CATATAN
PERJALANAN: SOLO HIKING GUNUNG SUMBING VIA SEMAN
Oleh:
Heri Jimanto
Sobat petualang,
kembali berjumpa dalam sebuah kisah.
Pada mulanya,
Aku
begitu malas untuk membagikan kisah atau tepatnya catatan perjalanan dalam
bentuk tulisan. Zaman menggiring ke arah perubahan, dari dunia huruf berganti
dengan gambar bergerak. Dari deretan kata berganti dengan video. Document video
memang lebih menarik, kendati tidak bisa memaparkan peristiwa lebih terperinci
dan detail.
Pernah
kumenulis tentang salah satu keprihatian tentang semakin sulitnya menemukan
bahan bacaan, terutama tentang catatan perjalanan dalam dunia petualangan.
Paling-paling hanya sekelumit kisah yang dibagikan di group-group FB, khususnya
group pendaki. Sebenarnya ada keinginan untuk selalu menulis dan membagikan
cerita hidup. Tetapi ketika melihat data, bahwa tiap postingan petualanganku,
hanya sedikit atau tidak banyak yang membacanya, terus aku pun bertanya, “Buat
apa? Kalau repot-repot dituliskan tetapi tidak ada yang mau membaca. Kan niat
hati mau berbagi, kalau tidak ada yang mau, artinya aku hanya mengerjakan
sesuatu yang sia-sia.”
Keinginan
menulis itu mendadak menggeliat lagi ketika ada DM dari follower yang intinya
menyampaikan rindu pengin membaca catatan perjalananku. Karena masih aktif
mendaki tetapi kok catatan perjalanannya tidak muncul-muncul. Ternyata, ada
juga follower IG yang juga aktif memantau dan termasuk yang paling suka dan
pasti membaca tulisan-tulisanku. Sepercik sapa dalam DM itu mampu memantik
sumbu yang telah memudar.
Kali ini, aku akan berbagi catatan perjalanan
tentang pendakian seorang diri ke Gunung Sumbing via Seman (Makukuhan). Bila ada
waktu silahkan membandingkan antara membaca catatan perjalan dengan melihat document
video yang aku post di chane you tube,
Dokument
video
Dokument
dalam rangkaian kata:
Pada
hari Sabtu-Minggu, 28-29 Agustus 2021, aku sendirian berangkat dari kota Solo
mencari dan berusaha menemukan BC. Memang jalur ini tergolong baru diresmikan
sebagai jalur pendakian, walau sebenarnya ini jalur lama sebagai jalur ziarah
ke makam Ki Ageng Makukuhan yang berada di kawah Gunung Sumbing. Alamat BC di
dukuh Seman, Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung.
Untuk
menemukan BC paling mudah baik dari arah Temanggung maupun dari Wonosobo adalah
kantor kecamatan Bulu. Di samping kantor kecamatan ini ada pertigaan yang akan
menuntun ke BC. Kalau dari arah Temanggung mesti belok kiri, sedangkan kalau
dari arah Wonosobo-Parakan harus belok kanan. Kendati demikian, aku dalam
pencariannya juga tidak sesederhana informasi yang kuterima. Untuk jalanan
Temanggung-Wonosobo, memang aku sudah beberapa kali melewatinya. Istilahnya “tidak asing lah”. Tetapi kecamatan Bulu
rasanya baru pertama kali mendengar dan kini harus mencarinya. Tanya punya
tanya toh akhirnya tetap kelewatan juga hingga aku pun sampai di Parakan,
artinya harus muter balik dan menyususri jalan yang sudah kulewati. Ternyata
kecamatan Bulu berada antara Temanggung-Parakan, artinya udah sering dilewati
tetapi tidak pernah teramati dan terabaikan tidak masuk dalam endapan memori di
kepala.
Base Camp
Tepat
pukul 09.00 aku meninggalkan rumah dan tepat pula aku pada pukul 11.30 tiba di
BC. Menarik, karena BC nya jadi satu dengan Balai Desa. Maka, bisa dikatakan
kalau BC pendakiannya amat sangat megah, bersih dan didukung dengan sambutan
ramah pihak pengelola. Fasilitas yang disediakan pun sangat memuaskan, salah
satunya adalah suguhan teh panas, boleh minum sepuasnya. Ada WC-kamar mandi,
tempat tidur untuk yang mau menginap, lahan parkir yang luas, serta pemandangan
yang udah luar biasa keren. Di sini juga tersedia kopi asli setempat yang siap
dibeli untuk menemani pendakian atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Kurang
lebih 30 menit aku ngobrol asik dengan pihak pengelola BC sambil minum teh
panas. Sekaligus registrasi. Rp 25.000 untuk pendakian, Rp 10. 000 untuk parkir
sepeda motor, dan Rp 25.000 untuk biaya ojeg sekali jalan. Total biaya yang aku
keluarkan adalah Rp 60.000. Tidak berlama-lama, sekitar pukul 12.10, aku
memulai petualangan ini.
BC-Pos
Gerbang pendakian: 10 menit naik ojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).
Setelah
re-packing dan menambah perbekalan dengan air, karena musim kemarau maka di
jalur ini ikutan kering. Maka harus membawa air dari BC. Padahal menurut info
yang menggunakan aplikasi, jarak BC-Puncak sejauh 11 KM. Lumayankan, hehe. Driver Jek-Nung (=Ojeg Gunung) adalah seorang
bapak, yang fasih berbahasa Jawa. Maka sepanjang perjalanan aku banyak ngobrol
dengan beliau. Setelah lepas dari BC, akan melewati ladang dengan jalan batu
yang ditata, khas jalur-jalur gunung lereng Sumbing. Tetapi medan jalur ini
tidak melewati tanjakan-tanjakan terjal. Tidak terlalu memompa adrenalin. Lumayan
jauh. Tetapi tetap hanya butuh waktu 10 menit dan sampailah. Saat ini,
sepanjang jalur sedang dipenuhi dengan tanaman tembakau. Asyik aja sih melihat
yang hijau-hijau, hehe. Mata jadi seger.
Pos
Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.
Gerbang
pendakian berada di ujung perkebunan, bersebelahan dengan pos ojeg. Sudah ada
selternya. Bisa dipakai untuk istirahat sambil menikmati keindahan view bawah.
Yakin kalau pemandangan dari batas ladang ini sudah amat sangat keren. Apa lagi
pada saat ini, cuaca begitu cerah. Kurang lebih pukul 12.20 aku memulai jalan
kaki dari gerbang pendakian. Diawalai dengan setapak yang amat sangat jelas,
juga masih dilewati sepeda motor oleh aktifitas warga di sekitaran hutan
pinggiran.
Setelah
gerbang pendakian langsung disambut lebatnya hutan belantara. Sekitar 30 meter
lalu bertemu percabangan dan wajib memilih belok kanan, menyusuri punggungan
bukit yang datar rata, hingga sampai di Pos 1. Jadi perjalanan dari gerbang
pendakian sampai pos 1 hanya butuh waktu 5 menit. Hal ini karena pos 1 dulunya
pernah dipakai untuk bumi perkemahan. Masih terlihat bekas-bekasnya. Kelihatan
terbengkelai. Bisa jadi karena minim atau malah tidak ada orang yang mau
camping ceria di area ini. Maka dengan sendirinya, di sekitar pos ada banyak
sekali area yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.
Pos
1-2: 55 menit.
40
meter meninggalkan selter pos 1 akan bertemu dengan pertigaan, pilih saja yang
belok kanan. Kendati sampai di area ini ada beberapa persimpangan tetap tenang,
karena ada banyak papan penunjuk arah. Keadaaan hutan masih lebat dan
mengasikkan, apa lagi antara pos 1-2 masih ada banyak tanaman kopi yang terawat
dan subur.
30
menit setelah pos 1 sampailah di rest area Secindai. Di sini disediakan
para-para di beberapa tempat sehingga sangat nyaman untuk menikmati suasana
hutan. Misalkan pada saat nanjak kopi baru musim berbunga, pasti sangat asik.
Aku bertemu dengan satu rombongan yang berasal dari Semarang. Dari BC,
rombongan ini adalah sesama pendaki yang kujumpa untuk pertama kalinya.
Setelah
bertegur sapa dan mengobrol tentang seputaran pendakian dan jalur-jalur
Sumbing, aku pun mohon pamit untuk meneruskan langkah. Sebenarnya, rombongan
ini menawari agar aku bareng bersama-sama dengan mereka saja. Tetapi memang
sudah aku niatkan untuk mendaki seorang diri. Maka aku pun kembali melenggang
seorang diri menyusuri setapak yang terlihat jelas. Tetap teduh di bawah kanopi
hutan yang masih sangat lebat dan asri.
Kurang
lebih sekitar 55 menit meninggalkan pos 1, sampailah aku di pos 2.
Pos
2-3: 1 jam 10 menit.
Area
pos dua tidak bisa untuk mendirikan tenda. Karena posisi selter tepat berada di
pinggir jurang mengarah ke sungai. Di depan selter ada para-para yang sangat
nyaman untuk menikmati view bawah. Bila aliran sungai mengalirkan air, tempat
ini sangat cocok untuk perhentian. Tetapi pada saat aku lewat, sungainya
kering. Memang ada beberapa genangan yang masih ada airnya tetapi berwarna
hijau. Di pos 2 ini aku bertegur sapa dengan rombongan anak-anak mapala dari
Semarang. Mereka mendaki dalam rangka pengukuhan dan penerimaan anggota baru.
Setelah isitirahat sejenak dan berbagi cerita, aku pun melanjutkan perjalanan.
Masih sendirian melenggang menikmati pesona hutan.
Usai
menyeberangi sungai dan menyusuri lebat hutan, maka akan bertemu selter
sederhana untuk perhentian sementara bagi yang akan berbelok arah untuk
menikmati air terjun. Perlu diingat, air terjun ada hanya ketika musim penghujan
atau selama sungai masih ada aliran airnya. Aku pun tidak menyempatkan diri
untuk melihat keberadaan air terjun musiman tersebut. Aku terus melangkah,
hingga kudengar sayub-sayub di depan ada obrolan pendaki. Bisa saja ada
rombongan lain yang ada di depanku. Menurut info dari BC, hari ini hanya ada 3
rombogan yang nanjak. Artinya, rombongan yang di depanku adalah rombongan
terakhir yang akan kujumpai.
Sejauh
ini medan cenderung landai, belum kujumpai tanjakan yang menyeramkan dan
menguji nyali. Aku yang biasa tektok atau kebut gunung dan kali ini hanya
menggunakan metode semi-UL atau mix antara metode konven dengan Ultralight. Sehingga
langkah kaki bisa kupercepat tanpa harus megap-megap atau ngos-ngosan. Tak berapa
lama aku berhasil menyusul rombongan yang di depanku. Ternyata mereka hanya
berdua, seorang laki-laki dan perempuan. Awalnya aku menduga mereka sepasang
kekasih atau suami-isteri. Semakin dekat ternyata dugaanku harus aku gugurkan,
karena terlihat mereka beda usia.
Akupun
menyapa mereka dan menyempatkan diri untuk mengobrol. Ternyata mereka hanya
berteman. Obrolan demi obrolan meluncur menemani langkah kami, hingga akhirnya
aku memutuskan untuk bersama-sama dengan mereka. Hal ini aku lakukan, karena
kami sama-sama baru pertama kali menanjak
di jalur ini dan di depan tidak ada rombongan lain. Sering dalam
pendakianku kerap berjumpa dengan pendaki lain, ngobrol asik bahkan sampai
akrba, tetapi diriku jarang bertanya nama. Beda dengan dua orang ini, mereka
juga menggunakan metode yang sama dengan diriku, yaitu semi-UL. Tetapi mereka
juga terbiasa dengan metode UL. Sehingga ritme langkah kami hampir bersamaan. Tak
begitu sulit untuk saling menyesuaikan hingga terbentuklah pace yang ritmis.
Yang
cowok bernama Dede, sedangkan yang perempuan bernama Nia. Keduanya dari Jakarta
dan telah memiliki jam terbang pendakian yang tidak bisa diremehkan. Kami dengan
cepat pun menjadi akrab, bahkan panggilan “Pakdhe” mereka sematkan untuk
diriku. Ya memang aku tidak lagi muda. Tetapi aku cukup bangga dengan usiaku
yang masih memiliki kebugaran fisik yang masih prima. Hal ini aku yakini karena
banyak yang berpendapat demikian. Termasuk Dede dan Nia, mereka pun mengakui
dan memuji kemampuan fisikku. Hingga akhirnya aku titipkan satu pesan sebagai
bekal hidup, “kalau memang benar-benar mendaki gunung adalah hobi yang
mendatangkan kebahagiaan, maka milikilah pola hidup sehat, tetap jaga kebugaran
fisik dengan usahakan olah raga rutin 1 minggu 1 x. misalnya jogging ringan
sejauh 3 km. Anggap aja saat olah raga bahwa minggu depan akan nanjak gunung. Kendati
kenyataannya tidak mendaki, biar semangat aja, hehe.”
Hingga
akhirnya selter pos 3 terlihat. Kami pun menyempatkan diri untuk istirahat.
Pos
3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.
Sedikit
gambaran pos 3, berupa sebidang tanah datar dengan selter yang kecil. Pos 3
merupakan pos dengan selter untuk yang terakhir. Setelah post 3 tidak ada
selter lagi. Di sekitaran selter ada para-para yang bisa dipakai buat
duduk-duduk, juga ada tandon air berupa genangan. Namun, pada saat ini airnya berwarna
hijau. Di sini juga tersedia beberapa tempat yang bisa digunakan untuk
mendirikan tenda. Sekitar 6 tenda di tempat terpisah.
Setelah
melegakan pundak untuk beberapa saat, kami pun melanjutkan perjalanan. Selepas pos
3 setapak makin melandai dan hutannya mulai terbuka. Di sepanjang area ini,
terlihat sebagai hutan muda, artinya hutan yang baru memulihkan diri. Ada bekas-bekas
kebakaran seperti batang-batang kayu kering yang berwarna hitam. Hutan mandingan
yang baru ini tentu saja masih kecil-kecil sehingga area menjadi terbuka dan
panas. Beruntungnya kami, saat melewati area ini, kabut mulai berarak
melindungi dari garang terik matahari. Pohon-pohon mandingan ini bergulat
dengan rerumputan yang meninggi. Setidaknya sudah mencicipi keindahan sabana
Sumbing.
Sesekali
kami masih menyempatkan diri ngobrol asik sambil menikmati keindahan jalur. Hingga
akhirnya, tepat pukul 16.30, kami sampai di pos camp area “Anggrek”. Kalau
dihitung dari gerbang pendakian, kurang lebih untuk sampai camp area
membutuhkan waktu sekitar 4 jam, santai.
Sekelumit
peristiwa di Camp Area “Anggrek”
Sedikit gambaran pos camp area ini bahwa di area ini
memang dipersiapkan oleh pengelola sebagai tempat perkemahan. Maka, area ini
sudah ditata. Bidang-bidang tanah diratakan sehingga sangat nyaman untuk mendirikan
tenda. Kalau musim penghujan juga dekat dengan sumber air. Tetapi saat ini baru
kering. Area ini juga masih terlindung dari angin. Beda cerita dengan camp area
di pos 4 yang viewnya lebih keren dari camp area anggrek tetapi rawan badai. Sebap
tempatnya terbuka dan sudah tidak ada lagi pepohonan. Kalau di camp area anggrek
masih ada banyak pepohonan, kendati juga tergolong hutan baru. Tetapi ada satu
pohon yang terlihat besar dan tua. Pohon ini juga sebagai penanda kalau sedang
di atas karena di bawah persimpangan dengan jalur Cepit, pohon ini sudah
terlihat jelas.
Karena kami bertiga adalah orang pertama yang tiba di
sini, maka kami pun dengan leluasa memilih tempat. Kami petakan area yang sekiranya
aman dari serangan badai atau angin kencang. Hal ini dengan gampang kami
temukan karena ada semak perdu, maka tinggal menandai arah angin dari
pucuk-pucuk semak yang condong ke mana. Itu lah pananda arah angin. Maka kami
pun mencari semak-semak yang berdiri lurus, artinya di area itu aman dari
terpaan angin kencang.
Setelah istirahat barang sejenak, kamipun bergegas untuk
mendirikan tenda. Sesuai dengan rencana awal, aku memang tidak gabung dengan mereka. Maka tidak juga akan
menyusahkan mereka. Mereka udah menawarkan untuk joint tenda aja. Karena mereka
membawa tenda kapasitas 3-4 orang jadi pasti longgar. Tetapi aku bersikukuh
untuk mencoba menikmati selter dari fly
sheet ukuran 3x3. Sekalian mempraktikan keterampilan membikin indian-bivak
berupa prisma segi enam dari selembar kain.
Aku sempatkan untuk membantu mereka mendirikan tenda
sambil merebus air. Bermaksut agar saat tenda jadi, kopi panas juga sudah siap
untuk disruput. Kulihat mereka berdua tanpa bingung sekaligus ada kecemasan
yang terbesit. Maka, segera kutanya ada apakah? Ternyata mereka lupa membawa outer tenda doble layer-nya. Dengan sigap mereka pun menyampaikan ide kreatif
memecah masalah dengan solusi alternatif, yaitu menggabungkan fly sheet punyaku
dengan tenda mereka sehingga akan memiliki outer. Karena dalam kondisi darurat,
maka rencana awal dan idialismekupun kuretakkan demi keselamatan dan kenyamanan
bersama.
Malam mulai merangkak, gemintang di angkasa mulai
menghiasi langit dan lampu-lampu bawah memendarkan cahaya memecah gelap malam. Suasana
ini masih diramu dengan secangkir kopi hitam berpadu asik dengan aliran kristal-kristal
hidup terutama dari dunia pendakian. Dua rekanku telah membingkai raga mereka
dengan jaket tebal sedangkan diriku masih asik menikmati dingin malam dengan
hanya berbalut kaos oblong. “Pakdhe, gak kedinginan kah?” “Memang niatknya ke
gunung kan mau menikmati suasana yang seperti ini”, jawab singkatku seolah
mengisi jiwa dan benak dua rekan baruku ini.
Sepoi angin gunung menggiring udara makin sejuk menusuk
tulang. Hingga kedua rekanku pun memilih untuk rebah, nyaman dalam tenda dalam
balutan sleeping bag. Sebentar kemudian
dengkur mereka meramaikan suasana semesta. Sedangkan aku masih asik membikin
minuman hangat dan tetap menikmati malam. Hingga akhirnya sekitar pukul 22.00,
salah satu dari rekanku ini bangun dan menyapaku, “Pakdhe, belum tidur, gak
capek ya?” “Kalau capek-capek naik gunung hanya pindah tidur, lalu apa yang
dicari dan apa pula yang mau dinikmati? hehe”, kembali pernyataanku seolah
menyengat dan memberi inspirasi baru.
Kamipun berlanjut dalam tuturan kisah hidup dari
remah-remah seputar pendakian merambat ke pergulatan hidup dalam menghadapi
konsekwensi dari tiap pilihan. Hingga malam terus merangkak dan menggiring kami
untuk lelap dalam pembaringan. Berharap esok bisa bangun dengan tenaga yang
lebih prima sehingga bisa meneruskan kisah.
Pos Angggrek-4: 20
menit.
Jam
03.00 kami terjaga dan rombongan mapala sudah bersiap untuk ke puncak. Kami bergegas
membereskan perlengkapan tidur, memasak air dan membikin sarapan. Tepat pukul
04.15, kami mulai melangkah. Diawali dengan medan yang mirip-mirip sebelumnya,
sabana dengan dihiasi mandingan yang masih kecil-kecil. Menjelang pos 4 total medan
hanya berupa rerumputan, sabana. 20 menit meninggalkan camp area sampailah kami
di pos 4.
Pos 4-5: 2 jam.
Kami
tidak beristirahat, langsung meneruskan langkah. Semburat mentari pagi mulai
menghiasi horisan. Batas cakrawala pelan-pelan terlihat jelas dan memamerkan
pesona matahari terbit yang maha indah. Setapak kian menanjak. Garis zig-zag
mengular menguji nyali. Penanda pipa dengan stiker spotlight satu demi satu
telah terlewati. Tertatih kami melangkah merambati setapak untuk menemukan
penanda pos 5. Namun yang diburu tak juga memberi sinyal. Nyali kian
tertantang, namun tenaga kian koyak. Langkah mulai melambat dan nafas mulai
ngos-ngosan. Sebelum bertemu pos 5, kami malah bertemu percabangan dengan jalur
Cepit. Setelah percabangan akan berjumpa
dengan penanda arah menuju puncak Seman. Tetapi kami tidak tergoda untuk
menyambanginya. Terus melangkah hingga pos 5 kami temukan. Di sini ada beberapa
tenda, ternyata mereka semua dari jalur Cepit.
Pos
5-Segoro Wedi: 40 menit.
Meninggalkan
pos 5, kami pun melewati lembah dengan view
yang bikin geleng-geleng kepala. Keren. Medan mulai melandai dan akhirnya kami bertemu
dengan segara wedi, padang pasir yang lumayan luas. Tempatnya datar dan asik. Selepas
segara wedi, kami berpisah. Kukatakan bahwa saya agak buru-buru, maka saya pun
berpamitan untuk sampai puncak Rajawali duluan.
Segoro Wedi-Puncak
Rajawali: 30 menit.
Kutinggalkan
dua rekan baruku itu, kubergegas melebarkan langkah dan dalam sekejab sampailah
aku di Puncak Rajawali. Sekitar 10 menit aku menikmati keindahannya. Lalu turun.
Dan bertemu kembali dengan dua rekanku ini tepat dipersimpangan antara jalur
Banaran-Cepit-Seman dan jalur Garung-Batursari-Bowongso. Kutitipkan pesan, aku
akan menunggu sampai jam 11 di camp area. Lalu akan pulang duluan, karena aku
harus tiba di Solo sebelum gelap.
Saatnya
turun.
Kugeber langkah kakiku dan tepat pukul 10.00 tibalah aku
di camp area, segera kubikin masakan untuk makan pagi sekaligus siang. Usai makan
kusempatkan diri untuk menikmati pesona Sumbing sambil ngopi dan rebahan. Lalu kukemasi
barang-barangku. Kutunggu sampai jam 11.00, namun kedua rekanku tak kunjung
muncul. Kucoba sabar menunggu. Hingga rombongan mapala telah turun, kutanyakan
keberadaan kedua rekanku yang ternyata baru sampai di pertengahan pos 4-5. Padahal
ini sudah pukul 12.00, akhirnya dengan berat hati kutinggalkan mereka. Aku titipkan
tenda tanpa outer ke rekan-rekan mapala dari Semarng ini. Terimakasih ya.
Kuterus melangkah hingga tepat pukul 13.30 aku tiba di
gerbang pendakian. Kutekatkan untuk tidak menggunakan jasa ojeg. Lalu kuteruskan
langkah dan tepat pukul 14.00, tibalah aku di BC. Sambutan hangat pun kembali
kuterima dan tetap disuguh teh panas sepuasnya.
Akhirnya.
Demikian sekelumit gambaran dari solo-hiking ke gunung
Sumbing via Seman. Ada banyak makna yang kudapat. Perjumpaan dengan orang-orang
baru yang selalu memberikan inspirasi dan pembelajaran hidup. Meramu dan
merajut persaudaraan dan persahabatan dengan sesama, alam dan semesta. Menyisihkan
waktu untuk memuaskan dahagia jiwa. Memberi ruang untuk hati menemukan isi dan
mengisi kehidupan liyan. Sebuah perjalanan
yang tidak hanya sekedar menyisakan rasa letih tetapi perjalanan yang memanen
berkah alam raya. Semoga kisah sederhana ini, menginspirasi untuk selalu hidup
sehat, tetap bergerak-trengginas, dan bahagia.
Estimasi
waktu pendakian:
1. BC-Pos
Gerbang pendakian: 10 menit ngojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).
2. Pos
Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.
3. Pos
1-2: 55 menit.
4. Pos
2-3: 1 jam 10 menit.
5. Pos
3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.
6. Total
waktu dari gerbang pendakian-pos anggrek: 4 jam
7. Pos
Angggrek-4: 20 menit
8. Pos
4-5: 2 jam.
9. Pos
5-Segoro wedi: 40 menit.
10. Segoro
Wedi-Puncak Rajawali: 45 menit.
11. Total
waktu pendakian kurang lebih 8 jam. Waktu tempuh turun: hanya 3,5 jam.
Informasi
tambahan: Pada saat ini tidak ada sumber air sepanjang jalur (2 bulan tidak ada
hujan). Kalau musim hujan, sumber air melimpah. Ada di beberapa titik,
menyeberangi sungai bahkan melewati air terjun mungil. Sumber air terakhir ada
di Pos Camp Area Anggrek. Dalam situasi darurat, dekat kawah juga ada mata air,
tetapi berbau belerang dan kemungkinan besar juga mengandung belerang.
Link IG:
https://www.instagram.com/bumi_makukuhan_wonosari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar