HARTA
KARUN DALAM BEJANA SEMERU
Oleh: Heri
Rintik
hujan menemani hari-hari di bulan Januari. Menyebabkan udara mulai membekukan
niat dan nyali. Cenderung malas dan enggan melakukan kegiatan-kegiatan di luar
ruangan. Dingin menyiutkan minat untuk banyak beraksi. Begitulah aku. Akhirnya,
di sela-sela waktu luangku terhabiskan di depan layar kaca. Buka Hp, bosan.
Buka tablet, jenuh. Nonton TV, gak menarik. Main internet, nyari info dan yang
paling sering adalah lihat update-an
status FB. Dari satu layar kaca pindah ke layar kaca lainnya.
Sekian
banyak tawaran dari dunia cyber, tak
mampu juga menghalau rasa dingin juga malasku. Di luar rumah hujan kian sahdu
menari manja. Rintik air itu membawa berkah sekaligus menyisipkan
serpihan-serpihan kenangan. Ketika sejuk udara menyusup dalam belulangku
serentak memori kepalaku menukik menuju kenangan-kenangan di ketinggian.
Kutengok
satu persatu album pendakianku. Dari satu file
pindah ke file berikutnya. Hingga
dipenghujung nostalgia, mataku tertuju dari satu foto ke foto yang lainnya,
namun bayang yang hadir diingatanku adalah peristiwa yang penuh makna.
Saat
itu, mentari mulai merangkak pelan menuju singgasana kebesarannya. Sinar
matahari pagi yang menyusup di celah kamarku, mengganggu manja tidurku. Hari
libur semangat malas harus dihidupkan. Tetapi tidak dengan hari ini. Aku harus
semangat. Liburan tidak boleh hanya diisi dengan malas-malasan dan hanya tidur
tanpa peduli waktu. Sesuai rencana nanti malam, aku dan isteriku bersama 5
sahabat akan memulai petualangan, menjelajah setapak dan terjalnya tanjakan
Semeru. Sudah lama kami mencita-citakan untuk bercengkerama dengan atap
tertinggi Jawa. Koin demi koin telah kami kumpulkan agar dana cukup untuk
menjembatani niat hati.
Segera
kurapikan tempat tidurku untuk menuju karma mandi. Minggu, 4 Agustus 2013 aku
akan melengkapi diri dengan perbekalan. Ada tujuan yang tidak bisa ditawar
yaitu demi lancarnya petualangan. Isteriku pun dengan riang menyiapkan sarapan.
Setelahnya, kami pun bergegas untuk belanja logistik. Walaupun aku sudah pernah
menapakkan kaki di Semeru dan aku juga tahu kalau logistik melimpah di pasar
Tumpang. Namun, 6 sahabat petualangku belum pernah. Dapat dipahanmi kalau
kekhawatiran masih menyelimuti benak.
Usai berbelanja, yakin kalau tidak
ada yang tercecer. Hati pun gembira. Namun, peristiwa buruk menimpa betisku.
Panas knalpot di tempat parkir berhasil menandai kakiku. Perih terasa. Kakiku
pun agak malas untuk digerakkan. Rencana telah matang, aku tidak ingin
gara-gara peristiwa ini semuanya menjadi gagal. Rencana tetap harus jalan.
Perih di kakiku tidak aku pedulikan. Namun, perih tetaplah perih. Isteriku
segera mengobatinya. Nampak ada kekhawatiran di bening bola matanya. “Gimana
mas lukanya? Kira-kira menggangu gak entar?”
“Gak pa-pa. yakin ae. Entar kalau
nanjak malah jadi sembuh.”
“Kok bisa?”
“Kan seneng, hehe.” Aku pun
menikmati kebohonganku, agar kecemasan itu berlalu darinya.
Siang merangkak pelan menju sore. Packing telah usai. Saatnya mendulang
energi. Istirahat cukup aku agendakan agar perjalanan panjang menjadi penuh makna. Saat waktu menunjuk titik 22.30,
itulah saat pertemuan untuk kemudian bersama mengayunkan langkah. Setelah makan
malam dan menikmati acara televisi yang didominasi hiburan murahan, aku dan isteriku
siap-siap berangkat. Tepat pukul 22.00, aku dan isteriku meninggalkan pelataran
rumah menuju stasiun Balapan Surakarta.
Seperempat jam perjalan telah
menghantar motorku tiba di stasiun. Terlihat di teras stasiun, Thomas Agung
Waskito yang akan selalu dipanggil Timbul. Baru seorang diri, berarti yang
lainnya belum datang. Aku dan isteriku menembapati urutan kedua. Tidak berapa
lama, Yessia Amanda yang akrab dipanggil Pink
muncul dihantar oleh pacarnya, Eko. Hampir bersamaan, datanglah Yudi dan Yulius
Andre Pursita (akan sering dipanggil Sempak.
Panggilan yang paling jorok). Rombongan terakhir yang datang ialah E Andi
Kristanto (memiliki panggilan paling feminim, “Emma”). Emma sengaja datang
paling lambat karena rumahnya memang dekat dengan stasiun. Semua rombongan
telah tiba. Pasukan seven happy telah lengkap dan semuanya membawa tas kerir.
Seolah akan meninggalkan peradapan kota berbulan-bulan. Tetapi tasku terlihat
yang paling juara. Paling gede.
Maklumlah, namanya juga pemula (pendaki muka lama). Cek terakhir telah usai.
Semuanya telah siap. Komplit. Jam 23.00 kami masuk ke area stasiun dan tepat
pukul 23.10 keretapun berangkat.
Tiket yang dipesan Timbul sebulan
sebelum keberangkatan, memposisikan kami di lokasi yang berdekatan sehingga
kami bisa bersama. Berbagi canda, berbagi kisah dan yang paling penting adalah
berbagi ceria. Akrab terjalin dalam ikatan bangku kereta ekonomi, mataremaja.
Hingga, mata dan raga yang lelah melelapkan kami. Cahaya fajar membuyarkan
nyenyak tidur. Kucoba lihat panorama di balik jendela. Ternyata kereta telah
tiba di stasiun lama, Malang. Sekitar 10 menit lagi kami akan tiba di tujuan
dengan selamat. Tepatlah perkiraan, Senin 5 Agustus 2013 saat waktu menunjuk
angka 05.40, kereta tiba.
Segera, kami berbaris di depan kamar
mandi untuk mengurangi beban diri. Cuci muka, gosok gigi. Segar terasa. Lalu,
kami segera keluar area stasiun. Sopir angkutan dan calo berebut menawarkan
jasa yang alot. Tawar menawarpun berlanjut dengan kesepakatan, Rp. 90.000 untuk
7 orang. Tepat pukul 06.00, kami meninggalkan Malang menuju Tumpang.
Angkutan
melaju menuju selatan. Berkelok jalanan menembus padatnya kota. Hingga bertemu
dengan medan menukik dan berkelok. Jalanan mulai menanjak. Tidak membutuhkan
waktu lama, hanya 20 menit pun kami telah tiba di pasar Tumpang.
Segera,
kami pun didatangi oleh para calo. Kami, pura-pura tidak berminat. Mereka terus
merajuk dan kami hanya bergeming. Hingga akhirnya aku melihat ada rombongan
lain yang telah berhenti di sana. Timbul berinisiatif untuk menyapa dan
bertanya, “Udah dapat kendaraan mas?”
“Udah.
Tapi masih nunggu barengan. Ikutan
kami aja. Tu tanyakan langsung ma sopirnya”
“Berapa
sih mas, nyampai Ranu Pani”
“Semua
sama kok mas. Mo dinaiki berapa pun, yang jelas satu truk, tarifnya Rp.
350.000. Rombongan kami 8 orang. Kalau ditambah dengan rombongan mase, jadi 15 orang bisa menekan biaya
banyak”
“Trims infonya. Sebentar ya mas, aku tanyakan
pada teman-temanku”.
Timbul
pun melapor kepada rombongan. Tanpa banyak pertimbangan, kami segera
mengiyakan. Tetapi dengan satu syarat, kami mau sarapan dulu. Mereka mau
menunggu. Segera kami pun menaikkan tas kerir ke bak truk. Kami juga melengkapi
perbekalan. Belanjaan dirasa kurang. Maka, kami pun berburu di swalayan juga
pasar tradisional. Logistik berlipat. Seolah mau hidup di gunung sebulan.
Kami
bertujuh segera berlomba untuk mendulang energi dari nutrisi. Kami mencari
makan sesuai dengan selera masing-masing. Baru kutemui masakan rawon yang paling
enak. Dan aku baru sadar kalau rawon adalah masakan khas Malang. Tidak heranlah
kalau rawonnya mantap. Posisi warungnya tepat berada di depan pasar Tumpang.
Usai
sarapan, kami tidak menunda waktu untuk segera menuju ke tempat truk berada.
Teman-teman Tangerang telah menunggu lama. Saat kutengok jam tanganku yang
menunjuk angka 07.50, kami pun meluncur menuju Ranu Pani.
Sahabat-sahabat
pendaki ternyata cukup memahami situasiku. Sebagai keluarga muda, kami diberi
kesempatan untuk duduk di depan. Duduk di samping sopir. Sehingga mata dengan
leluasa menikmati panorama alam sepanjang perjalanan. Sedangkan teman-teman
lainnya terdengar renyah penuh canda tawa di bak belakang. Kegembiraan khas
anak muda. Jalanan meliuk, berkelok, menanjak, curam dan terjal. Adrenalin pun
terpacu dengan sendirinya. Selepas desa terakhir, Ngadas medan menjadi sangat
lengang. Jalanan membelah hutan dan perbukitan. Kanan kiri terlihat jurang
menganga berpadu harmoni dengan lebatnya hutan yang masih sangat rapat. Deretan
pegunungan yang menghijau berselimutkan tipis kabut pagi menyajikan keindahan
alam yang tidak terbahasakan.
Tidak terasa perjalanan sebentar lagi akan
berakhir, pertigaan yang menunjuk Ranu Pani dan Bromo telah kami lewati.
Mendadak truk berhenti. Aku pikir ada yang tidak beres dengan angkutan ini.
Tapi inilah petualangan. Ada banyak kemungkinan. Lancar yang diharapkan. Tetapi
kenyataan sering berbicara beda.
“Mas,
gak turun dulu. Tu temen-temene pada turun semua,” tanya sopir.
“Ada
apa to pak, kok berhenti?”
“Katane
pada mau nikmati panorama segoro wedi
Bromo. Turun aja dan gabung ma temen-temene.”
Dugaanku
meleset.
Lalu,
aku dan isteriku pun turun dan kami menikmati keindahan lukisan alam yang
membentang. Lekuk-molek perbukitan deret pegunungan Bromo terlihat begitu
menawan. Untuk beberapa saat kami terkesima dengan lukisan Sang Pencipta. Dan
kami pun mengabadikan sejarah ini dalam bingkai gambar.
20
menit kemudian kami pun telah tiba di desa Ranu Pani. Kabut turun dengan
pekatnya. Gerimis pun membasahi bumi. Seolah semakin menyejukkan jiwa kami yang
dahaga karena kesibukan dan penat pekerjaan. Hamparan indah danau Ranu Regulo
dan Ranu Pani tidak begitu jelas terlihat. Samar pinggiran danau menegaskan
bahwa sebentar lagi kami akan tiba di basecamp. Biasanya truk dan angkutan akan berhenti
dipinggir danau, tetapi truk yang kami tumpangi tidak begitu. Kata sopirnya,
“Hari ini, musim pendakian lagi sepi mas. Menjelang lebaran. Maka, saya akan menghantar
sampai basecamp. Mas dan rombongan tidak perlu berjalan.” “Trimakasih pak.”
Jawabku singkat.
Jam 10.00 kamipun tiba. Hati sungguh merasa
bahagia. Keceriaan terpancar dari wajah lusuh kami. Segera kami pun mengurus
administrasi perijinan. Tidak terlalu ribet karena kami telah mempersiapkan
semuanya, dari materai, surat kesehatan, daftar barang bawaan dan tentunya
adalah biaya pendakian. Lalu kami beristirahat untuk beberapa saat sebelum
memulai petualangan hutan.
Suasana
basecamp tidak terlalu ramai. Hanya ada dua rombongan yang turun dan dua
rombongan yang akan memulai pendakiannya. Maklumlah, menjelang hari besar umat
muslim. Dua hari lagi kan lebaran. Kami terus bercanda, tertawa reyah dan lupa
untuk beristirahat dan tidur sebentar.
Hari
mulai merangkak siang. Kabut tebal masih betah menyelimuti bumi. Gerimis lembut
juga masih bertahan. Namun semuanya itu tidak akan menyiutkan nyali kami.
Bahkan malah menjadi penyemangat. Hati semakin berkobar-kobar. Di tengah
asiknya kami ngobrol, tiba-tiba ada serombongan pendaki yang mendatangi kami,
“Mas mau nanjak ya?”
“Iya.
Masnya dari mana?” Jawab Timbul dengan antusias.
“Solo.
Entar nanjak bareng ya. Soalnya kami belum ada yang pernah ke sana.”
“Podo Solone. Monggo.”
Sesama
Solo bertemu di satu titik yang tidak pernah direncanakan. Kami segera akrab. Tawa-tawa
renyah pun berhamburan dari bibir kami. Hingga, akhirnya aku tahu nama-nama
dari mereka, yaitu Herry, Bagus dan Fajar Asyuri. Lelah raga berganti dengan
keceriaan membawa kami pada waktu yang dinantikan. Tidak menunggu lama saat
jarum jam berada pada titik 11.50 kamipun dengan semangat berkobar meninggalkan
Ranu Pani untuk bercengkerama dengan indah barisan pepohonan Semeru.
Pasukan
seven
happy plus tiga teman semua merupakan anak-anak muda. Kecuali aku dan
isteriku. Tentunya, tenaga mereka berlipat bila dibandingkan denganku. Mereka
melesat meninggalkan aku dan isteriku jauh dibelakang. Aku sengaja mengambil
posisi belakang, karena aku pernah menapakkan kaki di medan petualangan ini.
Seandainya aku tidak mampu mengejar mereka, paling tidak modal pengalaman dan
bekal yang save menjadikanku merasa
tenang. Aku dan isteriku menikmati perjalan ini. Pelan-pelan kakiku melangkah.
Berat barang bawanku telah mematikan rasa pada pangkal lengan dan pundakku. Aku
berusaha tegar dan tidak mengeluh. Aku khawatir kalau isteriku menjadi was-was.
Cuaca
masih diselimuti kabut. Hingga matahari tak mampu membelai wajah lelahku.
Kaki-kakiku terus menapak. Luka bakar bekas knalpot masih nyeri terasa. Tapi
aku abaikan. Aku lanjutkan perjuangan. Isteriku terlihat gembira. Ia sungguh
menikmati pendakian ini. Jalanan masih rapi tertata. Setapak telah berpaving.
Beda dengan pendakianku yang lalu. Sehingga kaki-kaki ini mantap untuk menapak.
Kendati demikian, aku lebih memilih jalan tanah. Hingga dalam waktu 45 menit
(pukul 12.35), kami tiba di pos Ladengan Dowo.
Aku yakin ini merupakan perjalan yang sangat cepat. Diriku yang tertatih saja
hanya 45 menit. Tentu teman-temanku tidak sampai 40 menit.
Aku
istirahat sebentar. Terutama aku berjuang untuk memberi rasa longgar pada
pundakku. Isteriku tidak terlihat kelelahan. Ia masih bersemangat, “Gimana Mas?
Masih bisa lanjutkan?”
“Siap.”
Jawabku singkat. Di pos ini kami, didahului oleh sekelompok pendaki. Terlihat
masih sangat muda. Property yang dikenakan terlihat masih baru. Mereka sungguh
penuh persiapan untuk mencapai puncak Mahameru. Atau mereka hanya segerombolan
pendaki baru. Ah kenapa aku yang pusing mikirin mereka. Lelah kakiku kudorong
untuk lebih bisa tegak menopang niat dan bekalku. Nafas tuaku mulai tersengal.
Aku tertatih untuk melaju. Pelan satu persatu pendaki muda telah kulalui.
Mereka terlihat semangat di depan. Tetapi lupa untuk mengatur strategi tenaga.
Pengalaman akan membuktikan siapa yang akan bertahan.
Rombongan
seven
happy juga satu persatu mulai terseok. Perlahan ada juga yang kulewati.
Aku menjadi lebih berapi-api. Hingga akhirnya dalam waktu 45 menit aku dan
isteriku tiba di selter pertama. Di sini kami berjumpa dengan dua rombongan
besar. Aku lupa bertanya dari mana mereka. Kami pun tanpa menunda waktu
langsung akrab. Obrolan demi obrolan melaju mengobati lelah raga. Pasukanku
telah komplit. Pendaki ada yang datang dan pergi. Badan kembali segar. Semangat
juga semakin membara. Langit masih disembunyikan kabut pekat. Kami pun segera
bergerak. Dalam waktu 30 menit sampilah kami di selter 2.
Setapak
masih landai. Selepas selter 2, medan terjal bebatuan mulai menemani langkah
kaki. Dari selter 2 kami diberi bonus karena medan turun. Setelah itu, kami
kembali dimanjakan medan datar hingga sampai Pos II, Watu Rejeng. Dinamakan Watu Rejeng karena di sisi kanan perjalanan,
kami seolah berada di bawah tembok raksasa. Kami seolah dibawah tebing bebatuan
yang tinggi menjulang. Namun lebatnya vegetasi mampu menyembunyikan garis-garis
tembok batu itu. Hingga pagar batu itu tidak terlalu jelas. Dari selter 2, hanya
butuh waktu 20 menit untuk tiba di pos ini.
Gerimis
makin memacu niat kami yang ingin segera mendirikan tenda di keindahan alam
Ranu Kumbolo. “Pak masih jauhkah rakumnya?” Tanya Andre sempak.
“Bentar
lagi. Tinggal dua tanjakan”, jawabku penuh dengan kebohongan. Aku bermaksud
mendongkrak semangat. Karena kutahu perjalanan masih jauh. Bahkan masih
sangat-sangat jauh. Jelas sekali terlihat dari papan penunjuk arah di pos II,
bahwa dari Watu Rejeng menuju Ranu Kumbolo masih 4,5 km. Apakah mereka tidak
membaca keterangan tersebut. Biarlah ketidaktahuan mereka menjadi penyemangat
yang tersembunyi.
Satu tanjakan telah berlalu, munculah tanjakan
kedua. Hati para sahabat mulai berbinar. Namun ujung perjalanan dengan indah danau
rakum belum juga ada tanda-tanda. “Katanya dua tanjakan. Mana rakumnya pak?”
Tanya Pink berharap dalam cemas.
“Satu
tanjakan lagi”
Kulihat
mereka masih berkobar. Setapak yang tidak terlalu menanjak menjadi pengobar
gairah untuk segera mendekap nyaman dalam tenda. Terlihat atap seng yang roboh
dikejahuan. Mereka bersemangat. “Itu posnya sudah terlihat”, teriak Emma.
“Lha
kok bukan rakum tapi selter III”, celoteh Yudi yang agak kecewa.
“Istirahat
dulu. Tinggal dua tanjakan kok”, jawabku menghibur.
“Dari
tadi kok dua tanjakan. Ini dua lagi. Entar dua lagi. Pak Heri ki hanya ngasih
PHP”, seloroh Pink.
“Nyantai
ae. Entar juga nyampai. Sekarang nikmati jambu dursononya”, aku menawarkan
bekal istimewaku. Jambu yang sangat khas, nikmat di daerah dingin dan agak di
benci di daerah panas. Kulirik jam tanganku, baru jam 16. 00. Aku yakin sebelum
gelap pasti akan tiba di rakum.
Setelah
energi terpenuhi dan juga semangat yang kembali membara, kami melanjutkan
langkah. Setelah berhenti, langkah pertama kami dihadapkan pada tanjakan yang
cukup menantang, sekitar 45 derajat lah kemiringannya. Setelah menyelesaikan
tantangan pertama ini, kekuatan raga dari teman-temanku mulai memudar dan
memaksa koyak langkah. Tertatih dan semakin pelan. Hingga tidak terasa. Aku dan
isteriku telah menjadi yang terdepan. Hanya Yudi yang mampu terus mengikuti
langkahku. Yang lain jauh di belakang.
Tanjakan ringan dan tikungan landai tidak lagi mampu mendongkrak gairah. Mereka
tetap jauh tertinggal di belakang.
Aku,
isteriku dan Yudi bersama rombongan tiga teman baru melangkah penuh gairah.
Kali ini aku tidak akan memberi PHP, kukatan, “Tinggal satu tikungan maka kita
akan melihat keindahan rakum. Semoga kabut tidak meutupinya”.
“Beneran
to pak”, sahut Herry.
“Buktikan
aja.”
Tiga
orang ini, memang masih muda. Maka mereka melesat meninggalkan aku, isteriku
dan Yudi. Benarlah yang aku katakan, samar terlihat indah danau rakum yang
membiru dengan riak rianya. Sungguh kubersyukur telah mencapai titik ini.
Kendati tidak dapat kupungkiri kalau pundakku benar-benar tidak lagi punya
daya. Isteriku masih penasaran karena belum mampu melihat samar rakum. Namun
ekpresi kegembiraan dari Yudi menegaskan kalau aku tidak memberi PHP.
Aku
mencoba mendongkrak semangatnya. Kubiarkan Yudi mengejar tiga teman yang lain.
Aku berharap ia mau menunggu di selter IV. Merangkak pelan dengan tertatih dan
asa yang hampir habis tibalah aku dan isteriku di selter IV, tepat pukul 16.30.
Di sini tiga teman dan Yudi telah beristirahat dan menikmati indah panorama
rakum. Kuletakkan tas kerirku yang sebesar kulkas dua pintu itu. Tiga teman
berpamitan untuk segera mendirikan tenda. Kutahu bahwa perjalanan masih sekitar
15 menit untuk sampai di selter rakum. Yudi, aku dan isteriku menikmati
panorama sambil menunggu teman-teman seven
happy komplit lagi.
Dari
kejauhan Emma maupun Timbul juga Andre terus berteriak memanggil. Terdengar
mereka berteriak girang saat melihat ujung danau. Aku yang telah mengalami hal
yang sama hanya bisa tersenyum membayangkan eufhoria
mereka. Saat waktu, berada pada titik 17.00 semua telah tiba. Istirahat sebentar.
Kutawarkan untuk mendirikan tenda di dekat selter atau dekat dengan pos prasasti.
Serempak menjawap, “Prasasti”. Mereka telah tahu kalau di sana bisa menikmati
keindahan sunrise yang berpadu
harmoni dengan datar panorama danau. Kami pun segera melanjutkan langkah. Kami
lalu menuruni bukit, menyusuri tepian danau untuk mencari tempat mendirikan
tenda. Kutunjukkan tempat yang langsung bisa menikmati keindahan mentari
terbit. Lalu mereka pun mengikuti saranku. Ternyata tiga teman dari Solo telah
berada di sana. Akhirnya tenda kamipun bertetangga. Saat naungan tenda kami
berdiri kokoh untuk mendekap kami, saat itu kulihat jam tangaku yang tepat pukul
17.30.
Saatnya
masak-memasak. Menu spesial dengan bumbu rahasia siap untuk dioperasikan.
Meracik bumbu. Mengolah materi mentah hingga siap untuk disantap. Keceriaan
yang dibingkai dengan canda tawa, mampu mengusir dingin malam. Kabut masih
tebal. Hingga rintik air pun sahdu menemani riang kebersamaan. Tujuh orang
dengan empat tenda. Kami seolah mendirikan kampung pendaki. Sekitar 100 meter
dari tenda kami terdengar riuh tawa-tawa pendaki mengusir dingin malam dengan
keceriaan. Namun dinginnya rakum yang dikuatkan oleh kabut pelan dan pasti
mengalahkan gairah untuk bercengkerama dengan malam.
Semua
telah siap. Kami pun dengan lahap menikmati menu spesial olahan chef petualang hutan. Semenjak pagi kami
hanya bertemu dengan nasi saat masih di Tumpang. Tidak mengherankan kalau malam
ini, nasi menjadi barang yang sangat nikmat.
Perutpun
kenyang. Hati senang. Dengan segera lelah raga mengajak manja bersembunyi dalam
nyaman sleeping bag. Rintik hujan
yang manja berpadu dengan kabut pekat yang makin menyempurnakan dinginnya
pegunungan, tidak mampu membinasakan kebiasaanku untuk sejenak menikmati hening
alam pegunungan lengkap dengan dingin malamnya. Setelah membuat secangkir kopi,
aku pun keluar tenda. Segera tubuhku pun menggigil kedinginan. Tetapi aku
berjuang untuk menerima kenyataan itu agar suasana yang unik ini dapat
kunikmati. Segera kukumpulkan ranting-ranting sisa api anggun yang beserakan.
Kusatukan dan kuusahakan untuk bisa menarikan kehangatan api unggun. Emma yang
tahu kebiasaanku pun ikut keluar tenda. Ia yang terkenal sebagai sarjana
api-api mengambil alih inisiatifku untuk mencipta kehangatan.
Api
unggun telah siap. Kendati tidak besar, tetapi cukup membantu mengusir dingin
malam. Teman-teman yang lain makin ciut nyali, lebih memilih nyaman dalam
tenda. Ada yang renyah bercanda namun ada pula yang mengalunkan dendang
dengkuran. Aku dan Emma lebih asik menikmati suasana malam di luar tenda.
Hangatnya secangkir kopi, sebatang rokok beserta tarian nyala api yang tidak
terlalu besar menggiring kami untuk asik larut dalam obrolan. Sisa ranting
mulai menipis, kopipun telah habis, raga yang memang diambang batas tidak mampu
menopang kami untuk terus berhaga. Akhirnya, kamipun menyusul teman-teman untuk
mendulang tenaga. Nyaman dalam istirahat. Selamat malam dan selamat boim.
Malam
terlalu mujarab untuk membius kami dalam nyaman tenda. Pagi merekah dengan
kegamangan. Kabut pekat masih juga mampu menyembunyikan mentari. Kehangatan
sinar yang kami rindukan tidak juga berujung. Namun, guncangan naga dalam perut
tak mampu mempertahankan rasa malas. Lapar tetaplah menuntut untuk diberi
sesajen.
Kami
pun segera bangun untuk menyiapkan sarapan. Rencana untuk menyajikan hidangan
istimewa pendakian telah kami siapkan. Nasi telah matang, minuman hangat
tersedia, lauk kelas atas pun telah menggoda serta cuci mulut berupa kolak
pisang siap mengakhiri pesta ala pendaki. Sengaja, kami menyiapkan pendakian
ini, tidak hanya sekedar mendaki tetapi sekaligus rekreasi. Tidak mengherankan
kalau perjalan kami agak sedikit disusahkan dengan logistik yang berlimpah.
Saat semua makanan telah siap untuk menegaskan
kembiraan hati, alam seolah berpihak pada kami. Kabut yang menutup alam terbuka
dengan pelan. Keindahan Ranu Kumbolo mengundang decak kagum. Selimut tipis
kabut memendarkan warna yang eksotis. Akhirnya, kami pun menggelar matras tepat
di depan tenda, menghadap Rakum. Sungguh pendakian yang luar biasa, makanan
yang sangat istimewa kami nikmati dengan cara yang istimewa pula. Yang ada
hanyalah kegembiraan demi kegembiraan. Hingga kami tidak menyadari bahwa kami
telah diselimuti kebahagiaan yang tidak terbahasakan.
Perut
telah terisi, mentari juga asik
merangkak pelan. Kami putuskan untuk berbenah. Walau kami berat meninggalkan
keindahan ini. Namun, ini bukanlah tujuan akhir petualangan. Tenda pun kami
bongkar, packing dan siap melaju
menuju pos berikutnya. Tepat pukul 12.50, kami pun meninggalkan rakum untuk
menikmati petualangan berikutnya.
Kendati
kami semua tahu tentang mitos “tanjakan cinta” Semeru, tidak ada salahnya kami
pun mencoba menggapai mimpi dengannya. Setelah istirahat malam yang memanjakan
raga, sarapan sekaligus makan siang yang mengeyangkan, tidak mengherankan bila
telah mampu membius raga kami. Ibarat mesin tanpa pemanansan, maka secara
otomatis tidak akan mampu berkompromi mengejar kecepatan. Satu persatu kami pun
tumbang membawa mimpi. Aku dalam hati juga membawa harapan, maka aku pun
meneguhkannya dengan berjuang menapaki setapak “tanjakan cinta”.
Selangkah
demi selangkah kutapakan kaki tuaku. Menanjak pelan bahkan sangat pelan.
Pengalaman pendakian dan motivasi yang kuikat dalam harapanku mendorong asa dan
niatku. “Pak, berhenti sebentar. Ada yang tepar,” teriak Andre Sempak. Aku tahu
itu hanya godaan, agar aku menoleh kebelakang, “Urus aja”. Aku pun terus
menapak. “Wis tuo. Gak usah ngongso pak”, Timbul juga menggoda. Aku hanya
tersenyum. Dadaku mulai memanas, nafasku pun tersengal dengan hebat. Sambil
melambatkan langkah yang sudah sangat pelan, kuatur nafasku agar aku tetap
berdiri kokoh tidak limbung karena kekurangan oksigen. Ujung tanjakan cinta
tinggal beberapa langkah. Maka, kukobarkan sisa kekuatanku. Aku sangat bangga,
sangat gembira, sekaligus sangat bahagia telah mampu menyelesaikan tantangan
ini. Semoga harapan dalam dada ini menjadi kenyataan. Semoga.
Sesampainya
kami di penghujung tanjakan cinta, mata dimanjakan dengan keindahan rakum yang
berada di belakang dan keindahan oro-oro
ombo yang membentang di depan. Kami hanya terpana dan hanya bisa berucap,
“wow”.
Tenaga
telah pulih, langkah kakipun kami lanjutkan. Menuruni bukit dan melenggang
dikeindahan oro-oro ombo yang dipenuhi dengan kembang lavender. Sungguh
panorama yang memukau. Hingga kamipun tiba di Pos Cemoro Kandang. Istirahat
sebentar adalah agenda tetap. Kami harus mendulang tenaga. Kalau secara khusus
di setiap perhentian hanya ingin melonggarkan tas kerirku, yang aku rasa
bebannya tidak berkurang-kurang. Mungkin penat dan kelelahan yang belum
terbayar utuh menjadikan demikian. Atau karena bekal bawaanku yang masih
terlalu banyak. Menanjak datar adalah medan yang kami lalui. Niat hati untuk
beristirahat di Pos Jambangan tidak bertahan. Kami tepar di ujung bukit
terakhir sebelum pos tersebut. Di sini, kukeluarkan bekal istimewaku. Kami pun
menikmati buah jeruk. Sungguh maknyus.
Mantap. Segar.
Sepanjang
perjalanan dari rakum hingga saat ini, banyak kujumpai pendaki yang usianya
beragam. Ada yang masih sangat muda, masih anak-anak, sejauh aku bertanya, yang
paling muda adalah 6 tahun. Sedangkan yang paling tua adalah 68 tahun. Mereka
masih antusias untuk menikmati hidup. Hal ini lah yang memacu semangatku. Aku
yakin itu juga terjadi dalam diri teman-temanku. Kami meneruskan langkah hingga
tepat pukul 15.30 tibalah kami di Pos Jambangan.
Aku
tahu bahwa dari pos ini, Kalimati sebagai tujuan perhentian kami selanjutnya
tidak begitu jauh lagi. Maka, kami putuskan untuk bercengkerama dengan indahnya
Semeru. Kami abadikan kenakalan, keusilan dan tindakan-tindakan kami yang
kekanak-kanakkan. Namun justeru dengan hal-hal itu kami sungguh bisa menikmati
perjalan ini. Kami lupa usia dan yang lebih penting kami lupa kalau kami telah
kelelahan.
Setelah
puas dengan main-main, kami pun melanjutkan perjalanan. Hingga waktu mencatat
sejarah perjuangan kami pada titik 16.30. waktu yang istimewa mendaratkan kami
pada Pos Kalimati. Segera kami mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Kami
telah membangun kesepakatan bahwa kami tidak akan banyak bercanda, segera
memasak, makan dan istirahat. Rencana tepat jam 00.00, kami akan mengejar golden moment, sunrise pada atap tertinggi Jawa. Setelah tempat ditemukan dan kami
yakin bahwa di sini kami akan memulihkan tenaga. Kulihat jam tangan, waktu baru
menunjuk angka 17.00 namun tenda telah berdiri gagah. Segera, kami bertindak
sesuai rencana.
Angin
berhembus dengan kencang hingga udara terasa makin dingin. Ciut nyali untuk
menikmati keindahan malam di Kalimati. Malam yang merangkak langsung membuai
kami dalam mimpi masing-masing.
Sengaja
kustel weker arloji tanganku pukul 23.00. Sehingga kami bisa menyiapkan fisik,
mental dan juga perbekalan maupun hidangan pembuka petualangan.
Weker
berbunyi, aku pun bangun untuk membuat minuman hangat serta menyiapkan sereal
hangat. Teman-teman telah bangun semua. Kami pun bergegas menyiapkan diri.
Makan roti, sereal hangat dan diteguhkan dengan segelas kopi maupun teh. Lalu,
saat waktu menunjuk angka 00.00, sesuai rencana, kami semua siap bergerak. Siap
berpetualang.
Kami
pun keluar tenda. Nampak Emma tidak ada gelagat untuk nanjak, “Ma, kok belum
siap?” tanyaku.
“Tidak
ikut pak. Kakiku tidak mampu bekerjasama. Kram dari tadi. Dari pada entar jadi
masalah”.
“Yakin
kalau tidak akan nanjak?” tanyaku masih berharap.
“Yakin
pak. Saya jaga tenda aja”
“Gak
nyesal to?” sengaja kulontarkan pertanyaan ini dengan harapan ia mau ikut.
Karena kami dari awal bersama, maka aku pun berharap dapat menyelesaikan petualangan
secara bersama-sama pula.
“Tidak
pak. Yakin wis to. Selamat berpetualang. Jo
lali oleh-olehe. Tak tunggu foto-fotone hehe”, jawaban yang menyakinkanku
bahwa Emma telah siap untuk tidak lanjut. Namun, jawaban ini akhirnya
meneguhkan bahwa doa di tanjakan cinta hanyalah mitos. Harapanku dengan
perjuangan untuk melewati tanjakan cinta tanpa berhenti dan tanpa menengok
kebelakang adalah semua rombonganku bisa sampai puncak. Belum juga kami
meninggalkan Kalimati, satu rombongan telah menyerah karena ketidakberdayaan
raga.
Bersembilan
kami, bagaikan pasukan khusus tempur. Siap perang.
“Semua
siap?” tanyaku pada teman-teman.
“Siap”,
jawaban serempak dan kompak yang semakin menggelorakan semangat hingga
berkobar-kobar.
Belum
juga kaki melangkah meninggalkan tenda. Tiba-tiba, “Mas, ini mau muncak ya?”
sapa pendaki yang agak jauh tendanya dari kami. “Iya”, jawabku singkat.
“Boleh
gabung? Kami belum pernah kok”
Segera
Timbul menjawab, “Boleh saja. Rombongan kami ada satu yang pernah mencapai
puncak”.
Aku
yang ditunjuk oleh teman-teman untuk menjadi leader dari petualangan ini.
Karena dari rombongan gabungan ini, hanya aku yang pernah sampai puncak
Mahameru.
“Teman-teman,
tolong dicek masing-masing anggota rombongannya”, pintaku membuka petualangan.
“Rombongan
tangerang ada tujuh”
“Rombongan
Purwokerto ada empat”
“Rombongan
Jakarta ada lima”
“Rombongan
Semarang ada lima”
“Berarti
dengan rombongan kami, total ada 30 orang ya?’ tanyaku menegaskan.
“Siap”,
jawaban serentak.
“Teman-teman,
aku akan memandu sampai batas vegetasi. Setelah itu aku tidak menjamin
rombongan selalu bisa bersama dan berjalan beriringan. Karena tenaga kita
berbeda. Maka, setelah batas vegetasi, rombongan kita pisah, kembali ke
rombongan kecil. Tetapi aku akan tetap memonitor. Aku membawa lampu parker
sebagai patokan rute perjalanan. Apakah semua paham?”
“Paham”
“Perhentian
pertama kita nanti di Pos Arcapada. Namun, bila ada teman rombongan ada yang
kecapekan, segera berteriak dan beri tanda. Kita akan istirahat sebentar, lalu
melanjutkan langkah. Paham?”
“Paham”
“Ada
pertanyaan?”
“Cukup
mas”
“Oke.
Mari kita awali petualngan ini dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing”
Lalu,
kami pun bergerak pelan.
Baru
kali ini, aku memimpin rombongan yang cukup besar. Itupun hanya sepertiganya
yang aku kenal. Selebihnya adalah teman seperjuangan dan satu tujuan. Karena
kami disatukan oleh alam. Itulah seni dan indahnya pendakian.
Berawal
dengan medan datar dan selanjutnya adalah mendal terjal, curam serta menanjak
tiada bonus. Beda dengan medan sebelumnya, yang didominasi medan datar. Kini
kami dihadapkan pada medan pendakian sesungguhnya. Tanjakan curam dengan
kanan-kiri jurang. Akar pohon menopang niat kami untuk sampai puncak.
Pasir-pasir labil segera menghangatkan kaki-dingin kami. Nafas yang semanjak
awal kedinginan mendadak menjadi panas. Tersengal dan bergemuruh memburu
oksigen. Belum juga badanku berkeringat, teriakan demi teriakan meminta
berhenti dan istirahat silih berganti. Aku berjuang sabar. Karena sebenarnya
aku masih kedinginan. Dengan semakin banyak beristirahat maka energy yang
kubuang akan semakin banyak. Dan itu percuma. Namun aku telah berjanji untuk
memandu sampai batas vegetasi.
Pengalaman
yang menyejarah dalam hidupku bahwa pendakian dari Kalimati sampai Arcapada
dengan beban kerir yang kutempuh 60 menit, saat ini tidak mungkin terjadi.
Teman-temanku memiliki pengalaman pendakian yang berbeda. Secara tertatih,
pelan namun pasti kami terus melangkah sehingga pada pukul 01.30 tibalah kami
di Arcapada. Istirahatlah kami untuk beberapa saat sambil menikmati bekal yang
kami bawa.
Tenaga
telah sedikit terobati dan kami pun kembali meneruskan langkah. Udara dini
kemarau panjang berhembus bersama kekuatan angin yang menjadikan belulang makin
ciut nyali. Udara dini hari ini memang benar-benar terasa dingin. Untuk
mengatasinya kami pun cepat bergerak. Berharap raga mau menghangat. Setapak
terjal dengan debu dan pasir berterbangan makin menyesakan dada yang berburu
tipisnya oksigen. Rombongan besar masih utuh. Aku berusaha untuk menepati
janjiku. Kendati makin banyak teman-teman yang hampir menyerah. Mereka
senantiasa meminta berhenti dan beristirahat, karena tenaga yang makin lemah.
Hingga, akhirnya kami tiba di batas vegetasi pada jam 02.30.
Tidak
adanya tanaman menjadikan angin kian leluasa menghajar raga kami. Dingin makin
menyengat. Maka tidak menunggu waktu, kami pun terus melanjutkan langkah.
Medan
pasir dengan kemiringan tanjakan antara 30-50 derajat menjadikan pendakian
tidaklah mudah. Tenaga dan keterampilan dibutuhkan dalam menapaki medan akhir
ini. Setiap kali kaki melangkah pelan maka yang terjadi bukannya maju tetapi
mundur. Pasirnya menggelontor, turun dengan santainya. Aku yang pernah menapaki
medan ini, memiliki setrategi khusus yaitu, langkah dilebarkan dan dipercepat,
sampai menemukan dataran dan pijakan yang agak keras, kemudian beristirahat
untuk memulihkan tenaga. Bila telah pulih, maka metode yang sama pun terus
kuulang. Istiriku tidak mampu mengikutiku, teman-teman yang lain juga. Mereka
makin tertinggal jauh. Akhirnya, tangan isteriku kugandeng, agak sedikit aku
tarik agar kakinya terus mau melangkah mengimbangiku.
Medan
pasir yang terus ditiup angin, menjadikan debu beterbangan dengan bebasnya.
Tidak mengherankan bila tenggorokan makin mengering, air tak juga mampu
mengobatinya. Pada hal bekal air jumlahnya terbatas. Menegemen air harus tetap
diberlakukan. Tubuh makin kepayahan.
Semangatku
belum kendur dan aku merasa tenagaku saat ini adalah yang paling prima. Kendati
aku terus menarik isterku namun aku rasa tenagaku masih sangat melimpah.
Semburat kuning di ufuk timur makin mengobarkan gairahku untuk menggapai puncak
dan dapat menikmati sunrise. Namun harapan itu kandas karena istiriku
kehilangan gairah. Ia hampir putus asa. Motivasiku tidak mempan bahkan
membuahkan amarah. Ia menggerutu. PHP demi PHP menjadikannya kian ciut nyali.
Aku
menyerah untuk memotivasinya. Aku putuskan untuk mengikutinya saja. Bila ia
nanti minta berhenti dan mengajak turun maka, aku akan turun. Benarlah
dugaanku. “Mas, aku sudah tidak kuat. Turun saja ya”
“Siap.
Tapi istirahat dulu ya. Minum sambil maem coklat cocok ki”
Ia
hanya mengangguk. Mentari kian temaram menyinarkan sinar jayanya. Ada pula
beberapa pendaki yang turun. Mereka terlihat kedinginan. “Kok udah turun mas?”
sapaku
“Udah
dari jam 04.00 kami nunggu sunrise. Kami udah tidak tahan. Tubuh udah
menggigil. Cuaca ekstrim dinginnya. Tu liat pasirnya aja jadi es”,. Kulihat
disebelahku dan ternyata benar bahwa pasir itu telah bercampur dengan es batu.
Berarti memang sangat dingin.
“Kami
lanjut. Tetap semangat. Tinggal 50 meter mas udah sampai”
“Siap”
Kulihat
keatas, bendera merah putih nampak berkibar gagah, dekat sekali aku berpikir.
Setelah beberapa waktu beristirahat, makan cokelat dan minum air yang menjelang
habis, “Gimana jadi turun atau gak? Tapi sayang kalau turun lho ya. Tu
puncaknya udah sangat dekat. Lagian, teman-teman semuanya masih dibelakang.
Kita ini sepelan-pelannya juga tidak akan dapat mereka kejar. Soalnya mereka
belum terlihat sama sekali. Piye?”
“Tapi
pelan-pelan saja ya”
“Siap”,
di luar dugaanku, isteriku mau meneruskan langkah untuk menggapai puncak
tertinggi Jawa.
“Ayo
mas semangat. Tinggal 5 menit lagi”, teriak Yudi yang tiba pertama kali dari
seluruh anggota.
Isteriku
entah dari mana tenaganya berasal, tiba-tiba melesat meninggalkan aku. Aku
sempat kepayahan untuk mengejarnya. Tepat dibawah sang saka merah putih, ia
terlihat bingung. Medan terjal, menukik tajam dengan kemiringan hampir 80
derajat membuatnya ketakutan. Aku menyusul dan aku pandu ia untuk melewati
rintangan ini. Kami akhirnya dengan sisa-sisa tenaga dapat meraih puncak. Ada
kegembiraan yang meluap dari hati dan jiwa kami.
“Selamat
mas, mbak”, sapa Yudi yang telah menunggu. Kami pun bergantian untuk
mengabadikan kisah ini dalam gambar. Foto dengan latar panorama pegunungan yang
membiru. Berpegang pada tiang bendera, seolah menggenggam bangsa. Menjadikan
hati makin cinta pada tanah air ini. Saat itu kulihat jam tanganku yang baru
menunjuk angka 06.30.
Wajah
isteriku terlihat sangat berbinar. Ia melahirkan kebahagiaan yang tiada
terbahasakan. Kebanggaan sekaligus gambaran kemenangan atas perjuangan yang
panjang. Kunikmati panorama dan keindahan atap tertinggi ini. Hamparan awan
putih di sisi gunung yang berpadu mesra dengan gugusan pegunungan. Kabut tipis
di sisi barat seolah menyelimuti hijau serta birunya alam. Keindahan yang maha
dasyat. Saat mata terpana oleh lukisan sang pencipta, kami masih disuguhi
dengan fenoimena alam yang luar biasa. Tiba-tiba semburan material vulkanik
mahameru keluar dengan besarnya. Bagaikan melihat jamur raksasa. Ajaib.
Satu
persatu teman-teman rombongan berdatangan. Mereka berteriak meluapkan
kegembiraan. Euforia. Jam 07.00 semua
telah berkumpul. Kami pun mengambil gambar bersama. Menikmati kebersamaan.
Menikmati keindahan alam. Menikmati yang Tuhan berikan. “Udah jam 07.30, ayo
turun”, pinta isteriku.
“Bentar
lagi ya. Entar kami nyusul ae”.
“Siap.
Kami turun dulu ya”, aku berpamitan.
Dari
puncak mahameru sampai batas vegetasi, perjalanan turun tidaklah banyak
mengalami masalah. Kami bagaikan bermain ski, tinggal meluncur dan sampailah.
Namun bekal air tinggal beberapa tetes, kuberikan pada isteriku. Kami
beristirahat sebentar. Lalu kembali meneruskan kisah.
Medan
pasir dan kerikil yang labil merupakan musuh dari isteriku. Hingga perjalan
turun melambat setelah batas vegetasi. Panas menyengat, debu makin hebat
menghajar tenggorokan. Gejala dehidrasi mulai aku rasakan. Ingin kupercepat langkah,
seperti waktu dulu yang kuberlari dalam waktu 30 menit tiba di Kalimati. Tetapi
sekarang aku bersama isteriku. Ya udah lah aku ikutin aja dia. Tidak terasa,
perjalanan yang kian waktu kian melambat menghantar kami tiba di tenda Kalimati
jam 10.15.
Emma
terlihat tersenyum gembira melihat kami datang. “Yang lain mana Pak?”
“Masih
di belakang. Ada air kah?”
“Tu,
masih banyak pak. Entar kalau habis tinggal ambil lagi”
Kemudian
aku dan isteriku minum sepuas-puasnya. Tiada kegembiraan yang mampu menandingi
perjumpaan dengan air kala manusia kehausan. Puas dan sangat puas. Hilang
dahaga. Lega tenggorokan dan lahirlah bahagia. Lalu kami habiskan waktu untuk
menunggu teman-teman. Setelah semua kumpul, kami pun menyiapkan masakan untuk
makan siang. Kali ini, aku diminta untuk beristirahat sebagai koki. Kuterima
kebaikan itu, tanpa menunda waktu kurebahkan ragaku. Aku pun pulas tertidur
hingga aroma masakan yang lezat membangunkan.
Makan
siang dengan suka cita. Mendulang tenaga. Lanjut packing. Siaplah kami meneruskan sejarah. Tepat pukul 14.00 kami
berpamitan dengan dekapan cinta Kalimati.
Langkah
mantap diiringi dengan hati yang ria menghantar kami untuk menapak dengan
gagah. Keceriaan bertaburan menyelimuti setiap tetesan keringan kebersamaan.
Aku dan isteriku perlahan mulai tertinggal. Bekal logistik yang telah berpindah
kedalam raga menjadikan beban tak lagi seberapa. Hingga yang muda-muda melesat
meningalkan aku dan isteriku yang mulai terseok. Kendati demikian aku masih
bersyukur karena sampai di tujuan belum terlalu gelap. Mentari baru bersiap
menuju peraduannya dan saat menunjuk waktu pada angka 17.00 aku dan isteriku
yang ditemani Emma menginjakkan kaki di Ranu Kumbolo.
Terlihat
teman-teman yang lain telah mendirikan tenda. Tiga atap flysheet telah kokoh, siap melindungi istirahat malam nanti. Segera
aku pun bergabung dengan mereka. Dengan cekatan kubongkar kerirku untuk segera
mendirikan tenda. Sore di tengah kemarau menjadikan dingin udara. Aku tidak
ingin mendadak langsung kedinginan. Setelah berpeluh, berhenti dan
beristirahat, menghantar pada keadaan yang berubah-ubah. Suhu tubuh yang
berganti cepat di tengah alam pegunungan memungkinkan terjadinya ketidaksiapan
raga, tubuh mudah sakit.
Selain
itu isteriku juga merasa lebih nyaman bila kami berada beda tenda dengan yang
masih lajang. Kendati aku tahu bahwa sebenarnya tenda yang ada masih muat untuk
kami berdua, tetapi isteriku memilih untuk berada dalam beda tenda. Sembari
kusiapkan tenda, teman-teman telah asik untuk menyiapkan hidangan malam.
Rencana malam ini, kami akan sedikit berpesta. Sebelum menuju Kalimati hari
yang lalu, kami telah meninggalkan logistik di sini. Bahan makanan yang
tersedia tergolong mewah, tidak seperti bekal pendaki gunung pada umumnya. Kulihat
masih, ada nugget, sayap ayam, sarden dan kornet. Ada juga bakso rasa sapi dan
ikan tengiri.
Usai
menerima asupan nutrisi dan gizi kami segera nyaman dalam tenda masing-masing.
Raga yang terlalu lelah menjadikan kami ingin segera manja dalam dekapan hangat
tenda. Saat kurebahkan badan, kulihat ada temaram bintang yang berpijar.
Kusempatkan untuk menengok ke luar. Dan ternyata, keindahan alam yang luar
biasa. Di depan tenda terhampar danau rakum yang beriak-riak, seolah dikurung
dengan taburan kerlip bintang malam. Sedangkan di beberapa pojok tepian danau
ada pijar-pijar lampu dari dalam tenda. Menambah indahnya lukisan alam.
Di
tengah keterpesonaanku, terkagum-kagum dengan sajian alam, terdengar sayup dari
selter rakum ada beberapa orang yang mengumandangkan takbiran. Secara spontan
dalam hati langsung berucap, “Selamat hari raya Idul Fitri sahabat-sahabat
muslim. Mohon maaf lahir dan batin”. Pengalaman yang luar biasa, demi merayakan
hari rayanya secara beda, sahabat-sahabat muslim rela keluar dari kenyamanannya
dan merayakan hari kemenangan dengan cara yang beda. Ini lah perayaan hari raya
keagamaan ala pendaki. Fantastik.
Lelah
raga tak lagi mampu kutopang dengan keindahan alam. Panorama yang mengangkat
jiwa untuk bersenandung tak juga mempan mengusir kantuk. Raga mulai menggigil.
Kertak gigi terjadi tanpa bisa kubendung. Segeralah aku masuk tenda dan nyaman
dalam pelukan kantung tidurku.
Hingga
pagi yang ceria membuyarkan kenyamanan itu.
Cuaca
cerah masih bertahan. Kicauan burung di sekitar danau menambah suasana nyaman.
Menjadikan hati makin damai. Danau yang menguak bening, mempertontonkan tarian
ikan-ikan besar dan kecil. Mereka bercengkerama dalam canda dan tawa. Seolah
mengajariku untuk berlaku sama. Mentari mulai pelan merangkak dan bertengger
ditengah celah dua bukit kembar. Terlihat sangat simetris. Indah dan
sangat-sangat indah. Kami, yang bermalam di rakum serentak terpana. Kami
berhamburan dari dalam tenda dan mengabadikan peristiwa ini dalam gambar.
Berlatarkan
lukisan Sang Pencipta, kami menghabiskan waktu untuk berceria, tertawa,
ekspresif. Dari yang wagu hingga yang sangat eksotis. Mendadak kami pun
berlomba menjadi foto model untuk melahirkan karya seni berkualitas tinggi.
Mentari
mulai merangkak terik. Raga telah dikenyangkan dengan menu istimewa akhir.
Segera kami pun bergegas mengepak barang. Kendati hati masih terikat dan
tertambat dalam tonggak indahnya rakum, namun langkah kami tidak hanya di sini.
Kami mesti melanjutkan kisah untuk berkisah tentang kuasa Tuhan. Cerita kami
akan tetap abadi bila semakin banyak generasi yang mengalami segala yang pernah
kami alami dengan bantuan indahnya alam Semeru ini.
Hari
ini, Kamis, tanngal 8 Agustus saat waktu bertahta pada singgasana kekuasaan
waktu pukul 09.50 kami pun berpamitan dengan kasih Ranu Kumbolo. Hati yang
bahagia menjadikan langkah kami seolah tidak pernah capek, tidak juga terasa
lelah. Semangat terus berkobar dan membara dalam dada. Aku, isteriku serta Emma
melangkah di barisan paling belakang. Teriakan teman-teman yang berada di depan
menggetarkan kaki untuk tidak berhenti lama, hingga waktu terus mendekap kami
dan pada saat waktu berhenti di titik 14.00 tibalah kami di Ranu Pani.
Sejenak
kami pun mengurai lelah. Penat raga mengiring rasa lapar. Kami pun segera
berburu makan, istirahat. Membeli oleh-oleh kas pendakian tidak kami lupakan,
agar kami tidak segera lupa dengan petualangan ini. Tak satu pun yang berminat
mandi. Berbekal pengalaman pendakian yang telah usang, saat berada di angkutan
umum, banyak hidung yang mengendus tanda tidak suka. Maka, kuputuskan untuk
membersihkan diri. Saat air bertemu raga, seketika tegak bulu-bulu ku. Dingin
luar biasa. Aku mandi demikan pula dengan isteriku. Hanya kami berdua.
Selebihnya membawa kenangan debu mahameru hingga sampai di istana rumahnya masing-masing.
Segar
terasa. Angkutan berjajar menawarkan jasa membawa kami ke Tumpang. Proses nego
tidak berjalan alot. Karena harga tawar berpatok dari biaya awal petualangan.
Kesepakatanpun tercipta dan kami pun tepat pukul 16.00 meninggalkan sejuta
kenangan di Ranu Pani. Meliuk truk melintasi jalanan yang menanjak, turun juga
berkelok. Berhembus angin pegunungan menerpa wajahku mengajak untuk segera
menikmati kantuk. Namun, aku tidak menghiraukan. Kunikmati perjalanan ini. Aku
dan isteriku kembali diberi kesempatan untuk duduk di samping bapak sopir.
Memasuki desa Ngadas, desa yang menjual hasil kebun kas Malang. Saat mata
bertemu dengan gundukan apel di teras-teras rumah warga. Kuminta bapak sopir
untuk menghentikan laju. Kami pun berbelaja oleh-oleh, untuk melengkapi kisah
yang akan kami bagikan bagi keluarga tercinta.
Saat
mentari mulai asik membuai mimpi, ketika waktu berada pada titik 18.00, kami
pun tiba di pasar Tumpang. Lalu kami beristirahat, menikmati suasana lebaran
kota Tumpang. Mencari angkutan. Negosiasi. Harga jadi. Kami pun segera menyusul
waktu. Tepat pukul 19.00 kami menuju Malang. Dalam waktu 20 menit kamipun tiba
di terminal. Tidak menunda waktu. Segera kami pun melabuhkan diri dalam bis
jurusan Surabaya. Kami berharap segera sampai agar lekas bisa beristirahat
nyaman dalam dekapan bantal. Tiba diterminal Surabaya tepat pukul 21.00.
Terminal
terlihat ramai sekali. Pada hal hari ini adalah lebaran pertama. Tidak seperti
biasanya. Tanda-tanda perjalanan akan tidak sesuai rencana. Sambil mencari
informasi, kami pun tidak lupa mendulang energi, mencari makanan. Akhirnya,
untuk sementara kami menikmati suasana terminal dengan berbagai dinamikanya.
Setiap
kali bis datang jurusan Solo, selalu penuh dengan penumpang. Rupa-rupanya, mereka
telah mengantri di depan terminal. Firasat mulai berbicara. Untuk memperoleh
keyakinan kami pun bertanya-tanya. Jumlah armada memang berkurang, karena
lebaran pertama. Selain itu saat ini banyak penumpang yang mudik memilih hari
pertama. Tidak sebelum lebaran. Alamat bakalan tidak akan sampai Solo.
Banyak
cara mengais rejeki. Kutemui para sopir angkutan yang berinisiatif untuk
menghantar penumpang ke pul, ke rumah induk transportasi jurusan Solo. Kami
ditawari untuk nyarter dengan kemungkinan 75 % mendapatkan tempat duduk. Harga
sepakat. Kami pun di antar ke pangkalan bis Mira. Di sana sudah berjubel.
Tetapi di sini lebih professional. Calon penumpang diminta mengambil nomor
antrian demi mendapat tiket sesuai kota tujuan. Sekitar jam 23.00, kami telah memegang
tiket. Namun bis belum datang. Kami diminta sabar menunggu. Waktu terus
merengek, meminta kami bercanda dengan rasa was-was. Kegelisahan mengitari
benak. Untuk menghalau rasa itu, kami pun asik bercanda dan berbagi kisah
tentang petualangan Semeru yang baru berlalu. Hingga akhirnya, Jumat, 9 Agustus
2013 tepat jam 00.15, bis perlahan meninggalkan Surabaya.
Kelegaan
menghantar kami masing-masing lelap dalam buaian mimpi. Bis melaju tanpa kami
sadari. Gemuruh mesin terdengar sebagai nyanyian penghantar tidur nyenyak kami.
Saat keremangan, membuyarkan lelap, saat mentari mengganggu kerja sang malam,
saat cahaya fajar menawarkan gairah hidup, saat itulah kami terjaga. Kulihat
jam tanganku yang menunjuk angka 05.30, tibalah kami di jalur kota. Segera aku
dan isteriku bersiap, karena kami tidak akan berhenti di terminal. Beda dengan
teman-teman yang lainnya. Kuminta diturunkan di samping stasiun Balapan.
Segera, kuambil motor. Melaju pelan. Jalanan lengang dan sepi. Hati makin
berbunga saat teras rumah terlihat. Dan hati meluap gembira, saat kaki
menginjak pelataran. Hati dipenuhi suka cita ketika pintu rumah yang untuk
sementara kami tinggalkan. Waktu menghantar kami untuk menutup petualangan ini
dengan kebahagiaan, tepat pada titik 06.15.
Syukur Tuhan atas pengalaman yang luar biasa
ini. Terimakasih atas pembelajaran melalui kisah, bersama perjumpaan, dikuatkan
dengan persahabatan. Terimakasih atas karuniaMu, sehingga melalui setapak
Semeru, kami Engkau bimbing untuk sampai pada puncak hidup kami masing-masing.
Ada keindahan yang tidak terbahasakan. Sajian alam yang merupakan hasil karya
lukisanMu tidak sebanding dengan keindahan diri kami. Semeru menjadikan kami,
makin bisa melihat diri. Makin bisa bercermin. Hingga kami semakin meyakini
bahwa kami kaya. Harta kami makin berlimpah saat kami mau berbagi perhatian,
berbagi rejeki, berbagi kebaikan, berbagi kepercayaan. Harta itu adalah
kebahagian dan kedamaian hati. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Semeru. Kami
selalu rindu. Rindu untuk kembali. Kembali mencumbui setapakmu, agar kami
semakin mengerti cara hidup yang sesungguhnya. Semoga.