Rabu, 27 Oktober 2021

CATATAN PERJALANAN: SOLO HIKING GUNUNG SUMBING VIA SEMAN

 

CATATAN PERJALANAN: SOLO HIKING GUNUNG SUMBING VIA SEMAN

Oleh: Heri Jimanto



Sobat petualang, kembali berjumpa dalam sebuah kisah.

Pada mulanya,

Aku begitu malas untuk membagikan kisah atau tepatnya catatan perjalanan dalam bentuk tulisan. Zaman menggiring ke arah perubahan, dari dunia huruf berganti dengan gambar bergerak. Dari deretan kata berganti dengan video. Document video memang lebih menarik, kendati tidak bisa memaparkan peristiwa lebih terperinci dan detail.

Pernah kumenulis tentang salah satu keprihatian tentang semakin sulitnya menemukan bahan bacaan, terutama tentang catatan perjalanan dalam dunia petualangan. Paling-paling hanya sekelumit kisah yang dibagikan di group-group FB, khususnya group pendaki. Sebenarnya ada keinginan untuk selalu menulis dan membagikan cerita hidup. Tetapi ketika melihat data, bahwa tiap postingan petualanganku, hanya sedikit atau tidak banyak yang membacanya, terus aku pun bertanya, “Buat apa? Kalau repot-repot dituliskan tetapi tidak ada yang mau membaca. Kan niat hati mau berbagi, kalau tidak ada yang mau, artinya aku hanya mengerjakan sesuatu yang sia-sia.”

Keinginan menulis itu mendadak menggeliat lagi ketika ada DM dari follower yang intinya menyampaikan rindu pengin membaca catatan perjalananku. Karena masih aktif mendaki tetapi kok catatan perjalanannya tidak muncul-muncul. Ternyata, ada juga follower IG yang juga aktif memantau dan termasuk yang paling suka dan pasti membaca tulisan-tulisanku. Sepercik sapa dalam DM itu mampu memantik sumbu yang telah memudar.

 Kali ini, aku akan berbagi catatan perjalanan tentang pendakian seorang diri ke Gunung Sumbing via Seman (Makukuhan). Bila ada waktu silahkan membandingkan antara membaca catatan perjalan dengan melihat document video yang aku post di chane you tube,

Dokument video

 https://www.youtube.com/watch?v=VL0taiBPaso&t=1078s

Dokument dalam rangkaian kata:

Pada hari Sabtu-Minggu, 28-29 Agustus 2021, aku sendirian berangkat dari kota Solo mencari dan berusaha menemukan BC. Memang jalur ini tergolong baru diresmikan sebagai jalur pendakian, walau sebenarnya ini jalur lama sebagai jalur ziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan yang berada di kawah Gunung Sumbing. Alamat BC di dukuh Seman, Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung.

Untuk menemukan BC paling mudah baik dari arah Temanggung maupun dari Wonosobo adalah kantor kecamatan Bulu. Di samping kantor kecamatan ini ada pertigaan yang akan menuntun ke BC. Kalau dari arah Temanggung mesti belok kiri, sedangkan kalau dari arah Wonosobo-Parakan harus belok kanan. Kendati demikian, aku dalam pencariannya juga tidak sesederhana informasi yang kuterima. Untuk jalanan Temanggung-Wonosobo, memang aku sudah beberapa kali melewatinya. Istilahnya “tidak asing lah”. Tetapi kecamatan Bulu rasanya baru pertama kali mendengar dan kini harus mencarinya. Tanya punya tanya toh akhirnya tetap kelewatan juga hingga aku pun sampai di Parakan, artinya harus muter balik dan menyususri jalan yang sudah kulewati. Ternyata kecamatan Bulu berada antara Temanggung-Parakan, artinya udah sering dilewati tetapi tidak pernah teramati dan terabaikan tidak masuk dalam endapan memori di kepala.

Base Camp

Tepat pukul 09.00 aku meninggalkan rumah dan tepat pula aku pada pukul 11.30 tiba di BC. Menarik, karena BC nya jadi satu dengan Balai Desa. Maka, bisa dikatakan kalau BC pendakiannya amat sangat megah, bersih dan didukung dengan sambutan ramah pihak pengelola. Fasilitas yang disediakan pun sangat memuaskan, salah satunya adalah suguhan teh panas, boleh minum sepuasnya. Ada WC-kamar mandi, tempat tidur untuk yang mau menginap, lahan parkir yang luas, serta pemandangan yang udah luar biasa keren. Di sini juga tersedia kopi asli setempat yang siap dibeli untuk menemani pendakian atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Kurang lebih 30 menit aku ngobrol asik dengan pihak pengelola BC sambil minum teh panas. Sekaligus registrasi. Rp 25.000 untuk pendakian, Rp 10. 000 untuk parkir sepeda motor, dan Rp 25.000 untuk biaya ojeg sekali jalan. Total biaya yang aku keluarkan adalah Rp 60.000. Tidak berlama-lama, sekitar pukul 12.10, aku memulai petualangan ini.

BC-Pos Gerbang pendakian: 10 menit naik ojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).

Setelah re-packing dan menambah perbekalan dengan air, karena musim kemarau maka di jalur ini ikutan kering. Maka harus membawa air dari BC. Padahal menurut info yang menggunakan aplikasi, jarak BC-Puncak sejauh 11 KM. Lumayankan, hehe. Driver Jek-Nung (=Ojeg Gunung) adalah seorang bapak, yang fasih berbahasa Jawa. Maka sepanjang perjalanan aku banyak ngobrol dengan beliau. Setelah lepas dari BC, akan melewati ladang dengan jalan batu yang ditata, khas jalur-jalur gunung lereng Sumbing. Tetapi medan jalur ini tidak melewati tanjakan-tanjakan terjal. Tidak terlalu memompa adrenalin. Lumayan jauh. Tetapi tetap hanya butuh waktu 10 menit dan sampailah. Saat ini, sepanjang jalur sedang dipenuhi dengan tanaman tembakau. Asyik aja sih melihat yang hijau-hijau, hehe. Mata jadi seger.

Pos Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.

Gerbang pendakian berada di ujung perkebunan, bersebelahan dengan pos ojeg. Sudah ada selternya. Bisa dipakai untuk istirahat sambil menikmati keindahan view bawah. Yakin kalau pemandangan dari batas ladang ini sudah amat sangat keren. Apa lagi pada saat ini, cuaca begitu cerah. Kurang lebih pukul 12.20 aku memulai jalan kaki dari gerbang pendakian. Diawalai dengan setapak yang amat sangat jelas, juga masih dilewati sepeda motor oleh aktifitas warga di sekitaran hutan pinggiran.

Setelah gerbang pendakian langsung disambut lebatnya hutan belantara. Sekitar 30 meter lalu bertemu percabangan dan wajib memilih belok kanan, menyusuri punggungan bukit yang datar rata, hingga sampai di Pos 1. Jadi perjalanan dari gerbang pendakian sampai pos 1 hanya butuh waktu 5 menit. Hal ini karena pos 1 dulunya pernah dipakai untuk bumi perkemahan. Masih terlihat bekas-bekasnya. Kelihatan terbengkelai. Bisa jadi karena minim atau malah tidak ada orang yang mau camping ceria di area ini. Maka dengan sendirinya, di sekitar pos ada banyak sekali area yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.

Pos 1-2: 55 menit.

40 meter meninggalkan selter pos 1 akan bertemu dengan pertigaan, pilih saja yang belok kanan. Kendati sampai di area ini ada beberapa persimpangan tetap tenang, karena ada banyak papan penunjuk arah. Keadaaan hutan masih lebat dan mengasikkan, apa lagi antara pos 1-2 masih ada banyak tanaman kopi yang terawat dan subur.

30 menit setelah pos 1 sampailah di rest area Secindai. Di sini disediakan para-para di beberapa tempat sehingga sangat nyaman untuk menikmati suasana hutan. Misalkan pada saat nanjak kopi baru musim berbunga, pasti sangat asik. Aku bertemu dengan satu rombongan yang berasal dari Semarang. Dari BC, rombongan ini adalah sesama pendaki yang kujumpa untuk pertama kalinya.

Setelah bertegur sapa dan mengobrol tentang seputaran pendakian dan jalur-jalur Sumbing, aku pun mohon pamit untuk meneruskan langkah. Sebenarnya, rombongan ini menawari agar aku bareng bersama-sama dengan mereka saja. Tetapi memang sudah aku niatkan untuk mendaki seorang diri. Maka aku pun kembali melenggang seorang diri menyusuri setapak yang terlihat jelas. Tetap teduh di bawah kanopi hutan yang masih sangat lebat dan asri.

Kurang lebih sekitar 55 menit meninggalkan pos 1, sampailah aku di pos 2.

Pos 2-3: 1 jam 10 menit. 

Area pos dua tidak bisa untuk mendirikan tenda. Karena posisi selter tepat berada di pinggir jurang mengarah ke sungai. Di depan selter ada para-para yang sangat nyaman untuk menikmati view bawah. Bila aliran sungai mengalirkan air, tempat ini sangat cocok untuk perhentian. Tetapi pada saat aku lewat, sungainya kering. Memang ada beberapa genangan yang masih ada airnya tetapi berwarna hijau. Di pos 2 ini aku bertegur sapa dengan rombongan anak-anak mapala dari Semarang. Mereka mendaki dalam rangka pengukuhan dan penerimaan anggota baru. Setelah isitirahat sejenak dan berbagi cerita, aku pun melanjutkan perjalanan. Masih sendirian melenggang menikmati pesona hutan.

Usai menyeberangi sungai dan menyusuri lebat hutan, maka akan bertemu selter sederhana untuk perhentian sementara bagi yang akan berbelok arah untuk menikmati air terjun. Perlu diingat, air terjun ada hanya ketika musim penghujan atau selama sungai masih ada aliran airnya. Aku pun tidak menyempatkan diri untuk melihat keberadaan air terjun musiman tersebut. Aku terus melangkah, hingga kudengar sayub-sayub di depan ada obrolan pendaki. Bisa saja ada rombongan lain yang ada di depanku. Menurut info dari BC, hari ini hanya ada 3 rombogan yang nanjak. Artinya, rombongan yang di depanku adalah rombongan terakhir yang akan kujumpai.

Sejauh ini medan cenderung landai, belum kujumpai tanjakan yang menyeramkan dan menguji nyali. Aku yang biasa tektok atau kebut gunung dan kali ini hanya menggunakan metode semi-UL atau mix antara metode konven dengan Ultralight. Sehingga langkah kaki bisa kupercepat tanpa harus megap-megap atau ngos-ngosan. Tak berapa lama aku berhasil menyusul rombongan yang di depanku. Ternyata mereka hanya berdua, seorang laki-laki dan perempuan. Awalnya aku menduga mereka sepasang kekasih atau suami-isteri. Semakin dekat ternyata dugaanku harus aku gugurkan, karena terlihat mereka beda usia.

Akupun menyapa mereka dan menyempatkan diri untuk mengobrol. Ternyata mereka hanya berteman. Obrolan demi obrolan meluncur menemani langkah kami, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bersama-sama dengan mereka. Hal ini aku lakukan, karena kami sama-sama baru pertama kali menanjak  di jalur ini dan di depan tidak ada rombongan lain. Sering dalam pendakianku kerap berjumpa dengan pendaki lain, ngobrol asik bahkan sampai akrba, tetapi diriku jarang bertanya nama. Beda dengan dua orang ini, mereka juga menggunakan metode yang sama dengan diriku, yaitu semi-UL. Tetapi mereka juga terbiasa dengan metode UL. Sehingga ritme langkah kami hampir bersamaan. Tak begitu sulit untuk saling menyesuaikan hingga terbentuklah pace yang ritmis.

Yang cowok bernama Dede, sedangkan yang perempuan bernama Nia. Keduanya dari Jakarta dan telah memiliki jam terbang pendakian yang tidak bisa diremehkan. Kami dengan cepat pun menjadi akrab, bahkan panggilan “Pakdhe” mereka sematkan untuk diriku. Ya memang aku tidak lagi muda. Tetapi aku cukup bangga dengan usiaku yang masih memiliki kebugaran fisik yang masih prima. Hal ini aku yakini karena banyak yang berpendapat demikian. Termasuk Dede dan Nia, mereka pun mengakui dan memuji kemampuan fisikku. Hingga akhirnya aku titipkan satu pesan sebagai bekal hidup, “kalau memang benar-benar mendaki gunung adalah hobi yang mendatangkan kebahagiaan, maka milikilah pola hidup sehat, tetap jaga kebugaran fisik dengan usahakan olah raga rutin 1 minggu 1 x. misalnya jogging ringan sejauh 3 km. Anggap aja saat olah raga bahwa minggu depan akan nanjak gunung. Kendati kenyataannya tidak mendaki, biar semangat aja, hehe.”

Hingga akhirnya selter pos 3 terlihat. Kami pun menyempatkan diri untuk istirahat.

Pos 3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.

Sedikit gambaran pos 3, berupa sebidang tanah datar dengan selter yang kecil. Pos 3 merupakan pos dengan selter untuk yang terakhir. Setelah post 3 tidak ada selter lagi. Di sekitaran selter ada para-para yang bisa dipakai buat duduk-duduk, juga ada tandon air berupa genangan. Namun, pada saat ini airnya berwarna hijau. Di sini juga tersedia beberapa tempat yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Sekitar 6 tenda di tempat terpisah.

Setelah melegakan pundak untuk beberapa saat, kami pun melanjutkan perjalanan. Selepas pos 3 setapak makin melandai dan hutannya mulai terbuka. Di sepanjang area ini, terlihat sebagai hutan muda, artinya hutan yang baru memulihkan diri. Ada bekas-bekas kebakaran seperti batang-batang kayu kering yang berwarna hitam. Hutan mandingan yang baru ini tentu saja masih kecil-kecil sehingga area menjadi terbuka dan panas. Beruntungnya kami, saat melewati area ini, kabut mulai berarak melindungi dari garang terik matahari. Pohon-pohon mandingan ini bergulat dengan rerumputan yang meninggi. Setidaknya sudah mencicipi keindahan sabana Sumbing.

Sesekali kami masih menyempatkan diri ngobrol asik sambil menikmati keindahan jalur. Hingga akhirnya, tepat pukul 16.30, kami sampai di pos camp area “Anggrek”. Kalau dihitung dari gerbang pendakian, kurang lebih untuk sampai camp area membutuhkan waktu sekitar 4 jam, santai.

Sekelumit peristiwa di Camp Area “Anggrek”

            Sedikit gambaran pos camp area ini bahwa di area ini memang dipersiapkan oleh pengelola sebagai tempat perkemahan. Maka, area ini sudah ditata. Bidang-bidang tanah diratakan sehingga sangat nyaman untuk mendirikan tenda. Kalau musim penghujan juga dekat dengan sumber air. Tetapi saat ini baru kering. Area ini juga masih terlindung dari angin. Beda cerita dengan camp area di pos 4 yang viewnya lebih keren dari camp area anggrek tetapi rawan badai. Sebap tempatnya terbuka dan sudah tidak ada lagi pepohonan. Kalau di camp area anggrek masih ada banyak pepohonan, kendati juga tergolong hutan baru. Tetapi ada satu pohon yang terlihat besar dan tua. Pohon ini juga sebagai penanda kalau sedang di atas karena di bawah persimpangan dengan jalur Cepit, pohon ini sudah terlihat jelas.

            Karena kami bertiga adalah orang pertama yang tiba di sini, maka kami pun dengan leluasa memilih tempat. Kami petakan area yang sekiranya aman dari serangan badai atau angin kencang. Hal ini dengan gampang kami temukan karena ada semak perdu, maka tinggal menandai arah angin dari pucuk-pucuk semak yang condong ke mana. Itu lah pananda arah angin. Maka kami pun mencari semak-semak yang berdiri lurus, artinya di area itu aman dari terpaan angin kencang.

            Setelah istirahat barang sejenak, kamipun bergegas untuk mendirikan tenda. Sesuai dengan rencana awal, aku memang tidak  gabung dengan mereka. Maka tidak juga akan menyusahkan mereka. Mereka udah menawarkan untuk joint tenda aja. Karena mereka membawa tenda kapasitas 3-4 orang jadi pasti longgar. Tetapi aku bersikukuh untuk mencoba menikmati selter dari fly sheet ukuran 3x3. Sekalian mempraktikan keterampilan membikin indian-bivak berupa prisma segi enam dari selembar kain.

            Aku sempatkan untuk membantu mereka mendirikan tenda sambil merebus air. Bermaksut agar saat tenda jadi, kopi panas juga sudah siap untuk disruput. Kulihat mereka berdua tanpa bingung sekaligus ada kecemasan yang terbesit. Maka, segera kutanya ada apakah? Ternyata mereka lupa membawa outer tenda doble layer-nya. Dengan sigap mereka pun menyampaikan ide kreatif memecah masalah dengan solusi alternatif, yaitu menggabungkan fly sheet punyaku dengan tenda mereka sehingga akan memiliki outer. Karena dalam kondisi darurat, maka rencana awal dan idialismekupun kuretakkan demi keselamatan dan kenyamanan bersama.

            Malam mulai merangkak, gemintang di angkasa mulai menghiasi langit dan lampu-lampu bawah memendarkan cahaya memecah gelap malam. Suasana ini masih diramu dengan secangkir kopi hitam berpadu asik dengan aliran kristal-kristal hidup terutama dari dunia pendakian. Dua rekanku telah membingkai raga mereka dengan jaket tebal sedangkan diriku masih asik menikmati dingin malam dengan hanya berbalut kaos oblong. “Pakdhe, gak kedinginan kah?” “Memang niatknya ke gunung kan mau menikmati suasana yang seperti ini”, jawab singkatku seolah mengisi jiwa dan benak dua rekan baruku ini.

            Sepoi angin gunung menggiring udara makin sejuk menusuk tulang. Hingga kedua rekanku pun memilih untuk rebah, nyaman dalam tenda dalam balutan sleeping bag. Sebentar kemudian dengkur mereka meramaikan suasana semesta. Sedangkan aku masih asik membikin minuman hangat dan tetap menikmati malam. Hingga akhirnya sekitar pukul 22.00, salah satu dari rekanku ini bangun dan menyapaku, “Pakdhe, belum tidur, gak capek ya?” “Kalau capek-capek naik gunung hanya pindah tidur, lalu apa yang dicari dan apa pula yang mau dinikmati? hehe”, kembali pernyataanku seolah menyengat dan memberi inspirasi baru.

            Kamipun berlanjut dalam tuturan kisah hidup dari remah-remah seputar pendakian merambat ke pergulatan hidup dalam menghadapi konsekwensi dari tiap pilihan. Hingga malam terus merangkak dan menggiring kami untuk lelap dalam pembaringan. Berharap esok bisa bangun dengan tenaga yang lebih prima sehingga bisa meneruskan kisah.

Pos Angggrek-4: 20 menit.

Jam 03.00 kami terjaga dan rombongan mapala sudah bersiap untuk ke puncak. Kami bergegas membereskan perlengkapan tidur, memasak air dan membikin sarapan. Tepat pukul 04.15, kami mulai melangkah. Diawali dengan medan yang mirip-mirip sebelumnya, sabana dengan dihiasi mandingan yang masih kecil-kecil. Menjelang pos 4 total medan hanya berupa rerumputan, sabana. 20 menit meninggalkan camp area sampailah kami di pos 4.

Pos 4-5: 2 jam.

Kami tidak beristirahat, langsung meneruskan langkah. Semburat mentari pagi mulai menghiasi horisan. Batas cakrawala pelan-pelan terlihat jelas dan memamerkan pesona matahari terbit yang maha indah. Setapak kian menanjak. Garis zig-zag mengular menguji nyali. Penanda pipa dengan stiker spotlight satu demi satu telah terlewati. Tertatih kami melangkah merambati setapak untuk menemukan penanda pos 5. Namun yang diburu tak juga memberi sinyal. Nyali kian tertantang, namun tenaga kian koyak. Langkah mulai melambat dan nafas mulai ngos-ngosan. Sebelum bertemu pos 5, kami malah bertemu percabangan dengan jalur Cepit. Setelah percabangan akan  berjumpa dengan penanda arah menuju puncak Seman. Tetapi kami tidak tergoda untuk menyambanginya. Terus melangkah hingga pos 5 kami temukan. Di sini ada beberapa tenda, ternyata mereka semua dari jalur Cepit.

Pos 5-Segoro Wedi: 40 menit.

Meninggalkan pos 5, kami pun melewati lembah dengan view yang bikin geleng-geleng kepala. Keren. Medan mulai melandai dan akhirnya kami bertemu dengan segara wedi, padang pasir yang lumayan luas. Tempatnya datar dan asik. Selepas segara wedi, kami berpisah. Kukatakan bahwa saya agak buru-buru, maka saya pun berpamitan untuk sampai puncak Rajawali duluan.



Segoro Wedi-Puncak Rajawali: 30 menit.

Kutinggalkan dua rekan baruku itu, kubergegas melebarkan langkah dan dalam sekejab sampailah aku di Puncak Rajawali. Sekitar 10 menit aku menikmati keindahannya. Lalu turun. Dan bertemu kembali dengan dua rekanku ini tepat dipersimpangan antara jalur Banaran-Cepit-Seman dan jalur Garung-Batursari-Bowongso. Kutitipkan pesan, aku akan menunggu sampai jam 11 di camp area. Lalu akan pulang duluan, karena aku harus tiba di Solo sebelum gelap.

Saatnya turun.

            Kugeber langkah kakiku dan tepat pukul 10.00 tibalah aku di camp area, segera kubikin masakan untuk makan pagi sekaligus siang. Usai makan kusempatkan diri untuk menikmati pesona Sumbing sambil ngopi dan rebahan. Lalu kukemasi barang-barangku. Kutunggu sampai jam 11.00, namun kedua rekanku tak kunjung muncul. Kucoba sabar menunggu. Hingga rombongan mapala telah turun, kutanyakan keberadaan kedua rekanku yang ternyata baru sampai di pertengahan pos 4-5. Padahal ini sudah pukul 12.00, akhirnya dengan berat hati kutinggalkan mereka. Aku titipkan tenda tanpa outer ke rekan-rekan mapala dari Semarng ini. Terimakasih ya.

            Kuterus melangkah hingga tepat pukul 13.30 aku tiba di gerbang pendakian. Kutekatkan untuk tidak menggunakan jasa ojeg. Lalu kuteruskan langkah dan tepat pukul 14.00, tibalah aku di BC. Sambutan hangat pun kembali kuterima dan tetap disuguh teh panas sepuasnya.

Akhirnya.

            Demikian sekelumit gambaran dari solo-hiking ke gunung Sumbing via Seman. Ada banyak makna yang kudapat. Perjumpaan dengan orang-orang baru yang selalu memberikan inspirasi dan pembelajaran hidup. Meramu dan merajut persaudaraan dan persahabatan dengan sesama, alam dan semesta. Menyisihkan waktu untuk memuaskan dahagia jiwa. Memberi ruang untuk hati menemukan isi dan mengisi kehidupan liyan. Sebuah perjalanan yang tidak hanya sekedar menyisakan rasa letih tetapi perjalanan yang memanen berkah alam raya. Semoga kisah sederhana ini, menginspirasi untuk selalu hidup sehat, tetap bergerak-trengginas, dan bahagia.

Estimasi waktu pendakian:

1.      BC-Pos Gerbang pendakian: 10 menit ngojek (kalau jalan kaki sekitar 1 jam).

2.      Pos Gerbang Pendakian-Pos 1: 5 menit.

3.      Pos 1-2: 55 menit.

4.      Pos 2-3: 1 jam 10 menit. 

5.      Pos 3-Camp Area (Pos Anggrek): 1 jam.

6.      Total waktu dari gerbang pendakian-pos anggrek: 4 jam

7.      Pos Angggrek-4: 20 menit

8.      Pos 4-5: 2 jam.

9.      Pos 5-Segoro wedi: 40 menit.

10.  Segoro Wedi-Puncak Rajawali: 45 menit.

11.  Total waktu pendakian kurang lebih 8 jam. Waktu tempuh turun: hanya 3,5 jam.

Informasi tambahan: Pada saat ini tidak ada sumber air sepanjang jalur (2 bulan tidak ada hujan). Kalau musim hujan, sumber air melimpah. Ada di beberapa titik, menyeberangi sungai bahkan melewati air terjun mungil. Sumber air terakhir ada di Pos Camp Area Anggrek. Dalam situasi darurat, dekat kawah juga ada mata air, tetapi berbau belerang dan kemungkinan besar juga mengandung belerang.

Link IG:

https://www.instagram.com/bumi_makukuhan_wonosari/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar