Senin, 27 Januari 2014

catatan perjalanan, sebuah refleksi dari petualangan Semeru



HARTA KARUN DALAM BEJANA SEMERU
Oleh: Heri
Rintik hujan menemani hari-hari di bulan Januari. Menyebabkan udara mulai membekukan niat dan nyali. Cenderung malas dan enggan melakukan kegiatan-kegiatan di luar ruangan. Dingin menyiutkan minat untuk banyak beraksi. Begitulah aku. Akhirnya, di sela-sela waktu luangku terhabiskan di depan layar kaca. Buka Hp, bosan. Buka tablet, jenuh. Nonton TV, gak menarik. Main internet, nyari info dan yang paling sering adalah lihat update-an status FB. Dari satu layar kaca pindah ke layar kaca lainnya.
Sekian banyak tawaran dari dunia cyber, tak mampu juga menghalau rasa dingin juga malasku. Di luar rumah hujan kian sahdu menari manja. Rintik air itu membawa berkah sekaligus menyisipkan serpihan-serpihan kenangan. Ketika sejuk udara menyusup dalam belulangku serentak memori kepalaku menukik menuju kenangan-kenangan di ketinggian.
Kutengok satu persatu album pendakianku. Dari satu file pindah ke file berikutnya. Hingga dipenghujung nostalgia, mataku tertuju dari satu foto ke foto yang lainnya, namun bayang yang hadir diingatanku adalah peristiwa yang penuh makna.
Saat itu, mentari mulai merangkak pelan menuju singgasana kebesarannya. Sinar matahari pagi yang menyusup di celah kamarku, mengganggu manja tidurku. Hari libur semangat malas harus dihidupkan. Tetapi tidak dengan hari ini. Aku harus semangat. Liburan tidak boleh hanya diisi dengan malas-malasan dan hanya tidur tanpa peduli waktu. Sesuai rencana nanti malam, aku dan isteriku bersama 5 sahabat akan memulai petualangan, menjelajah setapak dan terjalnya tanjakan Semeru. Sudah lama kami mencita-citakan untuk bercengkerama dengan atap tertinggi Jawa. Koin demi koin telah kami kumpulkan agar dana cukup untuk menjembatani niat hati.
Segera kurapikan tempat tidurku untuk menuju karma mandi. Minggu, 4 Agustus 2013 aku akan melengkapi diri dengan perbekalan. Ada tujuan yang tidak bisa ditawar yaitu demi lancarnya petualangan. Isteriku pun dengan riang menyiapkan sarapan. Setelahnya, kami pun bergegas untuk belanja logistik. Walaupun aku sudah pernah menapakkan kaki di Semeru dan aku juga tahu kalau logistik melimpah di pasar Tumpang. Namun, 6 sahabat petualangku belum pernah. Dapat dipahanmi kalau kekhawatiran masih menyelimuti benak.
            Usai berbelanja, yakin kalau tidak ada yang tercecer. Hati pun gembira. Namun, peristiwa buruk menimpa betisku. Panas knalpot di tempat parkir berhasil menandai kakiku. Perih terasa. Kakiku pun agak malas untuk digerakkan. Rencana telah matang, aku tidak ingin gara-gara peristiwa ini semuanya menjadi gagal. Rencana tetap harus jalan. Perih di kakiku tidak aku pedulikan. Namun, perih tetaplah perih. Isteriku segera mengobatinya. Nampak ada kekhawatiran di bening bola matanya. “Gimana mas lukanya? Kira-kira menggangu gak entar?”
            “Gak pa-pa. yakin ae. Entar kalau nanjak malah jadi sembuh.”
            “Kok bisa?”
            “Kan seneng, hehe.” Aku pun menikmati kebohonganku, agar kecemasan itu berlalu darinya.
            Siang merangkak pelan menju sore. Packing telah usai. Saatnya mendulang energi. Istirahat cukup aku agendakan agar perjalanan panjang menjadi  penuh makna. Saat waktu menunjuk titik 22.30, itulah saat pertemuan untuk kemudian bersama mengayunkan langkah. Setelah makan malam dan menikmati acara televisi yang didominasi hiburan murahan, aku dan isteriku siap-siap berangkat. Tepat pukul 22.00, aku dan isteriku meninggalkan pelataran rumah menuju stasiun Balapan Surakarta.
            Seperempat jam perjalan telah menghantar motorku tiba di stasiun. Terlihat di teras stasiun, Thomas Agung Waskito yang akan selalu dipanggil Timbul. Baru seorang diri, berarti yang lainnya belum datang. Aku dan isteriku menembapati urutan kedua. Tidak berapa lama, Yessia Amanda yang akrab dipanggil Pink muncul dihantar oleh pacarnya, Eko. Hampir bersamaan, datanglah Yudi dan Yulius Andre Pursita (akan sering dipanggil Sempak. Panggilan yang paling jorok). Rombongan terakhir yang datang ialah E Andi Kristanto (memiliki panggilan paling feminim, “Emma”). Emma sengaja datang paling lambat karena rumahnya memang dekat dengan stasiun. Semua rombongan telah tiba. Pasukan seven happy telah lengkap dan semuanya membawa tas kerir. Seolah akan meninggalkan peradapan kota berbulan-bulan. Tetapi tasku terlihat yang paling juara. Paling gede. Maklumlah, namanya juga pemula (pendaki muka lama). Cek terakhir telah usai. Semuanya telah siap. Komplit. Jam 23.00 kami masuk ke area stasiun dan tepat pukul 23.10 keretapun berangkat.
            Tiket yang dipesan Timbul sebulan sebelum keberangkatan, memposisikan kami di lokasi yang berdekatan sehingga kami bisa bersama. Berbagi canda, berbagi kisah dan yang paling penting adalah berbagi ceria. Akrab terjalin dalam ikatan bangku kereta ekonomi, mataremaja. Hingga, mata dan raga yang lelah melelapkan kami. Cahaya fajar membuyarkan nyenyak tidur. Kucoba lihat panorama di balik jendela. Ternyata kereta telah tiba di stasiun lama, Malang. Sekitar 10 menit lagi kami akan tiba di tujuan dengan selamat. Tepatlah perkiraan, Senin 5 Agustus 2013 saat waktu menunjuk angka 05.40, kereta tiba.
            Segera, kami berbaris di depan kamar mandi untuk mengurangi beban diri. Cuci muka, gosok gigi. Segar terasa. Lalu, kami segera keluar area stasiun. Sopir angkutan dan calo berebut menawarkan jasa yang alot. Tawar menawarpun berlanjut dengan kesepakatan, Rp. 90.000 untuk 7 orang. Tepat pukul 06.00, kami meninggalkan Malang menuju Tumpang.
Angkutan melaju menuju selatan. Berkelok jalanan menembus padatnya kota. Hingga bertemu dengan medan menukik dan berkelok. Jalanan mulai menanjak. Tidak membutuhkan waktu lama, hanya 20 menit pun kami telah tiba di pasar Tumpang.
Segera, kami pun didatangi oleh para calo. Kami, pura-pura tidak berminat. Mereka terus merajuk dan kami hanya bergeming. Hingga akhirnya aku melihat ada rombongan lain yang telah berhenti di sana. Timbul berinisiatif untuk menyapa dan bertanya, “Udah dapat kendaraan mas?”
“Udah. Tapi masih nunggu barengan. Ikutan kami aja. Tu tanyakan langsung ma sopirnya”
“Berapa sih mas, nyampai Ranu Pani”
“Semua sama kok mas. Mo dinaiki berapa pun, yang jelas satu truk, tarifnya Rp. 350.000. Rombongan kami 8 orang. Kalau ditambah dengan rombongan mase, jadi 15 orang bisa menekan biaya banyak”
 “Trims infonya. Sebentar ya mas, aku tanyakan pada teman-temanku”.
Timbul pun melapor kepada rombongan. Tanpa banyak pertimbangan, kami segera mengiyakan. Tetapi dengan satu syarat, kami mau sarapan dulu. Mereka mau menunggu. Segera kami pun menaikkan tas kerir ke bak truk. Kami juga melengkapi perbekalan. Belanjaan dirasa kurang. Maka, kami pun berburu di swalayan juga pasar tradisional. Logistik berlipat. Seolah mau hidup di gunung sebulan.
Kami bertujuh segera berlomba untuk mendulang energi dari nutrisi. Kami mencari makan sesuai dengan selera masing-masing. Baru kutemui masakan rawon yang paling enak. Dan aku baru sadar kalau rawon adalah masakan khas Malang. Tidak heranlah kalau rawonnya mantap. Posisi warungnya tepat berada di depan pasar Tumpang.
Usai sarapan, kami tidak menunda waktu untuk segera menuju ke tempat truk berada. Teman-teman Tangerang telah menunggu lama. Saat kutengok jam tanganku yang menunjuk angka 07.50, kami pun meluncur menuju Ranu Pani.
Sahabat-sahabat pendaki ternyata cukup memahami situasiku. Sebagai keluarga muda, kami diberi kesempatan untuk duduk di depan. Duduk di samping sopir. Sehingga mata dengan leluasa menikmati panorama alam sepanjang perjalanan. Sedangkan teman-teman lainnya terdengar renyah penuh canda tawa di bak belakang. Kegembiraan khas anak muda. Jalanan meliuk, berkelok, menanjak, curam dan terjal. Adrenalin pun terpacu dengan sendirinya. Selepas desa terakhir, Ngadas medan menjadi sangat lengang. Jalanan membelah hutan dan perbukitan. Kanan kiri terlihat jurang menganga berpadu harmoni dengan lebatnya hutan yang masih sangat rapat. Deretan pegunungan yang menghijau berselimutkan tipis kabut pagi menyajikan keindahan alam yang tidak terbahasakan.
 Tidak terasa perjalanan sebentar lagi akan berakhir, pertigaan yang menunjuk Ranu Pani dan Bromo telah kami lewati. Mendadak truk berhenti. Aku pikir ada yang tidak beres dengan angkutan ini. Tapi inilah petualangan. Ada banyak kemungkinan. Lancar yang diharapkan. Tetapi kenyataan sering berbicara beda.
“Mas, gak turun dulu. Tu temen-temene pada turun semua,” tanya sopir.
“Ada apa to pak, kok berhenti?”
“Katane pada mau nikmati panorama segoro wedi Bromo. Turun aja dan gabung ma temen-temene.”
Dugaanku meleset.
Lalu, aku dan isteriku pun turun dan kami menikmati keindahan lukisan alam yang membentang. Lekuk-molek perbukitan deret pegunungan Bromo terlihat begitu menawan. Untuk beberapa saat kami terkesima dengan lukisan Sang Pencipta. Dan kami pun mengabadikan sejarah ini dalam bingkai gambar.
20 menit kemudian kami pun telah tiba di desa Ranu Pani. Kabut turun dengan pekatnya. Gerimis pun membasahi bumi. Seolah semakin menyejukkan jiwa kami yang dahaga karena kesibukan dan penat pekerjaan. Hamparan indah danau Ranu Regulo dan Ranu Pani tidak begitu jelas terlihat. Samar pinggiran danau menegaskan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di basecamp.  Biasanya truk dan angkutan akan berhenti dipinggir danau, tetapi truk yang kami tumpangi tidak begitu. Kata sopirnya, “Hari ini, musim pendakian lagi sepi mas. Menjelang lebaran. Maka, saya akan menghantar sampai basecamp. Mas dan rombongan tidak perlu berjalan.” “Trimakasih pak.” Jawabku singkat.
 Jam 10.00 kamipun tiba. Hati sungguh merasa bahagia. Keceriaan terpancar dari wajah lusuh kami. Segera kami pun mengurus administrasi perijinan. Tidak terlalu ribet karena kami telah mempersiapkan semuanya, dari materai, surat kesehatan, daftar barang bawaan dan tentunya adalah biaya pendakian. Lalu kami beristirahat untuk beberapa saat sebelum memulai petualangan hutan.
Suasana basecamp tidak terlalu ramai. Hanya ada dua rombongan yang turun dan dua rombongan yang akan memulai pendakiannya. Maklumlah, menjelang hari besar umat muslim. Dua hari lagi kan lebaran. Kami terus bercanda, tertawa reyah dan lupa untuk beristirahat dan tidur sebentar.
Hari mulai merangkak siang. Kabut tebal masih betah menyelimuti bumi. Gerimis lembut juga masih bertahan. Namun semuanya itu tidak akan menyiutkan nyali kami. Bahkan malah menjadi penyemangat. Hati semakin berkobar-kobar. Di tengah asiknya kami ngobrol, tiba-tiba ada serombongan pendaki yang mendatangi kami, “Mas mau nanjak ya?”
“Iya. Masnya dari mana?” Jawab Timbul dengan antusias.
“Solo. Entar nanjak bareng ya. Soalnya kami belum ada yang pernah ke sana.”
Podo Solone. Monggo.”
Sesama Solo bertemu di satu titik yang tidak pernah direncanakan. Kami segera akrab. Tawa-tawa renyah pun berhamburan dari bibir kami. Hingga, akhirnya aku tahu nama-nama dari mereka, yaitu Herry, Bagus dan Fajar Asyuri. Lelah raga berganti dengan keceriaan membawa kami pada waktu yang dinantikan. Tidak menunggu lama saat jarum jam berada pada titik 11.50 kamipun dengan semangat berkobar meninggalkan Ranu Pani untuk bercengkerama dengan indah barisan pepohonan Semeru.
Pasukan seven happy plus tiga teman semua merupakan anak-anak muda. Kecuali aku dan isteriku. Tentunya, tenaga mereka berlipat bila dibandingkan denganku. Mereka melesat meninggalkan aku dan isteriku jauh dibelakang. Aku sengaja mengambil posisi belakang, karena aku pernah menapakkan kaki di medan petualangan ini. Seandainya aku tidak mampu mengejar mereka, paling tidak modal pengalaman dan bekal yang save menjadikanku merasa tenang. Aku dan isteriku menikmati perjalan ini. Pelan-pelan kakiku melangkah. Berat barang bawanku telah mematikan rasa pada pangkal lengan dan pundakku. Aku berusaha tegar dan tidak mengeluh. Aku khawatir kalau isteriku menjadi was-was.
Cuaca masih diselimuti kabut. Hingga matahari tak mampu membelai wajah lelahku. Kaki-kakiku terus menapak. Luka bakar bekas knalpot masih nyeri terasa. Tapi aku abaikan. Aku lanjutkan perjuangan. Isteriku terlihat gembira. Ia sungguh menikmati pendakian ini. Jalanan masih rapi tertata. Setapak telah berpaving. Beda dengan pendakianku yang lalu. Sehingga kaki-kaki ini mantap untuk menapak. Kendati demikian, aku lebih memilih jalan tanah. Hingga dalam waktu 45 menit (pukul 12.35), kami tiba di pos Ladengan Dowo. Aku yakin ini merupakan perjalan yang sangat cepat. Diriku yang tertatih saja hanya 45 menit. Tentu teman-temanku tidak sampai 40 menit.
Aku istirahat sebentar. Terutama aku berjuang untuk memberi rasa longgar pada pundakku. Isteriku tidak terlihat kelelahan. Ia masih bersemangat, “Gimana Mas? Masih bisa lanjutkan?”
“Siap.” Jawabku singkat. Di pos ini kami, didahului oleh sekelompok pendaki. Terlihat masih sangat muda. Property yang dikenakan terlihat masih baru. Mereka sungguh penuh persiapan untuk mencapai puncak Mahameru. Atau mereka hanya segerombolan pendaki baru. Ah kenapa aku yang pusing mikirin mereka. Lelah kakiku kudorong untuk lebih bisa tegak menopang niat dan bekalku. Nafas tuaku mulai tersengal. Aku tertatih untuk melaju. Pelan satu persatu pendaki muda telah kulalui. Mereka terlihat semangat di depan. Tetapi lupa untuk mengatur strategi tenaga. Pengalaman akan membuktikan siapa yang akan bertahan.
Rombongan seven happy juga satu persatu mulai terseok. Perlahan ada juga yang kulewati. Aku menjadi lebih berapi-api. Hingga akhirnya dalam waktu 45 menit aku dan isteriku tiba di selter pertama. Di sini kami berjumpa dengan dua rombongan besar. Aku lupa bertanya dari mana mereka. Kami pun tanpa menunda waktu langsung akrab. Obrolan demi obrolan melaju mengobati lelah raga. Pasukanku telah komplit. Pendaki ada yang datang dan pergi. Badan kembali segar. Semangat juga semakin membara. Langit masih disembunyikan kabut pekat. Kami pun segera bergerak. Dalam waktu 30 menit sampilah kami di selter 2.
Setapak masih landai. Selepas selter 2, medan terjal bebatuan mulai menemani langkah kaki. Dari selter 2 kami diberi bonus karena medan turun. Setelah itu, kami kembali dimanjakan medan datar hingga sampai Pos II, Watu Rejeng. Dinamakan Watu Rejeng karena di sisi kanan perjalanan, kami seolah berada di bawah tembok raksasa. Kami seolah dibawah tebing bebatuan yang tinggi menjulang. Namun lebatnya vegetasi mampu menyembunyikan garis-garis tembok batu itu. Hingga pagar batu itu tidak terlalu jelas. Dari selter 2, hanya butuh waktu 20 menit untuk tiba di pos ini.
Gerimis makin memacu niat kami yang ingin segera mendirikan tenda di keindahan alam Ranu Kumbolo. “Pak masih jauhkah rakumnya?” Tanya Andre sempak.
“Bentar lagi. Tinggal dua tanjakan”, jawabku penuh dengan kebohongan. Aku bermaksud mendongkrak semangat. Karena kutahu perjalanan masih jauh. Bahkan masih sangat-sangat jauh. Jelas sekali terlihat dari papan penunjuk arah di pos II, bahwa dari Watu Rejeng menuju Ranu Kumbolo masih 4,5 km. Apakah mereka tidak membaca keterangan tersebut. Biarlah ketidaktahuan mereka menjadi penyemangat yang tersembunyi.
 Satu tanjakan telah berlalu, munculah tanjakan kedua. Hati para sahabat mulai berbinar. Namun ujung perjalanan dengan indah danau rakum belum juga ada tanda-tanda. “Katanya dua tanjakan. Mana rakumnya pak?” Tanya Pink berharap dalam cemas.
“Satu tanjakan lagi”
Kulihat mereka masih berkobar. Setapak yang tidak terlalu menanjak menjadi pengobar gairah untuk segera mendekap nyaman dalam tenda. Terlihat atap seng yang roboh dikejahuan. Mereka bersemangat. “Itu posnya sudah terlihat”, teriak Emma.
“Lha kok bukan rakum tapi selter III”, celoteh Yudi yang agak kecewa.
“Istirahat dulu. Tinggal dua tanjakan kok”, jawabku menghibur.
“Dari tadi kok dua tanjakan. Ini dua lagi. Entar dua lagi. Pak Heri ki hanya ngasih PHP”, seloroh Pink.
“Nyantai ae. Entar juga nyampai. Sekarang nikmati jambu dursononya”, aku menawarkan bekal istimewaku. Jambu yang sangat khas, nikmat di daerah dingin dan agak di benci di daerah panas. Kulirik jam tanganku, baru jam 16. 00. Aku yakin sebelum gelap pasti akan tiba di rakum.
Setelah energi terpenuhi dan juga semangat yang kembali membara, kami melanjutkan langkah. Setelah berhenti, langkah pertama kami dihadapkan pada tanjakan yang cukup menantang, sekitar 45 derajat lah kemiringannya. Setelah menyelesaikan tantangan pertama ini, kekuatan raga dari teman-temanku mulai memudar dan memaksa koyak langkah. Tertatih dan semakin pelan. Hingga tidak terasa. Aku dan isteriku telah menjadi yang terdepan. Hanya Yudi yang mampu terus mengikuti langkahku.  Yang lain jauh di belakang. Tanjakan ringan dan tikungan landai tidak lagi mampu mendongkrak gairah. Mereka tetap jauh tertinggal di belakang.
Aku, isteriku dan Yudi bersama rombongan tiga teman baru melangkah penuh gairah. Kali ini aku tidak akan memberi PHP, kukatan, “Tinggal satu tikungan maka kita akan melihat keindahan rakum. Semoga kabut tidak meutupinya”.
“Beneran to pak”, sahut Herry.
“Buktikan aja.”
Tiga orang ini, memang masih muda. Maka mereka melesat meninggalkan aku, isteriku dan Yudi. Benarlah yang aku katakan, samar terlihat indah danau rakum yang membiru dengan riak rianya. Sungguh kubersyukur telah mencapai titik ini. Kendati tidak dapat kupungkiri kalau pundakku benar-benar tidak lagi punya daya. Isteriku masih penasaran karena belum mampu melihat samar rakum. Namun ekpresi kegembiraan dari Yudi menegaskan kalau aku tidak memberi PHP.
Aku mencoba mendongkrak semangatnya. Kubiarkan Yudi mengejar tiga teman yang lain. Aku berharap ia mau menunggu di selter IV. Merangkak pelan dengan tertatih dan asa yang hampir habis tibalah aku dan isteriku di selter IV, tepat pukul 16.30. Di sini tiga teman dan Yudi telah beristirahat dan menikmati indah panorama rakum. Kuletakkan tas kerirku yang sebesar kulkas dua pintu itu. Tiga teman berpamitan untuk segera mendirikan tenda. Kutahu bahwa perjalanan masih sekitar 15 menit untuk sampai di selter rakum. Yudi, aku dan isteriku menikmati panorama sambil menunggu teman-teman seven happy komplit lagi.
Dari kejauhan Emma maupun Timbul juga Andre terus berteriak memanggil. Terdengar mereka berteriak girang saat melihat ujung danau. Aku yang telah mengalami hal yang sama hanya bisa tersenyum membayangkan eufhoria mereka. Saat waktu, berada pada titik 17.00 semua telah tiba. Istirahat sebentar. Kutawarkan untuk mendirikan tenda di dekat selter atau dekat dengan pos prasasti. Serempak menjawap, “Prasasti”. Mereka telah tahu kalau di sana bisa menikmati keindahan sunrise yang berpadu harmoni dengan datar panorama danau. Kami pun segera melanjutkan langkah. Kami lalu menuruni bukit, menyusuri tepian danau untuk mencari tempat mendirikan tenda. Kutunjukkan tempat yang langsung bisa menikmati keindahan mentari terbit. Lalu mereka pun mengikuti saranku. Ternyata tiga teman dari Solo telah berada di sana. Akhirnya tenda kamipun bertetangga. Saat naungan tenda kami berdiri kokoh untuk mendekap kami, saat itu kulihat jam tangaku yang tepat pukul 17.30.
Saatnya masak-memasak. Menu spesial dengan bumbu rahasia siap untuk dioperasikan. Meracik bumbu. Mengolah materi mentah hingga siap untuk disantap. Keceriaan yang dibingkai dengan canda tawa, mampu mengusir dingin malam. Kabut masih tebal. Hingga rintik air pun sahdu menemani riang kebersamaan. Tujuh orang dengan empat tenda. Kami seolah mendirikan kampung pendaki. Sekitar 100 meter dari tenda kami terdengar riuh tawa-tawa pendaki mengusir dingin malam dengan keceriaan. Namun dinginnya rakum yang dikuatkan oleh kabut pelan dan pasti mengalahkan gairah untuk bercengkerama dengan malam.
Semua telah siap. Kami pun dengan lahap menikmati menu spesial olahan chef petualang hutan. Semenjak pagi kami hanya bertemu dengan nasi saat masih di Tumpang. Tidak mengherankan kalau malam ini, nasi menjadi barang yang sangat nikmat.
Perutpun kenyang. Hati senang. Dengan segera lelah raga mengajak manja bersembunyi dalam nyaman sleeping bag. Rintik hujan yang manja berpadu dengan kabut pekat yang makin menyempurnakan dinginnya pegunungan, tidak mampu membinasakan kebiasaanku untuk sejenak menikmati hening alam pegunungan lengkap dengan dingin malamnya. Setelah membuat secangkir kopi, aku pun keluar tenda. Segera tubuhku pun menggigil kedinginan. Tetapi aku berjuang untuk menerima kenyataan itu agar suasana yang unik ini dapat kunikmati. Segera kukumpulkan ranting-ranting sisa api anggun yang beserakan. Kusatukan dan kuusahakan untuk bisa menarikan kehangatan api unggun. Emma yang tahu kebiasaanku pun ikut keluar tenda. Ia yang terkenal sebagai sarjana api-api mengambil alih inisiatifku untuk mencipta kehangatan.
Api unggun telah siap. Kendati tidak besar, tetapi cukup membantu mengusir dingin malam. Teman-teman yang lain makin ciut nyali, lebih memilih nyaman dalam tenda. Ada yang renyah bercanda namun ada pula yang mengalunkan dendang dengkuran. Aku dan Emma lebih asik menikmati suasana malam di luar tenda. Hangatnya secangkir kopi, sebatang rokok beserta tarian nyala api yang tidak terlalu besar menggiring kami untuk asik larut dalam obrolan. Sisa ranting mulai menipis, kopipun telah habis, raga yang memang diambang batas tidak mampu menopang kami untuk terus berhaga. Akhirnya, kamipun menyusul teman-teman untuk mendulang tenaga. Nyaman dalam istirahat. Selamat malam dan selamat boim.
Malam terlalu mujarab untuk membius kami dalam nyaman tenda. Pagi merekah dengan kegamangan. Kabut pekat masih juga mampu menyembunyikan mentari. Kehangatan sinar yang kami rindukan tidak juga berujung. Namun, guncangan naga dalam perut tak mampu mempertahankan rasa malas. Lapar tetaplah menuntut untuk diberi sesajen.
Kami pun segera bangun untuk menyiapkan sarapan. Rencana untuk menyajikan hidangan istimewa pendakian telah kami siapkan. Nasi telah matang, minuman hangat tersedia, lauk kelas atas pun telah menggoda serta cuci mulut berupa kolak pisang siap mengakhiri pesta ala pendaki. Sengaja, kami menyiapkan pendakian ini, tidak hanya sekedar mendaki tetapi sekaligus rekreasi. Tidak mengherankan kalau perjalan kami agak sedikit disusahkan dengan logistik yang berlimpah.
 Saat semua makanan telah siap untuk menegaskan kembiraan hati, alam seolah berpihak pada kami. Kabut yang menutup alam terbuka dengan pelan. Keindahan Ranu Kumbolo mengundang decak kagum. Selimut tipis kabut memendarkan warna yang eksotis. Akhirnya, kami pun menggelar matras tepat di depan tenda, menghadap Rakum. Sungguh pendakian yang luar biasa, makanan yang sangat istimewa kami nikmati dengan cara yang istimewa pula. Yang ada hanyalah kegembiraan demi kegembiraan. Hingga kami tidak menyadari bahwa kami telah diselimuti kebahagiaan yang tidak terbahasakan.
Perut telah  terisi, mentari juga asik merangkak pelan. Kami putuskan untuk berbenah. Walau kami berat meninggalkan keindahan ini. Namun, ini bukanlah tujuan akhir petualangan. Tenda pun kami bongkar, packing dan siap melaju menuju pos berikutnya. Tepat pukul 12.50, kami pun meninggalkan rakum untuk menikmati petualangan berikutnya.
Kendati kami semua tahu tentang mitos “tanjakan cinta” Semeru, tidak ada salahnya kami pun mencoba menggapai mimpi dengannya. Setelah istirahat malam yang memanjakan raga, sarapan sekaligus makan siang yang mengeyangkan, tidak mengherankan bila telah mampu membius raga kami. Ibarat mesin tanpa pemanansan, maka secara otomatis tidak akan mampu berkompromi mengejar kecepatan. Satu persatu kami pun tumbang membawa mimpi. Aku dalam hati juga membawa harapan, maka aku pun meneguhkannya dengan berjuang menapaki setapak “tanjakan cinta”.
Selangkah demi selangkah kutapakan kaki tuaku. Menanjak pelan bahkan sangat pelan. Pengalaman pendakian dan motivasi yang kuikat dalam harapanku mendorong asa dan niatku. “Pak, berhenti sebentar. Ada yang tepar,” teriak Andre Sempak. Aku tahu itu hanya godaan, agar aku menoleh kebelakang, “Urus aja”. Aku pun terus menapak. “Wis tuo. Gak usah ngongso pak”, Timbul juga menggoda. Aku hanya tersenyum. Dadaku mulai memanas, nafasku pun tersengal dengan hebat. Sambil melambatkan langkah yang sudah sangat pelan, kuatur nafasku agar aku tetap berdiri kokoh tidak limbung karena kekurangan oksigen. Ujung tanjakan cinta tinggal beberapa langkah. Maka, kukobarkan sisa kekuatanku. Aku sangat bangga, sangat gembira, sekaligus sangat bahagia telah mampu menyelesaikan tantangan ini. Semoga harapan dalam dada ini menjadi kenyataan. Semoga.
Sesampainya kami di penghujung tanjakan cinta, mata dimanjakan dengan keindahan rakum yang berada di belakang dan keindahan oro-oro ombo yang membentang di depan. Kami hanya terpana dan hanya bisa berucap, “wow”.
Tenaga telah pulih, langkah kakipun kami lanjutkan. Menuruni bukit dan melenggang dikeindahan oro-oro ombo yang dipenuhi dengan kembang lavender. Sungguh panorama yang memukau. Hingga kamipun tiba di Pos Cemoro Kandang. Istirahat sebentar adalah agenda tetap. Kami harus mendulang tenaga. Kalau secara khusus di setiap perhentian hanya ingin melonggarkan tas kerirku, yang aku rasa bebannya tidak berkurang-kurang. Mungkin penat dan kelelahan yang belum terbayar utuh menjadikan demikian. Atau karena bekal bawaanku yang masih terlalu banyak. Menanjak datar adalah medan yang kami lalui. Niat hati untuk beristirahat di Pos Jambangan tidak bertahan. Kami tepar di ujung bukit terakhir sebelum pos tersebut. Di sini, kukeluarkan bekal istimewaku. Kami pun menikmati buah jeruk. Sungguh maknyus. Mantap. Segar.
Sepanjang perjalanan dari rakum hingga saat ini, banyak kujumpai pendaki yang usianya beragam. Ada yang masih sangat muda, masih anak-anak, sejauh aku bertanya, yang paling muda adalah 6 tahun. Sedangkan yang paling tua adalah 68 tahun. Mereka masih antusias untuk menikmati hidup. Hal ini lah yang memacu semangatku. Aku yakin itu juga terjadi dalam diri teman-temanku. Kami meneruskan langkah hingga tepat pukul 15.30 tibalah kami di Pos Jambangan.
Aku tahu bahwa dari pos ini, Kalimati sebagai tujuan perhentian kami selanjutnya tidak begitu jauh lagi. Maka, kami putuskan untuk bercengkerama dengan indahnya Semeru. Kami abadikan kenakalan, keusilan dan tindakan-tindakan kami yang kekanak-kanakkan. Namun justeru dengan hal-hal itu kami sungguh bisa menikmati perjalan ini. Kami lupa usia dan yang lebih penting kami lupa kalau kami telah kelelahan.
Setelah puas dengan main-main, kami pun melanjutkan perjalanan. Hingga waktu mencatat sejarah perjuangan kami pada titik 16.30. waktu yang istimewa mendaratkan kami pada Pos Kalimati. Segera kami mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Kami telah membangun kesepakatan bahwa kami tidak akan banyak bercanda, segera memasak, makan dan istirahat. Rencana tepat jam 00.00, kami akan mengejar golden moment, sunrise pada atap tertinggi Jawa. Setelah tempat ditemukan dan kami yakin bahwa di sini kami akan memulihkan tenaga. Kulihat jam tangan, waktu baru menunjuk angka 17.00 namun tenda telah berdiri gagah. Segera, kami bertindak sesuai rencana.
Angin berhembus dengan kencang hingga udara terasa makin dingin. Ciut nyali untuk menikmati keindahan malam di Kalimati. Malam yang merangkak langsung membuai kami dalam mimpi masing-masing.
Sengaja kustel weker arloji tanganku pukul 23.00. Sehingga kami bisa menyiapkan fisik, mental dan juga perbekalan maupun hidangan pembuka petualangan.
Weker berbunyi, aku pun bangun untuk membuat minuman hangat serta menyiapkan sereal hangat. Teman-teman telah bangun semua. Kami pun bergegas menyiapkan diri. Makan roti, sereal hangat dan diteguhkan dengan segelas kopi maupun teh. Lalu, saat waktu menunjuk angka 00.00, sesuai rencana, kami semua siap bergerak. Siap berpetualang.
Kami pun keluar tenda. Nampak Emma tidak ada gelagat untuk nanjak, “Ma, kok belum siap?” tanyaku.
“Tidak ikut pak. Kakiku tidak mampu bekerjasama. Kram dari tadi. Dari pada entar jadi masalah”.
“Yakin kalau tidak akan nanjak?” tanyaku masih berharap.
“Yakin pak. Saya jaga tenda aja”
“Gak nyesal to?” sengaja kulontarkan pertanyaan ini dengan harapan ia mau ikut. Karena kami dari awal bersama, maka aku pun berharap dapat menyelesaikan petualangan secara bersama-sama pula.
“Tidak pak. Yakin wis to. Selamat berpetualang. Jo lali oleh-olehe. Tak tunggu foto-fotone hehe”, jawaban yang menyakinkanku bahwa Emma telah siap untuk tidak lanjut. Namun, jawaban ini akhirnya meneguhkan bahwa doa di tanjakan cinta hanyalah mitos. Harapanku dengan perjuangan untuk melewati tanjakan cinta tanpa berhenti dan tanpa menengok kebelakang adalah semua rombonganku bisa sampai puncak. Belum juga kami meninggalkan Kalimati, satu rombongan telah menyerah karena ketidakberdayaan raga.
Bersembilan kami, bagaikan pasukan khusus tempur. Siap perang.
“Semua siap?” tanyaku pada teman-teman.
“Siap”, jawaban serempak dan kompak yang semakin menggelorakan semangat hingga berkobar-kobar.
Belum juga kaki melangkah meninggalkan tenda. Tiba-tiba, “Mas, ini mau muncak ya?” sapa pendaki yang agak jauh tendanya dari kami. “Iya”, jawabku singkat.
“Boleh gabung? Kami belum pernah kok”
Segera Timbul menjawab, “Boleh saja. Rombongan kami ada satu yang pernah mencapai puncak”.
Aku yang ditunjuk oleh teman-teman untuk menjadi leader dari petualangan ini. Karena dari rombongan gabungan ini, hanya aku yang pernah sampai puncak Mahameru.
“Teman-teman, tolong dicek masing-masing anggota rombongannya”, pintaku membuka petualangan.
“Rombongan tangerang ada tujuh”
“Rombongan Purwokerto ada empat”
“Rombongan Jakarta ada lima”
“Rombongan Semarang ada lima”
“Berarti dengan rombongan kami, total ada 30 orang ya?’ tanyaku menegaskan.
“Siap”, jawaban serentak.
“Teman-teman, aku akan memandu sampai batas vegetasi. Setelah itu aku tidak menjamin rombongan selalu bisa bersama dan berjalan beriringan. Karena tenaga kita berbeda. Maka, setelah batas vegetasi, rombongan kita pisah, kembali ke rombongan kecil. Tetapi aku akan tetap memonitor. Aku membawa lampu parker sebagai patokan rute perjalanan. Apakah semua paham?”
“Paham”
“Perhentian pertama kita nanti di Pos Arcapada. Namun, bila ada teman rombongan ada yang kecapekan, segera berteriak dan beri tanda. Kita akan istirahat sebentar, lalu melanjutkan langkah. Paham?”
“Paham”
“Ada pertanyaan?”
“Cukup mas”
“Oke. Mari kita awali petualngan ini dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing”
Lalu, kami pun bergerak pelan.
Baru kali ini, aku memimpin rombongan yang cukup besar. Itupun hanya sepertiganya yang aku kenal. Selebihnya adalah teman seperjuangan dan satu tujuan. Karena kami disatukan oleh alam. Itulah seni dan indahnya pendakian.
Berawal dengan medan datar dan selanjutnya adalah mendal terjal, curam serta menanjak tiada bonus. Beda dengan medan sebelumnya, yang didominasi medan datar. Kini kami dihadapkan pada medan pendakian sesungguhnya. Tanjakan curam dengan kanan-kiri jurang. Akar pohon menopang niat kami untuk sampai puncak. Pasir-pasir labil segera menghangatkan kaki-dingin kami. Nafas yang semanjak awal kedinginan mendadak menjadi panas. Tersengal dan bergemuruh memburu oksigen. Belum juga badanku berkeringat, teriakan demi teriakan meminta berhenti dan istirahat silih berganti. Aku berjuang sabar. Karena sebenarnya aku masih kedinginan. Dengan semakin banyak beristirahat maka energy yang kubuang akan semakin banyak. Dan itu percuma. Namun aku telah berjanji untuk memandu sampai batas vegetasi.
Pengalaman yang menyejarah dalam hidupku bahwa pendakian dari Kalimati sampai Arcapada dengan beban kerir yang kutempuh 60 menit, saat ini tidak mungkin terjadi. Teman-temanku memiliki pengalaman pendakian yang berbeda. Secara tertatih, pelan namun pasti kami terus melangkah sehingga pada pukul 01.30 tibalah kami di Arcapada. Istirahatlah kami untuk beberapa saat sambil menikmati bekal yang kami bawa.
Tenaga telah sedikit terobati dan kami pun kembali meneruskan langkah. Udara dini kemarau panjang berhembus bersama kekuatan angin yang menjadikan belulang makin ciut nyali. Udara dini hari ini memang benar-benar terasa dingin. Untuk mengatasinya kami pun cepat bergerak. Berharap raga mau menghangat. Setapak terjal dengan debu dan pasir berterbangan makin menyesakan dada yang berburu tipisnya oksigen. Rombongan besar masih utuh. Aku berusaha untuk menepati janjiku. Kendati makin banyak teman-teman yang hampir menyerah. Mereka senantiasa meminta berhenti dan beristirahat, karena tenaga yang makin lemah. Hingga, akhirnya kami tiba di batas vegetasi pada jam 02.30.
Tidak adanya tanaman menjadikan angin kian leluasa menghajar raga kami. Dingin makin menyengat. Maka tidak menunggu waktu, kami pun terus melanjutkan langkah.
Medan pasir dengan kemiringan tanjakan antara 30-50 derajat menjadikan pendakian tidaklah mudah. Tenaga dan keterampilan dibutuhkan dalam menapaki medan akhir ini. Setiap kali kaki melangkah pelan maka yang terjadi bukannya maju tetapi mundur. Pasirnya menggelontor, turun dengan santainya. Aku yang pernah menapaki medan ini, memiliki setrategi khusus yaitu, langkah dilebarkan dan dipercepat, sampai menemukan dataran dan pijakan yang agak keras, kemudian beristirahat untuk memulihkan tenaga. Bila telah pulih, maka metode yang sama pun terus kuulang. Istiriku tidak mampu mengikutiku, teman-teman yang lain juga. Mereka makin tertinggal jauh. Akhirnya, tangan isteriku kugandeng, agak sedikit aku tarik agar kakinya terus mau melangkah mengimbangiku.
Medan pasir yang terus ditiup angin, menjadikan debu beterbangan dengan bebasnya. Tidak mengherankan bila tenggorokan makin mengering, air tak juga mampu mengobatinya. Pada hal bekal air jumlahnya terbatas. Menegemen air harus tetap diberlakukan. Tubuh makin kepayahan.
Semangatku belum kendur dan aku merasa tenagaku saat ini adalah yang paling prima. Kendati aku terus menarik isterku namun aku rasa tenagaku masih sangat melimpah. Semburat kuning di ufuk timur makin mengobarkan gairahku untuk menggapai puncak dan dapat menikmati sunrise. Namun harapan itu kandas karena istiriku kehilangan gairah. Ia hampir putus asa. Motivasiku tidak mempan bahkan membuahkan amarah. Ia menggerutu. PHP demi PHP menjadikannya kian ciut nyali.
Aku menyerah untuk memotivasinya. Aku putuskan untuk mengikutinya saja. Bila ia nanti minta berhenti dan mengajak turun maka, aku akan turun. Benarlah dugaanku. “Mas, aku sudah tidak kuat. Turun saja ya”
“Siap. Tapi istirahat dulu ya. Minum sambil maem coklat cocok ki”
Ia hanya mengangguk. Mentari kian temaram menyinarkan sinar jayanya. Ada pula beberapa pendaki yang turun. Mereka terlihat kedinginan. “Kok udah turun mas?” sapaku
“Udah dari jam 04.00 kami nunggu sunrise. Kami udah tidak tahan. Tubuh udah menggigil. Cuaca ekstrim dinginnya. Tu liat pasirnya aja jadi es”,. Kulihat disebelahku dan ternyata benar bahwa pasir itu telah bercampur dengan es batu. Berarti memang sangat dingin.
“Kami lanjut. Tetap semangat. Tinggal 50 meter mas udah sampai”
“Siap”
Kulihat keatas, bendera merah putih nampak berkibar gagah, dekat sekali aku berpikir. Setelah beberapa waktu beristirahat, makan cokelat dan minum air yang menjelang habis, “Gimana jadi turun atau gak? Tapi sayang kalau turun lho ya. Tu puncaknya udah sangat dekat. Lagian, teman-teman semuanya masih dibelakang. Kita ini sepelan-pelannya juga tidak akan dapat mereka kejar. Soalnya mereka belum terlihat sama sekali. Piye?”
“Tapi pelan-pelan saja ya”
“Siap”, di luar dugaanku, isteriku mau meneruskan langkah untuk menggapai puncak tertinggi Jawa.
“Ayo mas semangat. Tinggal 5 menit lagi”, teriak Yudi yang tiba pertama kali dari seluruh anggota.
Isteriku entah dari mana tenaganya berasal, tiba-tiba melesat meninggalkan aku. Aku sempat kepayahan untuk mengejarnya. Tepat dibawah sang saka merah putih, ia terlihat bingung. Medan terjal, menukik tajam dengan kemiringan hampir 80 derajat membuatnya ketakutan. Aku menyusul dan aku pandu ia untuk melewati rintangan ini. Kami akhirnya dengan sisa-sisa tenaga dapat meraih puncak. Ada kegembiraan yang meluap dari hati dan jiwa kami.
“Selamat mas, mbak”, sapa Yudi yang telah menunggu. Kami pun bergantian untuk mengabadikan kisah ini dalam gambar. Foto dengan latar panorama pegunungan yang membiru. Berpegang pada tiang bendera, seolah menggenggam bangsa. Menjadikan hati makin cinta pada tanah air ini. Saat itu kulihat jam tanganku yang baru menunjuk angka 06.30.
Wajah isteriku terlihat sangat berbinar. Ia melahirkan kebahagiaan yang tiada terbahasakan. Kebanggaan sekaligus gambaran kemenangan atas perjuangan yang panjang. Kunikmati panorama dan keindahan atap tertinggi ini. Hamparan awan putih di sisi gunung yang berpadu mesra dengan gugusan pegunungan. Kabut tipis di sisi barat seolah menyelimuti hijau serta birunya alam. Keindahan yang maha dasyat. Saat mata terpana oleh lukisan sang pencipta, kami masih disuguhi dengan fenoimena alam yang luar biasa. Tiba-tiba semburan material vulkanik mahameru keluar dengan besarnya. Bagaikan melihat jamur raksasa. Ajaib.
Satu persatu teman-teman rombongan berdatangan. Mereka berteriak meluapkan kegembiraan. Euforia.  Jam 07.00 semua telah berkumpul. Kami pun mengambil gambar bersama. Menikmati kebersamaan. Menikmati keindahan alam. Menikmati yang Tuhan berikan. “Udah jam 07.30, ayo turun”, pinta isteriku.
“Bentar lagi ya. Entar kami nyusul ae”.
“Siap. Kami turun dulu ya”, aku berpamitan.
Dari puncak mahameru sampai batas vegetasi, perjalanan turun tidaklah banyak mengalami masalah. Kami bagaikan bermain ski, tinggal meluncur dan sampailah. Namun bekal air tinggal beberapa tetes, kuberikan pada isteriku. Kami beristirahat sebentar. Lalu kembali meneruskan kisah.
Medan pasir dan kerikil yang labil merupakan musuh dari isteriku. Hingga perjalan turun melambat setelah batas vegetasi. Panas menyengat, debu makin hebat menghajar tenggorokan. Gejala dehidrasi mulai aku rasakan. Ingin kupercepat langkah, seperti waktu dulu yang kuberlari dalam waktu 30 menit tiba di Kalimati. Tetapi sekarang aku bersama isteriku. Ya udah lah aku ikutin aja dia. Tidak terasa, perjalanan yang kian waktu kian melambat menghantar kami tiba di tenda Kalimati jam 10.15.
Emma terlihat tersenyum gembira melihat kami datang. “Yang lain mana Pak?”
“Masih di belakang. Ada air kah?”
“Tu, masih banyak pak. Entar kalau habis tinggal ambil lagi”
Kemudian aku dan isteriku minum sepuas-puasnya. Tiada kegembiraan yang mampu menandingi perjumpaan dengan air kala manusia kehausan. Puas dan sangat puas. Hilang dahaga. Lega tenggorokan dan lahirlah bahagia. Lalu kami habiskan waktu untuk menunggu teman-teman. Setelah semua kumpul, kami pun menyiapkan masakan untuk makan siang. Kali ini, aku diminta untuk beristirahat sebagai koki. Kuterima kebaikan itu, tanpa menunda waktu kurebahkan ragaku. Aku pun pulas tertidur hingga aroma masakan yang lezat membangunkan.
Makan siang dengan suka cita. Mendulang tenaga. Lanjut packing. Siaplah kami meneruskan sejarah. Tepat pukul 14.00 kami berpamitan dengan dekapan cinta Kalimati.
Langkah mantap diiringi dengan hati yang ria menghantar kami untuk menapak dengan gagah. Keceriaan bertaburan menyelimuti setiap tetesan keringan kebersamaan. Aku dan isteriku perlahan mulai tertinggal. Bekal logistik yang telah berpindah kedalam raga menjadikan beban tak lagi seberapa. Hingga yang muda-muda melesat meningalkan aku dan isteriku yang mulai terseok. Kendati demikian aku masih bersyukur karena sampai di tujuan belum terlalu gelap. Mentari baru bersiap menuju peraduannya dan saat menunjuk waktu pada angka 17.00 aku dan isteriku yang ditemani Emma menginjakkan kaki di Ranu Kumbolo.
Terlihat teman-teman yang lain telah mendirikan tenda. Tiga atap flysheet telah kokoh, siap melindungi istirahat malam nanti. Segera aku pun bergabung dengan mereka. Dengan cekatan kubongkar kerirku untuk segera mendirikan tenda. Sore di tengah kemarau menjadikan dingin udara. Aku tidak ingin mendadak langsung kedinginan. Setelah berpeluh, berhenti dan beristirahat, menghantar pada keadaan yang berubah-ubah. Suhu tubuh yang berganti cepat di tengah alam pegunungan memungkinkan terjadinya ketidaksiapan raga, tubuh mudah sakit.
Selain itu isteriku juga merasa lebih nyaman bila kami berada beda tenda dengan yang masih lajang. Kendati aku tahu bahwa sebenarnya tenda yang ada masih muat untuk kami berdua, tetapi isteriku memilih untuk berada dalam beda tenda. Sembari kusiapkan tenda, teman-teman telah asik untuk menyiapkan hidangan malam. Rencana malam ini, kami akan sedikit berpesta. Sebelum menuju Kalimati hari yang lalu, kami telah meninggalkan logistik di sini. Bahan makanan yang tersedia tergolong mewah, tidak seperti bekal pendaki gunung pada umumnya. Kulihat masih, ada nugget, sayap ayam, sarden dan kornet. Ada juga bakso rasa sapi dan ikan tengiri.
Usai menerima asupan nutrisi dan gizi kami segera nyaman dalam tenda masing-masing. Raga yang terlalu lelah menjadikan kami ingin segera manja dalam dekapan hangat tenda. Saat kurebahkan badan, kulihat ada temaram bintang yang berpijar. Kusempatkan untuk menengok ke luar. Dan ternyata, keindahan alam yang luar biasa. Di depan tenda terhampar danau rakum yang beriak-riak, seolah dikurung dengan taburan kerlip bintang malam. Sedangkan di beberapa pojok tepian danau ada pijar-pijar lampu dari dalam tenda. Menambah indahnya lukisan alam.
Di tengah keterpesonaanku, terkagum-kagum dengan sajian alam, terdengar sayup dari selter rakum ada beberapa orang yang mengumandangkan takbiran. Secara spontan dalam hati langsung berucap, “Selamat hari raya Idul Fitri sahabat-sahabat muslim. Mohon maaf lahir dan batin”. Pengalaman yang luar biasa, demi merayakan hari rayanya secara beda, sahabat-sahabat muslim rela keluar dari kenyamanannya dan merayakan hari kemenangan dengan cara yang beda. Ini lah perayaan hari raya keagamaan ala pendaki. Fantastik.
Lelah raga tak lagi mampu kutopang dengan keindahan alam. Panorama yang mengangkat jiwa untuk bersenandung tak juga mempan mengusir kantuk. Raga mulai menggigil. Kertak gigi terjadi tanpa bisa kubendung. Segeralah aku masuk tenda dan nyaman dalam pelukan kantung tidurku.
Hingga pagi yang ceria membuyarkan kenyamanan itu.
Cuaca cerah masih bertahan. Kicauan burung di sekitar danau menambah suasana nyaman. Menjadikan hati makin damai. Danau yang menguak bening, mempertontonkan tarian ikan-ikan besar dan kecil. Mereka bercengkerama dalam canda dan tawa. Seolah mengajariku untuk berlaku sama. Mentari mulai pelan merangkak dan bertengger ditengah celah dua bukit kembar. Terlihat sangat simetris. Indah dan sangat-sangat indah. Kami, yang bermalam di rakum serentak terpana. Kami berhamburan dari dalam tenda dan mengabadikan peristiwa ini dalam gambar.
Berlatarkan lukisan Sang Pencipta, kami menghabiskan waktu untuk berceria, tertawa, ekspresif. Dari yang wagu hingga yang sangat eksotis. Mendadak kami pun berlomba menjadi foto model untuk melahirkan karya seni berkualitas tinggi.
Mentari mulai merangkak terik. Raga telah dikenyangkan dengan menu istimewa akhir. Segera kami pun bergegas mengepak barang. Kendati hati masih terikat dan tertambat dalam tonggak indahnya rakum, namun langkah kami tidak hanya di sini. Kami mesti melanjutkan kisah untuk berkisah tentang kuasa Tuhan. Cerita kami akan tetap abadi bila semakin banyak generasi yang mengalami segala yang pernah kami alami dengan bantuan indahnya alam Semeru ini.
Hari ini, Kamis, tanngal 8 Agustus saat waktu bertahta pada singgasana kekuasaan waktu pukul 09.50 kami pun berpamitan dengan kasih Ranu Kumbolo. Hati yang bahagia menjadikan langkah kami seolah tidak pernah capek, tidak juga terasa lelah. Semangat terus berkobar dan membara dalam dada. Aku, isteriku serta Emma melangkah di barisan paling belakang. Teriakan teman-teman yang berada di depan menggetarkan kaki untuk tidak berhenti lama, hingga waktu terus mendekap kami dan pada saat waktu berhenti di titik 14.00 tibalah kami di Ranu Pani.
Sejenak kami pun mengurai lelah. Penat raga mengiring rasa lapar. Kami pun segera berburu makan, istirahat. Membeli oleh-oleh kas pendakian tidak kami lupakan, agar kami tidak segera lupa dengan petualangan ini. Tak satu pun yang berminat mandi. Berbekal pengalaman pendakian yang telah usang, saat berada di angkutan umum, banyak hidung yang mengendus tanda tidak suka. Maka, kuputuskan untuk membersihkan diri. Saat air bertemu raga, seketika tegak bulu-bulu ku. Dingin luar biasa. Aku mandi demikan pula dengan isteriku. Hanya kami berdua. Selebihnya membawa kenangan debu mahameru hingga sampai di istana rumahnya masing-masing.
Segar terasa. Angkutan berjajar menawarkan jasa membawa kami ke Tumpang. Proses nego tidak berjalan alot. Karena harga tawar berpatok dari biaya awal petualangan. Kesepakatanpun tercipta dan kami pun tepat pukul 16.00 meninggalkan sejuta kenangan di Ranu Pani. Meliuk truk melintasi jalanan yang menanjak, turun juga berkelok. Berhembus angin pegunungan menerpa wajahku mengajak untuk segera menikmati kantuk. Namun, aku tidak menghiraukan. Kunikmati perjalanan ini. Aku dan isteriku kembali diberi kesempatan untuk duduk di samping bapak sopir. Memasuki desa Ngadas, desa yang menjual hasil kebun kas Malang. Saat mata bertemu dengan gundukan apel di teras-teras rumah warga. Kuminta bapak sopir untuk menghentikan laju. Kami pun berbelaja oleh-oleh, untuk melengkapi kisah yang akan kami bagikan bagi keluarga tercinta.
Saat mentari mulai asik membuai mimpi, ketika waktu berada pada titik 18.00, kami pun tiba di pasar Tumpang. Lalu kami beristirahat, menikmati suasana lebaran kota Tumpang. Mencari angkutan. Negosiasi. Harga jadi. Kami pun segera menyusul waktu. Tepat pukul 19.00 kami menuju Malang. Dalam waktu 20 menit kamipun tiba di terminal. Tidak menunda waktu. Segera kami pun melabuhkan diri dalam bis jurusan Surabaya. Kami berharap segera sampai agar lekas bisa beristirahat nyaman dalam dekapan bantal. Tiba diterminal Surabaya tepat pukul 21.00.
Terminal terlihat ramai sekali. Pada hal hari ini adalah lebaran pertama. Tidak seperti biasanya. Tanda-tanda perjalanan akan tidak sesuai rencana. Sambil mencari informasi, kami pun tidak lupa mendulang energi, mencari makanan. Akhirnya, untuk sementara kami menikmati suasana terminal dengan berbagai dinamikanya.
Setiap kali bis datang jurusan Solo, selalu penuh dengan penumpang. Rupa-rupanya, mereka telah mengantri di depan terminal. Firasat mulai berbicara. Untuk memperoleh keyakinan kami pun bertanya-tanya. Jumlah armada memang berkurang, karena lebaran pertama. Selain itu saat ini banyak penumpang yang mudik memilih hari pertama. Tidak sebelum lebaran. Alamat bakalan tidak akan sampai Solo.
Banyak cara mengais rejeki. Kutemui para sopir angkutan yang berinisiatif untuk menghantar penumpang ke pul, ke rumah induk transportasi jurusan Solo. Kami ditawari untuk nyarter dengan kemungkinan 75 % mendapatkan tempat duduk. Harga sepakat. Kami pun di antar ke pangkalan bis Mira. Di sana sudah berjubel. Tetapi di sini lebih professional. Calon penumpang diminta mengambil nomor antrian demi mendapat tiket sesuai kota tujuan. Sekitar jam 23.00, kami telah memegang tiket. Namun bis belum datang. Kami diminta sabar menunggu. Waktu terus merengek, meminta kami bercanda dengan rasa was-was. Kegelisahan mengitari benak. Untuk menghalau rasa itu, kami pun asik bercanda dan berbagi kisah tentang petualangan Semeru yang baru berlalu. Hingga akhirnya, Jumat, 9 Agustus 2013 tepat jam 00.15, bis perlahan meninggalkan Surabaya.
Kelegaan menghantar kami masing-masing lelap dalam buaian mimpi. Bis melaju tanpa kami sadari. Gemuruh mesin terdengar sebagai nyanyian penghantar tidur nyenyak kami. Saat keremangan, membuyarkan lelap, saat mentari mengganggu kerja sang malam, saat cahaya fajar menawarkan gairah hidup, saat itulah kami terjaga. Kulihat jam tanganku yang menunjuk angka 05.30, tibalah kami di jalur kota. Segera aku dan isteriku bersiap, karena kami tidak akan berhenti di terminal. Beda dengan teman-teman yang lainnya. Kuminta diturunkan di samping stasiun Balapan. Segera, kuambil motor. Melaju pelan. Jalanan lengang dan sepi. Hati makin berbunga saat teras rumah terlihat. Dan hati meluap gembira, saat kaki menginjak pelataran. Hati dipenuhi suka cita ketika pintu rumah yang untuk sementara kami tinggalkan. Waktu menghantar kami untuk menutup petualangan ini dengan kebahagiaan, tepat pada titik 06.15.
 Syukur Tuhan atas pengalaman yang luar biasa ini. Terimakasih atas pembelajaran melalui kisah, bersama perjumpaan, dikuatkan dengan persahabatan. Terimakasih atas karuniaMu, sehingga melalui setapak Semeru, kami Engkau bimbing untuk sampai pada puncak hidup kami masing-masing. Ada keindahan yang tidak terbahasakan. Sajian alam yang merupakan hasil karya lukisanMu tidak sebanding dengan keindahan diri kami. Semeru menjadikan kami, makin bisa melihat diri. Makin bisa bercermin. Hingga kami semakin meyakini bahwa kami kaya. Harta kami makin berlimpah saat kami mau berbagi perhatian, berbagi rejeki, berbagi kebaikan, berbagi kepercayaan. Harta itu adalah kebahagian dan kedamaian hati. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Semeru. Kami selalu rindu. Rindu untuk kembali. Kembali mencumbui setapakmu, agar kami semakin mengerti cara hidup yang sesungguhnya. Semoga.