangat persaudaran pun terjalin dengan asiknya.
Hingga tidak terasa, waktu telah menunjuk titik 11.30. Lalu, aku pun memaksa
diri untuk berpamitan. Karena malam ada acara di Solo. Mereka pun mau mengerti.
Selamat berpisah kawan. Semoga lain hari bisa kembali berbagi.
![]() |
pohon ini masih setia menunggu kedatanganku berikutnya |
Mengakhiri petualangan ini aku hanya bisa
berkata, “Terimakasih Lawu. Engkau telah mengajariku cara untuk semakin rendah
hati sehingga semakin bisa bersabar. Engkau juga mengajariku untuk rela berbagi
dalam banyak hal, mengajariku untuk dapat mengalahkan diri dan semakin percaya
diri. Pada kesempatan ini, kuingin sampaikan juga terimakasihku kepada isteri
tercintaku yang selalu mau mendukung dan mengerti tentang diriku, selalu
memberi waktu dan ijinnya sehingga aku terus bisa menyatu dengan alam,
khususnya menyatu dengan dingin kabut pegunungan. Semoga dengan peziarahan ini,
aku dapat semakin menumbuhkan cinta kepada semua orang, terutama kepada
isteriku”. Salam sang pecinta udara segar dan kabut dingin di ketinggian.
[1]
Perjalanan dari base camp dimulai dengan melewati gerbang pendakian, medan
awal berupa jalur tanah dan bebatuan. Di sepanjang jalur awal ini banyak
ditumbuhi oleh pohon cemara. Baru setelah melewati hutan cemara ini, di kiri –
kanan jalur terdapat kebun sayur milik penduduk. Dari basecamp menuju
pos satu, jalur tidak begitu menanjak, namun pendaki harus tetap berhati –
hati, karena tanah bebatuan yang dilewati lumayan licin. Dari base camp menuju pos satu dapat ditempuh dengan
waktu sekitar satu jam. Di pos satu, terdapat sebuah pondok, dan di depannya
juga ada warung. Namun waktu kami mendaki, warung-warung ini sedang tutup. Mungkin
karena musim puasa.
[2]
Perjalanan dari pos 1
menuju pos 2 merupakan jalur terpanjang, dan medannya mulai memiliki kemiringan
lebih tajam dibandingkan jalur pos 1. Jalur ini berada di kawasan hutan
pegunungan tropis.