Selasa, 23 Juli 2019

trail run alternatif pendakian untuk mengurangi sampah gunung


TRAIL RUN:
“Sebuah Alternatif Pendakian untuk Mengurangi Sampah di Gunung”
Oleh: Heri
sabana 1 merbabu
            Salam jumpa sobat petualang. Salam lestari. Salam persahabatan.
            Kali ini, aku akan berbagi pengalaman dalam menekuni metode pendakian “Trail Run”. Aku merupakan pendaki yang mengalami hijrah dari satu “cara” pendakian ke “cara” yang lainnya. Aku menyebut diri sebagai pendaki karena yang aku pahami ketika seseorang sering mendaki gunung bisa disebut sebagai pendaki (pendaki yang aku maksudkan mungkin tidak sama dengan gambaran atau definisi dari para penggiat alam bebas). Aku pribadi juga belum memiliki segunung pengalaman. Hanya beberapa kali pernah mendaki gunung di sekitar Jawa dan yang paling sering aku daki adalah 3 gunung yang dekat dengan rumahku, yaitu Merbabu, Lawu, dan Merapi.
pasar bubrah, merapi

Di sini, aku tidak ada maksud untuk menggurui, atau merasa yang paling tahu. Tidak. Sama sekali tidak ada maksud demikian, aku hanya berbagi pengalaman. Pertama kali aku mendaki gunung di tahun 2001. Sampai hari ini, di tahun 2019 aku masih menekuninya. Aku bersyukur, karena sampai hari ini masih bisa menyempatkan diri untuk menuntaskan rinduku pada sejuk dan segar udara gunung. Minimal dalam setahun aku mendaki 2 kali. Tidak sering, tetapi layak untuk disyukuri, “Masih bisa mendaki”. Selama 19 tahun, aku banyak mengalami perjumpaan dengan berbagai aliran dan metode pendakian. Dari orang-orang yang kujumpa itulah ilmu itu menular dalam diriku.
puncak sindoro via kledung

Secara pribadi, aku memang senang mencoba sesuatu yang baru. Bila aku melihat ada metode “yang beda” dan ada kesempatan menggali  informasi tentang hal tersebut maka aku pun berkeinginan mencobanya. Khusus dalam dunia pendakian gunung, biasanya yang aku inginkan, aku coba praktekan.
gunung kukusan, merbabu

Pertama kali mendaki gunung masih terhitung sebagai pendaki “Nekat”. Modalnya adalah tekat, karena pada tahun-tahun itu perlengkapan gunung merupakan sesuatu yang mewah (sekaligus langka). Awal memasuki dunia pendakian, aku tidak memiliki perlengkapan yang standar. Berhubung yang mengajakku telah memiliki “jam terbang” tinggi dalam dunia pendakian, maka aku pun merasa “Yakin-Aman”. Temanku ini adalah asli anak lereng gunung. Ia tinggal di tengah-tengah (daerah) Merbabu-Merapi. Ia dari kecil terbiasa ikut leluhurnya untuk berziarah ke gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah. Temanku ini bisa dibilang sebagai peziarah gunung (tampilannya juga tidak seperti pendaki pada umumnya).
pos iv lawu via kandang

Ah, pada waktu itu  memang perlengkapan masih sangat sederhana. Bayangkan, mantol (jas hujan bat-man/ poncho) menjadi perlengkapan yang multi fungsi. Mantol merangkap sebagai alas tidur/ matras, jadi selimut, dan jadi pelindung/ selter darurat. Sarung adalah alat wajib karena memang serba guna. Logistik yang tidak boleh tertinggal adalah gula Jawa. Awal-awal memasuki dunia pendakian, ketemu pendaki lain adalah sesuatu yang istimewa. Bertemu pendaki lain menjadi saat yang paling melegakan (karena memang langka).
puncak lawu

Dari satu pendakian ke pendakian berikutnya menghantarku pada satu keyakinan bahwa aku memang menyukai kegiatan ini. Ada damai yang kurasa. Ada bahagia yang tidak bisa kujelaskan. Ada kepenuhan bagi dahagia jiwaku. Ada semangat yang berkobar kendati raga telah lelah dihajar tanjakan. Bagiku mendaki gunung adalah saat menemukan oasis hidup.
watu lumpang merbabu

Merasa bahwa mendaki gunung adalah salah satu caraku mengurai gundah hidup. Maka, aku pun secara bertahap mencoba membeli dan memiliki perlengkapan guna menopang kegiatan ini. Satu demi satu alat-alat utama itu terpenuhi. Seingatku di pertengahan tahun 2005, saat mau mendaki gunung Sindoro untuk pertama kalinya peralatan dasarku terpenuhi. Ada kebanggaan yang luar biasa. Menabung dan membeli secara bertahap hingga semua bisa kumiliki, dari tas carrier, jaket, tenda, sleeping bag, kompor, nesting, matras, sandal gunung (belum mampu membeli sepatu), dan perlengkapan yang kecil-kecil lainnya.
bkn porter raung

Tahun 2005 aku mengalami hijrah untuk pertama kali dari “pendaki darurat” menjadi “pendaki konvensional”. Pendaki yang siap tempur. Dengan perlengkapan mandiri yang memenuhi standard pendakian (untuk gunung-gunung di Jawa) menggiringku untuk mulai berani menjajaki pendakian ekspedisi. Artinya, untuk pertama kalinya aku beserta teman rombongan memasuki area tersebut. Satu rombongan belum memiliki atau pernah melewati jalur gunung yang akan kami daki. Berbekal pengalamaan di pendakian sebelum-sebelumnya serta ditopang dengan peralatan yang memenuhi syarat menghantarku menjelajahi setapak-setapak gunung secara ekspedisi.

bkn porter rinjani

Waktu berjalan, menemaniku untuk mengalami perjumpaan demi perjumpaan. Dinamika hidup pun ikut bergerak, berganti dan berubah. Dunia kerja yang kugeluti menghantarku untuk berlaku cerdas. Aku harus bisa memainkan waktu agar hobiku tetap jalan. Keterbatasan waktu tidak menjadikanku berhenti dan menyerah untuk tidak “nanjak”. Sabtu usai kerja, langsung ke base camp untuk melakukan pendakian. Pernah suatu kali, aku mendaki lengkap dengan seperangkat alat tempur. Sampai atas sudah pagi. Berat-berat membawa properti, yang pada akhirnya tidak terpakai (seutuhnya). Siap bermalam, membawa tenda, sampai di penghujung gunung sudah benderang. Tenda tidak jadi digelar. Situasi seperti ini, menggiringku untuk mencoba mendaki dengan model “tik-tok”.
puncak hargo dumilah

Aliran baru yang kugeluti adalah “tik-tok”, sebuah metode pendakian yang hanya membawa perlengkapan dasar, tetap mengutamakan safety. Tetapi tidak memiliki tujuan untuk menginap (tidak membawa tenda). Dengan metode ini, usai kerja aku langsung ke base camp, istirahat dulu, bahkan tidur dulu. Tengah malam baru memulai pendakian. Sehingga tepat saat menjelang sun rise, aku sudah bertengger di puncak. Model pendakian ‘Tik-tokan” yang aku tekuni lebih cocok untuk solo-hiking. Ritme disesuaikan dengan kemampuan personal. Target waktu hampir selalu akurat.
watu lumpang merbabu

Model pendakian tiktok yang kugeluti menghantarku pada pengalaman yang berbeda. Ringan di pundak, tetap safety tetapi tidak bisa menginap. Keprihatinan ini menggiringku untuk mencoba aliran pendakian yang lainnya, yaitu UL (ultralight). UL merupakan salah satu metode pendakian yang memiliki tiga prinsip, yaitu: safety, nyaman, dan ringan. Saat nanjak bisa ngacir, ringan dan tetap safety. Segala perlengkapan “siap tempur” terbawa sehingga bisa cepat tetapi juga bisa santai untuk menikmati alam dalam selter  di tengah alam. Metode tiktok dan UL lebih bersifat personal. Jadi, bisa berangkat rombongan, tetapi perlengkapan digunakan secara perseorangan. Maka, akupun lebih sering mendaki sendiri. Mau berangkat siang, atau malam atau pun pagi, aku mendaki seorang diri (solo hiking).
pasar bubrah, merapi

Sebagai pendaki yang sering  ber-solo hiking, aku jadi lebih longgar untuk bergaul dan bergabung dengan sesama pendaki lainnya. Aku menjadi lebih terbuka untuk memulai komunikasi/ pembicaraan dengan “liyan”. Pernah suatu kali, ketika aku nanjak Merbabu (juga sendirian), ketemu rombongan yang menurutku “gila”. Mereka nanjak hanya bermodalkan perlengkapan yang terbatas. Kulihat mereka hanya menggunakan tas kecil, bahkan ada yg hanya memakai tas pinggang, kecil pula. Yang semakin membuatku takjub adalah mereka berlari. Nanjak gunung tetapi dengan berlari. Ketika ada kesempatan aku pun menggali informasi tentang metode pendakian yang mereka gunakan. Ternyata mereka menggunakan metode trail run atau “kebut gunung” atau bisa juga disebut “pelari gunung’.
menuju sabana 1 merbabu

Salah satu dari rombongan itu bercerita bahwa untuk bisa menggunakan metode ini dibutuhkan beberapa syarat. Pertama, mental. Artinya punya kemampuan untuk mengatasi segala kemungkinan negatif dari kegiatan ini. Punya kemampuan orientasi medan yang mumpuni. Juga memiliki keterampilan untuk bertahan hidup (survival). Semua itu bisa didapat dari “jam terbang”. Semakin seseorang sering melakukan kegiatan di alam, ia akan semakin bisa menyatu dengannya. Kedua, adalah kekuatan dan daya tahan fisik. Bila seseorang mampu berlari di daerah bawah sejauh 5 km tanpa berhenti, ia sudah bisa mencoba metode trail run.
puncak swanting, merbabu

Dari informasi inilah, kemudian aku pun tertantang untuk mencobanya. Pertama yang kulakukan adalah melatih fisik dan daya tahan. Dari kemampuan lari sejauh 3 km, kemudian naik tingkat menjadi 3,5 km, terus naik sampai pada kemampuan 7 km. Latar belakang diriku sebagai pendaki konvensional yang telah memiliki pengalaman menari di atas setapak-setapak gunung mendorongku untuk berani mencoba metode pendakian trail run. Ternyata, mencari teman yang memiliki waktu dan keinginan yang sama sangat lah sulit. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merambah hobi baru ini secara perseorangan. Kurang lebih sampai saat ini, aku sudah mencoba metode trail run sebanyak 15 kali. Tanpa bimbingan dari mereka yang berpengalaman di bidan trail run, aku belajar secara otodidak. Informasi terus aku perkaya dari sumber belajar di internet. Jam terbang (pengalaman pribadi) semakin menyempurnakannya. Kendati demikian aku tetaplah masih amatir dalam dunia trail run. Aku terus harus belajar agar menjadi semakin ahli dan terampil.

Seingatku kurang lebih sekitar 2 tahun, aku menggeluti metode pendakian gunung dengan cara trail run. Kendati demikian, aku dlm beberapa kesempatan tetap mendaki dengan metode yang lain ( = konvensional, tik-tok, maupun UL). Dari pengalaman pribadi, kuberanikan diriku untuk mengambil kesimpulan bahwa metode trail run dalam dunia pendakian merupakan metode yang paling sedikit membawa perlengkapan. Maka dengan sendirinya sisa perbekalan yang tidak terpakai juga yang sedikit.
seluruh bekalku ada diranselku

Dewasa, ini dunia pendakian merupakan kegiatan yang baru booming. Mendaki gunung seolah-olah sudah menjadi bagian dari life style remaja pada umumnya. Gaya hidup dari kalangan anak muda salah satunya adalah “mendaki gunung”. Seolah-olah, bila anak muda belum pernah mendaki belum layak/ sah disebut sebagai anak muda. Sayangnya, geliat untuk menekuni kegiatan ini tidak diimbangi dengan kesadaran akan p[entingnya menjaga lingkungan gunung. Hampir di setiap jalur pendakian yang kulewati, sampah gunung begitu banyaknya. Kendati dari pihak pengelola base camp ataupun relawan yang melakukan operasi bersih gunung, tetapi sampah gunung masih juga menumpuk.
pos iv lawu via kandang

Oleh karena itu mendaki dengan metode trail run bisa sebagai  salah satu solusi untuk mengurangi jumlah sampah di gunung. Aku berpikir, bila ada persiapan yang matang dalam banyak hal, semua orang bisa menggunakan metode trail run.
Bagi rekan petualang, dan sobat pendaki yang masih belum memahami kegiatan ini. Pada kesempatan ini, aku mau berbagi tentang metode ini.

Trail run atau mountain running merupakan olahraga yang terdiri dari running dan hiking. Kegiatan ini berbeda dari lari di jalan aspal dan hiking biasa. Trail run dapat dijelaskan sebagai kegiatan olah raga yang menggabungkan kegiatan “lari” dan “mendaki”. Oleh karena itu trail run biasanya dilakukan di daerah pegunungan. Trail run adalah olah raga lari dengan medan gunung atau pegunungan. Sehingga medannya tidak biasa, artinya pelari akan  menemukan turunan dan tanjakan, serta jalanan setapak yang bervariasi antara tanah, rumput, kerikil, batu, selokan, sungai, dan lain-lain.

Pada prinsipnya trail run itu olah raga yang sama halnya dengan lari di jalan raya. Bedanya trail run berlari di jalur pendakian, jalur setapak di kebun teh, perbukitan, atau jalur trail lainnya. Kegiatan trail run dapat dilakukan hampir di semua gunung dengan mode trek yang memiliki tanjakan dan turunan seperti trek gunung pada umumnya. Sedangkan untuk medan lari yang berlokasi di atas 2.000 mdpl biasanya disebut Sky Running. Artinya jika cuaca mendukung, dari ketinggian tersebut pelari biasanya sudah sejajar atau di atas awan.

Dalam melakukan trail run diperlukan peralatan-peralatan khusus yang tentunya tidak sama dengan yang dibawa ketika mendaki gunung. Peralatan dalam melakukan trail run relatif jauh lebih ringan dibandingkan dengan peralatan yang dibawa ketika mendaki gunung. Beberapa perlengkapan wajib yang mesti dibawa dalam pendakian dengan metode trail run adalah sepatu, baju dan celana (pakaian), hydropack, waterblader, dan P3K.
Sepatu yang digunakan dalam kegiatan trail run biasanya dirancang khusus dan memiliki sol agresif menonjol yang umumnya lebih kaku dari sepatu lari biasa. Sepatu ini kurang ’empuk’ daripada sepatu yang dirancang untuk aspal. Selain itu, sepatunya lebih rendah yang membuat stabilitas terbaik di medan tidak rata.
Saat melakukan trail run sebaiknya pakaian yang dikenakan dapat menyerap keringat dengan baik namun memiliki kemampuan kering yang lebih cepat. Maka pilihlah kaos dengan bahan quick dry, baik lengan pendek ataupun panjang, begitupun untuk celana juga yang berbahan quick dry.

Tas ransel dalam trail run tidak sama dengan tas ransel pada pendakian. Tas ransel untuk trail run merupakan tas ransel yang kecil. Saat trail run biasanya menggunakan tas ransel sepeda atau hydropack yang berukuran kecil. Tas ransel ini berfungsi untuk menyimpan peralatan seperti air minum, makanan, obat-obatan, dompet, handphone, dan lain-lain. Keperluan lain yang diperlukan adalah aksesoris yang memiliki kegunaan tertentu, seperti topi, scarf/badana, kacamata hitam, masker, running jacket, peluit, dan snack bar. Biasanya tas ini juga didesain untuk membawa water blader atau kantung air yang disesuaikan dengan kebutuhan (ukuran 1/1,5/2/3,5 liter).

Perbekalan yang tidak boleh ketinggalan adalah P3K. Biasanya merupakan obat-obatan yang pokok, misalnya bethadine, counterpine, koyok, plester, perban, paracethamol, dan diapet. Satu hal lagi yang perlu dibawa adalah hypothermia blanket yang terbuat dari aluminium, selimut ini biasa digunakan untuk pertolongan bagi penderita hypothermia atau kehilangan panas tubuh[1].


Senin, 22 Juli 2019

catatan perjalanan solo hiking: Merbabu via Timboa


SOLO HIKING: MERBABU VIA TIMBOA
Oleh: Heri

            Salam jumpa sobat petualang. Salam lestari, salam persahabatan.
            Telah lama, aku tidak menjelajahi setapak untuk pertama kalinya. Maksutnya, lama tidak nanjak di jalur baru. Bahasa kerennya adalah ekspedisi. Ya pendakian ekspedisi, melintasi jalur pendakian untuk pertama kalinya dengan segala persiapan dan perbekalannya. Tentu ada alasan tersendidri kenapa aku lama tidak melakukannya. Sebagaimana para pekerja lainnya (kaum buruh) memang sulit untuk menyisihkan waktu demi menikmati hobinya, terutama memuaskan hobi yang butuh waktu longgar ( sekitar 2-3 hari atau lebih).
Kendala utamaku adalah waktu. Untuk menyiasati tantangan tersebut, maka aku berganti haluan. Aliran petualangan yang aku tekuni adalah pendakian tiktokan (bahasa kerennya adalah trail run). Sudah sekitar dua tahun aku telah meggeluti petualangan dengan cara ini. Tetapi belum berani untuk menapaki setapak perdana (ekspedisi). Selama ini solo trail run yang aku lakukan baru di jalur-jalur yang aku pernah atau malah sering menapakinya (dengan metode pendakian/ petualangan konvensional).
Kali ini, aku akan berbagi pengalaman solo trail run di gunung Merbabu via Timboa.


Sekilas pandang Gunung Merbabu
Gunung Merbabu, Gunung dengan ketinggian 3.142 Mdpl. Terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Salatiga, Jawa Tengah. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng sebelah utara, Provinsi Jawa Tengah. Gunung Merbabu adalah gunung api (dalam kondisi tidur) yang bertipe strato yang terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT.
Gunung Merbabu dikenal sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (=debu). Dengan demikian, gunung Merbabu adalah gunung abu. Maka, bisa ditafsirkan, gunung ini merupakan gunung berapi yang sering mengeluarkan abu. Atau malah gunung yang sering tertutup abu oleh semburan dari material gunung tetangga (Gunung Merapi). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda. 
Gunung Merbabu memiliki tujuh puncak, antara lain adalah Puncak Watu Gubuk (2.729 Mdpl), Puncak Watu Tulis/Pemancar (2.920 Mdpl), Pucak Geger Sapi (2.987 Mdpl), Puncak Syarif (3.142 Mdpl), Puncak Ondo Rante (3.110 Mdpl), Puncak Kenteng Songo (3.157 Mdpl), dan Puncak Tringgulasih (3.122 Mdpl). Jalur yang paling memungkinakan untuk menapaki ke 7 puncak ini adalah melalui jalur pendakian Thekelan (Kopeng, Salatiga)[1].

Gunung Merbabu Via Timboa
Gunung Merbabu via Timboa merupakan jalur pendakian dari lereng Merbabu sisi timur laut. Berada di antara kota Boyolali dan Salatiga. Base camp pendakian beralamat di Dusun Margomulyo, Desa Ngadirojo, Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Base camp berada di rumah salah satu penduduk. Menurut informasi base camp dikelola oleh karang taruna di bawah koordinasi dari Mas Gadek. Base camp merupakan rumah penduduk. Sebenarnya, jalur ini bukan jalur resmi dari TNGM (Taman Nasional Gunung Merbabu). Jalur ini adalah jalur para peziarah yang akan napak tilas kisah Mbah Syarif. Dengan demikian, adanya jalur ini adalah demi menampung kepentingan para peziarah yang akan melakukan perjalanan rohani.
Jalur ini sudah cukup tua (ancient rute). Sebagaimana diceritakan oleh penduduk setempat, jalur ini pun tidak ada yang tahu persis adanya dimulai semenjak kapan. Yang jelas, jalur ini akan ramai pada hari-hari khusus, misalnya menjelang malam satu Suro (malam tahun baru penanggalan Jawa). Kendati jalur ini masih merupakan jalur peziarah, pihak dusun mencoba memberi papan-papan petunjuk di beberapa titik. Hal ini dilakukan demi meminimalisir adanya korban. Mereka berharap jalur ini bisa berkembang menjadi salah satu destinasi wisata desa. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan warga terutama yang tinggal di sekitar base camp.
Sejauh aku amati, papan penunjuk jalur cukup jelas dan banyak. Bahkan juga sudah ada pos-pos perhentian, sebagaimana jalur pendakian pada umumnya. Jalur pendakian via Timboa ini langsung mengikuti satu punggungan dan tidak bertemu dengan jalur pendakian lainnya. Jalur ini langsung menuju Puncak Syarif. Menurutku karena ini bukan jalur resmi dari TNGM dan merupakan jalur peziarah yang banyak memiliki nilai historisnya sebaiknya digunakan sebagaimana mestinya.  Bagi sobat pendaki atau  sobat petualang yang tidak memahami,  tidak mau mengerti, dan tidak mau menghormati kearifan lokal juga agama asli, sebaiknya tidak mencoba jalur ini.

Transportasi Menuju Base Camp Merbabu via Timboa
            Secara umum, base camp pendakian dapat dicapai dengan mudah bila menggunakan moda tranportasi pribadi. Sebaknya tidak mengandalkan transportasi umum (karena pasti akan mengalami kesusahan/ kesulitan). Waktu aku mendaki bertemu satu rombongan dari Semarang yang mencarter angkutan kota dari terminal Tingkir Salatiga. Aku sendiri menggunakan sepeda motor. Untuk bisa sampai base camp, secara pribadi aku banyak dibantu oleh Mas Jalak Timboa (nama aslinya aku belum tahu). Beliau dengan senang hati memandu untuk bisa sampai di sana. CP nya adalah 082335387002. Atau bisa juga menghubungi pihak pengelola base camp (085740004320).
           
Simaksi Pendakian Merbabu via Timboa
Jalur Merbabu Via Timboa masih terhitung sederhana, maka simaksi hanya sebesar Rp 5.000. biaya parkir untuk sepeda motor juga sebesar Rp 5.000. (total biaya yang aku keluarkan adalah Rp 10.000).


Ringkasan Waktu Perjalanan/ Pendakian Merbabu via Timboa
Ringkasan waktu pendakian dengan metode “Trail Run” ini tidak seperti pendakian “Konvensional”. Metode pendakian ini tidak bisa santai. Ini namanya “Kebut Gunung”.
1.      Base camp - Encuring Bacing (batas perkebunan-hutan): 40 menit
2.      Encuring Bacing - Simpangan: 10 menit
3.      Pos 1. Simpangan - Pampong Seger: 10 menit
4.      Pos 2. Pampong Seger – Mainan: 35 menit
5.      Pos 3. Mainan - Ki Hajar Sampurna: 25 menit
6.      Pos 4. Ki Hajar Sampurna - Watu Tumpang: 40 menit
7.      Pos 5. Watu Tumpang - Jembatan Sirod: 10 menit
8.      Jembatan Sirod - Puncak Syarif: 10 menit
9.      NB: total waktu yang aku butuhkan untuk sampai puncak 4 jam (termasuk istirahatnya)

Keterangan titik koordinat[2] pos-pos Merbabu via Timboa:
1.      Pintu Gerbang Jalur Timboa (1514): S 07 25.535 dan E 110 27.803
2.      Encuring Bacing (1848): S 07 25.802 dan E 110 27.803
3.      Pos 1. Simpangan (1971): S 07 25.936 dan E 110 27.413
4.      Pos 2. Pampong Seger (2109): S 07 26.086 dan E 110 27.338
5.      Pos 3. Mainan (2430): S 07 26.381 dan E 110 27.213
6.      Pos 4. Ki Hajar Sampurna (2614): S 07 26.512 dan E 110 27.002
7.      Pos 5. Watu Tumpang (2899): S 07 26.689 dan E 110 26.800
8.      Jembatan Sirod (3070): S 07 26.819 dan E 110 26.632
9.      Puncak Syarif (3124) : S 07 26.985 dan E 110 26.563

Sekelumit Kisah Pendakianku
Sabtu, 6 Juli 2019, sekitar pukul 06.00, kumulai petualangan ini. Dari kota Solo pinggiran kumulai ekspedisi ini. Seorang diri kulajukan sepeda motorku menuju arah barat, Ampel, Boyolali. Sesampainya di jembatan kembar, kulihat ada plakat bertuliskan arah desa Ngadirojo. Maka kubelokkan sepeda motorku ke arah kiri. Usai melewati jembatan, kulihat di sisi kanan ada base camp Primapala, tetapi sepi. Niat hati mau menggali informasi di sini, harus kandas, karena tiada orang.
Kususuri jalanan dengan keyakinan penuh, bahwa “Timboa itu ada dan pasti bisa ditemukan”. Tidak ada petunjuk. Maka, segera kubertanya pada warga. Informasi yang samar tetap kupercaya dan kuikuti. Mentok di jalan buntu, tengah ladang. Tengak-tengok, tidak terlihat warga, terpaksa balik arah. Ketemu warga segera kugali keterangan. Kulanjutkan petualangan menyusuri jalan kampung khas daerah pegunungan, yang menanjak, menikung tajam dan ada banyak turunan curam. Kalau aku merasa ragu-ragu, bertanya dan bertanya lagi. Dari belokan setelah jembatankembar, kubertanya sampai 4 kali, hingga akhirnya ketemu juga base campnya.

Sepi, tidak ada siapapun juga. Kulirik arloji menunjuk waktu 07.00. Di pertigaan depan base camp, terlihat beberapa warga. Aku pun mencari informasi, bahwa Mas Gadek selaku pengelola utama sedang menghantar 9 tamu dari Perancis. Dari informasi ini aku malah menjadi semakin bersemangat. Kalau jalur baru saja dilewati orang yang nanjak, itu lebih mudah untuk dilacak jejak-rutenya.
Setelah memperoleh beberapa informasi yang kubutuhkan, aku pun kembali ke base camp untuk persiapan selanjutnya. Belum juga selesai aku berkemas-kemas, tiba-tiba ada satu anak muda yang kelihatannya adalah bagian dari pengurus. Ngobrol-ngobrol sebentar, lalu aku pun mencatatkan diri sebagai tamu yang akan nanjak seorang diri. Kulihat di buku itu, memang jarang ada pendaki yang lewat jalur ini. Minimal aku melihat 2 minggu 1 kali ada tamu, kadang rombongan dengan banyak personil tetapi kadang hanya tim kecil. Usai membayar simaksi. Tepat pukul 07.30, kumulai petualangan ini.

Semangat membara menghantarku berjalan menapaki jalan makadam. Tak berapa jauh dari base camp ada masjid yang sedang direnovasi, sepanjang jalan makadam ini aku bebarengan dengan seorang kakek yang akan ke ladang. Mengikuti langkahnya, nafasku mulai tersengal, sedangkan sang kakek sembari menghisap rokok hasil karya sendiri tetap tenang melangkah. Sekitar 500 meter menapaki jalan cor aku berpikir untuk menghentikan langkah tidak berjalan lagi beriringan dengan sang kakek. Tetapi beliau menunggu dan asik mengajak berbagi cerita. Akhirnya kendati tersengal aku pun terus mengikuti sang kakek. Cerita demi cerita menemani langkah kami, sehingga sang kakek telah sampai di kelokan yang akan menghantar beliau ke ladangnya.

Kulihat  batas ladang sudah di depan mata. Kukobarkan semangatku untuk tetap melangkah dan kutetapkan tekat untuk beristirahat di sana. Benarlah perkiraanku, tepat 40 menit selepas base camp aku pun tiba di selter “Encuring Bancing”. Tempat yang cukup rimbun. Tetapi tempat ini tidak cocok untuk mendirikan tenda. Kurang lebih sekitar 5 menit, aku beristirahat di sini. Tempatnya rimbun, sejuk dan masih banyak pepohonan. Usai merasa cukup beristirahat, kulanjutkan perjalanan. Mengikuti setapak yang lumayan besar dan bagus yang ditandai dengan pipa saluran air bersih. Sepanjang jalur, hutannya masih cukup rapat. Enak buat jalan. Menurutku, jalur ini adalah jalur yang paling asik. 10 menit meninggalkan Encuring Bancing, akupun tiba di Pos satu, “Simpangan”.

Pos ini lumayan cantik. Keren. Ada tempat datar untuk mendirikan 2-3 tenda dum. Dekat mata air, juga bisa melihat air terjun (khusus di musim hujan) di sebelah kanan. Pos ini dinamakan, “Simpangan”, mungkin karena memang ada persimpangan. Arah kanan menuju air terjun/ mata air yang dirawat oleh penduduk sebagai sumber air warga. Dari Pos 1 ini pendaki harus belok ke kiri, naik menuju puncak.

10 menit aku menikmati keindahan dari tempat ini. Suasana yang tercipta sungguh menyenangkan, menenangkan dan membahagiakan. Kemudian kuteruskan langkah. Usai pos ini, keadaan setapak berubah total. Bila tidak dibawah rindang pepohonan, setapak hilang tertutup semak. Tetapi syukurlah, bila di atasnya terdapat lebat pepohonan maka setapak masih terlihat jelas. Sepanjang jalur ini medannya paling landai dan masih asri karena hutannya yang masih rapat. Jarak juga tidak terlalu jauh. Hanya di beberapa tempat, setapak telah hilang tertutup semak-semak.  Sekitar 10 menit, aku sudah sampai di Pos dua, “Pampong Seger”.
setapaknya tdk terlihat
Di sini, area cukup datar dan luas, juga sangat rindang. Tempatnya lumayan rata dan bisa untuk mendirikan 4-5 tenda. Aku tidak berhenti di pos ini. Setelah mengambil beberapa foto, Aku pun melanjutkan petualangan.

Sekitar 100 meter selepas pos 2, situasi masih sama. Lebat pepohonan dengan rindang teduh cabangnya masih setia menemani perjalanan. Setelah itu, medan tantangan menjadi sangat berbeda. Medan jelajah terbuka luas tanpa perlindungan. Hamparan padang rumput setinggi dada telah siap menyambut. Rute seperti ini akan menemani  sampai pos 3. Kendati demikian, tidak serta merta jalur ini sebagai jalur penderitaan. Membuka mata dan hati untuk menangkap pesona alam adalah kunci kesejahteraan hati. Di sisi kanan ada jurang yang menganga tetapi menawarkan pesonanya, ada barisan perbukitan dan padang rumput itupun juga dihiasi bunga rumput yang setia menari manja.  Serasa berada di adegan penari film-film Bollywood. 

Kondisi jalur yang agak terjal, sempit, di beberapa tempat semak cukup padat-rapat menutup setapak sampai tidak kelihatan. Kondisi tanah yang tidak terlalu sering dilalui, membuat jalur yang banyak tertutup oleh rumput ini terasa licin. Untungnya treknya sudah dibuat zig-zag, sehingga kendati nanjak tetapi terasa landai. Sekitar 35 menit, akhirnya sampai juga di pos 3, “Mainan”.
Pos 3
Di pos 3 ini, aku beristirahat agak lama, sekitar 10 menit. Istirahat ini, aku gunakan untuk memulihkan tenaga dengan menikmati perbekalan. Ada satu tenda, mungkin ini milik rombongan turis Perancis. Aku menyapa, tetapi tidak ada jawaban, mungkin mereka sedang di atas. Dari pos ini, trek jalur terlihat jelas sampai menjelang puncak (menurut info: itu adalah puncak banyangan/ pos 5, Watu Tumpang). Di kejahuan terlihat pantulan sinar matahari yang membentur pernak-pernik pendakian. Setelah kuamati ternyata rombongan yang nanjak. Kelihatannya mereka sudah turun, aku menyimpulkan demikian karena ini pukul 09.30. Melihat ada sesama pendaki di kejahuan yang masih samar-samar, mendadak harapan dan semangatku kembali berkobar untuk segera menyelesaikan petualangan ini.

Di pos ini, terdapat area camping yang cukup luas. Tempatnya terlindung oleh semak-semak, bahkan seolah-olah area ini dipagari oleh perdu. Udaranya cukup hangat, karena angin tidak langsung bebas lewat. Ada juga banyak batang kayu kering sisa-sisa kebakaran, sehingga kalau dalam keadaan darurat bisa membikin api unggun secara gampang.
Setelah lelahku terurai, aku pun bangkit untuk meneruskan petualangan. Tetapi badanku terasa gontai. Lunglai. Medan setapak dari pos 3 ke pos 4, lumayan landai, juga tidak terselubungi oleh semak-semak. Terlihat baru saja terjadi kebakaran di sepanjang jalur. Sehingga setapak terlihat jelas. Tidak butuh waktu lama, dalam keadaan badan yang kurang prima, sekitar 10 menit aku pun tiba di pos 4, “Ki Hajar Sampurna”.

Area ini hanya berupa setapak. Tidak ada tanda-tanda sebagai tempat yang layak untuk mendirikan tenda. Mungkin sudah tertutup perdu dan semak. Aku merasa badanku kian lemas. Tenagaku terkuras. Anehnya, aku tidak berpapasan dengan rombongan pendaki yang aku lihat samar-samar dari pos 3. Mungkinkah aku berhalusinasi. Bahaya. Salah satu hantu dari petualang adalah halusinasi, yang berarti telah mengalami kelelahan tingkat dewa. Akupun berhenti. Menghela nafas. Kutepuk-tepuk pipiku. Masih sadar. Masih waras.
Sambil menghela nafas, kudongakan kepala mencoba menatap gundukan puncak PHP yang masih terlihat jauh. Aku mencoba untuk menemukan kesegaran, tenaga dan berharap bisa mengurai lelahku. Mendadak di celah semak dan pepohonan, samar-samar kulihat lambaian tangan. Aku pun membalas. Dan kudengar teriakan, “Semangat Om”. Suara itu lembut terdengar, berarti jaraknya masih jauh. Kucoba amati dan ternyata ada serombongan orang yang masih berjuang untuk mendaki. Semangatku kembali berkobar.
mencoba tetap tersenyum
Semangatku tidak sejalan dengan tenagaku. Maka aku pun kembali ke prinsip yang kuterapkan dalam menggunakan metode trail run, yaitu nanjak tidak boleh melewati pukul 12.00. Pada titik ini adalah saat aku harus memulai perjalanan turun. Tidak ada toleransi. Jam 12 berarti aku harus kembali. Maka, tujuan dari model pendakian solo trail run yang kuterapkan acuannya bukan puncak atau titik tuju tetapi waktu. Ukuran target adalah jam. Pertengahan hari adalah acuannya. Alasannya kalau turun dimulai pukul 12.00 berarti sekitar pukul 16.00 sudah sampai base camp (batasan yang kuterapkan adalah: maksimal pukul 16.00 harus sudah tiba di base camp). Sehingga ada waktu untuk beristirahat sebelum meneruskan perjalan ke tempat asal. Sejauh aku mengamati dan mengenal diriku, aku membutuhkan separo waktu dari perjalanan naik. Bila nanjak 4 jam, berarti aku butuh 2 jam untuk turun.
Kulirik arlojiku yang menunjuk waktu 09.30, berarti aku masih memiliki waktu 2,5 jam untuk bisa sampai puncak. Ini sudah di pos 4, maka sepelan-pelannya aku berjalan kiranya toleransi waktu 2,5 jam, masih cukup longgar. Kembali kubulatkan tekat, pelan dan pasti aku melangkah. Gontai langkahku. Seluruh alur jalur yang berakhir di puncak 5 terlihat amat jelas (seperti pose naga yang meliuk-liuk). Membentang sangat jauh dan itu, menguji nyaliku.
Aku terus melangkah dengan tertatih-tatih. Terlihat rombongan di depan semakin dekat. Hingga akhirnya aku bisa menyusulnya. Ternyata, mereka rombongan dari Perancis berjumlah 7 orang, 2 penerjemah dan 1 sebagai guide dan porter (Mas Gadek).

Dengan bahasa yang terbatas, kami pun terlibat pembicaraan. Yang intinya mereka memuji kecepatanku dalam mendaki. Mereka memulai pendakian pukul 01.00 dari base camp sedangkan aku memulai pendakian pukul 07.30. Aku berhasil menyusul mereka sekitar 300 meter selepas pos 4. Sembari kami ngobrol, aku mencoba menyesuaikan dengan ritme baru. Tetapi aku merasa pendakian ini akan menjadi lambat sehingga targetku tidak bisa tercapai.
Kuputuskan untuk tidak lagi bebarengan dengan mereka. Lalu, dengan sopan kusampaikan untuk mendahului. Jalur yang dibuat zig-zag, dengan beberapa titik setapak untuk potong kompas sangat membantu kelancaran perjalanan. Aku beberapa kali mengambil jalur potong kompas. Terutama untuk memudahkan mendahului 10 pendaki yang ada di depanku. Setelah berhasil melewati rombongan Perancis (yang masih berstatus mahasiswa: 2 cowok dan 5 cewek) dan jauh meninggalkan mereka, tenagaku terasa habis sama sekali.

Kupaksa diriku untuk semakin menjauh dari rombongan. Dari pengalamanku selama ini, kalau aku merasa lemas itu dikarenakan lapar (tetapi lapar yang tidak terasa lapar). Sambil mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat, pandanganku tertuju pada pohon kantigi yang agak besar dan rindang. Segera kugali sisa-sisa tenagaku untuk segera sampai di situ. Saatnya istirahat dan menikmati perbekalan.

Dari tempat ini kulihat lereng merbabu dengan mahaluasnya sabana yang seolah tiada bertepi. Terlalu indah untuk dikisahkan (bentangannya mirip dengan jalur Sindoro via Bansari antara pos 5-6). Sekitar 10 menit aku beristirahat. Suara dari rombongan turis sayup-sayup di bawah. Berarti mereka jalannya semakin lambat. Kurasa tenagaku telah pulih. Akupun bangkit, dan mulai berjalan lagi. Tidak berapa jauh aku meninggalkan tempat istirahatku, kulihat dan kutapaki jalan yang tidak seperti sebelumnya. Aku melewati gundukan-gundukan yang seolah-olah hasil dari karya manusia. Aku melewati beberapa setapak yang berupa tumpukan batu. Artinya, aku telah melewati pos 5. “Kok aku tidak melihat plakatnya. Mungkinkah sudah hilang? Atau pos 5 memang tidak berplakat?”.

Semangatku kian membara. Benarlah setelah berada di puncak PHP aku melihat adanya jembatan Sirod. Sebuah setapak yang tidak luas dengan diapit jurang di kedua sisinya. Gairahku makin bergelora lagi. Cuaca mendadak berkabut. Sesekali terpampang jelas bahwa puncak Syarif tidak lagi jauh. Usai melewati jembatan Sirod medan landai sebagai bonus atas perjuangan dahsyat. 5 menit kemudian sampailah aku di puncak Syarif. Kulirik jam tanganku dengan senyum ia menunjuk angka 11.30. Tepat 4 jam. 5 menit terakhir menuju puncak Syarif ini, pemandangan yang disuguhkan sangat bagus, luar biasa. Adanya cuma kata, “Keren”.

Rasa syukurku tiada terkira, bahwa aku masih bisa menembus petualangan ini selama 4 jam. Aku duduk di bawah pohon kantigi menikmati sejuk udara gunung dengan panorama alam yang terbentang seolah tak bertepi. Tak berapa jauh puncak Kenteng Songo dan Triangulasi melambai-lambai untuk disambangi. Tetapi aku tidak tergoda, mengingat bahwa dua hari yang lalu aku baru saja dari sana. Kesadaran ini menjadikanku semakin bersyukur atas karunia kesehatan yang luar biasa. Hari Rabu aku trail run Merbabu via Selo dan hari Sabtu berikutnya di minggu yang sama, aku sudah melakukan trail run di gunung yang sama pula, hanya beda jalur.

Sekitar satu jam aku sungguh-sungguh memuaskan diri untuk mereguk makanan jiwa dari keindahan alam Merbabu. Dari puncak Syarif ini, kunimati dengan cara hening. Selama satu jam juga tidak ada pendaki yang menjejakkan kaki di sini. Rombongan turis Perancis juga belum tiba. Akhirnya kuputuskan tepat pukul 12.30 kumulai perjalanan turun. Berharap pukul 14.30 (sekitar 2 jam) aku bisa sampai di base camp.
Rombongan Perancis saat menyeberangi jembatan Sirod
Dalam perjalanan turun ini, aku bertemu dengan rombongan Perancis yang baru menyeberangi jembatan Sirod. Setelah menyampaikan kata perpisahan, aku terus berjalan, tidak berhenti dan bahkan sempat beberapa kali terpeleset. Kurasakan lututku kian kelu. Rasanya ngilu. Istirahat sejenak di pos 3, menikmati makan dan minum, lanjut lagi. Istirahat sejenak di pos 1 untuk menghabiskan perbekalan dan menyisakan setengah botol kecil air minum (perbekalan terakhir). Kembali aku melaju hingga yang  aku targetnya tercapai. Ngobrol-ngobrol sebentar di base camp dengan beberapa relawan-pengelola. Tepat pukul 15.00, aku meninggalkan base camp dan menuju rumah (Solo).
nyampe ladang lagi

Akhir kata
            Pada setapak Merbabu via Timboa kutemukan diriku bukanlah apa-apa. Tidak ada yang layak aku sombongkan. Di atas langit selalu ada langit. Selalu ada orang-orang hebat (yang tentu memiliki kekuarangan). Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Ada kelebihan di satu sisi, tetapi tentu juga ada kekurangan di sisi lainnya. Kusadari bahwa aku harus terus menempa diri agar menjadi semakin baik dan terutama menjadi semakin rendah hati. Terimakasih Merbabu, padamu aku boleh mereguk kesejukan hati, kedamaian jiwa dan kelegaan rasa. Semoga karunia bahagiamu, membawaku untuk semakin berani bersandar pada Sang Pemberi yang utama. Biarkan jiwaku sementara berbaring dalam dekap hangatmu. Terimakasih untuk semua orang yang aku jumpai dalam petualangan ini. Biarkan senyum ketulusan itu mengalir dan menjumpai semakin banyak orang. Terimakasih untuk isteriku yang mengijinkanku untuk menimba damai dan tenang di kesunyianmu, Merbabu.